HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.
Penentuan saat estrus kambing
didasarkan atas kesediaan betina menerima pejantan untuk kopulasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kambing-kambing PE percobaan yang estrus menampakkan tanda-tanda estrus (TTE) seperti vulva merah bengkak basah (VMBB), menggoyang-goyangkan ekor, mengembik terus menerus (ribut), mengintip pejantan, nafsu makan berkurang, urinisasi dan diam dinaiki. Betina yang estrus akan diam jika didekati dan dinaiki oleh pejantan. Sebagian betina dengan aktif mendekati dan menggosokkan badannya ke tubuh pejantan. Sebaliknya betina yang tidak estrus menolak pejantan untuk kopulasi dan segera lari jika didekati pejantan.
Tanda-tanda estrus menggoyang-goyangkan ekor biasanya muncul
apabila kambing pejantan pengusik berada didalam kandang kambing PE betina percobaan.
Betina yang tidak menampakkan TTE menggoyang-goyangkan ekor,
vulvanya akan dicium oleh pejantan pengusik lebih lama, seoleh-olah untuk memastikan bahwa betina tersebut benar dalam keadaan estrus. Tanda-tanda estrus VMBB yang diperlihatkan oleh kambing betina PE percobaan disebabkan karena meningkatnya suplai darah pada saat proestrus (Mc. Donald, 1989). Meningkatnya suplai darah dibagian vulva ini memberikan efek lebih hangat dibanding dengan vulva kambing yang tidak dalam keadaan estrus.
Hasil
pengukuran suhu rectal menunjukkan rataan suhu sebelum estrus 38OC dan waktu estrus 39.04OC.
Hasil pengamatan rataan lama estrus yang diperoleh dalam percobaan ini berkisar 31.8 jam sedangkan untuk rataan panjang siklus estrus 21.6 hari (Tabel 2).
Tabel 2. Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada kambing PE percobaan Panjang Siklus (hari)
Lama estrus
Nomor ternak
lntensitas estrus .....................................................
Skor
Kategori tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang
-
tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah tinggi sedang tinggi
-
F
tinggi sedang tinggi
-
Rataan (jam)
1
I
I
= Estrus ke 1,2 dan
Lama estrus yang panjang ditunjukkan oleh lama waktu aktivitas penerimaan seksual. Gejala estrus dan aktivitas penerimaan pejantan timbul akibat adanya rangsangan estrogen terhadap susunan saraf pusat. Hasil pengamatan lama estrus alamiah dari kambing percobaan ini masih berkisar pada angka 24 sampai dengan
48 jam seperti yang dinyatakan oleh Toelihere (1980 ) dan Hafez (1993) serta 25 sampai dengan 40 jam (Sutama, 1995). Lama estrus yang panjang diduga dipengaruhi oleh interval waktu antara awal estrus dengan peristiwa ovulasi dan jumlah ova yang diovulasikan. Semakin panjang interval waktu tersebut semakin panjang lama estrus (Hafez, 1993).
Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron Onset dan Keserentakan Estrus Data hasil pengamatan onset estrus pada kambing PE betina setelah diberikan implan CIDR-G yang mengandung progesteron 0.33 gram dengan lama implan intravaginal 7 dan 14 hari menunjukkan bahwa semua temak kambing PE betina percobaan telah menampakkan estrus pada kisaran waktu lebih kecil dari 24 dan 24 sampai dengan 48 jam (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14 hari terhadap onset dan keserentakan estrus
Perlakuan Lama implan
12
Total (ekor) Rataan (%) I, = lmplan 7 hari l2 = lmplan 14 hari
Jumlah temak (ekor)
Onset estrus estrus setelah spons dicabut c 24 jam
24 - 48 jam
12
5 (41.67)
7 (58.33)
23
9
-
14 33.13
60.67
Sebagian besar (60.67%) kambing PE percobaan memperlihatkan onset estrus pada kisaran waktu 24 sampai dengan 48 jam setelah penarikan CIDR-G
kejadian ini juga menggambarkan bahwa pada kisaran waktu tersebut (24 sampai dengan 48 jam) terjadi proporsi keserentakan estrus yang tinggi. Hasil uji-t (Lampiran 5) menunjukkan bahwa implan progesteron selama 7 dan 14 hari tidak menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap onset dan keserentakan estrus pada ternak kambing PE betina perwbaan. Respons yang sama baik terhadap onset dan keserentakan estrus ini, diduga dikarenakan oleh adanya keseragaman kondisi fisiologis yang terjadi di ovarium. Dengan demikian berarti proses perkembangan dan pematangan folikel serta ovulasi diantara individu kambing percobaan diduga berjalan dalam waktu yang relatif hampir sama.
Persentase Estrus Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan berhasil menginduksi estrus sebanyak 23 (95.83%) dari 24 ekor kambing PE percobaan (Tabel 4). Dalam pengamatan respons persentase estrus ini, tingkah laku estrus diam dinaiki (DD) oleh pejantan pengusik menjadi patokan untuk mengidentifikasi bahwa temak tersebut berada dalam keadaan estrus. Tabel 4. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap Jumlah ternak yang estrus Respons estrus Perlakuan Lama implan
Jumlah temak (ekor)
11
12
Tidak estrus (n,%) ---I 1 (91.96) 1 (8.33)
12
12
12 (100.0)
0 (0.0)
24
23 (95.83)
1 (4.17)
Total (ekor) I, = lmplan 7 hari l2 = lmplan 14 hari
............................................................................
Estrus
----
Selama implan berlangsung, dosis 0.33 gram progesteron cukup menekan aktivitas estrus dari sebagian besar ternak percobaan.
Hasil tersebut menunjukkan
bahwa preparat progesteron memiliki kemampuan untuk mencegah estrus. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Romano (1996) yang melakukan penelitian dengan menggunakan dosis fluorgestone 30 mg dan medroxy progesteron. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa telah terjadi penekanan perkembangan folikel oleh progesteron akibat umpan balik negatif FSH dan LH sehingga estrogen yang bertanggung jawab terhadap timbulnya manifestasi tingkah laku estrus kosentrasinya didalam darah rendah. Sebaliknya konsentrasi estrogen akan meningkat dalam waktu yang singkat apabila implan progesteron dilepas dan hambatan perkembangan folikel hilang akibat pelepasan FSH dan LH yang tadinya terbendung oleh progesteron. Selama implan ClDR berlangsung kadar progesteron dalam darah akan meningkat dan tetap stabil dipertahankan selama periode perlakuan.
Selama
konsentrasi horrnon progesteron dalam darah masih tinggi, folikel dominan dari gelombang perkembangan folikel sulit mencapai folikel ovulatorik. Respons estrus yang relatif sama baik antara lama implan ClDR 7 dan 14 hari diduga kemungkinan disebabkan karena pada saat perlakuan dimulai temakternak percobaan berada dalam kondisi fisiologis yang relatif hampir sama yaitu memiliki CL.
Dugaan ini didasarkan pada hasil pengamatan dua siklus estrus
ternak-ternak percobaan pada pra perlakuan. Data perkiraan kondisi fisiologis temak kambing percobaan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa 7 dan 6 ekor masing-masing untuk perlakuan lama implan progesteron 7 dan 14 hari dalam keadaan tidak estrus pada saat CIDR-G dipasang.
Hal ini menggambarkan bahwa proporsi jumlah ternak dengan kondisi fisiologis memiliki CL relatif hampir sama jumlahnya diantara kedua perlakuan yang ada. Kalau ternak-ternak percobaan berada dalam kondisi memiliki CL pada waktu memperoleh perlakuan, berarti pada saat yang bersamaan pula temak-ternak tersebut memiliki progesteron endogen.
Pernyataan ini juga mengandung arti
bahwa progesteron endogen dan eksogen dapat bekerja sama serta berhasil menekan estrus dari ternak-ternak percobaan tanpa memandang waktu lama implan ClDR yang mengandung progesteron 0.33 gram. Progesteron eksogen yang terkandung dalam ClDR akan bereaksi sama dengan progesteron dari CL melalui penekanan pada output gonadotropin dari adenohipofisis.
Adanya progesteron
eksogen ini nampaknya seperti membuat CL tiruan atau memberi kesempatan hidup dan fungsi dari CL menjadi lebih panjang. Hal ini dapat dibenarkan karena program sinkronisasi dengan menggunakan progesteron eksogen dalam penelitian ini berarti adalah upaya dari luar untuk meniru fungsi CL itu sendiri.
Kejadian ini dapat
dimengerti karena pada prinsipnya pelaksanaan sinkronisasi estrus adalah sesungguhnya merupakan kontrol daya hidup CL. Penghilangan perlakuan dalam percobaan ini akan mengakibatkan CL beregresi secara spontan. Proses hilangnya CL dalam kedua kelompok perlakuan ini berjalan relatif hampir sama , sehingga kejadian respons terhadap persentase estrus pada ternak-ternak tersebut baik yang mendapat perlakuan 7 maupun 14 hari spontan menunjukkan angka yang relatif hampir sama. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa implan CIDR-G yang mengandung progesteron 0.3 gram selama 14 hari memberikan respons persentase estrus yang relatif lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan lama implan 7 hari (91.67%). Tingkat sinkronisasi rendah pada perlakuan lama implan 7 hari (short
term) diduga ketika progesteron digunakan selama hari-hari pertama dari siklus estrus yang spontan, CL masih belum regresi sampai dengan akhir masa perlakuan. Tidak terjadinya regresi CL ini berarti tidak terjadi penurunan konsentrasi progesteron dalam plasma darah yang berhubungan dengan tingkah laku estrus. Dugaan ini didukung oleh pendapat dari beberapa peneliti yang menyatakan bahwa percobaan dengan menggunakan preparat progesteron eksogen dalam bentuk apa saja, jika dilakukan lebih dari tujuh hari (12 sampai dengan 16, rata-rata 14 hari) akan menghasilkan respons sinkronisasi estrus yang lebih bagus (Macmilan et all 1993 ; Johle et all 1993 ; dan Wherman et a/, 1993). Penjelasan ini juga mengandung arti bahwa semakin lama penggunaan progesteron eksogen berarti akan semakin meningkatkan persentase ternak yang estrus. Apabila ditinjau dari waktu yang diperlukan untuk menyerentakan estrus sekelompok ternak dan penghematan biaya pakan, maka lama implantasi CIDR-G selama 7 hari akan memberikan efisiensi yang lebih tinggi karena sisa progesteron pada kemasan ini dapat digunakan lagi pada kegiatan sinkronisasi berikutnya baik pada temak yang sama maupun temak yang lain. Hal inilah yang menjadi dasar penggunaan lama implan progesteron 7 hari pada percobaan tahap II. lntensitas Estrus lntensitas estrus adalah penentuan taraf aktifitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan terhadap temak-temak perwbaan.
Pengamatan intensitas estrus
tersebut dikategorikan dalam tiga tingkatan yakni 1) intensitas rendah, dimana ternak tersebut menampakkan T I E yang terinventarisir selama pengamatan dengan skor lebih kecil atau sama dengan 15 ; 2) lntensitas sedang, dimana temak
menampakkan TTE yang terinventarisir dengan skor lebih besar atau sama dengan 16 sampai dengan 25 dan 3) intensitas tinggi, dimana temak menunjukkan TTE yang terinventarisir dengan skor lebih besar atau sama dengan 26 sampai dengan 36 (Tabel 5). Tabel 5. Respons intensitas estrus sesudah perlakuan
Nomor urut*
Tanda-tanda estrus
Banyaknya temak Skor ............................................. 11 12 ---- &or, % ----
..
Total (ekor)
1
VMBB
6
11 (91.7)
12 (100)
23
2
Ekor digoyang-goyang
7
7(58.3)
8(66.7)
15
3
Lendir transparan
5
10 (83.3)
10 (83.3)
20
4
Mengembikterus-menerus
4
7 (58.3)
8 (66.7)
15
5
Mengintip pejantan
3
7(58.3)
9(75)
16
6
Urinisasi
1
4 (33.3)
6 (50)
10
7
Nafsu makan kurang
2
5(41.7)
5(41.7)
10
8
Diam dinaiki
8
ll(91.7)
12(100)
23
* Disesuaikan dengan TTE yang muncul terdahulu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua temak yang memperoleh perlakuan lama implan progesteron selama tujuh maupun 14 hari menampakkan intensitas estrus dalam tiga kategori (rendah, sedang maupun tinggi) dengan total nilai yang berbeda (Lampiran 7). Temak-temak yang masuk dalam kelompok perlakuan lama implan intravaginal progesteron tujuh hari menujukkan hasil intensitas estrus rendah, sedang dan tinggi masing-masing satu (9.1%), tiga (27.3%) dan tujuh ekor (63.6%).
Sedangkan untuk kelompok perlakuan 14 hari
memperlihatkan hasil satu (8.33%), dua (16.7%) dan sembilan (75%) masingmasing untuk tingkat rendah, sedang dan tinggi (Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap intensitas estrus kambing PE Perlakuan Lama implan (hari)
Respons estrus (ekor)
12
12 23
Total (ekor) 11 = lmplan 7 hari 12 = lmplan 14 hari
lntensitas estrus % , , . . . . A . A
...................................
Rendah
<.<<
..*.....,....,,.................,...,...,..,.,....,.,.....,...................,........,...,.,..,.,.
Sedang
Tinggi
I(8.33)
2 (16.67)
9 (75.00)
2 (8.70)
5(21.74)
16(69.57)
I
Baik jeleknya penampakan tingkah laku kawin yang dimanifestasikan dalam bentuk proses fenomena biologis maupun fisiologis (tingkah laku estrus) tersebut secara langsung dipengaruhi oleh mekanisme hormonal ovarium. Progesteron dan estrogen akan bekej a secara sinergis untuk menstimulir ovulasi dan menggertak pelepasan LH dari hipofisisis. Frekuensi pulsa LH meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan estrogen. Akibat turunnya progesteron akan meningkatkan rangsangan terhadap sekresi endogen yang selanjutnya dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH yang diperlukan untuk ovulasi. Mekanisme FSH dalam ovarium yaitu dengan jalan mengaktifkan reseptor-reseptor untuk FSH sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa FSH akan berikatan dengan reseptomya yang nantinya akan mengaktifkan enzim adenilat siklase sehingga CAMP intraseluler meningkat. Meningkatnya CAMP ini akan mengaktifkan enzim protein kinase yang dibutuhkan untuk berlangsungnya sintesis hormon steroid (estrogen) yang sangat dibutuhkan untuk tingkah laku estrus. Reseptor progesteron
ditemukan dalam sitoplasma sel sasaran diantaranya saluran telur, uterus, vagina dan sistem reproduksi lainnya pada hewan betina (Norman dan Litwack, 1987). Hasil uji-t (Lampiran 8) membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) antar perlakuan. Tetapi nampak ada kecenderungan bahwa lama implan intravaginal progesteron 14 hari menunjukkan hasil yang lebih baik (9 ekor masuk kategori intensitas tinggi) sedangkan untuk perlakuan lama implan 7 hari hanya 7 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas estrus temak yang disinkronisasi lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor perlakuan lama implan intravaginal progesteron.
Respons Angka Kebuntingan Terhadap Waktu lnseminasi Angka kebuntingan merupakan salah satu tolok ukur yang menentukan keberhasilan inseminasi.
Angka kebuntingan dipakai sebagai tolok ukur
keberhasilan inseminasi buatan karena lebih mendekati kebenaran dan memberikan gambaran yang tepat mengenai tingkat kesuburan atau fertilitas kelompok ternak perlakuan. Hasil perolehan rataan angka perkiraan temak yang bunting atau Non Retum Rate (NR) dalam penelitian ini adalah sebesar 36.67% (11 dari 30 ekor betina yang tidak estrus pada siklus berikutnya dan diperkirakan bunting) (Tabel 7). Pada perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus dijumpai tujuh (46.67%) dari 15 ekor temak yang diperkirakan bunting, sedangkan dari kelompok temak yang mendapat perlakuan waktu inseminasi dengan kisaran waktu 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus diperoleh hasil empat (26.67%) yang diperkirakan bunting. Semua angka perkiraan
kebuntingan yang dicapai oleh kedua kelompok perlakuan tersebut pada akhirnya menjadi angka tetap. Dengan kata lain bahwa temak yang barhasil bunting pada IB pertama dari kedua perlakuan berjumlah 11 ekor (CR 36.67%). Tabel 7. Respons angka kebuntingan kambing PE terhadap perlakuan waktu inseminasi Perlakuan Waktu inseminasi
2 temak yang di IB
wi
15
(ekor)
Total (ekor, %)
Banyak ternak yang bunting (ekor, %) 7 (46.67) 11 (36.67)
WI = 14-23 jam setelah onset estrus W2 = 27-34 jam setelah onset estrus
Rendahnya angka kebuntingan yang dicapai pada penelitian ini diduga disebabkan oleh sulitnya pelaksanaan inseminasi pada ternak kambing. Tingkat kesulitan IB pada kambing relatif tinggi dibandingkan dengan pada sapi, karena anatomi alat reproduksi kambing betina agak kecil dan berbelok ke arah bawah sehingga menyulitkan gun untuk mencapai tempat yang baik selain posisi cincin satu (mulut cervix) untuk deposisi semen. Sebagian besar temak percobaan yang diinseminasi deposisi semennya hanya mencapai mulut cervix.
Peristiwa ini tidak
menutup kemungkinan bahwa proporsi angka kebuntingan yang dihasilkan belum dapat mencapai angka yang diharapkan.
Rendahnya angka kebuntingan yang
diperoleh pada deposisi semen dimulut cervix dipengaruhi oleh terganggunya transpor spermatozoa waktu melewati cervix untuk mencapai uterus dan saluran telur khususnya sampai ke tempat terjadinya fertilisasi di ampula tuba fallopii. Deposisi semen di mulut cervix (vagina), spermatozoa akan didorong kearah bagian
dalam oleh kontraksi vagina.
Di dalam cervix, spermatozoa berenang melalui
mukus yang tipis dan berair.
Dalam penelitian ini diduga mukus inilah yang
merupakan kendala yang menghambat perjalanan spermatozoa.
Spermatozoa
tersebut agak sulit berenang di dalam mukus ini karena konsistensinya telah berubah dari bentuk cair mengarah ke bentuk yang lebih kenyal lagi. Perubahan tingkat kekenyalan dari mukus ini sebagai media tempat berenangnya spermatozoa diduga dipengaruhi oleh penggunaan tunggal preparat progesteron pada saat pelaksanaan sinkmnisasi estrus. Kelemahan penggunaan progesteron ini sangat jelas apabila temak langsung diinseminasi pada estrus pertama setelah perlakuan. Atau dapat juga dijelaskan bahwa rendahnya fertilitas yang dihasilkan setelah inseminasi dengan menggunakan semen beku dan deposisi semen di mulut cervix diakibatkan oleh kegagalan tercapainya jumlah spermatozoa yang cukup di dalam cervix bersamaan dengan terganggunya transportasi spermatozoa didalam saluran reproduksi kambing betina. Haryanto dkk (1977) menyatakan bahwa fertilitas temak yang disinkronisasi pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan estrus alami, karena transpor spermatozoa berlangsung kurang baik. Lebih lanjut Lindsay dan Pearce (1984) menyatakan bahwa kerugian utama dari sinkronisasi menggunakan preparat progesteron adalah fertilitas yang relatif rendah pada estnrs pertama setelah pelepasan alat. Kejadian ini mengikuti efek merusak transpor sperma dan survivalnya pada traktus reproduksi betina. Rexroad et a1 (1977), melaporkan bahwa penggunaan implan intravaginal 60 mg medroxy progesteron akan meningkatkan sekresi mukus selama estrus, sehingga mengurangi aktifitas pergerakan spermatozoa. Meningkatnya sekresi mukus akan mengusir spermatozoa dari tempat penampungannya di cervix dan akhimya berpengaruh terhadap penurunan angka fertilitas. Quispe et a1 (1994) menyatakan
bahwa penundaan inseminasi sampai pada estrus kedua setelah perlakuan dapat menaikkan angka konsepsi dari 29.7% menjadi 56.5%. Dugaan lain sebagai penyebab rendahnya angka kebuntingan kemungkinan disebabkan oleh sebagian dari ternak percobaan mengalami estrus tetapi tidak diikuti dengan ovulasi.
Sutama dan Budiarsana (1997) menyatakan bahwa 5
sampai dengan 10% temak mengalami estrus tetapi tidak disertai dengan ovulasi sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat konsepsi pada estrus pertama. Satu ha1 lagi yang diduga menjadi penyebab rendahnya angka kebuntingan yang dicapai dalam penelitian ini kemungkinan karena terjadinya perkembangan folikel yang tidak memenuhi syarat.
Fenomena ini dapat terjadi karena interval
waktu penghilangan perlakuan dengan penampakan estrus pertama kali dalam penelitian ini hanya berkisar antara satu sampai dua hari ; Hal ini tidak dapat dikatakan normal, sebab oosit yang dihasilkannya kurang baik sehingga menyebabkan rendahnya angka konsepsi yang tercapai. Interval waktu estrus satu sampai dua hari tersebut adalah bukan merupakan waktu yang optimal bagi suatu pertumbuhan dan perkembangan folikel serta ovulasi daripada folikel yang memiliki kualitas yang lebih baik atau fertil. Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk tahapan perkembangan folikel (pertumbuhan, seleksi dan dominasi), tetapi karena mengalami perlakuan maka tidak ada waktu yang optimal untuk menghasilkan kualitas oosit yang relatif lebih baik. Hasil uji-t (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P> 0.05) terhadap angka kebuntingan pada temak kambing percobaan. Dengan pengertian bahwa waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 atau 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus tidak menyebabkan perbedaaan terhadap angka kebuntingan pada ternak kambing
percobaan.
Namun nampaknya kelompok temak yang memperoleh perlakuan
waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus cenderung menghasilkan angka kebuntingan yang relatif lebih tinggi (46.47%) dibandingkan dengan temak yang diinseminasi dengan kisaran waktu 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus (26.67%). Adanya kecenderungan respons menghasilkan angka kebuntingan yang relatif lebih tinggi (46.67%) dan berada di atas angka memadai (40%) ini, ditunjukkan oleh kelompok temak yang waktu inseminasi pada kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus. Angka kebuntingan yang dicapai temak dalam di kelompok perlakuan inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus relatif lebih besar dibandingkan dengan hasil perolehan Sianturi dkk (1997) yang melakukan implan spons mengandung progestagen selama 8 hari pada temak kambing PE. Secara khusus juga dapat dijelaskan bahwa kondisi ini dapat terjadi karena kelompok tersebut dikawinkan pada kisaran waktu yang mendekati ketepatan waktu untuk pelaksanaan inseminasi bagi temak-temak yang estrusnya disinkronisasikan dengan progesteron. Waktu inseminasi yang disarankan tersebut berkisar antara 12 sampai dengan 18 jam setelah masuk periode estrus (Toelihere, 1981). Waktu ini ditetapkan karena pada prinsipnya pelaksanaan inseminasi harus mendahului ovulasi (24 sampai dengan 27 jam sesudah estrus) (Hafez, 1993).
Hal ini
disebabkan karena umur sel telur relatif singkat dan spermatozoa memerlukan waktu untuk kapasitasi di dalam saluran kelamin betina sebelum membuahi ovum. Cortell (1981") menyatakan bahwa disamping mutu dan deposisi semen dalam saluran reproduksi betina, keberhasilan IB dipengaruhi oleh faktor ketepatan waktu inseminasi karena proses fertilisasi dalam periode yang sangat terbatas.
Walaupun secara keseluruhan terlihat bahwa angka kebuntingan yang dicapai dalam penelitian ini masih di bawah angka optimal bahkan angka memadai, tetapi apabila dilihat dari sifat dan sasaran penelitian ini maka dapat dinyatakan bahwa proporsi angka kebuntingan (46.67%) yang dicapai oleh kelompok ternak yang mendapat perlakuan inseminasi dengan kisaran waktu 14 sampai dengan 23 jam setelah onset estrus telah menunjukkan keberhasilan. Nilai sumbangsih dari hasil angka kebuntingan ini akan turut memberikan kontribusi yang cukup baik terhadap laju perkembangan populasi kambing PE apabila dibandingkan dengan ternak yang dikawinkan secara alami tanpa diikuti dengan program sinkronisasi estrus. Sekelompok betina produktif tanpa mengalami periakuan,
berarti menampakkan waktu estrus yang
bervariasi.
Ketidak
seragamannya waktu estrus tersebut berarti menghasilkan waktu yang bervariasi pula untuk pelaksanaan waktu inseminasinya. Kejadian tersebut secara langsung telah turut mempengaruhi kesempatan dari induk produktif untuk menjadi bunting dan melahirkan dalam waktu yang relatif pendek (dekat). Kesemuanya ini akan mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan dalam sekelahiran. Berbeda dengan kelompok betina yang mengalami perlakuan, berarti memberikan kesempatan pada induk-induk tersebut untuk memperoleh penyeragaman waktu inseminasi, kemudian menjadi bunting dan melahirkan anak dalam waktu yang relatif hampir sama dan kemungkinan interval beranaknya diperpendek. Kesempatan untuk bunting secara keseluruhan akan meningkat apabila dilakukan inseminasi ulang pada periode estrus berikutnya. Angka persentase melahirkan yang dicapai dalam penelitian ini yaitu 11
(36.67%) dari 30 ekor betina yang diinseminasi pertama berhasil bunting dan melahirkan anak sebanyak 11 ekor dengan kidding size sebesar satu (Lampiran 10).
Jumlah anak per induk dalam sekelahiran (Kidding size) berkaitan erat dengan sel telur yang diovulasikan dan yang berhasil dibuahi serta kemampuan hidup dari embrio (Hulet dan Shelton, 1980). Sedangkan menurut Subandriyo (1986) faktor yang mempengarwhi jumlah anak dalam sekelahiran pada kambing adalah bangsa, umur induk, nutrisi dan lingkungan. Rendahnya kidding size yang diperoleh dalam percobaan ini diduga kemungkinan disebabkan oleh faktor umur dan tipe kelahiran (tunggal ataupun kembar).
Kambing PE merupakan temak yang mempunyai kemampuan
menghasilkan anak lebih dari satu ekor (prolifik), namun pada kelahiran pertama sering tejadi kelahiran tunggal (Setiadi dan Sitorus, 1985). Namun secara umum kidding size yang diperoleh dalam penelitian ini berada dalam kisaran angka seperti yang dinyatakan oleh Devendra dan Bums (1983) dimana jumlah anak yang lahir dalam sekelahiran pada kambing-kambing tropis berkisar antara 1.0 sampai dengan 2.1 ekor. Dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas, jelas tergambar bahwa untuk memperoleh efisiensi reproduksi yang mencerminkan keberhasilan atau optimalisasi IB tidak lepas dari beberapa faktor yang kesemuanya saling berkaitan satu sama lainnya. Faktor-faktor tersebut menurut Toelihere (1997) adalah 1) Kesuburan bibit (semen) pejantan (J) ; 2) Kesuburan betina akseptor IB (B) ; 3) Ketrampilan inseminator berserta teknisi lainnya (I) dan 4) Pengetahuan zooteknik petemak (P). Apabila semua faktor tersebut benar pada tingkat optimal (2 80%) maka hasil akhir program IB akan mendatangkan peningkatan efisiensi reproduksi dengan peningkatan angka kebuntingan secara keseluruhan dalam kelompok temak yang ditangani.