IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Merapi 4.1.1. Sejarah Pola Pemanfaatan Kawasan Merapi oleh Masyarakat Lokal Sejarah pola pemanfaatan kawasan Merapi bisa diketahui dari hasil studi yang dikejakan oleh Pranowo pada tahun 1985. Studi yang dilakukan di Desa Kawasty nama fiktif daerah penelitian yang terletak di salah satu desa pedukuhan di lereng Gunung Merapi, ditengarai merupakan studi di kawasan Merapi yang pertama kali membahas kehidupan masyarakat kawasan Merapi dari perspektif antropologi. Hasil studi ini memperlihatkan bahwa sebelum tahun 1912, penduduk kawasan Merapi tel*.
melakukan kegiatan pertanian di lereng Gunung
Merapi. Kegiatan ini terhenti karena pada tahun 1912 pemerintah Belanda mengukuhkan daerah perladangan yang ada di hutan menjadi hutan lindung. Hal
ini tidak berarti bahwa sebelum pengumuman resmi itu dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, penduduk secara tidak sah mendiami bagian atas lereng itu. Ini malahan berarti b m a penduduk desa itu jaman dulu sudah mempunyai hak milik atas bagian atas lereng tersebut, dan bahwa ini diambil secara paksa oleh pemerintah penjajah. Menurut Pranowo (1985), yang disebut sebagai ladang bagi masyarakat lereng Merapi di zam9 dahulu adalah wono atau alas yang artinya sistem pertanian yang dilakukan di dalam hutan. Sistem pertanian dilakukan dengan pola berpindah-pindah. Teknik perladangan dilakukan dengan cara penebangan dan pembakaran vegetasi berkzyu, kemudian diikuti dengan penanaman selama satu sampai tiga tahun. Apabila ladang yang dibuka itu kurang menghasilkan umurnnya akan mereka tinggalkan, dan peladang akan membuka ladang baru di daerah yang lain. Untuk memberi tanda pada tanah yang sudah digarap, peladang memberi tanda hak milik tanah berupa tanaman pohon keras misalnya pohon nangka ataupun bambu. Pola perpindahan ladang disebut masa bero (rotasi perladangan) yaitu jangka waktu sejak saat sebidang tanah ladang ditinggalkan sampai diusahakan kembali sebagai ladang yang baru. Sistem bero dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Masa bero yang paling baik berlangsung selama paling sedikit empat tahun.
Gagasan pengukuhan kawasan hutan di lereng Merapi menjadi hutan lindung oleh pe~nerintahBelanda ini dimaksudkan untuk mengatasi pola banjir maupun erosi yang sering membawa bencana bagi daerah perkotaan (seperti Yogyakarta, Solo dan Magelang). Sistem perladangan di lereng Merapi dianggap sebagai penyebab banjir dan erosi tanah di daerah bawah. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda dalam rangka meniadakan sistem perladangan di lereng Merapi ini ada dua yaitu: pertarna, melarang penduduk di sekitar lereng Merapi membuka ladang di dalam kawasan hutan. Kedua, memindahkan penduduk yang mas& bermukim di dalam hutan ke daerah lereng bawah. Akibat dari kebijaksanaan ini pola pertanian masyarakat lereng Merapi mengalami pembahan dari sistem perladangan menjadi pola pertanian menetap dengan sistem tegalan. Sistem pertanian yang baru ini membutuhkan pup& kandang sebagai ganti ,mass bero. Perubahan sistem bercocok tanam ini juga berarti pembahan dalam pola pemeliharaan temak. Jika sebelumnya pemeliharaan temak dimaksudkan sebagai simbol status sosial dan tabungan, kini fungsinya bergeser untuk memperoleh pupuk untuk menyuburkan tanah pertanian. Sejak kehidupan dipindahkan ke bawah, sistem pemeliharaan temak dengan digembalakan ke dalani hulan beralih ke dalam sistem pemeliharaan di dalam kandang. Petemak juga diharuskan menyisihkan waktu untuk mencari rumput untuk pakan temak. Adanya bencana letusan Gunung Merapi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1969, dan 1976 menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru bempa program transmigrasi ke Sumatera bagi sebagian masyarakat lereng Merapi. Pemerintah juga menjadikan kawasan pemukiman yang ditinggalkan menjadi kawasan hutan lindung. Dengan demikian kawasan hutan lindung makin lama mengalami perluasan hingga meminggirkan masyarakat lereng Merapi itu sendiri. Sementara itu, program transmigrasi kenyataannya tidak terlalu berhasil karena banyak penduduk yang kembali lagi ke daerahnya semula. Alasan kembalinya penduduk ke lereng Merapi adalah karena tidak betah di daerah transmigrasi dan karena ingin mengurus masalah ganti mgi tanah dengan pemerintah yang belum selesai. Bagi mereka 'yang meninggalkan kawasan pemukiman pemerintah Belanda memberikan ganti mgi sebesar nilai harga tanaman palawija yang mereka
tanam. Sedangkan luas tanah yang dimiliki peladang tidak mendapatkan ganti rugi. Kebijakan ini membenkan dampak yang tidak menyenangkan bagi peladang karena tanah pertanian di pemukiman barn urnumnya kurang subur dibanding sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan penduduk mengalami kesulitan ekonomi akibat menu-ya
produksi pertanian.
Dari sejarah pofa pemanfaatan kawasan Merapi tersebut bisa dipahami bahwa masyarakat lereng Merapi mei..gelami pengurangan akses terhadap sumberdaya hutan. Dari semula memiliki akses penuh kemudian mulai terpinggirkan. Masyarakat lokal juga disebut sebagai penyebab hilangnya keseimbangan ekologis (banjir dan longsor) yang mengakibatkan bencana bagi masyarakat kota. Kebijakan terhadap masyarakat kawasan Merapi pada waktu itu menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kota dibandingkan masyarakar sekitar Merapi.
4.1.2.
Sejarah Pemiliiran Perubahan Pola Pengelolaan dan Pemanfaatan Gunung Merapi Sampai Dengan Munculnya SK Penetapan TNGM
Di abad 19, pengelolaan hutan dan berbagai bentuk pengendalian terhadap hutan di Jawa mencapai puncaknya. Inilah saat awal ketika Belanda membuat pemetaan dan membuat garis batas yang membedakan fungsi lahan untuk hutan dan pertanian. Belanda juga menempatkan satuan polisi hutan untuk membatasi akses masyarakat terhadap hasil hutan baik yang berupa kayu maupun non-kayu. Melalui proses uji coba, peraturan untuk pengelolaan hutan produksi mulai dicantumkan dalam undang-undang kolonial, dengan tujuan hidrologis. Ideologi tentang perhutanan yang "ilmiah" mulai diperkenalkan oleh penguasa kolonial dan para rimbawan mereka, sementara institusi lokal yang terkait dengan persoalan akses dan properti hutan perlahan-lahan mulai dihilangkan dari wacana yang sah. Gagasan dari periode ini, berikut pengaruh kebijakan ini terhadap kehidupan masyarakat 'yang tinggal di sekitar hutan tetap menjadi ha1 yang penting hingga saat ini, perundangan terakhir mengenai kehutanan yang dinyatakan efektif oleh pemerintah Belanda dibuat pada akhir tahun 1920an dan menjadi dasar pengelolaan kehutanan kontemporer di Indonesia. Dari periode ini pula kemudian diperoleb terminologi bagi mereka yang melanggar hak akses di
hutan dan hasil hutan seperti: "pencurian hutan", "pelanggaran batas hutan", "perambahan hutan", dan "perumputan liar". Meski begitu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetap saja melakukannya dalam keseharian mereka (Peluso 1992). Kebijakan pemerintah Belanda di Merapi sendiri seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya ditengarai dimulai pada tahun 1912. Pada tanggal 4 Mei 1931 pemerintah kolonial Bc!wda mengeluarkan Gouvernements Besluits (GB) No. 4197B mengenai penetapan status hutan lindung di kawasan Merapi seluas + 6.472,l hektar yang terletak di Provinsi DIY dan Provinsi Daerah Tingkat I (waktu itu) Jawa Tengah. Di kawasan seluas 228,5 hektar yang terlelak di Provinsi DIY, Belanda jnenekankan tidak hanya fungsi hidrologi melainkan juga bontani dan estetika (BKSDA DIY dan PSA UGM 2004). Dalam perspektif sejarah kegunungapian, kebijakan pemerinuh kolonial Belanda pada tahun 1931 terbit dalam upaya mensikapi letusan Gunung Merapi pada tahun 1930 yang menelan korban hingga 1.369 jiwa. Letusan pertama menurut catatan Direktorat Vulknologi letusan Gunung Merapi tejadi pada tahun 1006. Tahun ini dipercaya sebagai letusan terdahsyat yang menyebabkan perpindahan pusat Kerajaan Mataram Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur akihat hancurnya bangunan pemukiman dan candi. Meski ada argumen lain dari perspektif yang berbeda yang menyatakan bahwa letusan pertama tejadi pada tahun 1016, satu ha1 yang dipercaya adalah bahwa letusan tersebut telah mengubur banyak candi yang baru diketemukan beratus tahun kemudian seperti Candi Asu, Candi Pendem, Candi Kangkoso, Candi Borobudur sendiri di daerah Magelang, Jawa Tengah juga Candi Sambisari di daerah Sleman, DIY (Wiharyanto 2006). Setelah
Indonesia
merdeka,
pengelolaan
kawasan
Merapi
tetap
mengadaptasi kebijakan pemerintah kolonial Belanda yaitu pengelolaan sebagai kawasan lindung untu& menjaga fungsi hidrologis serta pengelolaan kawasan secara b u s sebagai daerah rawan bencana. Belanda juga mewariskan dinas pemantauan kegunungapian yang masih difungsikan hingga kini. Kilasan sejarah ini sedikit berbeda dengan apa yang diungkapkan Peluso (1992) pada paragraf sebel~imnyayaitu ketika pemerintah kolonial mengembangkan pengelolaan hutan
di pulau Jawa dengan tujuan fungsi produksi sekaligus fiingsi hidrologis. Sementara pada pengelolaan hutan di kawasan Merapi semenjak awal memang tidak
ditekankan
pada
fungsi
produksi
melainkan
fungsi
hidrologis
berlatarbelakang dinamika Merapi sebagai gunung api yang masih aktif. Pengelolaan hutan dengan fungsi produksi diterapkan di daerah selatan Yogyakarta yaitu di Gunung Kidul untuk memperoleh kayu gelondong, kayu bakar, batu bara untuk bahan bakar kereta api, pabrik, dan industri lainnya untuk mensuplai kebutuhan perang. Menilik sejarah .pols pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Merapi tersebut, nampak bahwa pada mulanya pengelolaan kawasan Merapi ditujukan
untuk fungsi pelestarian alam. Narnun kepentingan masyarakat setempat tidak mendapatkan perhatian. Fungsi tersebut semenjak awal memang ditujukan untuk kepentingan masyarakat yang tinggal di bawah atau masyarakat kota. Ketika fungsi tersebut "ditingGatkan statusnya" menjadi Taman Nasional, kepentingan yang masuk tidak lagi hanya untuk masyarakat kota melainkan juga demi negara. Pengelolaan kawasan Merapi kian lama semakin tidak membumi, melainkan untuk kepentingan yang terlalu tinggi. Kritik dari Omop-L dan beberapa kalangan akademisi dan intelektual untuk mencabut keputusan penetapan Taman Nasional atau setidaknya menunda hingga masyarakat setempat siap menerima konsep Taman Nasional tidak diterima oleh pemerintah.
4.1.3. Sejarah Konflik Surnberdaya AIarn di Kawasan Merapi. Konflik sumberdaya alam di kawasan Merapi dimulai ketika pemerintah kolonial Belanda mulai mengatur kawasan Merapi pada tahun 1912. Sejak saat itu masyarakat untuk pertarna kalinya merasakan adanya kebijakan yang tidak berpihak pada mereka; yaitu ketika mereka dianggap sebagai penyebab ketidakseimbangan ekosistem karena kegiatan pertanian di lereng Merapi dituduh sebagai penyehab banjir dan erosi yang menyengsarakan masyarakat kota. Rasa sakit hati ini makin menjadi ketika kemudian mereka tak hanya diharuskan menghentikan aktivitas pertaniannya, namun juga dipindahkan ke daerah yang lebih bawah hingga memutuskan akses mereka pada hutan. Kebijakan ini jugz tidak mengindahkan adarlya ritual-iitual yang selama i~?irelab dikejakan oleh
masyarakat setempat s e h a turun ternnurun. Menurut Pranowo (1985) masyarakat memiliki jalinan spiritual dengan roh Merapi yang diyakini mampu mengelakkan mereka dari bahaya bencana alanl. Sesudah masa kemerdekaan, alih-alih membuat kebijakan pengelolaan kawasan Merapi yang ; b m , Pemerintah Republik Indonesia mengadopsi dan meneruskan kebijakan yang telah diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu pengawetan dan perlindungan dam demi kepentingan masyarakat kota, yaitu: perlindungan dari banjir, erosi, ketersediaan cadangan air, dan tempat untuk melakukan wisata dam. Di masa reformasi, kebijakan pemerintah terhadap kawasan Merapi masih juga sama. Kawasan Merapi membuka akses bagi masyarakat luar namun sekaligus meminggirkan masyarakat lokal. Menurut data statistik, jumlah hotel dan penginapan di Kawasan Wisata Kaliurang, yang terletak di
DIY terus
meningkat selama 5 tahun terakhir dari 182 di tahun 1999 rnenjadi 256 di tahun 2004 (Kecamatan Pakem dalam Angka Tahun 2005). Menurut Christian Awuy, tokoh masyarakat pariwisata Kaliurang, jumlah hotel dan penginapan di Kaliurang sebenarnya sudah mencapai titik jenuh. Di kawasan wisata ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sle~mnmelalui Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan t m t ambil bagian mengelola fasilitas pariwisata dan m e ~ k m a tretribusi i untuk peningkatan pendapatan daerah. Pernerintah DIY juga mendapatkan pemasukan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang mengelola Taman Wisata Alam Plawangan Turgo. Menurut hasil studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional UGM (2000), di lokasi pertambangan pasir dan batu di Sungai Putih (Kecamatan Srumbung) dan Sungai Senowo (Kecamatan Dukun), sebagian besar tenaga kerja penambangan (83,3%) berasal dari luar desa sekitar lokasi penambangan atau penambang pendatang. Jumlah penambang lokal atau penduduk asli hanya sebanyak 16,7%. Penambang pendatang berasal dari desa-desa lain yang termasuk dalam kecamatan Srumbung maupun Dukun, namun yang lebib banyak berasal dari daerah luar daerah kecamatan, bahkan adaiyang berasal dari luar Kabupaten Magelang, yakni dari Temanggung. Di antara dua lokasi penambangan ini, jumlah penambang
pendatang di Srumbung (76,7%) lebih besar daripada di Dukun (63,3%). Fenomena ini mendorong munculnya organisasi penambang manual yang notabene adalah masyarakat setempat yang diberinama Paguyuban Gotong Royong (Goro). Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, kawasan pertambangan pasir adalah salah satu sumber pemasukan pendapatan daerah. Kebijakan pemerintah untuk melakukan eksploitasi pasir di kawasan Merapi menjadi buah simalakama manakala aktivitas penambangan menjadi berlebihan dan memsak hutan lindung.
Dari kilasan sejarah konflik tersebut nampak bahwa kawasan Merapi menjadi ajang percaturan berbagai kepentingan semenjak kawasan itu mulai dikelola oleh Pemerintah Belanda. Dimulai dari dipinggirkannya kepentingan masyarakat lokal tergantikan oleh kepentingan masyarakat kota kemudian menjadi kepentingan negam Penetapan status TNGM di kawasan Merapi memicu kanflik baru karena penetapan ini akan membah mekanisme akses dan hak sumberdaya d a m di kawasan Merapi. Selain itu, konflik baru yang muncul memperdebatkan konsep pengelolaan kawasan Merapi. K o d i k ini dipicu oleh reaksi para intelektual dan Omop-L dalam mengkritisi gagasan TNGM yang dimuncukan oleh pemerintah. Hasil dan pembatpsan mengenai kondisi sesudah penetapan TNGM diulas dalam sub bab berikutnya, dimana para aktor, mekanisme akses sumberdaya alarn, serta konflik sumberdaya alam di kawasan TNGM dianalisis dengan menggunakan perspektif ekologi politik.
4.2. Identifhsi ~ k t o r Peran, ; dan Kepentingannya Analisis ekologi politik di TNGM dilakukan dengan mengamati bagaimana masing-masing aktor berjuang untuk mengendalikan lingkungan. Analisis ini diiakukan untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dan kepentingan para aktor itu sendir;. serta iuntuk memaharni bagaimana aktor saling berinteraksi. Pengamatan dimulai dengan mengidentifikasi aktor, peran, dan kepentingannya kemudian mengamati bagaimana dinamika politik dan mengidentifikasi pola interaksi organisasional mereka. Hasil identifikasi aktor di TNGM adalah sebagai berikut:
4.2.1.
Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Daerah lstimewa Yogyakarta
(BKSDA DIY) semula adalah Unit Konsewasi Sumber Daya Alam Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.6187Kpts-IU2002 tanggal 10 Juni 2002. BKSDA DIY adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan d m Konsewasi Alam Departemen Kehutanan. Tugas pokoknya melaksanakan pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata darn d m taman buru serta konsewasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan. Fungsi BKSDA DIY adalah: (1) Penyusunan rencana, program dan evaluasi, pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar dam, taman wisata alam d m taman buru, konsewasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan; (2) Pengelolaan kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru, konsewasi Wbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan; (3) Perlindungan, pengamanan dan karantina sumber daya dam hayati di dalam dan di luar kawasan; (4) Pengamanm, perlindungan dan penanggulangan kebakaran hutan; (5) Promosi dan informasi konsewasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam dan taman buru; (6) ~elaks&aanbina wisata alam dan cinta alam serta penyuluhan 1:onsewasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (7) Kerjasama
pengembangan konsewasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (8) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. BKSDA DIY m e m i l i dua seksi konsewasi yaitu: (1) Seksi Konsewasi Wilayah I yang membawahi Kabupaten Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta; dan (2) Seksi Konsewasi Wilayah I1 yang membawahi Kabupaten Bantu1 dan Kabupaten Gunungkidul. Di kawasan Merapi, BKSDA memiliki satu unit polisi hutan. Sebelum TNGM ditetapkan, BKSDA DIY bertanggung jawab mengelola Cagar Alam Plawangan Turgo seluas 164,75 hektar. Untuk pengamanan dan koordinasi di lapangan, BKSDA DIY memiliki satu unit khusus yaitu Resort Polisi Hutan (RPH) Kaliurang BKSDA DIY. Semenjak TNGM ditetapkan, melalui SK Dijen PHKA No. 140lIVlSet-312004,.BKSDA DIY ditunjuk sebagai institusi pengelola TNGM senientara sebelum Balai TNGM terbentuk.
4.2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta (Dishutbun DIY) bertanggung jawab kepada Gubemur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kawasan konservasi Merapi, institusi ini bertugas mengelola Hutan Lindung Sleman seluas 1.146,13 hektar dan Taman Wisata Alam Plawangan Turgo seluas 117,50 hektar yang memiliki 7 obyek wisata yaitu: (1) Air terjun Tlogo Muncar; (2) B m i perkemahan; (3) Hutiin Wisata Tlogo Nirmolo; (4) Hutan Wisata Tlogo Plawangan; (5) Watu Ploso; (6) Pronojiwo (habitat kera liar); (7) Gua Jepang sebanyak 22 buah. Tanggung jawab Dishutbun DIY selain rehabilitasi lahan, konservasi, dan keamaimn, juga penarikan retribusi para wisatawan. Besarnya retribusi adalah Rp 500,- per orang dengan rincian Rp 100,- untuk Asuransi Jasa Raharja dan Rp 400,- sebagai bea masuk. Operasional di lapangan dijalankan oleh satu unit Kesatuan Resort Pemangku Hutan (KRPH) Kaliurvlg yang dikepalai oleh seorang mantri hptan dengan 26 st&.
Setiap tahunnya Dishutbun DIY
menganggarkan Rp 191,6,- juta untuk gaji karyawan di hutan lindung Sleman. Untuk rehabilitasi hutan dianggarkan sesuai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung (GNRHL) sebesar Rp 2 juta per hektar. KRPH Kaliurang bekerjasama dengan RPH Kaliurang BKSDA dalam menjalankan tugas fungsional di lapangan. 4.2.3. Perusahaan Kehutanan Indonesia (Perhutani) Unit I Jawa Tengah
Sesuai dengan lokasi penelitian yang dilakukan di Kecamatan Dusun dan Kecataman Srurnbung yang berbatasan dengan hutan lindung yang terletak di lereng Gunung Merapi. bagian arah Barat maka unit Perhutani yang termasuk dalam pengamatan adalah unit Resort Pemangku Hutan (RPH) Nggumuk. Secara administratif wilayah hutan lindung RPH Nggumuk termasuk dalam wilayah kerja Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu Utam Perhutani Unit I Jawa Tengah. Hutan yang dielola seluas 2480,4 hektar terdiri dari 4 petak clan dibedakan menjadi: a. Hutan lindung terbatas (HLT) b. Hutan tanaman, Kelas Umur I, 11,111, IV, dan Masak Tebang c. Hutan tidak prqduktif (TPR) yang berupa sernak belukar
d. Lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI), sebagai areal atau tanggul d m pengaman lahar Gunung Merapi seluas sekitar 1,5 hektar e. Petak yang ditanami jenis kayu lain bempa tanaman dadap campur waru dengan sekitar luas 5,5 hektar. Pada kawasan hutan di lereng ini diusahakan tanaman jenis Pinus sebagai tanaman murni dengan:kerapatan sekitar 1350 pohon per hektar, tetapi dengan kelas umur yang berbeda (BKSDA DIY dan PSA UGM 2004). Semenjak tahun 2002, Perhutani Unit I Jawa Tengah melaksanakan program Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PHBM diwujudkan dengan pembentukan desa model PHBM diiana satuan terkecil PHBM adalah desa dengan petak-pet& hutan pangkuannya. Adapun wujud kegiatan PHBM meliputi kegiatan pengelolaan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan terdiri dari:
1. Dalam kawasan hutan, terdiri dari bagi hasil kayu dan non kayu, turnpangsari, din pemanfaatan lahan di bawah tegakan. 2. Luar kawasan hutan, antara lain pengembangan hutan rakyat, pengembangan petemakan, perikanan, aneka usaha kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan. Sampai dengan awal tahun 2004 telah terbentuk 833 desa PHBM dari 2.174 desa hutan yang ada di Jawa Tengah. Program ini memberikan dampak positif bempa (1) Menurunnya tingkat kriminalitas di desa PHBM yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat kehilangan pohon sebesar 69%; (2) realisasi bagi hasil yang cukup besar, perhitung* sampai dengan Maret 2004 mencatat angka Rp 413,45 juta dengan rincian Rp 296,85 juta untuk kayu dan Rp 116,59 juta untuk non kayu (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2004). Di RPH Nggumuk, PHBM diwujudkan dengan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan tanaman salak sebagai tanaman utama seluas
10 hektar.
Program ini dianggap tkak terlalu berhasil karena hanya dimanfaatkan oleh satu orang saja. Sebagian besar penduduk di Srumbung dan Dukun lebih tertarik untuk menjadi buruh pe~ambangpasir yang hanya bermodalkan peralatan sederhana dan murah dibandingkan jika harus mengelola lahan meskipun bibit salak disediakan oleh Perhuitani.
Selain sebagai hutan lindung, RPH Nggvtnuk juga memiliki fungsi sebagai hutan produksi yang memproduksi hasil hutan non kayu yaitu getah pinus. Getali pinus ini nantinya akan diproses menjadi terpentin untuk selanjutnya diekspor ke ke berbagai negara seperti India, Bangladesh, Pakistan, Taiwan, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara di Eropa. Untuk menderes pinus, Perhutani mempekerjakan 8 orang penduduk dengan upah Rp 11.000 per kg. Pada tahun 2005, hasil getah pinus RPH Nggumuk sebanyak 24.424 ton. Di tahun 2006, produksi menurun drastis menjadi hanya 8,9 ton. Kegiatan penderesan terhenti hanya sampai bulan Mei semenjak status Merapi berubah menjadi awas Merapi.
4.2.4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Di kawasan Merapi, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sleman memanfaatkan air dari mata air Umbul Wadon melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman dan mengelola Kawasan Wisata Kaliurang melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Diparbud) dan Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD). BPKKD adalah institusi yang baru eksis pada tahun 2001 untuk melaksanakan fungsi inventarisasi dan pengelolaan aset-aset Pemda. Fungsi ini sebelumnya dijalankan oleh Sekretaris Daerah. Di kawasan pariwisata Kaliurang, Diparbud mengelola beberapa fasilitas wisata, tempat parkir, dan izin kegiatan.
4.2.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang Dua sektor perekonomian Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Magelang yang terkait dengan keberadaan Merapi adalah (1) sektor pertanian dan (2) sektor pertambangan dan penggalian Bahan Galian Golongan (BGG) C yang terletak di kecamatan Srumbung dan Dukun. Beberapa jenis sayuan unggulan adalah kubis, kacang panjang, buncis, tomat. Sementara jenis buah unggulan adalah salak. Sektor pertanian memberikan memberikan konhibusi pendapatan sebesar 28% bagi Pemda Kabupaten Magelang sementara sektor pertambangan dan penggalian hanya 2% (Kabupaten Magelang Dalam Angka Tahm 2004). Meskipun nilainya kecil, sektor pertambangan dan penggalian cukup signifikan artinya. Potsnsi pasir dan batu produk Gunung Merapi merupakan bahan galiax
andalan dari Kabupaten Magelang yang telah terbukti bernilai di pasaran, baik di dalam Kabupaten Magelang maupun Provinsi Jawa Tengah dan DIY (Kantor Pertamben Magelang 2006). Sektor pertambangan pasir memberikan pendapatan bagi Pernda Magelang melalui pertama, penarikan Retribusi Surat Ijin Pertarnbangan Daerah (SIPD) dengan tarif sebesar Rp 150.000,- bagi para penambang. Masa berlaku SIPD adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan berlaku 1 (satu) tahun. Besar kecilnya biaya retribusi tergantung pada jenis SIPD yang dimohon seperti terlihat pada tabel 6 berikut ini :
Tabel 6.
Unsur-~nsurdalam pembiayaan retribusi penambangan pasir di Kabupaten Magelang Aspek penambangan Skala Angka Indeks 1. Luas areal Perorangan seluas maksimal 1 ha berbeda lokasi dapat diberikan 5 SIPD Badan hukum seluas maksimal 10 ha dalam 1 lokasi diberikan 1 SIPD, maksirnal 10 ha beda !okasi dapat diberikan 5 SIPD. 2. Peralatan yang digunakan Besar (back hoe/excavator, dump buk, buldozer) Sedang Kecil (badisional) 3. Waktu yang digunakan Siang (6-18 WIB) Malam (19-6 WIB) Sang-malarn(24 jam) 4,5 Contohperlzitungan: Penambang tradisional (indeks 1) dengan luas areal 1 ha (indeks I) dengan waku menambang siang (indeks 2,5), jumlah peralatan 1 (indeks 1) Biaya yang hams dibayar: lx1x2,5x1x150.000 = 375.000 Sumber: Perda Kabupaten Magelang No. 2312001 Penarikan biaya Reklamasi ditetapkan sebesar Rp 1.500.000,- per hektar Penarikan retribusi dan biaya reklamasi ini dikelola oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Perda Kabupaten Magelang No.23/2001). Kedua, pendapatan yang diperoleh meldui penarikan Pajak yang dikelola oleh BPKKD dengan perhitungan seperti pada tabel berikut:
Tabel 7.
Besarnya pajak yang barus ditanggung pengusaha pertambangan pasxr NO Jenis Angkutan Jumlah Perhitungan Pajak Besarnya Paiak Muatan 1 Tronton Jumbo 16 M' 16 M'x Rp 12.000,-x 20% Rp 38.400,2 Tronton Dum 14 M' 14 M' x Rp 12.000,-x 20% Rp 33.600,3 Engkel 10 M3 10 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 24.000,4 Cekether 6 M' 6 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 14.400,5 Colt Diesel 5 M~ 5 M3x Rp 12.000,-x 20% Rp 12.000,Sumber: SK Bupati Magelang No. 973/145/27/11/2005 Besamya pendapatan Pemda Kab. Magelang selama 2001-2005 adalah sebagai berikut: Tabel 8.
Besarnya pendapatan pemda kab. Magelang dari penarikan pajak pertambangan BGG-C Tahun Pendapatan (Rupiah) 2001 2.218.387.020
2.608.38 1.350 2005 Catatan: Pendapatan ini merupakan gabungan dari penarikan pajak di lima loket yang ada di 3 kawasan yaitu Srumbung (Jumoyo, Salam, Kerakitan, Gulon, Prebutan), Dukun (Patosan), dan Growol (untuk penamhangan di hilir sungai). Sumber: BPKKD Kabupafen Magelang (2006)
4.2.6. Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGM Pengamatan terhadap masyarakat di kawasan penyangga TNGM dilakukan di tiga desa yang mewakili tiga karakter utama interaksi masyarakat dengan alam di kawasan Merapi. Pertama, adalah masyarakat petani petemak di desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Ngargomulyo berpenduduk 2.417 jiwa terdiri dari 1.201 laki-laki dan 1.216 wanita. Luas wilayahnya 9,47 km persegi dengan kepadatan penduduk 255,23 jiwa per km persegi. Banyaknya rumah tangga 706 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3,8 jiwa. Desa Ngargomulyo memiliki 11 dusun. Mata pencaharian penduduk rata-rata adalah bertani. Jumlah petani dewasa 608 jiwa, petani wanita 706 jiwa, dan petani muda 251 jiwa. Jenis komoditas sayur dan buah yang dihasilkan adalah padi, jagung, cabe, tomat, buncis, kubis, ketela pohon, ketela rambat, salak, pisang (Kecamatan Dukun Dalam Angka Tahun 2004). Selama bertahun-tabu secara turun tenlurun masyarakat di Desa
Ngargomulyc berperan membentuk karakter alam di lereng Merapi, mengolah lahan untuk pertanian dan mengelola aliran air dari sumber mata air untuk keperluan pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Kedekatan dengan dam membantu mereka mengenal tanda-tanda fenomena Gunung Merapi yang secara periodik meletus mengeluarkan lava panas. Kedua, masyarakat di Kawasan Wisata Kaliurang Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY. Desa Hargobinangun berpenduduk 7.216 jiwa terdiri dari 3.567 laki-laki dan 3.549 wanita. Luas wilayahnya 14,30 km persegi dengan kepadatan penduduk 505,61 per km persegi. Banyaknya rumah tangga 2.239 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga tiga jiwa. Desa Hargobinangun memiliki 12 dusun dengan jumiah penduduk per dusun sekitar 601 orang. Di desa ini jumlah hotel dan penginapan terus meningkat selama iima tahun terakhir dari 182 di tahun 1999 menjadi 256 di tahun 2004. Jumlah tenaga kerja yaqg bekerja di hotel dan penginapan sebanyak 411 orang dengan rincian 21 1 tenaga kerja dibayar dan 204 tidak dibayar karena pernilik atau anggota keluarga (Kecamatan Pakem Dalam Angka Tahun 2004). Menurut Asosiasi Perhotelan Kaliurang, pertumbuhan hotel di kawasan wisata Kaliurang adalah delapan hotel per tahun. Tingkat hunian hotel rata-rata 40%. Ketiga, masyarakat penambang pasir batu di Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Ngargosoka berpenduduk 2.031 jiwa terdiri dari 999 laki-laki dan 1.032 wanita. Luas wilayahnya 4,12 km persegi dengan kepadatan penduduk 493 jiwa per km persegi. Banyaknya rumah tangga 537 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 4 jiwa. Mata pencaharian penduduk rata-rata bertani; sebanyak 736 orang adalah petani yang bekerja di lahan sendiri dan 131 menjadi buruh tani (Kecamatan Srumbung Dalam Angka Tahun 2004). Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang tidak
mencantumkan mata
pencaharian
buruh
penambang
pasir
atau
penylenggrong atau bumh c o k r sebagai salah satu mata pencaharian. Menurut Kepala Desa Ngargosoka, jumlah penduduk Ngargosoka yang menjadi buruh penambang pasir Jpenylenggrong sekitar 80% baik laki-laki maupun wanita. Sebagian menjadikan pekejaan menylenggrong sebagai usaha sampingan, namun ada pula yang tidak memiliki ketrampilan dan lahan sehingga menggantungkan
matapencahariannya sebagai buruh penambang pasir. Menurut data Kantor Pertambangan dan Energi Kabupaten Magelang (2005) di tercatat 35 perusahaanlindividu yang mempunyai Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) untuk melakukan kegiatan penambangan di dua kecamatan tersebut. Semenjak SK Bupati Magelang No.1212004 tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Penambangan Bahan Galian Golongan (BGG) C di Kabupaten Magelang dikeluarkan pada bulan Agustus 2004 jumlah perusahaan penambang pasir yang masih beroperasi di Kecamatan Srumbung dan Dukun kini tinggal tujuh perusahaan yaitu tiga perusahaan di sungai Senowo, satu perusahaan di sungai Lamat, dan tiga perusahaan di tanah miliklpekarangan. Dari ketiga karakteristik interaksi manusia dan alam di lereng Merapi bisa ditemukan dua identitas alam6yaitu identitas alam organik yang dikonstruksi oleh masyarakat petani peternak dan identitas alam kapitalis yang dikonstruksi oleh pengusaha pariwisata dan pengusahz penambangan pasir (Lihat Tabel 9). Secara turun temurun masyaiakat petani petemak di Desa Ngargomulyo telah membentuk karakter lereng Merapi dengan mengolah lahan dan membuat aliran air dari sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan kebutuhan sehari-hari. Interaksi keseharian penduduk Ngargomulyo dengan dam yang paling akrab diperlihatkan dewan kegiatan ngarit (merumput). "Badan rasanya pegal
jika tidak ngarit barang sehari", kata salah seorang penduduk Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo. Saat situasi Merapi dalam kondisi awas pada bulan Juni 2006, ia bersama penduduk lainnya dievakuasi ke barak pengungsian. Ia juga mengaku tidak betah dan memilih pulazg kembali ke rumah dan ngarit. "Di
barak rasanya saya seperti binatang, tidak bekerja dun hanya diberi rnakan". Ngarit membuat penduduk Dusun Gemer ini memiliki arti sebagai manusia. Inilah ritual yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Meski berbeda kegiatan, para pengusaha di kawasan tarnbang pasir di sungai Putih, Dusun Jurangjero, !
Desa Ngargosoka dan kawasan wisata Dusun Kaliurang, Desa Hargobinangun Dari penelitian di hutan hujan tropis di pesisir Pasifik Colombia, Arturo Escobar (1999) menemukan tiga identitas alam yang disebut pula sebagai rezim pengetahuan, yaitu (1) alam kapitalis yang dijalankan oleh aktor kapitalis dengan konsep utama produksi dan modemitas, (2) alam organis yang oleh aktor manusia dan alam oleh karenanya konsep utama rezim ini . -diialankan . adalah b.xdaya dan pengetahuan lokal karena alam dan rnanusia diasumsikan tidak dapat dipisahkan, dan (3) alam tekdologis yang dijalarkan oleh konfigurasi biokuitural dalam konstelasi aktor, teknologi, dan praktik
adalah aktor kapitalis yang mengubah alam menjadi barang komoditas. Tabel 9 berikut ini menyajikan perbedaan karakteristik ekologi politik di tiga kawasan studi: Tabel 9.
Karakteristik ekologi politik tiga kawasan studi
Faktor Pembeda
Administratif
Pemukiman Penambangan Pasir S. Kawasan Wisata Kaliurang, Penduduk, Putih, Jurangjero, Ds.Ngargomulyo Ds.Ngargosoka Ds.Hargobinangun Kec. Dukun, Kec. Srumbung, Kec. Pakem, Kab. Magelang Kab. Magelang Kab. Sleman
Geogafis
872 m dpl
1070 m dpl
900 m dpl
Matapencaharian dominan
Petani-peternak
Buruh penambang pasir
Penjual jasa wisata
Pasir batu
Jasa lingkungan
Goro
Yawama
Perhutani Pemda Magelang
Dishutbun D N BKSDA DIY Pemda Sleman PD Anindya
SDA yang diakses dari Rumput, rencek, hutan lindung air, lahan Ornop dominant GMCA, PM, IU Organisasi pemerintab Perhutani Yaw dominan Swasta i
Pengusaha pasir beriiin
4.2.7. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan (Omop-L) yang menjadi pengamatan dalam penditian ini adalah Walhi DIY yang mengajukan mengajukan tuntutan pada pemerintah untuk membatalkan penetapan status TNGM. Anggota Walhi-DIY yang juga menjadi referensi dalam penelitian ini adalah Yawama dan Kappala Indonesia yang memiliki wilayah k e j a di kawasan konsewasi Merapi. Masing-masing secara mendetail adalah sebagai berikut: !
a.
Wahana ~ i n g k u n ~ Hidup an Daerah Istimewa Yogyakarta Wahana Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta (Waihi DIY)
adalah Forum Daerah Walhi yang diresmikan pada tanggal 19 Desember 1986. Organisasi ini mempakan f o n ~ mlingkungan hidup yang beranggotalcan Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Pecinta Alan serta Organisasi Masyarakat. Walhi DIY dibentuk atas dasar kesepakatan 20 lembaga kemasyarakatan yang mempumyai kesamaan visi dalam mempejuangkan pelestarian lingkungan hidup.
Sebagai suatu koalisi, organisasi ini bertujuan untuk mensinergikan upaya-upaya advokasi lingkungan hidup dengan tneningkatkan pengawasan masyarakat sipil terhadap penyelenggaraan kekuasaan pemerintah daerah maupun negara. Walhi DIY menjadikan organisasinya sebagai alat untuk mempejuangkan pemenuhan keadilan, pemerataan, pengawasan rakyat atas kebijakan pengelolaan sumber daya dam,
pengadilan yang bersih
dan
independen serta penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih untuk mendorong pengelolaan linglugan hidup secara berkelanjutan. Sasaran advokasi Walhi DIY adalah para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan, pemilik modal serta kelompok-kelompok lain yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Isu-isu yang diolah Walhi DIY meliputi: tata ruang, polusi dan pencemaran, sumber daya air, agraria, pengelolaan hutan, pengeiolaan bencana, hutan, dan perkotaan.
b.
Yayasan Wana+ndira Yayasan Wanamandira (Yawama) berkedudukan di Dusun Kaliurang Barat,
Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY yang berdiri secara resmi pada tahun 1989. Aktivitasnya di bidang advokasi lingkungan hidup dan konservasi. Yawapa dikenal vokal dalam mengkritisi program-program pemerintah di kawasan' Merapi dan sekitarnya. Untuk menunjang aktivitasnya Yawama bergabung dengan Walhi DIY. Pendanaan kegiatan Yawama 90% dilakukan sccara mandiri dari menjual wisata luar ruangloutbond dan treking, sedangkan 10% berasal dari jaringan Ornop-L.
c.
Ysyasan Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan Indonesia Yayasan Komunitas Pecinta Atam Pemerhati Lingkungan (Kappala)
Indonesia adalah sebuah organisasi non-profit dan organisasi non-pemerintah yang didirikan pada 12 Desember 1994. Visinya: berupaya untuk membangun sebuah komunitas yang mampu melakukan manajemen sumber daya, bencana dan lingkungan, dengan jalan yang demokratis serta harmonis bersama alam, berkelanjutan untuk kemakmuran bersama. Yayasan ini mempunyai misk (1) meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemberdayaan diri yang demokratis selaras alam dan berkelanjutan; (2) untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga dapat menjags kesinambungan berdasarkan atas manajemen bencana;
(3) untuk mendorong upaya-upaya kegiatan ramah lingkungan yang tidak memancing resiko dan ancaman baru. Kappala Indonesia berbasis di Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan tiap-tiap kesekretariatan di tiap Provinsi. Secara umum, mengimplementasi program-program dengan didasarkan pada sebuah komunitas yang bemawasan manajemen bencana, didalam komunitas hingga di perdesaan. Program-program tersebut dilaksanakan di kawasan-kawasan yang rawan resiko bencana, seperti erupsi vu!lanik, tanah longsor dan banjir. Kebanyakan
dari
pelatihanlpendidikan,
program
tersebut
menyangkut
dilangsungkan pula
dalam
permasalahan
bentuk pangan,
informasikoordinasi, sehingga mampu memancing kesadaran publik. Kegiatan tersebut, dalam konteks manajemen bencana, dengan tujuan pasti untuk memhanmounkesiapan, mitigasi dan pencegahan, serta terpenting adalah kesadaran publik akan resiko kawasannya.
4.2.8. Organisasi Akar Rumput Organisasi akar rumput yang menjadi referensi dalam penelitian ini adalah Paguyuban Sabuk Gunung Merapi dan Gerakan Masyarakat Cinta Air. Masingmasing secara mendetail adalah sebagai berikut: a.
Paguyuban Sabuk Gunung Merapi Paguyuban Sabuk Gunung Merapi (Pasag Merapi) dibentuk pada tahun
2002. Pembentukannya mendapat fasilitas dan dukungan dari Kappala Indonesia. Embrio Pasag Merapi berawal setelah letusan Gunung Merapi tahun 1994, dengan dilandasi semangat s e n ~ i b berada di lereng Merapi. Isu kegiatan adalah : (I) Sak begja begiane wong kang lali, isih luwih begja wong kang eling lan waspadu (Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih untung orang yang ingat dan bersikap waspada), (2) Sadumuk bathuk, sanyari bumi (Mempertahankan tanah yang dimiliki), (3) Rukun agawe santosa, crah agawe bubruh (Rukun mendatangkan kesentosaan, berselisih mendatangkan kekacauan). Dengan semboyan Nyawiji Mrih Lestari Rinengkuh Merapi (Bersatu padu Merangkul Merapi). Perkumpulan ini menyebut dirinya sebagai forum komunitas desa tertinggi di lereng Merapi. Anggotanya terdiri dari para pemimpin dan pemuda desa yang tersebar di &a Provinsi DIY dan Jasva Tengah, empat Kabupaten
(Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang), sembilan kecamatan (Turi, Pakem, Cangkringan, Kemalang, Musuk, Cepogo, Selo. Dukun, Srumbung), 22 desa dan 60 dusun. Jumiah pasti anggotanya tidak bisa diketahui karena keanggotaannya bersifat cair. Pasag Merapi memiliki sub bagian kegiatan yakni: 1) Tim Siaga Sabuk Gunung Merapi dengan lebih dari 300 anggota; 2) Radio Komunitas Merapi di empat lokasi kecamatan (Dusun, Srumbung [Kabupaten Magelang], Pakem [Kabupaten Sleman], Kemalang [Kabupaten Klaten]), 3) Paguyubar, Petani Merapi yang bergerak di bidang pertanian ekologis, 4) Tim Studi AMDAL Kijang (Kaki Telanjang) Komunitas Merapi. Program kejanya meli~uti:program kebencanaan bembuatan bunker, pelatihan penanganan bencana untuk anak-anak dan wanita, pelatihan untuk pelatih, pelatihan SAR), program pertanian (pembuatan pupuk organik dan karnpanya pemakaian pupuk organik), dan program lingkungan (analisis dampak pertambangan dan tata mang kawasan Merapi).
b.
Gerakan Masyarakat Cinta Air
Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) merupakan organisasi akar rumput yang berangkat dari keprihatinan bersama tentang eksploiiasi dan kemsakan lingkungan di lereng barat Merapi. GMCA dibentuk pada akhir tahun 2004 dan merupakan kristalisasi dari proses pergulatan wacana yang bergulir sejak tahun
1999. GMCA dibidani beberapa aktivis Omop-L Perdikan yang berkedudukan di Semarang dan sering melakukan aktivitas di Kecamatan Dukun. Faktor pendorong lahirnya GMCA adalah: (1) Keprihatinan atas kekerasan dan kebuntuan birokrasi sebagai jawaban yang selalu ditemui atas inisiatif masyarakat lokal untuk melawan
perilaku
eksploitatif
penambang
pasir
yang
membahayakan
kelangsungan hidup masyarakat setempat; (2) Bertumbuhnya kesadaran masyarakat setempat atas berbagai persoalan lingkungan; (5) Mengemukanya persoalan penurunan kuantitas dan kualitas air di Kecarnatan Dukun yang berimbas pada timbulnya potensi konflik sosial dalam masyarakat. GMCA menyebarkan wacana lingkungan melalui: (1) Pertemuan berkala GMCA. Pertemun ini dilakukan di 3 wilayah, yaitu wilayah utara Sungai Senawa (Desa Krinjing, Mangunsoka, Kajangkasa, Sengi, Paten, dan Sewukan), wilayah selatan Sungai Sena!va (Desa Ngargomulya, Kaiibening, Windusari, Ketunggeng) dan
wilayah tengah (Desa Sumber, Diwak, Tutup Ngisor, Wates, Ngadipura, Keningar). Pertemuan ini dilakukan sebulan atau dua bulan sekali, tergantung kehutuhan. (2) Bergabung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di luar GMCA. Tiap aktivislpengurus GMCA dengan didorong untuk berperan aktif di lingkungan
sosiaVaktivitasnya
masing-masing
dan
tumt
memberikan
pertimbangan menyangkut lingkungan hidup dalam kegiatan di sekitarnya. (3) Kelompok Pendampingan Anak GMCA. Saat ini telah terhentuk tiga kelompok pendampingan anak di tiga wilayah kerja GMCA. Kelompok ini bertujuan untuk mengembangkan sensitivitas, pengetahuan dan kreasi anak terhadap air. Kelompok
ini
berkegiatan
dua
minggu
sekali
dan
secara
berkala
menyelenggarakan peiatihan cinta air untuk anak. (4) Paket pendidikan cinta air. Paket ini diperuntukkan bagi pelajar dan mahasiswa diintegrasikan dalam kegiatan
liburan/retret/pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolahl universitas/kelompok kegiatan mahasiswa hi wilayah Kecamatan Dukun. Keswadayaan dan kemandirian merupakan nilai dasar yang dipegang oleh GMCA dalam penggalangan dana untuk kegiatannya. Masyarakat menggalang sumber daya mereka sendiri, baik finansial ataupun non finansial untuk menyelenggarakan kegiatan GMCA. Namh, ada juga program dan kegiatan yang pendanaannya bekerja sama dengan pihak lain. Misalnya, dana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk program "Konservasi Air". Mengenai persoalan TNGM, GMCA menyatakan sepakat dengan ide dasar pentingnya konservasi dam, namun menolak semua proses penerapan kebijakan yang mengabaikan rakyat. Menurut GMCA, penetapan status legal formal TNGM selayaknya menghargai dan h m s didahului dengan proses menumbuhkan kesadaran pentingnya konservasi alam di kalangan masyamkat sebagai pra syarat penting keberlanjutan sebuah kebijakan publik. Hal ini bisa cjiiakukan oleh Pemerintah dengan mendorong inisiatif kelompok/inidividu dalam masyarakat yang sejalan dengan gagasan konservasi alarn.
4.2.9. Organisasi Kemasyarakatan Di sekitar kawisan pertambangan, muncul organisasi kemasyarakatan yang mempakan perkumpulan dari para penambang manuai. yang adalah
penduduk lokal; keberadaan mereka sebagai perlawanan terhadap penambang legal (memiliki SIPD) yang kebanyakan berasal dari luar daerah. Dalam tesis ini, peneliti mengambil referensi Goro (Paguyuban Gotong Royong) sebagai salah satu referensi terkait dengan lokasi penelitian lapangan yaitu di Kecamatan Srumbung. Dibandingk8n dengan keberadaan organisasi penambang manual di kecamatan Dukun7 yaitu Debu Merapi, Goro adalah organisasi penambang manual yang rapi dan terorganisir. a.
Paguyuban Gotong Royong Paguyuban Gotong Royong (Goro) berdiri secara resmi tahun 1995.
Organisasi ini mempunyai misi memberikan perlindungan bagi buruh penambang
pasirlcokeripenylenggrong yang bertugas menaikkan pasir ke mobil pengangkut pasir di Kecamatan S m b u n g dan Kecamatan Salam. Sebeium ada Goro, para buruh ini dihargai sangat murah yaitu Rp 5000,- per orang untuk jasa menaikkan pasir ke truk, sesudah ada Goro nilai tawar buruh meningkat menjadi Rp 15.000,per orang. Satu t ~ membutuhkan k sekitar tiga-lima orang. Goro menarik Rp 2000,- per orang melalui pengusaha pasir untuk mengisi kas organisasi. Sehingga uang yang diterima menjadi Rp 13.000,- per orang. Uang kas itu dipergunakan untuk as~xansikecelaka@ para buruh di lokasi tambang, membantu kelahimn, dan pemberian paket lebaran pada hari raya berupa beras lima kg, sirup, gula pasir satu kg, dan minyak goreng. Setiap bulannya, Goro memberikan beras untuk 562 keiuarga anggota yang tidak mampu masing-masing sebanyak lima kg. Anggota Goro sekitar 3500 orang, keanggotaannya dibuktikan dengan kepernilikan kartu anggota. Goro terbagi menjadi 52 unit anak cabang yang masing-masing merniliki kepengurusan sendiri-sendiri. Fungsi anak cabang ini untuk mengelola dan mengatur bumh untuk memasukkan pasir di truk-truk tertentu, menumt istilal~ mereka "langganan mobil". Keberadaan Goro disegani baik masyarakat maupun para pengusaha
karena acap menggunakan kekuatan fisik untuk
mempertahankan aktivitasnya. Menurut Goro, kerusakan di lokasi tambang pasir bukan tanggung jawabnya karena sudah ada institusi-institusi yang mengurusnya.
7
Kabupaten Magelang mempunyai tiga lokasi pettambafigan yaitu di Kecamatan Dukun, Kecamatan Srumbung, dan Kecamatan Salam.
4.3.
Dinamika Politik Kemasyarakatan
Organisasi
Gerakan
Lingkungan
dan
4.3.1. Organisasi Non-Pemeriniah untuk Lingkungan
Walhi berdiri tahun 1980 dan memposisikan diri sebagai mitra kerja pemerintah. Aktivitas pergerakan lingkungan yang dijalankan Walhi berubah ketika organisasi ini bergabung dengan Friend of the Earth International (FOE) dan menamakan diri sebagai FOE bdonesia pada tabun 1989. Di situsnya
www. foe.org, tertulis bahwa FOE adalah Omop-L internasional yang didirikan pada tahun 1971 oleh empat Omop-L dari Perancis, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. FOE menyebut organisasinya sebagai sebuah federasi organisasi lingkungan hidup global. Anggotanya terdiri dari 68 kelompok Omop-L dari berbagai negara yang memayungi lebih dari 5000 kelompok aktivis lokal. Jim!& anggota dan pendukung FOE lebih dari satu juta orang. Staf yang bekerja pada kelompok anggota FOEberjurnlab sekitar 1200 orang. Adiwibowo (2003) mengemukakan bahwa di tahun 1989, untuk pertama kalinya Walhi berhadapan dengan pemerintah. Walhi mengajukan gugatan mendesak agar pemerintah mencabut izin operasional PT Inti Indorayon Utama di Forsea, Sumatera Utara yang telah menyebabkan kemsakan hutan di sekitar Danau Toba. Meskipun gugatan ini kalah, namun kasus ini mengubah citra Walhi menjadi organisasi lingkungan hidup untuk permasalahan advokasi lingkungan hidup. Pada tahun 1992, setelah Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup, Walhi menetapkan pergerakan organisasi lingkungan bidupnya juga bersifat politis. Semenjak itu pergerakani lingkungan hidup Walhi memfokuskan pada d e m o h i yang dipercaya mampu menjadi gerbang pembuka bagi terselesaikannya persoalan-persoalan lingkungan hidup. Walhi memperluas advokasi nya tak hanya pada isu-isu kebijakan atau pada resolusi permasalahan Iingkungan hidup dengan kasus-kasus khusus tapi:juga memasukkan advokasi dasar di tingkat akar rumput !
sebagai bagian dari upaya memperkuat kemarnpuan kontrol sosial. Manifesto Walhi seperti bisa ditemui di situs Walhi: www.walhi.or.id menegaskan bahwa akar persoalan lingkungan hidup adalah neoliberal. Ide dasar paham neoliberal menyatakan bahwa sistem pasar sehmsnya terlibat penuh dalam keputusan-keputhsan penting di bidang politik dan sosial. Neoliberal
membiarkan negara memberikan keleluasaan kepada pernsahaan privat dan membatasi gerakan serikat buruh serta melupakan rakyat jelata. Neoliberal berpihak pada privatisasi dan globalisasi ekonomi. Dengan dernikian, persoalan lingkungan bukan lagi persoalan rendahnya kesadaran publik dan kelemahan kebijakan
negara
melainkan
pada
keberadaan
perusahaan-perusahaan
transnasional yang memanfaatkan tangan pemerintah dan dengan sengaja rnenciptakan persoalan lingkungan hidup. Perusahaan transnasional itu juga terbukti gaga1 mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup yang diakibatkannya, seperti masalah pemanasan global dan modifikasi snmber-sumber genetik alami. Walhi DIY adalah salah satu forum daerah Walhi. Dalam aktivitasnya Walhi DIY melakukan advokdsi di empat kawasan yaitu: (1) Kawasan Gunung Merapi yang secara administratif terletak di empat Kabupaten dua Provinsi yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi DIY dan Kabupaten Boyolali, Klaten, dan Magelang di Provinsi Jawa Tengah. Di kawasan ini Walhi DIY rnelakukan advokasi penolakan ter&dap SK Menhut No. 13412004 tentang Penetapan TNGM karena menganggap proses penetapan tersebut tidak transparan dan tidak melibatkan peran masyarakat dan pemerintah daerah setempat; (2) Kawasan Menoreh yang secara administratif, terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Pumorejo,; Jawa Tengah, dan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem khas, dan menjadi sumber kehidupan makhluk hidup, di a n m y a adalah manusia. Kawasan ini merupakan kawasan karst yang rentan bencana dan sebagai penyangga bepda cagar budaya. Salah satunya Candi Borobudur. Advokasi yang dilakukk WALHI DIY adalah penolakan pertarnbangan manner oleh PT. Margola di Selorejo Ngargoretno Salaman, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dengan alasan menyebabkan penggusuran pemukiman penduduk ke wilayah rawan longsor, monopoli, dan privatisasi sumber daya air, perubahan pola hidup tlari pertanian menjadi buruh, pengangguran, hilangnya lokasi pariwisata yang dijadikan lokasi pertambangan, (3) Kawasan perkotaan
DIY. Advokasi yang aktif dilakukan adalah mendorong agar dokumen AMDAL dan tata ruang dijadikan sebagai dokumen perlindungan kawasan-kawasan kota, mendorong, dan menekan pemerintah serta stakeholder untuk melakukan
perubahan terhadap regulasi dan kebijakan yang terkait dengan penyadaran pemahaman pengelolaan sampah dari budaya dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir diganti dengan 4R (replace, reduce, reuse,
recyclii7g) yang terbukti mampu menangani pennasalahan sampah secara mandiri, serta penanganan limbah dan menata sistem transportasi; (4) Kawasan pantai selatan merupakan daerah karst dan gumuk pasir yang tersebar di 3 Kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Advokasi di kawasan ini aktif dilakukan berkaitan dengan telah dilaksanakannya rencana pembangunan Jalur Lintas Selatan, yang tentunya akan memberikan dampak ekologi yang sangat serius, seperti terkekangnya hak-hak rakyat atas tanah dan rumah mereka yang selama ini dijadikan tempat bernaung menjadi lokasi pembangunan jalur lintas selatan. Belum lagi, darnpak dari banyaknya kepentingan investor yang akan mesuk untuk menguasai met-aset sumber kehidupan jika jalur lintas selatan telah selesai dibangun, misalnya, pemukiman mewah, pendirian bangunan-bangunan perusahaan besar maupun kecil, yang tentunya akan mengakibatkan semakin termarjinalkan posisi masyarakat sekitar atas akses sumber-sumbkr kehidupan yang ada dan rusaknya ekologi yang ada, di antaranya daerah karst dan gumuk pasir yang merupakan penyangga sumbersumber kehidupan masyarakat. Sejalan dengan pemikiran-pemikiran tersebut, Yawama dan Kappala Indonesia bergabung idengan Walhi. Sejak tahun 1992, Yawama yang berkedudukan di Kaliurang ini aktif mengajukan kritik terhadap berbagai pennasalahan lingkungan hidup di sana dari mulai masalah pengaturan air dari mata air Umbul Wadon oleh PDAM Kabupaten Sleman hingga pariwisata. Yawama semula adalah,sekelompokanak muda mempunyai kesamaan minat pada alam. Ketika didirikan tahun 1986, namanya zdalah Komunitas Pecinta Lingkungan Hidup Wanamandira. Selma 2 tahun pertama perkumpulan ini tidak berjalan aktif. Salah seorang pendirinya, MDH berinisiatif untuk merombak organisasi menjadi sebuah yayasan. MDH sendiri bertindak sebagai Koordinator Eksekutif Yawama. Taliun 1989 Yayasan Wanamandira atau yang biasa disebut Yawama atau Wama ini resmi berdiri dengan mengusung misi baru yaitu advokasi
masalah Iingkungan hidup dan konsewasi. Di bawah kepengurusan MDH, Yawama berhasil memperkuat jaringan tak hanya di tingkat lokal sebagai anggota Walhi DIY namun juga ke tingkat nasional dan intemasional seperti Komunitas Jaringan Hutan untuk Masyarakat (Cornmunily of Foresl for People). Yawanla dikenal cukup vokal mengkritisi masalah lingkungan hidup di kawasan Kaliurang. Kritik yang dilontarkan Yawama tak mendapat tempat di hati masyarakat Kaliurang sendiri. Tak jarang terjadi perbenturan pendapat antara Yawama dan masyarakat. Sod pembuatan jalan tembus di daerah Kaliurang Timur pada tahun 2003 misalnya. Bagi warga, jalan tembus ini diperlukan untuk niempennudah akses ketika mereka hendak membawa pulang rumput dan rencek dari hutan. Bagi Yawama, jalan tembus ini dianggap merusak tatanan ruang. Prates yang dilontarkan Yawama tak ditanggapi warga. Kebanyakan watga yang ditemui peneliti mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang dilakukan Yawama. Salah seorang pendiri Y~wama,menceritakan betapa dirinya sering mendapat teror dan nyaris dibunuh warga karena keaktifannya di organisasi tersebut. Ia kemudian mernilih mengundurkan din dan hidup nlemasyarakat dan aktif di Karang Taruna Desa Hargobinangun. Dalam kasus pro kontra TNGM, isu yang dilontarkan Yawama dan ajakan untuk menolak TNGM juga tidak mendapat tanggapan dari masyarakat Kaliurang. Yawama seperti pemain yang kesepian di daerahnya sendiri. Meski begitu, Yawama cukup pandai menarik perhatian publik dengan caranya sendiri yaitu melalui media massa. Nama MDH bukanlah nama yang asing bagi media lokal di Yogyakarta. Tak hanya sehagai ~ J ~ k aMDH n, juga sering melontarkan ide-idenya melalui tulisannya di berbagai media. Anggota Walhi DIY yang turut dalam aksi penolakan terhadap TNGM adalah Kappala Indonesia yang biasa disebut dengan Kappala. Sama seperti Yawama, Kappala pada mulanya hanyalah perkumpulan pecinta alam biasa yang dimotori oleh ETP, semenjak tahun 1992 para anak muda ini sering mengadakan kegiatan di Gunung Merapi. Letusan Gunung Merapi pada tahun 1994 memberikan penyadarah bahwa selama ini pemerintah melakukan kekeliruan dalam mengatasi bahaya bencana letusan di kawasan Merapi. Salah satu hal yang terlupakan dalam masalah penanganan bencana oleh pemerintah adalah pengakuan bahwa nasyarakat lokal lnemiliki kearifan tersendiri untuk mensikapi
bencana. ETP memutuskan untuk mendirikan Kappala Indonesia yang memfokuskan pada penanganan bencana alam melalui kerjasama dengan masyarakat lokal. Kappala memiliki lima st~ategikerja dalam beraktivitas: (1) Identifikasi dan dokurnentasi tanda-tanda tradisional yang biasa dilihat masyarakat untuk melihat adanya bencana. Salah satu di antaranya dengan menggunakan kentongan untuk saling mengingatkan jika ada bahaya; (2) Membantu meningkatkan kepercayaan din masyarakat Faca bencana meldui penggalian kembali solidaritas dan kebersamaan berlandaskan nilai-nilai tradisional yang ada; (3) Membantu komunitas mengembangkan strategi bekerjasama, yang terkena musibah ringan membantu yang berat; (4) Identifikasi jenis bencana yang ak& dihadapi, banjir ataukah letusan Gunung Merapi dan cara penanggulannya. Meninggikan rumah untuk daerah rawan banjir, dan membangun jalan untuk evakuasi di daerah rawan letusan Gunung Merapi; (5) Pelatihan persiapan menghadapi hencana seperti pemberian pengobatan pada saat darurat, strategi untuk berkomurdkasi dan evakuasi. Pada letusan tahun 1994 dan 2004 Kappala membantu pemerintah mengevakuasi para pengungsi. Kappala juga melobi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan sesuai isu nyata yang berkembang di daerah. Kini pemerintah daerah setempat mengembangkan dua macam pelatihan untuk penanganan bencana di kawasan Merapi. Pertama, pelatihan tingkat manajerial yang diberikan pada para pemimpin dan tokoh desa dan kedua, untuk satuan gugus tugas yang diikuti dengan pelatihan sepuluh hari untuk 40 orang penduduk desa. Kappala Sekerjasama dengan pemerintah dalam penyelenggaraan pelatihan ini sebagai konsultan pehanganan bencana. Menilik cara kerjanya, sebenamya Kappala berbeda dengan tipe organisasi Walhi yaitu profesional protest organisation. Aktivitas organisasinya cenderung ke tipe public interest lobby (sesuai tipologi organisasi yang dikembangkan oleh Diani dan Donaii 2002 dalam Adiwibowo 2005). Kedekatan Kappala dengan pemerintah juga yang menjadikan Dishutbun DIY memilih Passag Merapi organisasi yang difasilitasi oleh Kappala- sebagai media untuk membantu sosialisasi TNGM (Pasag Merapi 2002a).
Selain dengan Walhi, Kappala juga menjalin aliansi dengan jaringan organisasi lingkungan hidup yang disebut Jaringan Organisasi Non-Pemerintah (Jarnop), jaringan organisasi yang beranggotakan para petani di Indonesia. Seperti telah disebutkan sebelumnya, aktivitas Kappala kini tak hanya permasalahan bencana namun juga masalah ketahanan pangan lokal. Sejak tahun 1997, Kappala bekerjasama dengan Oxfa~n Great Britain (Oxfam GB), organisasi non profit berskala intemasional yang teldi bekerja di I~donesiasejak tahun 1972. Prograrnprogram Oxfarn GB memfokuskan pada isu-isu matapencaharian, gender, keadilan perdagangan, pendidikan, karya kemanusiaan, dan advokasi. Pada tingkat nasional, Kappala juga bekerjasama dengan UNHCR (United Nation High Commision on Refugee -salah satu badan di Persatuan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Pengungsi) dan Oxfam GB memberikan workshop manajemen bencana di berbagai daerah rawan bencana lainnya di Indonesia.
4.3.2. Organisasi Akar Rumput Organisasi akar rumput bukanlah fenomena baru. Organisasi ini telah menjadi alat utama bagi massa akar m p u t untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kontrol terhadap surnberdaya sejak tahun 19%-an (Friedmann 1992 dalam Bryant dan Bailey 2000). Berdasar tujuannya, organisasi akar rumput bisa dibedakan menjadi dua jenis. Pertarnu, organisasi akar rumput yang bertujuan untuk membangun kemandirian (selfhelp organisations). Mereka tidak terlibat dalam aktivitas politik dan berusaha untuk menghindari konfiontasi dengan aktor yang lebih kuat dengan melakukan kegialm-kegiatan di daerah dengan penekanan pada isu-isu non-politis. Pendorong organisasi akar rumput tipe ini adalah kebutuhan untuk mendapatkan respon kolektif terhadap permasalahan lingkungan yang mengancam kepentingan mata pencaharian aktor. Tujuannya mengembangkan strategi pengelolaan berkelanjutan yang secara langsung berkaitan dengan persoalan seperti mengumpulkan kayu bakar, pembagian air ataupun pengelolaan sampah. Narnun begitu, organisasi akar rumput tipe ini tetaplah sangat politis karena perlawanan pragmatis mereka terhadap kondisi politik dan ekonomi yqng status quo sekaligus kritik halus bagi mereka yang mendukung kondisi status quo. Organisasi akar m p u t ini acapkali dibvlgun
sebagai respon langsung terhadap ketidakman~puanatau kurangnya kornitmen negara untuk menghapuskan pennasalahan lingkungan yang terkait dengan pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Organisasi akar rurnput tipe kedua aktif melancarkan protes demi pertahanan terhadap akses mata pencaharian @rotest organisations). Perbedaan dengan tipe perlama terletak pada adanya faktor-faktor
baik internal maupun eksternal yang melingkupi komunitas tersebut. Fak?or-faktor tersebut misalnya, tradisi komunitas untuk rnelakukan aksi bersama untuk menyikapi persoalan lingkungan ataupun sosial; juga adanya sbuktur demografi dan organisasi yang rapi yang memudahkan untuk melakukan mobilisasi dan melakukan aktivitas dengan segera. Kekuatan organisasi akar rumput baik tipe pertarna maupun yang kedua terletak pada kemampuan untuk memperoleh konsensus lokal (meskipun barangkali pada praktiknya akan sulit dilakukan) melalui musyawarah yipg demakratis yang kemudian menjadi dasar legalitas organisasi. Organisasi akar rumput dengan demikian mengembangkan kekuatan dan kemarnpuan sebagian dari tujuan yang bersifat moral rnelalui perlindungan terhadap matapencaharian akar nunput yang kelihatannya menjadi prinsip demokratis yang melekat pada organisasi (Bryant dan Bailey 2000). Dalam kaitan dengan TNGM, peneliti mernasukkan GMCA dan Pasag Merapi, dalam kelompok Organisasi akar rumput tipe kedua yang memiliki karakter selfhelp organisation. Keduanya menghadapi permasalahan yang serupa yaitu mempertahankan akses terhadap rnata pencaharian akibat dari perubahan lingkungan. Meskipun bukan tipe protest organisation, Pasag Merapi mampu menyuarakan aspirasinya menyikapi rencana penetapan TNGM dengan menjalin aliansi dengan organisasi kemasyarakatan lainnya yang ada di lereng Merapi Merbabu dengan nama Aliansi Masyarakat Peduli Merapi Merbabu (AMPMM). Aktivitas AMPMM akan diuraikan kernudian dalam sub bab dinamika konflik. Selain karena tradisi kebersamaan, sikap Pasag Merapi ini didukung pula oleh Omop-L Kappala Indonesia yang selama ini rnenjadi pendamping. Kappala Indonesia sendiri bergabung dengan Walhi menentang penetapan TNGM (Lihat Tabel 10). GMCA dan Pasag Merapi memiliki kesamaan karakter yaitu petani yang tinggal di lereng Merapi. Tak heran jika mereka yang terlibat dalam organisasi
GMCA juga ikut terlibat di Pasag Merapi. Keduanya juga memiliki kesamaan sejarah yaitu dibentuk dan mendapat pendampingan dari Ornop-L. Kelahiran GMCA tak lepas dari campur tangan Ornop-L Perdikan yang memfokuskan program kerja pada isu pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan peran mereka dalam bemegm. Perdikan aktif di Dukun sejak tahun 1997. Di Semarang, Perdikan aktif memberikan advokasi bagi para Pedagang Kaki Lima yang terkena gusuran pemerintah karena diangggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Perdikan menjalin aliansi dengan Urban Poor Consortium. Pasag Merapi difasilitasi oleh Kappala Indonesia. Baik Kappala Indonesia maupun Perdikan tidak ingin misi yang dijalankannya terhenti ketika sudah selesai masa program keja. Untuk meneruskan misi mereka, maka hams ada organisasi yang berlokasi di wilayah keja yang dijalankan sendiri oleh para penduduk lokal. Proses penyadaran hams bisa dilakukan antar mereka sendiri, sementara Ornop-L memberikac pendampingan. Dengan latar belakang inilah organisasi akar rumput dibentuk. GMCA dan Pasag Merapi memperoleh dukungan dana melalui Omop-L aliansi mereka yaitu Perdikan dan Kappala Indonesia. Selma ini Perdikan sudah seringkali menjalin kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah demikian pula dengan Kappala Indonesia yang menjalin kejasama dengan Provinsi Jawa Tengah dan DIY. GMCA menyatakan diri sebagai mitra kritis pemerintah dan tidak menutup kemungkinan bekerjasama. Pada tahun 2006 ini misalnya, GMCA menjalin kejasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengejakan program konsewasi air. Saat merespon bahaya letusan Merapi, GMCA menjalin kejasama dengan banyak pihak menyalurkan bantuan pada para pengungsi.
4.3.3. Organisasi Kemasyarakatan
Goro memiliki kedekatan dengan Pemerintah Daemh Kabupaten Magelang. Dalam stnktur organisasinya, Goro mencanhmkan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Magelang sebagai pelindung. Kondisi pemerintahan ketika itu mendukung organisasi Goro untuk berkembang. Ini didukung pula dengan kedekatan pribadi antara aktivis Goro dengan para pejabat pemerintahan lokal setempat. Aliansi dengan pemerintah ini ternyata rapuh karena ketika tejadi
pergantian ke:ala
pemerintahan, kebijakan yang dibuat tidak lagi memihak Goro.
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang pada masa jabatan Bupati Singgih Sanyoto memfokuskan pada isu aktual usaha pertambangan pasir di Kabupaten Magelang yang dipilih yaitu kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di kawasan Merapi (Pertamben Kabupaten Magelang 2006). Implementasi kebijakan ini adalah penataan kawasan pertarnbangan di Kabupaten Magelang. Beberapa SIC yang memiliki dampak pada akti~iitasGoro add&: 1. SK No. 188.4/54/KEP/27/2004 tentang Lokasi Hasil Penataan Wilayah Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Kali Putih tertanggal 28 Pebmari 2004 yang menghasilkan 15 nama perusahaan yang diperbolehkan .melakukan aktivitas menambang. Banyaknya jumlah perusahaan yang diperbolehkan melakukan aktivitas di kawasan pertambangan sangat berpengaruh terhadap pendapatan para bwvh penambang pasir dan Goro. Semakin banyak pe~St3haaIIsernakin banyak pula peluang bagi para buruh penambang pasirlpenylenggrong untuk menaikkan pasir ke truk. Semakin banyak truk yang melintas, semakin banyak pula pendapatan Goro. 2. SK Bupati Magelang No. 19 Tahun 2004' tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan pan Penertiban Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten ~ a ~ e l tertanggal a n ~ 24 Agustus 2004. Kebijakan yang didasari kajian telah habisnya deposit pasir di kawasan pertambangan ini diikuti dengan bencana letusan Gunung Merapi. Pada 8 Maret 2005, beberapa lokasi pertambangan yang ditutup meiiputi lokasi: Kali Putih, Kali Bebeng, Eali Batang, Kali Blongkeng, Eks Desa Ngori, dan lokasi lain yang tidak mempunyai izin atau telah habis masa berlakunya dan yang mempunyai SIPD tetapi menambang di luar SIPD (Pengurnuman Sekretariat
Daerah
Pemda
Kabupaten
Magelang
No.
001/165/31/11U~005). Semenjak itu, kehidupan buruh penambang
'~esudahpenelitian ini selesai dilakukan, SK No. I90004 ini direvisi melalui SK No. 188.40lKEP13 10007 tertanggal6 Januari 2007. SK yang baru ini mengizinkn kembali aktivitas penambangan di kawasan Merapi namun hanya di sebagian alur S. Bebeng; pada jam tertentu yaitu 06.00-18.00 WIB, dan luasan lahan maksimal satu hektar. Revisi ini dilakukan terkait dengan aliran lahar dari Gunung Merapi yang mengarah ke S. Bebeng (SKH Kompas 12 Januari 2007). Keputusan ini memberi peluang bagi Goro untuk beraktivitas kembali.
pasir/penylenggrong yang menggantungkan hidup pada pertambangan menjadi terpuruk. Bagi yang masih memiliki pendapatan lain masib beruntung; ada sebagian yang beralih profesi menjadi pedagang asongan atau berjualan bakso atau mi ayam di Muntilan atau Magelang, yang lain menjadi buruh -tani. Goro sendiri tak bisa berbuat banyak, pendapatan organisasi terhenti. Beberapa anggota mulai jenuh dan membentuk organisasi baru bernm.8 Punokawan yang mernili kemiripan aktivitas. Beberapa anggota menggabungkan diri dengan Punokawan. Saat penelitian ini dibuat Punokawan sedang daiam masa rekrutmen anggota.
3. SK Bupati Magelang No.20 Tahun 2004 tentang Route dan Tonase Angkutan Barang CwahIBahan Galian Golongan C di Kawasan Merapi Kabupaten Magelang tertanggal 24 Agustus 2004. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menata kembali jalan-jalan menuju maupun yang kembali dari daerah/lokasi penambangan Bahan Galian Golongan C dengan alasan jalan yang selama ini dipergunakan mengalami kerusakan berat. Perubaban route ini mempengaruhi pendapatan Goro karena sebelumnya mereka telah membangun gardu-gardu di sepanjang route yang lama. Goro sernpat melakukan protes ke Pemda Magelang narnun tidak mendapat tanggapan. 4. Surat perintab penghentian pungutan liar di kawasan Merapi yang dikeluarkan Sekretaris Daerab pada tanggal 25 Januari 2006. Perintab ini berdasarkan pada swat Komisi Ombudsman Nasional No: 006/KON
Pwk-Lapor.O02/06N2006-mhtertanggal 11 Januari 2006. Pertimbangan lainnya, dalam rangka pelaksanaan penertiban penataan penambangan di kawasan Merapi dan penertiban kegiatan pemungutan liar di wilayah Kabupaten Magelang. Para pihak yang mengabaikan surat tersebut, akan dikenakan sanksi hukuman sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dengan ancaman pidana kurungan atau denda.
Tabel 10. Nama GMCA
Pasag Merapi
Goro
Profit organisasi akar rumput dan organisasi kemasyarakatan di kawasan Merapi Lokasi Karakterislik Pennasalallan Solusi yang Aliansi ansota yang dihadapi ditawarkan 1 Kecamatan Petani yang Menurunnya Perluasan Ornop-L wacana Perdikan tinggal di lereng debit air akibat Jateng: Merapi dekat dampak konservasi air Kec. Dukun, pertambangan pertambangan dari anak-anak Kab. pasir pasir; Rendahnya bingga Magelang, respon dewasa, masyarakat partisipasi terhadap warga dalam persoalan kegiatan linghxngan; kemasyarakaPenggunaan tan, pertanian pupuk kimia pada organik pemnian 9 Kecamatan Masyarakat Bencana letusan Pelatihan Ornop-L lereng Merapi Gunung Merapi, mggaP Kappala Jateng: bencana, radio Ind. terutama yang Penggunaan Kec. tinggal di daerah pupuk kimia pada komunitas, Kemalang, rawan bencana, pertanian, pertanian Kab. Klaten; sebagian besar Pertambangan organik, kajian Kec. Musuk, adalah pctani. pasir tata ruang pertambangan Cepogo, Selo, Kab. Boyolali; Kec. Dukun, Srumbung, Kab. Magelang,
DIY: Kec. Turi, Pakem, Cangkringan, Kab. Sleman. 2 Kecamatan Jateng: Kec. Srumbung dan Kec. Salam, Kab. Magelang
4.3.4.
Penylenggrong (buruh penambang pasir)
Kecemburuan sosial terhadap penambang pasir pendatang (berizin)
Menaikkan nilai tawar anggota, perlindungan kerja di kawasan tambang
Pemda Kab.Ma gelang
Pola Interaksi Organisasional Penyelamatan Lingkungan di Kawasan Merapi Di kawasan Merapi, ditemui adanya interaksi antar organisasi yang bergerak
di bidang lingkungan. Menurut Wittmer dan Birner (2005), mereka yang memiliki wacana developmentalisme bisa
bekerjasama dengan penganut wacana
kocservasionisme dan organisasi penganut wacana ekopopulis cenderung bekerja
sendiri. Kenyataannya, meskipun GMCA dan Pasag Merapi penganut ekopopulis namun mereka memiliki pengalaman bekerjasama dengan pemerintah dan tidak lnenunjukkan protes secara terbuka dengan pemerintah seperti halnya yang dilakukan Walhi DIY. Ini menunjukkan bahwa penganut ekopopulis memiliki potensi untuk bekerjasama dengan penganut developmentalisme dalam bentuk organisasi akar rumput dengan tipe self help organisation. Baik Pasag Merapi maupun GMCA mengakui keterbatasan kemampuan dan logistik yang mereka miliki. Oleh karenanya mereka perlu menjalin kerjasama dengan siapa saja, bahkan juga dengan pemerintah seperti ditegaskan oleh P., Ketua Pelaksana Harian Perdikan dan salah satu pendiri GMCA yang menyatakan: "GMCA
terbuka uniuk menjalin'kerja sama dengan siapa pun yang sejalan dengan visi
GMCA untuk kelestarian lingkungan hidup" (P., 20 Agustus 2005, Komunikasi Pribadi). Tabel 11 berikut ini memperlihatkan bahwa organisasi-organisasi yang ada di kawasan TNGM memiliki potensi untuk bekerjasama berdasarkan argumentasi mereka terhadap TNGM dan wacana k o n s e ~ a syang i diiiliki. Tabel 11. Aktor dan wacana konservasi WacanaKousewasi* Argumen terhadap TNGM No Aktor TNGM adalah upaya Developmentalisme 1 Pemerintah: penyelamatan hutan di Dishutbun DIY kawasan Merapi demi BKSDA DIY ' lestarinya fungsi hidrologi, Perhutani biologi, dan estetika. Pemda Sleman Kebijakan konsewasi Pemda Magelang menggunakan paradigma baru dengan melihat pada nilai Organisasi ekonomi TNGM untuk Kemasyarakatan: membiayai pengelolaan Goro TNGM dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan penyangga. 2
Ornop-L: Walhi DIY Yawama Kappala Indonesia
TNGM mewakili bentuk otoritas pemerintah yang kuat yang dipengarohi pandangan konsewasi global. Pengelolaan kawasan konservasi Merapi sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.
Eko-populis
No
Aktor Organisasi Akar Rumput: GMCA Pasag Merapi
Argumen terhadap TNGM WacanaKonservasi* TNGM membatasi akses Eko-populis masyarakat terhadap suinberdaya 11utzn. Selama ini masyarakat telah menjaga kelestarian hutan dengan cara mereka sendiri. Pariwisata sebagai sektor unggulan TNGM dinilai tidak menghargai eksistensi masyarakat sebagai pei3lljpetemak. Penetapan status legal formal TNGM selayaknya menghargai dan harus didahului dengan proses menumbuhkan kesadaran pentingnya konservasi alam di kalangan masyarakat sebagai pra syarat penting sustainibilitas. *Tipologi wacana konservasi sebagaimana dikembangkan oleh WiUmer dan Birner 3
(2005)
4.4.
Analisis Akses dan Hak Sumberdaya Alam di TNGM
4.4.1. Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi Bagaimana akses masyarakat di lereng Merapi terhadap sumberdaya dam di masa kini bisa diketahui dari hasil analisis akses dan hak di tiga kawasan studi yaitu kawasan pemukiman Desa Ngargomulyo, kawasan pertambangan pasir Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoka, dan kawasan wisata Dusun Kaliurang, Desa Hargobinangun. Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah hanya berjarak sekitar 3 km dari hutan lindung yang dikelola Perhutani RPH Nggumuk. Dari hasil wawancara dengan responden, sumberdaya alam yang diakses penduduk dari hutan lindung adalah rencek (ranting kering) untuk kayu bakar, rumput untuk pakan ternak, bambu untuk bahan membuat
kepang (anyaman bambu berupa lembaran berukuran sekitar 3x3 meter biasanya untuk menjemur padi hasil panen) dan kerajinan tangan lainnya dari besek (wadah dari anyaman bambu) hingga furnitur (meja, kursi, rak, dsb), air dari sumber mata air yang ada di hutan, batu-batu w.tuk bangunan rumah, getah pinus untuk dijual kepada Perhutani, dan lahan untuk bertani.
Selama bertahun-tahun, penduduk mengakses berbagai sumberdaya alam dari hutan &dung. Bagi penduduk Desa Ngargomulyo, akses ke hutan sudah menjadi satu keharusan. Bahkan menjadi suatu ritual tersendiri temiama untuk kegiatan mencari rumput pakan t e n d . Ungkapan seperti: "Badan rasanya pegal jika tidak ngaril (men&
rumput) di hutan" atau "Saya tidak betah tinggal di
barak pengungsian (ketika Merapi sedang dalam status awas - peneliti), seperti binatang saja, tidak melakukan apa-apa dan hanya diberi makan. Lebih baik saya pulang dan ngarit"' menunjukkan bahwa mencari rumput di hutan bukan sekadar untuk memberi makan temak. Ada yang lebih dari itu, mereka merasakan ngarit sudah menjadi bagian dari keseharian aktivitas bahkan menjadi salah satu kebutuhan biologis ("badan
menjadi pegal"). Ngarit juga menunjukkan
keberadaan mereka sebagai manusia seolah ungkapan tersebut menjadi "Saya
ngarit maka saya adam.:VK, seorang tokoh aktivis lingkungan yang juga adalah pastor paroki di Kecamatan Dukun menyebut ngarit sebagai agama mereka. Sebagai bagian dari kegiatan keseharian, ngarit memiliki nilai ekonorni bagi penduduk Ngargomulyo. Profil PS (Lihat Boks 4) memperlihatkan bahwa mencari rumput sudah menjadi bagian dari kehidupannya karena marnpu memenuhi kebutuhan ekonomi d& keberadaan dirinya sebagai penduduk yang tinggal di lereng Merapi. Bagi penduduk Ngargomulyo, memberi pakan temak sapi berarti juga menabung. Mereka menyebut sapi sebagai "BRI" (menyitir Bank Rakyat Indonesia) mereka. Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi, betemak sapi di Ngargomulyo juga
memiliki
dimensi sosial karena merupakan wujud
kebersamaan, saling tolong menolong antara yang mampu dan yang kurang mampu melalui sistem nggadon atau bagi hasil. Boks 4. Profil Petemak Sapi P.S. (32 tahun) lahir di Lampung. Ia adalah generasi ke dua dari masyarakat Ngargomulyo yang ditransmigrasikan ke Lampung di tahun 1960-an. Pendidikannya hanya sampai tamat SMP. Ia kemba!i ke lereng Merapi, menikah, dan memiliki satu anak perempuan berumur 4 tahun. Ia kini menjalani aktivitas kehidupan seperti yang dialami orang tuanya dulu, menjadi petani dan petemak dengan keseharian mencangkul, mencari rcncek, dan itgarit. Lahan warisan P.S. seluas % hektar yang ditanami sayur mayur dan % hektar di perbatasan hutan lindung yang ditanami sengon, nangka, dan rumput. Untuk kebutuhan pakan 4 ekor sapinya, dalam sehari P.S. memerlukan 2 ikat rumput (1 ikat rumput beratnya sekitar 50 kg). Ngarit bagi P.S. ibarat menabung. Jika harga 1 ikat rumput Rp 5000,- maka dalam sehari ia menabung Rp 10.000,-. Harga sapi yang layak
jual sekitar Rp 4-5 juta, jika kualitas sapi dinilai bagus, harganya bisa mencapai Rp 9 juta. Sapi-sapi itu sebenarnya buk& milik P.S. pribadi melainkan milik orang lain. Kelak jika sapi itu laku dijual, hasil nya dibagi dua. Cam seperti ini disebut tzggudon atau bagi hasil. P.S. beruntung karena 2 sapinya bisa diperah dan pemiliknya memperbolehkan P.S. mengambil susu perahannya. Dalam sehari sapi-sapi itu menghasilkan 12 liter susu (hasil perahan pagi dan sore) dengan harga satu liter Rp 2000,O Di Ngargomulyo ditemukan adanya pembukaan lahan di hutan lindung untuk budidaya tanaman cabe. Siapa yang memulai pertama kali talc jelas benar. Namun, ketika bubak (membuka lahan ban?) di hutan kemudian mendatangkan hasil yang lebih menguntungkan dibanding dengan h a i l yang selama ini diperoleh dari kebun sendiri maka yang lain kemudian mengilruti. Kisah Smn (45 th) pada Boks 5 memberikan pemahaman bahwa negara sebenarnya mengakui keberadaan mereka dan turut mengambil keuntungan secara tidak langsung. Dalam perspektif rezim proper@ right, mereka inilah para perambah hutan mereka yang mengakses sumberdaya alam secara ilegal - dan berdasar ketentuan perundangan dapat dikenai sangsi karena dianggap telah melakukan tindakan kriminal. Namun, apakah kriminalitas itu? Kriminalitas adalah persoalan perspektif seseorang yang mendasarkan hubungan antar aktor hukum atau bentukbentuk lain peraturan atau sangsi sesuai praktik-praktik hukum konvensional (Peluso 1992; Thompson 1975; Hay 1975 dalam Peluso dan Ribot 2003). Pemahaman terhadap tindakan perambahan hutan lindung seperti yang dilakukan Smn dan penduduk Ngargomulyo lainnya dari perspektif "yang lain" akan memberikan suatu pendapat ban?. Smn terdesak kebutuhan ekonomi yaitu biaya pendidiian yang tinggi. Ia sadar pentingnya memberikan bekal pendidikan pada anak-anaknya. "Zamamiya sudah berbeda. Jika dulu tidak sekolah tidak apa-apa, kalau sekarang sekolah itu jadi keharusan" ujar Smn yang tidak pemah mengenyam pendidiian sekolah. Mandor
Perhutani
RPH
Nggumuk
mengaku
sangat
memahami
pernasalahan ini kareIja ia adalah warga tetangga desa. Sebagai mandor ia bemigas menjaga agar peraturan ditaati, namun untuk menjaga hubungan bertetangga - karena yang melanggar adalah tetangganya sendiri atau bahkan bisa jadi saudaranya, apa yang bisa dilakukannya adalah menjaga hubungan dengan para perambah hutan atau pelanggar peraturan. Bersikap permisif adalah pilihan yang diambil Perhutani. Kebijakan dilematis ini diambil dengan pertimbangan:
Perhutani belum memiliki kapasitas untuk merehabilitasi lahan bekas kebakaran, akan lebih baik dijadikan kebun daripada dijadikan lahan pertambangan karena kerusakannya akan lebih parah. (Asisten Perhutani Bagian Magelang, 4 Juli 2006, Komunikasi Pribadi). Pemyataan ini menjelaskan bahwa antara Perhutani dan perambah sebenamya sama-sama memperoleh keuntungan dari pembukaan lahan di hutan lindung. Fakta ini menegaskan bahwa pemerintah sendiri sebenarnya turut berperan dalam mekanisme akses lahan di hutan lindung di Ngargomulyo. Fenomena yang terjadi pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan lindung RPH Nggumuk seperti pada masyarakat petani petemak di Desa Ngargomulyo sebenamya bukanlah hal baru. Menurut Brockelman er al. (2003) fenomena ini terjadi di hampir semua tempat terkait dengan kawasan lindung atau taman nasional dimana masyarakat menlanfaatkan hubungan sosial dan kesamaan identitas dengan petugas untuk mengakses smberdaya dam. Sementam itu, kondisi dilernatis acap 'membuat para petugas itu sendiri mengalami '"teka~an sosial" untuk menghindari konflik. Strategi yang dipilih para petugas itu biasanya adalah tidak mempedulikan adanya pelanggaran dan berdamai dengan para pelanggar yang adalah tetangganya sendiri atau bahkan ada yang saudaranya. Pernasalahan ini menjadi salah satu k o d i k potensial dalam pengelolaan TNGM. Boks 5. Profil Perambah Hutan Lindung Smn (45 tahun), penduduk Dusun Tanen, desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupateu Magelang yang menjadi perambah hutan lindung sejak tahun 2004. Di dusunnya, menjadi perambah hutan lindung adalah ha1 yang lumrah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kondisi hutan lindung ketika itu terlanlar akibat kebakaran, pohonpohon pinus pun tumbang sementara Perhutani belum melakukan upaya rehabilitasi. Bersama dengan suaminya, Smn mulai bubak (membuka lahan). Keja kerasnya membuahkan hasil berupa kebun cabe seluas 5 ksok (1 kesok = sekitar 800 meter persegi). Dibandingkan dengan kebun milik Smn di dekat rumahnya, kebun di hutan lindung lebih menjanjikan karena tanahnya lebih subur. Perhitungannya berdasarkan jumlah benih cabe yang ditanam. Jika di hutan lindung bisa 10 bungkus benih cabe, di kebun hanya 2 bungkus dengan hasil panen tidak sampai sekuintal. Meski begitu, setidaknya Rp 10 juta rupiah hams ada di tangan untuk berkebun di hutan lindung. Dana ini diperlukan untuk biaya beli bibit, plastik penutup tanah, buruh cangkul dan buruh panen. Dari hasil berkebun di hutan, Smn membiayai pendidikan ketiga anaknya. Anaknya yang pertama berhasil lulus SMA dan kini bekerja di sebuah pabrik di Jakarta. Yang kedua lulus STM, sudah 6 buian ini menyusul kakaknya ke Jakarta untuk mencari pekerjaan namun tak juga berhasil. Smn berharap ia pulang saja ke desa untuk bertani namun anaknya menolak. Kini Smn tinggal membiayai si bungsu yang masih sekolah di SMP. Berita dari mandor Perhutani bahwa hutan lindung akan dijadikan TNGM membuatnya kawatir tidak bisa lagi nasuk hutan. Sebelumnya sang mandor rnetnbiarkan
saja ia mengolah kebun di hutan asalkan tidak menebang pohon pinus dan menanam pohon akasia di sekitar kebun. Sejak berita tentang TNGM, Smn tak lagi menebar benih cabe. Ia kini mengisi waktu luang dengan menganyam kepang (lembaran dari anyaman bambu). Bambu ia peroleh dari pinggiran jurang atau sungai di hutan lindung. Satu kepang anyaman bambu dengan lebar 5x5 meter bisa diselesaikan Smn dalam waktu satu minggu. Jika tidak dijual ke tetangga sekitar ada saja orang dari daerah lain datang untuk membeli kepang. Satu kepang biasanya sekitar Rp 20 ribu - Rp25 ribu. Dalam sebulan rata-rata ia bisa rnemperoleh sekitar Rp IOOribu dari menganyam dan menjual kepang. Ia memang tak bisa berharap banyak dari pendapatan ini, namun ia berharap masih diperbolehkan masuk ke hutan lagi. "Kalau ditutup, kami makan darimana?", tanya Smn. Dalam dokumen Rencana Pengelolaan TNGM Periode 2005-2024 yang disusun BKS.DA DIY dan Pusat Studi Agroekologi (2005), para perambah hutan lindung di Ngargomulyo disebut sebagai Kelompok Masyarakat Petani Hutan (KMPH). Rencana un@k menangani para perambah terkait dengan keberadaan TNGM adalah sebagai 'berikut: (1) Menyusun petunjuk teknis. Petunjuk teknis yang dimaksud adalah aturan-aturan yang h a m dilaksanakan oleh para perambah dalam melalcllkan kegiatan usaha tani dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pemrugaatan sumberdaya kawasan TNGM. (2) Memberikan penyuluhan dan persuasi. ~ e n ~ u l u hkepada h perambah ditujukan dalam tiga bidang utama yaitu peraturan-peraturan baku dari pemerintah tentang kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan dalam kawasan TNGM termasuk pemasyarakatzin petunjuk teknis tersebut di atas, teknik-teknik usaha tani yang baik dan benar (termasak memasukkan pentingnya konservasi) dan peningkatan pengetahuan (Ian ketrampilan masyarakat dalam usaha yang tidak berdasarkan pada lahan (altematif sumber pendapatan). (3) Menciptakan kegiatan altematif yang tidak membutuhkan lahan. Tujuan u t m a dari kegiatan-kegiatan yang tidak terlalu menggtintungkq pada lahan ini adalah memberikan altematif pendapatan petani di luar usaha tani. (4) Program resettlement (pemukiman kembali). Program ini disarankan untuk penanganan perambah setelah diberi kesempatan selama jangka waktu tertentu (5-10 tahun) untuk memanfaatkan lahan yang dirambahnya. Jangka waktu tersebut harus jelas dalam Petunjuk Teknis yang disusun TNGM dengah melibatkan masyarakat atau diperkuat dengan Surat Perjanjian antara TNGM dengan para perambah. (5) Penegakan hukurn. Prioritas utama penegakan hukum akan dilakukan terhadap para pelaku perambahan yang tidak mau meninggnlkan kegiatan dalam kawasan setelah upaya-upaya persuasi
dilaksanakan cukup lama. Rencana memang sudah tersusun rapi, namun bagaimana sosialisasi clan detil pelaksanaan perlu diejawantahkan lebih lanjut. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi kepada penduduk sementara selagi mereka beralih matapencaharian. Kawasan pertambangan pasir Sungai Putih terletak di Dusun Jurangjero; Desa Ngargosoka, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Menurut pembagian zonasi wilayah TNGM, kawasan pertambangan pasir Sungai Putih ini termasuk dalam zona pemanfaatan p3sir. Jaraknya dari jalan raya Yogyakarta - Magelang kurang lebih delapan kilometer. Waktu tempuh dengan truk sekitar 90 menit. Antara lokasi penambangan satu dengan yang lain dibatasi dengan dump. Pelaksanaan penambangan dilakukan melalui kejasama ant&a pemilik SIPD dengan pemilik alat-alat berat. Bahan galian yang ditemui di kawasan ini adalah pasir kerikilan, kerakal-berangkal, bongkah dan lava yang bersifat andesit. Sungai Putih adalah salah satu daerah sebaran bahan galian di kawasan Gunung Merapi selain sungai Pabelan, Apu, Trising, Senowo, Larnat, Batang, Blongkeng, Bebeng, Krasak dan Woro (Dinas Pertambangan Jateng dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional UGM 2000). Kegiatan usaha pertambangan pasir di kawasan ini termasuk dalam Bahan Galian Golongan (BGG) C yaitu terdii dari andesit, trass, manner, kaolin, oker, tanah liat, pasir darat, pasir batu, tanah diatome, diorit, tanah urug, pasir kwarsa, dan granit (Perda Kabupaten Magelang No.2312001). Boks 6. Aktivitas Goro Goro menguasai tiga mekanisme akses sumberdaya alam secara sekaligus; yaitu: (1) Identitas sosial. Goro,adalah perkumpulan dari para penambang manual dan buruh penambang pasirlpenylenggrong. Semua penylenggrong yang hertugas menaikkan pasir ke truk di kecarnatan Srumbung dan Salam yang berjumlah sekitar 300 orang adalah anggota Goro yang ditunjukkan dengan kartu identitas anggota. Setiap kali bekerja, para anggota wajib membawa kartu identitas tersebut. (2) Buruh dan peluang buruh. Siapapun yang ingin menamhang pasir di kawasan peltambangan Srumbung dan Salam pastilah berhubungan dengan Goro. Mekanisme kerjanya sebagai berikut: setiap truk pasir yang melintas akan berhenti di salah satu gardu Goro. Gardu Goro ada di tiap 5 meter sepanjang jalan menuju lokasi tambang. Masing-masing gardu menyediakan beberapa buruh penylenggrong yang kemudian menjadi langganan. Mereka mengistilahkan "langganan truk". Harga buruh disepakati di gardu ini. Biasanya sekitar Rp15.000,- per orang. Satu truk biasanya membutuhkan tenaga 4-5 orang tergantung besar kecilnya truk. Untuk layanan penyediaan tenaga ini, pengemudi truk membayar Rp 2000,- kepada Goro. (3)Hubungan sosial. Tak bisa dipungkiri bahwa Goro berhasil meningkatkan kesejallteraan masyarakat buruh penylenggrong. Keberhasilan ini meningkatkan rasa ketergantungan anggota. teihadap organisasi. Pengums Goro sendiri menyadari pentingnya anggota bagi keiangsungan organisasi mereka. Untuk memelihara hubungan
anggota, setiap tahun sekali Goro meinberikan fasilitas asuransi kecelakaan kerja di lokasi tamhanag, membantu kelahiran, dan memberikan paket leharan berupa beras 5 kg, sirup, gula pasir I kg, dan minyak goreng. Setiap bulannya Goro memberikan subsidi beras masing-masing sebanyak 5 kg untuk 562 keluarga anggota Goro yang dikategorikan tidak mamou. Boks 6 memperlihatkan bagaimana aktor Goro menguasai akses sumberdaya dam di kawasan pertarnbangan pasir Sungai Putih, Dusun Jurandsrc, Desa Ngargosoka. Goro memperkuat dirinya melalui legitimasi yuridis berupa akte sebagai organisasi berbentuk Yayasan yang diperkuat dengan pencantuman Bupati K ~ a l Daerah a Kabupaten Magelang selaku pelindung. Goro juga memiliki legitimasi sosial berupa pemberian perlindungan bagi pekeja tambang. Hasil penelitian yang dilakukan Dinas Pentarnben Jawa Tengah dan UGM pada tahun 2000 memperlihatkan selama 24 jam jalur ke arah kawasan pertambangan sungai eutih (Prebutan-Salamsari-sungaiPutih dan Gulon-SokaSalamsari-sungai Putihftelah dilewati colt diesel sebanyak 79-171 buah per hari, ceketer sebanyak 25-97 buah per hari, fuso dan sejenisnya sebanyak 151-223 buah per hari, tronton banci sebanyak 22-53 buah per hari, dan tronton jumbo 93-163 buah per hari. Sedangkan jalur ke arah kawasan pertarnbangan di sungai Bebeng (Salam-sungai Bebeng)' dilewati jenis truk colt diesel berkisar antara 340-475 buah perhari. Pemasukan perhari Goro dari penarikan ongkos langganan buruh bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Kawasan wisata Kaliurang ibarat kue yang menggiurkan. Banyak aktor berperan di sana dm, mengambil keuntungan. Mereka adalah (1) Pemda Kabupaten Sleman yang mengelola gerbang pintu masuk kawasan wisata melalui BPKKD dan sebagian fasilitas wisata melalui Diparbud; (2) PD Anindya yang mengelola sebagian fasilitas wisata serta tempat p a r k , dan pembagian air untuk kawasan Kaliumng (3) {DishutbunDIY yang mengelola retribusi Taman Wisata Alam Plawangan ~ u r ~ (4) o ; Swasta pemilik penginapan dan jasa boga. Dari data jumlah wisatawan yang berkunjung, terlihat jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa lokasi wisata Kaliurang memang adalah tempat yang menarik untuk berwisata. Pendapatan para aktor dari akses tersebut diperlihatkan dalarn sub'bab berikut.
4.4.2. Dominasi Akses Surnberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi Sebelum menjadi TNGM, kawasan Merapi adalah kawasan konservasi dengan h g s i hutan lindung. Sebagai stale properly, akses sumberdaya alam di kawasan ini didominasi oleh pemerintah. Seturut tatanan rezim properti, ketiga hak akses sumberdaya alam seperti hak pengelolaan, pemanfaatan, dan peruntukan sumberdaya dam dikuasai oleh pernerintah yang dalam h d ini adalah Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan BKSDA. Sementara masyarakat hanya memiliki hak untuk memasuki dan rnemanfaatkan sumberdaya dam. Namun, state property hanya secara de yure bersifat public property. Secara de
facto, stale property menjadi open access (Adiwibowo 2006). Ini terbukti dengan adanya masyarakat yang mampu melakukan budidaya di hutan lindung ataupun melakukan aktivitas penknbangan pasir. Pengamatan terhadap penguasaan akses sumberdaya alam di tiga kawasan studi dengan pendekatan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) menghasilkaa gambaran sebagai berikut: di kawasan dengan karakter mata pencaharian utama petani-peternak (rezim organik alam) yang berlokasi di dekat hutan lindung ymg dikelola Perhutani, masyarakat merniliki mekanisme hubungan sosid dan identitas sosial untuk mengakses sumberdaya alam di hutan lindung berupa rumput, rencek, bambu, dan lahan. Mereka rnernanfaatkan kedekatan sosial dengan mandor Perhutani. Di kawasan dengan karakter matapencaharian pariwisata alam (rezim kapitalis), pemerintah mendominasi akses sumberdaya d a m melalui kepemilikan kewenangan. Para pengusaha jasa pariwisata memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya melalui kepemilikan kapital. Pemerintah mengatur pembagian keuntungan atas akses sumberdaya alam melalui kebijakan yang dikelu&kan. Di kawasan dengan karakter pertambangan (rezim kapitalis), Goro mendominasi akses sumberdaya alam secara tidak langsung melalui kepemilikan akses mekanisme buruh dan peluang buruh, hubungan sosial, dan identitas sosial.
4.4.3. Keadiian Akses di Tiga Desa Konsep keadilan lingkungan (environmental justice) memperlihatkan dampak-dampak yang tidak seimbang yang terjadi akibat gangguan pada
lingkungan komunitas yang rentan seperti komunitas kulit henvama, orang-orang yang secara sosial ekonomi terpinggirkan, dan masyarakat di negara berkembang. Menurut Bell (1998), keadilan sosial menganalisis pola-pola ketidakmerataan distribusi barang-barang lingkungan. Pola-pola ini biasanya erat kaitannya dengan ketidakmerataan pendistribusian kesejahteman. Menurut USEPA, keadilan lingkungan didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan pelibatan semua orang tanpa memandang ras, wama, asal bangsa ataupuan pendapatan demi pembangunan, penerapan dan penegakan hukum dan kebijakan lingkungan. Perlakuan yang adil berarti bahwa tidak akan ada kelompok - termasuk ras, suku atau kelompok sosial ekonomi - yang harus menanggung perolehan yang berbedabeda akibat konsekuensi negatif lingkungan yang dihasilkan oleh industri dan kegiatan perdagangan atau dari program-program yang diputuskan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Magelang memberikan ijin eksploatasi pertambangtln pasir batu di sungai Putih yang terletak di Dusun Jurangjero, Desa Ngargomulyo memberikan dampak sosial dan ekonomi pada masyarakat lokal. Beberapa permasalahan yang muncul: (1) Kecemburuan sosial terhadap penambang pendatang. Menurut hasil studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional (P4N) UGM (2000), di lokasi pertambangan pasir dan batu di Sungai Putih (Kecamatan Srumbung) dan Sungai Senawa (Kecamatan Dukun), sebagian besar tenaga keja pertambangan (83,3%) berasal dari luar desa sekitar lpkasi pertambangan atau penambmg pendatang. Jumlah penambang lokal at& penduduk asli hanya sebanyak 16,7%. Penambang pendatang berasal dari desa-desa lain yang termasuk dalam kecamatan Srumbung maupun Dukun, namun yang lebih banyak berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar Kabupaten Magelang, yakni dari Temanggung. Di antara dua lokasi pertambang& ini, jumlah penambang pendatang o'i Srumbung (76,7%) lebih besar daripada di Dukun (63,3%). Fenomena ini memicu berdirinya Goro di tahun 1995. Kemunculan Goro menyeiesaikan persoalan yang satu tapi sekaligus memunculkan persoalan baru yaitu aksi premanisme Goro yang kurang mendapatkan sinlpati masyarakat.
(2) Rusaknyajalur transp~rtasidan infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan kerusakan sabo dam. Pada bulan Nopember 1998 - Oktober 2000 kerugian akibat aktivitas penambangan pasir disajikan dalam tabel 12 berikut: Tabel 12.
Kerugian atau biaya langsnng yang dibayar pemerintah di kawasan pertambangan Merapi di ~ a b u ~ a t Magelang eu Macam Beban Nilai (Rp) Kerusakan jembatan 66.750.000 Kerusakan jalan Pemeliharaan sabo dam Penyusutan sabo dam Kemgian lingkungan lain 10% 4.755.194.444 Jumlah 47.55 1.944.444 ~
-
Sumber: Studi Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah dan P4N UGM, 2000
Perhitungan Net Present Value terhadap pendapatan dan kerugian aktivitas pertambangan pasir di kawasan Merapi memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, estimasi pendapatan Pemda kab. Magelang dari retribusi pertambangan pasir sebesar Rp.12.158.803.340,50. Sementara estimasi kerugian akibat aktivitas pertambangan pasir Rp.101.327.541.805,OO (kemsakan jalan, jembatan, sabo dam, kemgian lingkungan lain). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan pasir sebknarnya lebih banyak mendatangkan kemgian ketimbang keuntungan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang. (3) Penurunan debit air. Meskipun belum ada kajian ilmiah mengenai berapa penurunan debit air, para petani sudah merasakan sulitnya ngelep sawah (mengairi sawah selama beberapa jam) terlebih di musirn kemarau. Ketika penelitian lapang dilakukan bulan Juli 2006, petani di Desa Ngargosoka terpaksa
ngelep sawah dengan cara meminjam saluran irigasi dari Desa Ngargomulyo. Untuk jangka waktu tertentu, saluran irigasi di Desa Ngargomulyo dibelokkan ke Desa Ngargosoka. Menurut Kepala Desa Ngargosoka, cara ini tidak pemah dilakukan sebelum kegiatan pertambangan aktif. Meski begitu, sulit baginya untuk meminta agar pertambangan itu dihentikan karena sekitar 40% penduduknya menambah penghasilan sebagai buruh penylenggrong. Kesulitan air ini juga membuat petani tidak berani menanam padi dua kali dalam setahun seperti yang dulu biasa dilakukan.
Di kawasan wisata Kaliurang di Desa Hargobinangun, beberapa bentuk ketidakadilan akses terhadap jasa lingkungan nampak pada pendapatan antar aktor. Pendapatan Pemda Sleman, Dishutbun DIY, dan PD Anindya selama lima tahun terakhir bisa dilihat secara bertumtan dalam tabel-tabel berikut (Lihat Tabel 13-Tabel 18): Tabel 13. Tahun
Pendapatan Pemda Kab. Sleman Dari Pengelolaan Gerbang Pintu Masuk Kawasan Kaliurang Target (Rupiah) Realisasi (Rupiah) Lembaga Pengelola
2000 2001 2002 2003 2004
-na644.838.000 660.600.000 602.000.000 602.000.000
-na585.623.237,5 630.42 1.603,O 499.838.200,O 522.903.100,O
2005
600.000.000
484.007.650,O
-naDisparbud Disparbud Disparbud Disparbud hingga sekitar pertengahan tahun kemudian dialihkan ke BPKKD BPKKD
Catatan:
Besar retribusi per orang (dewasa) Rp 500,- (Jasa Raharja Rp loo,-); anak Rp 250,- ;mohil Rp 500,-; bis Rp 1000,-; motor Rp 200,- (Berdasarkan Perda 1996) Sumber: BPKKD Pemda Kab. Sleman, 2006 Tabel 14. Tahun
2003 2004 2005
Pendapatan Pemda Kab. Sleman Dari Pengelolaan Fasilitas Wisata di Kawasan Kaliurang Melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Becak Air, Pangeung Sewa Kios Perii inan -- Seni, Toilet di Tlogo Putri Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi ( R U G ) (Rupiah) (RUG) (Rupiah) (~u$ah) (Rupiah)
-na2.000.000 4.000.000
3.186.000 2.001i.000 4.045.000
-na15.000.000 20.000.000
12.679.600 20.480.700 21.170.700
-na135.000.000 100.000.000
-na132.l88.000 100.582.500
Catalan:
Data tahun 2000-2002 tidak dicanhmkan karena ketidaktersediaan data di kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemda Kab. Sieman Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemda Kab. Sleman, 2006 Tabel 15.
~endapatan!Dinas Kehutanan dan Perkebnnan DIY dari pengelolaan retribusi di TWA Plawangan - Turgo. -
Tahun
Pengunjung Domestik
Jumlah
Pendapatan (Rupiah)
139.330
69.665.000
Asing
2005 131.152 8.178 Sumber: Resort Pengeloiaan Hutan (RTH)Kaliurang, 2006
Tabel 16.
Pendapatan PD Anindya dari Pengelolaan Fasilitas Wiwtta di Kaliurang dau Tlogo Putri
Tahun
Taman Rekreasi @ 5000 (Rupiah) 716.755.000
2000
Kolam Renang Anak Kaliumng @500 (Rupiah) -na-
Kolam Renang Tlogo Puhi a3500 - (Rupiah) -na-
Cataton:
Belum termasuk pendapatan dari persewaan kios, mainan anak, dan toilet karena ketidaklengkapan data Sumber: PD Anindya KaIiurang,2006
Tabel 17. Tahun
2005
Pendapatan PD Anindya dari Pengelolaan Parkir dan Penarikan Ongkos ~ r a ~ Angkutan $k ~ m u ~ha l i u r a n d - ~ ~ a k a r t a Parkir Taman Rekreasi Parkii Tlozo Putri Onekos Trwek (Juta Rupiah) (J& ~ u ~ i r ; h ) (Juta ~upiah) Motor Mobil Bus Motor Mobil Bus Colt Bus @l500 a3000 @6000 @1500 @JOOO a6000 @,I000 @jOOO
5.331,O
12.117
0,720
89.827,5
109.422
16.482
3.716
4.386
Sumber: PD Anindya Kaliurang, 2006
Pendapatan PD Anindya dari Penjualan Air Minum di Kaliurang Meter Kubik Terjual Pendapatan @ 1000/meter kubii (Rupiah) 2000 294.160 294.160.000 304.3 17.000 2001 304.317 2002 322.675 322.675.000 2003 345.148 345.148.000 379.264.000 2004 379.264 378.025.000 2005 378.025 Catatan: Pendapatan tersebut dipotong rehibusi ke Dias Pertambangan Pemda Kab. Sleman sebesar+Rp25,- per meter k u b i Sumber: PD Aniidya, Kaliurang 2006 Tabel 18. Tahun
Perbandingan pendapatan keempat aktor yaitu BKSDA DIY, Dinas Kehutanan clan Perkebunan DIY, Pemda Kabupaten Sleman, dan PD Anindya yang melakukan aktivitas di bidang jasa pariwisata di kawasan wisata Kaliurang
tersebut dipengaruhi juga oleh aktivitas Gunung Merapi. Berikut ini adalah gambaran perbandingan pendapatan antar ketiga aktor pada tahun 2004 dimana kondisi Gunung Merapi relatif normal: Tabel 19. Perbandingan Pendapatan AMor di Kawasan W i t a Kaliurane- di Tahun 2004 Aktor Tanggungjawab Pendapatan (Rp) Pengelolaan CA Plawanean Turzo BKSDA DIY v Dishutbun DIY ~engelolaanhutan lindung dan 48.764.800 penarikan retribusi TWA Plawangan Turgo Pemda Kabupaten Pengelolaan gerbang pintu masuk 677.571.700 Sleman melalui BPKKD dan sebagian fasilitas wisata melalui Diparbud PD Anindya Pengelolaan sebagian fasilitas wisata*, 1.096.669.500 Pengelolaan parkir, Pengelolaan air minum
-
*Belumtermasuk pendapatan dari persewaan kios, mainan anak, dan toilet karena ketidaklengkapan data Sumber: Dishutbun DIY, BPKKD Kab. Sleman, Diparbud Kab. Sleman, PD Anindya, diolah (2006)
Tabel 19 memperlihatkan bahwa pendapatan terbanyak diperoleh PD Anindya yaitu sebesar Rp 1.096.669.500,OO. Sementara pendapatan paling s e d i i t adalah Dishutbun yaitu Rp 48.764.800,OO. Ketimpangan pendapatan ini menimbulkan kecemburuan mengingat peran Dishutbun DIY yang besar dalam pengelolaan hutan lindung. TNGM dianggap mampu mengakomodir kebutuhan akan dana pengelolaan kawasan konservasi yang terbatas (Pemda DIY dan Jateng 2002). Perubaban status kawasan dari hutan lindung menjadi TNGM disambut dengan antusias oleh Dishutbun DIY. Ungkapan ini tergambar pada profil Mantri Kawasan Resort Pemangku Hutan Kaliurang sebagsirnana disajikan pada boks 7 berikut ini: Boks 7. Profil Shr, Mantri KRPH Kaliurang Shr (45 th) berbadan tegap dan b e r b i m tegas. Ia hapal benar setiap petak hutan lindung di kawasan Merapi yang berada di bawah tanggung jawabnya."Perubahan stam Rawasan komervasi menjadi INGM ini menggembirakan karena rnengurangi beban saya sebagai pengelola hutan lindung. W n g saya merasa kmja saya tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Saya term melakukan upayci pemeliharaan hutan lindung dun rehabilitasi namun pihak lain yang memetik hasilnya. Saya bahkan harus membeli air yang diambil dari sumberrnata air Umbul Wadon yang ada di petak 19': ungkap Shr. Ia juga mengeluhkan biaya retribusi ke kawasan wisata yang terlalu murah yaitu Rp 500,- per orang berdasarkan ketstapan pemerintah daerah. Angka ini memang jauh di bawah tarif rata-rata pengunjung taman nasional sesuai Peraturan Pemerintah No.5911998 sebesar Rp15.000,.. per orang untuk wisatawan mancanegara dan Rp 1.650,-
7
-
untuk wisatawan domestik. Di tengah kesibukan pasca letusan Merapi, hari itu saya diajaknya patroli ke kawasan hutan lindung dengan menggunakan mobil pick up. Shr mernperlihatkan kerusakan-kemsakan pohon yang disebabkan oleh para wisatawan. Ada beberapa batang pohon yang dipaku untuk keperluan pemasangan fasilitas outbond. Ada juga pohon yang sengaja dimatikan dengan cara digeret batangnya. Tujuannya agar mmput di bawah tegakan bisa tumbuh lebih subur. Selanjutnya Shr mengajak saya meiihat daerah perbatasan yang nampak rapi ditanami jajaran pohon bambu. Batas alam ini untuk memisahkan antara kawasan hutan lindung dan pemukiman penduduk. Selang beberapa meter nampak beberapa rongga pada pagar bambu yang sengaja dibuat warga untuk masuk ke hutan. Kami sempat memergoki seorang ibu baru keluar dari hutan dengan gelondong kayu yang digergkji rapi di pul?ggungnya. Shr menegur ssmbil menjelaskan bahwa apa yang dilakukan itu melanggar peratumn. Ia juga mengundang ibu itu untuk hadir di pertemuan berkala yang membahas tentang berbagai persoalan desa temasuk konservasi hutan. Di tengah perjalanan pulang Shr bergumam soal kemsakan hutan lindung "Seandainyapohon-pohon itu bisa bicara, pasti mereka mettongis".
4.4.4. Ikhtisar Mekanisme akses sumberdaya darn yang dominan di Desa Ngargomulyo adalah hubungan sosial dan identitas sosial. Masyarakat memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan petugas untuk memperoleh sumberdaya alam seperti lahan di hutan lindung yang semestinya adalah tindakan ilegal menurut undang-undang. Meskipun kegiatan ini ilegal namun sikap Perhutani adalah permisif karena mereka memperoleh keuntungan juga dari aktivitas ini yaitu rehabilitasi lahan bekas kebakaran serta perlindungan hutan lindung dari kegiatan yang dirasa lebih merusak yaitu pertarnbangan pasir. Fenomena yang terjadi pada masyarakat yang tinggal berdekatan dengan hutan lindung RPH Nggumuk seperti pada masyarakat petani peternak di Desa Ngargomulyo sebenamya bukanlah ha1 baru. Menurut Brockelman et al. (2003) fenomena ini terjadi di hampir semua tempat terkait dengan kawasan lindung atau taman nasional dimana masyarakat memanfaatkan hubungan sosial dan kesamaan identitas dengan petugas untuk mengakses sumberdaya dam. Sementara itu, kondisi dilematis acap membuat para petugas itu sendii mengalami "tekanan sosial" untuk menghindari konflik. Strategi yang dipilih para petugas itu biasanya adalah tidak mempedulikan adanya pelanggaran dan berdamai dengan para pelanggm yang adalah tetangganya sendiri atau bahkan ada yang s a u d m y a Sikap permisif ini bisa jadi menimbulkan konflik saat pergantian manajemen
pengelola hutan terjadi. Pernasalahan ini menjadi salah satu konflik potensial dalam pengelolaan TNGM. Di kawasan pertambangan pasir di Sungai Putih, Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoka, Goro yang menguasai tiga mekanisme akses sekaligus yaitu buruh, hubungan sosial, dan identitas sosial nyatanya bisa juga dibubarkan. Kedekatan yang dibangun Goro dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang sebenamya rapuh. Goro melupakan faktor pergantian rezim yang sewaktu-waktu akan mempengaruhi keluaran kebijakan. Rezim pemerintah daerah Kabupaten Magelang yang baru mempergunakan akses kewenangan untuk menata kawasan pertambangan pasir, Menurut Peluso dan Ribot (2003), pergeseran dalarn konteks ekonomi dan politik bisa membuat bebempa jenis akses menjadi usang. Para aktor akan berusaha mengembangkan hubungan sosial baru untuk memperoleh, mempertahankm, ataupun mengendalikan akses sumberdaya. Setelah Goro bubar, muncul Punokawan yang memiliki aktivitas sama. Punokawan mempakan representasi pertahanan para buruh penylenggrong untuk memperoleh kembali akses sumberdayanya di kawasan pertambangan pasir. Di kawasan wisata Kaliurang di Dusun Kaliurang Timur dan Barat, Desa Hargobinangun penggunaan mekanisme kewenangan yang cukup kuat dimilii Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dan Provinsi DIY mempengaruhi perolehan keuntungan sumberdaya. Dishutbun DIY mendukung gagasan penetapan status TNGM di k a m konservasi hutan lindung karena dana pengelolaan tidak seimbang dengan pendapatan yang diperoleh dari retribusi Taman Wisata Alarn.
4.5.
Analisis Konflik Sumberdaya Alam di TNGM
4.5.1. Dimensi Konflik Pro-kontra TNGM di Tiga Kawasan Studi Dimensi konflik sumberdaya alam yang terjadi di tiga kawasan studi berkaitan dengan penetapan status TNGM di kawasan konservasi Merapi disajikan pada tabel 20 berikut :
Tabel 20. Peta konflik di tiga kawasan studi, 2006 Dimensi Kawasan Kawasan Konflik Pemukiman Penambangan Pasir Ngargomulyo S. Putih, Jurangjero
Kawasan Wisata Kaliurang
Isu utama
Akses ke hutan
Akses ke lokasi pettambangan pasir
Akses ke bisnis pariwisata
Kebijakan Pemerintah te*adap kawasan
Menjadikan kawasan pemukiman Ngargomu!yo sebagai kawasan penyangga TNGM.
Menjadikan kawasan penambangan pasir S. Putih sebagai zona pemanfaatan pasir TNGM.
Menjadikan kawasan wisata Kaliurang sebagai kawasan penyangga TNGM.
Respon Tidak setuju. TNGM masyarakat dianggap membatasi terhadap TNGM akses ke hutan untuk merumput, mencari rencek, menderes getah pinus dan bertani.
TNGM dikuatirkan membatasi akses ke lokasi pertambangan. Kekuatiran ini mereda setelah masyarakat mengetahui bahwa kawasan pertambangan pasir S. Putih dimasukkan dalam zonasi pemanfaatan TNGM.
Setuju. TNGM dianggap akan meningkatkan kunjungan wisatawan ke kawasen wisata Kaliurang.
Respon OrnopWOAR dan Organisasi Kemasyarakatan terhadap TNGM
Pasag Merapi dan GMCA: tidak setuiu dengan proses TNGM yang kurang melibatkan masyarakat lokal.
Goro: mendukung Yawama: TNGM TNGM karena tidak dianggap bagian menutup sama sekali dari rencana lokasi pettambangan. pemerintah melakukan kapitalisasi sumberdaya alam.
Kepentingan Ymg dipejuangkan
Masyarakat: akses ke hutan Pemerintah: penyisihan lahan untuk preservasi
Goro: akses penambang manual untuk menambang pasir
Yawama: menolak TNGM yang dianggap sebagai bentuk kapitalisasi sumberdaya alam
Kedalaman konflik
Warga saling menghasut dan membetikan infomasi palsu tentang TNGM
Tidak tejadi gejolak yang berarti. Tidak ada pemicu yang meletupkan konflik.
Masyarakat pelaku wisata setuju dengan TNGM. Sebagian besar menolak ajakan Yawama untuk menolak TNGM.
Dimensi Konflik
Kawasan Pemukiman Ngargomulyo
Luasnya konflik
Pasag Merapi menjalin aliansi (Aliansi Masyarakat Peduli MerapiMerbabu) dengan GrnopL dw. organisasi akar rumput lain di lereng Merapi-Merbabu mengajukan protes menolak TNGM.
Puncak Konflik
Konflik pro kontra TNGM memuncak pada putusan PTUN di Jakarta yang memenangkan pemerintah selaku tergugat. Usaha mkonsiliasi dari pemerintah dilakukan melalui upaya sosialisasi yang terus dilakukan hingga kini. Gejolak konflik sebenamya masih tetap bisa dirasakan di daerah terutama di DesaNgargomulyo.
Solusi Konflik
Pemerintah memberikan sosialiasi kepada perambah hutan namnn tidak memberikan altematif penyelesaian masalah kemiskman eks perambah hutan. Juga tidak memberikan altematif pemecahan masalah pakan temak.
Setelah bertahun-tahun
Kawasan Penambangan Pasir Sungai Putih, Jurangiero Goro turut membantu pemerintah memberikan sosialisasi pada m a s y m k ~tentang t TNGM.
Kawasan Wisata Kaliurang
Yawama mengangkat isu ini bekejasama dengan WALHI mengajukan gugatan kepada Menteri Kehutanan mendesak agar SK penetapan TNGM dicabut.
Pemerintah daerah Kabu~atenMazelanz mengeluarkan serangkaian kebiiakan ~ena&nkawask pertambangan, namun tidak memberikan altematif penyelesaian untuk mengatasi masalah kemiskinan eks buruh pasir.
- -
Kekalahan Walhi dalam putusan PTUN berarti iuga kekalahan Yawama dalam konflik menentang TNGM.
masyarakat merasakan kemudahan mengakses
sumberdaya hutan, kini masyarakat dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang sarat dengan ketentuan akan batasan zonasi kawasan. Seperti telah diuraikan
dalam analisis akses sebelumnya, masyarakat di Desa Ngargomulyo m e m i l i i mekanisme akses hubungan sosial clan identitas sosial yang memungkinkan mereka mengakses sumberdaya hutan lindung seperti rumput, rencek, getah pinus, bahkan lahan di hutan liidung untuk bertani cabe. Kebijakan pemerintah yang merubah kawasan hutan lindung menjadi TNGM memicu gejolak masyarakat karena membatasi akses masyarakat ke hutan lindung. Pada ketentuan zonasi
TNGM, ditetapkan bahwa zona pemanfaatan dimana masyarakat diperbolehkan
bertanam m p u t di hutan hanyalah sebatas 100 meter ke dalam hutan. Meskipun untuk mencari rumput masih diperbolehkan masuk ke hutan lebih luas lagi, namun tetap saja ada zonasi-zonasi tertentu yang steril dari manusia seperti zona khusus dan zona inti. Ketentuan pelanggaran terhadap zonasi ini diatur dengan undang-undang. Bagi mereka mencari rumput adalah pekerjaan keseharian yang tidak bisa disepelekan. Bagi masyarakat yang dikelompokkan dalarn masyarakat petani hutan kini tidak dimungkinkan lagi untuk melakukan aktivitasnya. Masyarakat dalam kelompok pencari m p u t clan rencek serta petani hutan inilah yang bereaksi negatif terhadap keputusan penetapan TNGM. Lambatnya infonnasi dan kurang detilnya sosialisasi mengenai TNGM membuat gejolak makin kuat. Semua responden yang ditemui di Desa Ngargomulyo menyatakan bahwa infomasi mengenai TNGM pertama kali diperoleh dari aktivis Omop-L Perdiian. Peralihan status menjadi TNGM di Desa Hargobinangun tidak terlalu menimbulkan gejolak antar masyarakat pelaku wisata. Bagi mereka TNGM diharapkan menarik banyak wisatawan untuk berkunjung. Hasil penelitian yang dilakukan Sutoyo (2003) mengenai persepsi masyarakat di Dusun Kaliurang Timur, Desa Hargobinangun menunjukkan adanya persepsi positif dan negatif terhadap TNGM. Persepsi positif dari masyarakat ditunjukkan dengan pemyataan bahwa: (1) Pendapatan daerah akan meningkat; (2) Lebih memudahkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan; (3) Mendorong berkembangnya obyek dan sarana pendidikan, penelitian dan embinaan cinta alam bagi generasi m u h , (4) Mendorong munculnya obyek wisata baru; (5) Memperluas lapangan kerja; (6)
Sarana transportasi dan komunikasi akan semakin bak, (7) Kawasan Gunung Merapi adalah milik bersama yang harus dilindungi bersama-sama; (8) Kawasan Gunung Merapi memiliki peranan penting sebagai penyangga kehidupan masyarakat di sekitamya; (9) Masyarakat sekitar Gunung Merapi Berkewajiban menjaga kelestarian kawasan Gunung Merapi; (10) Gunung Merapi hanya bisa dijaga kelestariannya dengan menjadikannya sebagai Taman Nasional; (11) Ketidakikutan masyarakat dalam melestarikan kawasan Gunung Merapi a k a memberikan dampak negatif di masa mendatang. Adapun persepsi negatif dari masyarakat antara lain: (1) Masih ada kekhawatiran akan tejadinya penggusuran
dalam pengembangan taman nasional; dan (2) Pemerintah harus menjamin agar masyarakat lokal yang telah lama tinggal di kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya tidak merasa terpinggirkan. Banyak persepsi positif dibandingkan dengan persepsi negatif ini pula yang menyebabkan isu penolakan TNGM yang digulirkan Yawama, h o p - L yang berlokasi di sana dianggap tidak seksi. Tokoh pengembang pariwisata kawasan wisata Kaliurang adalah C.A. Ia memulai bisnis pariwisata di Kaliurang dengan membuka sebuah hotel bemama Vogels pada tahun 1983 setelah memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai pelaut. Pengalamannya meliiat pariwisata dam di berbagai negara menarik minatnya untuk melakukan hal yang sama di Kaliurang. Ia merintis wisata treking dan wisata lahar di Gunung Merapi. Ia juga mengajak penduduk lokal untuk turut berpartisipasi dengm meminta kesediaan mereka untuk menjadi tempat singgah
clan menjual makanan tradisional bagi turis rnancanegara di sepanjang mte treking. Christian dan masyarakat pelaku bisnis pariwisata bsik di Kaliurang menyadari bahwa matapencaharian mereka tergantung pada alam. Bencana letusan Gunung Merapi tanggal 19 Juli 2006, menurunkan pendapatan mereka secara drastis. Bagi Dishutbun DIY, TNGM menjadi harapan akan berkurangnya beban tanggung jawab yang mesti diemban yaitu melakukan konservasi sekaligus menarik retribusi. Bagi Pemda Kabupaten Sleman, selama ini kawasan pariwisata Kaliurang telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap APBD. Pengelolaan TNGM bisa jadi mengubah besaran kontribusi APBD Pemerintah Kabupaten Sleman. Di Desa Ngargosoka, isu pro kontra muncul dari kelompok masyarakat penambang pasir yang' mengkuatirkan terputusnya akses mereka ke kawasan pertambangan pasir. Namun isu ini cepat diredam karena mereka berhasil diyakinkan bahwa kawasan pertambangan pasir tetap ada dan menjadi bagian dari salah satu zonasi. Menurut Z.A, salah seorang pendiri Goro, Goro membantu pemerintah dalam sosialisasi pentingnya TNGM untuk konservasi kawasan Merapi. Reaksi dari masyarakat penambang pasir ini berbeda dengan reaksi masyadkat petani di Desa Ngargomulyo. Isu TNGM pertama kali tidak diperoleh dari pemerintah melainkan dari P salah seomng aktivis 0mop-L Perdikan. "Saya tahunya dari media massa, tujuar; saya memberitahu masyaraht Ngcrgomzrlyo
hanyalah mengkonjTrmasi apakah mereka sudah tahu mengenai gagman TNGM aiau belum. Nyaianya belum ada saiupun yang pernah mendengarnya" (P, 20 Agustus 2006, Komunikasi Pribadi). Pelajaran untuk merespon kebijakan pemerintah yang telah dibangun selama beraktivitas dengan GMCA dan Pasag Merapi membangkitkan sikap kritis para petani terhadap gagasan TNGM. Sikap ini kadang d i i i t i oleh emosi yang berlebihan sebagai ungkapan ketidakpuasan etas sosidiasi dari pemerintah yang dirasa kurang. Ada responden yang membayangkan taman nasional nantinya seperti taman yang ditanami dengan bunga-bunga. Ada pula responden yang menyangka bahwa zonasi bemrti jalan lurus menuju ke puncak gunung. Ketidaktahuan penduduk ini dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengajak masyarakat melakukan tindakan menentang kebijakan pemerintah yang lainnya. Ketika status Merapi dinyatakan Awas pada bulan Juni-Juli 2006, salah satu sebab keengganan penduduk untuk mengungsi adalah karena adanya isu bahwa perintah mengungsi itu adalah salah satu taktik pemerintah untuk merelokasi penduduk dari desa karena akan dijadikan taman nasional. Pengalaman direlokasi pemah dialami oleh penduduk di Ngargomulyo. Akibat letusan Gunung Merapi pada tahun 1961, Pangdam VII Diponegoro mengeluarkan ~jerintah.yang menyatakan bahwa 11 desa yang terdiri dari 40 pedukuhan dinyatakan sebagai daerah terlarang. Sebanyak 4.5 17 penduduk ditransmigmsikan ke Way Jepara, Lampung Selatan. Tahun 1967, daerah seluas
1.963.278 hektar tersebut dihutankan oleh Perum Perhutani (Kisworo, 2003). Pada masa itu, transmigrasi memang merupakan pola baru yang digagas Suharto sebagai program pemerataan penduduk, memindahkan penduduk dari daerah padat ke daerah baru yang masih kosong. Program ini tidak berhasil karena di tempat yang baru masyarakat tidak bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Banyak transmigran yang kembali pulang ke Merapi (Singarimbun 1980 ddam Pranowo 1985). Salah' satu responden yang ditemui peneliti adalah anak transmigran yang lahir di Lampung. Responden inimengaku lebih betah tinggal di Merapi yang subur dan sejuk d i b a n d i i a n di daerah transmigran. Menurut Kepala Desa Ngargomulyo, Desa Ngargomulyo dulunya berada lebih atas lebih dekat dengan Gunung Merapi. Ia menjelaskan, salah alasan perambahan penduduk
adalah mereka dulu memang pernah tinggal dan memiliki lahan di kalvasan yang sekarang dijadikan hutan lindung.
4.5.2. Penahapan konflik pro-kontra TNGM Reaksi pro-kontra atas terjadinya perubahan mekanisme akses dan hak sumberdaya alam semqnjak penetapan TNGM memicu konflik terbuka antara OrnopL. dm Organisasi akar rumput melawan Pemerintah. Penahapan konflik pro kontra TNGM disajikan pada Gambar 3 berikut ini:
Krisis
pq Pascakonflik
K
Gambar 3. Penahapan konflik pro-kontra TNGM Kejerangan: Prakonflik
Konfrontasi
Krisis
Akibat
: Mempakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih hingga timbul konflik. Dalam kasus ini, muncul ketidaksesuaizn pendapat mengenai bentuk konsewasi untuk kawasan Merapi. : Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksis demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya Dalam kasus prokontra TNGM, ajang konfrontasi terjadi dengan memanfaatkan media cetak (koran daerah) dan media seminar/diskusi. Aksi demonstmi terjadi di kota Yogyakarta di kompleks kantor Gubernur DIY dan sepanjang jalan ~alioboro. : Merupakan puncak konflik ketika ketegangan d d a t a u kekerasan tejadi paling hebat. Tidak ada tindak kekerasan atau vandalisme yang tejadi, Walhi menempuh jalur hukum dengan menggugat Menteri Kehutanan mendesak agar SK penstapan TNGM dicabut.Walhi kalah dalam PTUN. : Kekalahan Walhi membuat para Ornop-L harus membuat agenda baru. Walhi cs membangun kekuatan jaringan untuk tens mengkritisi kebijakan pengelolaan kawasan Merapi. Sementara pihak Pemerintab meneruskan agenda kelanjutan penetapan TNGM.
Pascakonflik
: Gempa' bumi dan letusan Gunung Merapi sempat menghentikan aksi kedua belah pihak. Pengelolaan TNGM mengalami status quo untuk beberapa saat. Balai TNGM terbentuk pada bulan Oktober 2006 lalu di kota Sleman, DIY.
Analisis terhadap pemahaman kejadian antar aktor sebagaimana tersaji pada Tabel 21 memperlihatkan bahwa pihak pemerintah sebenamya tidak terlalu terganggu dengan reaksi kontm terhadap TNGM. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tidak satupun yang menunjukkan kehendak untuk menyurutkan niat penetapan TNGM. Tabel. 21 Urutan Kejadiau Pro-Kontra TNGM Kejadian menurut pandangan Tahun Kejadian menurut pandangan pemerintah Omop-L Pengelolaan kawasan Merapi 2001 Mengakui perlunys konservasi mengalami masalah dana dan kawian Merapi tapi tidak setuju kelembagaan. Usulan periyelesaian TNGM karena menganggap pemerintah tidak/belum mampu adalah merubah status kawasan menjadi TNGM. menangani pertnasalahan taman nasional.
1. Pemda Prop Jateng dan Pemda Prop. D N membuat kajian pengemhangan kawasan Merapi dan mengakui taman nasional sebagai fungsi konsewasi yang tepat. 2. Melakukan sosialisasi TNGM
2002
1. Mempertanyakan keefektifan TNGM sebagai solusi atas pennasalahan di kawasan konsewasi Merapi. 2.Melakukan sosialisasi menentang gagasan TNGM bersama DPRD di 4 Kabupaten: Boyolali, Klaten, Sleman, Magelang.
Mulai melakukan langkah-langkah menuju TNGM. Membuat kajian kelayakan kawasan ekosistem Gunung Merapi untuk TNGM bekerjasama dengan Fak Kehutanan.
2003
Studi potensi untuk mengkaji bentuk konservasi yang tepat untuk kawasan Merapi.
Merevisi SK Menhut 7012001 menjadi SK 4812004 tentang tidak perlunya persetujuan DPRD untuk pembahan fungsi kawasan lintas Provinsi. Mengeluarkan SK Menhut 13412004 tentang perubahan fungsi kawasan konsewasi Merapi menjadi TNGM seluas i 6410 ha. Mengakui SK 48 terlambat disampaikan.
2004
SK Menhut 134 mengabaikan partisipasi masyarakat. Walhi, DPRD Sleman, Fak Kehutanan UGM menolak penetapan TNGM. Mengadakan aksi demonstmi bersama aliansi 26 Omop-L di kawasan Merapi. Walhi Mengajukan gugatan agar SK Menhut 134 dicabut
Kejadian menurut pandangan pemerintah 1. Memenangkan gugatan Walhi 2. Memhuat MOU untuk pengelolaan TNGM antar 5 Pemda: Yogyakarta, Sleman, Magelang Boyolali, KIaten 3. Melakukan uemetaan zonasi dikerjakan oleh PAU UGM 4. Melakukan penetapan tapal batas TNGM dikerjakan oleh BAPLAN Kantor Balai TNGM herdiri di SIeman bulan Oktoher.
Tahun 2005
2006
Kejadian menurut pandangan Ornop-L 1. Kalah sidang PTUN 2. Mengajukan somasi 2x, tapi gagal
Pemetaan partisipasif untuk mengkaji respon masyarakat terhadap TNGM
Rzncana pembahan status kawasan konservasi Merapi menjadi TNGM diawali adanya inisiatif Gubemur DIY pada saat kunjungan kerja Menteri Kehutanan ke Yogyakarta membicarakan masalah pembangunan kehutanan di Provinsi DN, khususnya rencana pelestarian kawasan hutan Gunung Merapi pada tanggal 11 Juni 2001 (Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY 2004). Dalam pertemuan tersebut Menteri Kehutanan menawarkan usulan peningkatan status kawasan konsewasi Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Usulan ini diterima dan dipelajari oleh Gubernur DIY yang kemudian melakukan langkahlangkah pembentukan TNGM. Pada tahun 2001 Provinsi DIY memiliki kawasan hutan negara seluas 17.064,364 hektar atau 5,36% dari total luas wilayah Provinsi DIY. Kawasan tersebut terbagi berdasakan fungsinya menjadi Hutan Lindung seluas 3.791,3 hektar, Hutan Produksi seluas 12.888,l hektar, dan Hutan Konservasi seluas 465,02 hektar. Kawasan konse~asitersebut meliputi: a) CA Plawangan Turgo diperuntukkan bagi perlindungan hidrologi, klimatologi, biologi, botani, flora dan fauna; b) TWA Plawangan Turgo diperuntukkan untuk melindungi keindahan dam yang dapat dianfaatkan sebagai obyek wisata dam; c) CA Gunung Batu Gampingan diperuntukkan untuk melindungi sisa endapan batu gamping atau perfindungan geologi; dan d) TWA Teluk Baron yang diperuntukkan bagi perlindungan terhadap turnbuhan pantai selatan serta pemandangan dam (Sulistyaningsih 2002). Ketika itu Pemda DIY memang sedang menghadapi
tantangan untuk merumuskan strategi kebijaksaaan sumberdaya alam di wilayah mereka. Permasalahan tersebut adaiah: 1. Telah terjadi perubahan fungsi yang besar pada lahan pertanian karena proses perkembangan kota sebagai konsekuensi laju perkembangan penduduk dan kegiatan ekonomi yang cukup pesat yang mendorong kebutuhan pemukiman baru dan infrastmktm lainnya. 2. Sem*
pesainya perkembangan pemukiman di wilayah Yogyakarta
bagian tengah utara yang merupakan kawasan resapan air hingga perlu mendapatkan perhatian yang serius. 3. Menurunnya dasar sungai akibat penambangan pasir yang berasal dari kegiatan vulkanis Gunung Merapi menyebabkan terganggunya bangunan sipil di atas sungai. 4. Gangguan terhadap kawasan hutan di Yogyakarta seperti pencurian kayu, bencana alam dan kebakaran. 5. Penurunan jenis flora dan fauna akibat pengambilan dan perburuan secara liar (Sujatmo 2001). Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY menyebutkan pengelolaan kawasan Merapi tercantum dalam butir satu mengenai Kebijaksanaan Pengelolaan Kawasan Lidung yang meliputi perlindungan terhadap kawasan hutan 'ndung, perlindungan terhadap kawasan resapan air yang terdapat di lereng Gunung Merapi, perlindungan terhadap kawasan terhadap kawasan sempadan pantai, perlindungan terhadap kawasan sekitar telaga, laguna dan waduk, perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air, perfindungan terhadap kawasan suaka alam
dan cagar budaya, dan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana. Tanggal 14 Juli 2001 secara resmi Gubernur DIY mengirimkan surat kepada Menteri Kehutanan No. 522.5.2182 berisi rekomendasi mengusulkan pembentukan TNGM di Provinsi DIY. Surat ini terbit atas usulan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi DIY melalui surat No. 174Kwl-I/2001 tanggal 14 Juni 2001. Luasan TNGM yang diusulkan adalah 1.791,03 hektar. Surat ini mendapat jawaban dari Dirjen PHKA melalui swat Direktur PHKA Nomor 904/DJ-NKIU2001 tanggal 14 Agustus 2001, disarankan agar Pemda
Provinsi Jawa Tengah juga melakukan kajian di kawasan Merapi terkait dengan rencana TNGM. Tanggal 23 Mei 2002, Gubernur Jawa Tengah menyusul mengirimkan swat kepada Menteri Kehutanan No.52216484 perihal rekomendasi usulan TNGM. Sebelurnnya kedua Provinsi tersebut melakukan kajian bersama untuk perubahan fimgsi hutan di kawasan Merapi pada Maret 2002 dan menghasilkan dokumen Rancc~grmPengembangan TNGM. Dalam dokumen ini luasan yang diusulkan ditarnbah dengan kawasan hutan lindung di Jawa Tengah seluas 6.961,8 hektar, sehingga luasan calon TNGM menjadi 8.752,83 hektar. IN be&
ada perubahan
rencana awal d i i a sebelumnya TNGM hanya meliputi luasan di kawasan DIY
kini meluas hingga ke Jawa Tengah. Dokumen Rancangan Pengembangan TNGM menyebutkan dua permasalahan spesifik yaig mendorong kedua pemerintahan
daerah untuk mengubah status fimgsi kawasan, yaitu: kelembagam tidak jelas &in tidak terpadu dan keterbatasan dana (Liat pula Tabel 1). Dalam perjalauannya, kedua Pemda Provinsi DIY dan Jawa Tengah akhirnya mensepakati untuk memisahkan kawasan menjadi dua: Taman Nasional Gunung Merapi dan Taman Nasional Gunung Merbabu. Ada banyak informasi mengenai penyebab pemisahan ini mes!ci tidak ada penjelasan resmi yang bisa diperoleh, di antaranya adalah keinginan Psmda Jawa Tengah untuk juga merniliki Taman Nasional serta usulan luasan calon TNGM (8.752,83 hektar) yang terlalu
besar sehingga perlu dikurangi. Menurut salah seorang responden dari akademisi, gagasan Pemda Jawa Tengah ini sebenarnya tidak sesuai dengan kriteria kawasan TamanNasional seperti yang tercantum dalam PP No.6811998 karena tidak semua kriteria terpenuhi seperti tidak adanya kekhasan ekosistem di kawasan Gunung Merbabu. Selma periode 2001-2003, proses sosialisasi calon TNGM ini digulirkan ke masyarakat. Tabel 22 berikut ini memperlihatkan tahapan sosialisasi yang dilakukan sebelum penetapan TNGM:
Tabel 22. Tabapan sosialisasi TNGM No TgVbulanItahun Aktivitas 1 26 Nopemberi 2001 Pertemuan tentang persiapan penetapan TNGM
Lokasi Yogyakarta
2
10 Desember 2001
Yogyakarta
3
10 F e b d 2002
Sosialisasi wacana TNGM Diskusi
4
2Maret2002
Diskusi
5
20 Maret2002
Diskusi
PSLH UGM Yogyakarta
6
Agst-Sept 2002
Sosialisasi awal
7
23-25 Agustus 2002
Studi Orientasi
Kecamatan Turi, canghgan, Pakem, Kabupaten Sleman TN Gunung Gede Pangrango Jawa Bamt
8
Agustus 2002 sld. September 2003
Seminar/Saresehan/ Diskusi
Yogyakarta
9
22 November 2003
Diskusi
Kabupaten Sleman
10
11 Desember 2003
Diskusi
11
4 November 2003
Diskusi
Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali, Kabupaten Kiaten Provinsi DIY
Kecamatan Smbung, Kabupaten Magelang IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta
Peserta BKSDA DIY dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat BKSDA DIY dan Ornop-L BKSDA DIY dan Pemda Magelang BKSDA DIY, Pemda, akademisi, hop-L
Diskusi 5 November 2003 12 Diskusi 13 17 November 2003 Sumber: BKSDA D N dan Dishutbun 2001-2006. Diolah
BKSDA DIY, Pemda, akademisi, omop-L Dishotbun dan Masyamkat
67 orang terdii dari unsur DPRD Provinsi DIY, DPRD Kabupaten Sleman, Eksekutif Pemda Provinsi DIY, Tokoh Masyarakat tingkat Kecamatan, Desa dan Dusun skitar Gunung Merap Fakultas Kehutanan UGM, F'usat Studi Lingkungan UGM, Pecinta Alam IAIN, UPN dan omop-L Dishutbun dengan Pemda (Eksekutif dan Legislatit) Idem Idem Idem Idem
Pada bulan Januari 2002 saja, frekuensi penerbitan polemik mengenai TNGM muncul sebanyak empat kali; tiga di antaranya berlangsung selama tiga hari berturut-turut (14-16 Januari 2002). Dari arena diskusi dan adu argumentasi melalui media massa, tercapai kesepakatan bahwa kawasan Merapi perlu dikonservasi. Namun, bagaimana bentuk kawasan konservasi menjadi satu pernasalahan karena masing-masing pihak memiliki wacana konservasi. Pemerintah menganggap bentuk taman nasional adalah bentuk paling ideal dengan alasan merupakan kombinasi antara elemen ekologi maupun ekonomi yang terdapat pada fungsi kawasan konservasi seperti t e m t u m dalam perattuan
Kami daripemerintah pastilah berpegangpada UU, di dalam UU No.5/90 kan ada PP No 68......maka bentuk yang ideal yang ada adalah bentuk Taman Nasional. Zni yang teman-teman LSM terutama WALHZ tidak terima dengan ha1 ini, tapi di UU,ya ini yang ada, mau tidak mau kan kita h a m memilih salah satu kan. Nah, mereh ini tidak mau memilih semua, kan aneh gitu. Dia maunya bentuk lain, tapi sampai sekarang pun tidak jelas bentuknya, dan itu keluar dari UU, apa kita bisa? Sebetulnya itulah masalah pokok yang terjadi di sini. (KS, Kepala BKSDA DIY 2001-2005, 25 Juni 2005, Komunikasi Pribadi). Pertanyaan K-S. ini terjawab saat peneliti menemui Sf., eks Direktur Eksekutif Walhi DIY di Jakarta. Menurut Sf., Walhi memang tidak menginginkan adanya Taman Nasional di Indonesia karena Tarnan Nasional dirasa tidak memihak pada rakyat yang tinggal di sekitarnya
"Yang kami inginkan adalah agar pemerintah mengkoreksi manajemen sistem konservasi di Indonesia dun meniadakan Taman Nasional. Tapi kami tidak bisa begitu saja memintanya, yang kami lakukan kemudian adalah melakukan hal-ha1 seperti ini". (Sf., eks Direktur Eksekutif Walhi DIY, 8 Juli 2005, Komunikasi Pribadi) Sikap ini agak berbeda dengan apa yang dilakukan Ornop-L Kappala Indonesia. Bekerjasama dengan Pasag Merapi dan Dream (Disaster Research and
Management Center - badan otonomi non struktural di lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Pertambangan Nasional "Veteran" Yogyakafra), Kappala Indonesia melakukan kajian pemetaan partisipatif di kawasan Merapi. Hasil kajian ini menghasikan rekomendasi dua pokok pengelolaan yaitu 1) Pengelolaan berdasarkan pertimbangan fungsi utama sebagai kawasan rawan bencana sesuai
dengan tingkat kerawanan letusan gunungapi (zona bencana, zona penyangga non budidaya, zona penyangga budidaya, dan zona penyangga budaya) dan 2) Fengelolaan berdasarkan pertimbangan h g s i konservasi keanekaragaman hayati, ketahanan air dan tanah, serta fungsi budidaya; sebagai sub dominasi zonasi kawasan-kawasan berikut: hutan lindung, cagar alam, hutan wisata dam, perlindungan setempat, hutan rakyat, hutan negara, pertanian, pariwisata, pertambangan, dan pemukiman (Paripurno et al. 2002). Selain itu, Kappala Indonesia bekerjasama dengan OAR Pasag Merapi mengadakan studi banding mengajak 8 anggota masyarakat mewakili desa-desa sekitar lereng Merapi (3 dari Sleman dan 5 dari Magelang) ke Taman Nasional Alas Purwo clan Tarnan Nasional Meru Betiri Jawa Timur pada 7-8 Juni 2002 (Pasag Merapi 2002b). Wanarilandi mengusulkan agar pengelolaan kawasan Merapi diserahkan kepada masyarakat dengan sistem konsesi:
"Akan lebih baik jika diserahkan h-epada masyarakat dalam mengelola kawasan Misalnya dengan diberi konsesi di blok A h-emudian diserahi tanggungiawab untuk menanaminya jadi nantinya kalau rusak kan jelas siapa yang ditunjuk Sehingga masyarakat diberi porsi yang jelas". (MDH, Koordinator Eksekutif Wanamand'i 27 Juli 2005, Komunikasi Pribadi) Proses sosialisasi yang dilakukan D m Kehutanan dan Perkebunan DIY mendapat kritikan dari masyarakat karena dirasa tidak menjawab rasa keingintahuan masyarakat akan Taman Nasional. Sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2002 di kawasan Kaliurang untuk masyarakat Pasag Merapi menyisakan kekecewaan. Masyarakat merasa direndahkan karena oknum pejabat dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY meninggalkan acara setelah selesai memberikan presentasi tanpa memberikan kesempatan untuk tanya jawab dengan alasan harus m e n g h t i acara lain (Pasag Merapi 2002a). Sebagai persyaratan penetapan sebuah kawasan konsewasi, pemerintah membuat studi potensi kawasan Merapi yang dikerjakan oleh Fakultas Kehutanan UGM. Dalam studi potensi yang kemudian diberi judul Laporan Akhir Rencana Pengelolaan Calon TNGM ini menyebutkan tujuan studi adalah untuk melakukan kajian kelayakan kawasan ekosistem Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Pada bab rekomendasi diusulkan 1) bahwa kawasan hutan Gunung Merapi diperlukan usaha yang nyata untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
seluruh kawasan; 2) usaha tersebut diperlukan perwujudan yang demokratis, tanggungjawab dan juga tanggung gugat secara bersama. Baik draf maupun hasil jadi sama sekali tidak menyebut soal Taman Nasional sebagai usulan bentuk konservasi bagi kawasan Merapi. Jnilah yang kemudian menjadi sumber persoalan berikutnya, karena selain menganggap studi belum selesai meskipun draf sudah jadi, studi ini juga tidak menyebut Taman Nasional sebagai bentuk konservasi unii& kawasan G~inungMerapi. Pada kesempatan lain peneliti menemukan draf studi potensi yang disebut "telah d
i ke Jakarta" itu. Membandingkan draf dan hasil laporan akhir
terlihat ada beberapa perbedaan mencolok, di antaranya adalah pada tujuan dan hasil rekomendasi. Pada draf studi potensi tercantum tujuan kegiatan tersebut dilakukan untuk mengkaji kelayakan perubahan pola pengelolaan kawasan hutan Gunung Merapi ditinjau dari aspek status kawasan, fisik, biotik, sosial ekonomi budaya, hukum dan irnplementasi kebijakan dengan melibatkan masyarakat selaku stakeholder dan menghasilkan rekomendasi untuk pengelolaan ke depan berdasar kajian kelayakan tersebut. Rekomendasi yang diusulkan kemudian adalah agar pemerintah mernbuat suatu pola pengelolaan kawasan konsewasi berbasis masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan diantaranya: 1) Membangun moral awareness rnasywakat pengguna untuk ikut bertanggung jawab terhadap keberlanjutan fungsi ekosistem kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya; 2) Sosialisasi informasi nilai-nilai pelestarian ekosistem agar semua pihak tertarik untuk berpartisipasi mengkonservasinya serta menyatakan argumen yang kuat dalam meng-counter tindakan yang mengancam kelestarian ekosistem;
3) Membangun dan mengembangkan proses transgenemi terhadap kultur dan tradisi pengelolaan lahan yang sekarang bejalan. Turunnya SK 13412004 tertanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas
*
6410 Hektar yang terletak di Kabupaten
Magelang, Boyolali dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta menjadi Taman Nasional Gunung Merapi mengagetkan banyak pihak, dari mulai pemerintah daerah (Sleman, Magelang,
Boyolali, Klaten), akademisi, Ornop-L, dan masyarakat sendii. Walhi DIY mengaku baru mengetahui keberadaan SK pada tanggal 21 Mei 2004. Langkah-langkah yang ditempuh Walhi DIY dalam rangka menyikapi SK tersebut adalah: mengadakan legislatifhearing (dengar pendapat) dengan DPRD Sleman (2 Juni 2004), DPRD Magelang (9 Juni 2004), dan DPRD Boyolali (24 Juni 2004). Hasil dengar pendapat: hanya DPRD Sleman yang menolak sementara DPRD Magelang belum mengambil sikap. DPRD Boyolali tidak menberikan jawaban. Walhi DIY juga mengadakan debat publik di Fakultas Kehutanan UGM pada tanggal 8 Juni 2004, hasil diskusi menyepakati untuk menolak TNGM. Wujud penolakan TNGM itu adalah aksi solidaritas ke Kantor Gubernur DIY tanggal 9 Juni 2004 yang diikuti oleh Kelompok Pecinta Alam dari DIY dan Jawa Tengah. Pada tanggal 10 Juni 2004 Aliansi M a s y d t Peduli Merapi (AMPM) yang terdiri dari 26 organisasi k e m a s y d t a n termasuk di antaranya Pasag Merapi, Wanamandira, Kappala Indonesia, dan Walhi menyebarkan selebaran di sepanjang Jalan Pasar Kembang, Jalan Malioboro, dan Depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Selebaran yang bersikap provokatif ini menudiig pemerintah menggunakan TNGM sebagai kedok untuk melakukan eksploitasi surnberdaya dam di kawasan Merapi dengan bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha wing. Saat itu beredar kabar keterlibatan The Nature Conservancy (TNC)dalam proses pembahan kawasan konservasi Merapi. TNC adalah organisasi non pemerintah global yang memiliki jaringan di berbagai negara TNC memiliki beberapa pengalaman kerja dalam proses pembuatan zonasi di beberapa taman nasional di antaranya di Taman Nasional Lore Lidu. Namun, isu ini dibantah K.S., Kepala BKSDA DIY periode 2001-2005:
"Itu karena saya sering bepergian dengan staf TNC yang kebetulan sedang ada pertemuan di Y o g a . llfereka ingin bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono X tapi tidak mempunyai contact person. Kebetulan saya dekat dengan Sultan, maka saya pertemukan mereka" (K.S., 29 Juni 2005, Komunikasi Pribadi). Tanggal 29 Juni 2004 AMPM membuat surat terbuka untuk Presiden RI mendesak pencabutan SK TNGM. Surat ini dibacakan dalam acara Temu Rakyat yang diikuti oleh warga masyarakat lereng Merapi pada tanggal 30 Juni 2004 di
Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Magelang. Walhi DIY kemudian mengajukan surat gugatan kepada Menteri Kehutanan RI melalui Peradilan Tata Usaha Negara menilai bahwa SK 13412004 cacat hukum. Media massa sendiri baru memuat berita mengenai penetapan TNGM pada tanggal 25 Mei 2004. Harian lokal Kedaulatan Rakyat memuat berita dengan judul yang provokatif: "Pemkab belum terima salinan: Turun, SK Taman Nasional Gunung Merapi"; isinya memberitakan bahwa pemerintah Kabupaten Sleman dan belum mengetahui adanya SK TNGM, bahkan BKSDA DIY pun baru mendapat kiriman faksmili SK. Pada tanggal yang ma, harian Kompas Yogyakarta juga memuat berita merespon turunnya SK TNGM dengan judul: "Mengejutkan, Kawasan Gunung Merapi Menjadi Taman Nasional". Berita ini memuat reaksi dari Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto dan ungkapan kekecewaan
dari kalangan Omop-L serta PSLH-UGM. Keesokan harinya, tanggal 26 Mei 2004, Walhi DIY mengeluarkan siaran pers menyikapi ttuunnya SK TNGM. Walhi DIY menganggap SK Menhut menyalahi prinsip transparansi dan prinsip partisipasi karena menutup akses informasi dan d i m tidak melibatkan masyarakat. SK TNGM juga dianggap melanggar proses seperti yang tercantum dalam SK Menhut No 70!2001. Alasanalasan inilah yang dijadikan pegangan Walhi DIY untuk mengeluarkan pemyataan menolak dan mendesak Menteri Kehutanan untuk menarik kembali atau membatalkan SK TNGM.Walhi DIY juga mengancarn akan melakukan gugatan perdata dan pidana.
....bukan STATUS lah yang diperlukan untuk meiyelamatkan Gunung Merapi tetrapi kebersamaan dalanz membuat tata perlindungan secara partisipatif dun menyeleuruh melibatkan seluruh stakeholder yang ada. Semua itu bisa dilakukan dengan MEKABUT: SK No.l34/ML?NHUTILTahun 2004. Dan memberikan kemerdekaan secara utuh kepada masyarakat kawasan lereng Merapi dun sekitarnya untuk ikut dalam menentukan nasib dun masa depannya. (Lembar informasi advokasi "Toegoe" edisi 004103-MerapVVII12004-Walhi Jogja) Sejatinya, pada tanggal 24 Januari 2004 pemerintah telah merevisi SK Menteri Kehutanan No.70Kpts-IY2001 tertanggal 15 Maret 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status clan Fungsi Kawasan Hutan dengan SK Menteri Kehutanm No.48hIenhut-1112004 tentang Perubahan Keputusan
Menteri Kehutanan No.70IKpts-IV2001. SK yang baru ini mengisyaratkan Menteri Kehutanan dapat menetapkan perubahan fungsi kawasan hutan tanpa melalui persetujuan DPRD KabupatedKota dan DPRD Provinsi untuk lintas KabupatenKota. SK ini disebut sebagai fasilitas dari Pemerintah Pusat untuk menyederhanakan prosedur perubahan fungsi kawasan hutan negara (J.M, Akademisi, 18 Juli 2006, Komunikasi Pribadi). Namun, entah mengapa, pada SK Menteri Kehutanan No. 134/2004 tetap tercantum SK Menteri Kehutanan No. 70Kpts-Dl2001 sebagai salah satu dasar kebijakan. Berbeda dengan reaksi Walhi DIY, beberapa responden dari pemerintah dan akademisi yang ditemui peneliti menyebut hal ini sebagai human error dan menganggapnya tidak terialu penting. Isi pokok SK Menteri Kehutanan No. 134flMENHUT-IV2004adalah sebagai berikut:
*
a Peniaahan fungsi kawasan hutan seluas 6410 Hektar. b. Batas kawasan TNGM dan luasnya seperti tertera pada peta Kawasan Hutan Negara, sedangkan batas dan luas tetapnyaldefinitifnya ditentukan kemudian setelah diadakan penataan batas di lapangan. c. Kepala Badan Planologi Kehutanan mengatur pelaksanaan penataan batas di lapangan. d. Direktur Jenderal PHKA mengatur pengelolaan TNGM dan kolaborasi manajemen dengan melibatkan Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah. BKSDA DIY menyerahkan proyek pembuatan rencana pengelolaan TNGM kepada Pusat Studi Agroekologi UGM. Tugas ini berhasil diselesaikan pada bulan Desember 2004 dan menghasilkan dokumen Rencana Pengelolaan TNGM periode 2005 - 2024. Salah satu hasil penting dalam dokumen ini adalah dibuatnya penetapan mnasi dan peta zonasi kawasan (Tabel 23). Manajemen zonasi TNGM adalah sebagai berikut: 1. Zona Khusus: Zona ini merupakan bagian tarnan nasional yang terbentuk secata alami karena sifat Gunung Merapi yang masih aktif. Batas mna ini dimungkinkan bisa berubah-ubah sejalan dengan tlngkat keaktifan gunung
2. aria Inti 1: &na ini merupakan bagian taman nasiond yang me~pakan kawasna m p u t alami yang merupakan transisi antara pasir ke hutan (ecotone).
3. Zona Inti 2: Zona ini mempakan bagian dari kawasna taman nasional yang mempakan kawasan ekosistem Merapi yang utuh dan mutlak diliidungi dan tidak diperkenankan adanya pembahan apapun oleh aktivitas manusia. Kriteria fisiknya antar lain adalah: memiliki jenis turnbuhan lebih dari 100 spesies per hektar, memiliki jenis turnbuhan endemik, memiliki ekosistem
khas, mempakan habitat dan atau daerah jelajah satwa dilindungi, dan memiliki jenis turnbuhan langkaldilindungi. Aspek utama zona inti ini adalah perlidungdpengawetan keanekaragaman jenis flora, fauna beserta ekosistemnya. 4. Zona Rimba: Zona ini merupakan bagian dari kawasztn taman nasional
yang merupakan hutan sekunder dan hutan tanaman lainnya. Kawasan zona ini merupakan buffer taman nasional, termasuk zona pemanfaatan tradisional yang dimanfaatkan rumputnya. Di dalam zona ini mash diperkenankan adanya aktivitas manusia secara terbatas, seperti: penelitian, pendidikan, rekrea.i dan pariwisata dam secara terbatas. Kriteria antara lain adalah memiliki kerapatan jenis kurang dari 100 spesies per hektar, memiliki tegakan dengan kerapatan lebih dari 100 pohon per hektar, merupakan habitat dan atau daerha jelajah satwa liar, memungkinkan untuk dikembangkan bagi kepentingan untuk rekreasi terbatas. Dalam kondisi tertentu lapangan dengan kelerengan lebih besar dari 45" sangat peka terhadap erosi dapat dipertimbangkan sebagai zona rirnba. Fasilitas yang diperkenankan di dalam zona ini hanya bempa jalan setapak untuk keperluan penelitian dan pariwisata dam.
5. Zona Pemanfaatan Wisata Alam: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang diperuntukkan bagi pusat kegiatan rekreasi, kunjungan wisata, dan kegiatan-kegiatan pemanfaatan lain. Kriteria fisiknya antara lain adalah: memiliki obyek wisata yang m e n d dan memungkinkan untuk dikembangkan sebagai pusat kegiatan pariwisata dam. Oleh sebab itu di dalam zona pemanfaatan diperkenankan adanya
pembangunan fasilitas konstruksi, namun tetap harus memperhatikan konsep serasi dan seimbang dengan dam sekitarnya.
6. Zona Pemanfaatan Pasir: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada di sepanjang sungai dan bantaran sungai yang keberadaan pasimya diperkenankan ditambang secara terbatas atas pertimbangan volumetrik pengambilannya, yaitu disesuaikan dengan produksi p s i r yang terjadi secara alamiah.
7. Zona Tanaman Rumput Bawah Tegakan: Zona ini merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang berada antara taman nasional dan tanah milik masyarakat selebar sekitar 100 meter di bawah tegakan hutan. Zona
ini secara fisik merupakan bagian dari zona pemanfaatan yang berupa areal batas kawasan, dengan batas-batas panjang inengikuti batas kawasan diseuaikan dengan kondisi lapangan. Zona ini dihgsikan sebagai batas hidup sekaligus diiungkinkan adanya kegiatan masyarakat menunjang kebutuhan berupa kayu bakar, bambu, madu, dan lain-lain. 8. Zona Budaya Labuhan Merapi: Zona ini merupakan kawasan untuk
melaksanakan labuhan di bulan Suro (Muharram) sebagai bentuk ekspresi porossimbolik filosofik laut selatan dan Gunung Merapi.
9. Zona Rehabilitasi: Zona ini mempakan kawasan yang mengalami degradasi yang pada umumnya berupa lahan terbuka. Zona ini perlu diupayakan adanya usaha-usaha rehabilitasi kawasan sehingga fimgsi kembali seperti semula. Tabel 23. Luas Area untuk Masing-masing Zonasi No. Zonasi 1 ZonaKhusus 2 Zonahti 1 3 Zona Inti 2 4 ZonaRimba 5 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Turgo-Plawangan 6 Zona Pemanfaatan Wisata Alam New Selo 7 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Deles 8 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Musuk 9 Zona Pemanfaatan Wisata Alam Tambang Pasir S~mbung
Luas (Hektar) 868,85 65 1,68 209,19 3.512,05 141,69 27,03 27,43 18,17 14.39
Zona Fernanfaatan lainnya: Tanaman rumput bawah tegkan Zona Pemanfaatan lainnya: Budaya labuhan 13 Zona Rehabilitasi Jumlah Sumber: BKSDA DIY dan PSA-UGM, 2004 11 12
486,05 15,82
290,78 6410,OO
Keluarnya peta zonasi memunculkan isu baru yaitu kekuatiran akan adanya relokasi penduduk. Pada peta zonasi (Gambar 2) memang nama-nama desa dimasukkan dalam kawasan taman nasional. Dalam PTUN terungkap bahwa pencantuman desa itu semata-mata kesalahpahaman teknis. Seharusnya memang pencantuman nama desa itu agak digeser ke bawah gambar pea sehingga tidak menimbulkan kesalahpafiaman. Meski begitu, BKSDA DIY tidak mengelak adanya enklave di beberapa lokasi hutan lindung. Penetapan tata batas menjadi prioritas pertama daiam pengelolaan TNGM seperti tercantum dalam Dokumen Rencana Pengelolaan TNGM Periode 2005-2024. Proses penetapan TNGM sekilas memperlihatkan adanya proses bottom up dan bukannya up down sebagaimana masa Orde Baru. Meski begitu, kenyataannya TNGM sudah menuai kritik dan memicu polemik semenjak awal didengungkan. Kontroversi pro-kontra ini mencapai puncaknya ketika Walhi DIY mengajukan gugatan melalui PTUN mendesak agar pemerintah mencabut kembali SK Menteri Kehutanan No. 134lMENHUT-IV2004. Dalam persidangan Walhi DIY tidak mampu membuktikan bahwa organisasinya mewakili masyarakat desa penyangga TNGM hingga gugatan Walhi DIY dinyatakan batal demi hukum. Sidang PTUN dimenangkan oleh pihak tergugat yaitu pemenntah pada 24 J a n 6 2005. Kesepakatan bersama untuk mengelola kawasan antara lima Pemerintah Daerah (Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemda Jawa Tengah, Pemkab Sleman, Pemkab Boyolali, Pemkab Klaten, dan Pemkab Magelang), Pemerintah Pusat (PJXA), dan Pemm Perhutani dalam pengelolaan TNGM dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama tertanggal 24 September 2005. Pengelolaan TNGM sempat mengalami masa status quo sesudah tejadinya fenomena alam bempa gempa bumi dan letusan Gunung Merapi. Pada bulan Oktober 2006, Balai TNGM
d:ldlnkan . . mengambil lokasi di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4.5.3. Pemetaan Konflik Pro-Kontra TNGM Pernetaan konflik pro-kontra terhadap TNGM aktor disajikan dalam Gambar 4 berikut ini:
Swasta
-&yr Pasag Merapi
Gambar 4. Pernetaan Konflik Pro Kontra TNGM Keterangan Gambar: fiiansi
/
Hubungan
Konflik
Peta konflik antar aktor tersebut bisa dibaca sebagai berikut: satu garis penghubung menandakan antar aktor memiliki hubungan dekat, dua garis sejajar memperlihatkan hubungan aliansi antar keduanya, sedangkan garis belok-belok memperliihatkan adanya konflik antar kedua aktor. Dalam konflik ini terlihat bahwa pemerintah memperoleh dukungan dari akadernisi sebagai pemberi justifikasi ilmiah terhadap keluaran kebijakan. Namun, ada juga akademisi yang bersikap mengkritisi dan cenderung kontra pada kebijakan TNGM. Mereka ini menjalin kerjasama dengan Omop-L dengm m-embuat berbagai seminar dan diskusi. Peta konflik ini memperlihatkan juga bahwa meskipun antara Walhi dan Pemerintah berkonfliic, namun kerjasma antara anggota Walhi dan pemerintah
tetap bisa terjalin. Demikian pula halnya dengan organisasi akar rumput (Pasag Merapi) yang merupakan aliansi Ornop-L (Kappala Indonesia) mampu tejalin kerjasama dengan pemerintah. Pada peta konflik terlihat bahwa aktor potensial yang paling mampu menjalin hubungan dengan semua pihak adalah Kappala Indonesia Tabel 24 Ahcar
Reiasi kekuasaan antar !?&ordi TNGM
--
MGL
SLMN Prhm
-
-
MGL SLMN V Prhtn V Hutbun X DIY BKSDADIY Swasta V WaUliX DIY
-
Hutbun BKSDA Walhi KI DIY DIY DIY
-
-
-
-
-
X
-
V
X
V
V X
-
-
V V
-
-
X
X
-
PM
-
-
v
v
v
W
Wanla
-
X
-
X
X
V
-
X
-
-
-
-
-
-
V
VV = aliansi
-
-
v
Keterangan: V = kerjasama
-
-
v
-
---
-
KI
Goro VV GMCA V
Wama Goro GMCA
V
V
V
-
-
X = tidak bekejasamaibertentangan
MGL= Pernda Magelmg, SLMN=Pemda Sleman, Prhm=Perhutani, Hutbun=Dinas Kehutanan dan Perkebunan, BKSDA=Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Walhi=Wahana Lingkungan Hidup, KI=Kappala Indonesia, PM=Pasag Merapi, Wama=Yayasan Wanamandim Goro=Paguyuban Gotong Royong, GMCA=Gel;lkan Masyarakat Cinta Xi.
Tabel 24 menyajikan relasi kekuasaan antar aktor yang tejadi di kawasan TNGM. Masih sarna seperti hasil dari pemetaan konflik pro-kontra TNGM sebagaimana tersaji pada Gambar 4, jika dicermati relasi kekuasaan antar aktor tersebut, paling bagus dilakukan oleh Kappala Indonesiadan Pasag Merapi. Ini menunjukkan bahwa keduanya memiliki potensi untuk menjembatani tejadinya dialog antar &or yang terlibat pro-kontra. Relasi kekuasaan secara mendetail pada tiga kawasan studi diperlihatkan pada tabel 25 dan tabel 26 berikut ini:
diaplikasi oleh pemerintah Indonesia pada dekade 1980-an, sebelumnya pada dekade 1880-an dan 1970, kebijakan pelestarian alam menggunakan narasi pengawetan dam. Pada kedua dekade tersebut, basis kekuasaan untuk mengimplimentasikan kebijakan berpijak pada negam sebagai aktor dominan. Pada dekade 1992 hingga sekarang narasi yang dipergunakan adalah konsewasi keanekaragaman hayati. Basis kekuasaan tidak lagi hanya pada negara melainkan juga pada kekuasaan yang berbasis pada akumulasi diskursus yang digalang oleh para akior global. Pemerintah selalu berargumen bahwa pelestarian kawasan Merapi sekaligus juga adalah pemanfaatan dam demi kesejahteraan masyarakai. Faktanya, kesejahteraan masyarakat yang mana yang akan meningkat sesudah kawasan diubah menjadi TNGM? Narasi konsenrasi yang dipergunakan pemerintah nampaknya masih cenderung pada narasi pengawetan dam sebagaimana fenomena yang melatarbelakangi munculnya gagasan Penda DIY ketika itu yaitu
untuk meleshrikan kawasan Merapi. Sementara aktor Omop-L memaknai konservasi sebagai terbukanya akses sumberdaya dam bagi rnasyarakat. Faktanya, alam cenderung rusak jika akses dibiarkan saja tanpa adanya pengelolaan. Sebagaimana terlihat ketika peneliti mengunjungi kawasan pertambangan di kawasan S. Putih, Jurangjero, nampak aktivitas pertambangan sudah mulai mengikis tebig-tebing hutan lindung. Aktivitas pertambangan manual dan kebakaran juga terjadi di dalam kawasan hutan lindung di Ngargomulyo secara sporadis. Di kawasan hutan lindung Kdiurang, para wisatawan juga terlihat tidak bisa membedakan antara kawasan wisata dan kawasan hutan lindung sehingga m e ~ s a kpohon-pohon pinus. Sementara itu kdangan pengusaha baik yang bergerak di bidang pertambangan pasir maupun
jasa lingkungan belum memperlihatkan kontribusi kembdi mereka untuk dam. Agenda politik masing-masing &or tersebut terhadap alam tersaji dalam tabel 27 berikut ini :
Tabel 27. Agenda politik aktor Agenda politik Ornop-L Agenda poiitik pemerintah 1) Politik "open access"
2) Mengkritisi UU No.511990 tentang Konservasi SDA 3) Mendesak pencabutan SK Menhut 134/2004 tentang perubahan fungsi konservasi kawasan Merapi menjadi TNGM.
1) Politik 'yences and
Agenda ekonomi kapitalis lokal Akumulasi kapital
fine""
2) Mengawal UU No. 5/1990 dan SK Menhut/2004.
Kritik: Faktanya alam
Kritik: Stateproperly secara Kritik: Para kapitalis rusak jika open access. defacto menjadi open mencari keuntungan Omop-L tidak mampu access karena faktor sepihak, redistribusi mengatasi kemsakan personil dan dana. keuntungan ke alam lingkungan (edukasi kurang. belum berhasil) *pendekatan konvensional warisan penjajah untuk konservasi alam dan melestarikan keanekaragaman hayati melalui penciptaan kawasan lindung dan meminimalkan intervensi manusia (Wittmer dan Bimer 2005) Mengamati Tabel 27 tersebut di atas, nampak bahwa narasi konservasi yang dipergunakan baik oleh Omop-L maupun pemerintah belumlah sepenuhnya memenuhi tiga hal penting dalam konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan alam. Oleh karena itu kiranya narasi konservasi yang dipergunakan baik oleh Omop-L maupun pemerintah perlu d i a j i kembali untuk menemukan bagaimana implementasi konservasi yang sesuai untuk kawasan Merapi. 4.5.4. Ikhtisar
Konflik pro-kontra TNGM bisa dikategorikan sebagai konflik struktural karena dipicu oleh turunnya kebijakan dari pemerintah untuk mengubah status kawasan konservasi di Merapi menjadi taman nasional. Di sini tejadi ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya di Merapi. Menurut Malik er
al. (2003), konflik struktural merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Posisi para pihak dalam konflik jenis ini dipicu oleh pihak penguasa. Sebab, pihak penguasa merniliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan mum, sehingga pihak ini lebih berpeluang akses sumberdaya dan juga mengontrolnya sekaligus menekan akses
dan kontrol pihak !aim Selain wewenang formal, faktor geografis, sejarah d m
waktu juga seringkali digunakan sebagai alasan oleh penguasa untuk memberi keputusan-keputusan yang menguntungkan pihaknya sendiri. Sikap masyarakat menentang TNGM muncul karena kekuatiran akan hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya alam di hutan. Selama ini mereka telah memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankm akses sumberdaya dam di luar mekanisme hak kepemilikan sumberdaya dam. Ini terjadi pada masyarakat di Desa Ngargomulyo. Sikap kritis di Desa Ngargosoka terbangun karena keberadaan organisasi akar nunput di sana yaitu Pasag Merapi dan GMCA. Kondisi ini berbeda dengan yang ada di Desa Ngargomulyo d i a n a tidak ada satupun Ornop-L di sana Pasag Merapi mengakui baru tahun ini m e m i i i kontak di Ngargomulyo, selama ini mereka belum melakukan aktivitas di sana dengan alasan daerah Ngargomulyo termasuk daerah aman dari bencana sehingga kurang diprioritaskan. Goro yang menjalim aliansi dengan pemerintah daerah mampu meredam gejolak masyarakat. Ini karena selama hi para buruh penylenggrong sangat bergantung pada Goro dan men&
rasa percaya yang
tinggi. Di Desa Hargobinangun, Yawama, Omop-L yang mengguliukan isu mecentang TNGM tidak mendapat respon dari masyarakat pelaku pariwisata Ini berkaitan dengan eksistensi Yawama selama ini yang tidak terlalu dekat dengan masyarakat. Sementara itu wacana TNGM sebagai suatu kawasan konservasi yang bemilai ekonomi karena potensi wisata alamnya dipercaya masyarakat mampu meningkatkan pariwisata di Kaliurang. Respon masyarakat terhadap wacana ini lebih banyak positif dibandigkan negatifnya. Isu kekuatiran putusnya akses sumberdaya di desa-desa di lereng Merapi disambut Omop-L dan akademisi. Konflik pro kontra wacana TNGM meluas di kota Yogyakarta menjadi konflik wacana konservasi d i a n a para aktor yang memiliki akses pengetahuan bersaing untuk mempengamhi publik. Dengan demikian, dalam perluasan konflik pro kontra TNGM ini muncul aktor yang b a n yaitu akademisi. Akademisi t m t berperan dalam mempengaruhi perilaku aktor lain dan interaksi mereka. Menurut Foucault (1978) dalam Peluso dan Ribot (2003),
kemampuan
untuk
mempertajam
terminologi wacana
mempengaruhi keseluruhan kerangka pikir untuk mengakses sumberdaya.
mampu
Pro kontra TNGM juga disebabkan k a n a sosialisasi yang dianggap kurang
memuaskan masyarakat dan mis komunikasi antar instansi pemerintah sendiri. Situasi dimana infomasi terdistorsi adaiah situasi yang rawan konflik terlebih karena diliputi dengan kecurigaan dan ketidakpemayaan. Dalarn kondisi seperti
ini aktor yang kuat adaiah mereka yang memilii informasi sekaligus memiliki kemampuan untuk mengelola informasi secara intelektual.