IMPLIKASI HASlL PENELITIAN BAG1 K E B I J A K A N M A K R O Pendidikan d a n Pertumbuhan Ekonomi Pengkajian tentang hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dilakukan oleh para pakar, terutama dengan pengkajian yang menggunakan pendekatan makro. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian Tinjauan Pustaka, di antara temuan menarik tentang hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah hasil penelitian yang dilakukan terhadap Korea Selatan. Dari hasil penelitian
tersebut
ditemukan,
bahwa tingkat pendidikan rata-rata
penduduk
memberi dampak yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi negeri itu, baik dilihat dari indikator produk nasional bruto (PNB), produk domestik bruto (PDB), maupun pendapatan perkapita penduduk. Selain itu juga ditemukan, bahwa untuk bisa memulai upaya mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi ada suatu periode yang disebut massa kritis. Periode ini menunjukkan kapada rata-rata tingkat pendidikan tertentu yang hams tercapai terlebih dahulu untuk menjadi prasyarat bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkesinambungan.
Salah satu sisi penting dalam pengkajian tentang hubungan antara pendidikan dan pertutnbuhan ekonomi adajah sisi ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, tenaga kerja adalah salah satu faktor input dari dari suatu sistem produksi. Sebagai faktor input dari sistem produksi tingkat kemampuan yang dimiliki merupakan indikator utama
tenaga kerja. Karena tingkat pendidikan mernberi pengaruh secara nyata terhadap tingkat kemampuan itu, maka perubahan tingkat pendidikan bisa berdampak pada perubahan kenegakerjaan. Suatu gejala menarik dalam situasi ketenagakerjaan di Indonesia
adalah adanya ketidakseimbangan
antara
angkatan
kerja
dengan
kesempatan kerja yang menyebabkan terjadinya pengangguran struktural. Hal ini terjadi akibat adanya perpindahan tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor pengupahan (remuneratif) yang tidak berjalan secara mulus.
Sektor subsisten pada umumnya terjadi pada sektor pertanian yang bersifat tradisional, sedangkan sektor pcngupahan adalah pada sektor industri yang bersifat modern. Munculnya sektor-sektor modem dengan sistem pengupahan di daerahdaerah perkotaan telah menyebabkan terjadinya urbanisasi dalam jumlah besar dari tenaga kerja di daerah-daerah perdesaan yang semula merupakan tenaga kerja sektor tradisional.
Dalam kenyataan, sektor modern mensyaratkan cara-cara
berpikir, bertindak dan bersikar yang sangat berbeda dengan tenaga kerja di sektor tradisional. Akibat ketidakseimbangan antara penawaran kemampuan tenaga kerja sektor tradisional dengan kesempatan kerja pada sektor modern yang mensyaratkan cara berpikir, bertindak dan bersikap yang berbeda itu menimbulkan terjadinya ledakan kegiatan ekonomi informal, khususnya di daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian, perpindahan ketenagakerjaan ini bersifat multidimensi dan mengandung
berbagai asepek pembahan, baik sosiat, ekonomi maupun nilai-nilai kemanusiaan (Soetrisno, 1994).
Dalam pembahan ketenagakerjaan ada ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh terjadinya perpindahan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar dari sektor pertanian k e sektor industri yang tidak diimbangi oleh peningkatan kemampuan sektor industri i t u dalam menyerap tenaga kerja. Akibatnya sektor modern berjalan statis, kerena investasi pada tapangan kerja sektor modern tidak seirnbang dengan pengembangan tenaga kerjanya, sehingga pembahan ketenagakerjaan ini ditandai oleh perubahan stmktur ekonomi yang tidak seimbang dengan pembahan stmktur angkatan
kerja.
Pembahan
pada
stmktur
kesempatan
kerja
mensyaratkan
kemampuan, keterampilan dan keahtian barn, sejalan dengan munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jabatan yang semakin beragam, sebagai akibat dari terjadinya perluasan pada sektor-sektor modern (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995).
Persoalan ketenagakerjaan dapat diidentifikasi dari dua sisi, yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi permintaan tenaga kerja dipengamhi oleh kesempatan kerja yang tercipta dalam sistem ekonomi. Adapun sisi penawaran adalah tersedianya angkatan kerja dalam stok ditambah dengan angkatan kerja barn yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Terjadinya pembahan ketenagakerjaan adalah akibat adanya perubahan dalam kependudukan, ekonomi, kesempatan kerja dan angkatan kerja. H a l ini
membawa
implikasi
terhadap
pentingnya
memperhatikan
kesesuaian
antara
pendidikan danlatau pelatihan dengan tuntutan pasar tenaga kerja.
Pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk-bentuk investasi dalam sumber daya manusia yang memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan, kemampuan, ketrampilan dan sikap yang diperoleh melalui pendidikan danlatau pelatihan bukan semata-mata sebagai suatu bentuk konsumsi, tetapi juga merupakan investasi. Hal ini sejalan dengan teori kapital manusia yang menganggap, bahwa secara makro manusia merupakan kapital sebagaimana halnya bentuk-bentuk kapital lain, seperti teknologi, uang dan sumber daya alam; yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas suatu bangsa. Secara mikro, melalui investasi pribadi dalam bidang pendidikan danfatau pelatihan ini seseorang bisa memperluas alternatif untuk memilih pekerjaan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup. Menurut teori ini, nilai kapital manusia terletak pada tingkat kemampuan (pengetahuan dan ketrampilan) dan sikapnya, dan semua ini memberi pengaruh kepada produktivitasnya. Oleh karena itu, setiap tenaga kerja bisa melakukan invetasi untuk memperoleh kemampuan agar dirinya bisa memperoleh keuntungan dari memanfaatkan kemampuan itu. Invetasi yang dilakukan oleh setiap tenaga kerja seperti ini disebut dengan pribadi, dan investasi itu di antaranya bisa dilakukan melalui PKSB.
Sebenarnya meskipun investasi dalam sumber daya manusia, yaitu dalam bidang pendidikan danlatau pelatihan itu dilakukan secara pribadi, namun keuntungan dari investasi itu bukan hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan saja. Masyarakat atau publik juga sumbangan
memperoleh
keuntungan;
bahkan
secara makro memberi
terhadap perturnbuhan ekonomi nasional. Bila keuntungan pribadi
dapat diidentifikasi dari indikatornya, yaitu pendapatan kerja, keuntungan publik dapat diidentifikasi dari surnbangan tenaga kerja yang bersangkutan terhadap pendapatan publik, di antaranya melalui pajak pendapatan atau peningkatan daya beli. Itu sebabnya secara makro sebenamya masyarakat, melalui pemerintah, juga peduli dengan investasi pada surnber daya manusia dalarn bidang pendidikan dan pelatihan. Kepedulian publik terhadap investasi dalam bidang pendidikan dan pelatihan ditampilkan dengan adanya anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini. Bahkan dalam pelatihan kejuruan, meskipun pada umumnya penyelenggara pelatihan kejuruan adalah swasta, narnun ada anggaran publik yang dialokasikan untuk itu, seperti
melalui
pemberian
bantuan
dan akreditasi.
Bahkan
secara
khusus
Departemen Tenaga Kerja melaksanakan sejurnlah proyek yang terkait dengan penyelenggaraan pelatihan, seperti pelatihan yang dilaksanakan melalui Balai Latihan Kerja (BLK).
Secara makro, sejumlah penclitian seperti yang telah dibahas dalam bagian Tinjauan Pustaka menunjukkan, bahwa PNB memperoleh sumbangan yang nyata dari stok kemampuan yang diperoleh dari hasil pendidikan dan pelatihan. Sumbangan pendidikan kepada -pertumbuhan ekonomi adalah pada hubungan antara peningkatan kemampuan tenaga kerja' dengan output nasional. Indikator yang digunakan dalam mengukur peitumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan PNB riil perkapita, yang berkorelasi positif tinggi secara nyata dengan pertumbuhan produktivitas pertenaga kerja; dan ditentukan oleh naiknya standar hidup yang diharapkan (McMahon dan Boediono, 1992). Dalam konteks ini, sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkapita riil dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Seseorang dengan pendidikan yang lebih tinggi bisa belajar lebih banyak melalui pengalaman kerjanya dan cenderung lebih mampu meningkatkan kemampuannya, sehingga cenderung lebih produktif (Mincer, 1974).
( 2 ) Mendidik penguasaan teknologi baru bisa menyebabkan peningkatan pennintaan
penyewa tenaga k e j a yang mampu rnengimplementasikan teknologi baru. Hal ini bisa meningkatkan produksi p n g pada akhirnya bila meningkatkan output nasional.
(3)
Pendidikan sekolah, khususnya pendidikan umum, memfasilitasi kapasitas tenaga kerja untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus sepanjang siklus kahidupannya (Schultz, 1988). Ini juga menyebabkan para tenaga kerja bisa mzngambil keputusan untuk melakukan perubahan pekerjaan serta menyebabkan meningkatnya produktivitas.
( 4 ) Pendidikan terbukti bersifat komplementer dengan kapital fisik. Hal ini berarti,
bahwa penambahan dalam akumulasi kapital fisik seharusnya disertai dengan pembentukan kapital manusia dalam jumlah yang memadai. Bila tidak, akan tnengurangi keuntungan dari kapital fisik, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. (5)
Pendidikan inemiliki dampak langsung terhadap produktivitas tenaga kerja, sehingga bisa ~iiemberi sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi secara makro.
( 6 ) Peningkatan pendidikan akan membawa efek antar generasi, dalam arti orang
tua
dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung akan mendorong dan
niembiayai anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan yang tinggi pula; sehingga membentuk stok sosial dari kapital manusia suatu negara, yang pada gilirannya bisa nieningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
1 l1.lli1111 di atas telah menunjukkan tentang adanya keterkaitan antara pendidikan dan
i,elatil~andengan pertumbuhan ekonomi secara makro. Keterkaitan antara keduanya juya ditunjukkan oleh sejumlah hasil penelitian di berbagai negara sebagaimana tola11 diuraikan pada bagian Tinjauan Pustaka. Pendidikan itu sendiri merupakan u~ratilinvestasi dan setiap investasi mengharapkan keuntungan di kemudian hari. tiuuntunyan investasi secara mikro telah dibuktikan oleh hasil penelitian ini, yang ilii~rn,jukkanoleh peningkatan penghasilan kerja sebagai akibat dari peningkatan
kemampuan dan sikap. Oleh sebab investasi dalam pendidikan dan pelatihan tidak hanya semata-mata dilakukan oleh perseorangan, tetapi juga oleh publik, persoalan yang perlu dipecahkan adalah tentang cara agar diperoleh keuntungan publik yang optimal dari investasi pada bidang pendidikan dan pelatihan. Agar diperoleh keuntungan publik yang optimal dari investasi tersebut diperlukan kebijakan makro yang relevan sebagaimana akan dikaji dalam pembahasan berikut ini.
Analisis Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan bahwa, pendidikan nasional dilaksanakan dalam dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah dilaksanakan secara formal di sekolah meialui kegiatan belajar-mengajar secara bejenjang dan berkesinambungan. Adapun jalur pendidikan luar sekolah dilaksanakan secara non-formal dan tidak berjenjang. Jenjang pendidikan sekolah meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengab dan pendidikan tinggi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 1990, jenjang pendidikan dasar meliputi satuan pendidikan SD dan satuan SLTP. Berdasarkan PP nomor 29, jenjang pendidikan menengah
meliputi
pendidikan
SMU,
SMK,
Sekolah
Kedinasan,
Sekolah
Menengah Keagamaan, dan Sekolah Menengah Luar Biasa. Adapun pendidikan tinggi penyelenggaraannya diatur oleh PP nomor 30 tahun 1990 dan pendidikan luar sekolah diatur oleh PP nomor 73 tahun 1990.
Pendidikan menengah adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan pendidikan
dasar,
yakni
srtelah
menamatkan
satuan
pendidikan
SLTP.
Penyelenggaraan pendidikan mznengah, yang paling banyak diikuti tamatan SLTP adalah SMU, kemudian disusul oleh SMK. Perbedaan mencolok antara kedua jenis sekolah menengah ini terletak pada kurikulumnya. Kurikulum SMU mempunyai tujuan yang mengutamakan kepada perluasan pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai persiapan mengikuti p-ndidikan di perguruan tinggi. Adapun kurikulum SMK mengutamakan pengetahr~andan keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk terjun ke masyarakat (Ministry of Education and Culture, 1994). Pada jalur pendidikan luar sekolah, PP nomor 73 menggariskan bahwa ja1ur pendidikan ini dilaksanakan di luar sistem pendidikan sekolah melalui belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak berkelanjutan seperti halnya sistem pendidikan sekolah. Ciri utama lain yang membedakan kedua jalur pendidikan ini adalah adanya fleksibilitas pac'a jalur pendidikan luar sekolah. Hal ini terutama berkaitan dengan waktu penyelenggaraan, lama waktu pelaksanaan pendidikan. usia peserta didik, isi pelajaran, cara mengajarkan materi pelajaran, dan cara melakukan penilaian hasil belajar. Ini semzra berbeda dengan sistern pendidikan sekolah yang semuanya secara ketat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut PP nomor 73 tahun 1991, pendidikan luar sekolah bertujuan: (1) Memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berkembang melalui proses belajar dalam jangka pendek dan berlangsung sepanjang hayat, agar taraf hidupnya meningkat; (2) Untuk memandu warga belajar agar memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk bisa mengembangkan diri, bisa bekerja, dan bisa memperoleh pendapatan; dan (3) Untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak bisa dipenuhi melalui pendidikan sekolah. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan Luar sekolah ada yang dilaksanakan oleh pemerintah dan ada yang dilaksanakan oieh swasta atau masyarakat. Adapun di antara jenis-jenis pendidikan luar sekolah adalah kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan kejuruan.
Dari segi pembiayaan, pendidikan yang dilaksanakan melalui jalur sekolah 83 persen dibiayai oleh pemerintah, dan 17 persen dibiayai oleh swasta. Oleh karena itu, meskipun orang tua siswa memberikan sumbangan pendidikan kepada sekolah, namun biaya yang dikeluarkan itu refatif kecil. Dari pihak pemerintah, untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan SMU, misalnya, berdasarkan hasil studi finansial yang dilaksanakan pada tahun 1997, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk SMU permurid pertahun adalah antara 418.000 sampai 612.000 rupaih (Clark, dkk., 1997). Adapun untuk biaya pendidikan pada jalur luar sekolah, karena pada umumnya dilaksanakan oleh swasta, maka porsi biaya paling besar dibebankan kepada warga belajar. Untuk jenis-jenis pelatihan kejuruan yang
dijadikan fokus penelitian ini, biaya yang dikeluarkan oleh setiap warga belajar dapat disimak pada Tabel 12. Dilihat dari segi kebijakan, dapat dikaji adanya tiga kategori jenis pendidikan bagi penyiapan sumber daya manusia terampil yang saling berkait kepentingannya. Dari ketiga kategori ini, dua jenis pendidikan berada dalarn jalur pendidikan sekolah, yaitu SMU dan SMK, dan satu jenis berada dalam jalur pendidikan luar sekolah, yaitu pelatihan kejuruan. Meskipun ketiganya berkait kepentingan, filosofi yang mendasari ketiga jenis penyelenggaraan pendidikan ini berbeda. Pendidikan SMU didasari atas filosofi pendidikan liberal, meskipun daiam pelaksanaannya ada kerancuan, terutama dari segi kurikulum. Melihat dari saratnya isi kurikulum dan tingginya tingkat kemampuan yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa, pendidikan SMU lebih dekat kepada persiapan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Namun, dilihat dari segi pelaks~naanpendidikan, yakni selama dua tahun pertama (kelas 1 dan kelas 2) semua siswa mempelajari mata-mata pelajaran yang sama (belum ada penjurusan), jenis pendidikan ini seakan-akan merupakan pendidikan umum atau liberal
u r t s education.
Adapun pendidikan SMK didasari atas filosofi
pendidikan pragmatis; demikian pula pelatihan kejuruan. Kecenderungan in1 ditunjukkan oleh kenyataan, tjahwa kurikulum SMK dan kurikulum lembagalembaga pelatihan kejuruan cenderung berorientasi kerja; dalam arti lulusan atau keluarannya diharapkan bisa memanfaatkan langsung hasil belajar yang diperoleh untuk bekerja. Perbedaan antara pendidikan SMK dan pelatihan kejuruan terletak
pada jalur pendidikannya, yailu SMK berada pada jalur sekolah dan pelatihan kejuruan berada pada jalur luar sekolah. Dampak dari perbedaan jalur ini adalah pada penguasaan kemampuan tulusannya. Oleh sebab jalur pendidikan sekolah lebih lama jangka waktunya, meskipun jaiur pendidikan ini bersifat pragmatis namun tetap tidak mengabaikan landasan teori dari keterampilan-keterampilan yang dipelajari. Keadaan ini tidak terjadi' pada jalur luar sekolah, karena waktu penyelenggaraan pendidikannya yang lebih pendek. Keberadaan pendidikan SMU :,ebagaimana dijelaskan di atas di satu sisi seakanakan merupakan pendidikan persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, namun di sisi lain merupakan pendidikan umum yang mengembangkan liberal arts. Apabila pendidikan SMU diarahkan szbagai persiapan untuk mengikuti pendidikan di perguruan
tinggi,
seharusnya
kurikulum
yang
dilaksanakan
menempatkan
penjurusan secara lebih dini, i n i s a l n y ~pada catur wuian terakhir di kelas satu, dengan altematif jurusan yank lebih luas. Sebalikya, apabila pendidikan SMU dimaksudkan sebagai pendidikan umum, maka isi kurikulum seharusnya lebih disederhanakan, sehingga memungkinkan semua lulusan SLTP yang memiliki taraf kecerdasan rata-rata ke atas tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan di sekolah itu. Pada akhir kelas Jua, ketika akan memasuki kelas tiga, kepada siswa ditawarkan sejumlah alternatif pilihan program atau jurusan. Alternatif-alternatif itu, misalnya, bagi mereka y m g akan melanjutkan ke pergurunan tinggi bisa memilih program yang lebih banyak memberi pelajaran yang terkait dengan dasar-
dasar IPTEK yang sesuai de:~gan minat dan kemampuan. Bagi mereka yang bermaksud memasuki pasar Lerja setelah lulus SMU bisa memilih alternatif program yang memberi bekal-bekal kemampuan kejuruan fungsional untuk bisa bekerja. Adanya data yang menunjukka
1,
bahwa sebagian besar lulusan SMU (76%) tidak
melanjutkan ke perguruan tingyi mendorong kita untuk mengkaji ulang kebijakan yang terkait dengan kurikuluno SMU. Bahkan di Jerman, sebagai negara maju, statistik tahun 1987/1988 menunjukkan: ( I )
Sekitar 21 persen lulusan SM
memasuki universitas dan poiiteknik, 14 persen di antaranya memilih subyek teknik; (2) Sekitar 11 persen lulusan SM memasuki akademi atau pelatihan profesional; (3) Sekitar 63 persen lulusan SMU mengikuti pelatihan magang di pabrik; dan (4) Sekitar 6 pelsen melamar pekerjaan tanpa pelatihan kejuruan (Djojonegoro, 1992). Data ini di antaranya membawa implikasi tentang pentingnya siswa SMU yang tidak akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk diberi bekal-bekal kemampuan vang bisa dimanfaatkan untuk bekerja. Dari hasil penelitian ini ditunjukkan, dahwa pelatihan kejuruan yang diikuti oleh lulusan SMU sebelum bekerja terbukti efektif sebagai persiapan untuk memasuki pasar kerja. Dalarn bagian lair. dari hasil penelitian ini juga ditunjukkan, bahwa dilihat dari tigkat keuntungan yang ditandai oleh berbagai indikator pengembalian investasi, pelatihan kejuruan dengan jangka waktu lebih pendek terbukti lebih
menguntungkan. Dalam temuLn ini juga tersirat pemahaman, bahwa pelatihan kejuman yang dilaksanakan
i
ntara enam sampai sernbilan bulan, selain bisa
menyiapkan calon tenaga kerja untuk siap bekerja juga dihargai oleh perusahaan dengan memberi upah atau gaji yang cukup baik. Dilihat dari segi pengembalian investasi pribadi, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa secara mikro investasi pribadi pada PKSB adalah rr.enguntungkan. Namun bila dikaji secara makro, sebelum lulusan SMU itu mengikuti pelatihan kejuruan telah banyak biaya pribadi. apalagi biaya publik, yang te:ah diinvestasikan untuk pendidikan sampai pada jenjang pendidikan SMU. Apabila Iulusan SMU yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi itu memiliki ksmampuan kejuruan fingsional, mereka tidak perlu mengeiuarkan biaya pribadi unluk mengikuti PKSB, sehingga investasi pribadinya lebih kecil dan tingkat keuntungan atau tingkat pengembalian investasi pribadinya lebih tinggi. Demikian pula investasi publik akan memperoleh pengembalian lebih tinggi. Akan tetapi adanya kenyataan bahwa lulusan SMU lebih banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan kenyataan bahwa kurikulum SMU kurang memberi bekal untuk persiapan memasuki pasar kerja kepada siswanya telah menyebabkan investasi pribadi tambahan dalam PKSB merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Kenyataan ini membawa kepada sejumlah implikasi bayi kebijakan makro tentang pendicikan dari pelatihan.
Dari uraian yang dipaparkan ai atas, pada sisi penawaran tenaga kerja ada tiga kategori tenaga kerja lulusan sekolah menengah, yaitu lulusan SMK, lulusan SMU tanpa PKSB, dan lulusan SMII dengan PKSB. Data makro hasil penelitian yang dilakukan oleh Strudwick daii Cresswell (1994) menunjukkan, bahwa jumlah lulusan SMK yang langsung bekerja jauh lebih tinggi dari lulusan SMU. Dari lulusan SMK yang bekerja itv, lulusan SMK Teknologi mempunyai porsi lebih besar. Bila rnenyimak data ini, lulusaq SMU tersebut adalah lulusan SMU yang tidak mengikuti PKSB. Penelitian yang dilakukan oleh kedua pakar tersebut tidak mengungkap tentang lulusan SMU yang mengikuti PKSB. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa 84% lulusan SMU yang mengikuti PKSB bisa bekerja atau berwirausaha. Data lain dari hasil wawancara
dengan
para
mrnajer
SDM perusahaan
yang
menjadi
contoh
menunjukkan, bahwa menerima karyawan lulusan SMU yang mengikuti PKSB adalah Iebih menguntungkan, baik dibandingkan dengan lulusan SMK. apalagi dibandingkan dengan lulusan SWU yang tidak mengikuti PKSB. Ini berarti, apabila SMU itu bersifat pendidikan umum dan kurikulumnya bersifat liberal dengan menyediakan pilihan untuk memperoleh pendidikan keterampilan yang setara dengan pelatihan kejuruan dengan jangka waktu antara enam sampai sembilan bulan, maka lulusannya dihara~kanakan bisa diterima untuk bekerja oleh berbagai perusahaan. Dengan demikial, investasi pribadi
dan investasi publik pada
pendidikan sampai dengan jenjang sekolah menengah bisa lebih efisien, dan
keuntungan investasinya pun bisa lebih tinggi. Mcskipun
telah
dapat
diidantifikasi
beberapa
kemungkinan
diperolehnya
keuntungan dari kernungkinan diperjelasnya arah pendidikan SMU, persoalan yang perlu diantisipasi adalah tentanj: kemungkinan pendidikan seperti itu harus berlaku untuk setiap SMU. Apabila 'ni diterapkan di seluruh SMU akan diperlukan investasi yang besar untuk memulainya, terutarna yang untuk pemenuhan sarana dan prasarana pelatihan kejur~mn.Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan suatu model tertentu yang lebih efis-en, di antaranya dengan melakukan uji-coba atau proyek perintisan pada beberap;. sekolah tertentu sebeium didiseminasi secara luas. Suatu ha1 yang perlu menjadi b;.han pertimbangan dalam uji-coba itu adalah tentang adanya rencana untuk menjadlkan sejumlah SMU sebagai SMU besar, dengan jumlah siswa antara 3.000 sampai 5.000 orang. Studi kelayakan tentang SMU besar saat ini telah selesai dilaksanakan oleh Tim dari Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, yang dibiayai oleh Proyek peningkatan Mutu SMU, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Depdikbud. Di antara temuan yang dihasilkan adalah adanya sejumlah SMU di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang yimg potensial untuk dijadikan sebagai SMU besar (Mattjik, dkk., 1998). Dilihat dari siswa dan guru, pada SMU besar dimungkinkan untuk dilakukannya pengelompokan kegiatan siswa sesuai dengan pilihan kejuruan yang diambii berdasarkan minot dan kernampuannya. Dilihat dari pembiayaan, ini
.
pun lebih memungkinkan, karena SMU besar lebih efisien. Dari segi kurikulum, adanya alternatif ini memungki~ikansekolah tersebut untuk bisa menerapkan prinsip fleksibilitas kurikulum, sebagaimana dikehendaki oleh sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, apabila model ';MU besar ini diterapkan, pengintegrasian pelatihan kejuruan ke dalam kurikulum S:dU bisa dimulai dari sini. Beberap-a Implikasi Hasil Penelitian Berpijak pada anaiisis makro tentang pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, serta analisis kebijakan makro tentang pendidikan dan pelatihan, ada beberapa implikasi penting dari hasil penelitian ini. Implikasi itu terkait dengan kebijakan makro mengenai peningkatan relevansi pendidikan dengan kebutuhan individu dan pasar kerja, revitalisasi kurikulum SMU, dan keberadaan pelatihan-pelatihan kejuruan guna peningkatan mutu SDM J:~lusanSMU. Ini semua diharapkan bisa berdampak pada peningkatan efisiensi pendidikan d'an pelatihan, baik efisiensi internal (dengan semua sumber daya pendidikan yang tersedia) indikator utama termanfaatkan~~ya maupun efisiensi eksternak (der.gan indikator utama termanfaatkannya kemanipuan hasil pendidikan dan pelatihan oleh pasar). Relevansi pendidikan merupak-a salah satu dari empat persoalan yang inenjadi isu pokok dalam pembangunan, yaitu pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi. Isu pemerataan terkait dengan terscdianya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. isu mutu pendidika.1 meskipun cukup kompleks namun disederhanakan
indikatornya, di antaranya adalah hasil evaluasi belajar tahap akhir nasional (EBTANAS); dan ini berkaitar erat dengan kurikulum dan implementasinya. Isu relevansi terkait dengan kesesuaian pendidikan dengan permintaan pasar. Adapun isu efisiensi terkait dengan a ? ~ g k aputus sekolah, angka mengulang keias dan keterserapan lulusan sekolah olch pasar tenaga kerja. Tiga isu terakhir ini menjadi fokus pengkajian dalam implikasi makro hasil penelitian, yaitu mutu kurikulum. relevansi dan efisiensi pendidikan, khususnya pendidikan SMU. Relevansi pendidikan diartikan sebagai kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan. Dalam kaitannya dengan persoalan ketenagakerjaan, relevansi addah kesesuaian antara proses dan materi yang diberikan dalam pendidikan dengan kebutuhan pasar. Jadi, relevanzi dengan peristilahan lain adalah keterkaitan (link) dan kesepadanan (mulch) antara pendidikan dan permintaan pasar. Meskipun konsep ini banyak memperoleh tantangan, di antaranya dari golongan humanis yang memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan atau lebih luas dari sekedar mengembangkan SDM sebagai Faktor input sistem produksi, namun dalam konteks pendidikan sebagai investasi daiam sumber daya manusia konsep ini selalu dipakai. Bila konsep tentang pendidikan sebagai investasi pada sumber daya rnanusia itu digunakan, maka indikator relevansi adalah kesepadanan dan kesetaraan antara pendidikan
dan
permintaan
pasar.
Kesepadanan
pendidikan
SMU
dengan
permintaan pasar berarti, bahwn apa yang diselenggarakan pendidikannya di SMU
mencakup pemberian kemampuan-kemampuan yang apabila lulusan SMU itu bekerja akan bisa menggunakan kemampuan hasil belajar dari sekolah itu dalam pekerjaan. Adapun kesetaraan pendidikan SMU menunjukkan, bahwa tingkat penguasaan kemampuan itu sesilai dengan tingkat penguasaan yang diminta dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam perspektif pendidikan sebagai investasi pada sumber d+a
manusia.
relevansi pendidikan bisa m1:nyebabkan tingginya angka pengembalian atau keuntungan investasi, baik secara mikro maupun makro. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa relevansi pendidikan di SMU termasuk rendah. Namun biIa lulusan SMU itu mengikuti PKSB, maka ini dapat meningkatkan keterpakaian hasil belajar di SMU dalam pekerjam. Hal dini berarti, apabila pendidikan SMU akan ditingkatkan relevansinya dengan permintaan pasar maka di antara upaya yang layak dilakukan adalah dengan mengintegrasikan pelaksanaan pelatihan keji~ruan menjadi bagian terpadu dari pendidikan di SMU. Persoalan lain yang terkait dcngan isu dalam pembangunan pendidikan adalah tentang efisiensi pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan, ada dua macam efisiensi yang seharusnya dicapai, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal adalah kemampuan lembaga untuk memanfaatkan semua sumber daya yang ada untuk menghasi:kan output yang optimal. Di antara indikator utama efisiensi internal dalam pendibikan adalah rendahnya tingkat putus sekolah dan
angka mengulang kelas. Biia !embaga pendidikan marnpu mempertahankan atau bahkan meningkatkan ha1 ini, yaitu menekan angka putus sekolah dan angka mengulang kelas serendah mulrgkin, maka lernbaga pendidikan itu efisien secara internal. Sebaliknya, efisiensi eksternal rnenunjukkan pada tingkat kernanfaatan hasil pendidikan di sekolah da!am pasar tenaga kerja. lndikator utama yang biasa digunakan dalam mengidenti5kasi
derajat efisiensi eksternal adalah tingkat
keterserapan keluaran lembaga pendidikan oleh pasar tenaga kerja. Jadi, efisiensi eksternal berkaitan erat dengan relevansi dan mutu pendidikan. Terkait dengan efisiensi, peneiitian ini tidak memfokuskan kajian pada efisiensi internal. Namun dalam kaitrul dengan efisiensi eksternal, hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa tingkat pmyerapan pasar terhadap lulusan SMU yang tidak mengikuti PKSB lebih rendall dari lulusan SMU yang mengikuti PKSB. Ini mempakan indikasi, bahwa efi3iensi eksternal pendidikan di SMU adalah rendah. Meskipun demikian, bila l u l u s ~ nSMU itu mengikuti PKSB, tingkat penyerapan lulusannya oleh pasar termasuk tinggi. Ini membawa implikasi, bahwa peningkatan efisiensi eksternal pendidikan SMU di antaranya bisa diupayakan mela1ui PKSU. Namun, bila ini dilakukan secara terpisah dari kurikulum, seperti halnya yang dilakukan oleh para karyawan perusahaan dan pewirausaha yang menjadi contoh penelitian ini, maka ini merupauan salah satu indikasi rendahnya efisiensi internal. Oleh karena itu, alternatif yanp dipandang layak adalah dengan mengintegrasikan kurikulum pelatihan kejuruan he dalam kurikulum SMU. Dengan demikian, siswa
SMU bisa memilih alternatif untuk mempersiapkan diri bekerja setelah lulus dari SMU, apabila mereka tidak hermaksud melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Selain persoalan-persoalan yanc terkait dengan isu relevansi dan efisiensi, implikasi hasil peneiitian ini juga terkait Sengan isu mutu pendidikan. Isu mutu pendidikan ini berkaitan erat dengan pentingnya dilakukan revitalisasi kurikulum SMU. Dari uraian yang dipaparkan di atas, kurikulum SMU belum jelas arahnya, apakah sebagai pendidikan umum atEu sebagai pendidikan persiapan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Bila ShiIu adaIah pendidikan umum, maka muatan kurikulumnya
perlu
disederhanakan
dan
tingkat
kesukaran
mempelajarinya
diturunkan. Dengan demikian lembaga pendidikan ini bisa menjadi lembaga pendidikan yang terbuka bar$ setiap lulusan SLTP yang memiliki tingkat kecerdasan sekurang-kurangnys pada tingkat rata-rata. Apabila arah pendidikan SMU itu demikian, maka dalcm kurikulum pun harus disediakan kemungkinan siswa mengambil pilihan, apaklh dia akan mempersiapkan diri untuk melanjutkan ke perguruan tinggi atau akan mempersiapkan diri untuk bekerja. Bagi yang akan melanjutkan ke perguruan tingpi, disediakan kurikulum dengan muatan pendidikan akademik yang lebih tinggi tingkatannya. Adapun bagi mereka yang akan bekerja, disediakan kurikulum dengan muatan pendidikan keterarnpilan fungsional atau pendidikan kejuruan yang lebiil tinggi. Dengan demikian, alternatif apapun yang
dipilih memungkinkan siswa bisa menyiapkan diri secara lebih matang. Sebaliknya apabila akan diarahkan untuk persiapan mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, maka penjurusan bisa diberikan lebih dini, dan sistem penjurusannya tidak hanya dibatasi pada jurusan-jurusan IiBA,IPS dan Bahasa seperti yang berlaku sekarang; tetapi lebih diperluas lagi, sehiagga siswa mempunyai lebih banyak pilihan untuk mengembangkan diri melalui ltendidikan di perguruan tinggi itu. Atas dasar ini, maka diperlukan revitalisasi kurikulum SMU, dengan pertama-tama memperjelas arah pendidikannya itu sendiri. Kekurangjeiasan arah ini menyebabkan hasil belajar yang diperoleh siswa juga ki.rang jelas arah pemanfaatannya, dan mutu yang berhasil
dicapai
secara
nas~onal, dengan
menunjukan gejala kurang menggembirakan.
indikator
hasil
EBTANAS
pun