BAB IV HASlL DAN PEMBAHASAN 4.1
Reidentifikasi lsolat Berdasarkan pengamatan morfologi kdoni, pada media padat agar darah
tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemoliik menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemdisis darah. Pada media THB, isolat menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A diunjukkan dengan tumbuhnya koloni dius pada media soff agar (SA) menjadi kompak pada
semm soff agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positii lemah pada sel darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil idenfikasi terdahulu oleh Abrar (2000).
4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aumus
Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit bewama putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mend kontrol. Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. a u m s tidak menimbulkan perubahan secara klinis. Keadaan ini tidak berbeda dengan yang terjadi pada ambing sapi penderita mastiis subklinis, yaitu tidak terlihat gejala peradangan.
Ketika kult bagiin ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mend yang diinfeksi S. aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mend 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan ini. Hiperemi pada pernbuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada kelompok mend 2 jam sampai dengan 36 jam pasm infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitamya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang tejadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar ambing.
4.3
Histologi KelenjarAmbing Mencit Normal Struktur kelenjar ambing mencit menrpakan bagian dari kulit yang terdiri atas
lapisan supenisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis terdiri atas jaringan ikat. Se!umlah kelenjar sebasius tampak bejajar di sepanjang lapisan kuli. Kelenjar ambing mend normal (kontml) memperlihatkan gambaran sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000). Struktur kelenjar arnbing mend normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1). Dalam keadaan aktif, sel eptel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu) disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak
kasar. Singh (1991) menjelaskan, bahwa protein yang terdapat dalam sitoplasma
sebagai unsur yang rnembentuk bagian sekret dikpaskan dari sd melalui
Garnbar 1. Struktur kelenjar ambiig mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo9Iwl krisi sekresi susu.(HE 86 X) Pernbuluh darah clan kapiler terdapat pada jaringan interstitiurn (stmma) di antara alveolalveol. Beberapa ahred bersatu membentuk suatu struktur lobulus yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstiurn juga rnengandung jaringan ikat longgar dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sei lemak akan mduas membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenja; t i a k aktii untuk menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi. Susu diilurkan dan ahreol sampai ke glandula sistema dalarn suatu sistem duktw yang disebut ductus laciifems yang mempunyai susunan selapis sel epitel yang lebih kompak dilengkapi dengan.jaringan ikat berupa mernbrana basalis yang
labih tebal. Dari ductus l a & ~ s , susu dialirkan rnenuju kistema atau d u b s yang lebi besar sebagai saluran pengumpol. Dengan pewamaan
HE, inti sel tampak
berwama biru tua sedangkan sitoplasma bemema merah keunguan. SeCsel epiitel tubulus mengambil wama M i h kuat dibandingkan dengan sel epitel ahred kelenjar ambing, sedangkan sekresi susu tampak berwama merah muda keunguan dengan globula lemak bsrupa ~ a n g - ~ a nkosong g berwarna putih di dalam lumen ahreol (Gambar 2).
Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mend normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung bewama putih (HE 350 X) 4.4
Perubahan Histopatologis Kelenjar Ambing Mencit Laktasi setelah Diinfeksi oleh S. auntus. Perubahan histopatologis pada jaringan ambing mencit yang diamati adalah
respon jaringan setelah mend diinfeksi dengan S. aureus. Pengamatan menggunakan pewamaan HE pada kdompok 2 jam pasca infeksi mempedihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-atveoter. SeC
sd epitel a l v d mulai mengalami hiperplasia. ShuMur kelenjar ambing, sekresi susu dan globula lemak Wak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelenjar
ambing m
d kontrol.
Belum tampak adanya pernbenhrkan jaringan lemak (fat
pad). Susunan W j a r masih dalam batas normal. Pada lumen ahFed tampak adanya seCseI deskuamasi dan sel epitel a l v d mulai mengalami degenerasi dan peradangan yang tidak berbeda nyata (P~0.05)bila dibandingkan dengan kebnjar ambing mencii kontrol (Garnbar 3).
Ernpal jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitiurn dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diipedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear
(PMN) pada jaringan
interstitiurn. Arsitektur kelenjar, sekresi susu dan &inflamasi maSih dalam batas normal (P>0.05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactive~s sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.
Gambar 3. Hiperplasia sel epitel a l v d (tanda panah) serta dilatasi pernbuluh darah (tanda bintang) pada jaringan ambing mencit yang diinfeksi S. aureus 2 jam p.i. (HE 86 X).
Pada 6 jam pi., edema jaringan interstitiurn dan pembendungan pembuluh darah masih tedihat dan infikrasi PMN b e m a s a m a dengan makrofag semakin banyak terjadi pada jaringan interstitium, mernbentuk pusat-pusat radang.
-
Degenerasi sel epitel tampak makin jelas, diindai dengan hilangnya sbuktur normal
sel. Sel epitel mengalami v a k u o l i i dan terjadi perubahan intensitas wama sitoplasma sel menjadi lebih merah dan inti mengeul mengambil wama lebih gelap dengan HE. Tampak inti menghilang pada beberapa sel (Gambar 4). Tejadi penurunan sekresi susu yang tidak nyata (P>0.05) dan retensi susu pada tubulus.
Gambar 4. Oegenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infinrasi set radang (tanda bi&ng) pada 'pusat-pusat &ang 6 jam p.i. (HE 350 X). Pada kelompok mend 8 jam p.i.. reaksi peradangan tampak berbeda nyata (P<0.05) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun arsitektur kelenjar dan sekm susu masih dalam batas normal (P>0,05). Pada saat ini, jaringan interstitium masih mengalami edema dan tejadi vasodilatasi pembuluh darah inter-alveolar.
Hiperplasia sel eplel alveol masih terlihat sampai 12 jam p.i. disertai dengan reaksi peradangan dan nekrosis sel epitel yang nyata (PcO.05) dibandingkan dengan kontrol. Tampak adanya penurunan sekresi susu karena berkurangnya jumlah sel epitel dan alveol yang aktif (Reid et a/. 1976) dan pembentukanjaringan lemak (fatpad) yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol. Reaksi peradangan masih tampak nyata (P<0,05) sampai 16 jam p.i.. Tejadi perubahan arsitektur kelenjar, sekresi susu, pembentukan fat pad, deskuamasi, degenerasi dan nekrosis, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) jika dibandinglan dengan men& kontrol. Demikian juga pada kelompok men& 20 jam p.i., walau reaksi peradangan tampak menurun dan tidak b e M a nyata (P>0,05) jika dibandinglan dengan mencl kontrol. Pada 24 jam p.i. terjadi degenerasi sel-sel epitel yang nyata (P<0,05) jika dibandinglan dengan mencit kontrol. Arsitektur dan sekresi masih dalam batas normal (P>0,05) sampai 36 jam p.i. Mulai 48 jam p.i., tampak adanya pembentukan fat padyang nyata (Pc0,05) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol serta tejadi penurunan sekresi susu yang nyata (P<0,05) mulai 60 jam p.i. Hasil uji statistik pada Tabel 1 mempellihatkan struktur kelenjar ambing mencit kontrol berbecia tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) mempellihatkan struktur kelenjar yang berbeda nyata (Pc0.05) bila dibandingkan dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i. Penurunan jumlah alveol yang aktii tejadi pada kelompok men& 60 sampai 96 jam p.i. (Pe0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat tejadinya degenerasi dan nekrosa.
menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen a l v d dan keutuhan epitel menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan susu di dalam lumen ahreol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika disertai dengan tejadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan pengaliran susu dapat tejadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat banyaknya re~rituhansel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i. Tabel 1. Hasil uji statistika arsitektur, kemarnpuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kelenjar ambing men& se?elahdiinfeksi S. aureus (Hematoksilin - Eosin).
Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom pada masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.005). Globula lemak tidak menunjukkan perubahan pada semua pellakuan dibandingkan dengan kelompok kontrd, namun terdapat penurunan yang nyata (Pc0.05) pada kelompok 72 dan 96 jam p.i dibandingkan kelompok 6 dan 8 jam p.i. Hal ini sejalan dengan berkurangnya sekresi susu (P<0,05) pada kelompok 60 sampai 96 jam p.i. dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mend 60, 72 dan 96 jam p.i
dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan sekresi susu tetjadi karena berkumqnya jumlah kelenjar yang aktif dan tejadi atrofi kelenjar ahred (Gambar 5).
Gambar 5 : Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkan penurunan sekresi susu pada mend 60 jam setelah diinfeksi S. aureus. Tanda panah menunjukkan atrofi kelenjar. (HE 350 X). Deskuamasi pada jaringan kelenjar ambing mend kontrd tidak menunjukkan adanya perbedaan (P>0.05) dibandingkan dengan mend yang diinfeksi S. aureus. Deskuamasi tampak nyata (P<0,05) pada kelompok 60 dan 72 jam p.i bila dibandingkan dengan kelompok mend 2, 4 dan 6 jam p.i. Peningkatan jumlah sel-
sd deskuamasi juga terjadi secara nyata pada kelompok 48 jam p.i. dibandingkan dengan 6 jam p.i. Sel-sel yang mengalami deskuamasi diiemukan di dalam lumen alved sebagai sel yang bentuknya tidak spesifik atau membulat dengan inti bulat atau kadangkala diiemukan tidak berinti. Sel-sel deskuamasi merupakan sel epitel
.
ahred yang sudah mati karena degenerasi dan nekmsis sebagai respon jaringan
temadap infeksi olah S. aurws yang berkolonisi pada sel epitel. Tampak pada Garnbar 6, dinding ahred sudah tidak utuh karena sebaglan sel epitel Nntuh menjadi
sel-sd deskuamasi. Estuningsih (1998) menyatakan bahwa epitd ahreol lebih cocok sebagai tempat rnelekat dan berkoloninya bakteri karena memiliki reseptor untuk hemaglutinin. Sel-sel deskuamasi kemudian digantikan oleh sel epitel baru, tejadi terutama pada epitel alvenl.
Gambar 6. Sel-sel deskuamasi (tanda panah) pada lumen ahreol kelenjar ambing 48 jam p.i. (HE 350 X). Degenerasi terlihat nyata (P<0,05) pada kelompok mencit 24 jam p.i. dibandingkan dengan kontml dan kelompok 60 sampai 96 jam p.i. (Gambar 7). ditandai dengan perubahan struktur n m a l sitoplasma sel dan selanjutnya dapat tejadi nekmis. Nekmsis sel-sel epitel terlihat nyata (P<0,05) pada 12 jam p.i. (Gambar 8) jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. kelompok 2.60. 72. 84 dan 96 jam p.i. yang diikuti dengan mengecilnya lumen alve6l dan bahkan menghilang.
menyebabkan terhentinya produksi susu. SeCsel radang b e ~ p sel a pdimorfonukkar (PMN), makrofag dan tirnfosit menginfiltrasi fokus peradangan. Peradangan sudah tellihat sejak 2 jam hingga 96 jam p.i. dan terlihat nyata (Pc0.05) pada 8 sampai 16 jam p.i. (Gambar 9).
-
Gambar 7. Degenerasi sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi S. atireus 24 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah. (HE 350 X). Sebagai akibat terjadinya nekrosis pada kelenjar ambing, terjadi proses penggantian jaringan nekrosis deh jaringan lemak (fat pad) yang nyata (Pc0.05) terlihat pada kelompok mencit 48 hingga 96 jam p.i. (Gambar 10). Jaringan lemak terbentuk dari globula lemak yang terdeposisi pada sitoplasma sel dalam jumlah besar (Spector dan Spedor 1993) dan karena se4 epitel mengalami degenerasi dan nekrosis, maka lemak membentuk jaringan berupa fat pad.
Ga...:-r
8. Nekrosis'sel-sel e,..". ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus 12 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah.(HE 350 X).
Gambar 9. Sel-sel radang (PMN) menginfiltrasi fokus peradangan, terjadi di sekeliling ahreol yang mengalami a h t i (tanda panah) 48 jam p.i. (HE 350 X).
Gambar 10. Pembentukanjaringan lemak (fatpad) (tanda panah) menggantikan kelenjar ambing yang mengalami nekrosis dan atrofi akibat infeksi S. a u w s 60 jam p.i. (HE 43 X). Kemampuan S. aureus berkolonisasi pada puting ambing maupun pada saluran-saluran kelenjar ambing menyebabkan bakteri mampu beradaptasi dan bertahan hidup pada susu dan selanjutnya bakteri menyebar sampai pada saluran di atasriya bahkan sampai ke alveol serta hidup dan berkembang pada jaringanjaringan ini (Sandholm et a/. 1991). Dengan teknik pewamaan Warthimstany. keberadaan bakteri S. aumus dapat dilacak sebagai tiiik-titik kokus betwama coklat tua hingga h i m di dalam sel maupun jaringan interstiiium. Sioplasma sel terlihat berwama kuning hingga kecddatan dengan inti berwama coklat. Pada kelomkk 2 dan 4 jam p.i., bakteri tampak pada jaringan kuli dan puting ambing. Beberapa bakteri jug9 sampai pada kelenjar akar rambut. Adanya bakteri pada jaringan interstitiurn dapat dilihat mulai 6 jam setelah diinfeksi S. aureus dan terlihat adanya bakteri berbentuk kokus yang telah diiositosis.,oleh PMN dan
makrofag 8 jam p.i. (Gambar 11). Hal ini sesuai dengan hasil p e n d i n Anderson dan Chandler (1975). bahwa fagositosis oleh neutrofil terhadap bakteri yang diinokulasikan pada kelenjar ambing terjadi mulai 6 jam pasca infeksi. Pada saat ini terjadi d i i e s i s seCsel leukosit sebagai respon pertahanan tubuh inang terhadap infeksi. Mulai 12 jam setdah diinfeksi deh S. aureus, bakteri tampak sudah sampai ke lumen. Neutrotil mengalami perubahan yang bersifat degeneratif sehingga terjadi peningkatan jumlah bakteri S. aureus (Anderson dan Chandler 1975). Bakteri juga ditemukan pada sel epitel alveol disertai infiltrasi sel-sel radang, degenerasi. nekrosis dan deskuamasi epitd alveol (Gambar 12). Sdanjutnya terjadi at&
sel
epitel dan lumen alveol mengedl mengakibatkan sekresi susu berkurang dan akhimya berhenti. Gambaran ini terlihat hingga 96 jam p.i.
Gambar 11. Bakteti S. aureus yang tdah diigositosis dalam PMN (tanda panah), 8 jam p.i. (Warthin-Starry, 860 X).
Gambar 12. Bakteri S. aureus (tanda panah) pada epitel dan lumen alveol menyebabkan degenerasi, nekrosis dan atroti kelenjar 48 jam p.i. (WarthhStany860 X).
Gambar 13. Bakteri S. aueus (tanda panah) dalam jaringan lemak (fat pad) 72 jam p.i. (Warthinstany 860 X)
Bakteri juga tampak pada jaringan interstiiium (6 jam p.i), fokus peradangan,
PMN dan makrofag 8 jam p.i) dan fat pad (48 jam p.i). Pada jaringan lemak, bakteri dgpat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebagai penyebab rnatiiis yang bersifat subklinis dan kronis (Gambar 13). Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan pada jaringan kelenjar ambing yang diinfeksi deh S. aureus terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan perubahan jaringan yang diinfeksi oleh S. agalacbae pada peneliian Estuningsih (2001). Hal ini mungkin terjadi karena faktor-faktor virulensi yang dirniliki oleh S. aureus, misalnya keberadaan protein A dan kapsul polisakarida yang dapat menghambat tejadinya proses fagositosis, enzim hyalumnidase yang mernpermudah bakteri menginvasi jaringan, adesin fibmnectin memudahkan perlekatan bakteri pada sel inang (Nelson et a/. 1991) dan adanya coagulase dan clumping factor mernbantu bakteri untuk rnenghindar dari respon kekebalan inang serta toksin yang dihasilkan S. aureus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan pada jaringan kelenjar ambing (Anderson dan Chandler 1975).