PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO BADAN KEBIJAKAN FISKAL
DAYA SAING INDONESIA MENJELANG BERLAKUNYA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (ASEAN ECONOMIC COMMUNITY, AEC)
Makalah Kebijakan (Policy Paper)
Muhammad Afdi Nizar
Jakarta 2014
0
Ringkasan Eksekutif
Dalam cetak biru ASEAN Economic Community (AEC), terdapat 12 sektor prioritas yang akan diintegrasikan. Tujuh diantaranya sektor industri, yaitu industri agro, perikanan, industri berbasis karet, industri tekstil dan produk tekstil, industri kayu dan produk kayu, peralatan elektronik, dan otomotif. Revealed Competitive Advantage (RCA), Logistic Performance Index (LPI), dan Easing Doing Bussines Index digunakan untuk mengetahui daya saing produk ketujuh sektor industri. Dari segi daya saing produk yang diukur menggunakan RCA, hanya sedikit produk industri Indonesia memiliki daya saing tertinggi. Mayoritas produk industri memiliki daya saing tinggi tetapi kalah unggul dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Produk-produk yang memiliki daya saing tertinggi antara lain produk berbasis agro (kakao, tembakau, kertas dan kertas karton, dan minyak nabati), produk dari karet (getah karet alam), produk dari kayu (produk kayu lapis), tekstil dan produk tekstil (produk serat buatan lainnya, kain tenun, dan kain buatan manusia). Seluruh Produk Perikanan, Produk Elektronik, dan Produk Otomotif memiliki daya saing tinggi tetapi kalah unggul dibandingkan negara-negara ASEAN lain. Thailand, Filipina, Vietnam, dan Myanmar memiliki daya saing tertinggi dalam Produk Perikanan. Produk Elektronik didominasi oleh Malaysia, Thailand dan Vietnam. Sedangkan Produk Otomotif didominasi oleh Thailand, Filipina, dan Kamboja. Dari segi kinerja logistik yang diukur menggunakan LPI, daya saing Indonesia secara keseluruhan mengalami peningkatan dari 59 pada tahun 2012 menjadi 53 pada tahun 2014. Namun, dalam lingkup ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Dari enam komponen yang diukur dalam LPI, masalah yang paling besar bagi Indonesia berkaitan dengan sektor pelabuhan karena komponen international shipment berada jauh bawah indeks keseluruhan. Easing Doing Bussines Index Indonesia pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi peringkat 120 dari tahun sebelumnya di peringkat 116,
1
dimana 9 dari 10 indikator penilaian mangalami penurunan. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos dan Myanmar. Permasalahan paling utama bagi Indonesia yaitu kemudahan memulai bisnis baru dari segi prosedur dan lama waktu yang dibutuhkan. Dengan memperhatikan beberapa indikator daya saing di atas dapat dikatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tingkat persaingan yang sangat tinggi antar sesama negara-negara ASEAN. Agar Indonesia menjadi basis produksi komoditi—sebagai salah satu misi terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN—maka upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan daya saing menjadi suatu keniscayaan.
2
LATAR BELAKANG Kerjasama ekonomi antar negara-negara anggota ASEAN telah dimulai sejak disahkannya Deklarasi Bangkok tahun 1967. Tujuan kerjasama ini adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya. Dalam dinamika perkembangannya, kerjasama ekonomi ASEAN diarahkan pada pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama di bidang politik-keamanan dan sosial budaya. Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia Tenggara, para Kepala Negara ASEAN pada KTT ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia tahun 2003, menyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang Keamanan Politik (ASEAN PoliticalSecurity Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya (ASEAN Socio-CultureCommunity), yang kemudian dikenal dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015, ASEAN telah menyepakati akan diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada cetak biru (blueprint) AEC. AEC Blueprint ini memuat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan ecommerse; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos, dan Vietnam); dan (4) ASEAN sebagai
3
kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global (ASEAN, 2007a dan ASEAN, 2013). Dalam cetak biru AEC itu juga ditetapkan bahwa ada 12 sektor prioritas yang akan diintegrasikan. Tujuh diantaranya adalah sektor barang, yaitu industri agro, perikanan, industri berbasis karet, industri tekstil dan produk tekstil, industri kayu dan produk kayu, peralatan elektronik, dan otomotif. Sementara sisanya adalah lima sektor jasa, yakni transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik, serta industri teknologi informasi atau e-ASEAN. Dalam rangka menghadapi integrasi pasar ASEAN melalui AEC tersebut, perlu dilihat tingkat daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang terkait daya saing yang akan menjadi perhatian utama dalam paper ini. Pertama, daya saing produk/komoditas ekspor Indonesia—terutama yang akan segera diintegrasikan—di pasar internasional dan dibandingkan dengan daya saing produk/komoditas ekspor negara-negara lain dalam kawasan. Kedua, daya saing logistik (logistic performance index) dan ketiga, daya saing dari aspek kemudahan melakukan bisnis (easing doing busines index)
PEMBAHASAN Daya Saing Produk/Komoditas Daya saing produk/komoditas diukur dengan menggunakan indeks Revealed Competitive Advantage (RCA)1. Penghitungan indeks RCA 1
Revealed Comparative Advantage (RCA) merupakan suatu indeks yang menunjukkan daya saing ekspor komoditi dengan produk-produk sejenis dari negara lain di pasar
4
dilakukan dengan menggunakan klasifikasi SITC 3 digit dalam periode 2010 - 2012. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa produk/komoditas ekspor yang terdapat dalam tujuh sektor yang akan diintegrasikan tersebut, ternyata tidak semua produk/komoditas ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi (indeks RCA> 1) di pasar internasional. A. Produk Berbasis Agro Ada beberapa komoditi yang masuk ke dalam kelompok produk berbasis agro dengan daya saing yang berbeda-beda. Produkproduk dengan daya saing rendah yang diidentifikasi berdasarkan nilai indeks RCA (RCA < 1) antara lain adalah produk susu (SITC 022, SITC 023, dan SITC 024), buah-buahan (SITC 057, SITC 058, dan SITC 059), dan gula (SITC 061 dan SITC 062). Untuk ketiga produk tersebut negara pengekspor yang memiliki keunggulan daya saing (RCA tertinggi) adalah Filipina dan Thailand. Sementara itu, produkproduk ekspor Indonesia dalam kelompok produk berbasis agro yang memiliki daya saing tinggi (RCA> 1) antara lain adalah : (i). Kopi (SITC 071). Dalam tahun 2010 indeks daya saing produk ini mencapai 3.21 dan meningkat menjadi 3.93 dalam tahun 2012. Artinya, Indonesia memiliki daya saing yang tinggi (RCA > 1) dalam produk kopi ini. Meskipun demikian, bila dibandingkan negara-negara ASEAN lain, daya saing Indonesia masih berada global (Balassa, 1965 dan 1977; Muendler, 2007). Daya saing tersebut secara umum dinilai dengan benchmark 1. Suatu produk dikatakan memiliki daya saing dan keunggulan komparatif apabila memiliki nilai RCA > 1 dan sebaliknya apabila memiliki RCA<1. Indeks RCA tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: RCAj
Xij Xwj
Xi Xw
di mana : RCAj = indeks daya saing komoditi j di pasar global; Xij = ekspor komoditi j oleh negara i; Xwj = total ekspor komoditi j di dunia; Xi = total ekspor negara i; Xw = total ekspor dunia.
5
di bawah Timor Leste, Vietnam, dan Laos. Bahkan Laos menjadi negara dengan daya saing paling unggul (RCA tertinggi) untuk ekspor kopi ini. (ii). Kakao (SITC 072). Walaupun dalam periode 2010 – 2012 terjadi penurunan indeks daya saing, yaitu dari 7.31 dalam tahun 2010 menjadi 5.12 tahun 2011 dan 5.15 tahun 2012, Indonesia tetap memiliki daya saing tertinggi (RCA > 1) dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Negara pesaing utama dalam ekspor produk ini adalag Malaysia, dengan indek RCA terus menunjukkan peningkatan dari 4.32 tahun 2010 naik menjadi 4.38 tahun 2011 dan menjadi 4.52 tahun 2012. (iii). Tembakau (SITC 121 dan 122). Untuk tembakau non-olahan (SITC 121) daya saing Indonesia cukup tinggi (RCA > 1) namun cenderung menurun yaitu dari 1,68 dalam tahun 2010 menjadi 1,22 tahun 2012. Saingan utama Indonesia dalam ekspor tembakau non olahan adalah Filipina, Kamboja dan Laos (RCA tertinggi). Sementara tembakau olahan (SITC 122) Indonesia memiliki daya saing tertinggi dan cenderung meningkat yaitu dari 1,77 tahun 2010 menjadi 1,98 tahun 2012. Negara pesaing utama dalam ekspor tembakau olahan adalah Malaysia, Vietnam, dan Filipina (iv). Kertas dan produk kertas (SITC 251, SITC 641, dan SITC 642). Untuk ekspor produk kertas dan kertas karton (SITC 641)— walaupun terjadi sedikit penurunan dari 3.23 tahun 2010 menjadi 2.90 tahun 2012—namun Indonesia tetap memiliki daya saing (RCA) tertinggi (unggul), dengan pesaing utama Myanmar. Sementara itu untuk produk bubur kayu dan sampah kertas (SITC 251) walaupun daya saing Indonesia tinggi (RCA > 1) namun masih di bawah Myanmar (RCA tertinggi).
6
(v). Minyak nabati (SITC 422). Dalam produk ini, termasuk di dalamnya CPO, Indonesia memiliki daya saing (RCA) tertinggi dan cenderung meningkat, yaitu dari 40.64 tahun 2010 menjadi 41.17 tahun 2012. Negara-negara pesaing utama dalam ekspor produk ini adalah Malaysia dan Filipina. (vi). Furnitur (SITC 821). Meskipun daya saing ekspor Indonesia dalam produk ini tinggi (RCA > 1), namun masih lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam (RCA tertinggi). Posisi daya saing produk-produk berbasis agro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran. Tabel 1 DAYA SAING PRODUK BERBASIS AGRO DAYA SAING PRODUK BERBASIS AGRO PRODUK (Kode SITC) Susu (022, 023, 024) Buah-buahan (057, 058, 059) Gula (061 dan 062) Kopi (071) Kakao (072)
DAYA SAING INDONESIA
KOMPETITOR
rendah(RCA<1) Filipina (RCA tertinggi), khususnya susu dan produk susu (022) rendah(RCA<1) Filipina (RCA tertinggi), Thailand & Vietnam rendah(RCA<1) Thailand (RCA tertinggi), Laos, Filipina tinggi (RCA > 1) Laos (RCA tertinggi), Timor Leste, Vietnam tinggi (RCA > 1) Malaysia; tapi RCA Indonesia lebih tinggi
Tembakau (121 dan 122) - tembakau non-olahan (sisa tembakau) (121) - tembakau olahan (122)
tinggi (RCA > 1) Laos (RCA tertinggi), Filipina & Kamboja tinggi (RCA > 1) RCA Indonesia tertinggi : Malaysia, Filipina & Vietnam
Kertas dan produk kertas (251, 641, & 642)
Minyak nabati lainnya, cair atau kental (422)
tinggi (RCA > 1) Myanmar (RCA tertinggi) tinggi (RCA > 1) Indonesia tertinggi, negara lain RCA < 1 tinggi (RCA > 1) Malaysia & Filipina; tapi RCA Indonesia tertinggi
Furnitur (821)
tinggi (RCA > 1) Malaysia & Vietnam (RCA tertinggi)
- bubur kayu dan sampah kertas (251) - kertas dan kertas karton (641)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
B. Produk dari Karet Untuk produk dari karet Indonesia hanya unggul (RCA tertinggi) dalam ekspor getah karet alam (SITC 231), dengan indek daya saing masing-masing 29.00 dalam tahun 2010 turun menjadi 26,20 dalam
7
tahun 2011 dan meningkat menjadi 27,68 dalam tahun 2012. Sementara untuk produk karet lain, seperti bahan karet (SITC 621) dan ban karet (SITC 625) walaupun RCA Indonesia tinggi, tapi masih kalah bersaing dibandingkan dengan Thailand (RCA tertinggi). Sementara produk karet sintetis (SITC 232) dan barang dari karet (SITC 629) Indonesia memiliki daya saing yang rendah (RCA < 1). Posisi daya saing produk-produk karet Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran. Tabel 2 DAYA SAING PRODUK KARET DAYA SAING PRODUK KARET PRODUK (Kode SITC) - getah karet alam, karet alam lainnya (231) -
karet sintetis (232) bahan karet (pasta, pelat, lembaran, dll) (621) ban karet, telapak ban atau flaps & ban dalam (625) barang dari karet (629)
DAYA SAING INDONESIA tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1)
KOMPETITOR Laos; Malaysia; Myanmar; Kamboja; Thailand; & Vietnam; tapi RCA Indonesia tertinggi Myanmar (RCA tertinggi) Kamboja; Thailand (RCA tertinggi); Malaysia & Vietnam Thailand (RCA tertinggi) & Filipina Thailand (RCA tertinggi) & Vietnam
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
C. Produk Perikanan. Semua produk perikanan Indonesia memiliki daya saing yang tinggi (RCA > 1) dan dengan kecenderungan daya saing yang meningkat. Daya saing produk ikan segar (SITC 034) meningkat dari 1.65 tahun 2010 menjadi 1.94 tahun 2012. Demikian pula daya saing ikan kering/ikan asap (SITC 035) meningkat dari 1.36 tahun 2010 menjadi 2.07 tahun 2012. Produk ikan moluska (SITC 036) juga meningkat daya saingnya dari 3.95 tahun 2010 menjadi 4.25 tahun 2012 dan produk ikan diawetkan (SITC 037) meningkat dari 2.50 tahun 2010 menjadi 1.97 tahun 2012. Meskipun demikian, daya saing produk perikanan Indonesia masih kalah bersaing dengan Myanmar untuk
8
ikan kering/ikan asap (SITC 035), dengan Vietnam untuk ekspor ikan segar (SITC 034) dan moluska (SITC 036), dan dengan Thailand untuk ekspor ikan diawetkan (SITC 037). Posisi daya saing produk perikanan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 dan Lampiran. Tabel 3 DAYA PRODUK PERIKANAN DAYA SAINGSAING PRODUK PERIKANAN PRODUK (Kode SITC)
DAYA SAING INDONESIA
KOMPETITOR
- ikan, segar (hidup atau mati), dingin atau beku (034) - ikan kering/asin atau dalam air garam; ikan asap (035) - krustasea, moluska dan invertebrata air (036)
tinggi (RCA > 1) Filipina; Vietnam (RCA tertinggi) tinggi (RCA > 1) Thailand; Myanmar (RCA tertinggi); & Vietnam tinggi (RCA > 1) Thailand; Filipina; Myanmar; & Vietnam (RCA tertinggi)
- ikan, invertebrata air, diawetkan (037)
tinggi (RCA > 1) Thailand (RCA tertinggi); Filipina; Myanmar; & Vietnam
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
D. Produk dari Kayu. Untuk produk dari kayu Indonesia juga memiliki daya saing yang tinggi (RC > 1), yaitu dalam ekspor kayu bakar (SITC 245), potongan/limbah kayu (SITC 246), kayu jadi, bantalan rel kereta, (SITC 248), produk kayu lapis (SITC 634), dan kayu olahan (SITC 635). Meskipun memiliki daya saing tinggi, namun untuk beberapa produk, Indonesia kalah bersaing dengan Laos (kayu bakar), Vietnam (potongan/limbah kayu), Myanmar (kayu jadi, bantalan rel kereta) dan Filipina (kayu olahan). Indonesia hanya lebih unggul (RCA tertinggi) dibandingkan negara-negara ASEAN lain dalam produk kayu lapis (SITC 634) dan daya saingnya juga cenderung meningkat dari 5.42 dalam tahun 2010 menjadi 5.90 dalam tahun 2012. Posisi daya saing produk dari kayu Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran.
9
Tabel 4 DAYA SAINGSAING PRODUK DARI KAYU DAYA PRODUK DARI KAYU PRODUK (Kode SITC) -
kayu bakar (termasuk limbah kayu) dan arang kayu (245) potongan kayu dan limbah kayu (246) kayu jadi, dan bantalan rel kereta api dari kayu (248) kayu lapis, dan kayu lainnya (634) kayu olahan (635)
DAYA SAING INDONESIA tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1)
KOMPETITOR Laos (RCA tertinggi); Kamboja;Filipina; Malaysia; Vietnam Thailand; Myanmar; & Vietnam (RCA tertinggi) Laos; Kamboja; Thailand; Malaysia; & Myanmar (RCA tertinggi) Thailand & Malaysia; tapi RCA Indonesia tertinggi Filipina (RCA tertinggi); Malaysia; Myanmar & Vietnam
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
E. Tekstil dan Produk Tekstil. Dalam kelompok produk ini daya saing Indonesia tergolong tinggi (RCA > 1), kecuali beberapa produk seperti kain katun anyaman (SITC 652); kain rajutan (SITC 655); kain tule, hiasan, renda (SITC 656); benang khusus (SITC 657); barang buatan lain dari bahan tekstil (SITC 658); dan asesori pakaian dari tekstil (SITC 846), yang memiliki daya saing rendah (RCA < 1). (i) Serat tekstil nabati (SITC 265). Daya saing Indonesia ekspor tinggi untuk produk ini cukup tinggi (RCA > 1) dan cenderung naik, yaitu dari 1.11 tahun 2010 menjadi 1.51 tahun 2012. Namun demikian daya saingnya masih lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam (yang memiliki RCA tertinggi). Kompetitor lainnya dalam produk ini adalah Thailand dan Filipina; (ii) Dalam produk serat sintetis untuk pemintalan (SITC 266) daya saing ekspor Indonesia juga tinggi dan menunjukkan peningkatan dari 1.25 tahun 2010 menjadi 1.60 tahun 2012. Namun masih lebih rendah dibandingkan daya saing ekspor Thailand (dengan RCA tertinggi). Kompetitor lainnya dalam produk ini adalah Malaysia, Myanmar dan Vietnam.
10
(iii) Untuk produk pakaian bekas dan barang tekstil bekas lainnya (SITC 269) daya saing ekspor Indonesia—walaupun mengalami peningkatan dari 0.32 dalam tahun 2010 menjadi 2.48 dalam tahun 2012—lebih rendah dibandingkan daya saing Kamboja (RCA tertinggi). Negara pesaing lain dalam produk ini adalah Malaysia. (iv) Untuk benang tekstil (SITC 651) daya saing ekspor cukup tinggi (RCA > 1), namun cenderung menurun, yaitu dari 4.18 dalam tahun 2010 menjadi 3.86 dalam tahun 2012. Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam (RCA tertinggi). Negara pesaing lain adalah Thailand dan Malaysia. (v) Untuk produk kain katun, anyaman (SITC 652), daya saing ekspor rendah dan menunjukkan penurunan dari 1.00 dalam tahun 2010 menjadi 0.85 dalam tahun 2012. Dalam ekspor produk ini, Indonesia kalah bersaing dengan Thailand (RCA tertinggi). (vi) Untuk produk pakaian (SITC 841 – SITC 845), walaupun RCA Indonesia tinggi (RCA > 1), namun masih lebih rendah dibanding dengan RCA negara ASEAN lainnya. Indonesia kalah bersaing dengan Kamboja (RCA tertinggi). Negara ASEAN lain yang menjadi pesaing utama dalam produk pakaian ini adalah Laos, Vietnam, Myanmar, dan Filipina. (vii) Indonesia hanya unggul dalam produk serat buatan lainnya (SITC 267) dan kain tenun, kain buatan manusia (SITC 653). Produk serat buatan lainnya memiliki RCA > 1, namun cenderung menurun, yaitu dari 9.26 tahun 2010 menjadi 7.63 tahun 2012. Daya saing (RCA) ekspor kain tenun/kain buatan manusia dari Indonesia adalah paling tinggi dan cenderung naik, yaitu dari 2.75 tahun 2010 menjadi 2.89 tahun 2012.
11
Produk-produk ini juga menghadapi persaingan dari negara ASEAN lainnya, terutama dari Thailand. Posisi daya saing produk tekstil Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran. Tabel 5 DAYA SAING TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL DAYA SAING TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL PRODUK (Kode SITC) -
serat tekstil nabati , tidak dipintal (265) serat sintetis untuk pemintalan (266) serat buatan lainnya yang cocok untuk pemintalan (267) pakaian bekas dan barang tekstil bekas lainnya (269) benang tekstil (651) kain katun, anyaman (652) kain, tenun, kain buatan manusia (653) kain rajutan (655) kain tule, hiasan, renda, pita & barang-barang kecil lainnya (656)
-
benang khusus, kain tekstil khusus & yang terkait (657) barang buatan lainnya dari bahan tekstil (658) pakaian lelaki & anak lelaki bukan rajutan (841) pakaian wanita & anak wanita bukan rajutan (842) pakaian pria atau anak laki-laki, tekstil, rajutan (843)
- pakaian wanita & anak wanita rajutan (844) - barang-barang lainnya dari tekstil (845) - asesori pakaian, dari kain tekstil (846) - barang lain pakaian, termasuk tekstil (848)
DAYA SAING INDONESIA tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1) tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1) rendah(RCA<1) rendah(RCA<1) rendah(RCA<1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1) tinggi (RCA > 1)
KOMPETITOR Thailand; Filipina: & Vietnam (RCA tertinggi) Thailand (RCA tertinggi); Malaysia; Myanmar; Vietnam Thailand; tapi RCA Indonesia tertinggi Kamboja (RCA tertinggi); Malaysia Thailand; Malaysia & Vietnam (RCA tertinggi) Thailand (RCA tertinggi) Thailand & Vietnam; tapi RCA Indonesia tertinggi Vietnam (RCA tertinggi) Filipina & Thailand (RCA tertinggi) Vietnam (RCA tertinggi) Kamboja & Vietnam (RCA tertinggi) Kamboja (RCA tertinggi); Laos; Vietnam Kamboja (RCA tertinggi); Laos; Filipina; Myanmar & Vietnam Kamboja (RCA tertinggi); Laos; Filipina; Myanmar; Thailand; & Vietnam Kamboja (RCA tertinggi); Laos; Filipina; Myanmar & Vietnam Kamboja (RCA tertinggi); Laos; Myanmar & Vietnam Kamboja (RCA tertinggi); Myanmar & Vietnam Kamboja; Malaysia (RCA tertinggi); Thailand; & Vietnam
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
F. Produk Elektronik Untuk produk-produk elektronik, daya saing Indonesia tinggi (RCA > 1)—kecuali untuk peralatan telekomunikasi (SITC 764). Daya saing produk televisi (SITC 761) cukup tinggi (RCA > 1) dan cenderung naik dari 1.11 tahun 2010 menjadi 1.36 tahun 2012. Sedangkan produk radio (SITC 762) walaupun daya saing tinggi namun cenderung turun yaitu dari 2.21 tahun 2010 menjadi 1.67 tahun 2012.
12
Demikian pula produk recorder (SITC 763) turun dari 2.90 tahun 2010 menjadi 1.76 tahun 2012. Produk-produk dengan daya saing tinggi tersebut masih kalah bersaing dengan Malaysia (SITC 761 dan 762) dan Thailand (SITC 763). Posisi daya saing produk elektronik Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan Lampiran. Tabel 6 DAYA PRODUK ELEKTRONIK DAYA SAINGSAING PRODUK ELEKTRONIK PRODUK (Kode SITC) -
television receivers, whether or not combined (761) radio-broadcast receivers, whether or not combined (762) sound recorders or reproducers (763) telecommunication equipment, n.e.s.; & parts, n.e.s. (764)
DAYA SAING INDONESIA tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) tinggi (RCA > 1) rendah(RCA<1)
KOMPETITOR Malaysia (RCA tertinggi) & Thailand Malaysia (RCA tertinggi) & Thailand Malaysia; Thailand (RCA tertinggi) & Vietnam Vietnam (RCA tertinggi)
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
G. Produk otomotif Daya saing ekspor Indonesia dalam produk otomotif yang cukup tinggi (RCA > 1) hanya untuk ekspor sepeda dan sepeda motor (SITC 785). Daya saing menunjukkan peningkatan, yaitu dari 1.48 dalam tahun 2010 menjadi 1.60 dalam tahun 2012. Meskipun demikian, daya saing dalam produk tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan Filipina, Thailand dan Kamboja (dengan RCA tertinggi). Untuk produk otomotif lain seperti kendaraan bermotor (SITC 782), daya saing ekspor Indonesia relatif rendah (RCA < 1). Demikian pula daya saing ekspor untuk suku cadang (SITC 784). Posisi daya saing produk otomotif Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran.
13
Tabel 7 DAYA SAINGSAING PRODUK OTOMOTIF DAYA PRODUK OTOMOTIF DAYA SAING INDONESIA
PRODUK (Kode SITC) - kendaraan bermotor utk angkt. barang, angkt. khusus (782) - suku cadang & aksesoris kendaraan dari 722, 781, 782, 783 (784) - sepeda & sepeda motor (785)
KOMPETITOR
rendah(RCA<1) Thailand (RCA tertinggi) rendah(RCA<1) Filipina (RCA tertinggi) & Thailand tinggi (RCA > 1) Kamboja (RCA tertinggi), Filipina, Singapura, Thailand, & Vietnam
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (diolah)
Logistics Performance Index (LPI) Indikator lain yang digunakan untuk melihat daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain adalah kinerja logistik berdasarkan hasil survei logistics performance index (LPI) tahun 2014. Dalam hasil survey LPI tersebut diketahui bahwa peringkat Indonesia dalam tahun 2014 naik enam tingkat, yaitu dari posisi 59 (tahun 2012) ke posisi 53. Kenaikan ini memberikan indikasi membaiknya daya saing Indonesia secara keseluruhan. Meskipun demikian peningkatan peringkat LPI itu masih dianggap kurang memuaskan oleh para pelaku usaha dan pengguna jasa logistik, karena peningkatan peringkat itu tidak bisa dijadikan ukuran perbaikan kinerja logistik nasional, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Berdasarkan hasil yang dilaporkan juga diketahui bahwa Singapura menduduki peringkat 5, Malaysia peringkat 25, Thailand peringkat 35 dan Vietnam peringkat 48. Peringkat Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Filipina (peringkat 57), Kamboja (peringkat 83), Laos (peringkat 131), dan Myanmar (peringkat 145). Dari enam komponen yang diukur dalam LPI, masalah yang paling besar bagi Indonesia berkaitan dengan sektor pelabuhan. Bila dilihat dari komponen custom, tahun 2014 Indonesia menduduki peringkat ke 55, lebih baik dibandingkan tahun 2012 dengan peringkat ke 74. Posisi
14
Indonesia lebih baik dari Vietnam (peringkat 61), Kamboja (peringkat 71), Laos (peringkat 100), dan Myanmar (peringkat 150). Sementara dari sisi infrastructure, posisi Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina (peringkat 75), Kamboja (peringkat 79), Laos (peringkat 128), dan Myanmar (peringkat 137). Tabel 8 Logistic Performance Index (LPI) Negara-negara ASEAN, 2012 dan 2014 Overall
Negara
Customs
Infrastructure
International shipments
Logistics quality and Tracking and tracing competence
Timeliness
2012
2014
2012
2014
2012
2014
2012
2014
2012
2014
2012
2014
2012
Singapura
1
5
1
3
2
2
2
6
6
8
6
11
1
2014 9
Malaysia
25
25
29
27
27
26
26
10
30
32
28
17
28
25
Thailand
35
35
42
36
44
30
35
39
49
38
45
33
39
29
Vietnam
53
48
63
61
72
44
39
42
82
49
47
48
38
56
Indonesia
59
53
75
55
85
56
57
74
62
41
52
58
42
50
Filipina
52
57
67
47
62
75
56
35
39
61
39
64
69
90
Cambodia
101
83
108
71
128
79
101
78
103
89
78
71
104
129
Laos
109
131
93
100
106
128
123
120
104
129
111
146
118
137
Myanmar
129
145
122
150
133
137
116
151
110
156
129
130
140
117
Sumber : World Bank (2014) : Logistic Performance Index (LPI)
Dalam komponen international shipment posisi Indonesia pada peringkat ke 74, lebih baik dibandingkan Kamboja (peringkat 78), Laos (peringkat 120), dan Myanmar (peringkat 151). Sedangkan dalam komponen tracking and tracing, dengan peringkat 58, posisi Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina (peringkat 64), Kamboja (peringkat 71), Laos (peringkat 146), dan Myanmar (peringkat 130). Peringkat Indonesia untuk komponen-komponen tersebut semuanya berada di bawah rata-rata LPI Indonesia. Hanya komponen logistic quality and competence yang berada di atas rata-rata LPI Indonesia dengan peringkat 41 dalam tahun 2014 (lihat Tabel 8). Kondisi logistik dan
15
konektivitas ASEAN merupakan salah satu aspek dalam pilar-pilar AEC yang memerlukan perbaikan lebih lanjut dalam konteks masyarakat ekonomi ASEAN (Wattanapruttipaisan, 2008; Batthacharyay, 2010; dan Banomyong, 2011).
Easing Doing Busines Index Selain indikator-indikator tersebut, daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain juga bisa dilihat dari kemudahan melakukan bisnis (easing doing busines index). Indeks ini menunjukkan kondusivitas lingkungan regulasi untuk melaksanakan bisnis di suatu negara. Secara rata-rata berdasarkan indeks ini dalam tahun 2013 Indonesia berada pada peringkat 120, turun dibandingkan posisi tahun 2012 (peringkat 116). Posisi Indonesia dalam tahun 2013 hanya lebih baik dibandingkan Kamboja (peringkat 137), Laos (peringkat 159) dan Myanmar (peringkat 182). Posisi Indonesia berada di bawah Singapura (peringkat 1); Malaysia (peringkat 6); Thailand (peringkat 18); Brunei Darussalam (peringkat 59); Vietnam (peringkat 99); dan Filipina (peringkat 108). Posisi indeks kemudahan melakukan bisnis negaranegara ASEAN dapat dilihat dalam Tabel 9. Tabel 9 Easing Doing Business Index Negara-negara ASEAN, 2014 Singapura Topics Easing Doing Busines
Malaysia
Thailand
Brunei Darussalam
Vietnam
Filipina
Indonesia
Kamboja
Laos
TimorLeste
Myanmar
DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 DB 2013 DB 2012 Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank Rank 1 1 6 8 18 18 108 133 120 116 59 79 99 98 137 135 159 163 172 163 182 182
Starting a Business
3
3
16
19
91
86
137
136
109
107
170
166
175
171
184
181
85
82
154
149
189
Dealing with Construction Permits
3
3
43
99
14
13
46
47
29
29
99
95
88
77
161
157
96
92
128
117
150
140
Getting Electricity
6
5
21
28
12
12
29
29
156
155
33
33
121
121
134
134
140
137
44
41
126
123
189
Registering Property
28
35
35
33
29
26
116
115
51
48
121
119
101
97
118
112
76
74
189
189
154
149
Getting Credit
3
11
1
1
73
71
55
126
42
40
86
126
86
82
42
52
159
154
165
162
170
167
Protecting Investors
2
2
4
4
12
12
115
113
157
169
128
127
52
51
80
80
187
187
115
113
182
182
Paying Taxes
5
5
36
15
70
97
20
22
149
145
131
144
137
132
65
66
119
131
55
58
107
113
Trading Across Borders
1
1
5
5
24
25
39
36
65
66
42
41
54
52
114
115
161
160
92
92
113
114
Enforcing Contracts
12 4
11 5
30 42
29 42
22 58
22 58
161 48
161 48
46 149
46 150
114 100
112 164
147 144
146 142
162 163
163 161
104 189
104 189
189 189
189 189
188 155
188 153
Resolving Insolvency
Sumber : World Bank (2014) : ease of doing business index
16
Penurunan peringkat Indonesia dalam konteks kemudahan melakukan bisnis ini terjadi karena memburuknya penilaian terhadap kinerja hampir semua indikator yang digunakan untuk menentukan indeks tersebut. Dalam kaitannya dengan kemudahan untuk memulai bisnis (starting a business) misalnya, peringkat Indonesia turun dari 171 (2012) menjadi 175 (2013). Posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (peringkat 184) dan Myanmar (peringkat 189). Penurunan peringkat juga terjadi untuk hal yang terkait dengan izin konstruksi (dealing with construction permits), yaitu dari 77 (2012) menjadi 88 (2013). Posisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Filipina (peringkat 99), Kamboja (peringkat 161), Laos (peringkat 96) dan Myanmar (peringkat 150). Indikator lain yang juga menunjukkan penurunan posisi Indonesia adalah registering property yaitu dari peringkat 97 (2012) menjadi peringkat 101 (2013). Meskipun demikian, Indonesia relatif lebih baik dibandingkan Brunai Darussalam (peringkat 116), Kamboja (peringkat 118), Filipina (peringkat 121), dan Myanmar (peringkat 154). Namun kalah posisi dari Laos (peringkat 76), Vietnam (peringkat 51), Malaysia (peringkat 35), Thailand (peringkat 29), dan Singapura (peringkat 28). Posisi Indonesia yang cukup menyolok dan menunjukkan penurunan peringkat adalah pada aspek perpajakan (paying taxes). Dalam tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat 132, lebih baik dibandingkan posisi Filipina (peringkat 144) dan Vietnam (peringkat 145). Namun dalam tahun 2013 posisi Indonesia turun ke peringkat 137, hanya lebih baik dibandingkan Vietnam (peringkat 149). Posisi negara-negara ASEAN lain umumnya lebih baik dibandingkan Indonesia. Dengan memperhatikan beberapa indikator daya saing di atas dapat dikatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tingkat persaingan yang sangat tinggi antar sesama negara-negara ASEAN.
17
REKOMENDASI Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, bahwa AEC dibentuk dengan beberapa pilar, yang antara lain meliputi pilar sebagai pasar tunggal dan basis produksi dan juga pilar sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi. Agar Indonesia turut memberikan kontribusi dalam mendukung pilar-pilar basis produksi dan daya saing tinggi tersebut maka upaya untuk memperbaiki atau meningkatkan daya saing menjadi suatu keniscayaan. Untuk meningkatkan daya saing Indonesia, pemerintah bersamasama masyarakat perlu melakukan kolaborasi yang kokoh. Upaya yang paling mendesak dilakukan dalam rangka AEC adalah :
1. 2. 3. 4.
5.
menjadikan Indonesia sebagai basis produksi, terutama untuk produk-produk dimana Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Untuk mencapai itu yang sangat diperlukan adalah dukungan investasi. Investasi yang paling mendesak dilakukan dan ditingkatkan adalah untuk penyediaan infrastruktur. Pemerintah juga perlu mendorong peningkatan investasi yang sekaligus mampu mendorong berlangsungnya proses hilirisasi di sektor industri nasional, yang nota bene juga sangat membutuhkan dukungan infrastruktur. Program hilirisasi menjadi penting dalam upaya menciptakan diversifikasi produk, baik untuk kebutuhan domestik maupun kebutuhan ekspor, serta diversifikasi pasar tujuan ekspor. Pemerintah perlu memberikan insentif (baik fiskal maupun nonfiskal) bagi perusahaan/industri yang berhasil melakukan diversifikasi produk dan pasar ekspor ini. Dengan demikian,
18
pemerintah juga bisa memiliki kontrol/monitoring terhadap upaya pengembangan produk dan pasar ekspor.
BIBLIOGRAFI ASEAN. (2007a). ASEAN Economic Community Blueprint. ASEAN. (2007b). ASEAN Brief 2007 – Progress towards the ASEAN Community, Jakarta: ASEAN Secretariat, November 2007. ASEAN. (2013). ASEAN Community Progress Monitoring System Full Report 2012 : Measuring Progress towards The ASEAN Economic Community and the ASEAN Socio-Cultural Community. Jakarta: ASEAN Secretariat (September) Badan Pusat Statistik. (2013). Data Perkembangan Ekspor Indonesia. berbagai tahun terbitan. Balassa, B. (1965). Trade Liberalization and Revealed Comparative Advantage. Manchester School of Economic and Social Studies, 33. pp. 99–123 Balassa B. (1977). “Revealed” Comparative Advantage Revisited: An Analysis of Relative Export Shares of the Industrial Countries, 1953-1971. Manchester School of Economic and Social Studies, 45. pp. 327-344 Banomyong, R. (2011). ASEAN Economic Community (AEC) Logistics Connectivity Development Framework. Powerpoint Presentation: “Toward a Roadmap for Integration of the ASEAN Logistics Sector: Rapid Assessment & Concept Paper”. ASEAN-US Technical Assistance and Training Facility. Batthacharyay, B. N. (2010). Infrastructures for ASEAN Connectivity and Integration. ASEAN Economic Bulletin, 27 (2), pp. 200–220. Muendler, M.A. (2007). Balassa (1965) Comparative Advantage by Sector of Industry, Brazil 1986-2001. Mimeo.
19
Wattanapruttipaisan, T. (2008). Priority Integration Sectors in ASEAN : Supply-side Implications and Options. Asian Development Review, 24 (2), pp. 64–89. World Bank (2014). Logistic Performance Index (LPI). Washington DC : World Bank. World Bank (2014). Ease of Doing Business Index. Washington DC : World Bank. ----------------------. (2014). Masyarakat Ekonomi ASEAN : Gamang Menjelang 2015. Jakarta : Majalah Tempo 11 Mei 2014.
20