15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia Latosol Darmaga Latosol (Inceptisol) merupakan salah satu macam tanah pada lahan kering yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Latosol menyebar paling luas dibandingkan jenis tanah lainnya, yaitu sekitar 70,5 juta ha atau sekitar 37,5% dari luas daratan Indonesia. Tanah ini dapat dijumpai terutama di pulaupulau besar seperti: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Puslittanak,
2000). Umumnya Latosol terbentuk di daerah tropika basah,
mempunyai curah hujan dan suhu yang tinggi. Hasil analisis pendahuluan sifat kimia Latosol Darmaga yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia Latosol Darmaga Jenis Analisis pH H2 O 1:1 pH KCl 1:1 C-organik N-total Nisbah C/N P-tersedia P-HCl 25 % Ca-dapat ditukar Mg-dapat ditukar K-dapat ditukar Na-dapat ditukar KTK KB Al dapat ditukar H-dapat ditukar
Satuan % % ppm ppm me/100 g me/100 g me/100 g me/ 100 g me/100 g % me/100 g me/100 g
Nilai 4.50 3.70 2.07 0.18 9.66 11.6 124.6 1.82 0.79 0.20 0.50 10.93 30.28 1.68 0.30
Kriteria (PPT, 1983) Masam Sedang Rendah Tinggi Sangat Tinggi Sangat Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang -
Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (PPT, 1983 dalam Hardjowigeno, 2003) (Lampiran 2) Latosol Darmaga (Tabel 2) tergolong bereaksi
15
16
masam dengan nilai pH 4.50, C organik tergolong sedang dengan nilai 2.07 %, Ntotal tergolong rendah dengan nilai 0.18 %, Ca dapat ditukar tergolong sangat rendah dengan nilai 1.82 me/100 g dan Mg-dd, K-dd masing- masing tergolong rendah dengan nilai 0.79 me/100 g dan 0.20 me/100 g, KTK yang menunjukan potensi tanah dalam menyimpan hara tergolong rendah. Rendahnya KTK tanah karena Latosol Darmaga didominsai oleh tipe liat 1:1 (94 %) pada horison A (Hartono et al., 2005) dan mempunyai kadar bahan organik tergolong rendah, sedangkan rendahnya kadar kalsium, kalium dan magnesium selain disebabkan oleh kadar bahan organik yang rendah juga oleh sifat liat hidro-oksida (Soepraptohardjo dan Suharjo, 1978). Selanjutnya untuk nilai kejenuhan basa tergolong sedang yaitu sebesar 30.28 %. Dari parameter-parameter yang telah di analisis maka dapat disimpulkan bahwa tingkat kesuburan tanah ini tergolong rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengapuran dan pemupukan agar pertumbuhan dan produksi tanaman lebih baik. 4.1.2. Tinggi Tanaman, Bobot Tongkol Kering per Petak, Bobot Tongkol Kering contoh, dan Bobot Pipilan Ke ring per Petak Hasil pengamatan tinggi tanaman, bobot tongkol per petak, bobot tongkol contoh dan bobot pipilan per petak disajikan dalam Lampiran 3-5, sedangkan hasil analisis ragamnya disajikan dalam Lampiran 7-10. Hasil analisis ragam,
menunjukan
bahwa
perlakuan pemupukan
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, bobot tongkol per petak, bobot tongkol contoh dan bobot pipilan per petak. Hal ini menunjukan bahwa jagung pada petak perlakuan BG, standar, dan kontrol memberikan respon yang berbeda terhadap semua perlakuan yang diberikan. Tabel 3 menunjukan hasil uji Duncan tinggi tanaman minggu ke 6. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan BG dan standar nyata lebih tinggi daripada Kontrol. Perlakuan BG 2.0 nyata lebih tinggi dari perlakuan BG 0.5 dan kontrol tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan standar, sedangkan pada perlakuan BG 0.5, BG 1.0 dan BG 1.5 nyata lebih lebih rendah dari
16
17
perlakuan standar dan nyata lebih tinggi dari perlakuan kontrol. Pada perlakuan BG, tinggi tanaman yang paling tinggi dihasilkan pada BG 2.0 sedangkan tinggi tanaman yang paling rendah dihasilkan oleh perlakuan BG 0.5. Akan tetapi antara perlakuan BG 1.0, BG 1.5, dan BG 2.0 tidak berbeda nyata satu sama lain. Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman, Bobot Tongkol per Petak, Bobot Tongkol Contoh dan Bobot Pipilan per Petak
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Bobot Tongkol/Petak (kg)
Bobot Tongkol Contoh (kg)
Bobot Pipilan/petak (kg)
Kontrol BG 0.5 BG 1.0 BG 1.5 BG 2.0 Standar
40.53 a 65.20 b 70.10 bc 74.40 bc 77.63 cd 83.86 d
0.95 a 7.00 b 5.46 b 6.95 b 5.83 b 7.62 b
0.13 a 0.90 b 0.87 b 1.23 bc 0.95 b 1.53 c
0.49 a 4.23 b 3.14 b 3.94 b 3.26 b 4.16 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 (α = 5 %) dengan uji DMRT
Data bobot tongkol per petak, menunjukan bahwa perlakuan standar menghasilkan bobot tongkol per petak lebih tinggi daripada perlakuan BG tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Perlakuan standar dan BG nyata lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Pada perlakuan BG, bobot tongkol terbesar dihasilkan oleh petak BG 0.5 yaitu sebesar 7.00 kg/petak dan tidak berbeda dengan standar, sedangkan bobot tongkol kering terkecil dihasilkan oleh petak BG 1.0 yaitu sebesar 5.46 kg/petak. Perlakuan
standar
menghasilkan
bobot
tongkol contoh
terbesar
dibandingkan perlakuan BG dan kontrol, yaitu sebesar 1.53 kg namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan BG 1.5, sedangkan pada perlakuan BG bobot tongkol terendah terdapat pada petak BG 1.0 yaitu sebesar 0.87 kg dan tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil uji Duncan (Tabel 3), menunjukan bahwa bobot pipilan per petak pada seluruh perlakuan BG tidak berbeda nyata dengan perlakuan standar meskipun petak BG 0.5 menghasilkan bobot pipilan lebih tinggi dari
17
18
standar, sedangkan perlakuan BG 1.0, BG 1.5, dan BG 2.0 menghasilkan bobot pipilan lebih rendah dari standar. Secara keseluruhan perlakuan BG dan standar nyata lebih tinggi dari kontrol padak keempat variabel yang diamati. Rendahnya produksi pipilan kering pada perlakuan kontrol ini disebabkan tanaman kekurangan hara N, P, dan K yang dibutuhkan
tanaman
dalam
perkembangannya
sehingga
menghambat
pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman dan pertumbuhan generatif yaitu pengisian janggel. 4.1.3. Serapan Hara N, P, dan K Data hasil pengukuran serapan hara N, P, dan K berangkasan jagung disajikan dalam Lampiran 6 dan hasil analisis ragamnya disajikan dalam Lampiran 10-11, sedangkan hasil uji Duncan serapan N, P dan K dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis ragam, menunjukan bahwa perlakuan BG dan Standar berpengaruh nyata terhadap serapan N, P dan K berangkasan jagung. Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Serapan Hara N, P, dan K Perlakuan Kontrol BG 0.5 BG 1.0 BG 1.5 BG 2.0 Standar
N (g/petak) 0.95 a 1.71 ab 2.29 bc 2.62 bc 3.07 c 2.96 c
Serapan Hara P (g/petak) 0.03 a 0.11 ab 0.11 ab 0.13 bc 0.15 bc 0.21 c
K (g/petak) 0.67 a 4.29 b 3.48 b 4.80 b 5.17 b 4.64 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05 (α = 5 %) dengan uji DMRT
Dari hasil uji Duncan (Tabel 4) perlakuan BG 2.0 mempunyai serapan N dan K tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Akan tetapi serapan N pada BG 2.0 tidak berbeda nyata dibandingkan BG 1.5, BG 1.0 dan standar namun nyata lebih tinggi daripada perlakuan BG 0.5 dan kontrol. Serapan K pada perlakuan BG 2.0 tidak berbeda nyata dibandingkan BG 0.5. BG 1.0, BG 1.5 dan standar namun nyata lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Tingginya serapan N dan K pada perlakuan BG 2.0 ini kemungkinan disebabkan sumbangan N dan K yang
18
19
diberikan oleh perlakuan BG 2.0 lebih tinggi dibandingkan denga n perlakuan lainnya. Perlakuan standar menghasilkan serapan P tertinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan BG 1.5 dan BG 2.0 namun lebih tinggi daripad a perlakuan BG 1.0, BG 0.5 dan kontrol. 4.1.4. Sifat Kimia Tanah Setelah Panen Tanah sebelum perlakuan memiliki pH masam (4.50) dengan kandungan N-total, P-tersedia, dan K-dapat ditukar masing- masing sebesar 0.18 %, 11.6 ppm, dan 0.20 me/100 g, sedangkan setelah panen pH tanah tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan pH tanah yang tertinggi setelah panen terdapat pada perlakuan BG 0.5 dengan nilai 5.10, dengan tingkat perubahan kurang dari 1 nilai pH. Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Pemupukan Terhadap Sifat Kimia Tanah Perlakuan
H2 O (pH 1:1)
Kontrol BG 0.5 BG 1.0 BG 1.5 BG 2.0 Standar
4.50 5.10 4.90 4.20 4.30 4.60
N-total (%) 0.24 0.25 0.24 0.25 0.26 0.25
P Ca .....(ppm)..... 8.50 4.39 16.10 8.07 18.60 8.98 19.50 4.22 22.00 4.58 14.40 6.80
Mg K Al H ..........(me/100g).......... 0.58 0.15 0.57 0.32 1.06 0.31 tr 0.24 1.20 0.29 0.16 0.26 0.53 0.30 0.65 0.31 0.66 0.34 0.73 0.34 0.92 0.25 0.26 0.28
Kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar setelah panen cenderung meningkat pada setiap perlakuan pemupukan baik perlakuan BG maupun perlakuan Standar. Kenaikan kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar ini di duga berasal dari pupuk NPK yang diberikan sehingga berpengaruh terhadap kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar di dalam tanah. 4.2. Pembahasan Umum Latosol di Indonesia memiliki tingkat kesuburan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi, kandungan bahan organik sedang hingga rendah
dan
bereaksi agak masam hingga netral (Subagyo dalam Syafrudin et al, 2006). Latosol Darmaga termasuk tanah yang memiliki pH masam, yaitu 4.5 dengan KTK, N-total dan basa-basa yang rendah (Tabel 2) sehingga kurang baik bagi 19
20
pertumbuhan tanaman semusim seperti jagung. Dengan kondisi tanah yang demikian maka proses pertumbuhan dan produksi tanaman akan terhambat, sehingga untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang optimum, faktor pembatas tersebut harus dapat diatasi salah satunya dengan pemupukan. Tinggi tanaman merupakan salah satu ukuran peubah tanaman yang sering diamati dalam suatu percobaan, karena tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan tanaman. Hal tersebut berdasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman adalah ukuran peubah pertumbuhan tanaman yang paling mudah dilihat, sebagai pengukur peubah pertumbuhan. Hasil percobaan menunjukan bahwa, pemberian pupuk BG dan pupuk standar berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada usia 6 MST. Tinggi tanaman terendah dihasilkan oleh perlakuan kontrol (40.53 cm) dan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan standar (83.86 cm), sedangkan pada perlakuan BG, tinggi tanaman terendah dihasilkan oleh perlakuan BG 0.5 (65.20 cm) dan tertinggi dihasilkan oleh perlakuan BG 2.0 (77.63 cm) meskipun secara statistik tinggi tanaman pada perlakuan BG 2.0 tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan standar. Perbedaan tinggi tanaman pada perlakuan BG maupun standar terhadap perlakuan kontrol disebabkan oleh meningkatnya serapan N, P dan K tanaman yang dipengaruhi oleh kelarutan pupuk yang diberikan ke dalam tanah. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi tanaman adalah peningkatan serapan N tanaman yang dapat memacu pertumbuhan vegetatif tanaman (Ismunadji, 1976 dalam Dirjendikti, 1991). Tabel 4 menunjukan bahwa serapan N terendah terdapat pada perlakuan kontrol, sehingga menyebabkan perlakuan kontrol memilik tinggi tanaman yang paling rendah dibandingkankan perlakuan BG maupun Standar. Dengan demikian, maka serapan hara N berbanding lurus terhadap peningkatan tinggi tanaman. Selain meningkatkan tinggi tanaman, pemupukan juga meningkatkan bobot tongkol per petak, bobot tongkol contoh dan bobo t pipilan per petak. Perlakuan standar menghasilkan bobot tongkol per petak dan bobot tongkol contoh terbesar yaitu 7.62 kg/petak dan 1.53 kg. Namun pada bobot pipilan per
20
21
petak nilai terbesar dihasilkan oleh perlakuan BG 0.5 yaitu 4.23 kg/petak. Hal ini diduga karena unsur hara yang tersedia di dalam tanah yang diserap oleh tanaman lebih mempengaruhi pertumbuhan biji. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa ketersediaan P dan K di dalam tanah pada perlakuan BG 0.5 lebih tinggi daripada perlakuan standar. Soepardi (1983) menyatakan bahwa K adalah unsur yang diperlukan oleh tanaman serelia sewaktu pengisisan bulir atau biji, sedangkan P berperan penting dalam pembentukan bunga, buah dan biji. Dengan tersedianya unsur P dan K yang cukup di dalam tanah maka akan berepangaruh juga terhadap proses pembentukan biji, dimana biji akan lebih bernas sehingga berpengaruh terhadap bobot pipilan jagung. Secara umum berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan standar dan BG mampu meningkatkan nilai dari ke empat variabel yang dia mati. Meskipun nilai perlakuan standar cenderung lebih tinggi dari BG namun pupuk standar relatif tidak berbeda dibandingkan pupuk BG. Berdasarkan hasil tersebut pupuk majemuk BG efektif dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung, terutama BG 0.5 relatif lebih tinggi dari Standar pada produksi bobot pipilan. Unsur hara adalah zat yang diserap tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hara yang diserap oleh tanaman dapat diserap dalam bentuk molekul dan ion. Unsur yang diserap dalam bentuk molekul diantara nya C, H, O dan unsur yang diserap dalam bentuk ion diantaranya N, P, K, Ca, Mg (Leiwakabessy, 2004). Unsur hara N, P dan K digunakan untuk membangun bagian tanaman, sehingga serapan hara dari ketiga unsur ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Serapan hara N, P dan K (Tabel 4) menunjukan bahwa perlakuan BG dan standar memiliki serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Serapan hara N tertinggi terdapat pada perlakuan BG 2.0, sedangkan serapan hara (P dan K) tertingi terdapat pada perlakuan standar. Kenaikan dosis BG dan perlakuan standar mampu meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman. Hal ini terjadi karena dengan adanya penambahan pupuk maka ketersediaan hara di dalam tanah juga ikut meningkat. Dengan adanya peningkatan kadar maka serapan hara juga ikut meningkat.
21
22
Pemberian pupuk majemuk NPK dan pupuk standar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pH tanah. Perubahan pH tanah yang tertinggi setelah panen terdapat pada perlakuan BG 0.5 yaitu sebesar 5.10 tetapi dengan tingkat perubahan kurang dari 1 nilai pH, sedangkan Kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar setelah panen cenderung meningkat pada setiap perlakuan pemupukan baik perlakuan BG maupun perlakuan standar. Kadar N-total, P-tersedia dan Kdapat ditukar tertinggi terdapat pada perlakuan BG 2.0 masing- masing sebesar 0.26 %, 22 ppm dan 0.34 me/100 g. Kenaikan kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar ini diduga berasal dari pupuk NPK yang diberikan sehingga berpengaruh terhadap kadar P-tersedia dan K-dapat ditukar di dalam tanah.
.
22