31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemberian kombinasi pakan uji yang ditambahkan ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan implantasi estradiol-17β pada ikan lele (Clarias gariepinus) yang dipelihara dalam jaring apung ternyata mempengaruhi penampilan reproduksi hasil pengamatan, yang terdiri atas indeks kematangan gonad, derajat tetas telur, ketahanan hidup larva dan larva abnormal (Tabel 5). Kecepatan Pematangan Gonad, Indeks Gonad Somatik, dan Diameter Telur Untuk mengetahui respons gonad terhadap pemberian APM pada pakan dan implantasi estradiol pada ikan lele yang diukur dari lama waktu matang, indeks gonad somatik, dan diameter telur dapat dilihat pada Tabel 5. Pematangan gonad tercepat diperoleh pada ikan uji yang diberikan APM sebanyak 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 µg/kg pakan, yaitu dimulai pada hari ke 28, dengan rata-rata 39.20 hari, yang kemudian diikuti oleh induk ikan yang diberikan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 500 µg/kg, dengan rata-rata 47.60 hari. Yang paling lama matang gonad adalah ikan yang diberi tambahan APM 0 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 0 µg/kg yang dicapai dalam waktu
100 80
(hari)
Lama waktu matang
95.20 hari (Gambar 3 dan Tabel 5).
60 40 20 0 500
0 250
600 Do sis
AP M
0
1200 (m g/ kg )
1800
) / kg ug ( l dio tra Es
Gambar 3. Nilai rataan lama waktu matang ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
32
Hasil analisis sidik ragam lama waktu matang ikan lele menunjukkan pengaruh APM yang sangat nyata dengan pola linear dan kuadratik (p<0.01), sedangkan estradiol sangat nyata dengan pola respon linear dan pola respon kuadratik (p<0.01). Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata dari faktor APM berpola linier dengan pola kuadratik pada faktor estradiol (p<0.05) Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara lama waktu matang (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 61.13 -72.80X1 + 0.039 X12 – 25.20 X2 + 0.68 X22 + 16.80 X1X22 dengan nilai R2 = 0.63 Lama waktu matang gonad ikan lele
menunjukkan bahwa dosis
pemberian APM 0, 600, dan 1200 mg/kg pakan yang dikombinasikan dengan dosis estradiol 0 dan 250 µg/kg menghasilkan ikan matang gonad lebih cepat, tetapi ketika dosis APM dinaikan menjadi 1800 mg/kg dan dosis estradiol 500 µg/kg
menunjukkan kecendrungan lama waktu matang ikan menjadi lambat
(Tabel 5). Berdasarkan kurva respon dari persamaan di atas nilai minimun lama waktu matang gonad ikan lele terjadi pada kombinasi penambahan APM 921 mg/kg dan implantasi estradiol 365 µg/kg. Hasil pengamatan rataan indeks gonad somatik secara keseluruhan berkisar antara 8.30-16.10% (Lampiran 8). Nilai rataan indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 16.10%, yang diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I) sebesar 15.30%, dan kombinasi antara penambahan APM 600 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan F), yaitu sebesar 14.30 % (Tabel 5 dan Gambar 4 ). Indeks gonad somatik maksimum memperlihatkan dosis estradiol 0 µg/kg sampai 250 µg/kg akan menghasilkan peningkatan nilai IGS bila dikombinasikan dengan APM 600 mg/kg dan 1200 mg/kg dan akan mengalami penurunan jika dosis estradiol ditingkatkan menjadi 500 µg/kg yang dikombinasikan dengan 1800 mg/kg.
33
Tabel 5. Nilai rataan lama waktu matang, indeks gonad somatik, diameter telur, fekunditas, derajat tetas telur, ketahanan hidup, dan larva abnormal larva ikan lele (Clarias gariepinus) yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β (E2) Perlakuan (APM mg/kg; E2 µg/ml)
A (00;00)
Lama Waktu Matang (Hari) 95.20±6.26
c
Indeks Gonad Somatik (%) a
Diameter Telur (mm) a
8.33±2.05
1.18±0.03
8.75±2.16a
1.21±0.03 a
Derajat Tetas Telur (%)
Fekunditas (Butir telur) a
a
Ketahanan Hidup Larva (Hari)
Larva Abnormal (%)
706.20±12.02
45.00±7.90
3.80±0.44
a
12.80±2.38
c
668.80±13.12a
65.60±14.53ab
4.20±0.44a
8.80±1.92b
B (00;250)
72.80±15.33abc
C (00;500)
64.40±18.78
10.23±1.54
1.18±0.04
a
703.60±10.04
67.00±7.96
4.40±0.54
7.00±1.58
D (600;00)
78.40±15.96bc
10.35±2.27abc
1.19±0.02 a
698.40±9.24a
63.40±15.22ab
5.00±0.70ab
3.20±1.92a
E (600;250)
50.40±15.96
a
673.40±11.27
F (600;500) G (1200;00) H (1200;250)
abc
b
ab
12.20±2.22
abcd
1.20±0.06
bcd
1.22±0.07
a
664.10±10.32
bcd
1.21±0.06
a
654.10±11.46
b
13.96±1.79
abcd
13.80±1.93
47.60±15.96 72.80±25.04
39.20±11.71a
I (1200;500)
47.60±7.66
J (1800;00)
64.40±21.23abc
K (1800;250)
50.40±15.96
L (1800;500)
50.40±15.96b
b
b
a
15.93±1.73d 14.63±2.54
cd
14.03±2.50bcd 15.72±1.78
d
14.96±0.98d
1.23±0.02 a 1.20±0.06
a
ab
b
a
76.00±13.01
bc
6.00±0.70
bc
2.20±1.30
a
74.00±13.97
bc
6.00±0.70
bc
2.00±1.00
a
83.00±13.17
bc
6.20±0.44
bc
1.80±0.83
654.60±11.46a a
90.80±4.32d bc
674.40±10.48
81.80±9.67
1.20±0.05 a
675.60±11.18a
81.60±6.50bc
a
706.10± 11.54
80.20±7.75
1.19±0.03 a
711.20±9.24a
79.00±5.52bc
1.18±0.04
a
a
bc
6.60±0.54c 6.20±0.83
bc
6.40±0.89bc 6.20±0.70
bc
6.00±0.70bc
a
a
a
1.40±0.54a a
1.40±0.54
1.60±0.89a a
2.00±0.70
2.20±0.83a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf superskript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0.05).
34
Indeks kematangan gonad (%)
20 15 10 5 0 500
0 250
600 Do s is
AP M
0
1200 (m g /k g)
1800
tr Es
iol ad
/k (ug
g)
Gambar 4. Nilai rataan indeks gonad somatik ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Hasil analisis ragam indeks gonad somatik menunjukkan bahwa penambahan APM pada pakan ikan lele sangat nyata mempengaruhi IGS dengan pola respon linear dan kuadratik (P<0.01), sedangkan implantasi estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respons kuadratik (P<0.05). Hal yang sama juga terjadi pada interaksi faktor APM dengan implantasi estradiol menunjukkan pengaruh nyata pada pola respon APM linier dan pola respon estradiol kuadratik (P<0.05). Kurva respon dari persamaan ini nilai maksimum indeks gonad somatik terjadi pada penambahan APM 1346 mg/kg dan implantasi estradiol 180 µg/kg. Persamaan regresi yang diperoleh dari model hubungan antara indeks gonad somatik (Y) dengan perlakuan penambahan APM (X1) dan implantasi estradiol (X2) Y = 12.74 + 20.00 X1 - 2.95 X12 + 1.82 X2 - 1.2240 X22 – 13.9360 X1X22 dengan nilai R2 = 0.67 Rata–rata diameter telur matang yang dihasilkan oleh induk pada akhir percobaan disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 9. Kombinasi antara penambahan APM pada pakan dan implantasi estradiol ternyata tidak memberikan pengaruh pada diameter telur induk ikan lele (Lampiran 22).
35 Frekuensi sebaran diameter telur masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 28–39. Frekuensi sebaran telur di kelompokkan ke dalam tujuh kelas yang berbeda berdasarkan nilai batas atas dan nilai batas bawah dari keragaman nilai yang ada. Jarak dalam satu kelompok kelas sebesar 0.200 mm. Secara umum dari seluruh perlakuan yang ada, perkembangan diameter telur ikan lele terdapat puncak-puncak nilainya bergantung pada waktu pengamatan yang dilakukan. Distribusi diameter telur pada setiap pengamatan menunjukkan ukuran diameter telur yang heterogen, dimana sejak awal pengamatan diperoleh diameter telur dengan ukuran 0.1 mm sampai dengan ukuran lebih besar 1 mm untuk masing-masing perlakuan (Lampiran 28 sampai 39). Namun demikian, proporsi telur dengan diameter >0.8 mm lebih tinggi pada waktu sebelum memijah dibandingkan pada awal percobaan. Pada awal percobaan, ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1 sampai 0.3 mm. Secara keseluruhan dari tiap-tiap perlakuan terjadi peningkatan diameter telur dari awal sampai akhir penelitian dan ukurannya bervariasi pada setiap kali pengukuran.
Diameter telur (mm)
2 1.5 1 0.5 0 500
0 250
600 Do sis
AP M
0
1200 (m g /k g)
1800
) /kg ug ( l dio tra s E
Gambar 5. Nilai rataan diameter telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Hasil pengamatan struktur histologis gonad terlihat telur dengan kondisi TKG II sebelum induk ikan mulai diberi perlakuan (Gambar 6 a), dimana ovari terdiri atas oosit dan sel-sel yang berada di dalam folikel dan ukurannya masih kecil dan tidak seragam.
36
n n
a
b n n n f
d
c
Gambar 6. Struktur histologis gonad ikan lele pada kombinasi dosis ascorbyl phosphate magnesium 00 mg/kg dan estradiol-17β 00 µg/kg. (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE 40x)
Keterangan : a = gonad pada awal percobaan b = gonad pada pertengahan percobaan c dan d = gonad pada akhir percobaan n = nukleolus f = folikel Oosit yang mulai tumbuh, berkembang, dan tampak diameter telur mulai membesar serta butiran telur terlihat jelas dan nukleolus masih di tengah. Pada tahap ini perkembangan gonad telah memasuki TKG III. Pada TKG III terjadi proses vitelogenesis sehingga tingkat ini disebut juga sebagai fase akumulasi kuning telur dan tahap pertumbuhan gonad, hal ini ditandai dengan makin membesarnya diameter telur (Gambar 6 b). Pada Gambar 6 c dan d terlihat telur memasuki tahap kematangan akhir yang ditandai dengan posisi inti sel yang sedang dan berada di tepi (TKG IV). Artinya, ikan sudah siap dipijahkan.
37 Fekunditas relatif, Daya Tetas Telur, Ketahanan Hidup Larva, dan Larva Abnormal Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele tertinggi ditemukan pada ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg, yaitu sebesar 706.20±12.02, kemudian diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg, yaitu sebesar 704.20±11.54, dan fekunditas terendah diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg sebesar 654.60±10.48 (Gambar 7 dan Tabel 5). Kombinasi antara penambahan APM pada pakan dan implantasi estradiol ternyata tidak memberikan pengaruh pada fekunditas relatif pada induk ikan lele (Lampiran 23).
Fekunditas relatif (butir telur)
750
700
650
600 0
500
600 Do
s is
AP M
250
1200 (m g/
kg )
0
1800
ug ol ( i d t ra Es
) /kg
Gambar 7. Nilai rataan fekunditas relatif ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Daya tetas telur ikan lele pada berbagai kombinasi penambahan APM dan implantasi estradiol pada ikan lele berkisar 45–96%, hasil derajat tetas telur terendah dihasilkan oleh induk ikan yang menerima pakan tanpa penambahan APM dan implantasi hormon estradiol. Rataan daya tetas telur pada berbagai kombinasi APM dan estradiol
38 pada ikan lele disajikan pada Lampiran 11. Daya tetas tertinggi ditemukan pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan pakan dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 91.80%, kemudian diikuti oleh kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I), yaitu sebesar 85.80%, dan kombinasi penambahan 1200 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan G) sebesar 83 %, dan yang terendah adalah kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan 0 µg/kg (perlakuan A), yaitu 49% (Gambar 8).
Day a tetas telur (% )
100 80 60 40 20 0 500
0 Do s is
250
600 AP M
0
1200 (m g
/kg )
1800
k ug / l ( o i d t ra Es
g)
Gambar 8. Nilai rataan daya tetas telur ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Berdasarkan analisis ragam daya tetas telur menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan APM sangat nyata dengan pola respons linear dan kuadratik (P<0.01), begitu juga pada faktor estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respon linear dan kuadratik (P<0.05). Interaksi faktor APM dan estradiol menunjukkan pengaruh nyata dengan pola respons linear (P<0.05). Berdasarkan persamaan kurva respons diperoleh nilai maksimum daya tetas telur terjadi pada penambahan APM 1481 mg/kg dan
39 implantasi estradiol 186 µg/kg. Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara daya tetas telur (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 73.96 + 77.20X1 – 8..93 X12 + 7.25 X2 - 12.55 X22 + 85.80 X1X2 dengan nilai R2 = 0.59 Berdasarkan analisis ragam ketahanan hidup larva terlihat bahwa pengaruh perlakuan APM nyata dengan pola linier dan kuadratik (P<0.05), sedangkan perlakuan estradiol berpengaruh nyata dengan berpola kuadratik (P<0.05). Pola respon interaksi antara APM linier dan estradiol kuadratik juga menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05). Kurva respons dari persamaan ini menunjukkan bahwa nilai maksimum ketahanan hidup larva
terjadi pada penambahan APM 1320 mg/kg dan implantasi
estradiol 50 µg/kg. Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara ketahanan hidup larva maksimum ikan lele (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) :
Ketahanan hidup larva (hari)
Y = 5.56 + 6.66X1 – 0.0013 X12 - 0.02 X22 + 2.00 X1 X2 dengan nilai R2 = 0.70
8 6 4 2 0 500
0 250
600 Do s is
AP M
0
1200 (m g
/kg )
1800
Es
(ug i ol d t ra
/kg
)
Gambar 9. Nilai rataan ketahanan hidup larva ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
40 Induk ikan lele pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estrtadiol 250 µg/kg dapat menghasilkan ketahanan hidup larva selama 6.60 ± 0.54 hari, sedangkan induk yang tidak diberi penambahan APM dan hormon estradiol menghasilkan ketahanan hidup larva hanya 3.80 ± 0.44 hari (Gambar 9 dan Lampiran 12). Pengamatan terhadap keabnormalan larva pada berbagai kombinasi antara penambahan APM dan implantasi hormon estradiol berkisar 1.4–12.8%. Persentase larva abnormal tertinggi dihasilkan induk yang menerima pakan tanpa tambahan APM dan implantasi hormon estradiol (APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg), yaitu sebesar 12.8%, diikuti oleh kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg, yaitu sebesar 8.8%. Untuk larva abnormal yang terendah adalah 1.4% yang dihasilkan oleh induk yang diberi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg dan penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (Gambar 10 dan Lampiran 13).
Larv a abnorm al (% )
15
10
5
0 500
0 250
600 Do
s is
AP M
0
1200 (mg
/kg )
1800
E
(ug ol i d a st r
) /kg
Gambar 10. Nilai rataan larva abnormal ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
41 Hasil analisis ragam larva abnormal menunjukkan bahwa penambahan
APM
adalah signifikan untuk pola linear maupun pola kuadratik (P<0.05), sedangkan pola respons estradiol linear dan kuadratik tidak menunjukkan pengaruh. Interaksi antara APM kuadratik dan estradiol linear justru memperlihatkan pengaruh nyata (P<0.05) (Lampiran 26). Dari kurva respons diperoleh bahwa nilai minimum larva abnormal terjadi pada penambahan APM 1254 mg/kg dan implantasi estradiol 116 µg/kg. Dari persamaan regresi diperoleh model hubungan antara larva abnormal minimum ikan lele (Y) dengan penambahan APM (X1) dan estradiol-17β (X2) : Y = 3.86 – 23.73X1 + 7.47 X12 - 1.70 X2 + 20.00X1X2 - 3.60 X12 X2
dengan nilai R2 =
0.89 Larva abnormal biasanya memperlihatkan warna kehitam-hitaman pada bagian kuning telur dan terjadi pembengkokan pada tulang ekor dan punggung (Gambar 11).
a
b
c
d
Gambar 11. Gambaran morfologis larva: normal (a) dan abnormal (b, c dan d) dari induk ikan lele (Clarias gariepinus). Kadar Estradiol-17β dalam Plasma Darah Kadar estradiol plasma darah ikan lele selama percobaan disajikan pada Lampiran 15 dan Gambar 12. Hasil percobaan menunjukkan bahwa konsentrasi estradiol17β plasma darah pada awal percobaan berkisar antara 1.42 dan 1.76 µg/ml. Kadar tertinggi terjadi pada hari ke 14, terutama untuk induk ikan yang diimplan estradiol 250 dan 500 µg/kg yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan C), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol
42 500 µg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) dengan kadar estradiol plasma darah berkisar antara 7.04 dan 9.98 µg/ml. Sebaliknya, pada induk ikan yang tidak diimplan estradiol yang terdiri dari
kombinasi antara
penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A), APM 600 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan D), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan G), dan APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan J) tidak terjadi peningkatan estradiol plasma darah yang berarti, kadar estradiolnya berkisar antara 1.8 dan 2.67 µg/ml.
Estradiol plasma darah (ng/mg)
12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
Waktu Pengamatan (Minggu ke-) A (APM 00 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) C (APM 00 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) E(APM 600 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) G (APM 1200 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) I (APM 1200 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) K (APM 1800 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg)
B (APM 00 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) D (APM 600 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) F (APM 600 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg) H (APM 1200 mg/kg : Estradiol 250 ug/kg) J (APM 1800 mg/kg : Estradiol 00 ug/kg) L (APM 1800 mg/kg : Estradiol 500 ug/kg)
Gambar 12. Kadar estradiol-17β plasma darah ikan lele pada berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β selama percobaan Pada pengamatan hari ke 28, 42, 56 dan 70 terjadi penurunan kadar hormon estradiol plasma darah pada induk ikan-ikan yang diimplan estradiol 250 dan 500 µg/kg. Sebaliknya, induk ikan-ikan yang tidak diimplan estradiol, kadar estradiol dalam darah mengalami peningkatan sejak hari ke 14, 28, 42, 56, 70, dan 84 (Gambar 12). Dari hasil pengamatan ini terlihat bahwa perlakuan yang diimplan dengan estradiol 250 dan 500
43 µg/kg dapat meningkatkan kandungan estradiol plasma darah sampai pada pengamatan hari ke 14 (Gambar 12). Setelah itu, implan estradiol pada induk ikan tidak berpengaruh lagi pada kandungan estradiol plasma darah. Kadar hormon estradiol plasma darah ikan lele antarwaktu pengambilan sampel menunjukkan perbedaan nyata pada hari 14 (P<0.05) (Lampiran 27). Kandungan Vitamin C Ovarium, Telur, dan Larva Pemberian kombinasi antara penambahan APM dan implantasi estradiol pada ikan lele ternyata mempengaruhi komposisi kandungan vitamin C ovarium, hati, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari (Gambar 14 dan Lampiran 16).
KANDUNGAN VITAMIN C (mg/g)
400 L
300
K J I
200
H G F
100 E D
0
N UA
A
HARI KE 0
HARI KE 42
HARI KE 98
C B
AK RL E P
Keterangan : A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 µg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 µg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 µg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 µg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 µg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 µg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg)
Gambar 13. Nilai kandungan vitamin C ovarium ikan lele pada hari ke 0, 42, dan 98 yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
44 Induk ikan yang menerima pakan tanpa penambahan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg
dan estradiol 00
µg/kg
(perlakuan A), APM 0 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan C) kandungan vitamin C dalam ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari cendrung lebih rendah dibanding dengan induk ikan yang menerima penambahan APM pada pakan yang terdiri dari kombinasi antara penambahan APM 600 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan D), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan G), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan J), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L).
Pada
semua kombinasi penambahan APM dan implantasi hormon estradiol, kandungan vitamin C lebih tinggi pada ovarium, kemudian menurun pada telur, dan sampai telur menetas menjadi larva (Gambar 14). Hal ini membuktikan bahwa penambahan APM pada pakan sebagai sumber vitamin C yang diberikan melalui pakan induk ikan akan diakumulasikan oleh ikan pada saat pembentukan telur dan dimanfaatkan
saat
perkembangan larva. Kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari naik sejalan dengan dosis APM yang ada dalam pakan. Kandungan vitamin C ovarium ikan lele pada pakan yang tanpa penambahan APM yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A),
APM 0 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan B), APM 0
mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan C) cendrung terus menurun hingga akhir percobaan, sedangkan kandungan vitamin C ovarium ikan pada pakan yang ditambahkan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 600 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan D),
APM 600 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan
E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan G), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan J), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) mengalami peningkatan
45 dari hari ke 0 sampai pada hari ke 42, kemudian menurun sampai pada hari ke 98 (Gambar 13).
Penurunan vitamin C
ovarium pada ikan yang diberi pakan tanpa
penambahan APM pada pakan yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan E2 0 µg/kg (perlakuan A), APM 0 mg/kg dan E2 250 µg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan E2 500 µg/kg (perlakuan C) menunjukkan bahwa ikan lele tidak mampu mensintesis vitamin C dan sangat bergantung pada suplai dari luar.
KANDUNGAN VITAMIN C (mg/g)
500 400 L
300
K J I
200
H G
100
F E D
0 A
PE
L2H
LOH
TELUR
OVARIUM
C B
N UA K A RL
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 µg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 µg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 µg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 µg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 µg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 µg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg)
Gambar 14. Nilai kandungan vitamin C pada ovarium, telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Kandungan Protein Telur dan Larva
46 Hasil analisis kandungan protein telur, larva 0 hari dan larva 2 hari ikan lele pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol disajikan pada Gambar 15 dan Lampiran 17. Kandungan protein pada berbagai kombinasi penambahan APM dan hormon estradiol cendrung meningkat dari telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari. Kandungan protein tertinggi pada telur dicapai oleh kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan H), diikuti oleh kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I) dan yang terendah adalah kombinasi
80 L 60
K J I
40
H G F
20
E D C
0 LO H
B A
PE
RL
N UA K A
L2H
TE LUR
K A N D U N G A N PR O TEIN (% )
perlakuan penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A).
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 µg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 µg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 µg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 µg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 µg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 µg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg)
Gambar 15. Nilai kandungan protein pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
47 Kandungan protein pada telur cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis APM pada pakan pada setiap kombinasi penambahan APM dan estradiol. Demikian juga terjadi pada larva 0 hari dan larva 2 hari (Gambar 15 dan Lampiran 17). Kandungan Lemak Telur dan Larva Nilai kandungan lemak telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari pada berbagai kombinasi
KANDUNGAN LEMAK (%))
penambahan APM dan estradiol disajikan pada (Gambar 16 dan Lampiran 18).
100 80 L
60
K J I
40
H G
20
F E D C B A
PE
N UA K A RL
L2H
LOH
LM TELUR
FL TELUR
0
Keterangan : FL Telur = Fosfolipid telur LM Telur = Lemak telur LM L0H = Lemak Larva 0 hari LM L2H = Lemak Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 µg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 µg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 µg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 µg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 µg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 µg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg)
Gambar 16. Nilai kandungan fosfolipid telur dan lemak pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β Kandungan lemak di telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari naik sejalan dengan peningkatan dosis APM pada pakan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa lemak yang
48 diakumulasi dalam telur akan digunakan selama proses embriogenesis berlangsung dan selama perkembangan larva. Hal ini terlihat dari terjadinya penurunan kandungan lemak dari telur sampai larva berumur 2 hari pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol.
Kandungan lemak tertinggi diperoleh pada induk ikan dengan kombinasi
penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) dan yang terendah adalah kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 00 µg/ml (perlakuan A) (Gambar 16 dan Lampiran 18). Kandungan fosfolipid (FL) di telur dapat dilihat pada Gambar 16. Fosfolipid mengandung asam lemak esensial
Semakin tinggi dosis APM dalam pakan sejalan
dengan meningkatnya kandungan FL di telur dan mencapai puncaknya pada kombinasi penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L). Kandungan FL terendah diperoleh pada kombinasi penambahan APM 0 mg/kg pakan dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A). Rasio Hidroksiprolin/Prolin (HP/P) pada Ovarium dan Larva Cara untuk mendeteksi pembentukan kolagen adalah dengan mengukur kandungan hidroksiprolin dan prolin serta rasio antara keduanya. Kalau rasio HP/P tinggi, maka peluang terjadinya pembentukan kolagen akan tinggi. Hasil analisis rasio hidroksiprolin/prolin pada ovarium, larva 0 hari, dan larva 2 hari pada berbagai kombinasi penambahan APM dan estradiol disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 19.
Data selengkapnya kandungan hidroksiprolin, prolin dan rasio
hidroksiprolin/prolin selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 40. Dari gambar di bawah ini dapat diketahui bahwa penambahan APM pada pakan dapat meningkatkan rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) ovarium, dibanding dengan perlakuan tanpa penambahan APM pada pakan.
Selama berlangsungnya proses
perkembangan larva dari menetas sampai larva 2, hari rasio HP/P mengalami penurunan untuk semua perlakuan.
Hal ini membuktikan bahwa terjadi peningkatan aktivitas
biosintesis kolagen untuk menopang struktur tubuh embrio sampai pada umur 2 hari. Terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara kombinasi penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (rasio HP/P pada ovarium, larva 0 hari, larva 2 hari sebesar 0.72, 0.65, dan 0.49) dan kombinasi penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg, (nilai HP/P adalah 0.37, 0.30, dan 0.25) (Gambar 17). Hal ini membuktikan bahwa
49 APM sebagai sumber vitamin C dibutuhkan dalam sintesis kolagen untuk perkembangan embrio.
1
R AS IO H P /P
0.9 0.8
L K
0.7 0.6
J I
0.5 0.4 0.3
H G F
0.2 0.1
E D C B
PE
RL
AN
A L2 H
L0 H
O V A R IU M
0
U AK
Keterangan : L0H = Larva 0 hari L2H = Larva 2 hari A (APM 0 mg/kg; Estradiol 0 µg/kg), B (APM 0 mg/kg ; Estradiol 250 µg/kg), C (APM 0 mg/kg ; Estradiol 500 µg/kg), D(APM 600 mg/kg;Estradiol 0 µg/kg),E(APM 600 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg), F(APM 600 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), G(APM1200 mg/kg;Estradiol0 µg/kg),H(APM1200 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),I(APM1200 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg), J(APM1800 mg/kg;Estradiol0 µg/kg), K(APM1800 mg/kg;Estradiol 250 µg/kg),L(APM1800 mg/kg;Estradiol 500 µg/kg)
Gambar 17. Nilai rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) pada ovarium, larva 0 hari, dan larva 2 hari ikan lele yang diberi berbagai kombinasi ascorbyl phosphate magnesium (APM) dan estradiol-17β
50
Pembahasan Kombinasi antara penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan dan implantasi hormon estradiol
pada ikan induk lele berdasarkan hasil percobaan ini
menunjukkan bahwa hampir semua ikan
dapat matang gonad, memijah, dan
memproduksi larva. Waktu yang diperlukan dari proses pematangan gonad sampai dengan pemijahan berbeda-beda pada setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan dosis penambahan AMP dalam pakan dan implantasi hormon estradiol memberikan respons pada kinerja reproduksi ikan lele. Kecepatan pematangan gonad ikan uji tercepat diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan hormon estradiol 250 µg/kg dengan rata-rata 39.20 hari. Sementara itu, kombinasi antara penambahan AMP 0 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 0 µg/kg (kontrol), kecepatan pematangan gonad ikan rata-rata 95.20 hari. Data hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pematangan gonad dapat dipercepat atau dipersingkat 60 hari melalui penambahan AMP dan estradiol. Implantasi estradiol pada ikan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah.
Peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah ikan akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad, karena estradiol merupakan perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati. Selain estradiol, vitamin C berperanan dalam reaksi hidroksilasi dalam biosintesis hormon steroid yang bahan bakunya berasal dari kolesterol. Vitamin C memainkan peranan penting dalam proses biosintesis hormon estradiol sebagai donor elektron untuk enzim hidroksilase yang berperan mengkonversi testosteron menjadi estrogen.
Hormon ini disintesis dan
disekresikan oleh lapisan sel granulosa dan teka pada folikel oosit di bawah pengaruh FSH (Nagahama et al. 1982). Pendapat ini didukung oleh hasil pengamatan Halver (1985) yang mencatat bahwa vitamin C diakumulasikan pada sel folikel yang mengelilingi sel telur. Pada jaringan ini terdapat sel teka dan granulosa yang merupakan tempat disintesis hormon estradiol yang berfungsi dalam proses vitelogenesis di hati (Zohar. 1991). Hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila (Oreochromis sp) mencatat kandungan kolesterol (bahan dasar hormon steroid) ovarium yang menerima pakan tanpa vitamin C jauh lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang menerima pakan dengan
51 suplementasi vitamin C. Ini mengindikasikan bahwa kekurangan vitamin C kemungkinan menghambat konversi kolesterol ke bentuk estrogen. Mobilisasi kolesterol ke ovarium dapat diketahui dengan terjadinya peningkatan kolesterol darah saat siklus reproduksi. Kolesterol ovarium ini selanjutnya dikonversi menjadi testosteron. Testosteron ini akan mengalami oksidasi pada atom C19, kemudian terjadi proses pembuangan gugus metil pada atom C19 ini untuk menghasilkan estrogen (C18), dan sebagai tahap akhir akan dilakukan proses aromatisasi pada cincin A dari estrogen dengan bantuan enzim aromatase sehingga menghasilkan hormon estradiol. Berkaitan dengan peranan vitamin C ini dalam siklus reproduksi, beberapa peneliti telah mencatat bahwa ikan nila (Soliman et al. 1986), ikan bandeng (Azwar et al. 2001), dan Japanese parot (Oplegnathus fasciatus) (Ishibashi et al. 1994) yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C yang cukup untuk mencapai kesiapan ovulasi lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi vitamin C. Estradiol merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. Estradiol plasma mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan peningkatan ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi estradiol dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad. Oleh karena itu, kadar estradiol plasma darah dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al., 1992). Implantasi estradiol dapat meningkatkan kadar estradiol dalam plasma darah. Dalam penelitian ini peningkatan konsentrasi estradiol plasma darah pada induk-induk ikan yang diimplantasi dengan estradiol 250 µg/kg dan 500 µg/kg yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan B), APM 0 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan C), APM 600 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan E), APM 600 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (peralakuan F), APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), APM 1200 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan I), APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan K), dan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) terjadi pada pengamatan hari ke-14. Hasil ini berbeda dari yang didapat oleh Flett dan Leatherland (1989) bahwa kadar estradiol plasma darah tertinggi terjadi pada hari ke-28 setelah implantasi estradiol pada
52 ikan Salmo gairdneri. Sularto (2002) memperlihatkan terjadi peningkatan pada hari ke14 setelah induk jambal Siam diimplantasi dengan hormon LHRH dan estradiol. Supriyadi (2004) yang menggunakan teknik enkapsulasi 17α-metiltestosteron dalam emulsi yang diberikan pada ikan baung diperoleh kadar hormon estradiol tertinggi terjadi pada hari ke-56. Yusuf (2005) menyatakan bahwa terjadi pada hari ke-42 setelah induk ikan baung disuntik dengan emulsi W/O/W yang mengandung hormon LHRHa dan estradiol. Perbedaan waktu yang terjadi kemungkinan karena adanya respon yang berbeda dari setiap spesies ikan yang berhubungan dengan teknik pemberian, dosis, dan jenis hormon. Adanya perbedaan kadar estradiol plasma darah ikan lele pada hari ke-14 (P<0.05) (Lampiran 27), lebih cendrung disebabkan oleh perbedaan dosis estradiol yang diimplantasi dan APM yang diberikan untuk setiap perlakuan.
Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa implantasi estradiol pada induk ikan mampu meningkatkan kosentrasi estradiol plasma darah. Konsentrasi hormon estradiol dalam plasma darah untuk perlakuan yang diimplantasi dengan estradiol, setelah hari ke-14 mengalami penurunan sampai pada pengamatan hari ke-70 (Gambar 12). Hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan telur yaitu kadar estradiol akan menurun menjelang pematangan akhir. Menurut Singh dan Singh (1990) pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir, sintesis estradiol akan menurun karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen terhadap hormon yang menstimulasi sintesis estradiol. Lebih lanjut Mylonas dan Zohar (2001) menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon estradiol tinggi pada fase vitelogenesis dan mencapai puncaknya pada fase mGV(Germinal Vesicle migration) dan kemudian mengalami penurunan pada fase pGV(Germinal Vesicle peripheral). Djojosoebagio (1996) mengemukakan bahwa jika kadar hormon estrogen yang dihasilkan oleh gonad dalam darah melebihi jumlah yang diperlukan, hormon estrogen ini akan mengirim sinyal ke hipofisis untuk mengurangi GtH-I. Selain itu, hormon estrogen juga dapat menghambat hipotalamus untuk memproduksi GnRF sehingga sekresi GtH-I menjadi berkurang. Berkurangnya sekresi GtH-I oleh hipofisis secara langsung akan menghasilkan penurunan sintesis estradiol-17β oleh lapisan sel teka dan granulosa. Konsentrasi hormon estradiol dalam plasma darah untuk perlakuan yang tidak diimplantasi dengan estradiol yang terdiri atas kombinasi antara penambahan APM 0
53 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A), APM 600 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan D), APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan G), dan APM 1200 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan J) mengalami peningkatan secara bertahap dari hari ke-14 sampai pada akhir penelitian. Hal ini karena penyediaan estradiolnya hanya didapat dari reaksi hidroksilasi dalam biosintesis hormon steroid yang bahan bakunya berasal dari kolesterol. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa vitamin C memainkan peranan penting dalam proses biosintesis estradiol sebagai donor elektron untuk enzim hidroksilase yang berperan mengkonversi testosteron menjadi estrogen. Sintesis estradiol akan mengalami peningkatan secara bertahap selama vitelogenesis dan berkorelasi positif dengan peningkatan ukuran oosit. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lee dan Yang (2001), perubahan kadar estradiol berkorelasi dengan perkembangan telur dalam ovari dan peningkatan nilai indeks kematangan gonad. Menurut Nagahama (1983), estradiol dalam darah akan merangsang hati untuk mempercepat proses sintesis dan sekresi vitelogenin yang selanjutnya akan merangsang proses vitelogenesis di dalam ovarium. Dikemukakan lagi oleh Nagahama (1994) bahwa kadar estradiol dalam darah tersebut berkorelasi positif dan memiliki hubungan yang linear dengan proses vitelogenesis. Kemudian menurut Yaron (1995), ketika proses vitelogenesis tersebut berlangsung, granula atau globul kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya sehingga volume oosit membesar. Dengan adanya aktivitas oosit tersebut maka indeks kematangan gonad ikan juga meningkat (Indrastuti, 2000). Proses pertumbuhan dan pematangan oosit diatur oleh hormon (Redding dan Patino, 1993). Nagahama et al (1995) mengemukakan setelah kelenjar hipofisa mensekresikan
hormon
FSH
yang
kemudian
mempengaruhi
sel
teka
untuk
mensekresikan hormon testosteron. Hormon ini kemudian mempengaruhi sel granulosa untuk mensekresikan hormon estradiol sebagai perangsang hati untuk memproduksi dan menskresikan vitelogenin sebagai bahan dasar oosit. Dengan demikian, oosit akan tumbuh dan berkembang. Proses berikutnya adalah pematangan oosit, yang diatur oleh tiga faktor, yaitu LH (GTH-II), maturation inducing hormon (MIH), dan maturation promoting factor (MPF). Aktivitas GTH-II bersifat tidak langsung dalam mempengaruhi kematangan oosit. GTH-II diperantarai oleh produksi MIH dari sel folikel. Pada spesies ikan teleost, percobaan in-vitro menunjukkan bahwa steroid C-21 mampu mengawali
54 proses germinal visicle breakdown (GVBD). Pada saat terjadi MIH di antara steroid C21 hanya dua yang mampu terindentifikasi, yaitu 17 ,20β -dehidoxy-4-pregnen-3-one dan 17 ,20β, 21-trihidroxy-4-pregnen-3-one. Testosteron dan C-19-steroid pada konsentrasi tinggi bisa juga menginduksi GVBD, sedangkan estradiol dan steroid C-18 tidak mampu menginduksi kematangan oosit. Aktivitas GTH-II pada sel teka dapat meningkatakan 17α-hydroxyprogesterone melalui mediasi reseptor sistem adenilat siklase-cAMP. 17α– hydroxyprogesterone diubah kedalam bentuk 17α, 20β-dihydroxy-4-pregnen-3-one oleh sel granulosa di mana aktivitas GTH-II mempengaruhi sintesis de novo enzim 20β– hydroxysteroid dehydrogenase (20β HSD). Nilai indeks gonad somatik secara keseluruhan
berkisar antara 8.39-16.81%
(Gambar 4). Kombinasi antara penambahan APM dan implantasi hormon estradiol berpengaruh nyata pada nilai indeks gonad somatik (P<0.05). Nilai indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan implantasi estradiol 250 µg/kg (16.81%), yang diikuti kombinasi antara penambahan AMP 1200 mg/kg dan implantasi estradiol 500 µg/kg (15.30%) dan yang terendah adalah kombinasi yang tanpa penambahan APM dan implantasi estradiol. Terjadinya perbedaan antarperlakuan dipengaruhi oleh dosis APM dan estradiol. Hasil penelitian Efrizal (1995) pada lele dumbo diperoleh nilai IGS 16.80 %, sementara Basuki (1990) mendapatkan nilai IGS 13.88%. Hasil penelitian Syahrial (1988) untuk ikan Clarias batracus bobot 9.78-26.96 gram dengan perlakuan Vitamin E 114.21 mg/kg menghasilkan IGS 7.53%. Khoironi (2002) dengan perlakuan kombinasi kolesterol 5740 dan vitamin E 240 mg/kg menghasilkan IGS 13.34%. Peningkatan nilai indeks gonad somatik dapat disebabkan oleh perkembangan oosit. Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh (Tyler, 1991). Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya sehingga volume oosit membesar (Yaron, 1995). Selama proses tersebut berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapat perubahan dalam gonad itu sendiri. Umumnya, pertambahan gonad pada ikan betina berkisar antara 10-25% dari bobot tubuh (Tang dan Affandi, 2000).
55 Respons indeks gonad somatik terhadap dosis AMP memperlihatkan pola kuadratik yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis vitamin C yang disuplementasikan semakin meningkat indeks gonad somatik ikan lele pada batas perlakuan yang diberikan. Hasil yang didapat dalam percobaan ini sejalan dengan hasil yang didapat oleh beberapa peneliti lainnya pada spesies ikan yang berbeda. Mazuqi et al. (1997) melaporkan bahwa pemberian ascorbil phosphate magnesium sebesar 0, 0.05, 0.10, dan 0.15% dalam pakan induk udang windu (Penaeus monodon) menghasilkan peningkatan indeks gonad somatik 1.08 – 1.28%, dibandingkan dengan kontrol yang hanya 1.0%. Selanjutnya hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila (Oreochromis sp) mencatat bahwa pakan dengan suplementasi ascorbyl phosphate magnesium 0, 750, 1500, 2250, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai indeks gonad somatik masing-masing 1.80, 2.16,
2.48, 2.75, dan 2.51% setelah induk dipelihara selama 72 hari. Hasil
penelitian Ishibashi et al. (1994) menunjukkan bahwa indeks gonad somatik induk ikan Oplegnathus fasciatus yang diberi pakan dengan suplementasi vitamin C nyata lebih tinggi dibanding induk kontrol. Ikan yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 0, 300, 1000, dan 3000 mg/kg memperlihatkan nilai indeks gonad somatik masingmasing 0.5, 0.9, 1.4, dan 2.2% setelah 6 bulan pemeliharaan. Dikemukakannya bahwa rendahnya indeks gonad somatik diduga berkaitan dengan rendahnya kandungan hormon estradiol dan vitamin C ovarium. Soliman et al (1986) mencatat bahwa induk Oreochromis mossambicus yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan mencapai tingkat kematangan gonad lebih awal 2 minggu dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar vitamin C dalam pakan akan meningkatkan nilai indeks gonad somatik, diameter telur, dan daya tetas telur. Nilai indeks gonad somatik, diameter telur, dan daya tetas telur tertinggi dihasilkan oleh induk dengan kombinasi antara penambahan AMP 1200 mg/kg dan implantasi estradiol 250 µg/ml. Masumoto et al. (1991) melaporkan bahwa induk ikan crucian carp yang diberi suplementasi vitamin C menghasilkan telur yang lebih banyak dibanding dengan yang tanpa suplementasi vitamin C. Kualitas telur yang baik dapat juga dilihat dari derajat tetas telur. Kombinasi penambahan APM pada pakan dan implantasi hormon estradiol mempengaruhi daya tetas
56 ikan lele dengan kecendrungan respons kuadratik untuk penambahan APM. Ada korelasi positif antara peningkatan dosis suplementasi APM pada pakan dengan peningkatan daya tetas telur dan mencapai puncak pada dosis tertentu. Azwar (1997) melaporkan bahwa suplementasi APM sangat nyata mempengaruhi daya tetas telur ikan nila dengan kecendrungan respons kuadratik, yang berarti peningkatan pemberian APM tidak selalu diikuti dengan peningkatan daya tetas telur. Rataan daya tetas telur meningkat dari 73.66% mencapai maksimum 96.80% pada dosis APM 2105.44 mg/kg, kemudian menurun mencapai 90.33% pada dosis 3000 mg/kg. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa suplementasi APM pada ikan lele dapat meningkatkan daya tetas telur. Beberapa peneliti sebelumnya melaporkan hal yang sama, seperti Dabrowski dan Bloom (1994) yang memperlihatkan bahwa telur dari ikan rainbow trout yang menerima pakan dengan penambahan APM sebesar 850 mg/kg pada pakan menghasilkan derajat tetas telur 25.3– 46.7%, sedangkan tanpa penambahan vitamin C derajat tetas telur hanya sebesar 9.4– 22%. Sementara itu Soliman et al (1986) mencatat bahwa derajat tetas telur Oreochromis mossambicus yang menerima pakan dengan penambahan vitamin C 1250 mg/kg pakan mencapai 89.33%, sedangkan induk ikan yang menerima vitamin C
daya tetas telurnya 54.25%.
pakan tanpa penambahan
Beberapa hasil penelitian lainnya seperti
Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, Sandnes et al (1984) pada rainbow trout, Soliman et al (1986) pada ikan nila, dan Azwar et al (2001) pada ikan bandeng memberikan kecendrungan yang sama dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini. Derajat tetas telur tertinggi dihasilkan oleh kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg, yaitu 91.80%, sementara derajat tetas telur yang dihasilkan dari penelitian Efrizal (1995) ikan lele dumbo adalah 69% dan Baidya (2002) pada ikan yang sama mendapatkan 53% dan Syarial (1998) untuk ikan Clarias batracus sebesar 71.87% Tingginya derajat tetas telur dari induk yang menerima kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg yaitu sebesar 91.80% selain disebabkan oleh tingginya akumulasi lemak dalam telur yang berfungsi sebagai sumber energi utama, juga berkaitan erat dengan peranan vitamin C dalam biosintesis senyawa prostagladin. Goodman (1994) menyatakan bahwa bahan baku senyawa prostagladin adalah asam arakhidonat yang bersumber dari asam lemak esensial. Di sini, vitamin C berperan
57 sebagai antioksidan untuk menjaga agar asam lemak esensial tidak teroksidasi oleh hadirnya oksigen sehingga akumulasi asam lemak esensial dalam telur menjadi meningkat seperti telah ditunjukkan oleh hasil penelitian Mokoginta et al. (2000) dengan menggunakan kristal vitamin asam askorbat yang diberikan kepada induk ikan patin. Leray et al
(1985)
mengemukakan bahwa proses pengenalan antarsel dalam telur
dipengaruhi oleh prostagladin. Jika telur kekurangan prostagladin maka berlangsungnya proses pembelahan sel akan gagal dan akibatnya akan menghasilkan derajat tetas telur yang rendah seperti yang dihasilkan oleh induk dengan kombinasi antara penambahan APM 00 mg/kg dan estradiol 00 µg/kg
dengan daya tetas 45.00%. Selain itu,
prostagladin ini diketahui sebagai mediator kerja pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan (Syarial 1988). Prostagladin bersama dengan hormon reproduksi lain LH akan mempertinggi aktivitas enzim proteolitik di folikel sehingga akan menstimulasi inti sel telur yang berada di tengah untuk bergerak ke pinggir dan selanjutnya melebur menuju kutub anima, yang berarti telur siap diovulasikan (Tang dan Affandi 2000). Hasil pengamatan terhadap ketahanan hidup larva tanpa diberikan makanan memperlihatkan makin tinggi dosis APM pada larva, makin tinggi pula ketahanan hidup larva. Ketahanan hidup larva tertinggi (6.60 hari) dicapai oleh kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg. Katahanan hidup larva sangat berhubungan dengan cadangan energi bawaan berupa kuning telur dan butir minyak. Cadangan energi bawaan ini dalam proses pembentukannya sangat dipengaruhi oleh nutrient induk. Ketahanan hidup larva awal sangat ditentukan oleh energi bawaan yang dipersiapkan oleh induk mulai saat vitelogenesis sampai telur matang (siap dipijahkan). Jika dalam perkembangan oosit induk mengalami kekurangan nutrien, proses perkembangan vitelogenesis akan mengalami gangguan sehingga telur yang dihasilkan tidak menetas. Pada penelitian ini diperoleh bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara perlakuan suplementasi APM dengan daya tahan hidup larva yang mengandalkan cadangan energi bawaan berupa kuning telur dan butir minyak, dengan lama hidup larva selama 5.00–6.60 hari, sedangkan yang tanpa suplementasi APM hanya bertahan hidup 3.80–4.40 hari. Hasil penelitian ini didukung oleh Azwar et al. (2001) pada ikan bandeng dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, dimana peningkatan dosis APM dalam pakan akan meningkatkan ketahanan hidup larva. Masumoto et al. (1991) mencatat
58 bahwa penambahan vitamin C dalam pakan dapat meningkatkan fekunditas, diameter telur, ketahanan hidup larva, serta mengurangi abnormalitas larva. Hasil penelitian terhadap keabnormalan larva memperlihatkan bahwa 1.40 – 12.80% larva yang dihasilkan memperlihatkan perkembangan abnormal.
Persentase
larva abnormal terendah dihasilkan dari induk dengan kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg, yaitu 1.40%.
Persentase rataan larva
abnormal menurun dari 12.80% mencapai minimum 1.06% pada dosis APM 1254.34 mg/kg dan kemudian meningkat mencapai 2.20% pada dosis 1800 mg/kg pakan. Hasil percobaan Azwar (1997) terhadap ikan nila, dengan menambahkan APM 0, 750, 1500, 2250, dan 3000 mg/kg pakan menghasilkan larva abnormal 16.74, 3.93, 1.87, 0.54, dan 0.56%. Sementara Soliman et al. (1986) melaporkan bahwa induk ikan Oreochromis mossambicus yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C, perkembangan larva yang abnormal mencapai 56.9%, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1250 mg/kg pakan hanya 1.28% yang menunjukkan pertumbuhan abnormal.
Menurut Dabrowski dan Blom (1994) ada korelasi antara
kandungan vitamin telur dengan perkembangan embrio dan kekurangan vitamin C telur akan memberikan efek yang merugikan bagi perkembangan embrio. Hasil percobaan ini mencatat bahwa selama perkembangan embrio, 37% cadangan vitamin C telur digunakan. Soliman et al (1986) mengemukakan bahwa kekurangan vitamin C telur akan menghambat sintesis kolagen. Pada kondisi induk defisiensi vitamin C ditemui banyak larva yang tumbuh abnormal dengan gejala-gejala badan ekor bengkok, maupun sirip ekor tidak berkembang sempurna. Biasanya larva demikian hidupnya tidak tahan lama. Rendahnya daya tetas telur dan tingginya larva abnormal yang dihasilkan dari induk yang menerima pakan defisiensi vitamin C seperti yang terdapat pada kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg ini ada kaitanya dengan ketersediaan energi, gangguan metabolisme lemak, dan gangguan pembentukan jaringan kolagen. Kolagen adalah senyawa protein yang berbentuk superheliks, yang terdiri atas asam amino glisin dan hidroksilasi prolin,
dan berfungsi sebagai penopang utama
integritas struktur jaringan tubuh (Soliman et al. 1986). Vitamin C dibutuhkan dalam reaksi hidroksiprolin sehingga kekurangannnya penyusunan tubuh.
cendrung melemahkan
struktur
Pembentukan jaringan kolagen dalam struktur tubuh dapat
59 diindikasikan dari perubahan rasio kadar hidroksilasi prolin dan prolin. Peranan vitamin C dalam pembentukan kolagen dapat terlihat dengan penurunan kandungan vitamin C saat perkembangan embrio dan larva. Hal ini terlihat jelas pada induk yang menerima pakan dengan suplementasi APM 1200 mg/kg pakan, kandungan vitamin C telur adalah 150.56 µg/g, kemudian menurun setelah telur menetas menjadi 120.74 µg/g, dan kemudian menurun lagi menjadi 80.68 µg/g setelah kuning telur habis.
Terjadi
penurunan kandungan vitamin C yang tajam bersamaan denganpembentukan hidroksilasi prolin pada saat perkembangan larva dari kondisi baru menetas hingga larva menghabiskan kuning telur , dimana pada masa ini terjadi aktivitas pembentukan jaringan kolagen lebih tinggi dibandingkan saat perkembangan embrio. Kuantitas kandungan protein dan lipida telur sangat mempengaruhi kualitas telur. Lipida sangat cepat menurun pada saat perkembangan embrio dan larva karena senyawa ini digunakan sebagai energi utama dalam penyusunan struktur jaringan tubuh. Ketersediaan vitamin C dalam ransum pakan ikan juga mempengaruhi metabolisme lipida selama siklus reproduksi dan kandungan lipida telur. Azwar (1997) mencatat bahwa lipida nonpolar (yang merupakan sumber energi utama dalam perkembangan telur dan larva) dari telur ikan nila yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C. Kondisi demikian sangat dibutuhkan pada saat awal siklus hidup ikan karena pada masa ini ketersediaan energi endogen sangat menentukan ketahanan hidup larva. Hal ini menyebabkan daya tetas telur dan ketahanan hidup larva yang dihasilkan dari induk-induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih baik. Berkaitan dengan energi, Azwar et al (2001) juga mencatat bahwa induk ikan bandeng yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 1500 mg/kg menghasilkan ketahanan hidup larva 5 hari, sedangkan induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C hanya 3–4 hari. Hal yang serupa ditemukan pula pada penelitian Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik. Variasi kadar vitamin C ovarium pada saat siklus reproduksi dari beragam spesies ikan telah dicatat oleh beberapa peneliti sehingga menimbulkan spekulasi kemungkinan pentingnya senyawa ini saat ovarium berkembang. Kandungan vitamin C ovarium pada perlakuan tanpa penambahan APM pada pakan, dari awal percobaan cendrung terus
60 menurun hingga hari ke-98 seperti yang terlihat pada kombinasi antara penambahan APM 00 mg/kg dan estradiol 00 µg/kg (perlakuan A), sementara untuk induk ikan yang menerima pakan dengan suplementasi APM 600, 1200, dan 1800 mg/kg pakan vitamin C ovarium meningkat hingga hari ke-56 dan kemudian menurun pada hari ke-98. (Gambar 15). Penurunan vitamin C ovarium pada induk ikan yang tidak ada penambahan APM pada pakan (perlakuan A) menunjukkan bahwa ikan lele tidak mampu mensintesis vitamin C dan sangat bergantung pada suplai dari luar. Jika ikan menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C dalam periode lama, kadar vitamin C dalam jaringan menurun. Kecepatan penurunan vitamin C bergantung pada waktu paruh biologis vitamin C di dalam jaringan. Waktu paruh biologis vitamin C dalam jaringan ikan trout mencapai 3 bulan (Tucker dan Halver, 1984). Hal ini menunjukkan bahwa jika suplementasi vitamin C rendah, penggunaan vitamin dalam jaringan akan ditekan sehingga penurunan vitamin C dalam jaringan lebih lambat dalam menjaga fungi sel. Namun, belum diperoleh data tentang standar minimal kandungan vitamin C ovarium untuk mempertahankan aktivitas reproduksi. Hasil penelitian Azwar (1997) pada ikan nila yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C menunjukkan kandungan vitamin C ovarium pada hari ke-18 sekitar 62.67 µg/g, kemudian menurun pada hari ke-72 mencapai 26.26 µg/g , sedangkan vitamin C ovarium ikan yang menerima pakan dengan suplementasi APM 3000 mg/kg pakan pada hari ke 18 adalah 188.85 µg/g, dan meningkat hingga hari ke-54, yaitu 358. 43 µg/g dan menurun pada hari ke-72, yaitu 349.26 µg/g. Percobaan yang dilakukan oleh Waagbo et al. (1989) mencatat bahwa kandungan vitamin C induk ikan trout yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C selama 6 bulan mencapai kisaran 11–39 µg/g, sebulan kemudian kandungan vitamin C ovarium menurun 2–5 µg/g, sedangkan kandungan vitamin C ovarium induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 2000 mg/kg mencapai 464–510 µg/g, sebulan kemudian kadar vitamin C menurun berkisar 206–314 µg/g. Sementara itu Ishibashi et al (1994) melaporkan bahwa pada induk ikan Oplegnathus fasciatus yang diberi pakan tanpa suplementasi vitamin C selama 6 bulan kandungan vitamin C ovariumnya mencapai kisaran 51.6–89.4 µg/g dan tidak dijumpai induk yang mengandung oosit vitelogenesis, sedangkan induk yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C 3000 mg/kg pakan mencapai 366.2 µg/g.
61 Kandungan vitamin C dalam ovarium juga sangat bergantung pada kadar vitamin C dalam pakan yang diberikan. Beberapa hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa ada kecendrungan peningkatan kadar vitamin C dalam ovarium hingga kapasitas tertentu sejalan dengan peningkatan kandungan vitamin C ransum pakan.
Penelitian Azwar
(1997) memperlihatkan bahwa induk ikan nila yang menerima pakan masing-masing dengan suplementasi APM 0, 750, 150, 2250, dan 3000 mg/kg pakan memperlihatkan kandungan vitamin C ovarium masing-masing sebesar 26.26, 295.90, 375.70, 370.27, dan 349.26 µg/g bobot ovarium. Tingginya kandungan vitamin C saat ovarium berkembang berkaitan dengan fungsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisin hidroksilase yang mengkatalis hidroksilasi prolin dan lisin, dan sangat esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat dalam ovarium (Cardinal dan Underfriend dalam Soliman et al. (1986). Kolagen merupakan penyusun utama dinding kantong kuning telur. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa terjadi akumulasi vitamin C di jaringan kolagen yang mengintari sel telur sehingga pada saat gonad berkembang, vitamin C digunakan untuk reaksi hidroksilasi pembentukan jaringan kolagen dari senyawa lisin dan prolin. Hasil analisis kandungan vitamin C pada telur serta larva 0 hari dan larva 2 hari menunjukkan bahwa kandungan vitamin C lebih tinggi pada telur, kemudian menurun setelah telur menetas menjadi larva. Fakta ini membuktikan bahwa vitamin C yang diberikan melalui pakan induk akan diakumulasikan oleh induk pada saat pembentukan telur dan dimanfaatkan saat perkembangan larva. Perbedaan kandungan vitamin C yang sangat besar terlihat pada induk ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg pakan dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) dibanding dengan induk ikan yang diberi kombinasi antara penambahan APM 0
mg/kg dan estradiol
0 µg/kg
(perlakuan A) pada telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari (Gambar 14 dan lampiran 16). Hal ini membuktikan bahwa vitamin C memang sangat dibutuhkan dalam perkembangan embrio dan larva, seperti pada pembentukan kolagen yang merupakan komponen utama pada kulit dan jaringan ikat serta zat-zat pembentuk tulang dan gigi, dan merupakan bahan dasar zat-zat yang terdapat di antara sel-sel.
Defisiensi vitamin C dapat
menyebabkan terganggunya sintesis kolagen yang menimbulkan penyakit (Pilliang, 2000). Sintesis kolagen meliputi proses hodroksilasi prolin secara enzimatik untuk
62 membentuk suatu komponen stabil, yaitu matriks ekstra seluler. Secara umum diketahui bahwa asam askorbat berfungsi untuk sintesis kolagen-kolagen yang rusak, dengan demikian merangsang pembentukan jaringan pengikat yang diperlukan untuk memperbaiki jaringan-jaringan yang rusak serta mempercepat pertumbuhan. Kuantitas kandungan protein dan lipida telur sangat mempengaruhi kualitas telur. Lipida sangat cepat menurun pada saat perkembangan embrio dan larva karena senyawa ini digunakan sebagi energi utama dan penyusun struktur jaringan tubuh. Suplementasi vitamin C dalam ransum pakan dapat meningkatkan kandungan lipida telur. Ketersediaan vitamin C dalam ransum pakan ikan juga mempengaruhi metabolisme lipida selama siklus reproduksi dan kandungan lipida telur. Hasil penelitian ini melaporkan bahwa total lemak pada telur meningkat sejalan dengan peningkatan dosis penambahan vitamin C. Azwar (1997) mencatat bahwa lipida nonpolar dari telur ikan nila yang menerima pakan dengan suplementasi vitamin C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang menerima pakan tanpa suplementasi vitamin C. Vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme lemak dan L-karnitin tubuh (Miyasaki et al. 1995). Vitamin C berperan dalam biosintesis karnitin, yaitu kofaktor yang dibutuhkan untuk aktivitas enzim hidroksilase pada mitokondria dan sitosol (Feller dan Rudman, 1988). Di dalam sel, karnitin berperan dalam transfer asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria untuk dikonversi menjadi energi melalui proses β-oksidasi Dengan demikian besarnya akumulasi vitamin C telur dari induk yang ditambahkan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lemak untuk penyediaan energi selama proses embriogenesis berlangsung, yaitu dari telur sampai larva menetas (larva umur 0 hari) dan selama perkembangan awal larva (sampai kuning telur habis) melalui proses β-oksidasi. Hal ini jelas terlihat dari besarnya jumlah vitamin C dan lemak di telur yang digunakan selama proses tersebut berlangsung, yaitu masing-masing 69.7 µg/g dan 14.71% untuk induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pakan dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), dibanding induk ikan dengan kombinasi APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A), yakni sebesar 5.93 µg/g dan 9.86 % (Lampiran16 dan Lampiran 18). Horning et al (1984) mencatat bahwa defisiensi vitamin C menyebabkan penurunan tingkat karnitin dalam jaringan, dan sebagai akibatnya terjadi penurunan produksi energi. Terjadinya penurunan
63 produksi energi ini dengan jelas terlihat dari besarnya persentase sisa lemak yang tertinggal pada larva umur 2 hari dari induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A), yakni sebesar 72% (Lampiran 18). Hasil penelitian Mokoginta et al. (2000) juga mencatat hal yang sama, yaitu terjadi penurunan kandungan lemak telur yang cukup besar selama proses embriogenesis berlangsung dan selama pertumbuhan awal larva (sampai kuning telur habis). Miyasaki et al (1995) memperlihatkan bahwa kandungan lemak jaringan tubuh ikan raibow trout yang menerima pakan dengan penambahan vitamin C selama 60 hari berbeda sangat nyata dari kandungan lemak awal setelah mengalami pelaparan selama 60 hari, sedangkan ikan yang menerima pakan tanpa penambahan vitamin C tidak memperlihatkan perbedaan kandungan lemak jaringan setelah masa pelaparan dibandingkan dengan kandungan lemak awal. Dengan optimalnya vitamin C dalam tubuh ikan, ketersediaan karnitin sebagai karrier cukup sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan lemak tubuh. Penambahan vitamin C dalam pakan ikan rainbow trout dapat meningkatkan kadar total karnitin di otot dan di hati. Vitamin C dapat mempengaruhi metabolisme lemak dan L-karnitin tubuh (Miyasaki et al. 1995). Vitamin C berperan dalam reaksi enzim hidroksilase sitosolik pada tahap II dan V jalur pembentukan karnitin (Feller dan Rudman, 1988). Lkarnitin merupakan komponen yang terdapat dalam jantung, otot kerangka, hati, dan beberapa jaringan lain.
Komponen ini berperan dalam transpor asam lemak ke
mitokondria, dimana asam-asam lemak akan dioksidasi yang akan diperlukan oleh sel-sel dan jaringan lainya (Piliang 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa karnitin disintesis dari lisin dan metionin oleh dua enzim hidroksilasi, dimana kedua enzim tersebut mengandung ferro dan L-asam askorbik. Defisiensi L-asam ascorbik dapat menurunkan produksi karnitin dan akan menyebabkan akumulasi trigliserida dalam darah, kelelahan, dan penyakit sariawan. Sebagaimana sudah diketahui bahwa salah satu fungsi vitamin C adalah sebagai zat antioksidan, yaitu dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak (Halver, 1989). Linder (1992) mengemukakan bahwa pada tingkat molekuler, vitamin C mempunyai sifat pereduksi seperti halnya vitamin E. Dalam keadaan demikian, vitamin C mempunyai sifat umum yang penting sebagai antioksidan. Sifat antioksidan ini akan melindungi lemak
64 dari proses oksidasi sehingga akumulasi lemak telur menjadi tinggi seperti yang dihasilkan oleh induk dengan kombinasi penambahan APM 1200 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan H), yaitu sebesar 43.12%. Namun, peningkatan kadar APM pakan yang lebih tinggi seperti pada kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) dengan nilai 44.45% tidak akan meningkatkan akumulasi lemak di telur yang lebih tinggi secara nyata dibanding telur dari induk yang menerima perlakuan sebelumnya. Lemak yang terkandung dalam telur selain digunakan sebagai sumber energi, juga dapat di konversi menjadi struktur membram sel atau senyawa lainnya seperti prostagladin (Watanabe, 1988). Dengan demikian kandungan lemak di dalam telur dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur kualitas telur yang dihasilkan oleh induk ikan. Dari hasil analisis fosfolipid (FL) pada telur, kandungan FL yang tertinggi dicapai oleh induk dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L). Fosfolipid mengandung asam lemak esensial yang sangat dibutuhkan pada perkembangan telur dan proses embriogenesis. Keberadaan asam lemak esensial pada membran sel dapat mempengaruhi sifat fluiditas membram sel serta berfungsi sebagai prekursor senyawa prostagladin yang berperan sebagai hormon. Prostagladin diketahui sebagai mediator kerja gonadotropin saat pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan (Lam, 1985). Prostagladin juga terlibat dalam peningkatan c-AMP yang dipicu oleh LH atau GTH-II. Dengan demikian, peningkatan fluiditas membran sel dan prostagladin telur akan menyebabkan aksi gonadotropin dalam pembentukan telur meningkat sehingga fekunditas meningkat. Asam lemak esensial yang terkandung dalam telur berpengaruh pada stadia awal embriogenesis dan akan menentukan apakah embrio tersebut akan berkembang atau tidak (Mokoginta, 1992) Hasil analisis protein telur, larva 0 hari, dan larva 2 hari menunjukkan peningkatan kandungan protein pada semua perlakuan (Gambar15 dan Lampiran 17). Hasil penelitian ini didukung oleh Ahmady (2001) pada ikan patin dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik, dimana ada kecenderungan peningkatan kandungan protein dari telur ke larva.
Hal ini berhubungan dengan dimulainya proses pembentukan jaringan
dan organ-organ tubuh pada saat telur menetas, seperti terbentuknya kepala, abdomen, dan ekor. Pada hari kedua terbentuk saluran pencernaan, mata, sirip dada, dan terjadi
65 penebalan pada rangka utama. Pada hari ke tiga saluran pencernaan dan mata sudah terbetuk dengan sempurna dan telah siap difungsikan. Pada saat ini cadangan energi berupa kuning telur telah habis karena telah digunakan dalam pembentukan jaringan hingga jaringan tersebut berfungsi. Cadangan energi yang ada adalah oil globule (butir minyak). Jika dalam waktu tertentu larva belum memperoleh makanan maka oil globule akan dimanfaatkan terus. Makin lama larva hidup dengan mengandalkan energi cadangan, makin baik kualitas larva tersebut. Dalam sintesis kolagen dibutuhkan senyawa protein yang berbentuk superhelik yang terdiri atas asam amino lisin dan hidroksilasi prolin sebagai penopang utama integritas struktur jaringan tubuh. Dari hasil analisis protein telur didapatkan bahwa kandungan protein tertinggi di peroleh pada induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 250 µg/kg (perlakuan K), yaitu sebesar 60.98, diikuti oleh induk ikan dengan kombinasi antara penambahan APM 1800 mg/kg dan estradiol 500 µg/kg (perlakuan L) sebesar 60.67, dan yang terendah adalah kombinasi antara penambahan APM 0 VC mg/kg dan 0 µg/kg (perlakuan A)
sebesar 53.72. Hasil ini menunjukkan bahwa
pemberian vitamin C dalam pakan akan ikut mempengaruhi proses vitelogenesis sehingga pada saat proses vitelogenesis berlangsung, vitamin C ikut mempercepat pembentukan lipoprotein yang merupakan bahan baku pembentukan kuning telur. Seperti diketahui bahwa komponen utama kuning telur adalah protein. Protein merupakan bahan utama pembentuk jaringan. Jika protein tidak mencukupi selama perkembangan embrio, seperti yang terlihat pada induk dengan kombinasi antara penambahan APM 0 mg/kg dan estradiol 0 µg/kg (perlakuan A), proses perkembangan embrio akan terganggu atau lebih jauh lagi akan menghasilkan larva yang abnormal. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penambahan APM dalam pakan turut meningkatkan rasio hidroksiprolin/prolin (HP/P) dibanding dengan perlakuan yang tidak dilakukan penambahan. Dalam hubungannya dengan pembentukan kolagen, maka salah satu cara untuk mendeteksinya adalah dengan melihat hasil pengukuran prolin dan hidroksiprolin serta ratio antara keduanya. Kalau rasio HP/P tinggi, peluang terjadinya pembentukan kolagen akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Penambahan vitamin C dalam pakan akan meningkatkan rasio HP/P di ovarium dan larva ikan, dibanding dengan tanpa penambahan vitamin C. Pola ini sama dengan yang ditemukan oleh Sato et al
66 (1982) dan Sato et al. (1987) yang memperlihatkan bahwa penambahan vitamin C dalam pakan pada benih ikan rainbow trout akan meningkatkan rasio HP/P yang dihasilkan baik di kulit maupun di tulang. Selanjutnya Sato et al (1991) mencatat pula bahwa bentuk vitamin C tidak mempengaruhi rasio HP/P di kulit dan di tulang benih rainbow trout. Penurunan rasio HP/P dari ovarium ke larva umur 0 hari dan larva umur 2 hari memperlihatkan terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis kolagen untuk menopang struktur tubuh embrio yang baru menetas. Tingginya rasio HP/P pada pakan yang disuplementasi vitamin C menunjukkan bahwa vitamin C dibutuhkan dalam sintesis kolagen. Prolin merupakan bahan baku utama untuk sintesis hidroksiprolin yang merupakan komponen utama penyusun formasi kolagen. Peranan vitamin C dalam sintesis kolagen dimulai dari proses hidroksilasi asam amino lisin dan prolin menjadi hidroksilisin dan hidroksiprolin . Proses ini melibatkan enzim prolin/lisin hidroksilase, O2, ion ferro (Fe ²+), α-ketoglutarat, dan vitamin C. Peranan utama vitamin C dalam reaksi ini adalah untuk mengubah ion ferri (Fe ³+) menjadi ferro (Fe ²+) atau untuk mempertahankan kondisi ferro (Masumoto et al. 1991). Sato et al (1987) melaporkan bahwa rasio HP/P dari benih ikan rainbow trout yang diberi pakan dengan penambahan vitamin C di tulang punggung adalah 0.84, sedangkan yang menerima pakan tanpa penambahan vitamin C sebesar 0.75. Nilai ini relatif sama dengan yang dihasilkan oleh larva 0 hari dan larva 2 hari dari induk yang menerima pakan dengan penambahan APM dan tanpa penambahan APM pada penelitian ini (Lampiran 19). Goodman (1994) mengemukakan bahwa kekurangan vitamin C cenderung melemahkan struktur penyusun tubuh dan akibatnya pertumbuhan larva menjadi tidak normal. Tingginya persentase larva abnormal yang dihasilkan oleh kelompok induk ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi APM pada pakan dibanding dengan kelompok induk ikan yang menerima pakan dengan penambahan APM berkaitan erat dengan peranan vitamin C dalam sintesis kolagen yang berguna menopang pertumbuhan tulang yang normal dari larva. Hasil penelitian Azwar (1997) menunjukkan bahwa penambahan vitamin C sangat nyata mempengaruhi persentase larva abnormal. Persentase larva abnormal menurun dari 16.74% pada pakan kontrol dan hanya 0.56% pada pakan yang ditambahkan APM sebesar 3000 mg/kg pakan. Demikian juga hasil penelitian dari Soliman et al. (1986) pada ikan Oreochromis mossambicus dan Makatutu (2002) pada ikan kerapu batik,
67 menghasilkan persentase larva abnormal rendah pada pakan yang ditambahkan vitamin C. Dari keseluruhan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara penambahan APM 1200 mg/kg pada pakan dan implantasi hormon estradiol 250 µg/kg adalah yang terbaik untuk induk ikan lele, dalam rangka mempercepat kematangan gonad dan menghasilkan kualitas telur dan larva yang tinggi. Peningkatan penambahan ascorbyl phosphate magnesium pada pakan induk ikan diketahui dapat meningkatkan kandungan vitamin C telur sehingga menghasilkan ketahanan hidup larva yang tinggi dan mengurangi larva abnormal.