IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
A. PERSllAPAN PROSES PENGERINGAN LADA SECARA ABSORPSI Pada penelitian ini dilakukan proses pengeringan lada segar menjadi lada hitam lsecara absorpsi dengan kapur api. Sebelumnya dilakukan persiapan pada lada segar yang akan dikeringkan, persiapan pada kapur api, dan persiapan pada lemari pengering absorpsi. 1. Konldisi Lada Basah
Lada varietas Lampung Daun Lebar yang berumur sekitar 6 bulan setczlah berbunga, memiliki tingkat kematangan dan ukuran buah yang bewariasi. Untuk itu, sebelum pengeringan dilakukan proses sortasi untuk mernilih buah lada dengan tingkat kematangan yang sesuai untuk diolah merijadi lada hitam dengan ukuran yang diusahakan seragam.
Tingkat
kerrlatangan dan ukuran yang seragam diharapkan dapat memperkecil pengaruh variabel tersebut terhadap proses pengeringan. Proses sortasi ini dilakukan secara manual bersamaan dengan saat dilalltukannya proses pemisahan buah lada dari tangkainya.
Dan hasil
penyiangan, diperoleh rendemen lada basah yang sesuai untuk diolah menjadi lada hitam sebesar 67.86% dari berat lada hasil pemetikan. Diameter rata-rata buah lada basah adalah 5.96 mm (Gambar 12) Karena pada lada hasil panen terkandung banyak kotoran berupa tanah dan serangga, maka dilakukan proses pencucian dua kali. Selanjutnya lada diangin-anginkan di atas kain, sehingga perrnukaan pada lada tidak tampak tetes-tetes air. 2. Kondisi Kapur Api
Kapur api diambil dari pabrik pembakaran kapur PD Djajz Ciampea segcsra sebelum proses pengeringan akan dimulai. Sebelumnya dilakukan penlgukuran kadar CaO pada kapur api secara AAS (Basset et a/. 1978) mertghasilkan kadar CaO sebesar 87.63%, yang nilainya hampir mendekati kadar CaO hasil pengujian Sucofindo sebesar 88.82%.
Gambar 12. Lada segar varietas Lampung Daun Lebar yang siap dikeringkan Karena kapur api tersebut masih berdiameter sekitar 10
- 20 an, perlu
berupa bongkahan
besar
dilakukan proses pengecilan ukuran
untuk memudahkan pada saat digunakan di dalam lemari pengering absorpsi. Proses pengecilan ukuran dilakukan dengan
memecah kapur
menggunakan palu menjadi berbentuk butiran berdiameter 1
-
api
3 cm.
Pengecilan ukuran dilakukan secara cepat segera sebeium akan dimasukkan ke dalam lemari pengering absorpsi, agar tidak banyak terjadi penyerapan air oleh kapur api tersebut. Kapur api yang siap digunakan menjadi absorben dapat dilihat pada Gambar 13. Walaupun bentuk dan ukuran kapur api berpengaruh tethadap proses penyerapan uap air yang terjadi, namun diduga pengaruhnya lebih kecil dibandingkan daya reaksi kapur api tersebut dalam bereaksi dengan air. CaO di ddam kapur api bereaksi secara kuat dengan air untuk membentuk senyawa Ca(OH)*. Kemampuan penyerapan air oleh kapur api tesebut agak berbeda dari absorben lain yang daya serap aimya terutama disebabkan oleh kemampuan pengikatan atom hidmgen pada air ikatan primemya melalui ikatan hidrogen.
Gambar 13. Kapur api sebagai absorben pengeringanabsorpsi, diameter 1 3 cm (rata-rata 2 cm)
-
Kapur api tidak dikecilkan ukurannya menjadi bentuk tepung, karena proses penepungan membutuhkan waktu yang relatif lama. Selain itu pada saat penepungan kemungkinan kontak antara kapw api dengan udara menjadi sangat besar.
Hal tenebut dikhawatirkan dapat menurunkan kemampuan
penyerapan air oleh kapur api. Selain itu, bila kapur api ditepungkan terlebih dahulu, proses pengeringan absorpsi menjadi kurang praktis bila nanti diterapkan di tingkat pengguna. Bentuk butiran juga akan lebih memudahkan dahm memantau kejenuhan kapur api. Selain dari beratnya yang sudah konstan, bila kapur api sudah 'mengembang' dan hanwr menjadi tepung berarti kapur api sudah 'mati' dan tidak dapat digunakan lagi sebagai absorben. 3. Persiapan Lemari Pengering Absorpsi
Pada tahap uji coba, lemari pengering absorpsi dipeniapkan dengan menaruh sekitar 500 g kapur api pada lemari yang kosong selama sekitar 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menurunkan RH lemari pengering absorpsi yang bervolume 0.15 m3 agar pada saat lada dimasukkan. RH lemari pengering sudah rendah dan dapat langsung mengeringkan lada.
Ketika lemari pengering absorpsi yang dipeisiapkan belum dibuka pintunya, RH ruang pengering telah mencapai sekitar 10% dengan suhu 27°C. Tetapi, pada saat pintu dibuka untuk mengeluarkan kapur api persiapan dan memasukkan lada serta kapur api yang baru, RH ruang pengering langsung naik secara mendadak menjadi sekitar 65%, sama dengan RH lingkungan di luar lemari pengering.
RH yang menjadi tinggi ini menyebabkan tahap
persiapan lemari pengering absopsi menjadi tidak bermanfaat bagi proses perigeringan lada. Karena itu, pada proses pengeringan selanjutnya, tidak dilakukan tahap persiapan lemari pengering absorpsi, dan lemari langsung diisi lada dan kapur api untuk proses pengeringan. RH dan suhu awal proses pengeringan diukur sesaat setelah lada dan kapur api dimasukkan ke dalam lerrlari pengering absorpsi.
Pada praktek di tingkat pengguna, lemari
pengering absorpsi juga tidak perlu diturunkan RH-nya terlebih dahulu. B. PROF'IL SUHU SELAMA PENGERINGAN ABSORPSI Berlangsungnya proses pengeringan absorpsi sangat erat kaitannya denga~nsuhu yang dialami oleh bahan yang dikeringkan dan suhu kapur api yang berfurlgsi sebagai absorben. Kapur api yang mengandung CaO dalam jumlah tinggi, saat bereaksi dengan air dari lada akan menghasilkan energi panas. Energi panas yang menyebabkan peningkatan suhu pengeringan, akan berperan juga dalam proses pengeringan lada lebih lanjut. Profil suhu di dalam lemari pengering absorpsi (suhu ruang pengering absorpsi) yang diasumsikan sama dengan suhu lada, serta profil suhu kapur api selama pengeringan perlu diamati, sehingga dapat dilihat peranannya selama proses pengeringan. 1. Profil Suhu Ruang Pengering Absorpsi
Profil suhu ruang pengering absorpsi pada berbagai tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R) dapat dilihat pada Gambar 14 dengan data selengkapnya pada Tabel 4. Secara umum, suhu ruang pengering absorpsi berada pada kisaran suhu kamar yaitu antara 26.5OC sarnpai 30.5"C. Proses pengeringan absorpsi berarti terjadi pada kondisi suhu yang relatif rendah, tetapi mampu mengeringkan bahan sampai kadar
Tabel 4. Data suhu ruang, suhu kapur api dan RH proses pengeringan absorpsi pada berbagai tingkat R
Keterangan :
t = Waktu pengeringan T r.p.a = Suhu ruang pengering absorpsi
T k.a. = Suhu kapur api RH r.p.a = RH ruang pengering absorpsi
air yang diinginkan. Suhu proses pengeringan absorpsi tersebut hampir sania dengan suhu pengeringan absorpsi pada pengeringan fillet ikan der~gansuhu rata-rata 29°C (Asikin 1998). Walaupun kecenderungannya tidalk terlalu nyata, secara umum suhu ruang pengering absorpsi pada awal per~geringansedikit meningkat dan kemudian semakin menurun dan konstan pacla akhir proses pengeringan. Pada awal proses pengeringan tejadi peningkatan suhu akibat proses reaksi CaO pada kapur api dengan air, yang selanjutnya berpengaruh pada terjadinya peningkatan suhu ruang pengering absorpsi. Dengan selesainya proses pengeringan, tidak terjadi lagi reaksi antara CaO dengan air, sehingga suhu ruang pengering juga menurun dan konstan menjadi sekitar 27OC.
0
24
48
72
96
120
144
168
192
Waktu Pengeringan (jam) Garnbar 14. Profil suhu ruang pengering absorpsi selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
2. Pro'filSuhu Kapur Api CaO pada kapur api akan mengalami reaksi eksoterrnik dengan uap air yang terkandung pada udara di dalam lemari pengering absorpsi, Lada segar yang kadar
sehingga RH lemari pengering menjadi rendah.
airrlya tinggi akan berada pada lingkungan RH yang rendah, sehingga air di dalam lada akan menguap untuk mencapai kondisi kesetimbangan dengan RH ruang pengering tersebut. Uap air dari lada akan bereaksi dengan CaO pada kapur api menghasilkan energi panas yang ditunjukkan oleh perlingkatan suhu kapur api tersebut. Proses pengeringan dengan menggunakan tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R) yang berbeda-beda menghasilkan profil suhu kapur api (Gambar 15) yang erat hubungannya dengan profil suhu ruang pengering absorpsi (Gambar 14), dengan data selengkapnya pada Tabel 4. Secara umum, kapur api mula-mula akan mengalami peningkatan suhu dari suhu awalnya, kemudian sejalan dengan proses pengeringan, suhu kapur api semakin menurun dan akhimya konstan. Suhu kapur api yang dicapai pada akhir pengeringan adalah sekitar 2g°C.
0
24
48
72
96
120
144
168
Waktu Pengeringan (jam) Gambar 15. Profil suhu kapur api selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
Kapur api akan mengalami kenaikan suhu pada sekitar 12 jam awal proses pengeringan absorpsi. Terjadinya kenaikan suhu kapur api tersebut disebabkan oleh banyaknya energi panas yang dilepaskan oleh CaO pada kapur api, sebagai akibat reaksinya dengan uap air. Pada awal pengeringan, lada segar yang kadar airnya tinggi akan rnengeiuarkan aimya secara cepat. Selain karena jumlah air yang dikandung lada masih banyak, air yang mulamulla lepas tersebut adalah air bebas yang mudah dilepaskan oleh lada. Menurut Chang dan Tikkanen (1988), apabila CaO bereaksi dengan air dalam kondisi likuid, akan terbentuk Ca(OH)2 sambil melepaskan entalpi sebesar 64.8 kJ, yang secara teoritis dapat menyebabkan peningkatan suhu sebesar 700°C.
Tetapi pada proses pengeringan absorpsi, terjadi sistem
pelepasan energi yang berbeda. Air bereaksi dengan CaO bukan dalam ber~tuklikuid, tetapi dalam bentuk gas atau uap air. Kondisi air yang berbeda ini diduga menyebabkan profil pelepasan energi panas yang berbeda. Bila CaO bereaksi dengan air dalam bentuk likuid, suhu kapur api akarn meningkat secara tiba-tiba, dan kapur api akan segera pecah serta har~cur. Hal itu terjadi karena air direaksikan dalam jumlah yang berlebih. Reaksi pembentukan Ca(OH)2yang terjadi secara intensif dengan pelepasan energi yang tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu yang juga tinggi. Setlangkan pada proses reaksi CaO dengan uap air, reaksi yang sarna diduga berjalan lebih larnbat karena pereaksi air bereaksi secara perlahanlahan dalam bentuk uap. Energi yang dilepaskan pada reaksi CaO dengan uap air tidak mampu meningkatkan suhu kapur api maupun suhu ruang per~geringabsorpsi secara drastis. Selain karena bentuk air yang berbeda, pada saat yang bersamaan tejadi reaksi endotermik yang membutuhkan energi, yaitu reaksi perubahan air dari bentuk likuid pada lada menjadi air dalam bentuk gas yang selilnjutnya dilepaskan ke udara lemari 'pengering. Tejadinya proses reaksi encloterrnik dan reaksi eksotermik pada saat yang bersamaan terjadi pada kor~disi hampir setimbang.
Hal tersebut rnenyebabkan energi yang
dilepaskan oleh reaksi CaO dengan air tidak dapat menyebabkan
pe~iingkatansuhu kapur dan suhu ruang pengering yang terlalu tinggi, sehingga proses pengeringan absorpsi terjadi pada suhu yang rendah. Sejalan dengan proses pengeringan absorp'si, air yang terkandung di dalam lada menjadi semakin berkurang.
Air yang belum keluar selain
jurr~lahnyatelah menurun, juga memiliki energi ikatan yang lebih tinggi, karena air berada dalam kondisi keterikatan primer, sekunder, dan tersier. Kal-ena air yang dapat bereaksi dengan kapur api jumlahnya menjadi lebih secfikit, suhu kapur api juga mengalami penurunan dan akhimya konstan. 3. Perlgaruh R terhadap Profil Suhu Ruang Pengering dan Suhu Kapur Api
Pada percobaan pengeringan dengan tingkat perbandingan berat CaO tertiadap berat lada (R) yang berbeda, secara umum profil suhu yang dialami ruaiig pengering absorpsi relatif sama (Gambar 14 dan Tabel 4) yaitu hanya berlqisar pada suhu 29°C. Kondisi suhu ruang pengering absorpsi yang relatif konstan ini terjadi karena kapur api juga tidak mengalami peningkatan suhu yang terialu tinggi yaitu hanya mencapai suhu sekitar 35°C. Berbeda dengan suhu kapur api, walaupun perbedaannya tidak terlalu nyata, tetapi terdapat kecenderungan bahwa R mempengaruhi profil suhu kapur api (Gambar 16). Pada tingkat R yang rendah seperti pada R 0.5, jumlah CaO yang tersedia juga sedikit. Pada saat lada mengalami penguapan air, jumlah air yang dapat diserap oleh kapur api (yang jumlahnya sedikit tersebut) menjadi lebi~nbesar perbandingannya. Air yang tersedia di sekitar kapur api jumlahnya banyak, sehingga reaksi antara CaO dengan uap air menjadi lebih intensif dan suhu kapur api meningkat dengan cepat. Tetapi karena jumlah kapur apinya terbatas, uap air yang dilepaskan tidak dapat lagi bereaksi dengan CaO sehingga suhunya pun tidak lagi mengalami peningkatan dan suhu kapur api segera menurun dan konstan. Sebaliknya pada tingkat R yang tinggi seperti pada R 20, uap air yang dikeluarkan lada perbandingannya akan menjadi lebih sedikit dibandingkan kapl~rapi. Uap air yang dikeluarkan lada dapat ditangkap terus oleh CaO sehingga konsentrasi uap air dalam lemari pengering absorpsi tidak terlalu tinggi, dan peningkatan suhu yang dialami kapur api juga tidak begitu drastis
Pengering R
+Suhu Kapur
1
I
+Suhu ~uangl Pengering
1
= 0.5 -+ Suhu Kapur api R = 0.5
I
0
24
48
72
96
120
I
144
Waktu Pengeringan (jam)
Garnbar 16. Profil suhu ruang pengering absorpsi dan suhu kapur api selama pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 0.5dan R 20 terjadi. Selain suhunya tidak setinggi pada tingkat R rendah, penurunan suhu kapur api juga terjadi lebih lama karena selama proses pengeringan tersebut masih tersedia kapur api yang dapat terus bereaksi dengan air yang dilepaskan oleh lada. Suhu ruang pengering absorpsi dan suhu kapur api tidak dipengaruhi oleh fluktuasi suhu lingkungan di luar lemari pengering absorpsi. Peningkatan suhu kapur api terjadi hanya karena reaksi antara uap air dengan CaO pada k a p ~api. ~ r Suhu lingkungan yang berkisar antara 28°C sampai 30.3"Cdapat dianiggap konstan, dan tidak berpengaruh pada perubahan suhu yang terjadi di dalam lemari pengering absorpsi.
C. PROFIL KELEMBABAN RELATIF SELAMA PENGERINGAN ABSORPSI Kelembaban relatif atau RH merupakan rasio antara tekanan parsial air di udara terhadap tekanan uap air jenuh, yang dinyatakan dalam nilai persen (Toledo 1991). Bila suatu bahan yang mengandung air disirnpan pada suatu ruangan, air dalam bahan akan berkesetimbangan dengan RH udara lingkungan, sehingga akhirnya tercapai kadar air kesetimbangan. Pengeringan absorpsi yang tidak menggunakan suhu tinggi mendasarkan pro:;es pengeringannya pada penyetimbangan RH. Nilai RH ruang pengering yang diperoleh dari hasil pengamatan merupakan hasil penyetimbangan secara terus menerus antara kapur api yang menyerap uap air dari udara ruang pengering, dengan uap air yang dikeluarkan oleh bahan yang mengalami pengeringan. Pada kasus pengeringan lada secara absorpsi, kapur api rnenyerap uap air tlari ruang pengering absorpsi, sehingga RH ruang pengering menjadi rendah. Kansna tekanan uap air lada menjadi lebih besar dari tekanan uap air ruang pengering, lada akan menuju kesetimbangan dengan RH ruang pengering melalui pengeluaran air yang dikandungnya. Uap air yang keluar dari lada secara terus menerus diserap oleh kapur api, dan bila kapur api yang tersedia cukup banyak untuk selalu menangkap uap air yang dikeluarkan lada, lama kelamaan lada menjadi kering.
1. Kalibrasi Higrometer Alat ukur kelembaban relatif (higrometer atau RH-meter) seringkali kurang sensitif dan tidak akurat pengukurannya pada RH yang sangat rendah dan RH yang sangat tinggi.
Untuk itu higrometer yang digunakan untuk
rr~engamatiproses pengeringan absorpsi perlu dikalibrasi terlebih dahulu. Higrometer yang digunakan rnerupakan higrometer rambut sintetik yang d kalibrasi dengan menyimpannya selama beberapa jam pada desikator berisi larutan garam jenuh yang memiliki RH tertentu.
Hasil pengukuran higrometer dalam desikator berisi larutan garam jenuh dapat dilihat pada Tabel 5. Dari tabel tersebut kemudian dibuat plot
-
hubungan antara RH bacaan higrometer dengan RH yang sebenamya, sehingga diperoleh kurva standar untuk kalibrasi RH seperti dapat dilihat pada Garnbar 17. Kurva standar tersebut memiliki persamaan garis y = - 0.0102?
+ 2.4765~- 46.93, dengan x adalah RH bacaan higrometer (%) dan y adalah RH yang sebenamya (%), dengan nilai r = 0.9954.
Dari kurva standar
ters~ebut,hasil pembacaan RH dengan higrometer yang digunakan tersebut dap,at dikonversi ke nilai RH yang sebenamya. Tabel 5. Kelembaban relatif higrometer yang dikalibrasi dengan larutan garam jenuh pada suhu 28OC
No
Jenis Larutan Garam Jenuh
RH Larutan Garam Jenuh* (%)
RH Bacaan Higrometer (%)
'I
LiCl
11.2
28.2
2! II 4
CHjCOOK
22.2
32
MgCl2 Nal
32.5
37.3
36.8
40.4
?i
K2CO3
43.7
42.3
Ei
51.9
51.2
7'
Mg(N03)2 NaBr
El
NaN02
El
KI
10
NaN03
11
NaCl
1:2
KBr
1:3
KC1
56.8 63.7 68.2 73 75.2 80.2 83.8
53 58.6 63.8 67.3 70.5 74 79
14
K2Ca4 BaCI2
86.3
81
89.7
84
1!3
91.2 88 It3 KNO3 96.7 1'7 91.4 * Hasil interpolasigrafik dari Syarief dan Halid (1991) dan Hall (1981)
0
I 0
I
I
,
I
I
I
,
8
I
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I 100
RH Bacaan Higrometer (O/q) Gambar 17. Kurva kalibrasi RH pada higrometer rambut sintetik Der Grune Punkt, Jerrnan yang dikalibasi dengan larutan garam jenuh 2. Prclfil RH Selama Pengeringan Absorpsi
Pengamatan RH pada proses pengeringan absorpsi diperlukan untuk menlahami bagaimana proses pengeringan absorpsi sebenamya terjadi. Pada proses pengeringan lain seperti pengeringan dengan oven yang menggunakan suhu tinggi, diasumsikan RH dan suhu proses pengeringan nilai~iyakonstan. Hasil pengamatan RH selama proses pengeringan absorpsi lada dapat dilihat pada Gambar 18 dengan data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Profil RH yang ditunjukkan pada percobaan pengeringan dengan tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R) yang bekleda tersebut merupakan hasil penyetimbangan antara uap air yang diserap oleh kapur api, dengan uap air yang secara terus menerus dilepaskan oleh lada.
Waktu Pengeringan (jam) Gambar 18. Profil kelembaban relatif ruang pengering absorpsi selama pengeringan dengan berbagai tingkat R RH awal proses pengeringan absorpsi relatif sama yaitu sekitar 65%, sama dengan RH lingkungan luar lemari pengering selama pengeringan. Nilai RH ini diperoleh sesaat setelah lada dan kapur api dimasukkan ke dalam lemari pengering absorpsi.
Dugaan semula bahwa RH ruang pengering
absorpsi selalu rendah dan konstan, sehingga memungkinkan air dari lada terus menerus dilepaskan, temyata tidak terbukti. Dan Gambar 18 terlihat bahwa nilai RH ruang pengering absorpsi selama proses pengeringan nilainya selalu berubah, dan profil perubahannya sangat dipengaruhi oleh tingkat (R) yang digunakan. Proses pengeringan absorpsi tidak terjadi pada RH yang konstan, sehingga kurang sesuai untuk dianalisis dengan model pengeringan lapis tipis yang berasumsi bahwa kontlisi pengeringan terjadi pada RH dan suhu yang konstan. Pada percobaan pengeringan lada dengan berbagai tingkat R, terdapat dua kelompok hasil pengeringan, yaitu pada R 0.5 dan R 1 lada tidak berhasil dikeringkan mencapai kadar air aman, dan pada R 2, 5, dan 20, lada bert-~asil dikeringkan sampai kadar air sekitar 6% bk.
3. Perigaruh R terhadap Profil RH Selama Pengeringan Absorpsi
Kapur api sejumlah tertentu yang disimpan dengan dan tanpa lada yang dikeringkan, menunjukkan profil penurunan RH yang berbeda.
Hal
tersebut dibuktikan dengan percobaan penyimpanan kapur api pada lemari pengering absorpsi yang kosong.
Dengan jumlah kapur api yang sama
dengan yang digunakan pada R 2 yaitu sebanyak 518 g, penyimpanan kapur api selama 7 hari menghasilkan penurunan RH yang jauh lebih cepat dari pada bila terdapat lada yang dikeringkan. Dalam waktu 24 jam, RH ruang pengering absorpsi telah turun menjadi 18%, sedangkan bila terdapat lada dengan R 2, selama 24 jam hanya terjadi penurunan RH menjadi 34%. Secara umum, semakin banyak kapur api yang tersedia, dan semakin besar perbandingan CaO dengan berat air yang akan diuapkan, penurunan RH aka11semakin cepat terjadi. Pada R 0.5 dan 1 terjadi profil RH yang hampir serupa, dimana RH mula-mula turun sampai RH tertentu, kemudian setelah mencapai titik terendah RH-nya akan naik kembali. Kenaikan RH terus terjadi sampai akhimya mendekati RH 100%. Profil RH pada R 0.5 dan 1 tersebut terjadi karma jumlah kapur api yang digunakan tidak mencukupi untuk menyerap atau bereaksi dengan air yang dilepaskan lada. Pada awal pengeringan dengan R 0.5 dan 1, RH ruang pengering mertgalami penurunan dibandingkan RH awal.
Kemampuan pengikatan air
oleh kapur api yang tersedia masih lebih besar dari pada uap air di dalam lemzari pengering absorpsi dan uap air yang dilepaskan lada. Tetapi ha1 tersebut tidak berlangsung terus karena pada saat tertentu kemampuan pengikatan air oleh kapur api menjadi berkurang. CaO sudah banyak yang bereaksi dengan uap air, dan kecepatan pengikatan uap air oleh kapur air semakin lama semakin lebih rendah dibandingkan uap air yang terus dilepaskan lada untuk berkesetimbangan dengan lingkungannya. Akibatnya RH ruang pengering mengalami peningkatan dan akhimya ruang pengering menjadi hampir jenuh oleh uap air yang dikeluarkan lada. Karena RH ruang pengering yang tinggi sementara lada belum mencapai kadar air aman, lada mengalami kebusukan dan ditumbuhi jamur.
Berbeda dengan pengeringan absorpsi dengan tingkat R 0.5 dan 1, pada R 5 dan 20 terjadi profil penurunan RH yang hampir serupa. RH ruang '
pengering absorpsi terus menurun selama proses pengeringan, sampai akhirnya mencapai RH yang sangat rendah yaitu 6.6% pada R 5 dan 0% pada
I=: 20. Pada awal pengeringan, penurunan RH terjadi dengan cepat, yang ditunjukkan dengan bentuk kurva yang curam. Selanjutnya penurunan RH terjadi lebih lambat dan akhirnya RH menjadi relatif konstan.
Terjadinya
fenomena tersebut erat kaitannya dengan kemampuan CaO dalam kapur api untuk bereaksi dengan uap air yang dilepaskan lada.
Uap air yang berada
bebas di ruang pengering absorpsi segera diikat oleh kapur api, sehingga RHnya segera menurun dalam waktu singkat. Tetapi bersamaan dengan itu lada juga mengeluarkan uap air menuju klesetimbangan. Penurunan RH selanjutnya tidak terjadi dengan drastis tetapi s~ssuaidengan kadar air yang dimiliki lada pada saat pengukuran. Penurunan RH terjadi semakin lambat karena uap air yang dikeluarkan lada juga semakin sedikit, sampai tercapai RH akhir pengeringan serendah mungkin. Pada R 2, walaupun RH-nya juga menurun selama pengeringan, tetapi pada akhir pengeringan terjadi sedikit peningkatan RH. RH akhir pada R 2 adalah sebesar 29.9%, lebih besar dari pada R 5 dan R 20. Hal tersebut terjadi karena kemampuan CaQ pada kapur api untuk bereaksi dengan uap air yang dimiliki kapur telah mendekati jenuh, sehingga lebih sulit untuk rnempertahankan RH agar terus menurun dan selalu rendah. Secara umum, dengan tingkat R yang semakin besar, kurva RH pada awal pengeringan bentuknya semakin curam, yang menunjukkan waktu ptmurunan RH yang lebih singkat. Karena jumlah CaO yang tersedia lebih banyak, maka uap air yang dilepaskan lada akan lebih mudah diserap. Altibatnya ruang pengering absorpsi mengandung lebih sedikit uap air bebas, dan RH ruang pengering merijadi lebih rendah.
RH minimum yang dapat
dicapai selama proses pengeringan juga semakin rendah dengan semakin bc?sarnyatingkat R yang digunakan, seperti dapat dilihat pada Tabel 5.
4. Per~garuhProfit RH terhadap Kinerja Proses Pengeringan Absorpsi Proses pengeringan pada dasamya merupakan proses penguapan air dari bahan yang akan dikeringkan menuju kadar air kesetimbangan. Proses pengeringan akan berhenti apabila telah tercapai kesetimbangan antara RH udal-a pengering dengan kadar air kesetimbangan (Me) bahan. Pada proses pengeringan dengan menggunakan R 0.5, 1, 2, 5, dan 20 dihasilkan profil penurunan RH dan nilai RH minimum pengeringan yang berbeda-beda seperti dapat dilihat pada Tabel 6.
Profil RH ruang pengering tersebut temyata
berpengaruh pada waktu pengeringan dan kadar air akhir lada yang dike~ringkan.Kadar air akhir ini belum mencapai kadar air kesetimbangan (Me) karena kondisi proses pengeringan dengan RH yang belum konstan, belum dapet mencapai ekuilibrium Tabel 6. RH minimum, waktu penyetimbangan, dan kadar air akhir lada, pada pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
h
Perbandingan CaO Lada (R)
RH Minimum (%)
Waktu untuk Mencapai Kadar Air Akhir (jam)
Kadar Air Akhir Lada (% bk)
0.5
58.4
137.5
98.1*
1
50.7
121.75
52*
2
29.9
184.5
6.57
5
6.6
144.5
6.31
-
20 0 139.75 * L
5.72
Berdasarkan Gambar 18 dan Tabel 6, secara umum dapat diketahui
bahvva dengan semakin besar tingkat R, RH ruang pengering absorpsi akan semiakin cepat mengalami penurunan dan mencapai RH minimum yang semiskin rendah. Akibatnya, driving force untuk mengeluarkan uap air dari lada akan semakin besar, sehingga kadar air akhir lada semakin rendah. Pada R 2, 5 dan 20, RH yang semakin cepat menurun akan mendorong semiakin cepat pula pengeiuaran air pada tada. Proses pengeringan berupa penyetimbangan RH dengan kadar air lada juga akan tejadi dalam waktu yangr semakin singkat.
D. PROSES PENGERINGAN LADA SECARA ABSORPSI Percobaan pengeringan lada. secara absorpsi dilakukan dengan menggunakan beberapa tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R).
13erat kapur api dinyatakan dalam berat CaO, yang dihitung dari hasil
pengulituran kadar CaO kapur api awal, sedangkan berat lada dihitung berdaaarkan berat lada segar hasil persiapan lada.
Pada penelitian ini
percotlaan pengeringan dilakukan pada 5 tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R) sebesar 0.5, 1, 2, 5 dan 20.
I.Profil Penurunan Kadar Air Lada Selama Pengeringan Absorpsi Proses pengeringan lada dipantau secara berkala untuk melihat terjadinya penurunan kadar air lada yang dikeringkan.
Hasil percobaan
pengeringan dan profil penurunan kadar air lada dengan tingkat R yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 19 dan Tabel 7.
0
24
48
72
96
120
14.4
168
192
Waktu Pengeringan (jam) Gambar 19. Profil penurunan kadar air lada (% bk) selama pengeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R
Tabel 7. Data pc igamatan kadar air lada (% bk) selama pengeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R
I Waktu II
Waktu /:em\ u a n n n j
KALada (% bk) R=1
Waktu
u a a n n l
KA Lada (% bk) R = 0.5
0 3 6 9 12 15 18
176.3 173.3 168.38 158.88 154.2 150.12 147.83
0 3 6 9 12 18 21 27 30 33 48 51 54 57 72 84 98.75 104.75 121.75 145.75 169.75
176.3 171.62 162.49 158.16 152.28 142.43 134.62 130.05 123.69 114.68 98.46 94.86 93.05 90.17 69.63 63.98 63.02 62.9 60.74 52 52
0 1.5 4.5 7.5 10.5 13.5 16.5 21 25.5 38.5 44.5 49.5 64.5 73.5 90.5 97.5 110.5 122.5 135.5 145.5 160.5
I
/:re\ u a n n n ~
KALada (% bk) R=2
Waktu
KALada (% bk) R=5
Waktu
/:em\ U a n n I I
/:re\ U a a a n I
KALada (% Sk) R=20
178.53 175.39 157.83 149.35 137.85 136.76 134.45 130.94 121.74 97.28 91.22 82.86 68.33 53.19 33.21 31.64 24.61 10.45 9.84 8.14 6.57
0 4 6.5 9.5 12.5 15.5 18.5 21.5 24.5 27.5 30.5 43 48.5 54.5 66.5 74 78 91 96.5 114.5 120.5 126.5 144.5
176.3 155.88 145.79 138.46 131.98 122.73 105.67 100.26 96.9 89.45 84.88 59.3 51.61 41.88 33.1 1 22.78 19.89 14.85 9.68 7.88 7.88 6.8 6.31
0 1.5 3.5 7.5 10.5 14 16.5 19.5 22.5 25.5 28.5 41.5 47.5 67 70.5 73.5 76.5 88.5 94.5 115.5 139.75
178.53 160.7 158.68 145.11 134.94 126.47 116.05 106.24 104.5 86.26 80.56 53.19 48.35 33.21 31.03 27.88 23.4 13.84 10.81 8.63 5.72
Gambar 19 menunjukkan bahwa dengan semakin lamanya proses pengeringan, kadar air lada akan semakin menurun. Penurunan kadar air ladla semula tejadi dengan cepat, namun semakin lama penurunannya sernakin lambat dan akhimya kadar air lada menjadi konstan. Kadar air akhir lada yang konstan atau yang disebut kadar air kesetimbangan (M,),
tejadi
patla saat lada tidak dapat lagi melepaskan kandungan aimya untuk dapat bereaksi dengan CaO di dalam kapur api. Bentuk kurva penurunan kadar air lad% selama proses pengeringan absorpsi (kurva pengeringan) tersebut sesuai dengan bentuk tipikal kurva pengeringan metode lainnya.
Kurva
pengeringan berbentuk asimtotik terhadap kadar air kesetimbangan. Percobaan pengeringan dengan 5 tingkat R menunjukkan kondisi penurunan kadar air lada yang berbeda.
Terdapat kecenderungan bahwa
tingltat R yang semakin tinggi menyebabkan penurunan kadar air lada terjadi semakin cepat, yang ditunjukkan oleh kemiringan kurva pengeringan yang semakin curam.
Hal ini berarti bahwa pada waktu yang sama, air yang
dikeluarkan dari lada pada proses pengeringan menjadi lebih banyak. Bila dibandingkan antara R 5 dengan R 20, kurva penurunan kadar air lada selama pengeringan tersebut hampir berhimpit.
Hal tersebut
menl~njukkanbahwa pada R 20, kelebihan kapur sebanyak 4 kali lipat dibandingkan R 5 tidak berpengaruh terhadap terjadinya penurunan kadar air yang lebih besar. Karena itu jumlah kapur api yang digunakan untuk proses pengeringan sebaiknya dibuat optimal dan tidak terlalu berlebihan.
2. Lamin Pengeringan Untuk mencapai kadar air standar SNI 01 - 0005
- 1995, lada harus
memiliki kadar air yang lebih rendah dari pada 12% basis basah (% bb) (BSN 1995). Pada kadar air ini, lada tahan terhadap serangan mikroba sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan dan kebusukan selama penyirnpanan. Dengan menggunakan perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R) yang berbeda, lama waktu yang dibutuhkan proses pengeringan absorpsi
untuk mencapai kadar air 12% bb juga berbeda-beda (Tabel 8).
Lama
pengeringan diketahui dengan menarik garis kadar air 12% bb yang setara
Tabel 8. Lama pengeringan lada dengan metode absorpsi untuk mencapai kadar air 12% bb pada berbagai tingkat R, dan lama pengeringan dengan metode penjemuran Metode Pengeringan
Lama untuk mencapai kadar air 12% bb (jam)
(hari)
119.5
5
Absorpsi dengan R tertentu
R2
I
Penjemuran*
I- *
I
64
I
1 (8 jam menjemur / hari) 1
8**
Sumber : Halim 1995 " Penjemuran selama 8 hari dengan rata-rata waktu penjemuran 8 jam 1 hari
I I
dengan kadar air 13.6% bk, kemudian dari titik potong antara kurva penurunan kadar air dengan batas kadar air 13.6% bk, dapat diketahui lama pengeringannya pada absis waktu pengeringan. Pada R 0.5 dan 1, lada tidak berhasil dikeringkan sampai kadar air 12% bb. Pada R 0.5, lama pengeringan 137.5 jam (5.8 hari) hanya berhasil menurunkan kadar air lada menjadi 49.52% bb, sedangkan pada R 1, lama pengeringan 169.75 jam (7.1 hari) hanya mampu menurunkan kadar air lada men.jadi 34.20% bb. Pada kadar air tersebut, lada mengalami kebusukan dan banyak ditumbuhi jamur. Pada R 2, R 5, dan R 20, lada berhasil dikeringkan sampai kadar air 12% bb, bahkan mencapai kadar air akhir berturut-turut sebesar 6.17% bb, 5.94% bb dan 5.41% bb. Untuk mencapai kadar air aman 12% bb, lama waktu yang dibutuhkan adalah sekitar 4 - 5 hari. Lama pengeringan tersebut mer~ipakanwaktu yang dibutuhkan untuk proses penyetimbangan terus menerus antara CaO yang bereaksi dengan uap air yang dilepaskan lada. Lada yang aimya terus menerus dilepaskan untuk bereaksi dengan kapur api, akhirnya menjadi kering. Dari Tabel 8 terlihat bahwa dengan semakin tinggi tingkat perbandingan berat CaO terhadap berat lada (R), waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan lada sampai kadar air aman semakin singkat.
Tingkat R 5 dapat mengurangi lama pengeringan lebih dari satu hari dibandingkan tingkat R 2, sedangkan antara R 5 dan R 20 hanya terjadi pen~guranganwaktir pengeringan beberapa jam saja. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengeringan absorpsi menggunakan kapur api yang berlebih, tidak berpengaruh banyak terhadap lama pengeringan. Karena itu, kapur api sebaiknya digunakan dalam jumlah yang optimal dan tidak berlebih. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat lama proses pengeringan metode absorpsi dan proses pengeringan metode penjemuran untuk mencapai kadar 12?h bb. Metode penjemuran nembutuhkan waktu sekitar 8 hari tergantung dari kondisi cuaca dan intensitas sinar matahari. Lada yang dijemur hanya mengalami proses pengeringan yang intensif pada siang hari sehingga waktu yang dibutuhkan menjadi lebih panjang. Percobaan pengeringan lada hitam secara absorpsi yang dilakukan oleh Halim (1995), memerlukan waktu pengeringan 8 hari untuk mencapai kadar air 12% bb.
Pengeringan absorpsi tersebut dilakukan dengan
men~ggunakanperbandingan berat kapur api terhadap berat lada 2.2 kali, yang diletakkan pada 2 rak absorben. Waktu pengeringan tersebut relatif lebih lama dari yang dihasilkan penelitian ini karena kondisi penyimpanan lada yang berbeda.
Pada penelitian Halim (1995), lada segar yang akan
dikeringkan menjadi lada hitam jumlahnya lebih banyak yaitu sekitar 1000 g , dan lada ditumpuk dengan ketebalan tertentu. Sedangkan pada penelitian ini berat lada hanya sekitar 230 g, yang berupa satu lapis lada pada rak bahan.
3. Penlgaruh R terhadap Kapasitas Pengeringan Lada dan Sifat Lada Kering Percobaan pengeringan dengan lima tingkat perbandingan berat CaO terhi3dap berat lada (R) menghasilkan kadar air akhir dan kondisi lada yang berbeda-beda (Tabel 9). Pada tingkat R 2, R 5, dan R 20 lada dapat kering sampai kadar air lebih kecil dari 12% bb, sedangkan pada tingkat R 0.5 dan R 1, lada tidak berhasil menjadi kering, bahkan mengalami kebusukan. Hasil penelitian Halim (1995) pada pengeringan absorpsi lada juga menunjukkan bahtva perbandingan 2000 g kapur api terhadap 900 g lada berhasil mengeringkan lada sampai kadar air 12% bb.
Tabel 9. Kadar air dan kondisi lada pada akhir proses pengeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R
r
I Kadar Air Akhir (?o) %1 Kondisi Lada pada Akhir Proses Pengeringan Absorpsi
R
Basis Kering
Basis Basah
0.5
98.10
49.52
sebagian besar berwama hitam, sedikit keriput, tekstur daging lunak, ditumbuhi jamur berwama putih di beberapa bagian, berbau busuk menyengat
52.00
34.20
sebagian besar berwama hitam, keriput, tekstur daging agar lunak, ditumbuhi jamur berwama putih di beberapa bagian, sedikit berbau busuk
--
1
I* I
Fa
6-57
I
-
6.17
1
berwama coklat hitam kehijauan, kering dan keriput, aroma khas lada hitam
6.31
5.94
sama
5.72
5.41
sama
Kebusukan lada ditandai dengan wama lada yang menjadi hitam dan tekstumya lunak dan basah, serta mengalami pertumbuhan jamur benivama putih di beberapa bagian. Pada saat dikeluarkan dari lemari pengering, lada
R 0.5 dan R 1 juga mengeluarkan bau busuk. Pada tingkat R 0.5 dan R 1 di akhir pengeringan, diperkirakan seluruh Ca8 yang terkandung di dalam kapur api telah semuanya bereaksi dengan air. Karena kandungan air lada lebih tinggi dari pada air yang dapat bereaksi derlgan CaO, pada lada masih terkandung kadar air yang tinggi, yang mengakibatkan terjadinya kebusukan pada lada. Dari kenyataan tersebut dapat diketahui bahwa proses pengeringan abaorpsi lada membutuhkan jumlah kapur api tertentu untuk proses pengeringannya. Apabila jumlah kapur api yang digunakan kurang dari juw~lahair yang harus dikeluarkan dari lada, lada tidak bisa kering dan bahkan mengalami kebusukan.
Perbandingan yang telah mencukupi untuk
mengeringkan'lada adalah pada tingkat R 2.
Pada lada yang berhasil dikeringkan secara absorpsi, dihasilkan lada hitam berwama coklat hitam kehijauan, dengan tekstur lada yang keriput, dan beraroma khas lada hitam. Wama lada hitam tersebut agak berbeda dari lada' hitam yang dikeringkan dengan penjemuran atau dikeringkan dengan oven. Wa~nalada hitamnya tidak hitam coklat sempurna, tetapi masih nampak adanya wama kuning kehijauan sebagai wama asli dari lada segamya. Perl~edaanwama tersebut tejadi karena pada proses pengeringan absorpsi tidak dilibatkan sinar matahari yang bersifat mendegradasi komponen wama klor~~fil pada lada segar, dan suhu pengeringannya relatif rendah. Menurut Fellows (1992),
proses
pengeringan
merubah sifat
pennukaan bahan sehingga merubah pantulan cahaya dan wamanya. Pen~bahankimiawi pada pigmen klorofil dan karotenoid disebabkan oleh panas dan reaksi oksidasi selama pengeringan.
Secara umum, waktu
pengeringan yang lebih lama dan suhu pengeringan yang lebih tinggi akan merlyebabkan kehilangan pigmen yang lebih besar. Aktivitas enzim pada reakisi oksidasi menyebabkan pencoklatan selama pengeringan bahan. Pada R 2, R 5 dan R 20, dicapai kadar air akhir pengeringan berturutturut sebesar 6.57% bk, 6.31% bk, dan 5.72% bk. Walaupun perbedaannya tidak terlalu besar, terjadi kecendemngan bahwa tingkat R yang semakin beser dapat menghasilkan kadar air akhir pengeringan yang semakin rendah. Perbedaan kadar air antara R 2, R 5 dan R 20 yang tidak terlalu besar, menunjukkan bahwa penambahan absorben kapur api melebihi R 2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap penurunan kadar air lada. Dengan semakin renclahnya kadar air pada lada, air yang tersisa adalah air terikat yang memerlukan energi yang lebih tinggi untuk melepaskannya. Penambahan absorben tidak mampu untuk melepaskan air terikat tersebut, sehingga untuk mencapai kadar air aman, penggunaan tingkat R minimal 2 telah mencukupi. E. ISOTEI3MI SORPSI DAN ANALISIS AIR TERIKAT PADA LADA
1:sotermi sorpsi air menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan RH kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air pada
suhu tertentu (Labuza 1968). Kurva isotermi sarpsi air suatu bahan merupakan
gambaran dari keterikatan air di dalam bahan tersebut. Di dalam bahan air terdapat dalam bentuk air bebas dan air terikat. 1. Kadar Air Kesetimbangan Lada
Untuk melakukan analisis pengeringan dan membuat kurva isoterrni sorpsi bahan, perlu diketahui nilai kadar air kesetimbangan bahan tersebut. Kadar air kesetimbangan adalah kadar air pada tekanan uap air yang setimbang dengan lingkungannya (Heldman dan Singh 1981). Konsep kadar air kesetimbangan ini penting di dalam menentukan batas pengeringan (Brooker et a/. 1982). Kadar air kesetimbangan lada diperoleh dengan menyimpan lada pada ruang dengan RH tertentu di dalam desikator berisi larutan garam jenuh, sanipai beratnya konstan.
Kadar air akhir lada merupakan kadar air
kesetimbangannya. Bila menggunakan lada utuh, pada kondisi RH tinggi terjadi pertumbuhan jamur dan lada menjadi busuk. sebelumnya lada dihaluskan terlebih dahulu agar struktur
Oleh karena itu lada utuh yang
berlapis-lapis tidak mempengaruhi penyerapan dan pelepasan air yang dialami lada selama penyetimbangan. Kadar air kesetimbangan dapat diperoleh secara absorpsi maupun desorpsi. Proses absorpsi dimulai dari bahan yang kering berupa lada bubuk hitam hasii pengeringan dengan alat pengering absorpsi, sedangkan proses desorpsi dimulai dari bahan yang basah, berupa lada hitam bubuk yang dibasahi sejumlah air secara merata. Data kadar air kesetimbangan absorpsi dan desorpsi lada pada suhu 28°C dan berbagai RH disajikan pada Tabel 10. 2. Kurta lsotermi Sorpsi Lada
Dari data pada Tabel 10 dapat dibuat kurva isoterrni sorpsi lada baik secara absorpsi maupun desorpsi, seperti dapat dilihat pada Gambar 20. Kunra isotermi sorpsi merupakan kurva hubungan antara kelembaban relatif ruang penyimpan (RH) atau aktivitas air lada (a,,)
dengan kadar air basis
kerir~gyang berkesetimbangan dengannya. Bentuk kurva isotermi sorpsi lada adalah bentuk sigmoidal yang terdiri dari 3 bagian, dan merupakan bentuk kurva yang tipikal pada produk pangan.
'Tabel 10. Kadar air kesetimbangan lada hitam bubuk secara absorpsi dan desorpsi pada suhu 28°C pada berbagai RH, dan hasil ekstrapolasi visual pada RH 100%
Kelembaban Relatif, RH (%)
Gambar 20. Kurva isoterrni absorpsi desorpsi lada hitam bubuk dengan ekstrapolasi visual pada RH 100%
Menurut Aguilera dan Stanley (1990), bentuk kurva isotermi sorpsi sig~moidaladalah akibat dari beberapa mekanisme interaksi dasar pada ikatan air.
Kurva isotermi sorpsi yang diperoleh baik secara absorpsi maupun
deaorpsi posisinya behimpitan, dan ha1 ini menunjukkan bahwa pada lada hitam bubuk tidak terjadi fenomena histeresis yang nyata. Dengan melihat kurva isotermi sorpsi lada, apabila RH rata-rata di daerah pertanian lada adalah 80%, maka kadar air kesetimbangan desorpsinya adalah sekitar 15% bk yang setara dengan 13% bb.
Berarti
proses penjemuran dan penyimpanan lada di tingkat petani dapat mencapai kadar air 13% bb. Bila dikaitkan dengan standar mutu lada hitam (SNI 01 00015 - 1995), kadar air lada 13% bb telah terrnasuk mutu II (FAQ).
Air Terikat pada Lada Secara umum air pada bahan pangan berupa air bebas dan air terikat. Meflurut Van den Berg dan Bruin (1981) terdapat tiga fraksi air terikat pada bahan kering, yaitu air terikat primer, air terikat sekunder, dan air terikat tersier. Fraltsi-fraksi air tersebut menentukan terjadinya proses pengeringan dan laju pengeringan yang dialami bahan. Fraksi air yang terikat kuat akan lebih sulit unti~k dikeluarkan dari bahan pada saat pengeringan, sehingga laju pengeringannya akan menjadi lebih lambat. Dan kurva isotermi sorpsi lada dapat dihitung nilai kadar air yang terikat primer, sekunder dan tersier pada lada.
Selanjutnya dapat diketahui
bagaimana pengaruh tingkat keterikatan air pada lada tersebut terhadap proses pengeringan absorpsi yang dialami lada.
a. Aiir terikat primer Air terikat primer adalah fraksi air yang terikat sangat kuat, merupakan adsorpsi air yang bersifat satu lapis molekul air atau monolayer (Van den Berg dan Bruin 1981). Air terikat primer dapat ditentukan dari kurva isoterrni sorpsi dengan model matematika isotermi Brunauer-EmmetTeller (BET), yang menurut Rizvi (1995) cukup baik ketepatannya untuk menduga kadar air optimum selama pengeringan dan penyimpanan. Persamaan BET (Labuza, 1984) adalah :
tlimana M adalah kadar air (% bk) pada aktivitas air a, dan suhu T, C adalah konstanta, dan Mp adalah kapasitas air terikat primer (% bk). Perhitungan kapasitas air terikat primer menggunakan lima angka pengamatan pada RH rendah, yaitu RH 11.2% sampai RH 51.9% (Tabel 'II), karena persamaan BET hanya tepat digunakan pada RH rendah (Labuza 1984). Plot antara a, dengan nilai a, / ((I
- a,)M)
menghasilkan
persamaan garis lunrs dengan titik potong pada ordinat, a, dan faktor kemiringan, b (Gambar 21). Dari hasil perhitungan pada kurva isotermi absorpsi lada diperoleh persamaan y, = 0.050 + 0 . 1 8 1 ~(r = 0.923), sedangkan untuk isotermi clesorpsi diperoleh persamaan yd = 0.042 + 0.188~(r = 0.960). Dengan n~elakukansubsitusi pada persamaan garis lurus tersebut, dapat diketahui nilai konstanta C dan kapasitas air terikat primer, Mp. Dengan mempiotkan nilai kapasitas air terikat primer (M,) absorpsi dan desorpsi pada kurva isotermi sorpsi lada hitam bubuk, serta menarik garis
menuju absis ,a,
akan diperoleh nilai aktivitas air
(.), berkesetimbangan dengan nilai Mp a
yang
Dari hasil perhitungan dapat
Tabel 11. Perhitungan air terikat primer pada lada hitam bubuk dengan model BET lsotermi
Absorpsi
IDesorpsi
a, 0.112 0.222 0.325 0.368 0.437 0.519 0.112 0.222 0.325 0.368
-
M (% bk) a, /(I )a, 1.61 3.27 5.02 5.05 5.75 7.28 1.82 3.66 4.98 5.02
0.078 0.086 0.096 0.116 0.134 0.148 0.069 0.077 0.096 0.117 0.122 0.144
M Parameter Model BET a = 0.050 b = 0.181 r = 0.923 C = 4.608 M, = 4.32% bk ,a = 0.28 a = 0.042 b = 0.188 r = 0.960 C = 5.470 Mp = 4.34% bk ,a = 0.28
Aktivitas air, a w Gambar 21. Plot isotermi BET dari kurva isotermi absorpsi dan desorpsi lada hitam bubuk diketahui kapasitas air terikat primer lada hitam bubuk absorpsi sebesar 4.32% bk yang berkesetimbangan dengan ,a
0.28, dan kapasitas air terikat
primer lada hitam bubuk desorpsi sebesar 4.34% bk yang berkesetimbangan de~gan ,a
0.28.
b. Air terikat sekunder
Air terikat sekunder merupakan fraksi air terikat yang berada di atas lapisan air terikat primer, yang membentuk lapisan multilayer (Rockland 1939). Air terikat sekunder kurang kuat terikat pada bahan dibandingkan air terikat primer (Van den Berg dan Bruin 1981). Untuk menentukan kapasitas air terikat sekunder yaitu jumlah air anlara titik air terikat sekunder ke air terikat tersier, dapat digunakan model analisis logaritma yang dikemukakan oleh Soekarto (1978). model matematika dengan analisis logaritma ini adalah :
Persamaan
dirnana m adalah kadar air (g air / g bahan kering) pada aktivitas air a ;,
b
adalah faktor kemiringan; dan u adalah titik potong pada ordinat. Menurut Soekarto (1978), dengan memplotkan data log (1
- )a,
terhadap m, dapat dihasilkan dua persamaan garis lurus yang berpotongan. Soekarto (1978) mengartikarl garis lurus pertama mewakili air terikat sekunder, sedangkan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier.
Titik
potong kedua garis itu adalah titik peralihan dari air terikat sekunder ke air terikat tersier yang merupakan batas atas atau kapasitas air terikat sekunder. Dari data isoterrni sorpsi lada hitam bubuk, nilai a, diubah bentuknya menjadi (1 - a),
dan diplotkan pada grafik semilog terhadap m. Dari plot
tetsebut (terutama pada a, yang lebih besar dari pada 0.5) akan diperoleh d~tagaris lurus yang berpotongan, yang selanjutnya dianalisis regresi linear. Jika garis lurus pertama diwakili persamaan :
-
log (1 )a,
= a1 + bl m ; .............................. (16)
dan garis lurus kedua diwakili persamaan : log (1 -)a ,
= a2+ b2m ; .............................. (17)
maka pada titik potong berlaku rumus :
dimana m, adalah kadar air pada titik potong (g air / g bahan kering). Bila satuan kadar air pada titik potong diubah menjadi % bk, akan diperoleh Ms yang merupakan kapasitas air terikat sekunder. Pada lada hitam bubuk absorpsi, dengan menggunakan 10 data pengukuran m dari 0.0505 sampai 0.1714 g air 1 g bahan kering, diperoleh persamaan garis lurus pertama, yaitu : log (1 -a,)
= 0.0236
-
4.6466 m
!Selanjutnya dengan menggunakan 5 data pengukuran dari 0.1714 sampai 0.4631 g air 1 g bahan kering, diperoleh persamaan garis lurus kedua, yaitu :
log (1 -a,)
= - 0.5148 - 1.5156 m
F'ada titik potong kedua persamaan tersebut, nilai m merupakan nilai m, clengan persamaan : 0.236 - 4.6466mS= - 0.5148
-
1.5156mS
sehingga dapat diketahui nilai m, lada secara absorpsi sebesar 0.1638 g air / g bahan kering atau M, sebesar 16.38% bk. Nilai Ms atau kapasitas air
terikat sekunder 16.38% bk ini berkesetimbangan dengan aktivitas air pada kapasitas air terikat sekunder )a(,
0.81.
Pada data isoterrni desorpsi lada hitam bubuk juga dilakukan perhitungan seperti pada data isotermi absorpsi.
Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12, dan diperoleh kapasitas air terikat sekunder lada hitam bubuk secara desorpsi sebesar 15.14% bk yang berkesetimbangan dengan,a , 0.81. Gambar 22 menunjukkan plot semilog (1
- )a,
terhadap m pada data absorpsi dan desorpsi lada hitam bubuk. Tabel 12. Perhitungan air terikat sekunder lada hitam bubuk dengan model analisis logaritma
m (g air 1 g bahan kering Abs
Des
0.0505 0.0575 0.0728 0.0816 0.0981 0.1137 0.1292 0.1354 0.1G00 0.1714 0.2430 0.3193 0.3739
0.0502
-
0.0636 0.0751 0.0863 0.0963 0.1058 0.1158 0.1280 0.1475 0.1675 0.2464 0.2903 0.3464
Hasil Perhitungan Absorpsi
Desorpsi
a1 = 0.0236 al = 0.0971 bi = -4.6466 b1 = -5.5287 r = 0.997 r = 0.992
m (g air Ig bahan kering) Gambar 22. Bentuk linier dari isoterrni sorpsi lada hitam bubuk, terdiri dari air terikat sekunder dan air terikat tersier c. Air terikat tersier Air terikat tersier merupakan fraksi air yang terikat lemah secara mekanik dalam jaringan matriks bahan.
Sifat-sifat air terikat tersier
mendekati sifat air bebas. (Van den Berg dan Bruin 1981), sehingga dapat diasumsikan bahwa air terikat tersier memiliki aktivitas air (a),
= 1 atau pada
kondisi RH 100%, dimana bahan berada pada kondisi yang jenuh oleh air. Model analisis logaritma menghasilkan kurva yang bersifat terbuka, sehingga tidak dapat digunakan untuk menentukan kapasitas air terikat tersier.
Untuk menentukan kapasitas air terikat tersier dapat digunakan
model matematika isotermi sorpsi air yang dikemukakan oleh GuggenheimAnderson-de Boer (GAB). Menurut Bakker-Arkema (1986) dan Rizvi (1995), persamaan GAB merupakan persamaan yang
paling
baik
dalam
memperkirakan isoterrni sorpsi suatu bahan. Model matematika GAB (Rizvi 1995) adalah sebagai berikut :
dimana Madalah kadar air (94 bk) pada aktivitas air a, dan suhu TI C dan K adalah konstanta, dan M, adalah kapasitas air terikat primer (% bk). Dengan melakukan perhitungan seperti contoh pada Lampiran 1, dapat ditentukan nilai konstanta C dan K serta Mp. Pada isotermi desorpsi lada, dapat diketahui nilai konstanta C = 6.0534, K = 0.9282, dan Mp= 4.45% bk. Dengan memasukkan nilai a, = 1 pada persamaan GAB dengan nilai konstanta yang telah dihitung, dapat diketahui kadar air pada a, = 1 yang merupakan kapasitas air terikat tersier (MJ lada hitam bubuk secara desorpsi sebesar 61.19% bk. Cara perhitungan yang sama dengan model GAB dilakukan pada isotermi absorpsi lada sehingga diperoleh nilai konstanta C = 6.0534, K = 0.9282, dan Mp= 4.45% bk. Kapasitas air terikat tersier (Mt) lada at~sorpsisebesar 67.94% bk. Perhitungan kapasitas air terikat tersier juga dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan polinomial pada kurva isotermi sorpsi lada. Data yang digunakan adalah data di atas RH 60% agar persamaan yang dihasilkan lebih tepat. Pada isotermi absorpsi lada diperoleh persamaan : y, = 0.0461 2 - 6.3207 x + 226.93, dengan nilai r = 0.980;
sedangkan persamaan pada isotermi desorpsi lada : yd = 0.04752
- 6.5777 x + 237.19, dengan nilai r = 0.987.
Dengan
memasukkan nilai a, = 1, dapat diperoleh kapasitas air terikat tersier (Mt) lada absorpsi sebesar 55.23% bk, dan Mt lada desorpsi sebesar 54.42% bk. Untuk menduga secara kasar kapasitas air terikat tersier pada lada, dapat dilakukan ekstrapolasi visual pada kurva isotermi sorpsi air ketika mencapai a, = 1 atau RH 100%. Hasil ekstrapolasi visual yang dapat dilihat pada Gambar 20 menunjukkan bahwa kapasitas air terikat tersier lada hitam birbuk absorpsi maupun desorpsi adalah sebesar 58% bk. Nilai kadar air tersebut hampir sama dengan kapasitas air terikat tersier desorpsi yang diperoleh dari persamaan polinolial dan model matematika GAB.
d. Air terikat primer, sekunder dan tersier pada lada Hasil perhitungan yang telah dilakukan untuk mengetahui fraksi air terikat pada lada hitam bubuk yang mengalami proses absorpsi dan'desorpsi, disajikan pada Tabel 13. Parameter yang dapat diketahui adalah kapasitas air terikat primer (M,) dan aktivitas air kesetimbangannya (av), kapasitas air terikat sekunder (Ms) dan aktivitas air kesetimbangannya (aw), kandungan air terikat sekunder (M,
-
M,),
kapasitas air terikat tersier (MJ yang diperoleh
dengan menggunakan rumus GAB, persamaan polinomial, dan dengan eltstrapolasi visual kurva isotermi sorpsi, serta kandungan air terikat tersier (h4t - Ms).
Tabel 13. Parameter isotermi sorpsi dan fraksi air terikat pada lada hitam bubuk secara absorpsi dan desorpsi pada suhu 28OC
I
~ W P
Ms (% bk) aws
Ms - M, (% bk) Rumus GAB
Mt (% bk)
I
(% bk)
Absorpsi
Desorpsi
0.28
0.28
16.38
15.14
0.81
0.81
M, (% bk)
tL I
lsotermi Sorpsi Lada Hitam Bubuk
Parameter
Persamaan Polinomial
I I 1
12.06 67.94 55.23
Ekstrapolasi visual
58.00
Rumus GAB
53.15
I
Persamaan Polinomial
i
I
Ekstrapolasi visual
I
I 1 1
61.19 54.42
I 1 I
58.00 I
38.85 43.21
10.8
47.51 39.28
I
44.32
I
F. ANALIISA LAJU PENGERINGAN
Untuk mengetahui bagaimana proses pengeringan pada suatu bahan berlangsung, periu dilakukan analisa terhadap laju pengeringannya. Laju pengeringan menggambarkan kecepatan proses pengeringan yang sangat mempengaruhi waktu proses dan kondisi bahan selama pengeringan.
Pada penelitian ini laju pengeringan dianalisa dengan melihat terjadinya penunman kadar air lada terhadap waktu pengeringan (-dMIdt).
Selain itu
dilakukan juga analisa laju momenta1 dengan menggunakan model matematika pengeringan lapis tipis terhadap waktu pengeringan, dan analisa laju fraksial dengan menghubungkan nilai -dM/dt terhadap kadar air lada. 1. Analisa Penurunan Kadar Air Lada terhadap Waktu Pengeringan
Dari Gambar 19 tentang profil penurunan kadar air lada (% bk) selama perlgeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R, terlihat bentuk kurva yang asi~ntotik menuju kadar air konstan. Pada kisaran awal pengeringan, perlurunan kadar air terjadi secara linier dengan nilai slope yang berbeda. Nilai slope yang merupakan nilai perubahan kadar air M (% bk) terhadap waldu (t) atau
-
dMIdt, dapat mengambarkan laju pengeringan lada pada
kondisi R yang berbeda tersebut. Perhitungan penurunan kadar air terhadap waktu pengeringan (- dM/dt) dilakukan tehadap data penurunan kadar air yang linier, dengan kisaran waktu yang berbeda-beda untuk setiap R.
Hasil perhitungan nilai slope
peniurunan kadar air terhadap waktu dapat dilihat pada Tabel 14. Bila dibuat plot hubungan antara nilai R terhadap
-
dMIdt, dapat
diketahui profil laju pengeringan pada nilai R yang berbeda, seperti dapat dilihat pada Gambar 23. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dengan semakin besar nilai R, maka laju pengeringan berupa penurunan kadar air terhadap wakrtu juga semakin tinggi. Laju pengeringan pada tingkat R rendah mulamula terjadi dengan peningkatan yang besar, tetapi dengan semakin besarnya
r
Tabel 14. Nilai slope penurunan kadar air terhadap waktu ( - dMIdt) pada pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagaitingkat R R
I
Kisaran waktu (jam)
I
Slope (-dM I dt)
R, pada saat tertentu peningkatan lajunya semakin lama semakin kecil dan aktlirnya konstan. Antara R 5 dengan R 20, laju pengeringannya hampir sama dar~dianggap telah mencapai tingkat laju yang maksimal. Bila dibandingkan der~ganR 2, laju dan waktu pengeringannya tidak jauh berbeda. Hal
ini
menunjukkan
bahwa
proses
pengeringan
absorpsi
mernbutuhkan jumlah absorben minimal untuk terjadinya proses pengeringan yarlg sempuma. Bila jumlah kapur api semakin banyak, laju pengeringannya akan semakin besar, dan waktu pengeringannya juga semakin singkat. Tetapi per~garuhpenambahan jumlah kapur api tersebut dibatasi kondisi optimal proses pengeringan. Pada laju pengeringan yang telah mencapai maksimal, perlambahan jumlah kapur api tidak akan mempercepat lagi terjadinya proses perlgeringan lada. Kelebihan kapur api dari kebutuhan optimal tidak akan memberi nilai tambah yang terlalu nyata baik pada laju maupun waktu perlgeringan, dan ini berarti pemborosan.
0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Perbandingan Berat CaO terhadap Berat Lada (R) Gambar 23. Profit penurunan kadar air terhadap waktu pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
2. Analisa Laju Momental (Laju Pengeringan terhadap Waktu Pengeringan)
Proses pengeringan terjadi pada beberapa periode dengan tingkat laju pengeringan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui tingkat laju pengeringan absorpsi pada lada, dilakukan analisa menggunakan model matematik laju pengeringan yang sesuai.
Pada penelitian ini dilakukan analisa laju
pengeringan menggunakan model matematik pengeringan lapis tipis yang disederhanakan oleh Geankoplis (1983) dengan persamaan :
M-M
e
Mo -Me
-A
e - '...................................................(7)
Penggunaan persamaan (8), didasarkan pada asumsi bahwa selama berlangsungnya proses pengenngan, RH dan suhu ruang pengering nilainya konstan.
Bahan juga diasumsikan bersifat cukup tipis sehingga pengaruh
difusi air dalam bahan yang dikeringkan dapat diabaikan. Pada proses pengeringan lada menggunakan pengering absorpsi, suhu proses pengeringan dapat dianggap relatif konstan yaitu berkisar pada suhu
29°C.
Tetapi RH proses pengeringan sebenamya tidak konstan, terutama
pacla awal proses pengeringan, seperti contoh pada pengeringan lada dengan R 20 yang dapat dilihat pada Gambar 24.
Pada tingkat R 20, RH relatif
konstan setelah 68 jam penyetimbangan. Karena itu analisa laju pengeringan absorpsi dengan model pengeringan lapis tipis ini dilakukan hanya pada data proses pengeringan yang terjadi pada kisaran RH yang relatif konstan. Perlggunaan tingkat R yang berbeda menghasilkan kondisi RH yang relatif kon~stanpada waktu yang berbeda. Umumnya RH proses pengeringan relatif kor~stansetelah penyetimbangan selama 48 jam sampai proses selesai.
Waktu Pengeringan (jam)
<;ambar 24. Laju pengeringan terhadap waktu pengeringan, suhu, dan RH, pada pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 20 Analisa laju pengeringan dilakukan dengan membuat plot hubungan ani:ara laju pengeringan terhadap waktu pengeringan atau dapat disebut sel~agai laju pengeringan momenta/.
Dengan melakukan perhitungan
mmggunakan model matematika pengeringan lapis tipis, akan diperoleh hubungan linier antara waktu pengeringan (t) dengan nilai In [(M
- M,)/(M, -
Me)]menghasilkan slope tertentu. Nilai slope tersebut merupakan konstanta pengeringan (k) yang dialami oleh bahan yang dikeringkan. Semakin besar nilai k, maka laju pengeringannya semakin tinggi, dan bahan semakin cepat mengalami pengeringan. Plot data percobaan pengeringan menggunakan model matematika pengeringan lapis tipis pada R 2, R 5 dan R 20, menghasilkan kurva yang disajikan pada Gambar 25. Sedangkan pada R 0.5 da17R 1 tidak dilakukan analisa, karena lada tidak mengalami pengeringan.
40
64
88
112
136
160
184
Waktu Pengeringan (jam)
Gambar 25. Kurva laju pengeringan absorpsi lada terhadap waktu pengeringan, pada berbagai tingkat R Hasil analisa laju pengeringan pada proses pengeringan absorpsi dengan tingkat R 2, R 5 dan R 20 pada kondisi RH yang relatif telah konstan, akan menghasilkan dua kurva linier yang berpotongan pada satu titik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses pengeringan absorpsi setelah RH yang relatif konstan memiliki dua periode laju pengeringan yang disebut saja sebagai periode A dan B.
Pada masing-masing tingkat R, laju pengeringan
periode A berlangsung cepat (ditunjukkan oleh slope yang lebih curam), dan dilanjutkan dengan laju pengeringan periode B yang berlangsung lebih lambat (ditunjukkan oleh slope yang lebih landai). Pada proses pengeringan absorpsi lada menggunakan R 2, periode laju pengeringan A dimulai dari jam ke-64.5 sampai jam ke-122.5 dengan persamaan periode A yaitu : y~ = 1.8499
- 0.0426x (r = 0.985).
Sedangkan
Dari persamaan tersebut diperoleh dua konstanta pengeringan (bdan kB) serta dapat dihitung kadar air kritikal (Mc) dan waktu kritikal (t,) terjadinya per'alihan periode. Nilai Mc dan t, merupakan kadar air dan waktu pada titik potong persamaan garis lurus yang berpotongan. Karena hanya diperoleh dua penode laju pengeringan dengan titik awal periode pengeringan A yang tergantung dari kekonstanan RH, maka hanya dapat diketahui nilai Mc dan t, pada saat peralihan antara periode A dan B. Untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut dilakukan perhitungan berdasarkan persamaan berikut : Untuk titik potong :
yA = ys
1.8499 - 0.0426 x = 0.8273
- 0.0338 x
-0.0088 x = -1.0226 *.B
= 116.2
Nilai &.B adalah waktu (t) pada saat titik potong (t,) yang merupakan wabitu peralihan dari periode A ke periode B. Untuk mengetahui besarnya nilai
t, dim Mc dilakukan perhitungan : y~ = I.8499 - 0.0426 x ; pada %.B = 116.2
yA= In
jadi
(Mo -
Me)
(M
-
Me)
(Mo
-
Me)
(M
= - 3.1002
Me)
= 0.0450
Pada proses pengeringan dengan R 0.5, 1, 5 dan 20, dilakukan juga analisa regresi linear untuk rnenentukan 16, kbr Mc dan t,. Hasil perhitungan 16, kb, Mcdan t, dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15.Hasil analisa regresi laju pengeringan dengan model matematika pengeringan lapis tipis pada pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R PehdeB Mc tt (jam) r
ks
(% bk)
I
Bila membandingkan nilai kA dan k~ pada masing-masing tingkat R, terlihat bahwa laju pengeringan periode B lebih kecil dari pada laju per~geringanperiode A. Hal ini diduga terkait dengan kondisi keterikatan air pacla lada. Pada saat mencapai M, dan t,tejadi penurunan laju pengeringan karena pada saat itu lada telah mulai memasuki tingkat keterikatan air yang lebih kuat. Air yang lebih sulit untuk dikeluarkan dari lada menyebabkan laju pengeringan yang dialami lada juga ikut menurun. Nilai kA pada R 2, 5, dan 20 menunjukkan kecenderungan bahwa dengan R yang semakin tinggi, nilai h semakin besar, yang berarti laju pengeringannya juga semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena dengan merlggunakan perbandingan jumlah absorben CaO terhadap lada yang serr~akinbesar, berarti potensi penyerapan air yang terjadi pada proses pengeringan tersebut juga lebih tinggi. Air yang dilepaskan oleh lada segera dapat bereaksi dengan CaO yang tersedia dalam jumlah besar, sehingga laju pengeringannya menjadi lebih tinggi. Pada R 2, R 5, dan R 20 diperoleh nilai k~ yang hampir sama yaitu lebitl dari 0.04. Nilai konstanta laju pengeringan yang hampir sama tersebut menlbuktikan bahwa penggunaan absorben kapur api yang berlebih tidak akar~ memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan laju pengeringan dan waktu proses pengeringan yang dialami lada. Hal yang agak berbeda tejadi pada periode B dimana pada R 2, R 5 dan R 20, laju pengeringannya justru semakin kecil bila menggunakan tingkat R yang lebih besar.
Pada tingkat R 2, diperoleh nilai b yang paling tinggi
yang diduga disebabkan oleh kadar air yang masih relatif tinggi pada saat
Hal yang agak berbeda terjadi pada periode B dimana pada R 2, R 5 d a i ~R 20, laju pengeringannyajustru semakin kecil bila menggunakan tingkat R yang lebih besar.
Pada tingkat R 2, diperoleh nilai ks yang paling tinggi
yang diduga disebabkan oleh kadar air yang masih relatif tinggi pada saat memasuki periode B. Karena jumlah air yang tersedia relatif lebih banyak, maka peluang terjadinya reaksi antara air dengan kapur api menjadi lebih besar, sehingga laju pengeringannya relatif lebih tinggi. Nilai M, pada R 2, R 5, clan R 20, yang merupakan kadar air pada saat terjadi perubahan laju pengeringan, nilainya hampir sama yaitu antara 11.52 12.82% bk (rata-rata 12.25% bk). Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada kadar air tersebut, air yang dikandung lada berada pada tingkat keterikatan yalig berbeda. Sedangkan nilai t, menunjukkan bahwa semakin besar tingkat R, t, semakin singkat, walaupun perbedaannya juga relatif kecil. membuktikan bahwa penggunaan tingkat R 2, R 5, dan R 20 memberikan pengaruh yang terlalu
besar
terhadap
waktu
Hal ini tidak proses
pe~qgeringan.
2. An~alisaLaju Fraksial (Laju Pengeringan terhadap Kadar Air) Grafik pola laju pengeringan lada secara absorpsi temadap kadar air lada (atau dapat disebut sebagai laju pengeringan fraksial) penting untuk mengetahui tingkat-tingkat laju pengeringan.
Untuk mengetahui laju
pengeringan terhadap kadar air digunakan analisis dMIdt yaitu perbandingan an,tara selisih perubahan kadar air pada pengamatan pertama dengan pengamatan selanjutnya terhadap selisih waktu pengamatan. Dari hasil percobaan pengeringan absorpsi, penurunan kadar air lada selama proses pengeringan terjadi pada kondisi suhu yang relatif konstan selcitar 29°C. Tetapi profil RH proses pengeringan absorpsi menunjukkan terjadinya penurunan RH pada awal pengeringan menuju nilai RH tertentu yalig relatif konstan seperti dapat dilihat pada Gambar 26.
I-Q-
~ a d a air r lada (%
+Suhu ruang pengering'
1
tRH ruang pengering
Waktu Pengeringan (jam) (3ambar 26. Profil penurunan kadar air, suhu dan RH proses pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 5 Kurva laju pengeringan (dM1dt) terhadap kadar air lada pada pengeringan dengan tingkat R 5 disajikan pada Gambar 27. Hasil plot nilai dhlldt terhadap kadar air lada menghasilkan kurva yang kurang baik karena nilai datanya yang naik turun. Tetapi masih terlihat adanya kecenderungan bahwa bentuk kurva dM/dt terhadap M tersebut menyerupai bentuk tipikal kurva laju pengeringan terhadap M seperti pada Gambar 8. Pada k u ~ tersebut a terlihat adanya dua fase utama laju pengeringan yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Sebelum memasuki fase laju pengeringan konstan, terjadi fase 1 yang mengalami penurunan laju pengeringan antara kadar air 176.3% bk sampai 100% bk. Feise 1 dipengaruhi banyak faktor termasuk oleh kandungan air bebas, tetapi bentuk kurva seperti itu diduga terjadi karena kondisi RH pada awal proses pengeringan absorpsi yang belum konstan (Gambar 26 ), sehingga tidak menggambarkan laju proses pengeringan yang sebenamya. Fase laju pengeringan konstan atau fase 2 terjadi antara kadar air sekitar 100% bk sampai 60% bk. Fase laju pengeringan konstan terjadi pada prlxes pengeringan lada secara absorpsi karena kadar air awal lada yang
0
20
40
60
80 100 120 140 160 180 200
M(% bk) Gambar 27. Kurva laju pengeringan (dMIdt) terhadap kadar air lada pada proses pengeringan absorpsi dengan tingkat R 5 cukup tinggi yaitu sekitar 175% bk. Menurut Henderson dan Perry (1980) agar terjadi laju pengeringan konstan diperlukan adanya air bebas yang cukup banyak, yang menyelimuti permukaan bahan yang dikeringkan. Fase laju pengeringan menurun terdiri dari 2 tahap yaitu fase 3 dengan penurunan kadar air 60% bk sampai 15% bk, dan fase 4 dengan penurunan kadar air 15% bk sampai 5% bk. Menurut Geankoplis (1983) biasanya tidak terjadi perbedaan yang besar antara laju pengeringan menurun pertama (fase 3) dan laju pengeringan menurun kedua (fase 4), sebab jumlah air yang menguap dalam periode ini relatif kecil.
Tetapi waktu pengeringan yang
dibutuhkan relatif lama karena laju pengeringannya semakin kecil. Hasil analisis fase laju pengeringan pada pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 5 di atas memang kurang akurat karena datanya yang naik turun.
Tetapi secara kasar dapat diketahui bahwa proses
per~geringanabsorpsi lada terjadi pada laju yang berbeda selama penurunan kad,ar air yang dikandungnya. Pada tingkat R 2 dan R 20 juga diperoleh hasil analisa yang relatif sama.
3. Kaitan Laju Pengeringan dengan Fraksi-Fraksi Air
Laju pengeringan yang terjadi pada lada diduga sangat erat kaitannya dengan fraksi kadar air dan kondisi keterikatan air yang sedang mengalami pengeringan. Untuk itu akan dilihat bagaimana kaitan antara hasil analisa laju pengeringan momental maupun fraksial, dengan fraksi air terikat pada lada. Ans~lisafraksi air pada lada secara absorpsi dan desorpsi menghasilkan data seperti dapat dilihat pada Tabel 14!, tetapi yang dikaitkan dengan laju pengeringan hanya fraksi air terikat lada secara desorpsi, karena lada yang dikeringkan mengalami proses penurunan kadar air (desorpsi). Analisa laju pengeringan momental (laju pengeringan terhadap waktu) lada pada berbagai tingkat R, menghasilkan dua laju pengeringan utama yang berbeda (Gambar 25 dan Tabel 15). Sedangkan analisa laju pengeringan fraksial pada tingkat
R 5 dapat dilihat pada Gambar 27.
Seluruh hasil analisa tersebut
direkapitulasi kembali pada Tabel 16, Tabel 16.Rekapitulasi hasil analisa laju pengeringan momental dan fraksial, serta hasil analisa fraksi air terikat pada lada
I
Desorpsi
> 54.42* Met~odepersamaan polinomial I
I
I
54.42* - 15.13
I
15.13-4.34
Pada laju pengeringan fraksial, fase 2 yaitu fase laju pengeringan konstan terjadi sampai kadar air sekitar 60% bk.
Fase 2 tersebut hampir
bertepatan dengan kapasitas air terikat tersier desorpsi sebesar 54.42% bk. Hal ini berarti bahwa pada kadar air lada sekitar 60% bk terjadi perubahan laju
pengeringan, dan di atas batas tersebut menunjukkan terjadinya pelepasan air bebas. Laju pengeringannya kemudian menurun, karena melepaskan air yang teriliat tersier dengan energi ikatan yang lebih tinggi. Pada laju pengeringan momental, kadar air kritis rata-rata peralihan periode A dan B adalah 12.25% bk. Sedangkan laju pengeringan fraksial fase 3 terjadi pada kadar air 60% bk - 15% bk. Nilai kadar air ini hampir bertepatan
derlgan kandungan air yang terikat tersier 54.42% bk
- 15.14% bk (desorpsi).
Hasil analisa ini menunjukkan bahwa pada kisaran kadar air tersebut terjadi laju pengeringan yang menurun karena haws melepaskan air yang terikat secara tersier pada lada.
Pada fase tersebut air terikat kurang kuat,
menrpakan pelarut zat-zat organik, dan terikat dalam struktur kapiler serta struktur sel lada. Ketika memasuki periode B pada laju pengeringan momental dengan kaclar air lebih kecil dari pada 12.25% bk, terjadi penurunan laju pengeringan yarlg hampir bertepatan dengan fase 4 (fase laju pengeringan menurun pada laju fraksial) antara 15% bk
- 5% bk.
Laju pengeringan tersebut juga hampir
bertepatan dengan kandungan air terikat sekunder desorpsi antara 15.14% bk
- 4.34% bk.
Laju pengeringan terjadi lebih lambat karena haws melepaskan
air yang terikat sekunder yang menempati
lapisan-lapisan air di atas
monolayer sampai pusat kapiler, dengan energi ikatan yang kurang kuat dibandingkan air terikat primer (Van den Berg dan Bruin 1981). Proses pengeringan menggunakan kapur api yang sangat berlebih (R 20) hanya mampu mengeringkan lada sampai kadar air sebesar 5.72% bk. Kadar air tersebut dapat dianggap merupakan kadar air terendah yang dapat dicspai oleh proses pengeringan lada secara absorpsi. Nilai kadar air tersebut ten~yatamasih lebih besar dari pada kapasitas air terikat primer yaitu sebesar 4.34% bk (desorpsi).
Hal ini berarti bahwa proses pengeringan absorpsi
belum mampu mengeluarkan air yang terikat secara primer pada lada karena air terikat primer memiliki energi ikatan yang sangat tinggi.
G. PERLIBAHAN KAPUR API SELAMA PENGERINGAN Kapur api sebagai absorben akan menyerap uap air yang dilepaskan lada kle ruang pengering absorpsi.
Komponen utama kapur api adalah CaO
yang t~ereaksidengan air menghasilkan Ca(OH)2 (Chang dan Tikkanen, 1988) :
Akibat reaksinya dengan air, kapur api akan mengalami pertambahan berat sesuai dengan jumlah air yang diserapnya. Sementara itu lada mengalami penuninan kadar air dan terjadi pengeringan. 1. Profil Perubahan Berat Kapur Api
Dari hasil penimbangan berat kapur api secara berkala, dapat diperoleh grafik persen perubahan berat kapur api terhadap berat kapur api awal selama pengeringan lada secara absorpsi, seperti dapat dilihat pada Garnbar 28 dengan data selengkapnya pada Tabel 17.
0
24
48
72
96
120
144
168
WaMu Pengeringan (jam) Gambar 28. Profil perubahan berat kapur api selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
Tabel 17.Data perubahan berat kapur api selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R
Perhitungan : A W kapur api (%) = A W kapur api (g) 1 W kapur api awal pada setiap R
Dari Gambar 28 di atas dapat ditihat bahwa kapur api akan mengalami pe~tambahan berat selama pengeringan.
Pada awal pengeringan,
peitambahan berat kapur api terjadi dengan cepat. Tetapi pada saat tertentu, peitambahan berat kapur api menjadi lebih lambat dan akhirnya mencapai berat yang mendekati konstan. Pertambahan berat kapur api yang cepat pada awal pengeringan erat kaitannya dengan masih banyaknya air yang dilepaskan oleh lada. Air yang mula-mula dilepaskan lada adalah air bebas yang cepat menguap atau mudah dilepaskan. Banyaknya air yang bereaksi dengan CaO di dalam kapur api pada selang waktu yang relatif singkat menyebabkan pertambahan berat kapur api juga terjadi dengan cepat. Pada saat lada mulai kering dan mulai terjadi pelepasan air terikat, jurr~lahair yang dilepaskan lada menjadi semakin lambat. Air terikat lebih sulit dilepaskan dari lada sehingga laju pelepasan aimya juga menurun. Bahkan setelah kadar air lada mendekati kesetimbangan, jumlah air yang dilepaskan lada sangat sedikit dan akhimya lada tidak dapat lagi melepaskan air yang dikiandungnya. Karena tidak ada lagi air yang dapat bereaksi dengan CaO dal'am kapur api, kapur api lambat sekali mengalami pertambahan berat pada kapur api yang jumlahnya berlebih. 2. Perlgaruh R terhadap Profil Perubahan Berat Kapur Api
Dari Gambar 28 dapat dilihat bahwa pada tingkat R yang berbeda, diperoleh profil kurva persen pertambahan berat kapur api yang berbeda. Pertambahan berat kapur api menggambarkan seberapa banyak air yang telah bereaksi dengan CaO di dalam kapur api selama pengeringan absorpsi. Pada R 0.5, R 1, dan R 2, persen pertambahan berat kapur api mencapai sekitar 36% dari berat kapur api awalnya (Tabel 17). Pertambahan berat sebesar ini dapat dianggap sebagai jumlah air maksimal yang dapat diserap sejumlah kapur api, karena pada R 0.5 dan R 1 lada tidak kering yang menunjukkan terjadi kondisi air berlebih dari lada. Sedangkan pada R 5 dan
R 20, persen pertambahan berat kapur api hanya mencapai masing-masing 12.4% dan 3%.
Berarti, masih banyak bagian kapur api lain yang tidak
bereaksi dengan air yang dilepaskan lada, yang sekaligus menunjukkan terjadinya kondisi jumlah kapur api yang melebihi kebutuhan proses perlgeringan absorpsi. Pada R 2, persen pertambahan berat kapur api yang dialaminya telah mencapai nilai persen penyerapan maksimal sebesar 36%. Persen air yang diserap R 2 tersebut sama dengan pada kondisi pengeringan yang kekurangan absorben dengan R 0.5 dan R 1. Tetapi pada R 2 telah terjadi proses pengeringan sampai kadar air aman. Hal ini menunjukkan bahwa R 2 menrpakan kondisi optimal proses pengeringan lada secara absorpsi, karena dapat mencapai kadar air aman tanpa menggunakan jumlah kapur api yang berlebihan. Penggunaan R yang berbeda juga menghasilkan laju penyerapan air yarlg berbeda, sebanding dengan persen pertambahan berat kapur api. Hal tersebut ditunjukkan oleh kemiringan kurva persen pertambahan berat kapur api yang berbeda di awal proses pengeringan. R 0.5 memiliki laju tertinggi, diikuti oleh R 1, R 2, R 5 dan R 20. Hal itu terjadi karena pada R yang kecil, air yang dapat segera bereaksi dengan CaO pada kapur api, perbandingan jumllahnya lebih besar dari pada kapur api yang tersedia. Kapur api selanjutnya tidak lagi mengalami pertambahan berat menuju berat yang konstan. Semakin rendah tingkat R yang digunakan, kapur api semakin cepat mencapai berat konstan. Hal ini terjadi karena kapur api yang tersedia segera habis bereaksi dengan uap air yang dilepaskan lada, sehtingga proses pengeringan terhenti. 3. Kadlar CaO pada Awal dan Akhir Pengeringan
Kapur api memiliki kemampuan untuk menyerap air karena kandungan CaO-nya yang mampu melakukan reaksi eksoterrnik dengan air membentuk Ca(OH)*. Daya serap terhadap air yang dimiliki kapur api (daya absorben) san~gattergantung pada kandungan CaO yang dimilikinya. Kapur api yang baru dikeluarkan dari tungku pembakarannya memiliki kandungan CaO yang tinggi.
Hasil analisa Sucofindo pada tahun 1998
ted-iadap kapur api yang dihasilkan oleh pabrik kapur PD Djaja Ciampea
me~iunjukkankadar CaO sebesar 88.82%. Bagian sebesar 11.18% berupa mineral-mineral lainnya. Kapur api yang digunakan dalam percobaan pengeringan absorpsi ini juga dianalisa kembali kadar CaO-nya.
Karena pengukuran kadar CaO
secara khusus dan terpisah dari pengukuran Ca(OH)2 serta CaCOj tidak dapat dilakukan, maka kadar CaO diukur secara tidak langsung melalui melode pengukuran Ca.
Pengukuran kadar Ca dilakukan dengan
menggunakan metode Spektrofotometer Absorpsi Atom (AAS) (Basset et a/. 1978). Dari hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa kapur api yang diuji merniliki kadar Ca sebesar 62.59% yang setara dengan kadar CaO sebesar 87.639'0, dengan asumsi bahwa Ca pada kapur api yang baru dikeluarkan dari tungku pembakaran berada dalam bentuk CaO. Setelah proses pengeringan dan kapur api bereaksi dengan air, CaO akan berubah menjadi Ca(OH)2.
Karena pengukuran CaO secara khusus
terpisah dari Ca(OH)2 dan CaCOj tidak dapat dilakukan, maka dilakukan motlifikasi pengukuran kadar CaO setelah proses pengeringan secara fisik dengan metode yang dapat dilihat pada Bab Ill, dan perhitungan meriggunakan Persamaan 13. Kadar CaO setelah proses pengeringan dapat dinyatakan sebagai % kadar CaO terhadap berat kapur api yang dianalisa. Misalnya pada R 2, berat kapur api yang dianalisa (Wl) = 3.5833 g, dan berat kapur api yang sudah direaksikan dengan air berlebih dan dikeringkan dari WI (W2) = 3.6888 g. Dertgan berat molekul CaO = 56 dan berat molekul air = 18, maka % kadar CaO tersisa terhadap berat kapur api yang dianalisa (") adalah :
Dengan mengetahui % kadar CaO di dalam kapur api yang baru keluar dari tungku pembakaran sebesar 87.72%, dapat dihitung % kadar CaO tersisa terhadap kadar CaO awal (**), yaitu :
-
Dari hasil percobaan pengukuran kadar CaO secara fisik, diperoleh data seperti dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Perkiraan kadar CaO tersisa dengan metode pengukuran fisik selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R dan waktu proses 6 hari
-
Perbandingan Berat CaO terhadap Berat Lada (R) Kapur api baru
Kadar CaO Tersisa (%) (% terhadap berat (% terhadap kadar kapur api yang CaO kapur api dianaiisa), (*) baru), (*^) 87.72 100
0.5
3.88
4.42
1
4.83
5.51
2
9.16
10.44
5
45.15
51.47
20
53.66
61.17
Kadar CaO kapur api akan berkurang selama proses pengeringan absorpsi karena sebagian mengalami reaksi dengan air membentuk Ca(OH)2. Kariena volume ruang pengering absorpsi relatif kecil dan kadar C02 di udara sangat rendah, perubahan CaO dan Ca(OH)2 menjadi CaC03 selama pengeringan absorpsi dapat diabaikan. Pada kapur api yang baru keluar dari tungku pembakaran, pengukuran CaO secara AAS (Basset et a/. 1978) menghasilkan kadar CaO sebesar 87.63396, sedangkan modifikasi pengukuran CaO secara fisik menghasilkan
kadar CaO sebesar 87.72%. Hasil pengukuran Sucofindo terhadap kapur api PT Djaja Ciampea juga menghasilkan kadar CaO yang tidak jauh berbeda y a i t ~sebesar ~ 88.82%.
Ketiga hasil pengukuran tersebut nilainya hampir
sama, sehingga dapat dianggap bahwa metode pengukuran kadar CaO secnra fisik sudah memadai.
4. Pengaruh R terhadap Kadar CaO yang Tersisa Terjadinya penurunan kadar CaO setelah kapur api digunakan sebagai absorben, temyata berhubungan dengan tingkat R yang digunakan, seperti dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 29.
Dengan semakin
barlyaknya rasio kapur api yang digunakan (R semakin besar), kadar CaO yarlg tersisa setelah proses pengeringan absorpsi semakin tinggi.
Pada
jurr~lahkapur api yang kurang dari kebutuhan pengeringan lada (R 0.5 dan R I), kadar CaO yang tersisa sudah sangat kecil yaitu sekitar 4%. Kadar CaO yarlg kecil tersebut menunjukkan bahwa hampir semua bagian CaO yang dirr~ilikikapur api sudah bereaksi dengan air membentuk Ca(OH)2.
Perbandingan Berat CaO terhadap Berat Lada (R) Gambar.29.Hubungan antara R dengan kadar CaO yang tersisa pada akhir pengeringan lada secara absorpsi Dengan menggunakan R 2, lada berhasil dikeringkan hingga kadar air 6.5'7% bk selama 160.5 jam. Pada R 2 tersebut, kadar CaO yang tersisa
adailah sebesar 10.44% dari kadar CaO awal. Berarti, hampir semua CaO digunakan untuk proses pengeringan absorpsi dan hanya sedikit CaO yang berlebih. Penggunaan tingkat R 2 dapat dianggap merupakan perbandingan yang optimal untuk melakukan proses pengeringan absorpsi pada lada.
Antara R 2 dan R 5 terlihat adanya perbedaan sisa kadar CaO yang besar.
Perbedaan sisa CaO yang besar ini menunjukkan bahwa
perbandingan R 5 melebihi kebutuhan CaO untuk proses pengeringan ab~~orpsi.Pada R 5 dan 20, CaO yang tersisa masih cukup banyak, yaitu lebih dari 50% dari kadar CaO kapur api baru. Karena kapur api yang sudah sebagian CaO-nya terpakai biasanya tidak lagi digunakan, sebaiknya proses perlgeringan absorpsi dilakukan dengan menggunakan perbandingan yang optimal, yaitu pada tingkat R 2. 5. lsotermi Sorpsi Ca(OH)2
CaO bereaksi dengan air membentuk Ca(OH)2., dan untuk mengetahui sifat penyerapan airnya selama proses pengeringan, pada penelitian ini dilaltukan analisis isoterrni sorpsi air dari Ca(OH)2. Ca(OH)2 sebagai hasil reaksi CaO dengan H20dalam bentuk kering disetimbangkan pada berbagai konldisi RH dalam desikator berisi larutan garam jenuh (Tabel 4), dan setelah seti~nbangdiukur kadar aimya menghasilkan data seperti disajikan pada Tabel 19, Data hasil percobaan ini dikerjakan bersama-sama dengan Elisa Julianti yang melakukan penelitian mengenai pengeringan absorpsi pada benih cabe merah. Dengan memplotkan RH terhadap kadar air kesetimbangan (% bk), diperoleh kurva isotermi sorpsi Ca(OH)2seperti dapat dilihat pada Gambar 29. Pada gambar tersebut teriihat bahwa bentuk kurva isotermi sorpsi Ca(OH)2 berupa kurva asirntotik yang menurut Brunauer et a/. (1940) di dalam Rizvi (1995) termasuk isotermi Tipe Ill. Bentuk kurva tersebut merupakan bentuk isotermi sorpsi air yang khas untuk molekul kecil yang terlarut air. Dari kurva tersebut terlihat bahwa Ca(OH)2 tidak memiliki kemampuan mer~yerapair pada saat berada pada kondisi RH 0% sampai RH sekitar 70%. Pada kisaran RH tersebut, Ca(OH)2 hanya dapat menyerap
air kurang
dari 1%. Analisis air terikat Ca(OH)* menghasilkan kapasitas air terikat primer (M,) dengan Model BET sebesar 1.50% bk dan kapasitas air terikat sekunder (Ms) dengan metode analisis logaritma (Soekarto 1978) sebesar 1.68% bk.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Ca(0H)
2
tidak memiliki
kandungan air terikat primer dan sekunder. Kapasitas air terikat tersier (MJ sebesar 10.64.% bk diperoleh dari persamaan polinomial seperti yang dapat dilihat pada Gambar 30. Untuk mengetahui pada a, berapa Ca(OH)* mulai menyerap air, (a, kriti!;) dilakukan analisis logaritma (Soekarto 1978) terhadap data kadar air kesetimbangan pada RH lebih dari 70%. Dari persamaan log (1 - )a,
M, diperoleh persamaan linear y = -11.625 x kadar air 0 % bk, a,kritis
-
0.5117 (r = 0.9514). Pada
Ca(OH)2adalah 0.69 atau pada RH 69.%.
Tabel 19. Kadar air kesetimbangan Ca(OH)2pada suhu 28°C Kelembaban Relatif, RH
(%I 11.2
22.2 32.5 36.8 43.7 51.9 56.8 63.7 68.2 71.O 73.0 75.2 80.2 83.8 86.3 89.7 92.0 93.0 96.7
=a + b
9.18
-
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kelembaban Reiatif, RH(%) Gambar 30. Kurva isotermi sorpsi Ca(OH)2 pada suhu 28°C dan hasil ekstrapolasi menggunakan persamaan polinomial pada a, 1 Bentuk kurva isoterrni sorpsi Ca(OH)2, serupa dengan bentuk kurva isolerrni sorpsi air pada molekul kecil terlarut air lainnya seperti NaCl dan gula kristal. Menurut Soekarto (1978) , a, kritis pada NaCl pada suhu 23OC adalah 0.74 (absorpsi) dan 0.63 (desorpsi), sedangkan a, kritis gula kristal pada suhu 21.'7"C adalah 0.74. Nilai a, kritis pada Ca(OH)2 hampir mendekati a, kritis NaCl dan gula kristal, yaitu sekitar 0.7. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa absorpsi air oleh Ca(OH)2 tidak berperan di dalam proses pengeringan. Pada RH yang rendah, daya ser,ap air Ca(OH)* sangat kecil dan dapat diabaikan. Proses penyerapan air ditentukan oleh kemampuan CaO dalam bereaksi dengan air membentuk Ca(OH)2sambil melepaskan energi. Daya CaO untuk bereaksi dengan air ini sar~gatkuat sehingga dapat mengeringkan suatu bahan. lstilah pengeringan secara absorpsi sebenarnya kurang sesuai, karena air tidak diabsorpsi tetapi sebienarnya bereaksi secara kimia.
Nama yang lebih sesuai untuk
per~geringandengan kapur api dengan kadar CaO tinggi adalah pengeringan kenioreaksi.
,
H. EFlSlEiNSl ENERGI SELAMA PENGERINGAN ABSORPSI Pengeringan absorpsi melibatkan terjadinya proses kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi di dalam ruang pengering absorpsi.
Air akan
dilepaskan oleh lada untuk bereaksi dengan CaO di dalam kapur api. Sementara itu CaO akan melepaskan energi panas akibat reaksinya dengan air, yang selanjutnya digunakan untuk menguapkan air dari dalam lada. Proses tersebut terjadi secara simultan Sampai diperoleh lada kering dengan kadar air tertentu. Dengan melihat proses kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi panas yang lerjadi, dapat diketahui efisiensi alat pengering absorpsi yang digunakan dalam proses pengeringan lada tersebut. 1. Kebutuhan Kapur Api Secara Teoritis
Untuk menguapkan sejumlah air dari bahan yang akan dikeringkan, dapat dilakukan pehitungan kebutuhan CaO untuk bereaksi dengan sejumlah air tersebut. Secara teoritis, Irnol air (H20) dapat dilepaskan dari lada oleh 1 rnol CaO yang selanjutnya akan membentuk 1 rnol Ca(OH)2 sambil melepaskan energi sebesar 64.8 Wtmol, dengan asumsi nilai entalpi air tetap. Karena air yang bereaksi dengan CaO berupa H20dalam bentuk likuid, diasumsikan tidak terjadi perubahan energi yang dibutuhkan untuk merubah ben~tuklikuid air pada lada ke bentuk gas dan kembali ke bentuk likuid. Energi yang dibutuhkan untuk menguapkan dan melepaskan air dari lada, dapat dianggap sama besar dengan energi yang dihasilkan oleh reaksi CaO dengan air yang melepaskan energi sebesar - 64.8 kJ/mol. Kebutuhan CaO minimal untuk proses pengeringan dapat dihitung berldasarkan persamaan reaksi (9). Karena 1 rnol CaO setara dengan 1 rnol H2C) yang diuapkan, berarti 56 g CaO setara untuk bereaksi dengan 18 g H20.
Secara teoritis kebutuhan kapur api minimal untuk mengeringkan lada sebanyak 230 g dengan R 2 dari kadar air awal 64.1% bb sampai kadar air akhir 12% bb (batas kadar air aman untuk penyimpanan lada) adalah sebagai ber~kut:
Air yang diuapkan dari 230 g lada
= (kadar air awal - kadar air akhir) x berat lada = (64.1% bb - 12.0% bb) x 230 g = 119.8 g H20
= 119.8 g H20: 18 g H201mol= 6.7 mol Kebutuhan Ca01230 g lada = 6.7 mol x 56 g CaOImol I230 9 lada
= 375.2 g Ca01230 g lada Kebutuhan CaOIkg lada
= 1.6313 kg CaOkg lada
Dengan asumsi bahwa kadar CaO adalah 88.82% dari berat kapur api (se:suai dengan hasil analisa Sucofindo), maka : Ket~utuhankapur api = 1.6313 kg CaOlkg lada x 100 188.82 kapur apikg CaO k g lada dengan R 2
= 1.8370 kg kapur apilkg lada Dari perhitungan secara teoritis maka kebutuhan absorben kapur api untuk mengeringkan Ikg lada dengan tingkat R 2 adalah sebanyak 1.6313 kg CaO atau 1.8370 kg kapur api. Nilai perbandingan yang ideal secara teoritis antiara berat kapur api terhadap berat lada adalah : berat CaO sebesar 1.65 kali berat lada atau berat kapur api sebanyak 1.85 kali berat lada. Penggunaan perbandingan berat CaO terhadap berat lada minimal 1.6!5 kali dapat menghasilkan lada yang memenuhi standar kadar air aman penyimpanan 12% bb. Karena itu, penggunaan R 2 dapat dianggap me~zlpakanperbandingan yang optimal secara ekonomis dan teknologis untuk melakukan proses pengeringan absorpsi pada lada.
2. Kesetimbangan Air Selama Pengeringan Absorpsi Lada akan melepaskan sejumlah air yang secara teoritis jumlahnya sama dengan air yang bereaksi dengan CaO di dalam kapur api. Pelepasan air tlari lada ditunjukkan oleh penurunan berat lada, sedangkan penyerapan air oletl kapur api ditunjukkan oleh pertambahan berat kapur api. Untuk melihat terjadinya proses kesetimbangan massa air, diamati profil pertambahan berat kapur api dan penurunan kadar air lada selama proses pengeringan absorpsi.
Pada pengeringan absorpsi menggunakan R 2, dapat dilihat profil pe~tambahanberat kapur api dan penurunan berat lada selama pengeringan berjerta selisihnya, seperti disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 31. Pada tabel dan gambar tersebut juga disajikan data mengenai tingkat kekeringan lada yang dinyatakan dengan persen berat air yang telah dikeluarkan lada terhadap air total yang dikandung lada. Pada proses pengeringan dengan R 2 selama 160.5 jam sampai kadar air lada 6.57% bk, persentase air yang dilepas oleh lada mencapai 96%. Kadar air tersebut belum mencapai kapasitas air terikat primer (M,) 4.34 % bk walaupun pada saat itu hampir semua air yang terkandung di dalam lada telah dilepaskan dan diserap oleh kapur api. Tabel 2Q.Data kesetimbangan air dan persentase air yang dilepas lada selama pengeringan absorpsi dengan tingkat R 2
* Cliketahui : Berat kapur api awal = 512.9 g Berat air total yang dikandung 230 lada basah = 147.4 g Kadar air lada pada R 2 selama 160.5 jam = 6.57% bk
-Berat air bereaksi denga -A-
1
1
Berat air dilepaskan dari lads (g)
1-~elisih
-
berat air
1
% air dilepas terhadap air total lada (96)
24
48
72
96
120
144
I$B0
Waktu Pengeringan (jam)
Gambar 31. Profil kesetimbangan air dan persentase air yang dilepas lada selama pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 2 Pada Gambar 31 terlihat ha1 yang menarik dimana air yang bereaksi derigan CaO sampai 24 jam hampir sama dengan air yang dilepaskan oleh lada. Tetapi semakin lama jumlah air yang bereaksi dengan CaO menjadi lebih banyak dari pada air yang dilepaskan lada, dan setelah mencapai kadar air
akhir lada 6.57% bk pada pengeringan selama 160.5 jam, tercapai
sel~sih berat air 42.2 g. Bila batas pengeringan ingin dilakukan sampai kadar air 12% bb (sebagai batas kadar air aman penyimpanan lada) selama 119.5 jarri, selisih berat air yang terjadi adalah sebesar 30 g. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses pengeringan absorpsi tenlapat sumber air lain yang dapat bereaksi dengan CaO sehingga menambah berat kapur api. Terjadinya selisih air yang besar ini dapat berasal d a ~ udara i ruang pengering absorpsi yang mula-mula mengandung uap air terl:entu karena RH-nya yang tinggi.
Tetapi selain itu, ha1 tersebut
menandakan terjadinya kebocoran lemari pengering absorpsi berupa masuknya uap air dari lingkungan luar lemari pengering absorpsi.
Untuk membuktikan terjadinya kebocoran selama proses pengeringan absiorpsi, dilakukan percobaan penyimpanan kapur api dengan berat 512.9 g (berat kapur api pada R 2) di dalam lemari kosong tanpa lada. Dengan waktu perlyimpanan 14 hari dan penimbangan secara berkala, terjadi pertambahan berat kapur api sebanyak 32.7 g atau 6.4% dari berat kapur api awal. Hal ini rnemperkuat dugaan bahwa uap air dari luar masuk ke dalam lemari pengering absorpsi oleh adanya kebocoran. Oalam penelitian ini, konstruksi dan bahan lemari pengering absorpsi diusahakan dapat mencegah terjadinya pindah rnassa uap air melalui dinding lenlari pengering sekecil mungkin. Proses penimbangan dilakukan di dalam leniari pengering absorpsi yang dilapisi fiber glass yang kedap uap air. Tetapi tehp terdapat kemungkinan masuknya uap air dari lingkungan luar melalui lubang tali penggantung rak yang dibuka pada saat penimbangan, maupun melalui sambungan dinding-dinding darl pintu lemari pengering absorpsi. 3. Kesetimbangan Energi Selama Pengeringan Absorpsi
Dengan terjadinya kesetimbangan air, selama pengeringan absorpsi akan terjadi kesetimbangan energi yang dilepaskan oleh CaO yang bereaksi dengan air, dan energi yang dibutuhkan untuk melepaskan air dari lada. Untuk melihat pelepasan dan kebutuhan energi selama proses pengeringan absorpsi, berikut ini diarnbil satu contoh kasus kesetimbangan energi pada pengeringan lacla secara absorpsi pada tingkat R 2. Kapur api yang mengalami pertambahan berat selama proses pengeringan, menunjukkan terjadinya reaksi CaO dengan air sambil melepaskan energi sebesar
- 64.8 kJ dengan rumus sebagai berikut :
Energi reaksi CaO = berat air yang diserap kapur api /,(I8 g/mol) x 64.8 kJ dengan air Dengan semakin meningkatnya berat kapur api yang menunjukkan jurnlah air yang telah bereaksi dengan CaO, maka energi yang dilepaskan juga semakin meningkat. Sedangkan energi yang dibutuhkan untuk melepaskan air dari lada dihitung dengan rumus :
Encrgi untuk melepaskan air dari lada
=:
g air yang dilepaskan / (18 glmol) x 64.8 kJ
Bila dibuat plot energi yang dilepaskan reaksi CaO dalam kapur api dan kebutuhan energi untuk melepaskan air sepanjang waktu pengeringan, dapat diperoleh kurva seperti pada Gambar 32 dengan data selengkapnya disajikan pada Tabel 21
Pada gambar d m tabel tersebut disajikan pula hasil
perhitungan efisiensi energi terpakai selama proses pengeringan absorpsi. T'abel 21. Data kesetimbangan energi dan efisiensi energi terpakai selama pengeringan absorpsi dengan tingkat R 2 Efisiensi
energi terpakai (%)
-o-
1 60 40
..-a# 1 !it
Energi reaksi CaO dengan air(kJ)
-
dan lada (kJ)
I 1
terbuang (kJ)
I
Energi pelepasan air,
+Selisih energij Efiiiensi terpaka i
Waktu Pengeringan (jam) Ga~nbar32. Profil kesetimbangan energi dan efisiensi energi terpakai selama pengeringan lada secara absorpsi dengan tingkat R 2 Karena kesetimbangan energi terkait dengan kesetimbangan air yang terjadi selama pengeringan absorpsi, maka terlihat kecenderungan yang sama.
Pads 24 jam awal pengeringan, energi yang dilepaskan dari reaksi CaO dengan air hampir setimbang bahkan sedikit lebih rendah dari pada energi yarlg dibutuhkan untuk pelepasan air dari lada. Tetapi selanjutnya, selisih energi semakin meningkat yang menunjukkan adanya pelepasan energi yang tidak digunakan untuk pelepasan air. Energi tersebut diduga dilepaskan ke luar lemari pengering absorpsi melalui lubang tali penggantung selama penimbangan, dan akibat kebocoran melalui sambungan dinding dan pintu lerrlari pengering absorpsi. Terjadinya selisih energi tersebut menunjukkan bahwa proses perlgeringan absorpsi memiliki efisiensi energi tertentu.
i
Cara perhitungan
efisiensi energi terhadap energi CaO yang terpakai adalah sebagai berikut :
Energi penguapan air dari lada (kJ) Efisiensi energi terpakai =
-
,
x 100% .....(20)
Energi reaksi CaO dengan air (kJ) Efisiensi energi terpakai yang terjadi selama pengeringan absorpsi pada R 2 mengindikasikan ha1 yang serupa. Pada awal proses pengeringan, terjadi efisiensi energi terpakai yang sangat tinggi, bahkan melewati 100%. Tetapi selanjutnya efisiensi energi terpakai semakin menurun, sampai akhirnya mer~capainilai 77.1%. Selama pengeringan 160.5 jam dengan R 2 sampai kadar air lada
6.57% bk, energi yang terbuang adalah sebesar 152 kJ dengan efisiensi energi terpakai 77.1%. Sedangkan bila pengeringan hanya dilakukan sampai kadiar air lada aman (12% bb) selama waktu pengeringan 119.5 jam, energi yang terbuang adalah 114 kJ dengan efisiensi energi terpakai 82.2%. 4. Pen~gawhR terhadap Efisiensi Energi
Proses pengeringan absorpsi dengan menggunakan tingkat R 2, R 5 dan R 20 menghasilkan profil kesetimbangan energi yang hampir sama. Der~gansemakin lama waktu pengeringan, semakin besar selisih energi yang dilepaskan dari hasil reaksi CaO dengan air, dengan energi yang dibutuhkan untuk pelepasan air dari lada, hingga mencapai nilai tertentu pada akhir pengeringan. Hal ini dapat berarti pula bahwa pengeringan absorpsi dengan tingkat R berbeda memiliki efisiensi energi yang berbeda pula. Proses pengeringan absorpsi diharapkan memiliki efisiensi energi yang tinggi. Bila jumlah energi yang dilepas dari hasil reaksi CaO dengan air besamya sama atau sedikit melebihi kebutuhan energi untuk melepaskan air dan bahan, berarti proses pengeringan absorpsi tersebut cukup efisien dan alai pengering absorpsi yang digunakan dapat dianggap memiliki efisiensi yang tinggi. Bila energi yang dilepaskan oleh reaksi CaO dengan H20 besamya sania dengan energi yang dibutuhkan untuk melepaskan air dari lada, berarti proses pengeringan tersebut memiliki efisiensi 100%. Efisiensi 100% hanya dapat dipenuhi bila proses pengeringan absorpsi berlangsung pada kondisi
adiabatik dimana pada kondisi ini tidak terjadi kebocoran energi selama pro!;es. Energi yang dilepaskan oleh hasil reaksi CaO dengan air digunakan seluruhnya untuk melepaskan air dari lada. ~ P a d akenyataannya, kondisi adiabatik sulit untuk dicapai, karena kondisi lingkungan yang nyata tidak mernungkinkan kebocoran yang sama dengan nol.
Karena itu, dipastikan
bahwa proses pengeringan yang terjadi di dalam lemari pengering absorpsi tetap mengalami kebocoran energi, dengan tingkat efisiensi tertentu. Untuk sejumlah tertentu CaO yang tersedia di dalam kapur api pada setiap tingkat R, selain dihitung efisiensi energi terpakai, juga dapat dihitung efisiensi energi terhadap energi CaO potensial yang tersedia dengan rumus sebagai berikut : Energi penguapan air dari lada (kJ) Efisiensi temadap = energi potensial
x 100% .....(21) Energi reaksi dari seluruh CaO (kJ)
Dari data besarnya energi yang dilepaskan dan diserap untuk setiap tingkat R, dapat dihitung efisiensi energi yang terjadi seperti disajikan pada Tabel 22 (untuk pengeringan mencapai kadar air terendah dengan setiap tinqkat R) dan Tabel 23. (untuk pengeringan lada mencapai kadar air aman perlyimpanan 12% bb). Kurva efisiensi energi terpakai dan efisiensi energi potensial pada pengeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R disajikan pada Gambar 33. Gambar 33, menunjukkan bahwa dengan semakin besar tingkat pelbandingan berat CaO terhadap berat lada (R), maka efisiensi energi terpakai selama proses pengeringan menjadi semakin tinggi mendekati 100%. Dengan penggunaan R 20 yang sangat melebihi kebutuhan CaO secara teoritis, efisiensi yang dapat dicapai adalah sebesar 91.6%. Agar efisiensi pengeringan absorpsi menjadi lebih tinggi, dapat digunakan kapur api dalam junilah sangat beriebih. Tetapi kapur api bekas yang sebagian CaO-nya sudah bereaksi membentuk Ca(OH)* tersebut, biasanya tidak digunakan untuk proses pengeringan absorpsi bahan lain.
Tabel 22. Perhitungan kesetimbangan energi dan efisiensi energi selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R sampai akhir pengeringan
R
Waktu proses pengeri ngan (jam)
Air yang bereaksi dengan CaO (g)
Air yang dilepaskan lads (g)
Energi reaksi CaO dengan air (kJ)
Energi penguapan air dari lada (kJ)
Energi reaksi dari seluruh CaO (kJ)
Efisiensi energi terpakai (96)
Efisiensi terhadao energl potensial(O/o)
2
160.5
184.2
142
663. I
511.2
527.5
77.1
96.9
5
144.5
160
143.5
576
516.6
1331.O
89.7
38.8
20
139.8
156.7
143.6
654.1
517
5322.7
91.6
9.7
Diketahui : W kapur R 2 = 512.9 g, W kapur R 5 = 1294.8 g, dan W kapur R 20 = 5179 g
Tabel 23.Perhitungan kesetimbangan energi dan efisiensi energi selama pengeringan lada secara absorpsi dengan berbagai tingkat R sampai batas kadar air lada aman untuk penyimpanan (12% bb)
R
Waktu proses pengeri ngan sampai 1296 bb (jam)
Air yang bereaksi dengan CaO (g)
Air yang dilepaskan lads (g)
Energi reaksi CaO dengan air (kJ)
Energi pelepasan air dari lada (kJ)
Energi reaksi dari seluruh CaO (kJ)
Efisiensi energi terpakai (%)
Efisiensi terhadap energi potensial (Oh)
2
119.5
165.4
135.9
595.4
489.2
527.5
82.2
92.7
5
92.3
149.6
135.3
538.6
487.1
1331.O
90.4
36.6
20
192
154.3
136.1
555.5
490
5322.7
88.2
9.2
energi potensial akhi ~Efisiensi energi potensial 12% bb (%) --t Efisiensi energi I terpakai akhir
(%I --e-- Efisiensi energi terpakai 12% bb (%)
Perbandingan Berat CaO terhadap Berat Lada, R Gambar 33. Efisiensi energi terpakai dan potensiai pada proses pengeringan lada secara absorpsi pada berbagai tingkat R Pada tingkat R 2, R 5 dan R 20, proses pengeringan absorpsi memiliki efisiensi energi terpakai yang cukup tinggi. Proses pengeringan sampai kadar air terendah maupun sampai kadar air 12% bb, tidak menunjukkan perbedaan efisiensi energi terpakai, sehingga dapat diabaikan.
Efisiensi energi
sebenarnya dapat ditingkatkan apabila tidak dilakukan pembukaan lubang tali penlggantung pada saat penimbangan secara berkala. Walaupun demikian, efisiensi energi yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa rancangan alat pengering absorpsi yang digunakan sudah cukup baik efisiensinya. Efisiensi masih dapat ditingkatkan misalnya dengan memperkecil kebocoran pada bag~ansambungan lemari pengering absorpsi. Efisiensi energi potensial menunjukkan jumlah energi yang digunakan dibandingan energi yang disediakan.
Bila menggunakan kapur api yang
beriebih berarti prose$ pengeringan diberi potensi energi yang lebih tinggi. Pada Gambar 331 teriihat bahwa pada proses pengeringan dengan tingkat R yang semakin tinggi menghasilkan efisiensi energi potensial yang semakin
117
nnenurun. Hal ini berarti bahwa proses pengeringan absorpsi pada R berlebih t~dakekonomis, karena potensi energi yang disediakan berupa jumlah kapur api yang berlebih, hanya digunakan sebagian kecil saja. Pada R 2, potensi energi yang dimiliki digunakan hampir seluruhnya untuk proses pengeringan, sehingga R 2 merupakan proses pengeringan absorpsi dengan efisiensi ekonomis yang tinggi. Bila bahan hanya dikeringkan sampai kadar air 12% bb, efisiensi energi potensial yang terjadi sedikit lebih tinggi dibandingkan pada bahan yang clikeringkan sampai kadar air serendah mungkin, walaupun perbedaan efisiensi energi potensial tersebut dapat diabaikan.
Hal ini berarti bahwa
proses pengeringan absorpsi pada kondisi kadar air yang semakin rendah tetap memiliki efisiensi energi yang tinggi, dan lemari pengering absorpsi yang cligunakan telah cukup baik efisiensi energinya. I. MINYAK ATSlRl LADA
Kadar minyak atsiri merupakan salah satu parameter mutu lada yang sanlgat penting. Dalam spesifikasi mutu lada, perlu dicantumkan kadar minyak atsi~ipada lada yang besamya sangat menentukan harga lada tersebut. Proses pengeringan dengan suhu tinggi seringkali menghasilkan lada dengan kadar minyak atsiri yang rendah karena mengalami penguapan selama pengeringan dengan suhu tinggi. Pada proses pengeringan absorpsi dengan kapur api yang terjadi pada suhu yang rendah, diharapkan lada tersebut tidak mengalami banyak keh~langanminyak atsiri. 1. IPerubahan Kadar Minyak Atsiri Lada Selama Pengeringan
IPada
percobaan
pengeringan
lada
secara
absorpsi
menggunakan
perb ban ding an berat CaO dengan berat lada (R) sebesar R 0.5, R 1, R 2, R 5,
(Jan R 20, diamati terjadinya perubahan kadar minyak atsiri karena proses pengeringan absorpsi. Sebelum pengeringan dilakukan pengukuran kadar Ininyak atsiri pada lada segar, dan setelah lada menjadi kering dilakukan ltembali pengukuran kadar minyak atsirinya. Pengukuran kadar minyak atsiri (Jilakukandengan metode destilasi air (AOAC 1995). Hasil pengukuran kadar
rninyak atsiri lada segar, lada kering setelah pengeringan absorpsi dan nilai penurunan kadar minyak atsiri lada dapat dilihat pada Tabel 24. Contoh cara perhitungan kadar minyak atsiri lada adalah sebagai berikut. Pada R 2, setelah destilasi dapat diperoleh hasil pengukuran kadar rninyak atsiri pada alat destilasi.
Pada lada basah sebanyak 146.75 g,
cliperoleh minyak atisiri sebanyak 1.6 ml. Bila kadar bahan kering lada basah zidalah 36%, maka untuk setiap 100 g lada kering terkandung minyak atsiri
= 1.6 ml : (36% x 146.75 g)
= 3.04 ml minyak atsirill00 g bahan kering Konversi menjadi persen minyak atsiritbahan kering (% bk) n~enggunakanasumsi bahwa berat jenis minyak lada tersebut adalah sebesar 0.884 glml (Purseglove et a/. 1981) dengan contoh perhitungan sebagai berikut : Kadar minyak = 3.04 ml minyak atsirill00 g bk x 0.884 glml minyak atsiri atsiri (% bk) = 2.69% bk Tabel 24. Penurunan kadar minyak atsiri lada pada metode pengeringan absorpsi dengan berbagai tingkat R, metode pengovenan dan penjemuran Kadar Minyak Atsiri Lada Hasil Pengeringan
Kadar Minyak Atsiri Lada Metode
Penurunan Kadar Minyak Atsiri (% bk) 28.28
Keadaan Lada Hasil Pengeringan Rusaklbusuk 1
20.80
Rusaklbusuk Kering Kering
L
Kering I
I
Oven*
-
Jemur*
I -
I
I
I
-
"* Sumber : Halim 1995
Kering Kering I
I
I
I
Hasil pengukuran kadar minyak atsiri menunjukkan bahwa lada yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar minyak atsiri antara 2.76 - 3.06 ml!100 g bahan kering. Bila dikonversikan dalam persen bahan kering pada berat jenis minyak lada sebesar 0.884 (Purseglove et a/. 1981), kadar minyak atairi lada segar tersebut adalah antara 2.44%
- 2.70%.
Purseglove et a/.
(1981) mengemukakan bahwa terjadinya variasi kadar minyak atsiri pada setiap pengambilan sampel dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perbedaan sifat intrinsik akibat tempat penanaman yang berbeda, tingkat kelmatangan buah saat panen, perbedaan dalam metode penanganan dan pengolahan, serta kondisi dan lamanya penyimpanan lada tersebut. Pada perdagangan komersial, kadar minyak atsiri lada hitam berkisar antara 0.6%
- 2.6%. Hasil pengukuran kadar minyak atsiri pada lada segar dan lada yang dikeringkan dengan pengering absorpsi, menunjukkan terjadinya penurunan kadar minyak atsiri. Lada yang dikeringkan secara absorpsi dengan R 2, R 5 dan R 20, mengalami penurunan kadar minyak atsiri antara 1.74% - 4.87%. Hasil penelitian Halim (1995) menunjukkan bahwa penurunan kadar minyak ati:siri lada hitam yang dikeringkan secara absorpsi (perbandingan kapur api lacla = 2000 g / 900 g) adalah sebesar 2.09%. Karena penurunan kadar minyak atsiri yang terjadi sangat kecil dan sangat mungkin dipengaruhi val-iasi antar unit percobaan, penurunan yang terjadi pada kadar minyak atsiri tersebut dapat diabaikan.
Pengeringan absorpsi dapat dianggap tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kadar minyak atsiri pada lada. Pengeringan absorpsi terjadi pada kondisi suhu rendah sekitar 2g°C, seliingga minyak atsiri lada yang sensitif terhadap suhu tinggi tidak banyak hilang. Berbeda dengan metode pengeringan lain yang menggunakan oven pe~igering bersuhu tinggi maupun penjemuran, lada yang dikeringkan mengalami penurunan kadar minyak atsiri yang cukup tinggi. Halim (1995) teli3h melakukan proses pengeringan lada menggunakan oven pada suhu 801'C, dan kadar minyak atsiri yang hilang selama pengeringan oven tersebut adalah sebesar 17.80% dari kadar minyak atsiri awal. Selain itu
Halim (1995) juga telah melakukan pengukuran kadar minyak atsiri lada yang dikleringkan dengan penjemuran dengan
sinar
matahari.
Selama
perijemuran terjadi penurunan kadar minyak atsiri lada sebesar 10.65%. Menurut Purseglove et a/. (1981), perubahan kadar minyak atsiri dan piperin biasanya tidak terlalu besar selama pengolahan lada segar menjadi lada hitam dengan metode penjemuran. Kehilangan minyak atsiri akan terjadi selama pengeringan buatan bila suhu pengeringannya tidak dikontrol dengan baik. Menurut Purseglove et a/. (1981), komponen utama minyak atsiri lada adalah monoterpen hidrokarbon dan sejumlah sesquiterpen hidrokarbon yang bersifat volatil atau mudah menguap terutama pada suhu tinggi. Guenther (1990) juga mengemukakan bahwa persenyawaan minyak atsiri be~sifattidak stabil pada suhu tinggi. Daya fugasitas atau pelepasan minyak atsiri dari lada akan semakin meningkat dengan semakin tingginya suhu pengeringan yang diterapkan. Bila proses pengeringan lada dilakukan pada suhu tinggi misalnya pengeringan dengan oven, minyak atsiri lada yang mudah menguap akan hilang. Akibatnya, kadar minyak atsiri lada kering menjadi rendah. Pada proses pengeringan absorpsi yang terjadi pada suhu rendah, minyak atsiri lacla tidak banyak menguap sehingga lada kering yang dihasilkan tetap memiliki kadar minyak atsiri yang tinggi. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditnjau dari segi mutu kadar minyak atsiri lada. Pada proses pengeringan dengan penjemuran, suhu pengeringannya masih relatif lebih tinggi dibandingkan suhu pengeringan absorpsi, yaitu sekitar 50°C. Selain itu waktu proses penjemuran cukup lama yaitu selama 7
- el hari (Rusli et a/. 1989), sehingga lada akan mengalami penurunan kadar minyak atsiri yang lebih besar. Apalagi proses penyinaran dengan sinar matahari, memberi efek tertentu pada minyak atsiri yang terkandung pada lada.
Menurut Guenther (1990), persenyawaan terpen dan sesquiterpen
yang tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi dan resinifikasi di bawah pengaruh cahaya dan udara, sehingga merusak bau dan flavor akibat perubahan pada minyak atsirinya.
2. Pe~igaruhR terhadap Kadar Minyak Atsiri Lada Proses pengeringan secara absorpsi dengan tingkat R 2, R 5 dan R 20 dianggap tidak menyebabkan penurunan kadar minyak atsiri pada lada. Berbeda dengan proses pengeringan absorpsi dengan R 0.5 dan R 1, terjadi penurunan kadar minyak atsiri yang sangat besar. Hal tersebut diduga disebabkan oleh terjadinya kerusakan atau kebusukan pada lada yang tidak berhasil dikeringkan sampai kadar air aman penyimpanan (12% bb). Pada kedua R tersebut, lada menjadi busuk dan ditumbuhi jamur. Selain penurunan kadar minyak atsirinya cukup besar (28.28% pada
R 0.5 dan 20.80% pada R I), secara visual minyak atsiri yang diperoleh pada lacla dengan R 1 dan R 0.5 berwarna coklat kehitaman.
Hasil tersebut
berbeda dengan minyak atsiri yang diperoleh dari lada yang kering sempuma pada R 2, R 5 dan R 20, yang berwarna bening kuning kehijauan. Lada yang busuk berwama hitam, lunak, dan berbau busuk sehingga minyak atsiri yang dihasilkan juga berwarna coklat kehitaman. Terjadinya pembusukan dan pertumbuhan mikroba mengakibatkan lada menjadi kehilangan bau khas ladanya dan menjadi berbau busuk. Pada saat teqadi pembusukan terjadi proses oksidasi dan resinifikasi pada minyak atsiri lada. Diduga komponen minyak atsiri lada yang memberikan aroma khas lada telah mengalami kerusakan sehingga kadar minyak atsiri lada tersebut mengalami penurunan yang cukup besar.