HASlL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi* Lokasi penelitian adalah sepuluh desa yang berada di Kabupaten Timika, yang terletak di bagian selatan Provinsi lrian Jaya. Desa-desa tersebut adalah Desa Banti, Aroanop, Kwamki Lama, Kampung Pisang, Kalikopi, Iwaka, Pad XI, Pulau Karaka, Pulau Poriri dan Atuka. Kesepuluh desa tersebut tersebar pada tiga agroekologi, yaitu dataran tinggi, dataran rendah dan pantai. Desa-desa yang berada di daerah dataran tinggi adalah Desa Banti dan Aroanop. Desa Banti berjarak sekitar 4 km dari Kota Tembagapura. Populasi yang tinggal di desa ini sejumlah 783 jiwa. Penduduk memiliki akses yang relatif mudah terhadap fasilitas sosial, kesehatan serta pendidikan. Lain halnya dengan Desa Banti, Desa Aroanop yang juga berada di wilayah dataran tinggi terletak di wilayah terpencil dan baru dapat dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 6 sampai 8 jam dari Desa Banti. Penduduk desa ini berjumlah 478 jiwa dan pada umumnya mereka tinggal di rumah tradisional yang rendah dan beratap rumbai. Desa-desa yang terletak di wilayah dataran rendah adalah Desa Kwamki Lama, Kampung Pisang, Kalikopi dan Iwaka. Desa Kwamki Lama dan Kampung Pisang terletak di Kota Timika yang memiliki akses yang baik terhadap fasilitas sosial, kesehatan dan pendidikan. Jumlah penduduk di Desa Kwamki Lama dan Kampung Pisang berturut-turut adalah 5733 jiwa dan 2238 jiwa.
Dibandingkan
desa-desa lainnya, penduduk di kedua desa ini merupakan yang terbesar. Berbeda dengan kedua desa tersebut, Desa Kalikopi dan lwaka nierniliki akses yar;g cukup sulit terhadap fasilitas sosial di Kota Timika. Penduduk Kalikopi sebesar 180 jiwa
* Disarikan dari Sumule, Khomsan & Susetyo (1999)
dan penduduk lwaka adalah 478 jiwa. Penduduk Desa lwaka umumnya tinggal di perurnahan yang dibangun PT Freeeport Indonesia pada tahun 1995. Desa-desa yang berada di wilayah pantai terdiri dari Desa Pad XI, Atuka, Pulau Karaka dan Pulau Poriri. Desa Pad XI merupakan desa yang relatif jauh dari Kota Timika, tidak memiliki fasilitas pendidikan, tetapi memiliki fasilitas kesehatan yaitu unti Pengendalian Malaria dan Kesehatan Masyarakat PTFI. Jumlah penduduk yang tingga di desa ini sebesar 110 jiwa. Sama halnya dengan Desa Pad XI, Desa Atuka terletak cukup jauh dari pusat Kota Timika, tetapi desa ini telah memiliki fasilitas sosial, pendidikan dan kesehatan. Jumlah penduduk desa ini sebesar 556 jiwa.
Desa Pulau Karaka dan Pulau Poriri memiliki akses yang relatif mudah
terhadap fasilitas sosial, pendidikan dan kesehatan di Kota Timika. Penduduk yang tinggal di Desa Pulau Karaka dan Pulau Poriri berturut-turut sebesar 450 jiwa dan 65 jiwa. Keadaan Umum Keluarga Contoh -
Pendidikan K e ~ a l aKeluaraa (KK) Tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) sebagian besar contoh relatif masih sangat rendah. Lama sekolah KK berkisar 0 hingga 12 tahun, dengan ratarata adalah 4,8 rt 2,8 tahun. Persentase KK yang berpendidikan sekolah dasar dan tidak bersekolan merupakan yang tertinggi jbertu~ut-turui56,9% dan 26,39ij dan SLTA yang paling sedikit (6,3%) (Tabel 6). Tingkat pendidikan sebagian besar KK yang tinggal di dataran tinggi adalah tidak sekolah, yaitu 75 persen, sedangkan di dataran rendah dan pantai adalah sekolah dasar, dengan persentase berturut-turut adalah 62,5 persen dan 71,9 persen. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaa signifikan antara lama sekolah KK di dataran tinggi dengan di dataran rendah dan pantai (P<0,05) (Lampiran 2). Hal ini berarti tingkat pendidikan KK di
dataran tinggi merupakan yang paling rendah dan perbedaan dengan wilayah agroekologi lain signifikan.
Rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh KK
tersebut menunjukkan bahwa penduduk lokal di Timika masih membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah di bidang pendidikan. Angka ini cukup jauh berbeda dengan data nasional yang menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang menamatkan pendidikan sekolah dasar adalah sebesar 34,O persen, yang merupakan urutan kedua setelah SLTA, yaitu sebesar 34,8 persen (BPS, 1998). Tabel 6. Sebaran keluarga contoh menurut tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) pada beberapa tipe agroekologi No. I.
Pendidikan KK Tidak sekolah
Dataran Tinggi n % 24 75,O
3.1 SLTP
1
31
4.
2
63
SLTA
Dataran Rendah n % 8 12,5
1
Pantai n % 10 15,6
10
15,61
6
9,4
6
9,4
2
3,1
Jumlah n % 42 26,3
1
17
10,6
10
6,3
32 100,O 64 100,O 64 100,O 100,O Jumlah 160 1,9 k 3,6a 5,5 i 3,4b 4,8 2,8b 4,8 i 2.8 Rata-rata i SB (th)* (rnin; rnaks) (0:12) (0;12) (0;12) (0;12) = huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf P<0,05
*
Ket:
Jenis Pekeriaan Kepala Keluarna (KK) Jenis pekerjaan KK contoh adalah petani, nelayan, peramu dan pegawai negeri. Dilihat dari janis pekerjaan tersebut terlihat bahwa umumnya penduduk bekerja menurut potensi dan kondisi wilayah tempat tinggal mereka. Persentase terbesar KK contoh bekerja sebagai petani (40,6%j dan nelayari j18,8%) (Tabel 7). Di wilayah dataran tinggi sebagian besar KK bekerja sebagai petani (71,9%), juga di wilayah dataran rendah (46,9%), sedangkan di wilayah pantai persentase jenis pekerjaan terbanyak adalah sebagai nelayan (453%). Ditinjau dari jenis pekerjaan KK tersebut dapat diketahui bahwa jenis pekerjaan penduduk disesuaikan dengan wilayah agroekologi tempat mereka tinggal.
Tabel 7. No.
Sebaran keluarga contoh rnenurut jenis pekerjaan kepala keluarga (KK) pada beberapa tipe agroekologi
Jenis Pekerj'aan KK .
1. Petani
Dataran Tinggi n % 23 71,9
2. Nelayan 3. Peramu
0 0 4
4. PNS
5 0 32
5. Lainnya 6. Tidak bekerja Jumlah
Dataran Rendah n % 30 46,9
Pantai n YO 12 18,8
Jumlah n % 65 40.6 30 9
18,8 5-6
0,0 0,0 12,5
1 5
1,6 7,8
29 4
45,3 63
12
18,8
0
0,o
16
10,O
15,6 0,O 100,O
9 7 64
14,l 10.9 100,O
6 13 64
9,4 20,3 100,O
20 20 160
12,5 12,5 100,O
Besar Keluarna Contoh Besar keluarga contoh berkisar antara 1 hingga 10 orang, dengan rata-rata 4,9 rt 2 , l orang.
Hal ini menunjukkan bahwa besar keluarga contoh termasuk
kategori keluarga besar. Besar keluarga contoh dikelompokkan menurut jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga kecil (r 4 orang) dan keluarga besar (> 4 orang). Lebih dari separuh contoh merupakan keluarga besar dan di wilayah dataran tinggi memiliki persentase terbesar keluarga (Tabel 8). Hal ini mungkin berkaitan dengan jenis pekerjaan KK di dataran tinggi sebagai peta6 yang memerlukan tenaga kerja yang relatif banyak. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapata perbedaan yang signifikan antara besar keluarga contoh di dataran rendah dan pantai, yang berarti bahwa besar keluarga contoh di dataran rendah merupakan yang paling kecil (Lampiran 2). Tabel 8.
I I NO
Sebaran keluarga contoh menurut besar keluarga pada beberapa tipe agroekologi
Besar KeIuarga
Dataran Tinggi
Dataran Rendah
n
%
n
Jumlah
Pantai
%
n
%
n
YO
.
5 4 orang
12
373
36
56,3
27
42,2
75
46,9
2.
> 4 orang
20
62,5
28
43,8
37
57,9
85
53,l
64 100,O 160 100,O 32 100,O 64 100,O Jumlah 4,3 k 1,8" 5,5 2,1 4,9 2,l 5,l f 2,2 Rata-rata f SB (orang)' (rnin; maks) (1;lO) (1;lC)) (2; 10) (1;8) Ket: = huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf P<0,05
*
+
Pendapatan Keluarwa Contoh Pendaptan keluarga contoh per kapita per bulan berkisar antara Rp 6.666,67 hingga Rp 875.000,00, dengan rata-rata sebesar Rp 129.054,29
+
113.656,04 (Tabel 9). Berdasarkan kriteria kemiskinan menurut BPS (1998) untuk daerah perdesaan, yaitu keluarga dengan pendapatan per kapita per bulan kurang dari Rp 72.380,00, maka terlihat bahwa rata-rata keluarga contoh berada di atas garis kemiskinan. Jika pendapatan per kapita keluarga per bulan dikelompokkan menjadi keluarga miskin dan tidak miskin, ternyata terdapat 56,3 persen keluarga yang tergolong miskin. Persentase keluarga miskin yang tinggal di wilayah dataran tinggi, merupakan yang terbesar yaitu 75 persen, sedangkan di wilayah dataran rendah sebesar 54,7 persen dan di wilayah pantai hanya 48,4 persen. Hasil uji ANOVA tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan rata-rata pendapatan
keluarga antara agroekologi (Lampiran 2). Tabel 9. Sebaran keiuarga contoh menurut pendapatan per kapita per bulan pada beberapa tipe agroekologi
No.
Penda~atan Keluarga (Rplkaplbl)
2.
75.000-150.000
3.
> 150.000
Jumlah Rata-rata SB (min; maks)
*
,
Dataran Tinggi
Dataran Rendah
Pantai
n
%
n
%
n
6
18,8
18
28,l
18
2
6,3
11
17,2
15
32 100,O 101.912 f 34.049 (12.500;20.000)
Jumlah
YO
n
%
28,l
42
26,3
23,4
28
17,5
64 100,O 64 100,O 160 100,O 120.070 f 81.876 151.610 f 156.060 129.054 f 113.656 :6.667;490.000) (6.750;875.000) (6.667; 875.000)
Tipe Rumah Keluarga Contoh Tipe rumah keluarga contoh bervariasi ciari non permanen hingga permanen. Tipe rumah non permanen merupakan tipe rumah kayu dengan lantai kayu abaupun tanah dan beratapkan rumbia, sedangkan semi permanen merupakan kombinasi tipe rumah kayu dengan sebagisn berlantai semen, dan tipe rumah
permanen merupakan tipe rumah yang telah berlantai semen dan beratapkan genteng.
Rumah tipe permanen ini merupakan rumah yang dibangun oleh PT
Freeport lndonesia bagi penduduk yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan tersebut. Sebagian besar contoh memiliki tipe rumah non permanen (76.9%) dan lainnya memiliki tipe rumah semi permanen (14,4%) dan permanen (8.8%) (Tabel
Tabel 10. Sebaran keluarga contoh menurut tipe rumah pada beberapa tipe agroekologi
Tipe rumah non permanen di wilayah pantai merupakan tipe rumah yang terbanyak, yaitu 89,l persen, dibanding di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah, yang masing-masing sebanyak 68.8 persen.
Persentase tipe rumah
permanen di dataran rendah lebih tinggi (18.8%) dibanding di pantai (3.1%) dan dataran tinggi yang sama sekali tidak ada keluarga contoh yang memiliki tipe rumah permanen. Hal ini dikarenakan PT Freeport lndonesia telah membangun rumah tipe permanen tersebut untuk penduduk di wilayah dataran rendah. Tipe Atap Rumah Keluarga Contoh
Tipe atap keluarga contoh hanya dua jenis, yaitu rumbia dan seng. Tipe rumah permanen semuanya beratapkan seng, sedangkan tipe rumah non permanen dan semi permanen beratapkan ser?g ataupun rumbia.
Secara keseluruhan
persentase tipe atap rumah seng dan rumbia tidak berbeda, yaitu berturut-turut 54,4 persen dan 45,6 persen (Tabel II ) .
Tabel 11.Sebaran keluarga contoh rnenurut tipe atap rurnah pada beberapa tipe agroekologi No. Tipe Atap Rumah
Dataran Rendah
Dataran Tinggi n
YO
%
n
14,l
Jumlah
Pantai n
%
n
% 45,6
1.
Rumbia
22
68,8
9
42
65,6
73
2.
Seng
10
31,3
55,O
85,9
22
34,4
87
544
Jumlah
32
100,O
64
100,O
64
100,O
160
100,O
Persentase terbesar tipe atap rumah keluarga contoh yang tinggal di wilayah dataran tinggi adalah tipe rumbia (68,8%), di wilayah dataran rendah adalah tipe atap seng (85,9%) dan di wilayah pantai adalah tipe rumbia (65,6%). Tipe atap ini berkaitan dengan jenis rumah keluarga contoh. Ventilasi Rumah Keluarna Contoh
Keadaan ventilasi rumah keluarga contoh secara keseluruhan tersebar hampir merata antara keadaan baik, sedang dan buruk, dengan persentase berturutturut adalah 35,O persen, 35,6 persen dan 29,4 persen (Tabel 12). Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi sirkulasi udara di dalam rumah contoh masih -
Hal ini dikarenakan ventilasi rumah yang baik
membutuhkan perhatian lebih.
merupakan keadaan yang memungkinkan sirkulasi udara di dalam rumah dapat berjalan dengan baik dengan adanya jendela dan lubang angin yang memadai. Keadaan ventilasi rumah yang kurang baik akan mendukung penyebaran penyakit infeksi saluran pzrnafasan. Tabel 12.Sebaran keluarga contoh rnenurut kondisi ventilasi rurnah pada beberapa tipe agroekologi No. Ventilasi Rumah
1. 2. 3.
Baik
Dataran Tinggi
Dataran Rendah
YO
Jumlah
Pantai
n
%
n
E
18,8
25
39,l
25
n
YO 39,l
n
%
56
35,O
4
12,5
30
46,9
23
35,9
57
35,6
Buruk
22
68,8
9
14,l
16
25,O
47
29,4
Jurnlsh
32
100,O
64
100,O
64
100,O
16@
100,O
Sedang
Di dataran tinggi, persentase keadaan ventilasi yang buruk dimiliki oleh sebagian besar keluarga (68,8%), sedangkan di dataran rendah dan pantai keadaannya relatif lebih baik. Umumnya rumah penduduk di dataran tinggi relatif masih tradisional karena tempat tinggal mereka sangat jauh dari ibukota kabupaten. Jenis Lantai Rumah Keluarga Contoh
Jenis lantai rumah keluarga contoh bervariasi mulai dari tanah hingga tegel. Persentase terbesar jenis lantai rumah contoh adalah kayu, yaitu 78,l persen, dan hanya 15,O persen yang berlantai tegel, serta masih terdapat 6,9 persen yang memiliki jenis lantai tanah (Tabel 13). Keadaan ini berkaitan dengan jenis rumah keluarga. Tabel 13. Sebaran keluarga contoh menurut jenis lantai rumah pada beberapa tipe agroekologi
Persentase jenis lantai kayu di wilayah pantai merupakan yang terbanyak (98,%), kemudian diikuti wilayah dataran tinggi (93,8%) dan dataran pantai (53,1%). Di wilavah dataran rendah jenis lantai yang dimiliki rumah contoh tersebar menurut ketiga jenis lantai, tanpa ada yang dominan seperti halnya di wilayah dataran tinggi dan pantai. Sumber Air Minum Keluarga Contoh --
Sumber air minum keluarga contoh antara lain adalah sumur, mata air, sungai, air hujan serta kombinasi beberapa sumber tersebut. Sumber air minum
keluarga contoh secara keseluruhan yang terbanyak adalah kombinasi beberapa sumber (56,%), selanjutnya adalah sumur saja (20,%), sungai saja (13,1%) dan mata air (10,0%) (Tabel 14). Tabel 14.Sebaran keluarga contoh rnenurut sumber air rninurn keluarga pada beberapa tipe egroekologi No.
Sumber Air Keluarga
Dataran Tinggi n
Dataran Rendah
YO
n
%
Jumlah
Pantai n
%
n
%
20,O
1.
Sumur
0
0,o
9
14,l
23
35,9
32
2.
Mata air
16
50,O
0
0,o
0
0,o
16
10,O
3.
Sungai
10
31,3
11
17,2
0
0,o
21
13,l
6
18,7
44
68,8
41
64,l
91
56,9
32
100,O
64
100,O
64
100,O
160
100,O
4.
Kombinasi Jumlah
Di wilayah dataran tinggi mata air dan sungai merupakan pilihan bagi keluarga sebagai sumber air minum.
Separuh keluarga (50,0%) di wilayah ini
menggunakan mata air sebagai sumber air minum, 31,3 persen keluarga menggunakan sungai dan sisanya (18,7%) keluarga menggunakan kombinasi mata air dan sungai Tidak ada satu pun keluarga yang memiliki sumur untuk digunakan sebagai sumber air minum. Di wilayah dataran rendah dan pantai, kebanyakan keluarga contoh menggunakan kombinasi sumur dan sungai atau air hujan sebagai sumber air minum keluarga, yaitu berturut-turut 68,8 persen dan 64,1 persen. Tidak ada satu pun keluarga di wilayah dataran rendah dan pantai yang menggunakan mata air sebagai sumber air minum keluarga. Hiniene Pribadi dan Sanitasi Linnkunaan Hasil penilaian higiene pribadi diperoleh rata-rata persentase rata-rata skor higiene pribadi adalah 71,4 k 15,2 persen (Tabel 15). Rata-rata skor higiene contoh yang tinggal di dataran rendah merupakan yang tertinggi (66,O k 14,0%) dibanding di pantai (60,3
+ 9,996) dan di dataran tinggi (55,3 k 13,2%). Hasil uji beda ANOVA
menunjukkan bahwa rata-rata skor tersebut tidak berbeda antar agroekologi (P>0,05) (Lampiran 3). Hasil penilaian sanitasi lingkungan diperoleh rata-rata skor sanitasi lingkungan adalah 61,6
* 12,9 persen (Tabel 15). Rata-rata skor sanitasi lingkungan
contoh yang tinggal di pantai merupakan yang tertinggi (73,9 f 14,1%) dibanding di
+ 17,0%) dan di dataran tinggi (66,4 f 12,5%).
dataran rendah (71,5
Hasil uji beda
ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata skor tersebut berbeda secara signifikan antara dataran tinggi dan dataran rendah serta antara dataran rendah dan pantai (P<0,05) (Lampiran 3). Tabel 15. Rata-rata dan sirnpangan baku skor higiene pribadi dan sanitasi lingkungan pada beberapa tipe agroekologi*
Il
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Jumlah
Pantai
Variabel
Rata-rata f SB Rata-rata f SB Rata-rata f SB Rata-rata f SB (min; maks) (%) (min; maks) (%) (rnin; maks) (%) (min; maks) (%) 71,4 f 15,2 73,9 f 14,l 66,4 f 12,5 71,5 f 17,O 1. Higiene pribadi (33,3; 96,7) (33,3; 96,7) (40,O; 93,3) (53,3; 86,7) 60,3 f 9,gb 61,6 f 12,9 55,3 f 13,2' 66,O 1 4 , 0 ~ . ~ 2. Sanitasi Lingkungan (40,O; 80,O) (46,7; 93,3) ] (46,7; 93,3) (40,O; 93.3) Ket: * = huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf Pc0.05 SB = simpangan baku
1
1
*
1
]
Tinnkat Kecukupan Gizi
Tingkat kecukupan gizi contoh secara keseluruhan dikategorikan baik, kecuali untuk zat gizi kalsium, besi dan vitamin B l , yang berkisar antara 55 hingga 65 persen (Tabel 16). Rata-rata tingkat kecukupan energi seluruh contoh adalah 87,8 f 21,7 persen dan contoh di wilayah dataran tinggi memiliki 'rata-rata yang tertinggi (90,4 f 20,9%) dibanding wilayah lain. Hasil uji beda ANOVA untuk tingkat kecukupan energi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar agroekologi (P>0,05) (Lampiran 4).
Hal ini berarti bahwa perbedaan agroekologi tidak
menjadikan tingkat konsumsi penduduk menjadi berbeda.
Tabel 16. Rata-rata dan simpangan baku tingkat kecukupan gizi contoh pada beberapa tipe agroekologi*
I Zat Gizi
Dataran Tinggi ITzzzK (min; maks) (%) 90,4 f 20,9
Energi Protein
1
Dataran Rendah
Pantai
Jumlah
Rata-rata f S8 (min; maks) (%) 89,2 k 22,8 (50,4; 141,9) 98,l k 59,l
Rata-rata f SB (min; maks) (%) 8 5 2 k 21,O (57,0;134.3) 89,O f 47,O
Rata-rata SB (min; maks) (%) 87,8 ~t21,7 (50,4; 141,9) 91,6f52,1 _+
83,7 f 46,5 (20,8; 2250) 79,4 f 46,0a Besi (13,9; 205,2) Kalsium 613 f 33,l (153; 132,3) 114,9 f 51,O Fosfor (29,5; 132,3) Vitamin A 131,6 f 85,3a (0,O; 479,8) (7,O; 3054) (1,3; 228,3) (0,O; 479,8) 563 f 35,l 70,l f 39,7= 48,4 k 28,gb 57,8 f 36,6 7 . Vitamin B l (15,8; 163,8) (3,92; 174,l) (4,O; 174,l) (7,3; 158,O) 152,l 98,!ja 58,7 56,8avb 93,2 i 92,8b 91,2 88,l 8. Vitamin C (0,O; 407.8) (0,O; 407,8) (6,6; 310,4) (0,O; 232,9) Ket: = huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf P<0,05 SB = simpangan baku
*
1
*
+
Rata-rata tingkat kecukupan protein seluruh contoh masuk dalam kategori baik, yaitu sebesar 91,6 5 52,l persen. Contoh di wilayah dataran rendah memiliki rata-rata tingkat kecukupan protein yang paling tinggi (98,l
_+
59,1%) dibanding
wilayah lain. Hasil uji ANOVA untuk tingkat kecukupan protein tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar agroekologi (P>0,05) (Lampiran 4). Rata-rata tingkat kecukupan zat besi contoh adalah 64,9
+ 35,4 persen dan
dikategorikan kurang baik. Rata-rata tingkat kecukupan zat besi contoh yang tinggal di wilayah dataran tinggi merupakan yang paling tinggi (79,4
+ 46,0%)
dibanding
wilayah yang lain. Hasil uji beda ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tingkat kecukupan besi di dataran tinggi dan dataran rendah (P<0,05), sedangkan untuk wilayah agroekologi lainnya tidak berbeua nyata (P>0,05) (Lampiran 4).
Kecukupan gizi mineral kalsium dan fosfor penting bagi pertumbuhan tulang dan gigi seseorang.
Konsumsi kedua zat gizi harus seimbang sehingga dapat
digunakan secara optimal oleh tubuh. Rata-rata tingkat kecukupan kalsium contoh
+ 37,3%), terlihat kurang dari setengah rata-rata tingkat kecukupan fosfor (117,7 + 58,9%). Keadaan ini tidak berbeda secara signifikan antar agroekologi (55,7
(P>0,05) (Lampiran 4). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A seluruh contoh telah tergolong baik
+ 82,4%) dan contoh yang tinggal di wilayah dataran tinggi memiliki rata-rata tertinggi (131,6 + 85,3%). Hasil uji beda ANOVA menunjukkan bahwa tingkat (82,3
kecukupan vitamin A contoh di wilayah dataran tinggi berbeda nyata dengan wilayah dataran rendah dan pantai (P<0,05) (Lampiran 3). Hal ini dikarenakan contoh di wilayah dataran tinggi lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber pro-vitamin A dibanding dataran rendah dan pantai. Rata-rata tingkat konsumsi vitamin B1 contoh secara keseluruhan masih kurang baik, yaitu 56,5
+ 35,1 persen. Contoh yang tinggal di wilayah dataran tinggi
mempunyai rata-rata tingkat kecukupan vitamin B yang paling tinggi (70,l
+ 39,7%)
dibanding contoh wilayah lain, dan uji beda ANOVA rnenunjukkan perbedaan yang signifikan dengan wilayah dataran rendah (P<0,05) tetapi tidak dengan wilayah pantai (P>0,05) (Lampiran 4). Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C contoh secara keseluruhan tergolong baik, yaitu 91,2
+
88,l persen. Contoh yang tinggal di wilayah dataran tinggi
rnempunyai rata-rata tingkat kecukupan vitamin C yang paling tinggi (152,l
+ 98,5%)
dibanding contoh wilayah lain, dan uji beda ANOVA rnenunjukkan perbedaan yang signifikar; antar agroekologi (P<0,05) (Lampiran 4).
Konsumsi Alkohol Persentase contoh yang mengkonsumsi alkohol adalah sebesar 9,4 persen, dengan persentase terbesar adalah contoh yang tinggal di dataran rendah (12,5%) dan pantai (9,4%) (Gambar 2).
Hal ini berkaitan dengan lokasi tempat tinggal
penduduk yang relatif dekat dengan ibukota Kabupaten, sehingga akses untuk memperoleh minuman beralkohol relatif lebih mudah dibanding contoh yang tinggal di dataran tinggi. Pada kelompok orang dewasa, terlihat persentase contoh yang mengkonsumsi alkohol (21,7%) lebih tinggi dibanding kelompok anak (2,0%). Persentase konsumsi alkohol oleh orang dewasa yang tinggal di dataran rendah dan pantai merupakan yang tertinggi dibanding di dataran tinggi. Kecenderungan yang sama terlihat pada kelompok anak, walaupun persentasenya jauh lebih kecil dibanding orang dewasa.
20 15 c
10
a ang Dew asa (n=60)
5
Dataran
Dataran
Pantai
Total
Gambar 2. Persentase konsumsi alkohol oleh anak dar! orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Keragaan Status Gizi Status Gizi Antropometri Anak.
Status gizi anak berusia di bawah 18 tahun ditentukan dengan
menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO (1995), yaitu indeks berat badan menurut umur (BBIU), indeks tinggi badan menurut umur (TBIU) dan berat badan menurut tinggi badan (BBITB). Klasifikasi status gizi yang ditentukan dari nilai z skor ditunjukkan pada Tabel 4. Status gizi anak berdasarkan indeks BBIU menunjukkan bahwa rata-rata nilai z skor adalah -0,58 ~t1,39, yang diklasifikasikan sebagai status gizi normal (-2,00 I nilai z skor I 2,OO) (Tabel 17). Rata-rata nilai z skor BBIU anak yang tinggal di wilayah dataran tinggi lebih tinggi dibanding di wilayah lainnya. Hasil uji beda ANOVA rata-rata nilai z skor BBIU antar agroekologi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai z skor BBIU anak yang tinggal di wilayah dataran rendah dan pantai (P<0,05). Rata-rata nilai z skor BBIU anak untuk wilayah agroekologi lainnya tidak berbeda nyata -
(P>0,05) (Lampiran 5). Tabel 17. Rata-rata dan simpangan baku nilai z skor status gizi anak pada beberapa tipe agroekologi* No.
I.
*
lndeks
I 1 BBIU
Dataran Tinggi (n=20) Rata-rata SB (min; maks) -0,26*1,42
j
1
I 1
Dataran Rendah (n=40) Rata-rata SB (min; maks) -0,32* i,40a
*
I
i
Pantai (n=40) Rata-rata f SB (min; maks) - i , o 3 f 1,27~
I
1
Jumlah (n=100) Rata-rata SB (min; maks) -0,58*1,39
*
(-2,70; 4,lO) (430; -1,6) (-42; 3,101 (430; 3,lO) 3. BBKB -0,07 k 1,55b 0,2 ~t1,48b ( 1,43 1,63a 0,31 k 1,64 ( (-0,80; 500) (-2,70; 4,lO) (-2,lO; 520) (-2,70; 520) iet: " = huruf yang beda pada baris yailg sama menunjukkan perbedaar~signifikan pada taraf P4,35 SB = simpangan baku
*
1
1
1
Status gizi anak berdasarkan indeks TBIU menunjukkan bahwa rata-rata nilai z skor adalah - 1 , l l
+ 1,60, yang termasuk dalam kategori status gizi normal
56 (Tabel 17). Rata-rata nilai z skor TBlU anak yang tinggal di wilayah dataran rendah
+ 1,72) dibanding nilai rata-rata z skor TBIU anak di wilayah pantai 1,39) dan dataran tinggi (-1,61 + 1,42). Hasil uji beda ANOVA rata-rata nilai
lebih tinggi (-0,56 (-1,43 _+
z skor TBIU antar agroekologi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai z skor TBIU anak yang tinggal di wilayah dataran tinggi dan rendah, juga antara dataran rendah dan pantai (P<0,05). Rata-rata nilai z skor TBIU anak untuk wilayah agroekologi lainnya tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 5). Status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan bahwa rata-rata nilai z skor adalah 0,31
_+
1,64, yang termasuk dalam kategori status gizi normal
(Tabel 17). Rata-rata nilai z skor BB/TB anak yang tinggal di wilayah dataran tinggi lebih tinggi, yaitu 1,43
+ 1,63 dibanding di wilayah lainnya.
Hasil uji beda ANOVA
rata-rata nilai z skor BBITB antar agroekologi menunjukkan adanya perbedam yang signifikan antara nilai z skor BB/TB anak yang tinggal di wilayah dataran tinggi dan rendah, juga antara dataran tinggi dan patai (P<0,05). Rata-rata nilai z skor BB/TB -
anak untuk wilayah agroekologi lainnya tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 5). Penilaian status gizi anak berdasarkan indeks BB/U,TB/U dan BB/TB dapat dibedakan anak yang mengalami underweight (kurus), stunting (pendek) dan wasting (kecil), yaitu jika nilai z skor di bawah -2.
Anak yang mengalami
underweight dan wasting mencerminkan keadaan status gizi saat ini, sedangkan stunting dapat menggambarkan keadaan status gizi masa lampau WHO, 1995). Klasifikasi status gizi anak berdasarkan indeks BBIU sebagian besar memiliki kategori status gizi normal (83,0%j dan tardapat anak yang msmiliki kategori statils gizi kurang (underweight) (11,0%) dan ada juga yang memiliki kategori status gizi lebih (7,1%) (Gambar 3). Hasil uji korelasi Spearman's menunjukkan bahwa status
57 gizi (nilai z skor BBIU) signifikan berkorelasi dengan penyakit infeksi, yaitu kecacingan (r= -0,334; P<0,01), ISPA (r= -0,331; P<0,01) dan diare (r= -0,391; P<0,01) serta sanitasi lingkungan (r= 0,348; P<0,01) dan tingkat kecukupan energi (r= 0,305; P<0,01) (Lampiran 6).
-
Status gizi yang dinilai berdasarkan indeks BB/U mencerminkan keadaan status gizi saat ini, sehingga penyakit infeksi yang diderita erat kaitannya dengan status gizi anak.
Keadaan ini didukung juga dengan kenyataan bahwa sanitasi
lingkungan yang signifikan berkorelasi Jengan penyakit infeksi, yaitu kecacingan (r= -0,332; P<0,01), ISPA (r= -G,391; P
lingkungan dan perbedaan agroekologi adalah signifikan (r= -0,245; P<0,01 untuk dataran tinggi dan r= 0,246; P<0,01 untuk dataran rendah). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan agroekologi berkaitan dengan status gizi BBIU anak. lndeks TBIU yang digunakan untuk menilai status gizi anak pada masa lampau menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki kategori status gizi normal (69,0%) dan terdapat anak yang memiliki kategori gizi kurang (stunting) (31,0%). Persentase status gizi kurang (stunting) pada anak yang terbesar terdapat di wilayah pantai (37,5%) dibanding wilayah dataran tinggi (30,0%) dan dataran rendah
Dataranlinggi
Dataran Rendah
Pantai
Total
(n= 100)
Besarnya persentase status gizi kurang berdasarkan indeks TBIU ini terlihat sejalan dengan status gizi kurang berdasarkan indeks BBIU. Hal ini didukung oleh hasil uji korelasi Spearman's, yang menunjukkan adanya hubungan signifikan yang kuat antara nilai z skor BBIU dan nilai z skor TBIU (r= 0,695; P<0,01). Persentase gizi kurang yang tinggi di wilayah pantai berarti masalah gizi kurang membutuhkan lebih banyak perhatian. Hasil uji korelasi Spearman's menunjukkan bahwa status gizi (nilai z skor TBIU) signifikan berkorelasi dengan penyakit infeksi, yaitu
kecacingan (r= -0,243; P<0,05), ISPA (r= -0,272; P<0,01) dan diare (r= -0,291; P<0,01) serta sanitasi lingkungan (r= 0,369; P<0,01) (Lampiran 6). Status gizi yang dinilai dengan indeks TBIU mencerrninkan keadaan status gizi masa lampau, sehingga penyakit infeksi kecacingan yang diderita sejak lama erat kaitannya dengan status gizi anak. Skor sanitasi lingkungan yang berkorelasi dengan nilai z skor TBIU dan BBIU menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan yang kurang baik telah berlangsung sejak dulu hingga sekarang.
K!asifikasi status gizi anak berdasarkan indeks BBITB sebagian besar n?emilikikategori status gizi normal (82,8%) dan terdapat anak yang men?i!iki status gizi kurang (4,7%) dan ada juga yang mengalami status gizi lebih (12,5%) (Gambar 5). Nilai z skor BBITB memiliki hubungan signifikan yang cukup erat dengan nilai z skor BBIU, yang ditunjukkan oleh hasil uji korelasi Spearman's (r= 500; P<0,01) (Lampiran 6). Persentase status gizi kurang (wasting) pada anak yang terbesar terdapat di wilayah dataran rendah (8,3%) dibanding di pantai (4,0%) dan bahkan di dataran
tinggi tidak terdapat anak yang mengalami status gizi kurang. Hasil uji korelasi
Spearman's menunjukkan bahwa status gizi (nilai z skor BBITB) berkorelasi secara signifikan dengan riwayat penyakit malaria (r= -0,289; P<0,05), pendapatan keluarga (r= 0,309; P<0,05), umur (r= 0,322; P<0,1) dan (Lampiran 6). Orann Dewasa. Status gizi orang dewasa berusia di atas 18 tahun dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT).
Klasifikasi status gizi orang dewasa
dikategorikan berstatus gizi normal jika memiliki nilai IMT berkisar 18,5 hingga 24,9 (Depkes-RI, 1996). Hasil penilaian status gizi orang dewasa menunjukkan nilai IMT cukup beragam dan Serkisar 16,4 hingga 48,0, yang berarti status gizi orang dewasa berkisar dari status gizi kurang hingga status gizi lebih. Nilai IMT orang dewasa mempunyai korelasi yang signifikan dengan sanitasi lingkungan (r= 0,559; Pc0,01), penyakit infeksi, yaitu diare (r= -0,438; P<0,01), ISPA (r= -0,325; P<0,01) dan kecacingan (r= -0,420; P<0,05) (Lampiran 6).
Adanya korelasi yang signifikan
tersebut bera~tibahwa semakin baik sanitasi lingkungan dan tidak menderita penyakit infeksi maka nilai IMT orang dewasa semakin baik. Hasil penilaian status gizi orang dewasa diperoleh rata-rata nilai IMT adalah
+ 4,1, ha1 ini berarti dalam kategori status gizi normal. Rata-rata nilai IMT orang dewasa di wilayah dataran tinggi merupakan yang tertinggi (26,4 + 7,3; berkisar 20,O hingga 48,O) dibanaing di dataran rendah (22,3 + 2,5;berkisar 17,7 hingga 27,2)dan di pantai (21,6 + 2,4; berkisar 16,4 hingga 27,2). Hal ini menunjukkan bahwa orang
22,7
dewasa di wilayah dataran tinggi memiliki status gizi yang lebih baik. Hasil uji beda ANOVA rnerlunjukkan bahwa rata-rata nilai IMT orang ciewasa di dataran tinggi berbeda nyata dengan orang dewasa di dataran rendah dan pantai (P<0,05), sedangkan wilayah agroekologi lainnya tidak berbeda nyata (P>0,05) (Lampiran 5).
Persentase terbesar status gizi contoh orang dewasa adalah status gizi normal, yaitu 71,7 persen, kemudian diikuti status gizi lebih sebanyak 21,7 persen dan status gizi kurang sebanyak 6,7 persen (Gambar 6). Persentase orang dewasa yang berstatus gizi lebih tersebut hampir sama dengan hasil pemantauan masalah gizi lebih yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan pada tahun 199611997 di 12 kota, yaitu sebesar 22,O persen (Satoto, Karjati, Darrnojo, Tjokroprawiro & Kodhyat, 1998). Masalah gizi lebih pada orang dewasa dan masalah gizi kurang pada anak menunjukkan bahwa masalah gizi ganda juga merupakan masalah bagi penduduk lokal Timika. Besarnya prevalensi status gizi lebih pada orang dewasa diduga memilki hubungan dengan masalah status gizi kurang (stunting) di masa kanak-kanak. Beberapa studi menunjukkan bahwa stunting secara positif berhubungan dengan kegemukan di usia dewasa (Popkin et a/., 1996; Sawaya et a/., 1997). Studi yang diiakukan Sawaya et a/. (1997) menunjukkan adanya hubungan kenaikan berat -
badan berlebih dan konsumsi lemak anak stunting di Brazil, yang berarti bahwa peningkatan efisiensi pemanfaatan lemak dapat menyebabkan peningkatan berat badan tubuh sejalan dengan waktu. Anak stunting memiliki laju oksidasi lemak fasting (puasa) yang lebih rendah daripada anak non-stunting, yang merupakan faktor penduga kuat kelebihan berat badan.
Berkurangnya oksidasi lemak dapat menyebabkan kegemukan
dengan jangka waktu tertentu karena lemak yang tidak dioksidasi harus disimpan (Hoffman et a/., 2000). Status gizi lebih orang dewasa yang persentasenya paling tinggi adalah di dataran tinggi (50,0%) dibanding di dataran rendah (16,7%) dan di pantai (12,5%).
Hal ini mungkin berkaitan dengan daya jangkau contoh yang tinggal di dataran tinggi terhadap pangan lebih besar dibanding di wilayah lain.
61 Normal E Gizi Lebih
Dataran linggi (n= 12)
Dataran Rendah (n=24)
Pantai (n=24)
Total (n=60)
Gambar 6. Status gizi (IMT) orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Status Anemia Gizi
Anak. Status anemia gizi ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin (Hb) dan jumlah sel darah merah. Kadar Hb anak berkisar antara 4 hingga 16,Q g/dL yang menunjukkan bahwa sebagian contoh memiliki kadar Hb di bawah normal. Rata-rata kadar Hb adalah 11,2 k 2,2 g/dL, yang masuk dalam kategori kurang (Tabel 18). Rata-rata kadar Hb contoh di dataran tinggi masuk dalam kategori normal dibandingkan contoh di dataran rendah dan pantai.
Uji ANOVA
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,01) antara kadar Hb contoh di dataran tinggi dengan di wilayah lainnya. Tabel 18. Rata-rata dan simpangan baku kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah contoh pada beberapa tipe agroekologi* Jumlah Dataran Tinggi Dataran Rendah Pantai (n=160) (n=32) (n=64) (n=64) No. Kadar Rata-rata f SB Rata-rataf SB Rata-rata f SB Rata-rata f SB (min; maks) (min; maks) (min; maks) (min; maks) 1. Hemoglobin (Hb) 11,4 f 2,1b 11,l f 2,6b 11,7 f 2,4 13,4 f 2,0a (8,5;16,6) (5,3;16,1) (4,0;17,5) (4,0;17,5) (g/dL) a. Anak 123 f 1,ga 11,O f l,gb 11,2 f 2,2 10,8 f 2,4b (8,3;16,1) (4; 16,9) (8,5;15,9) (4;16,9) 14,7 f 1,2" 12,l f 2,2b 11,7 f 3,0b 12,4 f 2,7 b. Orang dewasa (12,4;16,6) (53; 15,3) (4,8;17,5) (4,8;17,5) 2. Sel darah merah 5,2 1,2 4,9 f 0,5 5,6 f 1,5 4'8 f 0,9 (x 1o6 per mm3) (2,2;9,4) (1,4;6,8) (1,4;9,4) (3,9;5,8) a. Anak 5,6 1,4asb 4,8 f 0,6a 4,9 f 0,7 5,2 f 1,l (3,9;5,8) (3,1;6,2) (3,1;8,5) (3,4;8,5) b. Orang dewasa 5.7 f 1,7 4,6 f 1,2 5,2 f 1,4 5,l f 0,4 (X pet rt;m3j (: ,4;9,4) (4,2;5,7j (2,2;9,4) (1,4,68) Ket: * = huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf P<0,05 SB = simpangan baku
*
Jumlah sel darah merah anak berkisar antara 3,l x
lo6 hingga 8,5 x lo6 per
mm3 yang menunjukkan bahwa sebagian anak memiliki jumlah sel darah merah di bawah normal. Rata-rata jumlah sel darah merah contoh adalah 5,2
+ 1,2 x lo6 per
mm3, yang masuk dalam kategori normal (Tabel 18). Hasil uji ANOVA menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0,5) jumlah sel darah antar contoh di tipe agroekologi yang berbeda. Orann Dewasa. Kadar Hb orang dewasa berkisar antara 4,8 hingga 17'5 g/dL yang menunjukkan bahwa sebagian contoh memiliki kadar Hb di bawah normal. Rata-rata kadar Hb adalah 12,4
+ 2,7 g/dL, yang masuk dalam kategori kurang
(Tabel 18). Rata-rata kadar Hb contoh di dataran tinggi masuk dalam kategori normal dibandingkan contoh di dataran rendah dan pantai.
Uji ANOVA
menunjukkan perbedaan yang signifikan (Pc0,Ol) antara kadar Hb contoh di dataran tinggi dengan di wilayah lainnya. Jumlah sel darah merah orang dewasa berkisar antara 1,4 x
lo6 hingga 9,4 x
lo6per mm3yang menunjukkan bahwa sebagian orang dewasa memiliki jumlah sel darah merah di bawah normal. Rata-rata jumlah sel darah merah contoh adalah 5,2
* 1,4 x lo6 per mm3, yang masuk dalam kategori normal
(Tabel 18). Hasil uji
ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0,5) jumlah sel darah
antar contoh di tipe agroekologi yang berbeda. Lebih dari separuh (61,3%) contoh mengalami anemia gizi, baik pada anak (68,0%) maupun orang dewasa (50,0%). Prevalensi anemia gizi pada anak dan orang dewasa yang tinggal di dataran rendah merupakan paling tinggi (berturut-turut 75,G% aan 79,2%) (Gambar 7). Prevalensi anemia contoh sama dengan prevalensi anemia di berbagai tempat di dunia yang mencapai 50 persen (King & Burgess, 1995). Hasil uji korelasi Spearman's menunjukkan bahwa kadar Hb berkorelasi secara signifikan jumlah sel darah merah (r= 0,332; P<0,01).
Hal ini berarti
rendahnya kadar Hb juga menunjukkan rendahnya jumlah sel darah merah. Kadar
'
Hb berkorelasi negatif dengan infeksi cacing tambang (r= -0,223; P<0,01), dan infeksi cacing cambuk (r= -0,184; P<0,05), tetapi berkorelasi positif dengan tingkat kecukupan zat besi (r= 0,203; P<0,05). Perbedaan agroekologi juga berhubungan dengan kadar Hb (r= 0,328; P<0,01 untuk dataran tinggi), yang berarti contoh yang tinggal di dataran tinggi
memiliki kadar Hb yang tinggi dibanding di wilayah
agroekologi lain (Lampiran 6) Jumlah sel darah merah berkorelasi negatif dengan infeksi kecacingan (r= 0,215; P<0,01), infeksi cacing tambang (r= -0,217; P<0,01), dan infeksi cacing cambuk (r= -0,265; P<0,01). Perbedaan agroekologi juga berhubungan dengan jumlah sel darah merah (r= 0,159; P<0,05 untuk dataran rendah), yang berarti contoh yang tinggal di dataran rendah memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi dibanding wilayah agroekologi lain (Lampiran 6).
Dataran linggi Dataran Rendah (n=32) (n=64)
I
Pantai (n=64)
Total (n= 160)
Gambar 7. Prevalensi anemia pada anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
I
'
Keranaan Status Kesehatan lnfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Prevalensi penyakit ISPA pada seluruh contoh anak adalah sebesar 84,O persen (Gambar 8). Prevalensi ISPA contoh di dataran tinggi lebih besar (100,0%) dibanding prevalensi ISPA di pantai (92,5%) dan di dataran rendah (67,5%). Penyakit ISPA pada anak memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan status gizi BBIU (r= -0,329; P<0,001) sanitasi lingkungan (r= -0,370; P<0,01), tingkat kecukupan energi (r= -0,200; P<0,05) dan pendapatan keluarga (r= -0,167; P<0,1), serta perbedaan agroekologi (r= -0,367; P<0,01 untuk dataran rendah dan r= 0,218; P<0,01 untuk dataran tinggi). Hal ini berarti kemungkinan terjadinya penyakit ISPA semakin besar dengan semakin buruknya status gizi dan sanitasi lingkungan, rendahnya tingkat kecukupan energi dan pendapatan keluarga, serta anak yang tinggal di dataran tinggi.
s f n
100
80
60
ng Dewasa (n=60)
Dataran Dataran linggi (n=32) Rendah (n=64)
1
Pantai (n=64)
Total (n=160)
Gambar 8. Prevalensi ISPA pada anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Prevalensi penyakit ISPA seluruh contoh orang dewasa adalah sebesar 65,O persen, dengan prevalensi ISPA di pantai lebih tinggi (79,2%) dibanding
prevalensi ISPA di dataran tinggi (66,7%) dan di dataran rendah (50,0%) (Gambar 8). Penyakit ISPA pada orang dewasa memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan status gizi (r= -0,296; P<0,01) sanitasi lingkungan (r= -0,393; P<0,01) dan perbedaan agroekologi (r= -0,257; P<0,01 untuk dataran rendah). Hal ini berarti kemungkinan terjadinya penyakit ISPA semakin besar dengan semakin buruknya status gizi dan sanitasi lingkungan, rendahnya tingkat kecukupan energi dan orang dewasa yang tinggal di dataran tinggi atau pantai.
Diare Prevalensi kejadian diare pada contoh anak adalah 62,O persen (Gambar 9). Prevalensi kejadian diare contoh di wilayah pantai lebih tinggi (72,2%) dibanding kejadian diare di dataran rendah dan di dataran tinggi (masing-masing 55,0%). Penyakit diare pada anak memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan status gizi BBIU (r= -0,387; P<0,01), sanitasi lingkungan (r= -0,176; P<0,01), tingkat kecukupan energi (r= -0,301; P<0,01) dan pendapatan keluarga (r= -0,237; P<0,01). Hal ini berarti kemungkinan terjadinya diare semakin besar dengan semakin buruknya status gizi dan sanitasi lingkungan, rendahnya tingkat kecukupan energi, protein, besi dan vitamin A, serta rendahnya pendapatan keluarga. Prevalensi kejadian diare pada orang dewasa adalah 33,3 persen (Gambar 9). Prevalensi kejadian diare orang dewasa di dataran rendah lebih tinggi (45,8%) dibanding kejadian diare di pantai (29,2%) dan di dataran tinggi (16,7%). Penyakit diare pada orang dewasa memiliki hubungan negatif signifikan dengan status gizi (r= -0,463; P<0,01), sanitasi lingkungar; (r= -3,272; P<0,05j dan tingkat kecukupan energi (r= -0,359; P<0,01). Hal ini berarti terjadinya diare semakin besar dengan
semakin buruknya status gizi dan kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya tingkat kecukupan energi.
C
70 50
9)
i?, 30
Orang Dew asa (n=60)
10 Dataran Tinggi (n=32)
Wtaran Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n=160)
Gambar 9. Prevalensi diare pada anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
lnfeksi Kecacingan Penyakit infeksi kecacingan diderita oleh hampir semua contoh anak, yaitu sebesar 95,O persen, dan kejadian infeksi kecacingan tersebut paling tinggi di dataran tinggi (100,0%) dibanding kejadian di dataran rendah (95,0%) dan di pantai (92,5%) (Gambar 10). Penyakit infestasi parasit cacing dalam tubuh seseorang merupakan penyakit infeksi yang rnengi~feksilebih dari seperempa?penduduk dunia (Bundy & Cooper, 1989). Penyakit infeksi kecacingan pada anak memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kondisi sanitasi lingkungan (r= -0,343; P<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan infeksi kecacingan semakin besar dengan semakin buruknya kondisi sanitasi lingkungan.
100
?5
90
I=
al
E a
so Total (n=160) 70
I
Dataran Dataran Tinggi (n=32) Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n= 160)
Gambar 10. Premlensi penyakit infeksi kecacingan pada anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Penyakit infeksi kecacingan diderita oleh sebagian besar orang dewasa, yaitu sebesar 83,3 persen, dan kejadian infeksi kecacingan orang dewasa yang tinggal di pantai lebih tinggi (87,5%) dibanding kejadian infeksi kecacingan di dataran rendah (83,3%) dan di dataran tinggi (75,0%) (Gambar 10). Penyakit infestasi parasit cacing pada orang dewasa memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan sanitasi lingkungan (r= -0,294; P<0,05).
Hal ini menunjukkan
bahwa kemungkinan infeksi kecacingan semakin besar dengan sernakin buruknya sanitasi lingkungan. Jenis lnfeksi Cacinn. Kejadian penyakit infeksi kecacingan antar
agroekologi tidak jauh berbeda, tetapi jenis cacing yang menginfeksi contoh tidaklah sama, bahkan seseorang dapat terinfeksi iebih dari satu jenis cacing. Jenis cacing yang paling banyak menginfeksi contoh adalah cacing tambang (Hook worm)
70 (62,5%), kemudian diikuti cacing gelang (Ascaris lumbricoides) (47,0%) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) (43,8%) (Gambar 11).
- 80
g c P)
2
E m 61 Cacing gelang 40
20
0
Dataran linggi (n=32)
Dataran Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n=lM)
Gambar 11. Jenis cacing yang menginfeksi anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Jenis infestasi parasit cacing tambang paling banyak menginfeksi contoh yang tinggal di dataran tinggi dan pantai (masing-masing 65,6%], sedangkan jenis cacing gelang paling banyak menginfeksi contoh yang tinggal di dataran tinggi (59,4%) dan jenis cacing cambuk di dataran rendah (54,7%). lnfestasi parasit cacing tambang dapat menyebabkan hilangnya zat gizi bersamaan dengan pendarahan (Stephensen, 1997). Parasit ini secara langsung merusak mukosa usus halus untuk memperoleh zat gizi bagi pertumbuhannya. Hilangnya darah dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Studi Dreyfuss et a/. (2000) menunjukkan bahwa infeksi jenis cacing tambang merupakan penduga kuat status besi, mulai dari status besi kategori sedans hingga kategori berat. Demikian pula halnya dengan jenis cacing gelsng dan jenis cacing cambuk yang berhubungan dengan status besi yang memburilk (Stoltzfus, Albmico et a/., 1987).
lnfeksi
kecacingan jika berlangsung lama dapat menyebabkan hambatan terhadap perturnbuhan linier anak (Stoltzfus, 1997). Riwavat Penvakit Malaria
Kejadian penyakit malaria yang pernah diderita anak cukup tinggi, yaitu sebesar 71 persen. Prevalensi penyakit malaria anak yang tinggal di daerah pantai merupakan yang tertinggi (90%) dibanding kejadian di dataran rendah (75,0%) dan di dataran tinggi (25,0°h) (Gambar 12). Di wilayah dataran tinggi nyamuk relatif kurang dibanding di daerah pantai sehingga di daerah pantai penyebaran penyakit malaria relatif lebih luas.
100
--
C
80 60
t?
2
40 rang Dewasa (n=60)
20 0 Dataran Dataran Tinggi (n=32) Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n=l60)
Gambar 12. Prevalensi riwayat penyakit malaria pada anak dan orang dewasa pacia beberapa tipe agroekologi
Penyakit malaria pada anak memiliki hubungan positif yang signifikan dengan diare (r= 0,226; P<0,05) dan hubungan negatif dengan tingkat kecukupan besi (r= -0,315; P<0,01) dan tingkat kecukupan vitamin A (r= -0,326; P<0,01) dan tingkat kecukupan vitamin C (r= -0,312; P<0,01). Hal ini berarti terjadinya penyakit malaria akan memungkinkan semakin kurangnya tingkat kecukupan besi, vitamin A
dan vitamin C, yang masing-masing zat gizi tersebut berkaitan dengan daya tahan tubuh anak. Anak yang tinggal di dataran tinggi memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami penyakit malaria (r= -0,507; P<0,01), yang dikarenakan penularan penyakit malaria melalui nyamuk relatif kecil di dataran tinggi dibanding di dataran rendah dan pantai. Sebagian besar orang dewasa (80%) pernah mengalami penyakit malaria, dimana kejadian riwayat malaria pada orang dewasa yang tinggal di dataran rendah dan di pantai merupakan yang tertinggi (berturut-turut 95,8% dan 87,5%) (Gambar 11). Perbedaan agroekologi juga berhubungsn dengan penyakit malaria, dimana orang dewasa yang tinggal di dataran tinggi cenderung lebih kecil berpeluang mengalami penyakit malaria. Hal ini dikarenakan penyakit malaria merupakan penyakit yang menyebar melalui nyamuk dan di dataran rendah dan pantai nyamuk lebih banyak dibanding dataran tinggi.
Risiko Gannnuan Funnsi Hati
Risiko gangguan fungsi hati dapat dideteksi dengan beberapa indikator, dan dua enzim yang paling sering berhubungan dengan kerusakan set-sel hati adalah serum ALT (alanine aminotransferase) dan AST (aspartate aminotransferase) (Widmann, 1985). Hasil penilaian menunjukkan rata-rata kadar serum ALT contoh adalah 28,O
+
17.2 IUIL (Tabel 19), ha1 ini berarti bahwa nilai kadar tersebut
termasuk dalam kategori normal. Nilai kadar serum ALT contoh berkisar antara 7 IUIL hingga 168 IUIL, sedangkan kadar normal serum ALT berkisar antara 5 IUIL hingga 35 IUIL. Hal ini berarti bahwa ada beberapa contoh memiliki kadar yang melebihi batas normal dan berisiko mengalami gangguan fungsi ginjal. Kadar serum ALT yang meningkat berarti diduga fungsi hati mengalami gangguan. Kadar serum ALT yang meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar serum AST, yang ditunjukkan oleh hasil uji korelasi Spearman's (r=0,743; P<0,001). Hasil uji korelasi juga menunjukkan adanya korelasi antara meningkatnya kadar serum ALT dan menurunnya skor sanitasi lingkungan (r= -0,249; P<0,01) (Lampiran 6). Rata-rata kadar serum ALT contoh di dataran tinggi (39,3 i: 26,7 IUIL) menunjukkan angka yang paling tinggi dibanding nilai kadar serum ALT contoh di wilayah pantai (26,6
+ 14,7 IUIL) dan di dataran rendah (23,9 + 9,9 IUIL) (Tabel 19).
Hasil uji beda ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan antara dataran tinggi dan rendah serta antara dataran tinggi dan pantai (P<0,05) (Lampiran 8).
Tabel 19. Rata-rata dan simpangan baku nilai indikator gangguan fungsi hati contoh pada beberapa tipe agroekologi* lndikator Gangguan No' Fungsi Hati
I
I
1.
-
ALT (IUIL) (10 - 35 IUIL) Anak Orang dewasa
Dataran Tinggi Dataran Rendah (n=64) (n=32) Rata-rata f SB Rata-rata f SB (min; maks) (min; maks) 39,3 f 26.7a'b 23,9 i 9,ga (20; 168) (8; 62) 23,3 f 8,2b 41,3 f 31,7a (21;I 68) (9;42) 36,O f 15,6 24.9 f 123
Jumlah (n=160) Rata-rata f SB (min; maks) 28,O f 17,2 (7; 188) 28,2 f 18,8 (7; 168) 27,8 f 14,3
Pantai (n=64) Rata-rata f SB (min; maks) 26.6 f 14,7~ (7; 73) 26,5 f 15,1b (7;73) 26,6 f 14,2
(5 - 40 IUIL) Anak
(17; 105) (12; 105) (14; 63) (12; 74) 27,9 f 11,O 35,6 f 18,0a 25,l f 6,3b 26,8 i 8,!jb (21305) (12; 105) (1233) (14; 15) Orang dewasa 25,8 f 6,5 24,9 f 10,l 25,5 f 12,9 25,3 f 10,6 (17;38) (4;63) I (12;74) (12;74) Ket: " = huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf P<0,05 SB = simpangan baku
-
I
I
Kejadian risiko gangguan fungsi hati yang dialami contoh berdasarkan nilai kadar serum ALT adalah sebesar 2113 persen. Di wilayah dataran tinggi kejadian risiko gangguzn fungsi hati ini paling tinggi (43,8%) dibanding di wilayah pantai (18~8%)dan di dataran rendah (12,5%) (Gambar 13).
-
Er
60 40
P)
$
n
20 rang Dewasa (n=60)
Dataran mnggi (n=32)
Dateran Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n= 160)
Gambar 13. Kejadian risiko gangguan fungsi hati (ALT) yang dialami anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekoiogi
Kejadian risiko gangguan fungsi hati pada anak dan orang dewasa menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu di dataran tinggi paling tinggi dibanding yang lain (berturut-turut 45,0% dan 41,7%). Kadar serum AST contoh berkisar antara 12 IUIL hingga 105 IUIL, yang berarti ada sebagian contoh yang memiliki kadar serum AST di atas normal. Ratarata kadar serum AST contoh adalah 26,9
+ 10,9 IUIL (Tabel 19), ha1 ini berarti
bahwa nilai tersebut termasuk kategori normal.
Kadar serum AST dan ALT
mempunyai korelasi yang signifikan, yang berarti bahwa kedua enzim tersebut secara bersama-sama dapat digunakan sebagai indikator gangguan hati. Kadar serum AST memiliki korelasi yang signifikan juga dengan skor sanitasi lingkungan
(r= -0,249; P
-
0,175; P<0,05) (Lampiran 6). Rata-rata kadar serum AST contoh di dataran tinggi lebih tinggi (31,9 -
IUIL) dibanding nilai kadar serum contoh di wilayah pantai (26,3 dataran rendah (25,O
+ 7,8 IUIL) (Tabel 19).
+ 15,4
+ 10,3 IUIL) dan di
Hasil uji beda ANOVA menunjukkan
bahwa kadar serum AST contoh yang tinggal di dataran tinggi berbeda signifikan dengan yang tinggal di dataran rendah dan pantai (P<0,05) (Lampiran 8). Kejadian risiko gangguan fungsi hati yang dialami contoh berdasarkan kadar serum AST adalah sebesar 5,6 persen. Di wilayah dataran tinggi kejadiannya lebih tinggi (9,4%) dibanding di wilayah pantai (7,8%) dan di dataran rendah (1,6%) (Gambar 14). Kejadian risiko gangguan fungsi hati pada anak dan orang dewasa menunjuk~ankecenderungan yang sama, yaitu dataran tinggi merupakan yang tertinggi dibanding yang lain (berturut-turut 15% dan 9,4%).
16
-
E c
E a
12 8 4
rang Dewasa (n=60)
0 Dataran Dataran Tinggi (n=32) Rendah (n=64)
Pantai (n=64)
Total (n= 160)
Gambar 14. Kejadian risiko gangguan fungsi hati (AST) yang dialami anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi Kejadian risiko gangguan fungsi hati berdasarkan kadar AST jauh lebih kecil dibandingkan dengan kejadian berdasarkan kadar serum ALT.
Walaupun
demikian, kecenderungan besaran kejadian antar keduanya memiliki kecenderungan sama, yaitu paling besar di dataran tinggi, diikuti wilayah pantai dan dataran rendah. Keadaan ini sejalan dengan nilai rata-rata kadar serum AST dan ALT. Risiko Gannrruan Funnsi Ginial Risiko mengalami gangguan fungsi ginjal dapat diketahui dengan menggunakan indikator kadar kreatinin dalam serum. Kadar kreatinin contoh berkisar antara 0,4 hingga 1,5 mgldL, yang berarti terdapat sebagian contoh yang memiliki kadar kreatinin di atas normal (1,3 mg1dL untuk laki-laki dan 1,O mgIdL untuk perempuan). Rata-rata kadar kreatinin contoh adalah 0,84
+ 0,24 mg/dL, yang
masuk ltategori normal. Rata-rata kadar kreatinin contoh yang tinggal di dataran tinggi merupakan yang paling tinggi (0,86
+ 0,23 mg1dL) dibanding contoh yang
20 15 c
a 2
10
2 ang Dew asa (n=60)
5 0 Dataran Tinggi (n=32)
Dataran Rendah (n-1
Rntai (n-1
Total (n=160)
Gambar 15. Kejadian risiko gangguan fu'ngsi ginjal yang dialami anak dan orang dewasa pada beberapa tipe agroekologi
Determinan Status Gizi Status Gizi Antropometri Anak. Deterninan status gizi anak (BBIU) adalah tingkat kecukupan energi, pendapatan keluarga, sanitasi lingkungan, infeksi kecacingan dan perbedaan tipe agroekologi (Tabel 21).
Masing-masing faktor, kecuali infeksi kecacingan
menunjukkan hubungan yang positif, yang berarti semakin baiknya status gizi anak diindikasikan oleh semakin baiknya tingkat kecukupan energi, pendapatan keluarga, sanitasi lingkungan dan yang tinggal di dataran tinggi, serta dengan tidak adanya infeksi kecacingan. Nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R squre) untuk model tersebut adalah sebesar 0,403,. yang berarti faktor-faktor tersebut dapat menjelaskan determinan status gizi sebesar 40,3persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain. Tabel 21. Hasil analisis regresi berganda determinan status gizi anak (BBIU) (N=100)
Adjusted R Souare: 0.403
Determinan status gizi anak (TBIU) adalah tiingkat kecukupan energi dan sanitasi lingkungan dan perbedaan tipe agroekologi merupakan determinan status gizi anak, yang berkorelasi positif (Tabel 22). Nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R squre) untuk model tersebut adalah sebesar 0,274, yang berarti model ini dapat menjelaskan determinan status gizi anak (TBIU) sebesar 27,4 persen.
Tabel 22. Hasil analisis regresi berganda determinan status gizi anak (TBIU) (N=100)
Adiusted R Sauare: 0.274
Determinan status gizi anak (BB/TB) adalah sanitasi lingkungan, tingkat pendapatan dan perbedaan tipe agroekologi, yang berkorelasi positif (Tabel 23). Nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R squre) adalah sebesar 0,291. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 29,l persen status gizi anak berdasarkan indeks
BBKB merupakan fungsi dari tingkat kecukupan energi, dan masih terdapat 71,8 persen yang dijelaskan oleh faktor lain. Tabel 23. Hasil analisis regresi berganda determinan status gizi anak (BBTTB) (N=100)
Adiusted R Sauare: 0.291
Tingkat kecukupan energi menjadi salah satu determinan status gizi anak, baik berdasarkan indeks BBIU maupun TBIU. Hubungan tingkat kecukupan energi dan status gizi anak adalah positif, yang berarti semakin tinggi tingkat kecukupan energi mengindikasikan semakin baik status gizi anak. Tingkat kecukupan energi mempengaruhi status gizi anak karena kecukupan gizi yang semakin tinggi akan meningkatkan berat badan.
Penambahan berat badan merupakan hasil dari
81 penyimpanan energi yang berlebih dan sebaliknya penurunan berat badan disebabkan pemecahan simpanan energi karena kecukupan energi yang rendah (Linder, 1992).
Hasil studi Beaton dan Ghassemi (1982) menunjukkan bahwa
kekurangan energi dan protein merupakan penyebab terjadinya gizi kurang (stunting) (Rosado, 1999). lnfeksi kecacingan merupakan salah satu determinan status gizi anak berdasarkan indeks BBIU dan walaupun tidak signfikan, faktor ini juga menunjukkan hubungan yang negatif dengan status gizi berdasarkan indeks TBIU dan BBrrB lnfeksi kecacingan memiliki korelasi negatif dengan status gizi menunjukkan bahwa infeksi kecacingan mengindikasikan turunnya berat badan anak. Penyebab utama penurunan berat badan adalah berkurangnya konsumsi pangan, sering dikombinasi dengan penyakit, tetapi ketika intik energi melebihi penggunaan energi, kelebihan tersebut disimpan dalam lemak tubuh (ACCISCN, 2000). Penyakit infeksi kecacingan akan
menyebabkan keseimbangan gizi
negatif,
karena akan
mengganggu penyerapan zat gizi. lnfeksi kecacingan yang disebabkan cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) merusak selsel epitel mukosa usus halus sehigga mengganggu penyerapan zat gizi, sedangkan cacing tambang (hook worm) dapat mengakibatkan pendarahan dan hilangnya zat gizi (Stephensen, 19993.
lnfeksi kecacingan jika berlangsung lama dapat
menyebabkan hambatan terhadap pertumbuhan linier anak.
Penanggulangan
infeksi kecacingan dapat memperbaiki pertumbuhan linier anak (Stoltzfus, Albonico et a/., 1997). Kondisi sanitasi lingkungan menjadi salah satu determinan status gizi anak berdasarkan ketiga indeks. Kondisi sanitasi lingkungan yang merupakan keadaan tempat tinggal dan sumber air bersih memiliki korelasi positif dengan status gizi. Hal
ini berarti bahwa kondisi sanitasi lingkungan yang membaik mengindikasikan semakin baiknya status gizi. Kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik akan mempengaruhi penurunan berat badan yang dikarenakan meningkatnya risiko terpapar infeksi, terutama yang menyebar melalui jalur fekal-mulut (Torun & Chew, 1999). Pendapatan keluarga menjadi determinan status gizi anak berdasarkan indeks BBTTB. Hubungan pendapatan keluarga dan status gizi anak adalah positif, yang berarti bahwa pendapatan keluarga (faktor ekonomi) yang meningkat mengindikasikan semakin baik status gizi anak. Menurut Torun dan Chew (1999), faktor ekonomi akan menyebabkan ketersediaan pangan rendah dan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik. Hasil studi Sedgh et a/. (2000) menunjukkan bahwa status ekonomi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perbaikan status gizi kurang (stunting). Hasil studi Begin, Frongillo dan Delisle (1999) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi anak -
adalah pendapatan keluarga. lnsiden gizi kurang (wasting) dapat berkurang 30 hingga 70 persen dengan meningkatnya pendapatan per kapita (Alderman & Garcia, 1994). Perbedaan agroekologi menjadi determinan status gizi anak, dikarenakan perbedaan sirhu dan keierrrbaban yang memungkinitan adanya perbedaan penyebaran dan penularan mikroorganisme penyebab infeksi. Dataran tinggi yang memiliki suhu udara rendah dan kelembaban tinggi merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan rnikroorganisme psnyebab infeksi. Orann Dewasa. Status gizi orang dewasa yang ditentukan dengan menggunakan nilai IMT juga dilakukan analisis regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi determinannya.
Hasil analisis regresi berganda
menunjukkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan dan perbedaan agroekologi secara signifikan menjadi determinan status gizi orang dewasa (Tabel 24). Kondisi sanitasi lingkungan memiliki hubungan positif yang signifikan (P<0,01) dengan nilai IMT, yang berarti semakin baik kondisi sanitasi lingkungan maka status gizi orang dewasa semakin baik. Faktor-faktor tersebut sama dengan determinan statust gizi pada anak. Variabel dummy yang signifikan menjadi determinan status gizi orang dewasa adalah wilayah dataran tinggi, yang berarti bahwa orang yang tinggal di dataran tinggi memiliki status gizi yang lebih baik dibanding wilayah agroekologi lain, yaitu dataran rendah dan pantai. lnfeksi kecacingan menunjukkan hubungan yang negatif tetapi tidak signifikan (P>0,05) dengan status gizi, yang berarti penyakit ISPA akan memungkinkan menurunnya nilai IMT orang dewasa. Nilai rasio-F untuk model ini signifikan dan nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R squre) sebesar 0,426, yang menunjukkan bahwa nilai IMT merupakan fungsi dari sanitasi lingkungan dan perbedaan wilayah agroekologi. Tabel 24. Hasil analisis regresi berganda deterrninan status gizi orang dewasa (IMT) (N=60) PeubahBebas
0
Konstanta Tingkat kecukupan energi (%) Skor sanitasi lingkungan Dataran tinggi (Dataran tinggi=l, iainnya= 0) Dataran rendah (Dataran rendah=l , lainnya= 0) lnfeksi kecacingan (ya=l , tidak=O) Adjusted R Square: 0,426 F = 10,486 (P<0,01)
10,768 0,015 0,159 4,811 -0,220 -0,447
t 3,515 0,786 5,179 4,416 -0,245 -0,402
Sig. 0,001 0,435 0,000 0,000 0,807 0,689
Status Anemia Gizi Anak. Hasil -
uji regresi logistik menunjukkan Sahwa determinan status
anemia gizi pada anak adalah riwayat penyakit malaria dan infeksi cacing tambang (Tabel 25). Nilai odds ratio (OR) infeksi cacing tambang sebesar 2,9 berarti peluang
contoh mengalami anemia gizi lebih besar 2,9 kali jika anak menderita infeksi cacing tambang.
Nilai OR riwayat penyakit malaria adalah sebesar 3,8 berarti bahwa
peluang contoh mengalami anemia gizi lebih besar 3,8 kali jika contoh memiliki riwayat penyakit malaria. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat penyakit malaria yang disertai infeksi cacing tambang merupakan penduga kuat anemia gizi pada anak. Penyakit malaria menyebabkan rusaknya sel-sel darah merah sehingga jumlah sel darah merah dalam tubuh berkurang, sedangkan infeksi cacing tambang mengakibatkan pendarahan dan hilangnya zat gizi (Stephensen, 1997; 1999). Parasit ini secara langsung merusak mukosa usus halus untuk ~nemperolehzat gizi bagi pertumbuhannya. Hilangnya darah dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Hasil studi Dreyfuss et a/. (2000) menunjukkan bahwa malaria P. vivax dan infeksi cacing tambang merupakan penduga kuat anemia berat. Tabel 25. Hasil analisis regresi logistik determinan anemia gizi pada anak (N=100)
I
Peubah Bebas
I Konstanta lnfeksi cacing tarnbang (ya=l, tidak=O) Riwayat penyakit malaria (ya=l, tidak=O) Tk. kecukupan zat besi (%) Urnur (tahun) Rasio Likelihood: 99,738 (P<0,001)
I
I I
I
-.---
1.693 1,075 1,334 -0,004 -0,210
-
I
1
I
EXP(Dl ,
5.435 -,
2,931 3,797 0,996 0,811
I 1 I
Sig.
-.0,039
0 044 ..
1
1
0,014 0,600 0,000
Suatu studi yang dilakukan pada anak sekolah di Negara Zanzibar oleh Stoltzfus, Chwaya et a/. (1997) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara infeksi cacing usus dan status besi yang memburuk, yaitu 73% anemia berat diakibatkan oleh infeksi cacing tambang. Anak sekolah mengalami anemia akan mempengaruhi aktivitas belajar mereka yang menurun dan selanjutnya akan berdampak pada rendahnya prestasi belajar. Studi Dreyfuss et a/. (2000) menunjukkan bahwa infsksi cacing tambang merupakan penduga kuat status besi,
mulai dari status besi kategori sedang hingga kategori berat. lnfeksi kecacingan jika berlangsung lama dapat menyebabkan hambatan terhadap pertumbuhan linier anak (Stoltzfus, Albonico et a/. 1997). Umur anak juga meiijadi determinan status anemia gizi, yaitu semakin muda umur anak, maka peluang anak untuk mengalami anemia semakin besar. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan zat besi anak yang cukup besar untuk memenuhi pertumbuhan (CDC, 1998). Orann Dewasa. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa determinan
status anemia gizi pada orang dewasa adalah riwayat penyakit malaria dan infeksi cacing tambang (Tabel 26). Nilai OR infeksi cacing tambang sebesar 5 , l berarti peluang contoh mengalami anemia gizi lebih besar 5,l kali jika contoh menderita infeksi cacing tambang.
Nilai OR riwayat penyakit malaria adalah sebesar 4,8
berarti bahwa peluang contoh mengalami anemia gizi lebih besar 4,8 kali jika contoh memiliki riwayat penyakit malaria. Determinan anemia pada orang dewasa tersebut -
sama dengan determinan pada anak. Oleh karena itu penanggulangan anemia perlu memperhatikan infeksi cacing tambang dan malaria. Tabel 26. Hasil analisis regresi logistik determinan anemia gizi pada orang dewasa (N=60) PeubahBebas I:cnstat ita lnfeksi cacing tambang (ya=l , tidak=O) Riwayat penyakit malaria (ya=l, tidak=O) Tk. kecukupan zat besi (2 80% = 1, < 80% = 0) Skor sanitasi lingkungan (180% = 1, e 80% = 0) Rasio Likelihood: 69,608 (Pe0,OI)
P
EXP(PI
-2,051 1,627 1,560 -0,680 -0,473
0,129 5,087 4,757 0,507 0,623
Sig. 0,022 0,009 0,047 0,322 0,523
Determinan Status Kesehatan Determinan Penvakit ISPA
Hasil analisis regresi logistik rnenunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang secara signifikan rnernpengaruhi kemungkinan terjadinya penyakit ISPA pada anak (Tabel 27). Faktor deterrninan penyakit ISPA pada anak adalah status gizi (nilai
z skor BBIU), sanitasi lingkungan dan pendapatan keluarga.
Status gizi
(berdasarkan indeks BBIU), sanitasi lingkungan dan pendapatan keluarga mempunyai hubungan negatif yang signifikan kernungkinan terjadinya penyakit ISPA, yang berarti sernakin rendah nilai z skor BBIU serta sernakin buruk sanitasi lingkungan serta pendapatan keluarga yang rendah maka kemungkinan anak rnenderita penyakit ISPA sernakin besar. Nilai rasio likelihood untuk model ini signifikan (P<0,01) rnenunjukkan bahwa deterrninan penyakit ISPA pada anak adalah status gizi (BBIU), sanitasi lingkungan dan pendapatan keluarga. Tabel 27. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit ISPA pada anak
(N=10q
Rasio Likelihood: 47,12; (F<0,01)
Status gizi rnerupakan salah satu determinan penyakit ISPA pada anak. Status gizi rnemiliki hubungan negatif dengan kernungkinan penyakit ISPA, yang Serarti kemungkinan menderiia penyakit iSFk semakin besar dengan semakin buruknya status gizi. Risiko rnengalarni penyakit infeksi, antara lain ISPA semakin meningkat pada anak yang rnengalami gizi kurang (WHO, 1995). Hal ini dikarenakan 6
gizi kurang berhubungan erat dengan daya tahan tubuh untuk melawan berbagai penyakit infeksi karena produksi antibodi akan menurun (Wolf & Keusch, 1999). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa status gizi anak (indeks BBIU) memiliki hubungan positif yang signifikan dengan tingkat kecukupan vitamin A (r= 0,304; P
terdapat penurunan produksi antibodi dan penurunan populasi set pembunuh alami (Bardanier, 1998). Defisiensi besi berhubungan dengan kelainan fungsi kekebalan yang dapat diperbaiki.
Studi fortifikasi susu dengan besi menyebabkan
berkurangnya kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi pernafasan (Oppenheimer, 2G01). FaMor lain yang menjadi determinan penyakit ISPA pada anak adalah sanitasi lingkungan. Hubungan negatif sanitasi lingkungan dengan penyakit infeksi terssbut menucjukkan behwa kemungkinan menderita penyakit ISPA sernakin besar dengan memburuknya sanitasi lingkungan. Tingkat penularan penyakit ISPA akan semakin besar bila keadaan rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan.
Tingkat pendapatan keluarga yang rendah juga menjadi determinan penyakit ISPA pada anak. Hubungan negatif pendapatan keluarga dengan penyakit infeksi tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan menderita penyakit ISPA semakin besar dengan pendapatan keluarga yang rendah. Menurut Torun dan Chew (1999), faktor ekonomi akan menyebabkan sanitasi yang kurang baik. Hal ini pada selanjutnya akan menyebabkan kemungkinan menderita penyakit ISPA semakin besar. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi status gizi orang dewasa (Tabel 28).
Skor sanitasi
lingkungan memiliki hubungan negatif yang signifikan (Pc0,05) dengan nilai penyakit ISPA, yang berarti semakin baik sanitasi lingkungan kemungkinan untuk menderita penyakit ISPA semakin kecil. Variabel dummy yang signifikan menjadi determinan penyakit ISPA pada orang dewasa adalah wilayah dataran rendah, yang berarti bahwa orang yang tinggal di dataran rendah mempunyai kemungkinan untuk menderita penyakit ISPA lebih besar dibanding wilayah agroekologi lain, yaitu dataran tinggi dan pantai. Perbedaan agroekologi menjadi determinan penyakit ISPA pada orang dewasa, dikarenakan . perbedaan suhu dan kelembaban yang memungkinkan adanya perbedaan penyebaran dan penularan mikroorganisme penyebab infeksi. Tabel 28. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit ISPA pada orang dewasa (N=60)
Rasio Likelihood: 60,263 (Pe0,Ol)
Status gizi (IMT) dan tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang negatif tetapi tidak signifikan (P>0,05) dengan kemungkinan penyakit ISPA, yang berarti status gizi yang buruk dan tingkat pendidikan yang lebih rendah memungkinkan penyakit ISPA diderita orang dewasa. Nilai rasio likelihood untuk model ini signifikan (Pe0,OI) menunjukkan bahwa penyakit ISPA pada orang dewasa merupakan fungsi dari sanitasi lingkungan, tingkat pendidikan dan perbedaan wilayah agroekologi. Determinan Penyakit Diare
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan indeks BBIU dan pendapatan keluarga yang secara signifikan mempengaruhi kemungkinan terjadinya penyakit diare pada anak (Tabel 29).
Status gizi
berdasarkan indeks BBIU mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan kemungkinan terjadinya penyakit diare. Hal ini berarti semakin rendah nilai z skor BBIU maka kemungkinan anak menderita penyakit diare semakin besar. Tabel 29. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit diare pada anak (N=100)
I
PeubahBebas
I
Rasio Likelihood: 99,797 (P<0,01)
Pendapatan keluarga berkaitan dengan sanitasi lingkungan (Torun & Chew, 1999). Sanitasi di daerah miskin kurang baik yang menyebabkan meningkatnya kejadian penularan infeksi melalui jalur fecal (seperti diare dan infeksi kecacingan). Penyakit infeksi pada masa anak merupakan masalah kesehatan yang penting di negara sedang berkembang dan telah diketahui rnempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya insiden infeksi di daerah miskin negara sedang berkembang yang cukup tinggi (Stephensen, 1999). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor status gizi yang secara signifikan mernpengaruhi kemungkinan terjadinya penyakit diare pada orang dewasa (Tabel 30). Status gizi (IMT) mempunyai hubungan negatif yang signifikan dengan kemungkinan terjadinya penyakit diare. Hal ini berarti sernakin rendah nilai IMT maka kemungkinan anak menderita penyakit diare semakin besar. Tabel 30. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit diare pada orang dewasa (N=60)
Status gizi merupakan determinan penyakit diare, baik pada anak maupun orang dewasa. Status gizi memiliki hubungan negatif dengan kemungkinan diare, yang berarti kemungkinan menderita diare semakin besar dengan semakin buruknya status gizi. Gizi kurang pada anak akan meningkatkan risiko mengalami berbagai penyakit infeksi, seperti diare (WHO, 1995), karena gizi kurang berhubungan erat dengan daya tahan tubuh untuk melawan berbagai penyakit infeksi karena produksi antibodi akan menurun (Wolf & Keusch, 1999). Status gizi BBIU memiliki hubungan positif yang signifikan dengan tingkat kecukupan vitamin A (r= 0,304; P<0,01). Vitamin A memiliki peranan penting dalam fungsi normal sistem kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan menunjukkan adanya hubungan dengan produksi antibodi (Wolf & Keusch, 1999).
Beberapa studi internasional menunjukkan bahwa anak yang mengalami gizi kurang akan memiliki angka menderita diare 30 hingga 70 persen lebih tinggi dibanding anak yang memiliki gizi lebih baik. Gizi kurang memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap beratnya diare. Anak yang mengalami gizi kurang sedang memiliki 2 hingga 3 kali peningkatan lamanya diare dibanding anak yang bergizi lebih baik (King eta/., 2000). Studi yang dilakukan di New Delhi menunjukkan bahwa pemberian vitamin A selama masa diare akut dapat menurunkan periode diare dan risiko diare yang menetap pada anak-anak (Bhandari, Bahl, Sazawal & Bhan, 1997). Studi yang dilakukan pada anak Indonesia oleh Somer et a/. (1983) menemukan bahwa anak dengan xeropthalmia sedang memiliki risiko terkena diare relatif lebih tinggi dibanding anak yang tidak mempunyai tanda kelainan di mata (Wolf & Keusch, 1999). Determinan Penyakit lnfeksi Kecacingan
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan secara signifikan menjadi determinan kemungkinan terjadinya penyakit infeksi kecacingan pada anak (Tabel 31). Hal ini menunjukkan bahwa buruknya sanitasi lingkungan memperbesar kemungkinan anak menderita penyakit infeksi kecacingan. Tabel 31. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit infeksi kecacingan pada anak (N=100) Peubah Bebas Konstanta Skor sanitasi lingkungan Rasio Likelihood 14,779 (Pc0,Ol)
B 18,944 -0,214
EXP(P) 1,7 x 10" 0,808
Sig. 0,006 0,009
L. * Demikian pula halnya hasil analisis regresi logistik untuk determinan penyakit infeksi kecacingan pads orang dewasa, yaitu sanitasi !ingkungan (Tabel 32).
Sanitasi lingkungan berhubungan negatif dengan penyakit infeksi kecacingan, yang berarti semakin buruk sanitasi lingkungan maka peluang untuk menderita infeksi kecacingan semakin besar.
Sanitasi yang kurang baik akan mempermudah
penularan penyakit infeksi melalui jalur fekal, seperti infeksi kecacingan (Stephensen, 1999). Tabel 32. Hasil analisis regresi logistik determinan penyakit infeksi kecacingan pada orang dewasa (N=60) Peubah Bebas Konstanta Skor sanitasi lingkungan Dataran tinggi (Dataran tinggi=l, lainnya= 0) Dataran rendah (Dataran rendah=l, lainnya= 0) Rasio Likelihood: 52,918 (P<0,1)
P 5,754 -0,062 -0,585 0,453
ExP (PI 315,427 0,940 0,557 1,573
Sig. 0,003 0,031 0,521 0,603
Determinan Riwayat Penyakit Malaria
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa determinan riwayat penyakit malaria pada anak adalah tingkat kecukupan energi dan perbedaan tipe agroekologi (Tabel 33). Ditinjau dari nilai OR, peluang contoh untuk mengalami penyakit malaria lebih kecil 0,04 kali bagi contoh yang tinggal di dataran tinggi. Hal ini disebabkan karena penularan penyakit malaria adalah melalui nyamuk, dimana di daerah pantai nyamuk relatif lebih banyak dibanding di dataran yang lebih tinggi. Tabel 33. Hasil analisis regresi logistik determinan riwayat penyakit malaria pada anak (N=100) Peubah Bebas Konstanta Dataran tinggi (Dataran tinggi=l, lainnya= 0) Dataran rendah (Dataran rendah=l, lainnya= 0) Rasio Likelihood: 93,487 (P<0,01)
0 2,197 -3,296 0,641
EXP(0) 9,000 0,037 0,333
Sig. 0,000 0,000 0,087
Determinan riwayat penyakit malaria pada orang dewasa adalah perbedaan tipe agroekologi (Tabel 34). Ditinjau dari nilai OR, menunjukkan bahwa contoh yang tinggal di dataran tinggi memiliki hanya 0,l kali untuk mengalami penyakit malaria.
Hal ini tidak berbeda dengan yang terjadi pada anak. Oleh karena itu tingkat penularan penyakit malaria di daerah dataran rendah dan pantai lebih diprioritaskan. Tabel 34. Hasil analisis regresi logistik determinan riwayat penyakit malaria pada orang dewasa (N=60)
I
Peubah Bebas Konstanta Dataran tinggi (Dataran tinggi=l, lainnya= 0) Dataran rendah (Dataran rendah=l, lainnya= 0) Rasio Likelihood 41,675 (P<0,01)
1,946 -2,639 1,193
7,000 0,071 3,286
0,002 0,002 0,319
Deterrninan Risiko Ganqquan Fungsi Hati
Risiko terhadap gangguan fungsi hati dapat dinilai dengan membandingkan kadar normal serum AST dan ALT. Determinan risiko gangguan fungsi hati (kadar serum AST) adalah minum alkohol dan status gizi kurang (Tabel 35). Nilai OR contoh yang mengkonsumsi alkohol adalah 7,4, yang berarti bahwa peluang contoh mengalami risiko gangguan fungsi hati berdasarkan kadar AST lebih besar 7,4 kali untuk contoh yang rnengkonsumsi alkohol.
Hati yang luka sehubungan dengan
alkohol, gejalanya dapat bersamaan dengan peradangan lambung, sehingga luka hati menurunkan intik pangan, tetapi jika sakit dalam waktu pendek akibat terhadap gizi adalah minimal. Luka hati karena alkohol atau non-alkohol dapat menyebabkan hypoglikemia.
Hal ini disebabkan berkurangnya simpanan glikogen hati dan
pembatasan glukoneogenesis dari asam amino (Lieber, 1999). Determinan lain dari risiko gangguan fungsi hati berdasarkan kadar AST serum adalah status gizi. Nilai OR status gizi normal adalah 0,l yang berarti bahwa peluang contoh yang berstatus gizi normal untuk mengalami risiko gangguan fungsi hati lebih kecil 0,l dibanding contoh yang bergizi kurang. Menurut Lieber (1999), kekurangan gizi merupakan salah satu faktor risiko kelainan hati.
Tabel 35. Hasil analisis regresi logistik determinan risiko gangguan fungsi hati (kadar serum AST) (N=160) Peubah Bebas Konstanta Minum alkohol (ya=l , tidak=O) Gizi lebih (Gizi lebih =lainnya= I, 0) Gizi normal (Normal=l, lainnya= 0) Rasio Likelihood: 55,313 (P<0,01)
P -0.916 2,001 -9,868 -2,695
EXP(0) 0.400 7,400 0,000 0,068
Sig. 0.121 0,039 0,779 0,001
Determinan risiko gangguan fungsi hati (kadar serum ALT) adalah konsumsi alkohol dan perbedaan tipe agroekologi (Tabel 36). Peluang contoh mengalami risiko gangguan fungsi hati berdasarkan peningkatan kadar ALT di atas kadar normal adalah sebesar 2,9 kali jika contoh mengkonsumsi alkohol. Hal ini sejalan dengan hasil analisis terhadap kadar AST. Peningkatan serum aminotransferase merupakan tanda yang biasa adanya gangguan fungsi hati. Konsumsi alkohol dapat meningkatkan serum transaminase plasma (Baron, 1995). Hasil studi Meltzer dan Everhart (1997) menunjukkan bahwa konsumsi alkohol dapat meningkatkan serum ALT. Determinan risiko gangguan fungsi hati lain yang signifikan adalah perbedaan tipe agroekologi, yaitu dataran tinggi. Nilai OR adalah sebesar 3,7 yang berarti bahwa contoh yang tinggal di dataran tinggi memiliki peluang 3,7 kali lebih kecil untuk mengalami risiko gangguan fungsi hati berdasarkan kadar ALT yang meningkat. Tabel 36. Hasil analisis regresi berganda determinan risiko gangguan fungsi hati (kadar serum ALT) (N=160) Peubah Bebas Konsianta Minum alkohol (ya=l, tidak=O) Dataran tinggi (Dataran tinggi=l , lainnya= 0) Dataran rendah (Dataran rendah=l, lainnya= 0) Rasio Likelihood: 151,071 (P<0,01)
P -1,598 1,081 1,314 -0,535
ExP (0) 0,202 2,947 3,720 0,585
Sig. 0,000 0,082 0,007 0,288
Determinan Risiko Gangguan Fungsi Ginial Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa umur contoh, tingkat kecukupan protein dan vitamin C yang secara signifikan mempengaruhi meningkatnya kadar kreatinin (Tabel 37). Nilai OR umur contoh adalah 2,3 yang berarti contoh yang berusia 2 18 tahun memiliki peluang lebih besar 2,3kali untuk mengalami risiko gangguan fungsi ginjal berdasarkan kadar serum kreatinin. Pada manusia normal, setelah usia seperempat abad, fungsi ginjal menurun menurut usia, dengan kemungkinan diet tinggi protein berperan dalam fenomena tersebut (Kopple, 1999). Tabel 37. Hasil analisis regresi berganda determinan risiko gangguan fungsi ginjal (kadar serum kreatinin) (N=160) Peubah Bebas Konstanta Kelompok umur (218 th = 1, 4 8 th = 0) Tk. kecukupan protein (2 120% = 1, < 120% = 0) Tk. kecukupan vit. C (2 120% = I, < 120% = 0) Rasio Likelihood: 65,994 (P<0,01)
I3 -5,521 0,812 1,774 1,536
EXP(PI 0,004 2,252 5,896 4,647
Sig. 0,000 0,025 0,018 0,037 -
Determinan lain risiko gangguan fungsi ginjal adalah tingkat kecukupan protein, dengan nilai OR 5,9. Nilai ini berarti bahwa peluang contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein tinggi (2 120%) untuk mengalami risiko gangguan fungsi ginjal lebih besar 5,9 kali dibanding contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein lebih rendah (420%). lntik protein dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan GFR baik secara langsung maupun dalam jangka waktu lebih lama (Kopple, 1999). Studi pada hewan dengan penyakit ginjal, diet tinggi protein akan merangsang peningkatan GFR, aliran darah kapiler glomerulus, tekanan darah, pembesaran nefron, sebaliknya diet rendah protein menghambat rewon tersebut (Hostetter, 1981 dalam Kopple, 1999).
Tingkat kecukupan vitamin C merupakan determinan risiko gangguan fungsi ginjal. Nilai OR tingkat kecukupan vitamin C adalah 4,6 yang berarti bahwa contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin C tinggi (2 120%) mempunyai peluang lebih besar 4,6 kali untuk mengalami risiko gangguan fungsi ginjal berdasarkan peningkatan kadar kreatinin. Beberapa studi melaporkan bahwa asam askorbat menjadi faktor risiko timbulnya batu ginjal kalsium oksalat (Urivetzky, Kessaris & Smith, 1992 dalam Hathcock, 1997).
Laporan peningkatan konsentrasi oksalat
dalam urin selama periode waktu intik vitamin C yang tinggi menjadi sebuah analisis karena produksi oksalat dari asam askorbat dalam prosedur analisis yang melibatkan panas (Hoffer, 1985 dalam Hathcock, 1997). Sebaliknya studi Curhan et a/. (1996) menunjukkan penurunan risiko relatif batu ginjal oksalat pada orang yang mengkonsumsi 2 1500 mg vitamin C dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya < 250 mg (Hathcock, 1997).