Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Evaluasi Pilkada Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015 Pangi Syarwi Chaniago1 1
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima 11 April 2016 Disetujui 15 Juni 2016 Dipublikasi 15 Juli 2016
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama tahun 2015, dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi. Penelitian menggunakan metode kualitatif. Adapun hasil penelitian yaitu; (1) pilkada serentak belum efisien; (2) pilkada serentak belum mampu meningkatkan partisipasi politik; (3) pilkada serentak belum mampu menutup celah praktek politik uang; (4) rekruitmen penjaringan bakal pasangan calon kepala daerah belum terbuka dan transparan; (5) pembiayaan pilkada serentak tidak (tepat) dibebankan ke APBD; (6) MK menolak mengadili sengketa hasil pilkada jika selisih suara lebih dari 2%, melukai rasa keadilan; (7) fenomena munculnya calon tunggal kepala daerah akibat regulasi wajib mundur bagi PNS, TNI/Polri, DPR, DPD, dan DPRD.
Keywords: Quality of Democracy; Direct District Heads Election; District Head Candidates; Evaluation
Abstract This study was carried out to evaluate the enforcement of the first direct district heads election in 2015, in order to promote the quality of democracy. This study applied qualitative method. There were several findings on this study; (1) direct district heads election has not been efficient yet; (2) direct district heads election has not been able to promote political participation; (3) direct district heads election has not been able to shut off money politic; (4) recruitment the election of district head candidates has not been transparant; (5) financing of direct election was not charged (appropriate) to Regional Government Budget; (6) Constitutional Court refused to adjudicate the dispute of election results if the margin of ballot more than 2%, it broke sense of justice; (7) the phenomenon of the emergence of a single candidate for district heads due to regulations, the must withdraw from candidacy for they were civil servants, military/police, House of Representatives, Regional Representative Board and Regional House of Representatives.
Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda No 95, Ciputat, Tangerang, Indonesia. Email:
[email protected]
196
© 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
Penyelenggaraan pemilihan kepala
Pendahuluan Pemilu adalah kenduri demokrasi
daerah serentak tahun 2015 meninggalkan
yang menjadi landasan politik bangsa dan
banyak
negara dalam membangun masa depan yang
penyelenggaraan pilkada serentak dimulai
lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi
dengan merevisi Undang-Undang Nomor 8
mengantarkan bangsa dan negara dalam
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
meraih
membangun
Bupati, dan Wali Kota. Revisi undang-undang
peradabannya. Selain itu, pemilu juga sebagai
pilkada dilakukan dalam rangka mewujudkan
momentum evaluatif yang sangat penting bagi
pilkada yang transparan, jujur dan demokratis.
sebuah rezim kekuasaan dalam mewujudkan
Revisi harus mampu menjawab apa yang
cita- cita negara kemerdekaan.
menjadi kelemahan dan kekurangan pilkada
demokrasi
Praktek dilepaskan
dari
dan
demokrasi proses
tidak
bisa
penyelenggaraan
catatan.
serentak
tahun
Dibutuhkan
2015
perbaikan
dalam
rangka
peningkatan mutu demokrasi di daerah.
pemilihan umum. Pentingnya nilai demokrasi
Revisi undang-undang No. 8 Tahun
yang selalu dikembangkan yaitu masalah
2015, harusnya mengambil fokus terhadap
freedom, autonomy, equality, representative,
persoalan yang berpotensi merusak makna
majority
Pencapaian
hakiki penyelenggaraan pilkada. Apalagi,
demokrasi kita masih jauh dari nilai di atas,
DPR sebagai pembentuk UU berkewajiban
pengalaman demokrasi kita belum menuju
menjaga makna hakiki pilkada serentak yang
demokrasi substansial, namun hanya sebatas
demokratis dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD
demokrasi prosedural yaitu ritual pencitraan
1945. Kewajiban serupa juga menjaga asas-
pemilu sekali lima tahun dalam memilih
asas pemilu yang bersifat langsung, umum,
pemimpin, padahal demokrasi tidak hanya
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Pasal 22E
sekedar prosedural pemilihan (Zuhro, 2012).
Ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang No. 8
rule
citizenship.
Membangun
pemilu
Tahun 2015 merupakan revisi atas undang-
dibutuhkan nilai etika. Dengan berbagai teori
undang sebelumnya yakni Undang-Undang
yang kita miliki dan pengalaman perpolitikan
Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan
di Indonesia selama ini dapat kita gunakan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
untuk
dengan
Undang Nomor 1 Tahun 2014 perihal
menggunakan prinsip nilai yang kita yakini
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
bersama. Kekuasaan tanpa etika akan menjadi
menjadi Undang-Undang. Namun tetap saja
lemah karena tidak ada legitimasi, maka
masih terdapat kelemahan dalam Undang-
kekuasaan harus dengan etika supaya bisa di
Undang Nomor 8 Tahun 2015. Produk
kontrol (Mar’iyah, 2012).
undang-undang di atas masih meninggalkan
membangun
sistem
demokrasi
beberapa
persoalan
mendasar.
Dalam
197
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
praktiknya banyak ditemukan kelemahan dan
penelitian
dengan
menggambarkan
dan
kekurangan.
menganalisis secara mendalam terhadap objek
Materi UU Nomor 1 Tahun 2015
yang diteliti, dan melakukan kajian analisa
mengandung banyak masalah, baik dari sisi
yang mendalam terkait evaluasi pelaksanaan
redaksional, sistematika maupun substansi.
pilkada serentak di tahun 2015.
Jika dilihat dari pengaturan aktor, sistem pemilihan, pelaksanaan
manajemen dan
Sumber
sekunder
diperoleh
dari
atau
tahapan
kajian pustaka yakni kumpulan buku, jurnal,
penegakan
hukum,
artikel,
majalah
dan
laporan
penelitian.
kekurangan dan kelemahannya semakin nyata.
Pendekatan ini dipilih karena lebih mampu
Maka wajar saja muatan Undang-Undang
menemukan fakta dalam melihat antara
Nomor 8 Tahun 2015 yang cikal bakalnya
realitas di lapangan dengan teori. Untuk
dari UU No. 1 Tahun 2015 mengandung
menjawab dan menyimpulkan pemecahan
banyak kelemahan dan kekurangan baik dari
permasalahan penelitian dilakukan dengan
segi sistematika maupun substansi, maka
langkah-langkah
undang-undang tersebut mesti direvisi. 80
penyusunan data yang diperoleh dari sumber-
Fokus tulisan ini adalah membahas
pengumpulan
dan
sumber dokumentasi dan studi literatur.
evaluasi pelaksanaan pilkada serentak tahap pertama tahun 2015. Hasil evaluasi ini dapat
Temuan dan Diskusi
menjadi catatan untuk perbaikan kualitas
Pemilu
serentak
secara
(concurrent
pelaksanaan pilkada serentak pada masa yang
elections)
sederhana
dapat
akan datang.
didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu
Kajian Pustaka
waktu
secara
Metodologi
pemilihan
bersamaan.
tersebut
mencakup
Jenis-jenis pemilihan
Penelitian ini menggunakan metode
eksekutif dan legislatif di beragam tingkat,
kualitatif dengan sumber data primer dan
yang terentang dari tingkat nasional, regional
sekunder. Sumber primer diperoleh melalui
hingga pemilihan di tingkat lokal. Di negara-
wawancara. Sumber informan adalah peneliti
negara anggota Uni Eropa, pemilu serentak
Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi
termasuk menyelenggarakan pemilu untuk
(Perludem). Parameter pemilihan narasumber
tingkat
yaitu memahami dan menguasai permasalahan
anggota parlemen Eropa secara bersamaan
pemilu. Tahapan pendekatan penulisan dalam
dengan pemilu nasional, regional atau lokal
supra-nasional,
yakni
pemilihan
(Mattila, 2003). 80
Pandangan terkait dengan kekurangan dan kritik terhadap UU Pilkada misalnya dapat dilacak dari laporan kajian Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Revisi Undang-Undang Pilkada. (2015). Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021. Jakarta: Perludem
198
Disinilah
tesis
Shugart
tentang
bekerjanya sistem pemilu dalam membentuk
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
pemerintahan
sistem
setidaknya enam model pemilu serentak yang
perhatian.81
bisa diterapkan. Pertama, pemilu serentak
Menurut Shugart, jika waktu penyelenggaraan
sekaligus serentak, satu kali dalam lima tahun,
pemilu presiden diserentakkan (simultan)
untuk semua posisi publik di tingkat nasional
dengan pemilu legislatif akan menimbulkan
hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi
coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan presiden
pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD
akan mempengaruhi (hasil) pemilihan anggota
Provinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilihan
legislatif. Artinya, pemilih akan memilih
presiden, serta pilkada. Ini seringkali disebut
presiden sekaligus parpol (koalisi parpol)
dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu
pendukung presiden (Lijphart, 1994).
borongan.
presidensial,
efektif perlu
dalam
mendapat
Beragam
faktor
penyelenggaraan
pemilu
mempengaruhi maka
seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah)
terdapat beberapa varian yang sebagian sudah
dan kemudian disusul dengan pemilu serentak
diterapkan dan beberapa lagi masih sifatnya
untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah).
hipotetis. Sistem pemilu serentak sudah
Dalam model clustered concurrent election
diterapkan di banyak negara demokrasi.
ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi
Sistem ini ditemukan tidak hanya di negara-
dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan seperti
negara yang telah lama menerapkan sistem
selama
demokrasi
waktunya, dan kemudian diikuti pemilu
seperti
negara-negara
di
serentak,
Kedua, pemilu serentak hanya untuk
Amerika kawasan
Serikat Eropa
dan Barat,
melainkan juga ditemukan di banyak negara
presiden,
82
Latin, dan Eropa Timur. Secara
umum,
dilakukan
gubernur
bersamaan
dan
sesuai
bupati/walikota
beberapa bulan kemudian.
demokrasi yang relatif lebih muda seperti negara-negara demokrasi di kawasan Amerika
ini
Ketiga, pemilu
sela
pemilu
serentak
berdasarkan
dengan tingkatan
pemerintahan, di mana dibedakan waktunya untuk
konteks
untuk
pemilu
nasional
dan
pemilu
Indonesia dengan mendasarkan pada varian
daerah/lokal (concurrent election withmid-
secara empirik maupun hipotetis, terdapat
term election). Dalam model ini pemilu anggota
DPR
dan
DPD
bersamaan
81
Tesis Shugart ini ternyata berlaku di Brazil setelah mereka melakukan perubahan jadwal pemilu, yaitu dengan menyerentakkan waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pasca jatuhnya rezim militer pada 1984 dan jatuhnya presiden terpilih pertama oleh Senat dan DPR, Brazil kemudian mampu menjaga stabilitas politik sekaligus menciptakan pemerintahan efektif sehingga satu dekade kemudian Brazil menjadi raksasa ekonomi dunia. 82 Samuels, D. Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil,” dalam Comparative Political Studies 33 (1): 1-20.
pelaksanaannya Sementara
dengan
pemilu
pemilu DPRD
presiden. provinsi,
kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan gubernur dan bupati/walikota, dua atau tiga tahun setelah pemilu nasional. Keempat, pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan
199
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
waktunya secara interval (concurrent election
provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau
with regional-based concurrent elections).
siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi
Dalam model ini, pemilihan presiden dan
tersebut. Dengan model concurrent election
pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD
with flexible concurrent local elections ini
dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian
maka pemilihan presiden dilakukan serentak
pada tahun kedua diadakan pemilu serentak
dengan pemilihan legislatif untuk DPR dan
tingkat lokal untuk memilih DPRD Provinsi
DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari
dan
pemilihan
siklus maupun jadwal pemilu lokal yang telah
Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan
disepakati bersama diadakan pemilu serentak
pengelompokan
wilayah
tingkat lokal untuk memilih Gubernur, Bupati,
kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus
dan Walikota serta memilih anggota DPRD
untuk wilayah Pulau Sumatera. Kemudian
Provinsi
disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau
provinsi, dan kemudian diikuti dengan pemilu
Jawa, dan tahun keempat untuk wilayah Bali
serentak lokal yang sama di provinsi-provinsi
dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk
lainnya sehingga bisa jadi dalam setahun ada
wilayah sisanya.
beberapa pemilu serentak lokal di sejumlah
Kabupaten/Kota
region
serta
atau
Kelima, adalah pemilu serentak untuk
dan
Kabupaten/Kota
di
suatu
provinsi (Supriyanto, dkk, 2013).
memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
Dengan
demikian,
mulai
dari
Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian
Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota
diikuti setelah selang waktu tertentu dengan
serta Anggota DPR, DPD, dan DPRD seluruh
pemilu
Indonesia dipilih secara serentak melalui satu
eksekutif
bersamaan
untuk satu
provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu serentak
waktu
tingkat
memilih
pemilihan nasional yang bersifat total itu
secara
dipandang tidak realistis, maka tersedia
lokal
Gubernur,
hanyalah
Bupati
dan
untuk Walikota
pemilihan
bersamaan di suatu provinsi, dan jadwalnya
pilihan
tergantung dari siklus pemilu lokal di masing-
dilakukannya
masing
Pemilihan
provinsi
yang
telah
disepakati.
kedua,
umum
yaitu
pemilihan
umum
nasional.
Jika
dapat
diusulkan
yang
bertingkat.
dilakukan
dalam
tiga
Dengan model ini maka setiap tahun masing-
tingkatan yang masing-masing dimaksudkan
masing partai akan selalu bekerja untuk
untuk memilih pejabat eksekutif dan legislatif
mendapatkan dukungan dari pemilih dan
setempat, yaitu (i) pemilihan umum pusat
pemerintah, serta partai politik dapat selalu
untuk
dievaluasi secara tahunan oleh pemilih.
Anggota DPR, dan anggota DPD; (ii)
Keenam,
diikuti
Gubernur dan anggota DPRD Provinsi; dan
dengan pemilu serentak di masing-masing
(iii) pemilihan umum kabupaten/kota untuk
200
yang
kemudian
Presiden,
pemilihan umum provinsi untuk memilih
nasional
pemilu
Presiden/Wakil
serentak
tingkat
adalah
memilih
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
memilih
Bupati
dan
anggota
DPRD
Pilkada serentak tahap tiga pada Juni
Kabupaten serta Walikota dan anggota DPRD
2018 diperuntukkan bagi daerah yang akhir
Kota, yang dilakukan serentak di tingkat
masa
pemerintahan masing-masing sesuai dengan
sepanjang September 2017 hingga Desember
jadwal kenegaraan yang ditetapkan.83
2019. Masa jabatan pasangan calon terpilih
jabatan
kepala
daerahnya
jatuh
Berdasarkan Pasal 201 ayat (1) UU
akan berakhir pada Agustus 2021, di mana
No 1/2015, KPU menyelenggarakan pilkada
mereka akan melanjutkan atau diganti oleh
serentak tahap pertama pada tanggal 9
hasil pilkada serentak nasional pada Juni
Desember 2015. Daerah yang mengikuti
2021. Dengan demikian, masa jabatan mereka
pilkada serentak tahap pertama meliputi 9
tidak genap 5 tahun. Pilkada serentak Juni
provinsi, 237 Kabupaten dan 40 Kota. Jumlah
2018 akan diikuti 20 provinsi, 128 kabupaten
total mencakup 286 daerah yang merupakan
dan 49 kota yang meliputi 35,9% dari
52,2% dari jumlah daerah provinsi dan
keseluran daerah di Indonesia.
kabupaten kota di seluruh Indonesia. Masa
Ini kali pertama penyelenggaraan
jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir
pilkada
serentak
pada Agustus 2021, di mana mereka akan
berlebihan bila disebut pilkada serentak
melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada
terbanyak di dunia dalam kurun waktu satu
serentak nasional pada Juni 2021 (Supriyanto,
hari
2011).
bupati/walikota secara langsung. Indonesia
yakni
di
286
memilih
daerah,
gubernur
tidak
dan
Pilkada serentak tahap dua pada Juni
mesti berbangga dalam proses pencapaian dan
2017 diperuntukkan bagi daerah yang akhir
kemajuan demokrasi kita, walaupun di sana
masa jabatan kepala daerah yang jatuh
sini masih terdapat beberapa kekurangan.
sepanjang September 2016 hingga Agustus 2017. Masa jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana
Efisiensi Pilkada Serentak Pilkada
serentak seharusnya
bisa
mereka akan melanjutkan atau diganti oleh
menekan biaya penyelenggaraan pemilu yang
hasil pilkada serentak nasional pada Juni
selama ini boros. Kalau di telaah secara kritis,
2021. Dengan demikian, masa jabatan mereka
desain pilkada serentak tahap pertama tahun
tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2017 akan
2015 sebetulnya belum memenuhi unsur
diikuti 5 provinsi, 51 kabupaten, dan 9 kota
penghematan. Padahal dari awal salah satu
atau meliputi 11,9% daerah di Indonesia.
yang menjadi latar belakang
dilaksanakan
pilkada serentak dalam rangka penghematan terhadap 83
Asshiddiqie, Jimly . Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Pemerintahan. (Online). (http://www. jimly.com/makalah/namafile/173/PEMILIHAN_UMUM _SERENTAK.pdf diakses 2 April 2016)
penyelenggaraan
pilkada.
Pandangan yang sama dinyatakan peneliti Perludem bahwa pilkada serentak tahap
201
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
pertama
belum
mencerminkan
semangat
penyelenggaranya
hanya satu kepanitian,
efisiensi dan tetap saja boros dari segi
maka bisa dipastikan pilkada serentak berjalan
penggunaan anggaran penyelenggaraan.
efisien. Bisa kita bayangkan penghematannya,
“Segi efisensi pada pilkada tahap pertama belum bisa kita lihat, desain pilkada serentak itu masih berjarakan. Misalnya di Jawa Barat ada delapan daerah yang melaksanakan pilkada serentak namun tidak dibarengkan bersamaan dengan pemilihan gubernur. Kalau waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur berbeda dengan waktu penyelenggaraan pemilihan bupati dan wali kota, maka biaya politiknya otomatis dua kali. Itu artinya, gaji penyelenggara PPS, PPK tingkat desa dan kecamatan akan di bayar dua kali. Pertanyaan yang menggelitik bagaimana agar penyelenggaraan pilkada serentak bisa efisien? Desain pilkada serentak yang efisien apabila pemilihan gubernur, walikota, bupati, DPRD provinsi dan DPRD kab/kota dilaksanakan bersamaan atau berbarengan. Jadi, kalau hanya pemilihan bupati dan wali kota saja yang serentak, sementara pelaksanaan pemilihan gubernurnya berbeda maka tidak akan terlalu signifikan menekan atau memanimilisir biaya penyelenggaraan pilkada”.84 Maka sesungguhnya biaya yang
penyelenggara hanya mengeluarkan untuk
paling besar dalam penyelenggaraan pemilu
Barat karena tahun ini ada pilkada provinsi
itu
dan
adalah
anggaran
belanja
gaji
satu kali gaji saja dalam satu paket. Jadi pilkada serentak tahap pertama tahun 2015 masih belum efisien. Hal sama juga disampaikan direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini,
efisiensi dari pilkada serentak baru bisa tercapai
apabila
Provinsi Banten dari delapan kota/kabupaten hanya empat daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak. Kalau sekarang di Banten ada Tangerang Selatan, Serang, Cilegon, dan Pandeglang yang penyelelenggaran pilkada jalan sendiri-sendiri dan ditambah lagi biaya dibebankan ke APBD, jadi tidak efisien. Efisiensi itu bisa tercapai apabila pemilihan gubernur, bupati atau walikota bisa bersamaan karena akan ada efisiensi dalam honor untuk penyelenggara dan efisiensi logistik pilkada. Efisiensi baru bisa terjadi seperti di Sumatera
kabupaten/kota
terkonfirmasi. 85
bersamaan
dalam
satu
waktu
serentak 85
84
Wawancara dengan Heroik Pratama (Peneliti Perludem Divisi Pilkada, 4 Februari 2016, Pukul 10.00 WIB, di Kantor Perludem Jalan Tebet Timur IV A, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
202
dilebih
maka
dari
efisiensi
10 dapat
Jadi, salah satu indikator pilkada
secara dengan
provinsi,
dalam satu provinsi. Sebagai contoh, di
gubernur, bupati/walikota dan DPRD provinsi dilaksanakan
satu
pemilihan gubernur, bupati atau walikota
kabupaten/kota,
kabupaten/kota
dalam
pilkadanya serentak dilaksanakan mulai dari
penyelenggara. Kalau seandainya pilkada
dan
bahwa
akan
efisien
apabila
waktu
Anggraini, T. 16 November 2015. Efisiensi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 Belum Bisa Tercapai. (Online), (http://www.republika.co.id/berita/ nasional/pilkada/15/11/16/nxwawg335-efisiensi-pilkadaserentak-belum-tercapai, diakses 30 Maret 2016)
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
penyelenggaraan gubernur, bupati, walikota
dilaksanakan serentak, sehingga masyarakat
adalah sama. Memang tidak mudah membuat
tidak jenuh atau bosan datang berkali-kali ke
pilkada
TPS. Walaupun dampak pemilu serentak dan
serentak,
konsekuensinya
ada
beberapa kepala daerah yang dipotong masa
hubungannya
jabatannya, nanti akan ada resistensi dari
pemilih tidak sebesar pengaruh penerapan
kepala daerah lainnya, dan pada akhirnya bisa
sistem wajib memilih (compulsory voting),
menjadi polemik.
namun sejumlah bukti menunjukkan bahwa
Selain
itu,
desain
penghematan
pemilu juga bisa dari mempersingkat jenjang
dengan
tingkat
partisipasi
ada korelasi pengaruh sistem pemilu serentak terhadap partisipasi pemilih lebih tinggi.86
proses rekapitulasi. UU No.8 Tahun 2015
Fakta di beberapa pilkada serentak
memang sudah mengatur sedemikian rupa,
tahap pertama tahun 2015, justru berbalik dari
rekapitulasi
secara
situasi idealnya. Walaupun tidak secara
berjenjang sesuai tingkatannya, dimulai di
keseluruhan, namun tetap ada beberapa daerah
tingkat panitia pemungutan suara (PPS),
tingkat partisipasi pemilih rendah dalam
kemudian naik ke tingkat panitia pemilihan
penyelenggaraan pilkada serentak. Masih ada
kecamatan (PPK) lalu naik ketingkat KPU
daerah yang tingkat partisipasinya dibawah 50
Kabupaten Kota, lalu naik ke tingkat KPU
persen. Salah satu penyebabnya adalah karena
Provinsi, dan rekap secara nasional di KPU
kurang
RI. Rekapitulasi pola berjenjang, misalnya
penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya, akibat
dibawa ke desa di rekap oleh PPS kemudian
aturan KPU yang memperketat pengunaan
dibawa ke kecamatan di rekap lagi oleh PPK,
alat peraga dalam rangka menghemat biaya
ini cenderung tidak efisien. Selain rekapitulasi
pemilu, sehingga pilkada serentak tidak terlalu
suara berlapis tidak efisien juga rentan terjadi
semarak
penyalahgunaan dan penyelewengan karena
pilkada-pilkada sebelumnya.
penghitungan
suara
optimalnya
apabila
dibandingkan
sosialisasi
dengan
lamanya waktu dan proses rekapitulasi. Jenjang
rekapitualisi
yang
berlama-lama
menunjukkan sinyal yang tidak efisien dan tidak transparan.
Partisipasi Politik Pemilu serentak sebetulnya punya korelasi meningkatkan partisipasi pemilih. Sebab masyarakat datang ke TPS cukup satu kali untuk memilih presiden, DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kab/kota yang
86
Penelitian Electoral Research Institute bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk Position Paper dengan judul “Pemilu Nasional Serentak 2019”. Penelitian tersebut mengkaji pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Dalam model ini, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota serta pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan pengelompokan region atau wilayah kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus untuk wilayah Pulau sumatera. Kemudian disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau Jawa, dan tahun keempat untuk wilayah Bali dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk wilayah sisanya.
203
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Pembiayaan
empat
jenis
atribut
pasca pemungutan dan penghitungan suara
kampanye yang diatur KPU banyak dikritik
pilkada
serentak
9
karena dianggap sebagai salah satu akar
menguatkan dugaan masih banyaknya politik
persoalan menurunnya tingkat partisipasi
uang.87 Di Bengkulu sebanyak 7 dari 13 kasus
masyarakat (vote turn out) di pilkada serentak
dugaan money politics yang diterima Panwas
2015. Selain itu, penurunan tingkat partisipasi
Kabupaten Seluma, Bengkulu, selama pilkada
juga disebabkan oleh faktor lain seperti
dapat
kejenuhan pemilih, tidak ada figur alternatif
Terpadu Pemilihan Umum (Gakkumdu) untuk
yang ditawarkan, hingga tidak memilih karena
diproses
urusan teknis dan administratif.
Sedangkan enam kasus lagi tidak dapat
diteruskan
sesuai
Desember
ke
2015
Penegakan
hukum
yang
Hukum
berlaku.
Debat publik kurang optimal sebagai
diproses atau diteruskan oleh Panwas ke
panggung membentuk opini publik untuk
Gakkumdu setempat, karena tidak memenuhi
memperkenalkan kandidat ke pemilih dalam
syarat pidana umum.88
hal menguji kualitas gagasan, visi-misi, narasi
Kasus di Kabupaten Karo misalnya,
kepemimpinan sampai dengan program yang
seorang
pelaku money
ditawarkan. Realitasnya selama ini debat
Panitia
Pengawas
publik hanya sebatas ritualisme politik belaka
Kecamatan Dolat Rakyat, Sumatera Utara,
namun tidak mampu membangkitkan animo
oknom tertangkap membagikan uang senilai
masyarakat
Rp150
untuk
datang
ke
Tempat
Pemilihan Suara (TPS).
kepada
Pemilu
(Panwaslu)
masyarakat
guna
mendukung salah satu calon di Pilkada Serentak
Mahar dan Politik Uang Politik uang
ribu
politics diamankan
2015
Kabupaten
Karo.
Pihak
Panwaslu Kecamatan Dolat Rakyat menyita
(money politics) baik
barang bukti berupa data penerima uang yang
dalam pencalonan maupun pemungutan suara
ditandatangani di atas materai Rp 6.000.
masih banyak terjadi dalam pelaksanaan
Pelaku mengaku tidak mengetahui tentang
pilkada serentak tahun 2015. Politik uang
politik uang tersebut. Berdasarkan keterangan
adalah praktek destruktif (menyimpang) yang
pelaku yang diketahui bernama Heri Bangun,
merusak mutu demokrasi. Undang-undang
pembagian uang dilakukan atas perintah
pilkada
seorang kawannya yang menyerahkan uang
selama
ini
belum
mampu
meminimalisasi potensi politik uang. Salah satu dugaan bentuk kecurangan money politics terjadi di delapan kabupaten kota di Provinsi Maluku Utara (Malut). Adanya 79 laporan yang diterima Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Malut
204
87
Bawaslu. 14 Desember 2015. Bawaslu Malut Terima 79 Laporan Dugaan Money Politic. (Online), (http://www.jpnn.com/read/2015/12/14/344509/Bawaslu -Malut-Terima-79-Laporan-Dugaan-Money-Politic-, diakses 4 April 2016) 88 Panwas. 18 Desember 2015. 7 kasus dugaan politik uang pilkada seluma diproses gakkumdu. (Online), (http://www.beritasatu.com/nasional/333138-7-kasusdugaan-politik-uang-pilkada-seluma-diprosesgakkumdu.html, diakses 2 April 2016)
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
Rp1,5 juta untuk dibagikan ke 10 orang
tanggung jawab semua stake holder untuk
supaya mendukung calon kepala daerah
mengawasinya. Kalau kita membaca aturan
nomor 4 atas nama Layari Sinukaban dan
dan regulasi, sudah banyak upaya dalam
wakilnya Ramlan Tarigan.
menekan perilaku politik uang dalam pilkada
Regulasi pelarangan praktik politik
serentak. Misalnya larangan mahar politik
uang dijelaskan secara tegas dan keras dalam
dalam Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2015
Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2015
menyatakan bahwa partai politik/gabungan
menyebutkan
bahwa “Partai Politik atau
partai politik dilarang menerima imbalan
gabungan Partai Politik dilarang menerima
dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan
imbalan dalam bentuk apapun pada proses
kepala daerah. Salah satu bentuk sangsi tegas
pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur,
bagi calon kepala daerah yang terbukti
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
memberi “mahar” kepada partai yakni akan
Wakil Walikota”.89 Sangat jelas sanksi bagi
di-diskualifikasi dan dilarang mencalonkan
aktor dan oknum pelaku politik uang, di mana
kembali pada pilkada periode berikutnya.
penyelenggara pilkada bisa men-diskualifikasi
Sedangkan, partai politik pengusung yang
pasangan calon dan partai politik pengusul
menerima setoran akan didenda 10 kali lipat
kehilangan hak mengajukan calon baru (Isra,
dari dana yang diterima dari calon.
2016).
Sanksi pidana terhadap pelaku politik Penyelenggara pilkada harus mampu
uang mestinya bisa dipraktekkan, baik bagi
mengantisipasi money politics baik waktu
penerima maupun pemberi. Namun realita di
proses pencalonan maupun ketika masa
lapangan politik uang masih tetap tinggi.
kampanye jauh sebelum pelaksanaan pilkada
Kalau di telaah secara kritis,
serentak. Di samping penyelenggara, ideal-
Bawaslu pada pilkada serentak 2015 adalah
nya praktek politik uang juga menjadi
kesulitan memantau praktek politik uang,
89
Dalam ketentuan Pasal 47 UU No. 8 Tahun 2015 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Ayat (1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Ayat (2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Ayat (3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
kelemahan
kelemahan mencari bukti-bukti otentik serta kesulitan membuktikan praktek money politic. Politik uang tersering hanya bisa dirasakan namun terkadang sulit untuk dibuktikan. Dibutuhkan kerja keras yang luar biasa untuk menekan semaraknya politik uang. Sumber daya yang mumpuni serta teknologi yang sangat cangih dibutuhkan untuk menjebak pelaku politik uang yang telah merusak kualitas demokrasi.
205
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Rekrutmen Pencalonan Kepala Daerah Penyelenggaran 2015
meninggalkan
pilkada banyak
para
serentak
sekretaris
parpol
Kabupaten/Kota
di
disertai
surat
Tingkat keputusan
kelemahan.
masing-masing penggurus parpol di tingkat
Rekruitmen penjaringan bakal pasangan calon
pusat tentang persetujuan atas calon yang
kepala daerah jauh dari semangat terbuka dan
diusulkan oleh pengurus parpol di tingkat
transparan. Padahal dalam UU No. 8 Tahun
provinsi dan/atau pengurus parpol tingkat
2015 tentang Pilkada dan UU No 2 Tahun
kabupaten/kota.
2011 tentang Partai Politik, meng-amanahkan pilkada
serentak
demokratis
dan
dilaksanakan jujur.
direkomendasikan
kader
Walaupun terbaik
Kalau kita cermati dari UU Pilkada di
secara
atas bahwa betapa besarnya kewenangan yang
sudah
diberikan kepada pengurus partai di daerah
oleh
dalam mengajukan calon kepala daerah dan
pengurus partai daerah (DPD), namun kalau
pengurus
kemudian tidak memperoleh surat sakti atau
menyetujui pencalonan yang diusung parpol
rekomendasi dari pengurus pusat (DPP) maka
maupun parpol pendukung di daerah. Artinya
otomatis gagal mencalonkan diri menjadi
DPP
calon kepala daerah. Pengurus partai tingkat
namun
pusat
melalui
bukan
tingkat
pusat
memberikan
hanya
‘rekomendasi’
konteks
‘menyetujui’.
sangat
Rekomendasi
pengurus
partai
disalahgunakan sebab salah satu determinan
tingkat daerah hanya formalitas. Sebetulnya
yang menentukan seseorang menjadi calon
tidak relevan rekomendasi DPP terhadap
kepala daerah.
sementara
DPP
hanya
DPP
menentukan,
rekomendasi
parpol
yang
seringkali
pendaftaran calon karena wilayah kontestasi
DPP seringkali mengintervensi proses
pilkada adalah di regional di Kabupaten/Kota
pencalonan kepala daerah yang awalnya
maupun
adalah
terbuka dan transparan oleh pengurus partai di
pertarungan di daerah maka menjadi otoritas
daerah, lalu di bajak oleh rekomendasi DPP,
penuh pengurus partai di daerah.
inilah
Provinsi.
Karena
ini
yang
menjadi
sabab
musabab
Tidak ada rekomendasi DPP dalam
pencalonan kepala daerah menjadi tidak
mengusung calon dalam pilkada, melainkan
terbuka dan tidak demokratis, ujungnya
dalam undang-undang pilkada Pasal 42 ayat 4
memperluas wilayah titik sebaran perilaku
dan ayat 6 menyebutkan pendaftaran calon
transaksional
Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati
merekomendasikan pencalonan kepala daerah
dan Wakil Bupati, serta calon Walikota dan
yang mau diusung oleh partai politik.
Wakil
Walikota
oleh
parpol
maupun
dan
pragmatisme
dalam
Jadi, kuatnya kendali DPP dalam
gabungan parpol ditandatangani oleh para
menentukan
ketua parpol dan para sekretaris parpol di
adanya ketentuan dalam Pasal 42 UU No 8
tingkat Provinsi atau para ketua parpol dan
Tahun 2015 yang menyatakan pengajuan
206
pasangan
calon
disebabkan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
calon harus disertai surat keputusan DPP.
pilkada serentak yang sudah disusun dan
Dengan adanya ketentuan ini, mayoritas yang
dijadwalkan. Pilkada di puluhan daerah
berminat menjadi calon cukup berupaya
berjalan
mencari jalan pintas mendapatkan surat
kelancaran tugas KPUD dan Bawaslu. Di
keputusan DPP. Namun perlu dipahami
beberapa daerah misalnya ada yang terkendala
bahwa kewenangan partai tingkat pusat hanya
pengajuan Nota Perjanjian Hibah Daerah
mengeluarkan surat keputusan DPP
dalam
(NPHD) yang disebabkan oleh beberapa
konteks menyetujui nama calon kepala daerah
faktor seperti tahun anggaran yang sudah
yang telah diusulkan oleh pengurus partai di
ketok palu, bertambahnya daerah yang ikut
daerah
pilkada, sampai
bukan
memberikan
rekomendasi
terhadap pencalonan kepala daerah.90
seret
kepentingan
sehingga
Dana
penyelenggaraan
Pendapatan
konflik
kepala
daerah
terkait
pilkada
yang
ikut
berkontribusi menghambat proses pengajuan pilkada
bahkan pencairan dana.
serentak sebaiknya disediakan melalui pos Anggaran
adanya
dari
penyelenggaran Dana Pilkada dari APBD?
dengan
mengganggu
Negara
puluh persen tersedot untuk belanja rutin
(APBN), tidak tepat menggunakan Anggaran
pegawai negeri sipil seperti gaji pegawai dan
Pendapatan
jauh lebih sedikit untuk
Belanja
Belanja
Belum lagi APBD sebesar delapan
Daerah
(APBD).
pembangunan
Pengunaan APBD dalam penyelenggaraan
infrastruktur di daerah. Pelaksanaan pilkada
pilkada serentak memungkinkan terjadinya
serentak dibebankan ke APBD, secara tidak
”permainan” anggaran oleh kepala daerah dan
langsung dapat mengganggu pembangunan
DPRD karena berbeda kepentingan politik
infrastruktur di daerah karena
sehingga berkemungkinan APBD terlambat
APBD
disahkan. Ketika APBD terlambat disahkan
penyelenggara
maka
Bawaslu
otomatis
mengganggu
rangkaian
di
daerah.
Selain
pilkada
bersifat
itu,
yakni
nasional
minimnya lembaga
KPU
bukan
dan lokal.
tahapan proses pilkada yang sudah disusun di
Bentangan emperis sebelumnya juga biaya
beberapa
strategis
penyelenggaraan pilkada serentak dibebankan
nasional seperti penyelenggaraan pilkada
ke APBN bukan ke APBD. Oleh karena itu,
serentak, lebih tepat dibebankan ke APBN
dana pelaksanaan pilkada serentak harus
bukan ke APBD (Djohermansyah, 2016).
dikembalikan ke aturan sebelumnya.
daerah.
Sebuah
Jadi,
agenda
konsekuensi
logis
dana
pilkada yang dibebankan ke APBD bisa menggangu
serangkaian
tahapan
proses
Sengketa Pilkada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak mengadili sengketa hasil
90
Kompas. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada, hlm.6.
pilkada serentak jika selisih suara 2 persen
207
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
lebih adalah putusan yang tidak tepat.
melakukan kecurangan dalam pilkada asalkan
Kebijakan tersebut memunculkan polemik,
selelisihnya lebih 2 persen, calon yang kalah
menuai protes
dan melukai rasa keadilan.
akan gagal mengajukan gugatan ke MK
Ketentuan syarat selisih suara bagi setiap
karena tidak memenuhi syarat. Bukan tidak
calon kepala daerah yang ingin mengajukan
mungkin banyak calon yang menang pilkada
permohonan sengketa ke MK ini termaktub
tahun 2015 melakukan kecurangan sistematis,
dalam Pasal 158 UU 8 Tahun 2015. Aturan ini
terstruktur dan masif sehingga selisih hasil
terkesan menafikan tujuan keadilan pemilu itu
suaranya jauh dari kontestan calon lain.
sendiri, yakni suatu proses sengketa hasil
Selanjutnya, penyelesaian sengketa
pemilu di MK bukanlah persoalan angka dan
proses pilkada di PT-TUN hendaknya diberi
hasil semata, tetapi juga harus memenuhi
batas waktu, seperti penyelesaian sengketa
keadilan materiil.
hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus
Untuk sengketa hasil yang diajukan
Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang
ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5
berujung pada kasasi di MA memakan waktu
persen sampai 2 persen agar kembali ditinjau
lama sehingga pilkada serentak di lima daerah
ulang, karena
gagal dilaksanakan.
calon.
Di
signifikan
melukai rasa keadilan bagi
satu
pihak
mengurangi
memang jumlah
sangat gugatan,
Fenomena Calon Tunggal
sehingga putusan MK tidak kejar tayang
Putusan menetapkan PNS, TNI/Polri
dalam setiap sidang sengketa pilkada. Di
serta anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib
pihak lain, bagaimana kalau calon kepala
mundur saat penetapan pasangan calon kepala
daerah
penuh
daerah. Konsekuensinya ada beberapa daerah
kecurangan dengan selisih lebih 2%? Kalau
mempunyai calon tunggal, artinya peserta
MK
calon kepala daerah yang berlaga dalam pesta
tersebut
menang
dengan
tidak sanggup dan merasa keberatan
menangani
banyaknya
berkas
gugatan
demokrasi lokal (pilkada) hampir tidak ada
sengketa pilkada yang masuk ke MK, maka
pesaing karena calonnya tunggal, perebutan
perlu segera diprioritaskan
pembentukan
kursi kepala daerah minim kandidat. Sebuah
badan peradilan khusus yang fokus mengawal
justifikasi logis ketika kalah dalam kontestasi
peraturan
pilkada maka risiko
perundang-undangan
yang
besar menanti yakni
bertentangan dengan payung konstitusi UUD
tidak bisa kembali pada posisi jebatan semula,
1945.
ada ketakutan dan tidak mau bunuh diri Syarat selisih 0,5 persen- 2 persen
politik
atau
berjudi
jabatan
harus dicabut kembali regulasinya karena ini
mempertaruhkan
jelas tidak sesuai dengan azaz keadilan.
anggota TNI/Polri, ataupun anggota Dewan
Logika
208
sederhananya,
tidak
apa-apa
kehilangan
status
dengan PNS,
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
ketika wajib harus mundur walaupun masih calon kepala daerah dan belum ditetapkan. Untuk
meminimalisir
munculnya
Pilkada
serentak
telah
berupaya
menyederhanakan waktu pemilihan gubernur, bupati dan wali kota secara bersamaan dalam
calon kepala daerah tunggal di beberapa
satu
daerah maka sebaiknya kembali pada regulasi
demokrasi, dalam pengertian efisien dari sisi
atau aturan main sebelumnya yakni penetapan
penggunaan anggaran dan efektif dari sisi
pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota
penyelenggaraannya. Namun pilkada serentak
DPR, DPD, dan DPRD wajib mundur sejak
pertama tahun 2015 belum mampu mencapai
ditetapkan
kepala
efisiensi anggaran. Begitu juga terkait pilkada
daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan
serentak yang dari awal diharapkan mampu
saat penetapan pasangan pencalonan.91 Ini
meningkatkan
adalah
faktanya tingkat partisipasi masih rendah.
satu
sebagai
strategi
pemenang
untuk
mencegah
paket
dengan
semangat
partisipasi
efisiensi
pemilih
namun
munculnya calon tunggal. Dengan kembali
Regulasi UU No. 8 Tahun 2015
pada aturan main lama maka hampir bisa
belum mampu meminimalisir celah politik
dipastikan PNS, TNI/Polri, anggota DPR,
uang. Masih banyak laporan dugaan politik
DPD, dan DPRD akan ramai maju sebagai
uang pada pilkada serentak 2015. Selain itu,
calon kepala daerah.92
pelaksanaan pilkada serentak perlu di evaluasi
Selain itu, fenomena munculnya calon
terutama terkait penjaringan calon kepala
tunggal pada kontestasi pilkada serentak tahun
daerah yang dinilai masih belum terbuka dan
2015 adalah disebabkan tingginya ambang
demokratis. Surat rekomendasi DPP merusak
batas dukungan parpol. Akibatnya parpol
semua
diborong oleh kandidat kuat sehingga muncul
pencalonan kepala daerah. Nama calon yang
kasus daerah bercalon tunggal di beberapa
diusulkan
daerah.
seringkali patah di tengah jalan dan pada
Kesimpulan
akhirnya yang sangat menentukan adalah
mekanisme
oleh
tahapan
pengurus
rekruitmen
partai
daerah
tetap rekomendasi DPP bukan pengurus partai 91
Menurut Djohermansyah Djohan, ambang batas perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, untuk meminimalisir terlalu menjamurnya calon kepala daerah, ada yang jumlah calonnya sampai 13 pasangan. Kalau kita cermati dengan UU Pilkada lama, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi 3-5 pasangan calon. Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan sebaiknya tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalah pemberian sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut mengajukan calon pada pilkada serentak berikutnya. 92 Kompas. 11 Februari 2016. Merancang Pilkada yang Berkualitas, hlm.6.
di tingkat daerah. Sebuah anomali politik, bagaimana
mungkin
proses
rekruitmen
pencalonan bersifat terbuka dan demokratis sesuai
kehendak
amanat
UU
Pilkada,
sementara pada waktu yang sama tumbuh dengan
subur
praktek
persetujuan
rekomendasi dari pengurus partai tingkat pusat yang justru sangat menentukan.
209
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Selanjutnya,
pelaksanaan
pilkada
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
serentak dibebankan ke APBD jelas tidak
Bupati, dan Wali Kota sehingga terwujudnya
tepat. Selama ini APBD sangat minim dalam
pilkada yang transparan, akuntabel, jujur dan
pembangunan infrastruktur dan lebih tersedot
demokratis.
untuk belanja rutin pegawai negeri sipil di daerah. Jangan sampai membebani daerah.
pemerintah pusat
Daftar Pustaka
Begitu juga putusan
Alifuddin, M. (2012). Panduan Praktis
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
Perilaku Demokratis. MagnaScript
mengadili sengketa hasil pilkada serentak jika
Publishing.
selisih suara lebih dari dua persen. Kebijakan
Aminuddin dan A. Zaini Bisri (2005), Pilkada
ini perlu ditinjau ulang kembali karena
Langsung
melukai rasa keadilan, bagaimana kalau
Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada
selisih suara besar namun penuh dengan
2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
kecurangan? Substansi pelaksanaan pilkada
Problem
dan
Prospek
Anggraini, T. 16 November 2015. Efisiensi
serentak adalah demokrasi subtansial yang
penyelenggaraan
berkualitas. Kalau MK tidak siap menerima
2015 Belum Bisa Tercapai. (Online),
banyaknya berkas
http://www.republika.co.id/berita/nasi
MK,
maka
gugatan yang masuk ke
solusinya
harus
dibentuk
Pilkada
Serentak
onal/pilkada/15/11/16/nxwawg335-
peradilan khusus sengketa pilkada supaya MK
efisiensi-pilkada-serentak-belum-
bisa fokus mengawal konstitusi.
tercapai, diakses 30 Maret 2016).
Pelaksanaan pilkada serentak tahun
Asyari,
H.,
&
Supriyanto,
D.
(2011).
2015 memunculkan fenomena calon tunggal
Menyederhanakan Waktu Pemilihan
di beberapa daerah. Untuk meminimalisir
Umum. Pemilu Nasional dan Pemilu
munculnya calon tunggal sebaiknya kembali
Daerah.
pada aturan main sebelumnya yakni pasangan
Bawaslu. 14 Desember 2015. Bawaslu Malut
calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR,
Terima 79 Laporan Dugaan Money
DPD, dan DPRD wajib mundur sejak
Politic. (Online), (http://www.jpnn
ditetapkan
kepala
.com/read/2015/12/14/344509/Bawasl
daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan
u-Malut-Terima-79-Laporan-Dugaan-
saat penetapan pasangan pencalonan.
Money-Politic-,
sebagai
pemenang
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 meninggalkan banyak
Dibutuhkan
4
April
2016). Edwin,
D.
(2005).
Pilkada
langsung:
perbaikan
demokratisasi daerah dan mitos good
penyelenggaraan pilkada serentak dimulai
governance. Kerjasama Partnership
dengan merevisi Undang-Undang Nomor 8
for Governance Reform in Indonesia
210
catatan.
diakses
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 196-211
dengan
Pusat
Kajian
Politik,
Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan.
Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Harris,
Edisi, 36. Panwas. 18 Desember 2015. 7 kasus dugaan
Syamsuddin
(2005),
’Pilkada
politik uang pilkada seluma diproses
Langsung dan Masa Depan Otonomi
gakkumdu.
Daerah.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No.
beritasatu.com/nasional/333138-7-
1.
kasus-dugaan-politik-uang-pilkada-
Hasyim
Asyari
dan
Didik
Supriyanto.
diakses 2 April 2016) .Roni
Lukum,
Pilkada
Langsung
Dan
Daerah (2011), Jakarta: Kemitraan
Implikasinya Terhadap Perubahan
Bagi Tata Pembaruan Pemerintahan.
Perilaku Masyarakat Dalam Menuju
Hoessein, Bhenyamin (1997), ’Tantangan Global
dan
Tanggap
Desentralisasi
Demokrasi
Lokal:
Pembangunan
Demokrasi
di
Indonesia.
dan
Samuels, D. (2000). Concurrent elections,
Efisiensi.’ Manajemen Pembangunan,
discordant results: presidentialism,
No. 19/V.
federalism, and governance in Brazil.
Isra, Saldi. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada. Kompas, hlm.6. Koalisi
(http://www.
seluma-diproses-gakkumdu.html,
Menyederhanakan Waktu Pemilihan Umum. Pemilu Nasional dan Pemilu
(Online),
Masyarakat
Sipil
Undang-Undang
Untuk
Pilkada.
Comparative Politics, 1-20. Supriyanto, D., Agustyati, K., & Mellazt, A.
Revisi (2015).
Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021. Perludem.
(2013).
Menata
Ulang
Jadwal
Pilkada: Menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Suparjana (2012), Qua Vadis Pemilihan
Kompas. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada, hlm.6.
Kepala Daerah Secara Langsung, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Politik
Lay, C. (2007). Pilkada Langsung dan Pendalaman Demokrasi, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11, No 1.
Dinasti dan Implikasinya Terhadap Praktek Pemerintahan, Edisi: 36. Zuhro, S. (2012). Memahami Demokrasi Lokal:
Marijan, Kacung (2006), Demokratisasi di
Pilkada
Tantangan
dan
Prospeknya, Jurnal Perludem.
Daerah: Pelajaran Pilkada Secara Langsung, Surabaya: Pustaka Eureka. Ma’riyah, C. (2012). Menggugat Politik Dinasti
Dalam
Pemerintahan
211