BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
1.
Kondisi Awal
a.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1) Kondisi Kewilayahan Luas wilayah Kelurahan Maleber Kecamatan Andir Kota Bandung sebesar 53 Ha atau 530.000 m2, terbagi kedalam wilayah permukiman sebesar 48,5 Ha, perkantoran sebesar 1 Ha dan untuk prasarana umum sebesar 3,5 Ha.
Gambar 4.1. Peta Kelurahan Maleber Kecamatan Andir Kota Bandung B Sumber : LPM Kelurahan Maleber 148
Batas wilayah Kelurahan Maleber sebelah utara berbatasan dengan jalan/rel kereta api/Kelurahan Husen Sastranegara, sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Jenderal Sudirman/ Kelurahan Cijerah, sebelah barat berbatasan dengan Sungai Cibeureum/Kelurahan Campaka dan sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Cikeueus/ Kelurahan Garuda. Pembagian wilayah Pemerintahan terbagi kedalam 11 Rukun warga (RW) dan 62 Rukun Tetangga (RT).
2) Kondisi Geografis dan Orbitasi Keadaan topografi Kelurahan Maleber merupakan dataran rendah, berada pada ketinggian kurang lebih 700 meter diatas permukaan air laut (DPL). Meskipun demikian Kelurahan Maleber merupakan kawasan bebas banjir, dengan curah hujan 2.400 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 18 – 28 derajar celcius. Orbitasi atau jarak pusat pemerintahan kelurahan dari Pusat Pemerintahan Kecamatan adalah 0,3 KM, dari Ibu Kota Bandung 7 KM, dari Ibukota Provinsi Jawa Barat 10 KM dan dari Ibu Kota Negara 120 KM.
3) Kondisi Demografis Jumlah Penduduk Kelurahan Maleber pada bulan Desember 2007 adalah sebanyak 16.095 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 7.996 orang dan perempuan sebanyak 8.099 orang. Semuanya berstatus Warga Negara Indonesia, dengan jumlah Kepala Keluarga mencapai 4.094 KK. Data tersebut menunjukkan bahwa (1) jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki, namun perbedaannya tidak
149
terlalu besar; (2) jumlah penduduk yang sudah berkeluarga mencapai sekitar 50% dari keseluruhan jumlah penduduk. Penduduk Kelurahan Maleber cukup heterogen dilihat dari agama yang dianut, dimana sebagian besar penganut agama Islam sebanyak 14.892 orang (80,10%), Kristen sebanyak 832 orang (5,17%), Katholik sebanyak 197 orang (1,22%), Hindu sebanyak 87 orang (0,54%) dan Budha sebanyak 86 orang (0,53%). Disamping itu terdapat 2.001 orang (12,43%) penduduk yang tidak tercatat sebagai penganut dari kelima agama tersebut. Selengkapnya data mengenai penganut agama dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Agama Di Kelurahan Maleber Agama
F
Islam 12.892 Kristen 832 Katholik 197 Hindu 87 Budha 86 Lain-lain (tidak tercatat) 2.001 Jumlah 16.095 Sumber : Monografi Kelurahan Maleber, 2007
% 80.10 5.17 1.22 0.54 0.53 12.43 100.00
Heterogenitas penganut agama seperti nampak pada tabel diatas, pada dasarnya merupakan potensi yang positip khususnya dikaitkan dengan penanganan masalah penyalahgunaan NAPZA jika pemuka-pemuka agama dapat berperan secara memadai dalam membina umatnya berdasarkan ajaran agama yang melarang penyalahgunaan NAPZA atau zat yang memabukkan. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 2.744 orang (17,05% ) penduduk Kelurahan Maleber adalah lulusan sekolah dasar, 2.250 orang (13,98%) 150
berpendidikan lulusan SLTP, 1.950 orang (12,12%) lulusan SLTA, 303 orang (1,9%) lulusan akademi dan 317 orang (2%) lulusan perguruan tinggi S1 sampai dengan S3. Disamping itu, terdapat 53% penduduk yang tergolong lain-lain, termasuk didalamnya adalah penduduk yang belum sekolah, tidak mengikuti sekolah formal dan tidak menamatkan sekolah dasar. Selengkapnya data mengenai pendidikan penduduk dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Di Kelurahan Maleber Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan f Taman Kanak-Kanak 0 Sekolah Dasar 2.744 SMP/SLTP 2.250 SMA/SLTA 1.950 Akademi (D.I - D.III) 303 Sarjana (S.1 - S.3) 317 Lain-lain (tidak tercacat) 8.531 Jumlah 16.095 Sumber : Monografi Kelurahan Maleber, 2007
% 0.00 17.05 13.98 12.12 1.88 1.97 53.00 100.00
Berdasarkan tabel diatas dapat dinyatakan bahwa penduduk kelurahan Maleber yang menamatkan pendidikan tinggi baru mencapai 3,85% dan bisa diprediksi dalam kurun waktu lima tahun kedepan penduduk yang berpendidikan tinggi bisa mencapai 15,97% jika yang berpendidikan SLTA saat ini melanjutkan ke pendidikan tinggi. Kondisi tingkat pendidikan penduduk Maleber sebagian besar dibawah pendidikan tinggi dan terdapat ketidakjelasan status. Jika dikaitkan dengan penanganan masalah penyalahgunaan NAPZA, maka hal ini merupakan peringatan akan perlunya perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh serta tepat 151
didalam mengembangkan kepasitas penduduk agar memiliki kemampuan mencegah penyalahgunaan NAPZA. Pendidikan merupakan indikator prasyarat bagi umumnya jenis pekerjaan yang berkualitas. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk umumnya berpengaruh terhadap kepemilikan pekerjaan penduduk dan lebih jauh mempengaruhi penghasilan serta kesejahteraan penduduk. Jumlah penduduk Kelurahan Maleber yang bermatapencaharian dan berpenghasilan mencapai 42,98%, suatu angka yang lebih besar dari jumlah kepala keluarga di kelurahan Maleber yang mencapai 4.094 orang (25,44%). Artinya bahwa diluar yang berstatus kepala keluarga terdapat penduduk yang bermata pencaharian dan berpenghasilan termasuk didalamnya para pensiunan yang mencapai 8,38%. Jumlah penduduk Kelurahan Maleber menurut mata pencaharian dapat disimak pada tabel berikut ini. Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Di Kelurahan Maleber Mata Pencaharian PNS TNI POLRI Pedagang Seniman Pertukangan Perbengkelan Penjahit Konveksi Sablon Reparasi elektronik Rental komputer Salon kecantikan
f
% 2.019 97 14 3.208 7 44 78 22 8 9 12 4 39
12.54 0.60 0.09 19.93 0.04 0.27 0.48 0.14 0.05 0.06 0.07 0.02 0.24 152
Mata Pencaharian f Tukang cukur 9 Pensiunan 1.348 Lain-lain 9.177 Jumlah 16.095 Sumber : Profil Sketsa Kelurahan, LPM, 2007
% 0.06 8.38 57.02 100
Menurut tabel diatas, jenis mata pencaharian terbesar (19,93%) penduduk Kelurahan Maleber adalah pedagang, kemudian pegawai negeri sipil sebesar 12,54%. Namun terdapat 57,02% penduduk yang berkategori lain-lain, termasuk didalamnya adalah penduduk yang tidak memiliki pekerjaan tetap, penganggur, dan penduduk yang belum bekerja. Jika dikaitkan dengan penanganan masalah penyalahgunaan NAPZA, maka penduduk yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan penganggur bisa dipandang merupakan penduduk rawan terhadap pengaruh negatif peredaran gelap NAPZA yang menjanjikan keuntungan tidak legal dibidang finansial.
4) Kondisi Sosiografis Kondisi sosiografis secara khusus menjelaskan tentang bagaimana pengelompokkan kelembagaan yang ada di kelurahan Maleber. Pengelompokkan kelembagaan yang ada di Kelurahan Maleber antara lain : a) Lembaga Pemerintah (kelurahan) 11 RW, 62 RT b) Lembaga kemasyarakatan antara lain : 1 Karang Taruna, 1 Organisasi Pemuda, 1 PKK, 1 Majlis Talim, 1 LPM. c) Kelembagaan politik 5 Partai ( Golkar,PDIP,PPP,PAN, PKS). d) Kelembagaan Ekonomi : 1 Koperasi, 2 Rentenir, 2 Industri Makanan, 4 Industri pakaian, 1 Industri Mebel, 35 Usaha perdagangan, 9 Warung makan, 48 Toko, 1 Swalayan, 1 Percetakan. e) Lembaga Pendidikan : 3 TK, 2 SD, 1 SLTA, 1 Kursus bahasa, 1 Kursus jahit dan 1 Kursus Komputer. f) kelembagaan Keamanan : di 62 RT, 110 LINMAS (Perlindungan Masyarakat), 21 Pos kamling. 153
g) Lembaga Kesehatan : 1 RS, 2 Balai pengobatan, 10 Dokter Praktek, 5 Apotik, 13 Posyandu h) Lembaga Keagamaan : 31 Mesjid dan Musolla, 2 Gereja. (Sumber : Monografi Kelurahan Maleber, diolah 2007) Keberadaan berbagai kelembagaan tersebut diatas menunjukkan bahwa Kelurahan Maleber telah dilengkapi dengan berbagai sumber fasilitas yang cukup lengkap, yang berfungsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan penduduk dibidang pemerintahan,
kemasyarakatan,
politik,
ekonomi,
pendidikan,
keamanan,
kesehatan, dan keagamaan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk suatu masyarakat mengalami permasalahan tertentu sebagai akibat tidak aksesnya penduduk terhadap berbagai pelayanan yang diberikan oleh berbagai sumber pelayanan atau kondisi sumber pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan penduduk tidak berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Suatu masalah yang muncul didalam masyarakat biasanya sebagian diakibatkan karena tidak atau kurang berfungsinya sumber pelayanan yang ada untuk mencegah masalah tersebut muncul. Termasuk dalam hal ini adalah masalah penyalahgunaan NAPZA.
b. Masalah Penyalahgunaan NAPZA di Kelurahan Maleber Berdasarkan analisis Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat terhadap proposal kegiatan penanggulangan penyalahgunaan NAPZA yang diajukan Dinas/Kantor Sosial Kabupaten/Kota di Jawa Barat, dan diperkuat oleh hasil penelitian Etnografi HIV/AIDS pengguna jarum suntik (penasun) yang dilakukan oleh Yayasan Bahtera berkaitan dengan pelaksanaan program Harm Reduction,
154
diketahui bahwa Kelurahan Maleber merupakan lokasi yang memiliki prevalensi penyalahgunaan NAPZA yang cukup tinggi. Jumlah Pengguna NAPZA di Kelurahan Maleber pada bulan Februari 2006 adalah sebanyak 129 orang atau sekitar 0,78 % dari jumlah penduduk pada tahun 2006, dan 1,96 % dari jumlah generasi muda usia 16-40 tahun. Komposisi penyalahguna NAPZA berdasarkan tingkatan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.4 Jumlah Korban NAPZA Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Maleber Kecamatan Andir Kota Bandung Tahun 2006 Laki laki Kelompok Umur <15 16-20 26 21-24 28 25-29 47 30-34 18 35-39 4 Jumlah 123 Sumber : Hasil pengumpulan data No 1 2 3 4 5 6
Perempuan 5 1 6
Jumlah 31 29 47 18 4 129
Seluruh pengguna NAPZA sebagaimana nampak dalam tabel 4.4 tersebut, menggunakan beberapa jenis NAPZA (Polydrugs). Jenis-jenis yang sering digunakan antara lain golongan narkotika (putau, gele), psikotropika (subutek, sabu, sanax, esilgan, stilnok, lexotan, inek) dan zat adiktif lainnya (lem, dan sekitar 90 % meminum minuman keras). Sedangkan cara penggunaan NAPZA yang umum dilakukan adalah oral, hisap, bakar dan suntik. Dari jumlah yang terdata (129 orang), menurut informan diperkirakan jumlah sesungguhnya sekitar 300 orang tersebar di Kelurahan Maleber. Jika hal tersebut tidak ditangani dengan segera, kecenderungan peningkatan jumlah korban 155
NAPZA akan semakin meningkat dari jumlah yang diperkirakan. Selain itu dampak sampingan dari penggunaan NAPZA suntik sangat rawan terhadap penyebaranan HIV (Human Immunodeficiency Virus), suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yakni sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan tubuhnya dirusak HIV.
c. Potensi Organisasi Lokal dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Hasil identifikasi potensi melalui pertemuan langsung dengan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa di kelurahan Maleber Kecamatan Andir terdapat beberapa organisasi lokal yang berpotensi menjadi pelaku pencegahan penyalahgunaan NAPZA, antara lain :
1) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) LPM Kelurahan Maleber berdiri tahun 2001 sebagai lembaga pengganti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). LPM merupakan lembaga kemasyarakatan
yang
berfungsi
mengkoordinasikan,
mengawasi
dan
mengendalikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh lembaga kemasyarakatan lainnya di wilayah kelurahan. LPM Kelurahan Maleber memiliki 17 orang pengurus, terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Seksi-seksi. Seksi-seksi terdiri dari Seksi pendidikan, seksi pelayanan sosial, seksi ekonomi pembangunan dan koperasi, seksi pemuda olahraga dan kesenian, seksi pemberdayaan wanita.
156
Sejak tahun 2002 LPM telah melaksanakan upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA dalam bentuk penyuluhan/ penerangan tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA secara tetap setahun sekali dikaitkan dengan momentum bulan bhakti LPM. Sasaran penyuluhan adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan tokoh wanita. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara langsung maupun melalui media penyebaran leaflet, brosur, sticker, buku undang-undang tentang psikotropika dan narkotika. Kegiatan penyuluhan secara langsung biasanya dihadiri peserta antara 50 – 75 orang. Kegiatan penyuluhan secara langsung dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab/ dialog, dengan nara sumber dari LPM, Kepolisian, dan Pemuda yang berprestasi dalam berbagai bidang aktivitas kepemudaan, seperti juara lomba puisi, vokal group dan pidato.
Penyelenggara : • Kepolisian • LPM • Pemuda berprestasi
Peserta : • Tokoh masyarakat • Tokoh agama • Tokoh pemuda • Tokoh wanita
Kegiatan : • Penyuluhan/ Penerangan
Hasil : • Meningkatnya pengetahuan sasaran penyuluhan
Gambar 4.2. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan LPM Kelurahan Maleber
157
Pengurus LPM yang mengetahui tentang NAPZA menurut informan diperkirakan baru mencapai sekitar 50%. Pengetahuan ini mencakup jenis NAPZA yang sering dikonsumsi oleh pengguna, bahaya penyalahgunaan dan sanksi hukum bagi pengedar dan pengguna. Kondisi ini mengisyaratkan disamping perlu peningkatan pengetahuan pengurus tentang NAPZA juga diharapkan seluruh pengurus LPM pada akhirnya dapat mengetahui dan memahami tentang bahaya NAPZA serta upaya-upaya pencegahannya.
2) Minoritas Plus (Peer Support Group) “Minoritas Plus” adalah sebuah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di kelurahan Maleber, yang bergerak dalam penanganan masalah HIV/AIDS dan NAPZA khususnya berfungsi untuk memberikan dukungan, kekuatan dan harapan kepada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan para korban penyalahgunaan NAPZA. “Minoritas Plus” didirikan pada bulan juni 2005 oleh 5 orang ODHA yang teridentifikasi melalui kegiatan VCT (Voluntary Conseling and testing) dari Yayasan Bahtera. Mengingat banyaknya kasus yang ditemukan dari teman – teman IDU (Injection Drugs User) yang sudah melakukan VCT, maka keanggotaan “Minoritas Plus” bertambah menjadi 30 orang, terdiri atas ODHA dan OHIDHA (Orang Hidup Dengan HIV/AIDS). Sejak berdirinya tahun 2005, “Minoritas Plus” telah melaksanakan upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA dalam kategori pengurangan dampak buruk (harm reduction) NAPZA bagi para anggotanya. Upaya pengurangan dampak buruk ini merupakan serangkaian kegiatan untuk mencegah agar para 158
penyalahguna NAPZA tidak berkembang lebih lanjut menjadi terpapar HIV/AIDS dan agar anggota yang sudah terpapar HIV/AIDS tetap memiliki kekuatan dan harapan
untuk
menjalani
kehidupan
dengan
mempertahankan
kondisi
kesehatannya. Beberapa kegiatan pencegahan yang sudah dilakukan oleh “Minoritas Plus” adalah Pertemuan Rutin mingguan ( Close dan Open Meeting ), kegiatan vocational, rekreatif, Penggalangan dana (Fund Rising), dan untuk tetap tidak menggunakan drugs (stay clean). Menurut informan, keseluruhan kegiatan tersebut menerapkan metoda GIPA (Greater Involvement People with HIV/AIDS ) dari prinsip ke praktek untuk terlibat lebih jauh dalam penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA. Penyelenggara : • Kelompok Minoritas Plus
Peserta : • Penyalahguna NAPZA • Mantan penyalahguna NAPZA yang terpapar HIV/AIDS (OHIDA)
Kegiatan : • Pertemuan rutin mingguan • Vokasional • Rekreasi • Penggalangan dana
Hasil : • Penyalahguna NAPZA tidak terpapar HIV/ AIDS • OHIDA memiliki kekuatan & harapan hidup untuk mempertahankan kesehatannya
Gambar 4.3. Pengurangan dampak buruk (harm reduction) NAPZA yang diselenggarakan Kelompok Minoritas Plus di Kelurahan Maleber Karena
umumnya
anggota
“Minoritas
Plus”
merupakan
para
penyalahguna NAPZA dan sebagian adalah mantan penyalahguna yang sudah tergolong OHIDA, maka seluruh anggotanya mengetahui tentang jenis-jenis 159
NAPZA, bahayanya dan sanksi hukum bagi pengedar dan pengguna. Pengetahuan tersebut mereka peroleh dari pengalaman dan hasil pembinaan Yayasan Bahtera.
3) Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) PKK Kelurahan Maleber sebelumnya bernama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, kemudian sejak era reformasi (tahun 1998) berubah nama menjadi Pemberdayaan
Kesejahteraan
Keluarga.
PKK
merupakan
lembaga
kemasyarakatan yang mempunyai fungsi menciptakan keluarga yang sejahtera melalui kegiatan pemberdayaan para anggotanya. Pengurus PKK Kelurahan Maleber terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Pokja-pokja yang mengkoordinir seksi-seksi. PKK Kelurahan Maleber belum memiliki program kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, kecuali menjadi partisipan dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh LPM. Adapun pengurus yang terlibat dalam kegiatan tersebut terbatas pada pengurus inti tingkat kelurahan/ tingkat RW. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengurus PKK belum mengetahui dan memahami tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA dan penanggulangannya. Mengingat peran PKK dalam menciptakan keluarga yang sejahtera, dan menciptakan ketahanan anggota keluarga terhadap pengaruh NAPZA sangat penting, maka PKK diharapkan memiliki potensi untuk melakukan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, sehingga perlu diberikan penguatan.
160
4) Karang Taruna Karang Taruna Kelurahan Maleber berdiri pada tahun 1985 sejalan dengan dipurnakannya Karang Taruna di Jawa Barat. Kepengurusan Karang Taruna Maleber berjumlah 26 orang terdiri atas Ketua, Sekretaris, bendahara dan seksiseksi. Sejak berdirinya sampai dengan tahun 2003 masih aktif melaksanakan kegiatannya melalui program mandiri maupun yang bersifat partisipasi. Setelah tahun 2003 organisasi ini mengalami penurunan aktivitas yang disebabkan oleh sebagian pengurus sudah tidak berdomisili di kelurahan Maleber karena berpindah kerja dan berumahtangga, serta alasan-alasan lainnya. Bentuk aktivitas Karang Taruna selama masih aktif adalah kegiatan yang bersifat rekreatif dan edukatif, seperti festival band, lomba puisi, membuat karya tulis, ceramah melalui kuliah subuh dan dialog interaktif. Namun menurut informan, kegiatan-kegiatan tersebut diprediksi kurang berpengaruh atau kurang fokus pada pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Kenyataannya, peningkatan jumlah penyalahguna NAPZA tetap terjadi karena mobilitas sosial (pergaulan) generasi muda Maleber tinggi. Artinya generasi muda Maleber banyak yang melakukan pergaulan diluar wilayah Maleber serta diantaranya membawa teman pergaulan kedalam wilayah Maleber. Menurut informan, pengetahuan pengurus Karang Taruna Maleber tentang NAPZA sebagian besar cukup mengetahui dari keikutsertaanya dalam kegiatan penerangan yang dilakukan LPM. Namun pengetahuan tersebut tidak sampai kepada sosialisasi di masing-masing tempat tinggal pengurus. Hal ini dikarenakan mereka belum memiliki metode yang memadai untuk menyebarluaskan informasi 161
tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA serta metode penanggulangannya. Disamping itu, terdapat fenomena kesenjangan antara pengurus Karang Taruna yang dipandang bersih, terpilih dan menjadi pemuda pilihan dengan pemuda pada umumnya dan para pengguna khususnya. Penyelenggara : • Karang Taruna
Peserta : • Generasi muda anggota Karang Taruna
Kegiatan : Kegiatan rekreatif & edukatif : • Festival band • Lomba puisi • Membuat karya tulis • Ceramah (kuliah) subuh • Dialog interaktif
Hasil : • Kegiatan kurang berpengaruh pada pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
Gambar 4.4. Kegiatan Karang Taruna Kelurahan Maleber Semasa Masih Aktif Dengan gambaran seperti diatas maka Karang Taruna berpotensi untuk dikembangkan kapasitasnya, sehingga secara umum dapat berfungsi kembali sesuai tupoksinya juga secara khusus dapat difungsikan dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA secara optimal.
5) Dewan Keluarga Mesjid (DKM) Di kelurahan Maleber terdapat mesjid besar (mesjid jami) sebanyak 11 buah yang tersebar di 11 RW berikut dengan puluhan mushola. Mesjid-mesjid tersebut masing-masing dikelola oleh DKM yang rata-rata memiliki kepengurusan 162
sebanyak 15 orang. Hal ini merupakan potensi yang bisa didayagunakan dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. DKM belum memiliki program dan kegiatan khusus untuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA bagi para jemaahnya, kecuali kegiatan dakwah secara umum dengan audien jemaah mesjid dan ikatan remaja masjid. Kalaupun ada materi tentang NAPZA dalam sebagian kecil dakwahnya, maka materi dakwah tersebut baru sebatas bahasan aspek agama dan khususnya tentang NAPZA secara spesifik belum sampai pada hal yang mendasar seperti dalam perspektif medis dan psiko-sosial. Disamping itu jamaah yang hadir dalam kegiatan ceramah keagamaan terbatas pada orang-orang yang “ahli masjid”. Gambaran diatas menunjukkan perlunya menguatkan salah satu fungsi mesjid sebagai sarana dawah dengan menyisipkan materi tentang bahaya/resiko NAPZA dan penanggulangannya, melalui menguatkan kompetensi DKM (para dai’nya).
6) Tokoh Masyarakat Kewilayahan Tokoh masyarakat kewilayahan di Kelurahan Maleber berjumlah 73 orang, terdiri atas 11 orang Ketua RW dan 62 orang Ketua RT. Peran mereka dalam mengayomi dan melayani masyarakat termasuk dalam menyelesaikan masalah sosial sangat diharapkan. Khususnya dalam upaya penanggulangan masalah NAPZA mereka pernah mendapatkan informasi dari LPM dan Kepolisian. Dari Kepolisian melalui forum RW mereka mendapatkan pengetahuan tentang upaya penegakan hukum, namun mereka memiliki keterbatasan untuk merealisasikan kegiatan nyata untuk 163
menanggulangi penyalahgunaan NAPZA yang terjadi di lingkungannya. Apa yang mereka lakukan baru sebatas menegur warga masyarakat yang sedang menggunakan NAPZA yang mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat. Pengetahuan tokoh masyarakat kewilayahan tentang NAPZA dan penanggulangannya terbatas, sebagai contoh mereka belum memahami tentang program Harm Reduction. Persepsi mereka tentang penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA terbatas pada upaya yang bersifat represif. Gambaran seperti diatas menyiratkan perlunya peningkatan kompetensi tokoh masyarakat kewilayahan dalam bidang penanggulangan khususnya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Gambaran potensi kelembagaan local tersebut selanjutnya dapat diringkas dalam bentuk tabel berikut ini. Tabel 4.5 Potensi kelembagaan Lokal di Kelurahan Maleber Kecamatan Andir Kota Bandung Nama Kelembagaan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelompok Minoritas Plus
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Potensi • Berpengalaman melaksanakan penerangan tentang bahaya NAPZA dalam kurun waktu setahun sekali sejak 2002 • 50% pengurus diperkirakan mengetahui tentang NAPZA • Berpengalaman melaksanakan harm reduction sejak 2005 dengan program pertemuan rutin mingguan, vokasional, rekreatif dan penggalangan dana • Semua anggota mengetahui tentang NAPZA • Belum berpengalaman melaksanakan pencegahan NAPZA namun memiliki peran menciptakan keluarga yang sejahtera dan menciptakan ketahanan anggota keluarga • Umumnya anggota belum mengetahui dan memahami tentang NAPZA 164
Nama Kelembagaan Karang Taruna
Potensi
• Sejak 1985 sampai tahun 2003 mempunyai kegiatan yang bersifat rekreatif dan edukatif, seperti festival band, lomba puisi, membuat karya tulis, ceramah melalui kuliah subuh dan dialog interaktif, yang potensial untuk diaktifkan kembali dan dikembangkan yang difokuskan pada pencegahan penyalahgunaan NAPZA. • Sebagian besar pengurus cukup mengetahui tentang NAPZA Dewan Keluarga • Di kelurahan Maleber terdapat Mesjid Jami yang Mesjid (DKM) berjumlah 11 buah dan puluhan mushola yang memiliki jamaah dan ikatan remaja mesjid • Dapat dikembangkan da’wah dan fungsi mesjid sebagai tempat pencegahan penyalahgunaan NAPZA Tokoh • Ketua RW 11 orang dan RT 62 orang mempunyai fungsi masyarakat mengayomi dan melayani masyarakat termasuk dalam kewilayahan menyelesaikan masalah sosial (Ketua RW dan • Pernah mendapatkan informasi terbatas tentang NAPZA RT) dan penegakan hukumnya dari LPM dan Kepolisian Sumber : Hasil pengolahan data Uraian tentang potensi organisasi lokal selanjutnya dapat dinyatakan melambangkan berjalannya sebagian fungsi masyarakat seperti sosialisasi, control sosial dan partisipasi sosial. Secara umum LPM didukung kepolisian secara rutin setiap setahun sekali melakukan penyuluhan/penerangan tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA khususnya dari aspek hukum yang bersifat represif, ini merupakan pelaksanaan dari fungsi sosialisasi agar sasaran penyuluhan menyadari tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA. Karang Taruna pernah melakukan kegiatan-kegiatan rekreatif dan edukatif yang mengarah pada adanya upaya yang bersifat pencegahan dari penyalahgunaan NAPZA, hal ini semacam pembinaan terhadap generasi muda pada umumnya agar terhindar dari penyalahgunaan NAPZA.
165
Kelompok Minoritas lebih jauh telah beroperasi secara intensif melakukan fungsi partisipasi sosial dalam bentuk (1) penjangkauan terhadap para penyalahguna NAPZA, yakni suatu upaya pendekatan dari penyalahguna NAPZA yang telah menyadari kekeliruannya untuk mengajak para penyalahguna NAPZA lainnya mengikuti pembinaan secara bantu diri (selp-help), (2) memotivasi para penyalahguna NAPZA untuk melakukan VCT, yakni konseling dan tes sukarela untuk mengetahui apakah mereka sudah terkena HIV/AIDS atau belum, hal tersebut berarti adanya upaya identifikasi dan asesmen terhadap penyalahguna NAPZA, (3) memasukkan para penyalahguna NAPZA yang belum terjangkit HIV/AIDS dan yang sudah terjangkit kedalalam kelompok untuk menguatkan motivasi hidup dan mencegah meluasnya dampak buruk yang lebih lanjut. Sementara PKK memiliki potensi untuk melakukan upaya-upaya sosialisasi atau penanaman nilai kepada keluarga sebagai benteng pertama pertahanan dari ancaman bahaya NAPZA. Lebih khusus DKM berpotensi melakukan sosialisasi kepada umat binaannya, dan tokoh kewilayahan berpotensi melakukan
control
sosial
terhadap
warganya
yang
sudah
mencoba
menyalahgunakan NAPZA yang mengganggu keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat.
d. Analisis Kebutuhan Capacity Building Berdasarkan uraian tentang gambaran umum, masalah penyalahgunaan NAPZA dan potensi organisasi/kelembagaan lokal serta penelusuran lebih jauh melalui wawancara dapat dinyatakan bahwa di satu sisi Kelurahan Maleber memiliki banyak sumber dan potensi yang bisa digunakan untuk mencegah 166
penyalahgunaan NAPZA, namun disisi lain, terdapat masalah penyalahgunaan NAPZA yang tidak dapat dicegah dan tetap tinggi dilihat dari angka penyalahguna. Kenyataan ini mengandung arti terdapatnya beberapa kelemahan yang menunjukkan kurangnya kapasitas program pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan oleh LPM dan Kelompok Minoritas Plus dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut : 1) Keterbatasan daya jangkau terhadap sasaran pencegahan. Bahwa meskipun LPM Kelurahan Maleber didukung Kepolisian secara rutin setiap setahun sekali melakukan penyuluhan/penerangan tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA, namun dilihat dari jumlah sasarannya masih sangat terbatas. Jika dihitung jumlahnya, maka dalam kurun waktu 4 (empat) tahun, LPM baru mencapai sasaran sekitar 200 sampai 300 orang tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh wanita, sedangkan Kelompok Minoritas Plus dalam kurun waktu 2 (dua) tahun hanya mencapai sasaran 30 orang saja, sehingga keseluruhan jumlah sasaran pencegahan dari LPM dan Kelompok Minoritas Plus paling banyak hanya mencapai 1,9% dari jumlah penduduk kelurahan Maleber. Kenyataan ini menunjukkan hal yang tidak sebanding antara kegiatan yang dilakukan dengan jumlah sasaran pencegahan yang seharusnya dicapai yakni keseluruhan penduduk Kelurahan Maleber yang berjumlah 16.095 orang atau minimal mereka yang berusia diatas 3 (tiga) tahun. 2) Keterbatasan materi penyuluhan. Materi penyuluhan/penerangan yang diberikan oleh LPM dengan Kepolisian sangat terbatas pada pengetahuan tentang jenis-jenis NAPZA, bahaya 167
penyalahgunaan dan sanksi hukum bagi pengedar dan pengguna NAPZA. Hal ini berarti bahwa masyarakat diajak untuk berpikir dalam koridor hukum yang bersifat represif, dimana para penyalahguna NAPZA lebih ditempatkan sebagai para pelanggar hukum yang harus ditindak, dan untuk itu masyarakat diajak untuk berpartisipasi memberikan laporan tentang terjadinya kasus peredaran gerap dan penyalahgunaan NAPZA. Diluar materi penyuluhan tersebut, sesungguhnya terdapat materi-materi lain yang penting
disampaikan kepada masyarakat seperti tentang bahaya
penyalahgunaan NAPZA dari sudut pandang psiko-sosial-medis, kebijakan sosial tentang penanggulangan penyalahgunaan NAPZA, serta tentang cara pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang bisa dilakukan oleh masyarakat secara individual maupun kolektif.
3) Keterbatasan program harm reduction Pengurangan dampak buruk (harm reduction) penyalahgunaan NAPZA oleh kelompok Minoritas Plus memiliki keterbatasan dalam hal metoda yang digunakan dimana sasaran yang masih menggunakan NAPZA cenderung tetap menggunakan NAPZA dengan jenis NAPZA yang berbeda dan kadar pengaruh yang lebih rendah. Para penyalahguna setelah dijangkau diberikan NAPZA jenis metadon sebagai pengganti NAPZA yang biasa dikonsumsinya. Agar sasaran tidak terjangkit HIV/AIDS melalui penggunaan jarum suntik bergiliran, maka setiap sasaran diberikan jarum suntik steril sehingga tidak lagi terjadi penggunaan jarum suntik secara bergiliran. Kenyataan ini menunjukkan bahwa harm reduction
168
kurang dapat mencegah seorang penyalahguna untuk berhenti mengkonsumsi NAPZA.
4) Kurangnya penerimaaan masyarakat terhadap program Wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa informan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa keberadaan program pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) penyalahgunaan NAPZA di kelurahan Maleber yang sedang dijalankan oleh Kelompok Minoritas Plus, ternyata telah menimbulkan keresahan sebagian warga masyarakat di kelurahan Maleber karena beberapa hal : a) Program tersebut dipandang oleh tokoh masyarakat kewilayahan “seolah melegalkan”
penyalahgunaan
NAPZA
oleh
para
pengguna
yang
dikelompokkan dalam Kelompok Minoritas Plus. b) Keberadaan Kelompok Minoritas Plus dikhawatirkan akan mempengaruhi warga masyarakat lainnya khususnya generasi muda untuk menyalahgunakan NAPZA. c) Keberadaan program Harm Reduction tidak banyak melibatkan tokoh masyarakat kewilayahan kecuali warga masyarakat pengguna dan seorang informan yang merupakan tokoh masyarakat yang dijadikan Pembina kelompok tersebut. Keresahan dan kekwatiran tersebut muncul karena umumnya tokoh masyarakat tidak memahami betul mengenai program harm reduction dan Kelompok Minoritas Plus. Artinya bahwa penyelenggara program tidak melakukan sosialisasi program secara baik sehingga informasi yang benar tentang program kurang bisa diserap oleh masyarakat. 169
5) Keterbatasan metoda dan waktu kegiatan Kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA dengan penyuluhan/ penerangan adalah salah satu metoda yang baik, namun kekurangannya adalah disamping frekuensi pelaksanaannya hanya setahun sekali dan materinya serta sasarannya terbatas, juga waktu pelaksanaannya terbatas hanya 1 sampai 2 jam efektif. Untuk mencapai hasil pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang memadai diperlukan metoda-metoda lain yang saling melengkapi dan dengan waktu yang lebih lama dibanding penyuluhan.
6) Keterbatasan pelaku pencegahan Pencegahan penyalahgunaan NAPZA secara terprogram dan dengan keterbatasan tertentu, meskipun dinyatakan dilakukan oleh organisasi LPM dan Kelompok Minoritas Plus, namun kenyataannya pelaku pencegahan terbatas pada individu-individu atau sebagian kecil pengurus LPM yang menjadi nara sumber dalam penyuluhan dan sebagian kecil anggota Kelompok Minoritas Plus yang menjadi tenaga penjangkau para pengguna NAPZA. Sebagian besar dari mereka kurang berperan menjadi pelaku pencegahan.
7) Kurangnya efek ganda dari penyuluhan/penerangan. Para mantan peserta penyuluhan/penerangan yang berasal dari organisasi PKK, Karang Taruna, DKM maupun tokoh masyarakat kewilayahan, tidak nampak melakukan upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang rutin dan terprogram. Bahkan Karang Taruna menjadi tidak berfungsi dalam kurun waktu satu tahun setelah ada program penyuluhan/penerangan yang dilaksanakan oleh 170
LPM. Meski pengurus Karang Taruna sebagian besar cukup mengetahui tentang bahaya NAPZA, namun tidak berhasil melakukan upaya sosialisasi dilingkungan tempat tinggal masing-masing pengurus. Demikian juga sebagian pengurus PKK, DKM dan tokoh kewilayahan meskipun telah mendapatkan penyuluhan/ penerangan dari LPM, namun tidak menghasilkan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada masing-masing organisasi lokal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penyuluhan/penerangan tidak menghasilkan program kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang berkesinambungan atau berkelanjutan. Berbagai kelemahan atau keterbatasan sebagaimana diuraikan diatas menimbulkan kesan bahwa upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan di kelurahan Maleber belum memadai untuk memecahkan masalah penyalahgunaan NAPZA yang terjadi di wilayah ini. Dalam hal ini dibutuhkan suatu upaya yang dapat meningkatkan jumlah dan kompetensi sumber daya manusia pelaksana pencegahan penyalahgunaan NAPZA, mengintegrasikan kegiatan-kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA dan potensi tenaga pelaksana yang masih bersifat parsial, dan mengupayakan dukungan dan partisipasi sumber dan potensi masyarakat yang dapat menjamin peningkatan dan kesinambungan program. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut diperlukan suatu kelembagaan yang dapat menyatukan berbagai unsur organisasi lokal
yang
dapat
bertindak
secara
bersama-sama
mengatasi
masalah
penyalahgunaan NAPZA setelah mendapatkan peningkatan kemampuan dibidang pencegahan. 171
Capacity
building
organisasi
masyarakat
lokal
dalam
mencegah
penyalahgunaan NAPZA kemudian merupakan jawaban yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini kemudian dibicarakan bersama beberapa tokoh organisasi masyarakat dan tokoh formal kelurahan Maleber, dan dicapai kesepakatan untuk menindaklanjuti pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui pengembangan model capacity building yang akan dipersiapkan oleh peneliti.
2.
Model Konseptual Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal Dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA Berdasarkan analisis kebutuhan dan kajian teoritis pada studi pendahuluan,
kemudian dirumuskan model konseptual capacity building sebagai berikut : a.
Rumusan Model Awal
1)
Gambaran Umum Model capacity building organisasi masyarakat lokal dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA merupakan model tindakan yang mendukung dan mengembangkan potensi pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang sudah ada sehingga lebih kuat, lebih menyatu dan terlembagakan, serta lebih efektif dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Model ini dapat disajikan dalam bentuk gambar berikut ini.
172
Raw Input : Perwakilan Organisasi Masyarakat Lokal Potensial • LPM • Minoritas Plus • Karang Taruna • PKK • DKM • Tokoh Masya Kewilayahan
Instrumental input : • Visi dan Misi • Penyelenggara • Strategi pengembangan program
Proses : • Pelatihan & pengembangan SDM • Penataan Tim Kerja • Penyusunan rencana kegiatan
Environmental Input: Dukungan tempat pelaksanaan
Output : • Meningkatnya kompetensi peserta • Terbentuk nya Tim Kerja pencegah an penyalahgunaan NAPZA • Tersusunnya Rencana Kegiatan
Pendampingan
Outcome: • Pencegahan penyalahgunaan NAPZA • Tercegahnya masyarakat dari penyalahgunaan NAPZA
Gambar 4.5. Model Konseptual Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA
Model Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
2) Instrumental Input a) Visi Visi model capacity building organisasi masyarakat lokal dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA adalah terciptanya masyarakat kelurahan/desa yang berkemampuan, aktif dan kreatif dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA dengan bersumber dari potensi dan kekuatan yang dimilikinya.
173
b) Misi Misi model capacity building organisasi masyarakat lokal dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA adalah : (1) Meningkatkan kompetensi SDM organisasi masyarakat lokal agar lebih profesional dan responsif terhadap masalah penyalahgunaan NAPZA (2) Memfasilitasi terbentuknya organisasi masyarakat lokal yang memiliki struktur dan fungsi menyelenggarakan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA (3) Memfasilitasi organisasi masyarakat lokal dalam menyusun rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA berbasis masyarakat (4) Mendorong
keswadayaan
organisasi
masyarakat
lokal
dalam
menyelenggarakan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA (5) Memperkuat manajemen organisasi dan manajemen pelayanan organisasi masyarakat
lokal
dalam
menyelenggarakan
program
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA.
c) Penyelenggara Unsur yang diperlukan dalam penyelenggaraan model capacity building ini adalah : (1) Penanggungjawab. Adalah pihak yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan implementasi model capacity building
174
(2) Ketua Tim. Adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan implementasi model di lapangan (3) Wakil Ketua Tim Adalah pihak yang bertanggungjawab membantu Ketua Tim dalam pelaksanaan implementasi model di lapangan. (4) Sekretaris
Adalah pihak yang bertanggungjawab membantu Ketua Tim dalam urusan administrasi pelaksanaan implementasi model. (5) Anggota Secretariat Adalah staff yang membantu sekretaris dalam melaksanakan tugas administrasi pelaksanaan implementasi model. (6) Fasilitator dan Asisten Fasilitator
Adalah orang-orang (tenaga ahli, praktisi) yang diberikan tugas untuk menyampaikan materi pelatihan, memfasilitasi proses serta melakukan pendampingan terhadap organisasi masyarakat local yang dibentuk dalam melaksanakan pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
d) Strategi Pengembangan Program Strategi pengembangan program adalah dokumen tertulis yang merupakan strategi pembelajaran terintegrasi yang berisi tujuan, struktur program, kelompok materi (mata latih), metode, garis besar rencana pembelajaran, pemilihan peserta, pelatih/fasilitator, dan penilaian.
175
(1) Tujuan Tujuan umum program adalah untuk membekali peserta capacity building dengan kemampuan yang memungkinkan mereka melakukan pencegahan penyalahgunaan NAPZA secara terorganisir dan terencana dengan baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah : (a)
Membekali
peserta
dengan
pengetahuan
dasar
tentang
masalah
penyalahgunaan NAPZA (b)
Membekali peserta dengan pengetahuan dasar tentang kebijakan dan program penanggulangan penyalahgunaan NAPZA
(c)
Membekali peserta dengan pengetahuan tentang organisasi masyarakat dan keterampilan penataan organisasi
(d)
Membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen organisasi dan manajemen kegiatan pelayanan.
(e)
Membekali
peserta
dengan
pengetahuan
dan
keterampilan
teknis
pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
(2)
Struktur Program (Pola Kegiatan) Struktur program capacity building terdiri atas pola kegiatan utama yang
akan diikuti peserta yang terstruktur dalam empat kegiatan utama, yaitu perkuliahan/ceramah, diskusi, penugasan dan praktik. (a) Perkuliahan adalah kegiatan untuk semua peserta yang dimaksudkan untuk membekali mereka dengan pengetahuan dalam bentuk informasi yang diajarkan dan untuk meluruskan pemahaman mengenai pengetahuan dan informasi tersebut. Dalam proses ini, peserta diberi kesempatan untuk mengajukan tanggapan atau 176
pertanyaan; (b) Diskusi adalah kegiatan kelompok peserta yang memberi kesempatan kepada mereka untuk menyumbangkan gagasan atau pendapat lisan untuk memecahkan masalah atau memperluas pengetahuan atau pemahaman atas suatu topik bahasan. Diskusi juga berupa diskusi kelas dalam bentuk curah pendapat yang memberi kesempatan semua peserta untuk berpendapat; (c) Penugasan
diberikan
untuk
memberi
kesempatan
kepada
peserta
agar
memperdalam pemahaman mereka tentang materi yang dibahas. Penugasan akan diberikan secara kelompok diantara peralihan waktu perkuliahan dan praktik penataan organisasi dan penyusunan rencana kerja. Kegiatan penugasan secara kelompok terutama dimaksudkan untuk menekankan pentingnya kerjasama kelompok dalam upaya menghasilkan karya bersama dan mempercepat proses penyerapan dan aplikasi substansi materi yang dibahas; (d) Praktik digunakan untuk memberi kesempatan kepada peserta mempraktikan materi yang dibahas secara terbimbing. Ada dua pola yang akan digunakan, pertama, praktik dalam situasi kelas dimana kelompok peserta akan melakukan penataan organisasi dan menyusun rencana kegiatan yang akan mereka lakukan melalui organisasi yang mereka bentuk. Kedua, praktik lapangan berupa pelaksanaan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang telah mereka susun. Selama praktik lapangan mereka akan diberikan pendampingan dengan metode supervisi dan konsultasi. Apabila digambarkan, maka struktur program tersebut dapat dilihat dalam bentuk model berikut :
177
T a h a p
Perkuliahan/ ceramah
Penugasan
Diskusi
Praktik Pendampingan (supervisi dan konsultasi)
1
T a h a p 2
Gambar 4.6. Model Struktur Program Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA Khususnya untuk praktik lapangan, supervisi akan dilakukan dengan menggunakan model belajar pengalaman, dimana pembahasan materi selalu difokuskan pada apa yang terjadi dan dialami oleh tim kerja dalam mengelola organisasi dan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Langkah-langkah model belajar pengalaman adalah (1) pengungkapan pengalaman oleh tim kerja, (2) pembahasan pengalaman tim kerja oleh fasilitator berdasarkan konsep-konsep yang sesuai dengan permasalahan yang dialami oleh tim kerja, (3) diskusi terfokus yang memberi kesempatan kepada semua anggota tim kerja untuk berpendapat mengenai solusi pemecahan masalah, (4) penegasan dan penugasan oleh fasilitator kepada tim kerja mengenai apa yang sebaiknya/seharusnya ditindaklanjuti oleh tim kerja. Apabila digambarkan maka model proses supervisi dalam capacity building adalah sebagai berikut :
178
Aplikasi dalam praktik
Pengungkapan pengalaman oleh tim kerja
Pembahasan secara konseptual oleh fasilitator
Penegasan dan penugasan dari fasilitator
Diskusi terfokus
Gambar 4.7. Model Proses Pembelajaran Praktik (Supervisi), diadaptasi dari Blanchard dan Thacker (2004) (3) Kelompok Materi (mata latih) Materi pembelajaran yang disiapkan untuk pelaksanaan capacity building terdiri atas pengetahuan dasar (basic knowledge) tentang masalah penyalahgunaan NAPZA, kebijakan dan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA, gambaran teknis model capacity building organisasi masyarakat lokal; pengetahuan dan keterampilan penataan organisasi, keterampilan manajemen (managerial skills) organisasi dan keterampilan teknis (technical skills) pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan kategori tersebut, maka materi pembelajaran mencakup : (a) Kebijakan Departemen Sosial dalam program pencegahan penyalahgunaan NAPZA (b) Masalah penyalahgunnaan NAPZA (c) Pencegahan penyalahgunaan NAPZA (d) Pendayagunaan sumber 179
(e) Penataan organisasi (tim kerja) (f) Penyusunan rencana kegiatan (g) Monitoring, evaluasi dan pelaporan
(4) Metoda dan teknik Metoda
pembelajaran
dalam
capacity
building
adalah
metoda
pembelajaran orang dewasa humanistik yang memandang warga belajar dewasa memiliki karakteristik konsep diri dan kepribadian yang matang, memiliki pengalaman yang unik, kesiapan belajar yang sesuai dengan pengalaman dan keinginannya akan pengetahuan yang aplikatif. Setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, dan setiap teknik memiliki kegunaannya masing-masing untuk memfasilitasi belajar, karenanya keefektipannya dalam memenuhi kebutuhan belajar harus menjadi kriteria utama untuk memilihnya. Beberapa teknik untuk pelatihan seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, simulasi permainan peran, dan teknik pendampingan seperti supervisi dan konsultasi akan digunakan dalam model capacity building.
(5) Pemilihan Peserta Pemilihan peserta sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam raw input perlu didelegasikan untuk dilakukan oleh tokoh masyarakat dan/atau aparat kelurahan yang memahami betul kondisi setempat, namun demikian pihak penyelenggara perlu memantau proses pemilihannya agar ketepatan sasaran bisa tercapai. 180
(6) Pemilihan Pelatih/fasilitator Salah satu alasan memilih pelatih atau fasilitator adalah relevansinya dengan situasi peserta seperti memiliki pengalaman dalam penanganan masalah NAPZA. Kriteria lainnya yang penting adalah menguasai materi, menguasai variasi metoda pembelajaran, dan memiliki kemampuan mengajar.
(7) Garis Besar Rencana Pembelajaran Garis besar rencana pembelajaran yakni rencana yang akan dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses belajar mengajar (pembelajaran) di ruang kelas yang menjadi acuan bagi peserta maupun fasilitator/nara sumber, disusun dalam bentuk tabel sebagai berikut:
181
Tabel 4.6 Garis Besar Rencana Pembelajaran Pada Implementasi Model Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal Dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA No
Mata Latih
Tujuan Belajar
Pokok Bahasan 1. Kebijakan nasional “Pencegahan pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran NAPZA (P4GN) 2. Kebjakan Depsos dalam penanggulangan korban penyalahgunaan NAPZA 3. Tantangan pelaksanaan kebijakan dan program pencegahan, rehabilitasi sosial, pembinaan dan pengembangan lanjut, kelembagaan perlindungan dan advokasi sosial 1. Jenis dan bahaya NAPZA 2. Penyalahgunaan NAPZA dan adiksi 3. Faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA 4. Dampak penyalahgunaan NAPZA
1
Kebijakan Depsos dalam program penanggulangan penyalahgunaan NAPZA
1. Peserta mengetahui dan memahami tentang P4GN 2. Peserta mengetahui dan memahami kebijakan Depsos dalam penanggulangan korban penyalahgunaan NAPZA 3. Peserta mengetahui dan memahami tentang tantangan pelaksanaan kebijakan dan program
2
Masalah penyalahgunaan NAPZA
1. Peserta mengetahui dan memahami tentang jenis dan bahaya NAPZA 2. Peserta mengetahui dan memahami tentang penyalahgunaan NAZPA dan adiksi 3. Peserta mengetahui dan
Metode 1. Ceramah 2. Tanya jawab
1. Ceramah 2. Tanya jawab 3. Pemutaran film 4. Curah pendapat
Media Pembelajaran 1. Laptop 2. LCD proyektor
Evaluasi
Waktu
Pengama tan
2 Jam Pelatihan (JP)
1. Laptop 2. LCD proyektor 3. Film 4. Gambar dan foto
Pengama tan
4 JP
182
No
Mata Latih
3
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA
4
Pendayagunaan sumber
5
Penataan organisasi
Tujuan Belajar memahami tentang penyebab dan dampak penyalahgunaan NAPZA 1. Peserta mengetahui dan memahami tentang definisi pencegahan penyalahgunaan NAPZA 2. Peserta mengetahui dan memahami tentang jenis dan sasaran pencegahan penyalahgunaan NAPZA 3. Peserta mengetahui dan memahami tentang bentukbentuk kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA 1. Peserta mengetahui dan memahami tentang definisi dan jenis-jenis sumber 2. Peserta mampu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sumber 3. Peserta mengetahui dan memahami tentang brokering dan rujukan. 1. Peserta memahami tentang konsep dasar organisasi 2. Peserta mengetahui dan
Pokok Bahasan
Metode
Media Pembelajaran
Evaluasi
Waktu
1. Definisi pencegahan penyalahgunaan NAPZA 2. Jenis-jenis dan sasaran pencegahan penyalahgunaan NAPZA (pencegahan primer, sekunder dan tersier) 3. Bentuk-bentuk kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA
1. Belajar pengalaman 2. Ceramah 3. Tanya jawab 4. Curah pendapat
1. Laptop 2. LCD proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Pengama tan
3 JP
1. Definisi dan jenis-jenis sumber 2. Identiikasi dan klasifikasi sumber yang bisa digunakan untuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA 3. Brokering dan rujukan korban penyalahgunaan NAPZA
1. Ceramah 2. Tanya jawab 3. Diskusi 4. Penugasan
1. Laptop 2. LCD Proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Pengama tan
3 JP
1. Konsep dasar organisasi 2. Jenis dan bentuk organisasi masyarakat
1. Ceramah 2. Tanya jawab
1. Laptop 2. LCD Proyektor
Pengama tan
3 JP
183
No
Mata Latih
Tujuan Belajar
3.
6
Penyusunan rencana kegiatan
1.
2.
3.
7
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
1.
2.
3.
memahami jenis dan bentuk organisasi masyarakat Peserta mengetahui dan memahami konsep penataan organisasi, prinsip dan langkah-langkah penggorganisasian Peserta mengetahui dan memahami konsep dan prinsip penyusunan rencana Peserta mengetahui dan memahami unsur-unsur rencana kerja Peserta mengetahui dan memahami proses penyusunan rencana Peserta mengetahui dan memahami konsep monitoring, evaluasi dan pelaporan Peserta mengetahui alasan dan memahami teknik monitoring, evaluasi dan pelaporan Peserta mengetahui dan memahami substansi pelaporan
Pokok Bahasan
Metode
Media Pembelajaran 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Evaluasi
Waktu
3. Penataan organisasi 4. Prinsip pengorganisasian 5. Langkah-langkah pengorganisasian
3. Penugasan
1. 2. 3. 4.
1. Ceramah 2. Tanya jawab 3. Penugasan
1. Laptop 2. LCD Proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Pengama tan
3 JP
1. Ceramah 2. Tanya jawab
1. Laptop 2. LCD Proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Pengama tan
3 JP
Konsep penyusunan rencana Prinsip penyusunan rencana Unsur-unsur rencana kerja Proses penyusunan rencana
1. Pengertian dan alasan monitoring, evaluasi dan pelaporan 2. Teknik monitoring, evaluasi dan pelaporan 3. Substansi pelaporan
184
No
Mata Latih
Tujuan Belajar
Pokok Bahasan
Metode
8
Praktek Penataan Organisasi Tim Kerja dan Penyusunan Rencana Kegiatan Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA
1. Rancangan organisasi Tim Kerja 2. Pemahaman diri dan penempatan dalam Tim Kerja 3. Struktur rencana kegiatan
1. Ceramah 2. Tanya jawab 3. Diskusi 4. Penugasan 5. Presidium 6. Rapat bidang 7. Rapat pleno
9
Praktik Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA dan pemdampingan
1. Peserta mampu membentuk Tim Kerja Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA 2. Peserta memahami potensi diri masing-masing dan mampu menempatkan diri didalam Tim Kerja yang dibentuk 3. Peserta mampu membuat rencana pencegahan penyalahgunaan NAPZA 1. Peserta mampu melaksanakan rencana pencegahan penyalahgunaan NAPZA 2.Peserta mampu menggali dan mengelola sumber dana
1. Pembahasan manajemen organisasi dan manajemen kegiatan/pelayanan 2. Fund rising
1. Supervisi 2. Konsultasi 3. FGD 4. Field studi
Media Pembelajaran 1. Laptop 2. LCD proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
Evaluasi
Waktu
1. Penga matan 2. Hasil kerja kelom pok
16 JP
1. Laptop 2. LCD proyektor 3. Pliff-chart 4. Kertas plano 5. Kertas metaplan 6. Spidol
1.Pengamatan 2.Hasil kerja kelompok
24 JP
185
(8) Penilaian Penilaian terutama akan dilakukan kepada peserta capacity building dengan menggunakan metode ancangan klasi pretest dan posttest, pengamatan disaat pelatihan dan pasca pelatihan, diskusi terfokus, verifikasi hasil kerja/praktik kelompok dan studi dokumentasi pada pasca pelatihan. Adapun unsur-unsur yang dinilai sesuai indikator output dan impact.
3) Raw Input Raw input dari model capacity building ini adalah warga masyarakat yang berasal dari lembaga/organisasi masyarakat lokal yang telah diidentfikasi potensinya dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA, yakni LPM, Kelompok Minoritas Plus, Karang Taruna, PKK, DKM dan Tokoh Masyarakat Kewilayahan. Mereka diharapkan memenuhi kriteria : a)
Berstatus perwakilan organisasi lokal
b) Bersedia menjadi peserta pelatihan c)
Bersedia menjadi anggota tim kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA
d) Bersedia berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang diprogramkan tim kerja. Keempat kriteria tersebut sangat penting dipenuhi oleh warga masyarakat yang terpilih menjadi peserta capacity building, karena kehadirannya sebagai peserta tidak hanya untuk kepentingan pelatihan, melainkan juga untuk penataan tim kerja dan kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Agar proses capacity building berkelanjutan, maka penentuan kriteria calon peserta capacity building serta proses seleksinya merupakan bagian penting yang akan mempengaruhi capacity building secara keseluruhan. 186
4) Proses Komponen proses dari model capacity building terdiri atas bentuk kegiatan yaitu : a) pelatihan dan pengembangan; b) penataan tim kerja; c) penyusunan rencana kegiatan; dan d) pendampingan. Keempat komponen tersebut didalam proses pelaksanaannya mengikuti struktur program (pola kegiatan) yang telah dirumuskan, sehingga komponen pelatihan dan pengembangan akan merupakan proses perkuliahan didalam kelas berupa presentasi atau pembahasan materi (mata latih) oleh fasilitator disertai dengan penugasan dan diskusi. Komponen penataan tim kerja dan penyusunan rencana kegiatan akan merupakan praktik didalam kelas yang dilakukan oleh peserta berdasarkan penugasan dari fasilitator. Sedangkan pendampingan akan berisi praktik lapangan berupa pencegahan penyalahgunaan NAPZA oleh peserta dibawah supervisi dari fasilitator. Inti dari proses pelatihan dan pengembangan SDM sebagai proses perkuliahan adalah interaksi pembelajaran antara fasilitator dengan peserta yang didukung dengan berbagai materi, sarana, dan fasilitas. Idealnya proses tersebut didukung oleh aplikasi prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa seperti menghargai pengalaman peserta yang dibawa kedalam proses pembelajaran, sehingga di dalam proses perkuliahan terdapat nuansa belajar pengalaman (experiential learning). Praktik penataan tim kerja adalah proses menyatukan peserta pelatihan kedalam suatu struktur tim kerja yang akan bertugas melaksanakan pencegahan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Struktur tim kerja diharapkan dapat 187
mewadahi fungsi-fungsi masyarakat serta aktivitas pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang telah dan sedang dilakukan oleh sebagian organisasi lokal yang diidentifikasi. Praktik penataan tim kerja diharapkan dapat dilakukan secara partisipatif/musyawarah oleh peserta pelatihan. Proses
penataan
tim
kerja
menggunakan
metode
yang
dapat
menumbuhkan pengalaman atau yang diambil dari pengalaman melalui proses sebagai berikut : (1) Fasilitator meminta peserta untuk memilih secara aklamasi 2 (dua) orang peserta yang akan bertindak sebagai presidium pembentukan tim kerja; (2) Presidium bertugas memimpin : (a) perumusan nama tim kerja, visi, misi, tujuan, dan tugas pokok dan fungsi; (b) pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara; (c) Pemilihan koordinator bidang; dan (d) penempatan anggota bidang. Praktik penyusunan rencana kegiatan adalah usaha sadar dan pengambilan keputusan secara sistematis tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan oleh tim kerja dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu dan dengan memperhatikan pendayagunaan sumbersumber secara efektif dan efisien. Proses penyusunan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA diharapkan dilakukan oleh tim kerja terbentuk dengan
difasilitasi oleh penyelenggara. Proses praktek penyusunan
rencana kegiatan dilakukan dengan mekanisme : (1) Rapat (diskusi) bidang dipimpin oleh setiap koordinator bidang sesuai uraian tugas masing-masing bidang; (2) Rapat (diskusi) pleno dipimpin oleh Ketua tim kerja untuk menyempurnakan, mengesahkan dan menyatukan rencana yang sudah disusun; (3) Pernyataan kesepakatan/komitmen bersama yang merupakan perwujudan niat dari 188
semua pihak yang terlibat untuk ikut bertanggung jawab dalam mensukseskan kegiatan. Semua pihak yang telah tergabung dalam tim kerja menyatakan janji hatinya secara bersama dalam bentuk kalimat; (4) Penulisan dan penandatanganan komitmen dalam lembar komitmen/kesepakatan oleh semua pengurus dan anggota tim kerja. Kegiatan pendampingan akan berisi proses pendidikan orang dewasa di lapangan dengan menggunakan metoda antara lain supervisi dan konsultasi. Praktik lapangan dibawah supervisi diharapkan dapat mendukung perubahan perilaku yang telah dicapai peserta pelatihan untuk mendapatkan kemajuan. Supervisi adalah salah satu bentuk kegiatan pendampingan berupa proses pendidikan atau pembelajaran praktek dari penyelenggara dan fasilitator yang ditugaskan untuk mensupervisi tim kerja. Supervisi memiliki 3 (tiga) fungsi : (1) fungsi pendidikan yakni menyalurkan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai; (2) fungsi administrative yakni mengarahkan, mengkoordinasikan, meningkatkan dan mengevaluasi; (3) fungsi supportive yakni berbagai aktivitas kepemimpinan seperti memajukan moral tim kerja, mempermudah pertumbuhan pribadi dan meningkatkan perasaan berharga, mendukung perasaan memiliki berkenaan dengan misi organisasi, dan mengembangkan perasaan aman didalam unjuk kerja. Sedangkan konsultasi adalah salah satu bentuk kegiatan pendampingan berupa interaksi antara pendamping dan/atau fasilitator dengan tim kerja, dimana pendamping dan/atau fasilitator yang bertindak sebagai konsultan tidak mempunyai otoritas administrative terhadap pekerjaan tim kerja. Konsultasi
189
dilaksanakan untuk membicarakan berbagai persoalan yang terkait dengan program organisasi dan berupaya menemukan solusinya.
5) Environmental Input Environmental input adalah masukan lingkungan yang harus diperhatikan untuk melaksanakan proses capacity building, hal ini mencakup antara lain dukungan tempat pelaksanaan. Meskipun idealnya proses pembelajaran dalam capacity building dilaksanakan dalam suatu tempat yang ideal yang didukung dengan fasilitas ruangan yang memadai seperti arsitektur, pengaturan tempat duduk, suhu ruangan dan sound system, namun realitasnya harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dimana proses tersebut dilaksanakan.
6) Output Output yang diharapkan dari model capacity building ini adalah meningkatnya pengetahuan dan sikap peserta tentang materi yang dilatihkan, serta keterampilan peserta pelatihan membentuk tim kerja dan merumuskan rencana kegiatan/ rencana kerja tim dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Komponen output serta indikator-indikatornya diuraikan sebagai berikut : a)
Meningkatnya pengetahuan peserta tentang jenis dan bahaya NAPZA; ciriciri, sebab dan akibat penggunaan NAPZA, kebijakan, penataan organisasi tim kerja, pencegahan penyalahgunaan NAPZA, dan sikap terhadap pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
190
b) Terbentuknya Tim Kerja Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Tim kerja yang dibentuk idealnya memiliki : (1) Aspek-aspek kelembagaan yang mencakup visi, misi, kedudukan, tugas pokok dan fungsi, dan Bagan Struktur Organisasi (BSO), dan Uraian Tugas. (2) Aspek-aspek ketatalaksanaan yang mencakup dimensi standarisasi, sistem dan prosedur kerja. (3) Dasar hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti memiliki Surat Keputusan tentang pembentukan tim. (4) Personalia atau kepengurusan dan keanggotaan yang penempatannya sesuai kesempatan, kesanggupan dan kemampuan yang bersangkutan untuk ditempatkan pada struktur tim kerja yang dibentuk. Hal yang harus diperhatikan dalam penempatan kerja ini adalah prinsip “the right man on the right place” agar komitmen dan pelaksanaan tugas pencegahan penyalahgunaan NAPZA berjalan secara efektif dan efisien. (5) Pembiayaan atau pendanaan, bisa dirancang dan dipenuhi berdasarkan sistem perencanaan program dan kegiatan atau sistem alokasi anggaran. Tim kerja dengan rencana kegiatannya akan membutuhkan dana administrasi
atau
dana
kesekretariatan
yang
bisa
diupayakan
pengumpulannya secara swadaya dari masing-masing organisasi yang menggabungkan diri. Dana kegiatan bisa saja diperoleh dengan cara penggalangan dana masyarakat melalui penyebaran proposal. Bisa juga pihak penyelenggara capacity building memberikan bantuan dana 191
stimulan
guna menjamin
terselenggaranya
kegiatan
yang sudah
direncanakan. Dana bantuan ini disamping bersifat sementara dan terbatas, juga diupayakan menjadi perangsang bagi penggalangan dana secara swadaya. (6) Prasarana dan sarana kerja, mencakup adanya ruang secretariat serta fasilitasnya seperti alat tulis kantor (ATK) dan perlengkapan kerja lapangan.
c) Tersusunnya rencana kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Proses pelatihan diharapkan menghasilkan output berupa kemampuan didalam penyusunan rencana kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Rencana ini idealnya memiliki unsur nama kegiatan, tujuan, sasaran, langkahlangkah kegiatan, waktu, pelaksana, dan indikator keberhasilan.
7) Outcomes Outcomes merupakan kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan oleh tim kerja sebagai implementasi dari rencana yang telah disusun. Secara garis besar hal ini diharapkan mencakup pencegahan primer bagi warga masyarakat pada umumnya terutama yang belum pernah menyalahgunakan NAPZA, pencegahan sekunder bagi warga masyarakat yang rawan atau memiliki gejala menyalahgunakan NAPZA, dan pencegahan tersier bagi mantan pengguna NAPZA. Outcomes
juga
mencakup
keefektipan
kegiatan
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA oleh tim kerja, yakni tercegahnya masyarakat dari 192
penyalahgunaan NAPZA (termasuk tercegahnya kekambuhan dari para mantan penyalahguna NAPZA) dan berkurangnya tingkat kerawanan masyarakat.
b. Rumusan Model Hasil Review, Uji Terbatas dan Revisi Model capacity building organisasi masyarakat local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA telah melalui proses : (1) Review bersama para praktisi (uji pengguna) dan bersama ahli/akademisi (uji ahli), dan (2) Uji coba terbatas berkaitan dengan materi pelatihan, metode penyampaian materi dan instrumen penelitian yang digunakan.
1) Hasil Review Model Para praktisi dan akademisi yang dilibatkan dalam review model adalah orang-orang yang berkompeten dan diajak bekerjasama dalam kegiatan implementasi model. Para praktisi berasal dari Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan NAPZA Departemen Sosial dan Seksi Pelayanan Anak Nakal dan Korban Penyalahgunaan NAPZA Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan program penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan para akademisi berasal dari Lembaga Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial (LPM-STKS) Bandung yang berpengalaman mengajar dan melaksanakan praktek pengabdian masyarakat dibidang penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA. Proses pengujian dilakukan dengan cara diskusi dan konsultasi berkenaan dengan model konseptual awal. Beberapa kritikan dan masukan dari proses 193
pengujian tersebut melahirkan beberapa perubahan dari substansi model yang telah disusun. a)
Perubahan dalam susunan penyelenggara Unsur yang dilibatkan dalam penyelenggaraan model capacity building ini
awalnya adalah penanggungjawab, Ketua Tim, Wakil Ketua Tim, Sekretaris, Anggota secretariat, fasilitator dan asisten fasilitator. Berdasarkan review model dengan praktisi dari Departemen Sosial dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, ternyata struktur penyelenggara tersebut tidak sesuai dengan pola kebiasaan pada instansi pemerintah sehingga diperkirakan akan mengalami kesulitan ketika diaplikasikan di lapangan. Akhirnya struktur penyelenggara yang disanggupi adalah : (1) Pengarah. Adalah pejabat yang ditunjuk untuk memberikan arahan tentang pelaksanaan impelementasi model agar sesuai dengan aturan yang berlaku. (2) Penanggung jawab Umum. Adalah pihak yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan implementasi model. (3) Penanggung jawab Operasional. Adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program implementasi model di lapangan (4) Narasumber Adalah orang (pejabat, tenaga ahli, praktisi) yang terkait program implementasi model dan dilibatkan dalam sebagian waktu atau langkah 194
program untuk memberikan paparan dan penjelasan tentang thema tertentu yang sudah ditentukan. (5) Panitia Adalah
petugas
administrasi
yang
membantu
kelancaran
persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi kegiatan implementasi model. (6) Pendamping Adalah orang yang diberikan tugas untuk melakukan pendampingan terhadap Tim Kerja Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA. Mereka terdiri atas pendamping luar dan pendamping lokal. Pendamping luar berasal dari luar masyarakat Kelurahan/Desa lokasi program implementasi model, yang diharapkan memiliki kompetensi pekerjaan sosial di bidang pengembangan masyarakat. Pendamping lokal adalah orang yang berasal dari wilayah kerja Tim Kerja Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA yang ditetapkan oleh Penanggung jawab Umum dari unsur ketokohan yang ada di masyarakat. (7) Petugas evaluasi Adalah orang yang ditugaskan oleh penanggungjawab umum untuk melakukan evaluasi efektivitas implementasi model.
b) Perubahan dalam Raw Input Dalam model awal, yang akan dijadikan raw input adalah para utusan organisasi masyarakat lokal yang telah diidentifikasi potensinya dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA, yakni LPM, Kelompok Minoritas Plus, Karang Taruna, PKK, DKM dan Tokoh Masyarakat Kewilayahan.
195
Berdasarkan review model bersama praktisi dari Departemen Sosial dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat serta tokoh masyarakat, diperoleh masukan bahwa terdapat unsur-unsur lain yang harus dilibatkan sehingga komponen raw input terdiri atas : (1) Ketua dan staf LPM (2) Ketua RW (3) Ketua MUI Kelurahan Maleber (4) Pengurus DKM (5) Pengurus PKK (6) Karang Taruna (7) Unsur POLRI (Babinkamtibmas) (8) Pembina dari TNI AD (Babinsa); (9) Unsur Pemerintahan (Staf Kelurahan); (10)
Kelompok Minoritas Plus
(11)
Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat;
(12)
Kantor Sosial Kota Bandung. Adanya
perubahan
komponen
peserta
seperti
tersebut
diatas,
dilatarbelakangi perdebatan didalam review model bahwa pemisahan antara unsur masyarakat (perwakilan organisasi masyarakat lokal) dengan unsur pemerintahan hanya akan melahirkan dikotomi dan jurang pemisah didalam masyarakat. Pemecahan masalah sosial penyalahgunaan NAPZA tidak akan efektif dilaksanakan secara terpisah oleh masyarakat tanpa keterlibatan unsur pemerintah. Unsur kepolisian perlu ditambahkan karena sebelumnya telah berperan didalam 196
penyuluhan tentang bahaya NAPZA, sedangkan unsur TNI diperlukan dalam kaitan dengan pembinaan keamanan masyarakat dan unsur kelurahan diperlukan untuk mempermudah didalam pelaksanaan kegiatan. Kemudian pelibatan unsur Dinas Sosial provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung dimaksudkan agar kedepan unsur tersebut dapat memberikan dukungan sesuai dengan kebutuhan. Dalam kesempatan review model capacity building organisasi local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA bersama 2 (dua) orang akademisi yang ahli dibidang rehabilitasi social bagi korban penyalahgunaan NAPZA, dan ahli dibidang pengembangan masyarakat, didapat masukan bahwa (1) yang harus diperhatikan dalam menentukan raw input adalah proses seleksi dengan berbagai criteria seperti pendidikan, umur, pengalaman lapangan dan pekerjaan; (2) yang utama dari raw input ini adalah orang-orang yang kurang memiliki kapasitas, dan bukan orang-orang yang tertindas.
c)
Perubahan istilah dalam kaitan proses Komponen proses dari model capacity building organisasi masyarakat
lokal adalah pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia, penataan tim kerja dan pendampingan. Namun berdasarkan review model dengan praktisi dari Departemen Sosial, istilah “pelatihan” perlu diganti dengan “pembekalan” yang merupakan konsep program yang biasa digunakan di lingkungan Direktorat PRSKN Departemen Sosial sebagai penggati kata “pelatihan” dengan jam pelatihan (jamlat) dibawah 40 jamlat. Jika tetap menggunakan istilah pelatihan, maka implementasi model akan merupakan bagian dari fungsi lembaga
197
pendidikan dan pelatihan (Diklat), sementara implementasi model ini telah menjadi bagian dari fasilitasi Direktorat PRSKN Departemen Sosial. Pembekalan dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia dengan cara menyajikan materi dalam jam pelatihan yang terbatas, lebih bersifat memberikan pengetahuan, memperkuat kemampuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan peserta untuk melakukan pencegahan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat.
d) Penambahan unsur bantuan dana stimulan Atas dasar pertimbangan dalam diskusi dengan para praktisi bahwa meskipun model capacity building mengupayakan keswadayaan masyarakat, namun pada tahap awal tim kerja akan membutuhkan dukungan dana operasional seperti untuk kesekretariatan yang belum bisa digalang dari masyarakat. Karenanya tim kerja perlu diberikan bantuan dana stimulan dengan jumlah yang tidak terlalu besar, sebagai pemancing muncul dan berkembangnya keswadayaan mereka.
e)
Masukan Lainnya Menurut pandangan pengguna dari Departemen Sosial, keberadaan model
capacity building ini saling melengkapi dengan program-program yang sudah ada seperti rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) sehingga bisa menghasilkan sustainabilitas program dilingkungan Direktorat PRSKN Departemen Sosial. Model ini bukan saja berkontribusi bagi Departemen Sosial tetapi juga bagi mereka yang membutuhkan, karenanya kesederhanaan isi diperlukan agar mudah 198
dipahami. Masukan lainnya adalah berkenaan dengan bentuk kapasitas (materi pelatihan) yang harus sesuai dengan kebutuhan dan waktu yang tersedia.
2) Hasil Uji Coba Model Secara Terbatas Sebagian komponen model capacity building telah diujicobakan kepada tokoh-tokoh
organisasi
masyarakat
lokal
peserta kegiatan
“Peningkatan
Pengetahuan Tutor/Penyuluh P4GN bagi Tenaga Pendidik, Organisasi Sosial Masyarakat/LSM di Provinsi Jawa Barat”. Keseluruhan peserta kegiatan tersebut berjumlah 51 orang, terdiri atas 15 orang pendidik, dan 36 orang tokoh organisasi masyarakat lokal yang terdiri atas 22 orang belum pernah mengikuti pelatihan tentang NAPZA dan sisanya 14 orang pernah mengikutinya. Keseluruhan peserta diberikan materi tentang Kebijakan dan program pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA, masalah penyalahgunaan NAPZA, dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, setelah mereka diminta mengisi lembaran pretest. Materi kebijakan disampaikan oleh Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BNP Jawa Barat dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab yang didukung tayangan slide power point. Materi tentang masalah penyalahgunaan NAPZA disampaikan oleh peneliti dengan metode dan media yang sama, juga dengan penayangan film pendek tentang kasus penyalahgunaan NAPZA. Khususnya
materi
tentang
pencegahan
penyalahgunaan
NAPZA
yang
disampaikan oleh nara sumber dari STKS Bandung, menampilkan teknik penyuluhan yang dilanjutkan dengan penugasan permainan peran oleh peserta pelatihan.
199
Pada akhir pelatihan, seluruh peserta diminta mengisi lembaran posttes sebagai upaya validasi eksternal dan mengisi lembar evaluasi validasi internal terhadap materi dan metode yang digunakan. Untuk kepentingan metodologi ujicoba model secara terbatas dan mencapai karakteristik yang homogen, data hasil evaluasi yang akan disajikan hanya data 22 orang tokoh organisasi masyarakat lokal yang belum pernah mengikuti pelatihan. Penilaian responden terhadap kualitas materi kebijakan, masalah dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang disajikan serta metode penyajian untuk ketiga materi tersebut, tidak jauh berbeda yakni rata-rata berkisar antara nilai 7 sampai 8. Materi kebijakan dan metode penyampaiannya memiliki rata-rata nilai yang sama yakni masing-masing 7,41, dengan kategori nilai untuk kualitas materi sebesar 81,82% baik dan 18,18% sedang. Sedangkan
metode
penyampaiannya 77,27% baik, 18,18% sedang dan 4,55% kurang. Nilai rata-rata tertinggi, baik untuk kualitas materi maupun metode penyampaian didapatkan pada materi dan metode masalah penyalahgunaan NAPZA yakni 7,68 untuk materi dan 7,95 untuk metode. Sedangkan nilai rata-rata terendah
didapatkan
pada
metode
penyampaian
materi
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA. Jika dibandingkan, maka metode ceramah tanya jawab yang didukung tayangan slide power point serta pemutaran film pendek ternyata dinilai lebih baik oleh peserta dibandingkan dengan metode penugasan dan simulasi permainan peran. Hal ini berarti bahwa variasi metode serta keaktipan fasilitator/narasumber memiliki nilai lebih dibanding dengan yang tidak bervariasi
200
dan mengandalkan keaktipan peserta.
Adapun rincian penilaian materi dan
metode penyampaian secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.7 Penilaian Peserta Pelatihan terhadap Kualitas Materi Dan Metode Penyampaian Materi Evaluasi Peserta Pembekalan Terhadap Materi Dan Metode Penyampaian Kualitas materi kebijakan dan program pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA Kualitas materi pengetahuan tentang NAPZA dan permasalahannya Kualitas materi pencegahan penyalahgunaan NAPZA (Teknik penyuluhan) Cara penyampaian materi kebijakan dan program pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA Cara penyampaian materi pengetahuan tentang NAPZA dan permasalahannya Cara penyampaian materi pencegahan penyalahgunaan NAPZA (Teknik penyuluhan)
Rata2 Nilai
Baik f %
Sedang f %
Kurang f %
Jumlah F %
7,41 18 81,82
4
18,18
0
0,00
22
100
7,68 19 86,36
3
13,64
0
0,00
22
100
7,41 17 77,27
5
22,73
0
0,00
22
100
7,41 17 77,27
4
18,18
1
4,55
22
100
7,95 19 86,36
3
13,64
0
0,00
22
100
7,18 18 81,82
4
18,18
0
0,00
22
100
Sumber : Hasil Pengolahan Data Ujicoba Model Berkaitan dengan validasi eksternal, kepada semua peserta pelatihan telah dilakukan pretest dan posttest
dengan menggunakan instrumen yang
keseluruhannya berjumlah 65 item pertanyaan/pernyataan, dengan penyebaran untuk setiap materi sebagai berikut : (1) pertanyaan tentang jenis dan bahaya NAPZA sebanyak 7 item; (2) ciri-ciri perilaku orang yang diduga mengkonsumsi 201
NAPZA sebanyak 15 item; (3) pernyataan yang merupakan faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA sebanyak 12 item; (4) pernyataan yang merupakan akibat memakai NAPZA sebanyak 13 item; (5) teknik penyuluhan sebanyak 3 item; dan (6) pernyataan kebijakan sebanyak 15 item. Dari hasil pretest dengan 65 pertanyaan kepada 22 orang peserta pelatihan, secara keseluruhan diperoleh skor 713 dengan rata-rata skor jumlah jawaban peserta yang benar sebesar 32,41 atau nilai rata-rata sebesar 49,86%. Setelah dilakukan penyajian materi kebijakan, masalah dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, peserta di test ulang dengan pertanyaan yang sama dan mencapai skor keseluruhan sebesar 1103 dengan rata-rata jawaban peserta yang benar sebesar 50,14 atau nilai rata-rata sebesar 77,13%. Perbandingan hasil pretest dan posttest tersebut berarti menunjukkan adanya pengaruh substansi materi pelatihan dan metode penyajiannya terhadap tingkat pemahaman peserta tentang kebijakan, masalah, dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, dengan rata-rata kenaikan skor sebesar 17,73 per peserta atau pencapaian sebesar 27,27% Pengolahan data hasil isian pretest dan posttest secara lengkap disajikan dalam tabel berikut.
202
Tabel 4.8 Hasil Pretest dan Posttest Peserta Pelatihan dalam Ujicoba Model Terbatas Skor Jawaban yang Benar
Skor Maksimal
Kenaikan yang Dicapai
Kenaikan yang Diharapkan
Pencapaian Target (%)
No
Pre-Test
Post-Test
1
27
56
65
29
38
76,32
2
16
56
65
40
49
81,63
3
33
50
65
17
32
53,13
4
32
56
65
24
33
72,73
5
30
52
65
22
35
62,86
6
33
57
65
24
32
75,00
7
33
54
65
21
32
65,63
8
27
51
65
24
38
63,16
9
21
51
65
30
44
68,18
10
31
45
65
14
34
41,18
11
35
53
65
18
30
60,00
12
30
53
65
23
35
65,71
13
35
53
65
18
30
60,00
14
30
53
65
23
35
65,71
15
26
46
65
20
39
51,28
16
43
50
65
7
22
31,82
17
43
40
65
-3
22
-13,64
18
42
46
65
4
23
17,39
19
30
42
65
12
35
34,29
20
42
47
65
5
23
21,74
21
32
46
65
14
33
42,42
22
42
46
65
4
23
17,39
1430
∑
713
1103
û
32,41
50,14
390
717
1114
17,73
32,59
50,63
Sumber : Hasil Pengolahan Data Ujicoba Model Berdasarkan data pada tabel diatas kemudian dapat dilihat sebesar apa perubahan yang terjadi pada peserta pelatihan sebagai hasil dari perlakuan berupa 203
penyajian materi pelatihan. Cara pengukuran yang ditampilkan pada tabel membandingkan tiga kondisi yakni kondisi sebelum perlakuan (hasil pretest), sesudah perlakuan (hasil posttest) dan kondisi ideal yang diharapkan. Dengan membandingkan ketiga kondisi tersebut, bisa dilihat kemajuan yang dicapai dan kemajuan yang diharapkan. Selisih antara kemajuan yang dicapai dengan kemajuan yang diharapkan menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan. Data dalam tabel menunjukkan bahwa validasi eksternal untuk kenaikan kompetensi peserta dalam hal pemahaman kebijakan, masalah, dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA rata-rata mencapai 17,73 dibawah target yang diharapkan yakni sebesar 32,59. Hal ini berarti bahwa pencapaian target hanya mencapai 50,63%, dan berarti pula bahwa keefektipan komponen model berupa materi dan metode penyampaian materi, demikian juga dengan instrumen pengukuran pretest dan posttest perlu ditinjau ulang untuk mendapatkan revisi sehingga menjadi lebih baik.
3) Model Hasil Revisi Berdasarkan masukan-masukan akademisi dan praktisi dalam review model, serta hasil ujicoba model secara terbatas, kemudian dilakukan revisi model untuk menjamin model tersebut betul-betul siap diimplementasikan. Dalam kaitan dengan komponen model yang diujicobakan secara terbatas, peneliti melakukan revisi terhadap susunan materi kebijakan pencegahan penyalahgunaan NAPZA, materi pengetahuan tentang masalah penyalahgunaan NAPZA dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Materi yang direvisi adalah berupa slide power point yang tampilannya dipercantik dengan menambahkan unsur animasi didalamnya 204
dan gambar-gambar tentang NAPZA agar peserta mengetahui tentang jenis-jenis dan bentuk-bentuk NAPZA. Peneliti juga berupaya menambah jumlah film pendek tentang bahaya penyalahgunan NAPZA, agar materi tersebut lebih bervariasi sehingga mampu meningkatkan kesadaran peserta pelatihan tentang bahayanya dan menarik minat untuk mencegahnya. Disamping ketiga materi yang direvisi,
peneliti
juga
menyusun
materi-materi
lainnya
yakni
tentang
pendayagunaan sumber, penataan organisasi tim kerja, penyusunan rencana kegiatan (aksi), monitoring dan evaluasi. Sebagian materi disusun secara singkat atau garis besarnya saja, sehingga bisa memberikan kesempatan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai fasilitator/nara sumber untuk mengembangkannya. Berkenaan dengan metode penyampaian materi, didalam desain model ditekankan mengenai pentingnya kombinasi metode ceramah dan tanya jawab dengan metode-metode lainnya seperti belajar pengalaman, tayangan film, diskusi dan penugasan serta simulasi permainan peran. Pertimbangan perlunya mengkombinasikan metode karena masing-masing metode memiliki kelebihan dan
kelemahan
masing,
sehingga
yang
penting
adalah
bagaimana
mengkombinasikan setiap kelebihan masing-masing metode. Namun demikian penggunaan metode perlu juga memperhatikan materi yang akan disajikan dan waktu yang disediakan. Untuk komponen alat ukur pretest dan posttest yang semula berjumlah 65 item pertanyaan direvisi menjadi 40 item pertanyaan pokok, dimana pada sebagian pertanyaan terdapat sub-sub pertanyaan sehingga keseluruhannya berjumlah
52
item
pertanyaan/pernyataan.
Pertanyaan-pertanyaan
yang 205
berdasarkan hasil evaluasi dinilai meragukan dihilangkan dan diganti dengan pertanyaan yang lebih memadai, juga substansi pertanyaan dilengkapi dengan komponen materi lainnya. Secara keseluruhan alat ukur tersebut terdiri atas bagian : (1) Jenis dan bahaya NAPZA, 11 item; (2) Ciri-ciri, sebab dan akibat penggunaan NAPZA, 15 item; (3) Kebijakan, 6 item; (4) Penataan organisasi tim kerja, 5 item; (5) Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, 5 item; (6) Sikap terhadap pencegahan penyalahgunaan NAPZA, 10 item pernyataan. Peneliti juga menyiapkan berbagai dokumen pendukung lainnya yang dianggap penting seperti instrumen pemahaman diri dan permainan tipe kepemimpinan, instrumen monitoring dan evaluasi khususnya untuk pengukuran outcome model. Selebihnya yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan model evaluasi seperti model format evaluasi hasil pretest dan posttest sebagai berikut :
No Materi
Jumlah yang Betul Pretest Posttest A B
Maksimal Jumlah Peserta C
Kenaikan yang Dicapai B–A
Kenaikan yang Diharapkan C-A
Persentase Pencapaian Target (B-A) x100% (C-A)
Gambar 4.8. Format Tabel Pengolahan Hasil Pretest dan Posttest
Komponen lainnya dari model yang direvisi menyesuaikan dengan berbagai masukan selama review dengan ahli akademisi dan praktisi, sehingga rumusan model capacity building hasil revisi dapat dilihat ditampilkan sebagai berikut :
206
Raw Input : Perwakilan Organisasi Masyarakat Lokal, TNI, POLRI, Pemerintah : • LPM • Minoritas Plus • Karang Taruna • PKK • DKM • Tokoh Masya Kewilayahan • MUI • Babinkamtib mas • Babinsa • Kelurahan • Dinas Sosial
Instrumental input : • Visi dan Misi • Penyelenggara • Strategi pengembangan program
Proses : • Pembekalan/Pelati han & pengembangan SDM • Penataan Tim Kerja • Penyusunan rencana kegiatan
Environmental Input: Dukungan tempat pelaksanaan
Output : • Meningkatnya kompetensi peserta • Terbentuk nya Tim Kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA • Tersusunnya Rencana Kegiatan
Pendampingan dan Pemberi -an dana stimulan
Outcome : • Pencegahan penyalahgu -naan NAPZA • Tercegahnya masyarakat dari penyalahgunaan NAPZA
Gambar 4.9. Model Hipotetik Capacity Building Organisasi Masyarakat Lokal dalam Mencegah Penyalahgunaan NAPZA
3.
Implementasi Model Implementasi model capacity building organisasi local dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA dimaksudkan sebagai penerapan model secara keseluruhan setelah sebelumnya model tersebut direvisi. Implementasi model ini merupakan tindak lanjut atas kesepakatan peneliti dengan berbagai pihak yang mencakup tokoh masyarakat dan pemerintahan kelurahan Maleber, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan NAPZA Departemen Sosial, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan LPM STKS Bandung. Gambaran implementasi model mulai persiapan sampai dengan pelaksanaan dapat diuraikan sebagai berikut. 207
a. Tahap Persiapan Kegiatan-kegiatan
yang
dilakukan
pada
tahap
persiapan
untuk
mengimplementasikan model capacity building adalah : 1) Penentuan Penyelenggara Penentuan penyelenggara dilakukan oleh Departemen Sosial, sehingga ditetapkan susunan penyelenggara untuk kegiatan pembekalan, penataan tim kerja dan penyusunan rencana kegiatan sebagai berikut : a) b) c) d)
Pengarah Pusat 1 orang (Direktorat PRSKN) Pengarah Daerah 1 orang (Dinas Sosial) Panitia Pusat 2 orang (Direktorat PRSKN) Panitia daerah 1 orang. (Dinas Sosial)
Disamping susunan penyelenggara tersebut, pihak Departemen Sosial juga menetapkan susunan penyelenggara untuk kegiatan pendampingan praktik pencegahan penyalahgunaan NAPZA sebagai berikut: a) Penanggungjawab Umum 1 orang (Direktorat PRSKN) b) Penanggungjawab Operasional 1 orang (LPM STKS) c) Pendamping 4 orang (Dinas Sosial, STKS, Lurah Maleber, Tokoh Masyarakat Maleber). 2) Pemilihan Nara Sumber Pemilihan
nara
sumber
dilakukan
oleh
panitia
pusat
dengan
memperhatikan pemenuhan kriteria yang telah ditentukan didalam model yakni mengusai materi, menguasai variasi metode pembelajaran, memiliki kemampuan mengajar dan memiliki pengalaman dalam penanganan NAPZA. Nara sumber terplih untuk kegiatan pembekalan, penataan tim kerja dan penyusunan rencana kegiatan berjumlah 4 orang, terdiri atas 1 orang narasumber Pusat (Direktorat
208
PRSKN), dan 3 orang nara sumber Daerah (1 orang dari Dinas Sosial, dan 2 orang dari LPM STKS).
3) Pemilihan Peserta Pemilihan peserta khususnya yang berasal dari organisasi masyarakat yang ada di kelurahan Maleber dilakukan oleh Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Maleber, sedangkan yang berasal dari unsur pemerintahan
diserahkan kepada pimpinan instansi masing-masing. Menurut
penilaian peneliti, pendelegasian wewenang untuk memilih peserta kepada Ketua LPM adalah sudah tepat. Hal ini mengingat bahwa LPM adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi koordinatif di tingkat kelurahan, sehingga LPM memiliki daftar dan mengenal semua lembaga/organisasi masyarakat yang ada di kelurahan Maleber. Sama halnya dengan pemilihan peserta dari unsur pemerintahan, itu merupakan kewenangan dari pimpinan instansi bersangkutan. Peserta yang terpilih seluruhnya berjumlah 30 orang, terdiri dari perwakilan dari organisasi masyarakat dan unsur lainnya dengan rincian sebagai berikut : a) 14 orang Tokoh Masyarakat (Ketua dan staf LPM, Ketua RW); b) 3 orang Tokoh Agama (Ketua MUI Kelurahan Maleber, dan Pengurus DKM); c) 2 orang Tokoh Wanita (Pengurus PKK); d) 2 orang Tokoh Pemuda (Karang Taruna, OKP); e) 2 orang Unsur Polri (Babinkamtibmas), Pembina dari TNI AD (Babinsa); f) 2 Unsur Pemerintahan (Staf Kelurahan); g) 2 orang eks pengguna/aktifis (Kelompok Minoritas Plus); h) 2 orang dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat; i) 1 orang dari Kantor Sosial Kota Bandung.
209
4) Penentuan Tempat Pelaksanaan Penentuan tempat pelaksanakan yang merupakan bagian dari penentuan environmental input berkaitan dengan penentuan cakupan lingkungan yang akan terkena program capacity building. Dalam hal ini telah dipilih Aula Kelurahan Maleber sebagai tempat pelaksanaan mengingat bahwa sebagian besar peserta adalah warga lokal, sehingga aula kelurahan adalah tempat yang paling mudah dijangkau.
5) Pemanggilan peserta, nara sumber dan pengurusan administrasi Penyiapan surat pemanggilan peserta dan nara sumber, penyiapan sarana prasarana
dan
perlengkapan
administrasi,
perlengkapan
peserta
dan
administrasinya, kebutuhan proses pembekalan dan administrasinya, dilakukan oleh panitia pusat dan panitia daerah.
b. Tahap Pelaksanaan Pembekalan dilakukan didalam ruangan aula kelurahan Maleber Kota Bandung, selama 2 (dua) hari. Kegiatan pembekalan dimulai dengan acara pembukaan dengan langkah-langkah : (1) kata pembuka oleh MC, (2) laporan panitia penyelenggara disampaikan oleh panitia pusat, (3) sambutan Lurah Maleber, (4) sambutan pengarah daerah dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, (5) pembukaan secara resmi oleh
pengarah pusat dari Direktorat Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA, (6) pembacaan doa oleh salah seorang peserta, (7) penutup oleh MC. Setelah acara ramah tamah, acara dilanjutkan dengan pengisian lembar pretest oleh peserta dan dilanjutkan dengan penyajian 210
materi pembekalan oleh nara sumber, dengan susunan penyajian materi sebagai berikut : 1) Pembahasan Materi Kebijakan Departemen Sosial dalam Program Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Pembahasan materi kebijakan dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab, diawali dengan penyajian tentang kondisi permasalahan bahwa NAPZA merupakan masalah Internasional yang memunculkan komitmen global, regional, nasional dalam penanganannya. Masalah penyalahgunaan NAPZA mencakup aspek bio-psiko-sosial–spiritual sehingga sangat kompleks dan membutuhkan penanganan yang komprehensif dan long term. Komitmen global
tentang pencegahan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap NAPZA (P4GN) diratifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pengetahuan tentang P4GN sangat penting bagi peserta mengingat hal ini merupakan dasar untuk memahami kebijakan dan program-program pencegahan. Strategi P4GN mencakup preemtif (langkah-langkah sebelum melakukan preventif), preventif (pencegahan primer, sekunder dan tersier) dan penindakan atau penegakkan hokum. Kebijakan
Departemen
Sosial
dalam
penanggulangan
korban
penyalahgunaan NAPZA mencakup : a)
Visi : “Pelayanan dan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA yang berkualitas dan profesional pada tahun 2010”.
b) Misi : pertama, meningkatkan kemampuan dan kompetensi pekerja sosial. Kedua, menetapkan standarisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial korban 211
NAPZA. Ketiga, legislasi pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA. Keempat, mengembangkan alternatif-alternatif intervensi di bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA. c)
Tujuan : pertama,
mencegah masyarakat dari penyalahgunaan NAPZA.
Kedua, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA. Ketiga, melaksanakan program resosialisasi dan pembinaan lanjut korban NAPZA.
Keempat,
meningkatkan
dan
memberdayakan
lembaga
penanggulangan masalah NAPZA. Kelima, meningkatkan mutu pelayanan administrasi dan perencanaan. d) Sasaran : pertama, meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya NAPZA. Kedua, meningkatkan pengetahuan, dan pemahaman masyarakat tentang pelayanan dan rehabilitasi social tentang bahaya NAPZA. Ketiga, meningkatkan kualitas pelayanan dan rehabilitasi sosial penyalahguna NAPZA. Keempat, adanya kesiapan dari lingkungan sosial dan masyarakat luas untuk menerima kembali mantan. penyalahguna NAPZA. Kelima, mencegah terjadinya kekambuhan (relapse) pada mantan penyalahgunaan NAPZA. Keenam, menjalin hubungan dan kerjasama dengan berbagai lembaga dalam penanganaan penyalaguna NAPZA. Ketujuh, terlayaninya administrasi umum dan tersedianya pedoman pelaksanaan kerja. e)
Arah kebijakan : pertama, meningkatkan dan memperluas jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA, terutama yang berbasis masyarakat. Kedua, meningkatkan koordinasi
intra dan
inter instansi
pemerintah terkait dan partisipasi masyarakat. Ketiga, mengembangkan dan 212
memantaapkan peran serta masyarakat/ Lembaga Swadaya Masyarakat dalam kegiatan pencegahan, pelayanan dan rehabilitasi sosial korban NAPZA. Keempat, mengembangkan dan meningkatkan kegiatan perumusan data dan informasi dalam permasalahan sosial penyalahgunaan NAPZA. Kelima, mengembangkan dan meningkatkan
prasarana dan sarana
pelayanan
rehabilitasi sosial bagi korban NAPZA, baik secara fisik maupun sumber daya manusia, dalam rangka
meningkatkan
profesionalisme
pelayanan
sosial. Keenam, peningkatan dan pemantapan resosialisasi serta keterpaduan intra dan inter sektoral. f)
Strategi : pertama, pemberdayaan yakni meningkatkan profesionalisme dan kinerja pelaku rehabilitasi sosial di Pusat dan Daerah untuk menanggulangi masalah
NAPZA.
Kedua,
kemitraan
yakni
kerjasama,
kepedulian,
kebersamaan, kesetaraan dan jaringan kerja dalam pelayanan rehabilitasi Sosial. Ketiga, partisipasi yakni meliputi prakarsa, peran aktif dan keterlibatan seluruh unsur masyarakat,termasuk dunia usaha. Keempat, advokasi yakni upaya memberikan pendampingan dan perlindungan serta pembelaan terhadap hak-hak penyandang masalah. g) Program, yang mencakup Pencegahan, Rehabilitasi Sosial, Pengembangan dan Pembinaan Lanjut, serta bina Kelembagaan, Perlindungan dan Advokasi Sosial, dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku, hilangnya stigma negatif dan diskriminasi terhadap pengguna. Program Pencegahan pada bidang sosial diarahkan untuk membentuk jaring pengaman agar di masyarakat tidak terjadi penyalahgunaan NAPZA. 213
Kegiatan
ini
mencakup
peningkatan
kapasitas
petugas
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan, pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui penguatan institusi lokal yang bertujuan untuk meningkatkan peranserta masyarakat lokal dalam pencegahan dengan prinsip : “Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat”. Tantangan yang dihadapi bidang pencegahan adalah (1) perbandingan antara jumlah yang perlu diberikan informasi dengan alokasi kegiatan belum seimbang; (2) peranan dunia usaha dalam program pencegahan masih kecil; (3) perubahan masyarakat yang cepat memerlukan penanganan yang lebih sistematis dan efisien; (4) koordinasi lintas sektor yang belum maksimal; (5) data tentang jumlah korban dan daerah-daerah rawan penyalahgunaan NAPZA yang belum terpetakan. Peserta juga diberikan paparan tentang program rehabilitasi sosial yang terdiri atas program didalam panti dan diluar panti. Program rehabilitasi sosial didalam panti telah dilaksanakan sejak 1973, dengan dikeluarkannya SK Dirjen Urusan Anak, Keluarga dan Masyarakat Depsos Nomor : 016/KKM/SP/1973 tanggal 1 November 1973. Unit Rehabilitasi Sosial pertama bagi remaja dan korban narkotika dengan nama Wisma Khusnul Khotimah di Cilandak mulai dioperasionalkan tahun 1975. Selanjutnya tahun 1977 PSPP Teratai Surabaya, tahun 1978 PSPP Insyaf Medan dan Galih Pakuan Bogor. Tahun 1986 didirikan PSPP Mandiri di Semarang dan PSPP Binangkit di Lembang. Dalam rangka otonomi daerah (OTODA), empat PSPP ( Khusnul Khotimah,Teratai, Binangkit dan Mandiri) diserahkan kepada Pemerintah Daerah . Sedangkan 2 (dua) PSPP yaitu Galih Pakuan Bogor dan Insyaf Medan tetap dibawah Departemen Sosial 214
sebagai Panti percontohan tingkat Nasional dalam Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkoba. Rehabilitasi Sosial dalam lembaga/panti menggunakan pendekatan yang beragam seperti : pendekatan pekerjaan sosial, therapeutic community/TC, keagamaan, 12 langkah, alternatif dan lain-lain. Rehabilitasi sosial luar panti sudah ada sejak tahun 1980an. Saat ini telah dilaksanakan di 33 provinsi melalui dana dekonsentrasi dan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) yang dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat di 28 provinsi. Selain itu Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK) memberikan pelayanan kepada penyandang masalah sosial yang salah satunya termasuk korban NAPZA. Tantangan dibidang rehabilitasi sosial mencakup : (1) Pekerja sosial sebagai pendamping dalam rehabilitasi sosial dan proses pengadilan kasus penyalahgunaan NAPZA; (2) Mengembangkan pendekatan multi layanan dengan meningkatkan peran: melaksanakan pencegahan, menyediakan data base penyalahguna NAPZA, menyediakan informasi dan konsultasi, memberikan penampungan sementara sebelum dirujuk; (3) Mengembangkan sistem rujukan sebagai jaringan kerja antar panti; (4) Meningkatkan fungsi panti sebagai pusat: pelayanan, informasi dan konsultasi, pelatihan, studi, penelitian, dan rujukan. Program
pengembangan
dan
pembinaan
lanjut
mencakup
(1)
mengupayakan adanya kesiapan lingkungan sosial dan masyarakat luas untuk menerima kembali bekas penyalahguna NAPZA; (2)
Meningkatkan upaya
pembinaan lanjut melalui pengembangan pendekatan/model, dan peningkatan profesionalisme petugas; (3) Meningkatkan upaya pencegahan kekambuhan 215
(relapse prevention) eks klien melalui bimbingan pasca rehabilitasi sosial seperti : pengembangan usaha melalui kelompok usaha bersama (KUBE), workshop alumni panti, bimbingan life skill, pengembangan petugas mediator dan pendampingan. Sedangkan tantangannya adalah (1) Tingginya angka kekambuhan (relapse); (2) Stigma yang masih tinggi di lingkungan social; dan (3) Belum banyak lembaga yang melaksanakan after care. Program kelembangan, perlindungan dan advokasi sosial mencakup (1) Peningkatan
kemampuan
manajerial
petugas
lembaga;
(2)
Peningkatan
kemampuan teknis pelayanan; (3) Peningkatan sarana dan prasarana lembaga; (4) Kegiatan standarisasi dan akreditasi lembaga pelayanan rehabilitasi sosial penanggulangan korban NAPZA; (5) Peningkatan upaya perlindungan sosial terhadap pengguna, klien, keluarga, petugas, lembaga, dan komunitas; (6) Pengembangan forum perlindungan dan advokasi social; (7) perangkat perundang-undangan Sosial RI tentang
Pengembangan
termasuk menyusun draft peraturan Menteri
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial korban Penyalahgunaan
NAPZA. Sedangkan tantangannya mencakup : (1) Peran pemerintah dalam mendukung fund raising lembaga-lembaga penanggulangan penyalahgunaan NAPZA; (2) perlindungan khusus terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA; (3) Aksesibilitas Penyalahguna NAPZA terhadap berbagai sumber pelayanan dan sumber ekonomi. Pembahasan materi kebijakan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antara peserta dengan nara sumber. Sesi ini tidak berlanjut dengan adanya diskusi antar peserta, melainkan hanya dua arah antara peserta dan nara sumber. 216
2) Pembahasan Materi Masalah penyalahgunaan NAPZA Sesi kedua adalah pembahasan materi tentang masalah penyalahgunaan NAPZA, yang diawali dengan kegiatan : (1) perkenalan antara nara sumber dengan peserta kegiatan; (2) penjelasan tujuan pembelajaran; (3) penyampaian pokok bahasan; (4) pemaparan isi materi pembelajaran; (5) kesimpulan dan penutup. Pemaparan materi pembelajaran, dimulai dengan pemutaran film pendek tentang maraknya “peredaran gelap narkoba di tanah air” (durasi 2, 48 menit), dan dilanjutkan dengan film “Dua masa depan yang berbeda” (durasi 2 menit). Film yang pertama menggambarkan jalur masuk narkoba ke Indonesia secara ilegal melalui laut, darat dan udara. Digambarkan bahwa Indonesia bukan hanya sekedar tujuan peredaran, tapi juga sudah menjadi produsen dan basis narkoba di ASEAN. Film tersebut juga menggambarkan beberapa daerah rawan peredaran narkotika dan psikotropika, dimana transaksi jual beli terjadi di lokasi-lokasi diskotik, restoran, sekolah, kampus dan lain-lain. Film kedua menceritakan dua orang bersahabat, yang satu bernama Andi yang sudah mulai coba-coba menggunakan narkoba sejak usia SD, sementara temannya tidak. Pada usia dewasa, temannya Andi berhasil menyelesaikan kuliahnya, sementara Andi meninggal dunia karena narkoba. Film ini membawa pesan agar jangan menggunakan narkoba, karena narkoba tidak menghasilkan prestasi melainkan merampas masa depan. Pemutaran film pendek tersebut pada dasarnya merupakan suatu teknik untuk mendapatkan perhatian peserta, karena setelahnya fasilitator/narasumber meminta peserta untuk menanggapi atau memberi komentar terhadap kedua film 217
tersebut. Para peserta umumnya memberi komentar menyayangkan terhadap kondisi Indonesia saat ini, dan terhadap kasus dua orang sahabat, para peserta mengomentari bahwa hal yang menimpa Andi sesungguhnya merupakan kelalaian orangtua yang tidak mampu mengawasi dan membimbing anaknya. Para peserta pun setuju bahwa narkoba tidak akan menghasilkan prestasi. Fasilitator kemudian mengajukan pertanyaan adakah diantara peserta yang sudah mengetahui jenis dan bentuk NAPZA?. Ternyata terdapat dua orang peserta yang mengaku banyak tahu tentang NAPZA. Mereka adalah mantan pengguna NAPZA yang berasal dari Kelompok Minoritsa Plus. Salah seorang diantaranya kemudian diminta oleh fasilitator untuk menceritakan pengalamannya tentang jenis-jenis NAPZA dan apa saja bahayanya. Pada langkah ini, fasilitator nampak mencoba untuk menggunakan pengalaman peserta sebagai titik masuk kepada pokok bahasan. Kenyataannya fasilator melanjutkan moment tersebut dengan menayangkan materi berikut ini. Fasilitator menayangkan sub pokok bahasan tentang klasifikasi Narkotika berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1997 dan klasifikasi psikotropika berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997. Kedua klasifikasi tersebut pada dasarnya menunjukkan penggolongan NAPZA berdasarkan tingkat bahaya penggunaannya, dimana golongan I ditempatkan sebagai yang paling berbahaya dibandingkan dengan golongan lainnya. Kriteria penggolongan didasarkan pada boleh tidaknya NAPZA tertentu digunakan untuk terapi atau pengobatan. Berdasarkan efeknya terhadap susunan saraf pusat, NAPZA dapat diklasifikasikan kedalam tiga golongan : (1) golongan depresan, yang membuat 218
pemakainya merasa tenang, pendiam, bahkan tertidur dan tidak sadarkan diri. Termasuk dalam golongan ini opioida (morfin, heroin/putauw, codein), sedatif (penenang), hipnotik (obat tidur), tranquilizer (anti cemas), alkohol dalam dosis rendah; (2) golongan stimulan, membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Termasuk dalam golongan ini kokain, amfetamin (shabu, ekstasi), kafein; (3) golongan halusinogen, menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan fikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Termasuk dalam golongan ini ganja, LSD, jamur, dan tanaman kecubung Setelah menggambarkan klasifikasi NAPZA, fasililitator membahas satu persatu jenis-jenis NAPZA dan bahayanya disertai dengan tayangan film pendek, gambar dan foto NAPZA, dan disertai dengan lemparan pertanyaan kepada peserta untuk mengetahui kesan, komentar yang bersifat kognitif maupun afektif. Materi jenis-jenis NAPZA dan bahayanya yang dibahas adalah tentang candu (opium), morphine, heroin (lain yaitu putauw), ketiganya berbahan dasar candu yang diolah dengan proses tertentu. Khususnya putauw yang semi sintetis memiliki kekuatan 10 kali melebihi morfin, dan khususnya opiate sintetis (opiad) berkekuatan 400 kali dari morfin. Heroin pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Inggris pada tahun 1974. Heroin murni berbentuk bubuk putih dan larut dalam air, dan yang tidak murni berwarna putih keabu-abuan. Penggunaan heroin memiliki efek samping merusak ginjal atau lever. Bila pemakaian heroin dicampur dengan benda-benda lain seperti kapur, tawas gips dan lain-lain heroin akan mempercepat kematian 219
pemakainya. Pemakaian putau memiliki efek samping negatif seperti : (1) pada otak menyebabkan gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, gangguan proses berpikir, gangguan perilaku, dan pemakaian yang terus menerus dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen; (2) pada mulut : terasa kering, kaku dan bicaranya cadel; (3) pada kulit : menjadi kering dan keriput, tampak usia lebih tua; (4) pada jantung : memacu denyut jantung, tekanan darah meningkat, dampak buruknya mengakibatkan pecahnya pembuluh darah jantung dan menyebabkan kematian; (5) pada pencernaan : mempengaruhi metabolisme tubuh yang berakibat kerusakan permanen pada organ-organ tubuh. Materi yang sangat penting tentang heroin dan putau, ditayangkan dalam bentuk film pendek (durasi 3,43 menit) yang menggambarkan penggunaannya dengan jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian sehingga menyebabkan yang bersangkutan terkena HIV (Human Immuno-deficiency Virus), virus yang membuat tubuh manusia turun sistem kekebalannya sehingga tubuh gagal melawan infeksi dan AIDS ((Acquired Immune Deficiency Syndrome), sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalan tubuhnya dirusak HIV. Diakhir penayangan, peserta kembali ditanya fasilitator tentang kesannya terhadap film tersebut. Nampaknya para peserta merasa ngeri melihat adegan-adegan dalam film tersebut. Pada tahap ini peneliti melihat bahwa para peserta sangat terpengaruh secara emosional oleh materi yang disajikan. Selanjutnya dengan pola yang sama, fasilitator menjelaskan tentang cocaine mulai dari bentuk-bentuknya, kemudian bahayanya. Bahaya penggunaan 220
cocaine mencakup : (1) pada otak : menyebabkan depresi yang tak bisa mengendalikan diri, cepat marah, hiperaktif, dan mudah melakukan tindak pidana; (2) pada mata : pupil mata melebar yang menyebabkan sukar tidur (insomnia), gangguan persepsi penglihatan dan gangguan kecepatan reaksi hingga dapat menyebabkan kecelakaan; (3) pada kulit : timbul bintik-bintik merah, keriput pada kulit dan seperti lebih tua; (4) pada jantung : tekanan darah meningkat yang berakibat pecahnya pembuluh darah hingga dapat menyebabkan kematian. Tayangan materi kemudian beralih pada ganja (Cannabis Sativa) dengan nama lain hashish (di Inggris dan Eropa), mariyuana (di Amerika Utara dan Selatan). Penggunaan ganja berdampak : (1) pada otak : menimbulkan depresi, hiperaktif, tak bisa mengendalikan diri, dan penggunaan terus menerus dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen; (2) pada mata : mata menjadi merah, sukar tidur, gangguan persepsi penglihatan dan menyebabkan terjadinya kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya; (3) pada kulit : terlihat kering dan keriput seperti berusia lebih tua; (4) pada pencernaan : nafsu makan hilang akibat melemahnya daya fikir dan rasa letih yang berlebihan sehingga bisa berakibat kematian. Jenis NAPZA berikutnya adalah amfetamin, dengan nama lain yang populer dijalanan seperti ecstasy berupa obat rekayasa (drug designer) yang mempunyai sifat stimulans. Penggunaannya berpengaruh : (1) pada otak menimbulkan gangguan berupa depresi, paranoid, dan kerusakan otak secara permanen; (2) pada rongga mulut terasa kering, kaku pada pangkal lidah dan otototot rahang dan dapat menbgakibatkan luka pada lidah dan bibir; (3) pada jantung, 221
memacu denyut jantung diatas normal dan dapat memecahkan pembuluh darah jantung hingga mengakibatkan kematian; (4) pada pencernaan, nafsu makan turun, daya tahan tubuh turun drastis, mudah sakit dan mempengaruhi metabolisme tubuh berakibat kerusakan permanen pada ginjal dan hati yang dapat mengakibatkan kematian. Penggunaan jenis NAPZA lainnya yakni methamfetamin atau nama lain shabu-shabu, SS, ice, crystal, crank sangat berbahaya (1) pada otak : menyebabkan depresi, kepanikan, kecemasan yang berlebihan dan dapat menyebabkan kerusakan otak secara permanen; (2) pada mata : akan melihat sesuatu yang tak ingin dilihat karena sangat mengerikan; (3) pada kulit : pembuluh darah akan mengalami panas berlebihan dan pecah; (4) pada hati : bahan-bahan kimia yang terkandung dalam shabu-shabu bisa melemahkan aktivitas sel-sel hati yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi hati. Jenis NAPZA lainnya yang dibahas adalah LSD (Lysergic Acid Diethylamide) memiliki nama jalanan acid, trips dan tab, memikliki efek penggunaan yang biasa disebut tripping, digambarkan seperti halusinasi terhadap tempat, warna dan waktu. Perasaan dan keinginannya hanyut didalamnya, lamalama membuat paranoid. Sedangkan sedatif-hipnotik (Benzodiazepin), yang tergolong obat penenang (zat sedatif) dan obat tidur (hipnotika) memiliki nama jalanan BK, Dum, Lexo, MG, rohip, penggunaannya apabila dicampur dengan zat lain seperti alkohol dapat berakibat fatal, karena menekan sistem pernafasan. Solven (zat pelarut) serta Inhalansia yaitu gas yang mudah menguap biasanya dihirup dari bahan seperti lem aica aibon, thiner, spirtus, penghapus cat 222
kuku, bensin. Penyalahgunaan pelarut ini melambatkan kegiatan otak dan susunan saraf pusat. Efek yang ditimbulkan terjadi begitu cepat (7 – 10 detik) dan hebat, kelenger, pening, disorientasi dan gangguan penglihatan yang tidak teratur disertai bicara yang mencerca. Akibat lebih lanjut dari penggunaan lem misalnya dapat menimbulkan kerusakan pada fungsi intelektual. Kematian juga dapat terjadi karena penekanan pernafasan dan denyut jantung yang tidak teratur. Alkohol dengan nama lain aethanol merupakan zat yang paling lama dikenal dan digunakan di dunia, bahan utama minuman keras. Alkohol berfungsi memperlambat kegiatan susunan saraf pusat , timbul efek depresan, alkohol dapat menimbulkan perlambatan refleks, menekan pernafasan dan denyut jantung, serta mengacaukan pikiran. Peningkatan kadar alkohol dalam darah akan menjadikan euphoria, namun dengan penurunannya dapat menimbulkan depresi. Gejala orang yang meminum-minuman keras mencakup : bicara tidak jelas, daya ingat terganggu, gerakan motorik terganggu, mata merah, mudah marah/tersinggung, keracunan, koma, bahkan kematian. Sedangkan akibat lebih lanjut dari meminumminuman keras mencakup gangguan kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, dan gangguan fungsi sosial. Gangguan kesehatan fisik dapat mencakup kerusakan hati, jantung, pankreas, lambung dan otot. Pada wanita hamil akan mengakibatkan bayi yang dilahirkan berat badannya di bawah normal dan keterbelakangan mental (retardasi-mental) atau pertumbuhan janin tidak sempurna. Pembahasan materi dilanjutkan tentang dampak penggunaan NAPZA pada sikap dan perilaku penggunanya seperti berani dan tidak malu untuk mencuri uang/barang milik keluarga atau orang lain untuk membeli NAPZA, sering 223
berbohong kepada orang tua dan cenderung melawan kepada orangtua, berbuat asusila/anti norma. Disamping itu, penyalahgunaan NAPZA berdampak negatif pada lingkungannya seperti mendatangkan kesulitan dan
keresahan bagi
masyarakat disekitar lingkungannya, mengganggu ketertiban dan keamanan umum. Materi lainnya yang dibahas adalah tentang penyalahgunaan NAPZA dan adiksi. Penyalahgunaan (abuse) NAPZA diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya, artinya menggunakan NAPZA bukan untuk tujuan pengobatan melainkan sebagai pelampiasan, melarikan diri dari kenyataan, gaya hidup dan lain-lain. Lebih lanjut penyalahgunaan tersebut bisa berakibat kecanduan atau ketergantungan yang disebut juga dengan adiksi. Adiksi adalah ketergantungan secara fisik dan psikis terhadap jenis NAPZA tertentu. Ketergantungan secara fisik dimaksudkan bahwa setelah jangka waktu pemakaian tertentu dan tubuh sudah menyesuaikan dengan zat tersebut, maka tubuh akan bereaksi jika pemakaian dihentikan. Toleransi pemakaian membuat pengguna harus menambah dosis pemakaiannya untuk mendapatkan “rasa” yang sama, sehingga lama kelamaan tubuh membutuhkannya untuk bereaksi secara normal. Ada beberapa tahapan orang menjadi adiksi. (1) Penggunaan coba-coba, bahwa pada umumnya seseorang memulai keterlibatannya dalam penyalahgunaan NAPZA dengan mencoba-coba atau iseng-iseng didorong oleh rasa ingin tahu; (2) Penggunaan sosial atau rekreasi, dimana sebagian dari pemakai coba-coba ini meneruskan pemakaian NAPZA dengan tujuan untuk bersenang-senang, misalnya 224
pada saat rekreasi, pesta atau sedang santai; (3) Penggunaan situasional, yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu misalnya dalam keadaan stres, kecewa, sedih dan lain-lain dengan maksud menghilangkan perasaan atau melarikan diri dari situasi tersebut; (4) Penyalahgunaan yang cenderung tetap, dimana sebagian orang meningkatkan pemakaiannya secara teratur di luar batas yang wajar atau yang bisa diterima dalam masyarakat. Hal ini dinamakan penyalahgunaan NAPZA, dimana telah terjadi gangguan fungsi sosial atau pekerjaan pada pemakaiannya; dan (5) Ketergantungan, yakni apabila pemakaian NAPZA sudah sedemikian lanjut hingga jika pemakaian itu dihentikan atau dikurangi akan timbul gejala putus zat. Dalam tahap ini penderita tidak dapat melepas diri dari NAPZA dan terpaksa harus memakainya karena ia tidak dapat menanggulangi gejala putus zat. Akibatnya ia akan memakai NAPZA untuk jangka panjang, walaupun ia sudah merasakan dampak negatif dari pemakaian zat tersebut. Pokok bahasan lainnya tentang masalah penyalahgunaan NAPZA adalah faktor penyebab penyalahgunaan. Hal ini dapat mencakup : (1) Faktor individu pengguna, seperti coba-coba dan kurangnya penghayatan nilai-nilai agama, ingin diterima atau masuk kelompok tertentu, ingin menunjukkaan kebebasan atau kedewasaan atau ikut trend, ingin menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan dan percaya bahwa NAPZA dapat mengatasi segala persoalan, ingin protes terhadap sistem nilai sosial yang berlaku, dan ingin mendapatkan perhatian orang tua; (2) Faktor NAPZA, seperti adanya kemudahan atau ketersediaan NAPZA di mana-mana, harga NAPZA relatif terjangkau, zat yang 225
digunakan menimbulkan ketergantungan bagi si pemakainya yang akan membuat ia kehilangan control , sehingga akan terus menerus berpikir dan berusaha untuk selalu menggunakan; (3) Faktor lingkungan sosial, seperti hubungan orang tua – anak yang tidak dekat dan tidak terbuka, ketidakharmonisan suami-isteri, ada anggota keluarga yang menjadi pengguna NAPZA, kurang pengawasan orang tua, tinggal di lingkungan pengguna NAPZA, bersekolah di lingkungan yang rawan penyalahgunaan NAPZA, bergaul dengan para pengedar dan pengguna NAPZA, kurangnya kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaan NAPZA, gaya hidup yang dianggap ngetrend (mengikuti perkembangan jaman), dan tekanan kelompok sebaya (peer pressure).
3) Pembahasan Materi Pencegahan penyalahgunaan NAPZA Pembahasan
materi
pencegahan
dilakukan
setelah
narasumber
menjelaskan tentang tujuan pembelajaran dan pokok bahasan yang akan disajikan. Pembahasan materi dilakukan dengan cara menggali pengalaman peserta yang dilanjutkan dengan pemaparan materi dari narasumber untuk memperkuatnya, kemudian dilakukan curah pendapat. Hal ini lebih bernuansa penerapan model belajar pengalaman, meskipun tidak dilakukan dengan diskusi kelompok kecil dan praktik simulasi. Nara sumber menjelaskan bahwa pencegahan mengandung makna mencegah terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan NAPZA serta menghambat tumbuh dan berkembangnya masalah penyalahgunaan NAPZA di dalam masyarakat. Secara umum pencegahan mencakup segala upaya, program dan kegiatan yang meliputi pengurangan pemasokan (supply reduction), 226
pengurangan permintaan (demand reduction), dan pengurangan dampak buruk (harm reduction). Khususnya pengurangan permintaan (demand reduction) yang lebih menekankan pada pencegahan agar orang tidak menyalahgunakan NAPZA, digambarkan bahwa pencegahan ini terdiri atas : (1) pencegahan primer yang memiliki sasaran utama yakni individu, kelompok, keluarga dan anggota masyarakat pada umumnya yang belum terjangkit penyalahgunaan NAPZA; (2) pencegahan sekunder, yakni mencegah orang-orang yang sudah mulai menggunakan NAPZA agar berhenti menyalahgunakan NAPZA; (3) pencegahan tersier, yakni mencegah mantan pengguna NAPZA agar tidak kembali menyalahgunakan (relapse). Pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang terutama dibahas memiliki fokus pada calon pengguna dan pengguna serta faktor lingkungan yang dapat menjadi penyebab, pendorong dan memberikan peluang bagi terjadinya penyalahgunaan NAPZA. Upaya pencegahan ditujukan untuk memperkuat ketahanan, pemahaman dan kewaspadaan sasaran dalam menghadapi ancaman bahaya penyalahgunaan NAPZA. Bentuk-bentuk
pencegahan
penyalahgunaan
NAPZA
antara
lain:
pendidikan orangtua, penyuluhan dan pendidikan afektif bagi anak dan remaja, penguatan kelompok teman sebaya, pembentukan dan pengembangan kelompok anti NAPZA, penyuluhan di lingkungan tempat kerja atau organisasi-organisasi profesi, dan penyuluhan massal. Pada bagian lainnya pembahasan materi difokuskan pada beberapa metode dan teknik pencegahan : (1) penyampaian 227
informasi melalui teknik penyuluhan massal, penyuluhan kelompok, kampanye, seminar, ceramah dan lain-lain; (2) pengubahan perilaku melalui teknik-teknik pelatihan; (3) konsultasi melalui teknik-teknik hotline, media massa maupun konsultasi langsung; (4) bimbingan sosial kelompok dengan teknik pembentukan dan pengembangan kelompok sosialisasi dan pendidikan sehingga dapat memagari remaja dari pengaruh NAPZA. Menurut penilaian peneliti, materi pencegahan penyalahgunaan NAPZA menunjukkan suatu kondisi bahwa dalam kenyataan, usaha-usaha yang selama ini dilakukan untuk mengatur, membatasi NAPZA seperti melalui undang-undang nampaknya kurang berhasil sehingga angka penyalahgunaan NAPZA tetap saja tinggi. Konsekuensinya upaya-upaya pencegahan perlu diarahkan pada kombinasi pengubahan yang seimbang antara faktor pemakai dan lingkungan. Pendekatan ini menerima kenyataan bahwa keberadaan NAPZA tidak dapat dihapuskan seluruhnya, oleh itu yang paling mungkin dipengaruhi adalah keinginan pemakai dan pengubahan lingkungan sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan NAPZA. 4) Pembahasan Materi Pendayagunaan Sumber Pembahasan materi pendayagunaan sumber dilakukan setelah narasumber menguraikan tujuan pembelajaran dan pokok bahasan. Pembahasan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, diskusi kelas dan diakhiri dengan penugasan agar peserta melakukan identifikasi sumber dilingkungannya masing-masing sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. 228
Nara sumber pertama kali menayangkan tentang definsi dan jenis-jenis sumber. Sumber adalah segala sesuatu yang bernilai dan bermanfaat, baik yang tersedia maupun yang masih tersimpan, yang dapat dimobilisir/ digali dan didayagunakan sebagai alat dalam sosial suport, sehingga berfungsi untuk membantu pelaksanaan program pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Sumber terdiri atas sumber informal/alamiah, sumber formal dan sumber kemasyarakatan. Sumber informal adalah dukungan yang dapat diperoleh karena hubungan kekeluargaan maupun ketetanggaan berupa dukungan sosial, nasehat dan informasi. Sumber informal dapat diperoleh dari tetangga, teman, keluarga dan kerabat. Sedangkan sumber formal adalah sumber yang dapat diakses berdasarkan keanggotaan seperti organisasi koperasi, bank, kelompok arisan dan lembaga lainnya yg sesuai dengan kebutuhan atau masalah yang dihadapi. Sumber kemasyarakatan adalah sumber yang dapat diakses oleh masyarakat pada umumnya, mencakup antara lain sekolah, pelayanan kesehatan,
pusat-pusat
perawatan anak, program-program pelatihan tenaga kerja, dan pelayanan umum lainnya. Sumber dapat bersifat bersifat tangible seperti orang (SDM), barang, dana, tempat,
maupun
intangible
seperti
peluang,
informasi,
nasihat,
akses
jalur/kemudahan, pengakuan /dukungan. yang dapat digunakan untuk menangani masalah dan memenuhi kebutuhan khususnya dalam rangka pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendayagunakan sumber adalah menemukan, mengenali, memahami, mendayagunakan dan memelihara. 229
Menemukan dapat dilakukan dengan cara mencatat nama dan alamat sumber yang ada di lingkungan internal ( wilayah kelurahan ) dan eksternal (luar wilayah kelurahan). Mengenali dapat dilakukan dengan cara mencaritahu dan mencatat jenis potensi yang dimiliki oleh sumber tersebut khususnya dalam konteks penanganan masalah NAPZA. Memahami dapat dilakukan dengan cara mengunjungi sumber tersebut dengan membawa surat formal jika diperlukan, kemudian
melakukan
pembicaraan
untuk
meyakinkan
dan
mendalami
karakteristik sumber yang sudah dicatat dan jajagi kesediaannya untuk menjadi sumber dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Catat berkenaan dengan sejauhmana
kesediaanya
untuk
terlibat
dalam
kegiatan
pencegahan
penyalahgunaan NAPZA. Mendayagunakan sumber dapat dilakukan dengan cara mengundangnya dalam pertemuan rapat, kemudian melibatkannya dalam kegiatan sesuai dengan kesanggupannya. Memelihara dapat dilakukan dengan cara menjaga
hubungan
komunikasi
dengan
sumber
tetap
terjaga,
seperti
memberitahukan tentang perkembangan program. Materi lainnya yang dibahas oleh nara sumber berkenaan dengan brokering dan rujukan korban penyalahgunaan NAPZA. Brokering adalah salah satu aktivitas yang dapat dilakukan berupa penghubungan antara korban penyalahgunaan NAPZA atau keluarganya/ orangtuanya dengan sumber pelayanan lainnya. Sedangkan rujukan (referral) merupakan aktivitas utama dari seorang broker yang berarti proses/ upaya pengalihan atau pengiriman korban penyalahgunaan NAPZA kepada sumber pelayanan lain, ketika kebutuhan khusus korban berada diluar jangkauan kemampuan/ kompetensi petugas untuk 230
memenuhinya, dan korban akan lebih baik jika dipenuhi kebutuhannya melalui berbagai penyedia pelayanan. Tujuannya adalah agar korban mendapatkan penanganan yang tepat sehingga masalahnya segera teratasi atau kebutuhannya segera terpenuhi dan agar penanganan korban lebih komprehensif. Materi tentang brokering dan rujukan ditindaklanjuti dengan pembahasan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan, yang disertai dengan diskusi kelas, kemudian peserta diberi tugas untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi sumber yang ada dilingkungannya masing-masing sebagai bahan penyusunan rencana pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
5) Pembahasan Materi Penataan organisasi Pembahasan
materi
penataan
organisasi
dilakukan
setelah
fasilitator/narasumber menjelaskan tujuan pembelajaran dan pokok bahasan. Metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, tanya jawab dan penugasan. Materi yang dibahas mencakup konsep dasar organisasi, jenis dan bentuk organisasi masyarakat, penataan organisasi, prinsip pengorganisasian dan langkah-langkah pengorganisasian. Nara sumber menjelaskan bahwa organisasi dapat ditinjau dari dua segi yaitu : Pertama, organisasi dapat ditinjau sebagai wadah, yaitu sebagai wadah untuk berintegrasinya sekelompok orang, yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan atau dengan kata lain sebagai wadah pelaksanaan administrasi atau manajemen. Kedua,
organisasi
sebagai proses interaksi antara orang-orang yang terikat secara formal dalam susunan hierarkhi atau proses interaksi antara pimpinan dan bawahan. Dari dua 231
segi peninjauan diatas ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam organisasi yaitu : (1) Organisasi hanya merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan, bukan merupakan tujuan. Organisasi diartikan sebagai alat untuk menyelenggarakan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Organisasi sebagai alat atau wadah harus selalu dapat berkembang untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan, permasalahan-permasalahan dan tujuan; (2) Organisasi sebagai alat bersifat statis, tetapi diharapkan harus dapat hidup dan bereksistensi terus menerus sepanjang tujuan akhir yang ditetapkan belum tercapai. Organisasi sebagai alat didalamnya mempunyai susunan atau struktur organisasi, didalamnya dapat menggambarkan adanya : (a) susunan sekelompok orang atau pimpinan dan bawahan; (b) susunan tugas pokok atau tugas dan fungsi organisasi atau unit-unit organisasi; (c) Susunan unit-unit organisasi baik yang disusun secara vertikal maupun horizontal; (d) Susunan tata hubungan yang digambarkan sebagai garis perintah atau komando dan garis koordinasi dan lain-lain yang bersifat formal. Susunan organisasi yang demikian diharapkan dapat relatif permanen atau tidak mudah diubah-ubah, hal ini untuk menjaga adanya stabilitas organisasi, tapi pada waktu-waktu tertentu dengan adanya perubahan-perubahan kemajuan didalam kehidupan masyarakat dan lingkungan atau adanya perubahan-perubahan situasi dan kondisi lingkungan, struktur atau susunan organisasi juga dapat diubah; (3) Didalam organisasi ada kegiatan-kegiatan atau rangkaian kegiatan
yang
dikelompokkan dalam fungsi organisasi atau fungsi unit organisasi. Fungsi ini disusun dalam susunan hierarkhi vertikal dan horizontal. Fungsi-fungsi organisasi 232
dilaksanakan dalam kerjasama orang-orang yang terkoordinasi dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan; (4) Organisasi sebagai proses interaksi kerjasama antara orang-orang yang menjadi anggota organisasi. Banyak sedikitnya proses interaksi kerjasama antara orang yang menjadi anggota organisasi tergantung dari besar kecilnya organisasi dan besar kecilnya organisasi tergantung dari besar kecilnya tujuan yang dirumuskan dan ditetapkan untuk dicapai. Makin luas organisasi maka makin luas pula susunan organisasi sehingga akan makin banyak orang-orang yang bekerjasama, yang berarti pula makin banyak proses interaksi antara orang-orang yang menjadi anggota organisasi. Pembahasan
jenis
dan
bentuk
organisasi
masyarakat
intinya
menggambarkan bermacam-macam istilah dan karakteristik untuk organisasi masyarakat yang mencakup organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga kemasyarakatan. Pembahasan tentang penataan organisasi intinya bahwa organisasi seharusnya didukung oleh aspek Panca Sarana Organisasi (PSO) yaitu : dasar hukum, kelembagaan dan ketatalaksanaan, personalia, pembiayaan, prasarana dan sarana kerja. Pembahasan tentang prinsip pengorganisasian menggambarkan beberapa prinsip berikut : terdapat tujuan yang jelas, adanya kesatuan arah dan perintah, adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab, adanya pembagian habis tugas, struktur organisasi disusun sesederhana mungkin, pola dasar organisasi harus relatif permanen, adanya jaminan jabatan, balas jasa yang diberikan kepada setiap orang harus setimpal dengan jasa yang diberikan, the right man on the right place, dan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. 233
Sedangkan langkah-langkah pengorganisasian mencakup : merumuskan visi dan misi, merumuskan dan menetapkan tujuan, menetapkan dan merumuskan tugas pokok, menjabarkan atau memerinci tugas pokok ke dalam kegiatan-kegiatan konkrit, mengelompokkan kegiatan-kegiatan konkrit yang berdekatan ke dalam fungsi atau unit tertentu (seperti berdasarkan tujuan/ target sasaran, berdasarkan proses, berdasarkan klien, berdasarkan geografis), menentukan tatakerja, memilih dan menentukan personalia, dan menyusun sumber/fasilitas yang dibutuhkan. Pada akhir pembahasan materi, peserta diberi tugas untuk merancang draft organisasi yang diinginkan, sebagai bahan pertemuan penataan organisasi.
6) Pembahasan Materi Penyusunan Rencana Kegiatan Pembahasan materi penyusunan rencana kegiatan dilakukan setelah fasilitator/narasumber menjelaskan tujuan pembelajaran dan pokok bahasan. Metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, tanya jawab dan penugasan. Materi penyusunan rencana kegiatan terdiri atas konsep penyusunan rencana, prinsip penyusunan rencana, unsur-unsur dan proses penyusunan rencana. Penyusunan rencana adalah usaha sadar dan pengambilan keputusan yang telah diperhitungkan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa depan oleh suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Prinsip-prinsip perencanaan pada umumnya mencakup (1) Prioritas yakni menentukan atau memilih kegiatan atau lokasi dimana kegiatan akan dilaksanakan, karena terbatasnya sumber-sumber seperti tenaga, dana, sarana dan 234
prasarana dibandingkan dengan permasalahan yang harus ditangani; (2) Fisibilitas yakni bahwa rencana kegiatan yang disusun harus benar-benar dapat dilaksanakan (realistik) dan dengan tingkat keberhasilan yang setinggi-tingginya. Untuk
mencapai
tingkat
fisibilitas
yang
tinggi,
perencanaan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Tersedianya data dan informasi yang lengkap, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan; (2) Permasalahan mendesak atau yang merupakan prioritas tinggi; (3) Kondisi objektif yang mendukung antara lain tersedianya sarana dan prasarana termasuk tenaga dan dana; (4) Dukungan atau komitmen dari pihak-pihak yang terkait. Rencana kerja/kegiatan sebaiknya dibuat dalam bentuk matrik atau kalender kegiatan, yang secara sederhana mengandung unsur-unsur : (1) Tujuan; (2) Nama kegiatan; (3) Sasaran; (4) Langkah kegiatan; (5) Waktu; (6) Tempat; (7) Pelaksana; (8) Pihak yang terlibat; (9) Indikator keberhasilan; (10) Rencana anggaran biaya. Meskipun rencana tersebut sederhana, namun penyusunannya perlu memperhatikan langkah-langkah atau proses berikut ini. Proses penyusunan rencana kerja : (1) Identifikasi dan perumusan masalah; (2) Merumuskan tujuan; (3) Menentukan nama kegiatan; (4) Jika diperlukan rumuskan sub-sub kegiatan; (5) Menentukan sasaran kegiatan; (6) Menentukan langkah-langkah kegiatan; (7) Menentukan pelaksana kegiatan; (8) Merinci sarana dan prasarana yang dibutuhkan; (9) Menentukan jadwal dan lokasi kegiatan; (10) Merumuskan indikator keberhasilan; (11) Menyusun Rencana anggaran biaya.
235
Pada akhir pembahasan materi, fasilitator/narasumber menugaskan seluruh peserta untuk membuat draft rencana yang akan dijadikan bahan pertemuan penyusunan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
7) Pembahasan Materi Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Pembahasan materi monitoring, evaluasi dan pelaporan dilakukan setelah fasilitator/narasumber menjelaskan tujuan pembelajaran dan pokok bahasan. Metode pembelajaran yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab. Materi monitoring, evaluasi dan pelaporan mencakup pengertian, alasan dan teknik montoring, evaluasi dan pelaporan, serta substansi pelaporan. Monitoring adalah proses pemantauan secara terus menerus (rutin), langsung dan/ atau tidak langsung terhadap berjalannya suatu program/kegiatan yang sedang berjalan, untuk memperoleh informasi tentang kenyataan yang terjadi di lapangan selama proses pelaksanaan program/kegiatan tersebut. Monitoring dilakukan dengan alasan bahwa informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan manajemen untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Bagaimanapun baiknya suatu rencana, tetap mempunyai kelemahan, karena banyaknya faktor di lapangan yang belum dapat diperhitungkan dalam sebuah rencana seperti faktor manusia pelaksana, situasi dan kondisi konkrit pada waktu pelaksanaan dan lainnya. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa perencanaan kurang sesuai dengan pelaksanaan. Berkaitan dengan teknik monitoring, fasilitator/narasumber menjelaskan bahwa monitoring dapat dilakukan dalam dua cara : (1) meninjau langsung ke 236
lapangan, artinya langsung melihat, meneliti ditempat pelaksanaan kegiatan baik dengan teknik wawancara maupun pengamatan; (2) tidak langsung dengan cara mempelajari, menganalisa laporan yang masuk secara teratur. Hasil monitoring adalah berupa catatan yang teratur tentang proses persiapan sampai pelaksanaan. Evaluasi adalah proses menentukan nilai kepada obyek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu, yang didasarkan pada hasil monitoring, untuk melihat tingkat keberhasilan dan/atau kegagalan dari program/kegiatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan dengan alasan bahwa hasilnya dapat berfungsi sebagai umpan balik atas terjadinya perubahan-perubahan didalam perencanaan maupun pelaksanaan. Evaluasi juga merupakan proses pertanggungjawaban bagi pelaksana suatu kegiatan. Selain memanfaatkan hasil monitoring, evaluasi dapat juga dilakukan dengan teknik daftar pertanyaan, wawancara, dan observasi Sedangkan pelaporan adalah salah satu kegiatan fungsi manajemen yang berisi informasi tentang hasil kegiatan yang disampaikan petugas sebagai pertanggungjawaban atas hasil pekerjaannya kepada atasan, yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan berikutnya.Pelaporan dilakukan dengan alasan bahwa laporan disusun sebagai pertanggungjawaban atas hasil pekerjaan yang telah dilaksanakan, sehingga dapat diketahui keberhasilan pelaksanaan kegiatan, faktor pendukung dan hambatan-hambatan yang dijumpai serta upaya-upaya untuk mengatasinya. Juga sebagai salah satu bahan untuk pengambilan keputusan khususnya mengenai penyusunan perencanaan program pada periode berikutnya. Teknik pelaporan mencakup berbagai cara, sesuai kebutuhan dan kecepatan yang diinginkan, seperti : (1) laporan tertulis (insidental, 237
bulanan, triwulan, semester, tahunan); (2) laporan lisan langsung, melalui telepon, telegram dan lain-lain. Substansi pelaporan mencakup : (1) Pokok-pokok pelaksanaan kegiatan (proses, metode dan hasil); (2) Prosentase realisasi kegiatan; (3) Faktor-faktor pendukung; (4) Permasalahan yang dihadapi dan upaya mengatasi hambatan tersebut; dan (5) Evaluasi pelaksanaan kegiatan.
8) Praktik Penataan Tim Kerja dan Penyusunan Rencana Kegiatan Kegiatan penataan tim kerja dan penyusunan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA diikuti oleh peserta yang sama dengan kegiatan pembekalan kecuali 3 (tiga) orang peserta yang berasal dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan Kantor Sosial Kota Bandung, sehingga jumlah peserta menjadi 27 orang. Kegiatan dilaksanakan selama 2 (dua) hari atau 16 jamlat di aula kelurahan Maleber Kota Bandung menyambung kegiatan pembekalan. Kegiatan
diawali
dengan
penjelasan
dari
panitia
pusat
untuk
mengingatkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk : a) Membentuk tim kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA b) Merumusakan rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA
Gambar 4.10. Penjelasan Panitia tentang Penataan tim kerja dan Penyusunan rencana kegiatan
238
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pengarahan oleh narasumber yang telah menyampaikan materinya pada hari sebelumnya. Dalam pengarahan tersebut, nara sumber menjelaskan tentang keorganisasian tim kerja yang akan dibentuk sesuai dengan criteria yang diinginkan didalam output model. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a) Diskusi kelas yang dipimpin oleh seorang peserta yang dibantu oleh seorang penulis. Diskusi kelas membahas tentang pembentukan organisasi tim kerja, yang dimulai dengan menentukan nama tim kerja, merumuskan visi dan misi, merumuskan tujuan dan menyusun struktur organisasi. Diskusi berjalan cukup alot dan cenderung melebar keluar dari arahan model. Sepertinya para peserta akan membentuk suatu organisasi dengan struktur yang besar. b) Dalam situasi kritis seperti itu, akhirnya nara sumber memberikan masukan tentang suatu model struktur yang berbasiskan fungsi dan kegiatan yang sudah dilakukan oleh organisasi masyarakat lokal yang ada. Struktur tersebut terdiri atas bidang sosialisasi, bidang identifikasi dan asesmen, dan bidang pembinaan, kesemuanya disingkat SIAP. Bidang sosialisasi mewadahi fungsifungsi masyarakat dan mencerminkan upaya-upaya yang sudah dilakukan terutama oleh LPM seperti penyuluhan/penerangan, sedangkan identifikasi dan asesmen mencerminkan upaya-upaya yang dilakukan oleh Kelompok Minoritas Plus didalam penjangkauan (outreach) terhadap para pengguna NAPZA, dan pembinaan mewadahi fungsi control sosial dan partisipasi sosial serta mencerminkan upaya-upaya yang sudah dilakukan baik oleh Kelompok Minoritas maupun Karang Taruna ketika masih aktif. Model struktur SIAP 239
diharapkan dapat menjadi landasan dan motivasi bagi tim kerja untuk selalu siap didalam melaksanakan tugas-tugas pencegahan penyalahgunaan NAPZA. c) Peserta menyepakati tentang struktur tim kerja yang terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara, Bidang Sosialisasi, Bidang Identifikasi dan Asesmen, serta Bidang Pembinaan, d) Nara sumber mencoba meningkatkan pemahaman peserta tentang potensi diri masing-masing agar tidak salah didalam menempatkan diri pada organisasi yang dibentuk. Langkah-langkah yang dilakukan nara sumber dalam hal ini adalah : (1) Menjelaskan tentang JOHARI WINDOW, yang merupakan suatu materi komunikasi dimana seorang individu secara fisik dan psikis dapat digambarkan seperti jendela yang terdiri atas empat bidang atau komponen yaitu bidang terbuka (open area), bidang tersembunyi (hidden area), bidang terlena (blind area) dan bidang yang tidak dikenal oleh siapapun (unknown area). Hal tersebut merupakan hasil pengamatan/ persepsi orang terhadap diri sendiri dan orang lain. (2) Menggunakan instrument baku psikologi untuk mengenal diri sendiri yang menggolongkan peserta kedalam 4 (empat) tipe orang: (a) orang yang sangat berorientasi pada “tindakan” dan sangat senang menyelesaikan pekerjaan; (b) orang yang sangat berorientasi pada “prosedur, tata cara atau proses”; (c) orang yang sangat berorientasi pada “manusia” atau dapat dikatakan orang yang manusiawi; (d) orang yang sangat berorientasi pada “konsep” atau “ide”.
240
Gambar 4.11. Pengisian Instrumen oleh Peserta (3) Menggunakan instrumen untuk mengidentifikasi tipe kepemimpinannya yang menggolongkan peserta kedalam 4 (empat) kategori sebagai berikut : (a)
orang yang senang dengan hal-hal yang ruwet, berjiwa seni, dan
fleksibel; (b) orang yang bercita-cita tinggi, berani mengambil risiko, suka bekerja, dan selalu tuntas; (c) orang dengan jiwa pemimpin penuh tanggungjawab, dan sederhana; (d) orang yang perhatian tertuju pada sex, tidak mudah menyerah, dan semangat kerja tinggi. e) Peserta memilih pengurus inti yakni ketua, sekretaris dan bendahara. Kemudian untuk mengisi masing-masing bidang yakni bidang sosialisasi, bidang identifikasi dan asesmen dan bidang pembinaan, setiap peserta diberi kebebasan untuk menentukan posisi masing-masing dengan cara menuliskan namanya pada kertas plano yang telah disediakan sesuai bidang yang diminati. f) Peserta mendeklarasikan terbentuknya tim kerja dengan nama “Tim Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Berbasis Masyarakat (TPPNBM) Kelurahan Maleber”, dengan cara menuliskannya pada kertas plano yang ditandatangani oleh semua yang telah tergabung kedalam tim kerja tersebut.
241
Kegiatan selanjutnya adalah diskusi kelompok masing-masing bidang organisasi TPPNBM untuk menyusun rencana kerja dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan panitia berupa kertas plano, spidol dan selotip. Setiap kelompok dipimpin oleh ketua kelompok yang sekaligus menjadi koordinator bidang yang dipilih sebelum diskusi berlangsung, dan dibantu oleh seorang sekretaris. Diskusi kelompok berjalan cukup lama dan sesekali ada konsultasi dari peserta terhadap nara sumber yang ada di ruangan. Hasil diskusi ditulis didalam kertas plano yang ditempelkan di dinding ruangan. Setelah semua kelompok selesai diskusi, masing-masing kelompok kemudian menyajikan hasil diskusi berupa rencana kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang ditanggapi oleh para anggota kelompok lainnya. Acara penyajian dan tanggapan berjalan cukup alot hingga sampai dengan akhir kegiatan baru tersusun rencana per bidang dan belum berhasil digabungkan. Kegiatan penggabungan hasil diskusi dilakukan pada hari lain oleh TPPNBM tanpa fasilitasi dari penyelenggara. Akhir dari kegiatan penataan tim kerja termasuk penyusunan rencana kegiatan adalah penutupan kegiatan pembekalan dan penataan tim kerja. Acara penutupan dilakukan secara formal dibimbing oleh MC. Pada kesempatan ini acara diisi dengan (1) pengisian instrumen posttest oleh peserta; (2) kesan dan pesan peserta yang pada intinya mengungkapkan rasa senang dan harapan kepada penyelenggara untuk selalu mendampingi mereka dalam kegiatan di lapangan, (3) pemberian dana stimulant secara simbolik dari Penanggungjawab Umum kepada Ketua TPPNBM, (4) pengarahan dari Penanggungjawab Umum antara lain 242