Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah Wegik Prasetyo1 1
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Disetujui Dipublikasi 15 Juli 2017 Keywords: Unauthorized Voice Mail; Electoral Systems; Protest Voting
Abstrak Tulisan ini terkait penggunaan tanda dan simbol sebagai protest voting dalam suara tidak sah Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tulisan ini mengintepretasikan pesan-pesan tersembunyi yang disampaikan pemilih melalui surat suara. Artikel ini memberi kontribusi untuk mengatasi dua permasalahan sekaligus, yakni konseptual dan praktis. Secara konseptual, ada gap dalam kajian protest voting selama ini. Protest voting menjelaskan voting tidak hanya digunakan untuk mendukung kandidat atau partai namun dapat diartikan sebagai bentuk protes. Namun dalam tulisan ini, protes tidak disampaikan melalui voting melainkan melalui tanda, simbol, ataupun pesan dalam surat suara. Secara praktis, ada permasalahan sistem pemilu dalam melihat suara rakyat. Sistem pemilu saat ini menyamaratakan cara pandang melihat suara tidak sah. Padahal di dalam surat suara tidak sah, terdapat pesan-pesan tersembunyi yang merupakan bagian dari suara rakyat dan merupakan esensi dari pemilu itu sendiri. Tulisan ini menunjukan pesan-pesan tersebut tidak tertampung oleh sistem pemilu saat ini. Pesan-pesan tersebut meliputi pesan atas indikasi terjadinya politik uang post-elections, bentuk ekspresi senang pemilih yang disampaikan dalam surat suara, adanya umpatan dan hujatan yang disampaikan pemilih, adanya penolakan terhadap kandidat, dan adanya penolakan terhadap sistem pemilu saat ini.
Abstract
Alamat
This article related to the use of signs and symbols as a protest vote beyond the invalid votes of the presidential election 2014 in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). This paper will interpret the hidden messages conveyed by voters through a ballot. This article contributes to solve two problems at once, the conceptual and practical. Conceptually, there is a gap in the study of protest voting. Protest voting describes that voting as not only used to support candidates or parties but can be used as a form of protest. However, in this paper the protest was not conveyed through voting but using signs, symbols, or messages in ballot. Practically, there are problems in the electoral system on viewing people votes. The current electoral system generalizes the approach on viewing invalid votes. Whereas, there some hidden messages of people votes and the essence of the election itself beyond the invalid ballot papers. This paper shows that these messages can not be accommodated by the current electoral system. Those include an indication of postelection money politics, expressions of blissful voters delivered on the ballot, the expletives and insults expressed by voters, a rejection of the candidates, and also a rejection for the current electoral system. © 2017 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
korespondensi: Glagah Kidul RT 03, Tamanan, Banguntapan, Bantul. Email:
[email protected].
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
secara massive, bukan tidak mungkin mampu
Pendahuluan Tulisan ini mengulas pesan-pesan yang disampaikan pemilih lewat surat suara dalam Pilpres 2014, dengan melihat kasus di
mengubah hasil akhir perolehan suara yang berbeda dari prediksi mayoritas selama ini. Protest
voting
dilakukan
dengan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan tulisan
memberikan suara kepada kandidat yang
ini adalah untuk memberikan kontribusi pada
sebenarnya tidak disukai. Tindakan tersebut
kajian
dilakukan
tentang
protest
voting
yang
bukan
untuk
memenangkan
berkembang selama ini. Protest voting selama
kandidat yang tidak disukai, melainkan
ini selalu dimaknai sebagai tindakan voting
ditujukan untuk memberikan sinyal khusus
untuk
atau
kepada kandidat yang disukai. Pemilih tidak
yang
puas atas tawaran program, gagasan, tim
terkait pemilu. (misal Bowler & Lanoue,
sukses, bahkan secara personal maupun partai
1992; McAllister & White, 2008; Kselman &
pengusung
Niou, 2011; Kang, 2010; Pop-Eleches, 2010;
Ketidakpuasan
Kang, 2004; Moral, 2016; Ouweneel &
diterjemahkan pemilih dengan memberikan
Veenhove, 2016; Strazzera, Genius, Scarpa, &
suara untuk kandidat yang tidak disukai
Hutchinson, 2003; Myatt, 2015; Hooghe &
sebagai sinyal khusus. Hal ini dilakukan untuk
Dassonneville, 2016). Sasaran protes pemilih
menunjukan protes kepada kandidat yang
dalam tindakan protest voting biasanya adalah
sebenarnya disukai.
menyampaikan
ketidaksetujuannya
protes
dengan
hal-hal
dari
kandidat
yang
tersebut
disukai. kemudian
kandidat yang bertarung dalam pemilu, tim
Terkait dengan hal itu, Kselman &
sukses, sistem pemilu, atau bahkan sistem
Niou (2011) mengatakan: “...that individuals
politik secara keseluruhan. Pemberian suara
may use their votes to send a specific and
yang biasanya dilakukan dengan tujuan
targeted signal of dissatisfaction to one or
memenangkan
namun
more important political actors...” Selain itu,
dalam konsep ini pemberian suara dapat
pemilih yang memberikan suara kepada
dilihat sebagai bentuk protes pemilih.
kandidat
Protes
kandidat
tertentu,
pemilih
lainnya
menganggap
kandidat
tersebut
maupun partai mengabaikan isu-isu penting.
mengekspresikan pandangan politik terkait
“Citizens who cast a third party ballot do so
tentang personal kandidat, program-program
to advance the same policy goals they were
kandidat, tim sukses, partai pengusung, sistem
precluded from achieving from within the
pemilu, ataupun keadaan politik selama ini.
major parties. When voters perceive the major
Implikasi dari protest voting yang diharapkan
parties to be mutually ignoring an important
adalah tersampaikannya suara protes tersebut
issue they will cast a third party vote to voice
kepada subyek maupun obyek yang diprotes.
this displeasure.”
Jika suara-suara protes tersebut diberikan
180
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
Selain
itu,
protest
voting
dapat
dilakukan dengan pemilih tidak memberikan
ideological/policy
platform
than
by
the
rejection of other possible political choices.”
suara sahnya. Hal itu bisa dilakukan dengan
Secara positif, tindakan ini dimaknai
tidak memilih kandidat atau memilih semua
sebagai
kandidat. Ada dua cara pandang dalam
apapun hasil pemilu. Penerimaan ini dapat
melihat ini, negatif dan positif. Secara negatif,
dimaknai sebagai pemilih merasa semua
tindakan ini dimaknai sebagai penolakan. Hal
kandidat berkualitas layak menang, pemilih
ini dikarenakan pemilih tidak suka dengan
merasa siapapun yang menang sama saja, atau
personal, program, ataupun semua partai
pemilih
pengusung. Pemilih ingin mengatakan bahwa
pilihan atas kandidat. Kedua cara pandang
semua kandidat tidak ada yang layak untuk
tersebut;
menang. Selain itu, hal tersebut dapat
merupakan sebuah bentuk protes dengan tidak
dimaknai
memberikan suara sah saat hari pemungutan.
lebih
luas
sebagai
penolakan
terhadap sistem pemilu. Terkait hal itu, McAllister & White
penerimaan.
Pemilih
kebingungan
penolakan
untuk
ataupun
menerima
menentukan
penerimaan,
Konsep protest voting tersebut menjelaskan bentuk
voting
yang
ditujukan
untuk
(2008) mengatakan: “They do not reject
memprotes hal terkait pemilu. Kelemahan
liberal democracy, but are critical of the
konsep
contemporary practice of Russian politics and
ketidakmampuannya dalam membaca maksud
find no parties that adequately reflect their
dan makna dari pesan yang disampaikan
views. With the ending of the 'against all'
melalui pemberian suara.
facility in 2006 and other changes in the
mengirimkan pesan protes apapun melalui
Russian electoral system under the Putin
voting, namun pesan protes tersebut tidak
presidency, levels of turnout are likely to fall
akan memiliki makna karena sistem tidak
further and the protest vote will seek other
mampu membacanya. Sistem hanya membaca
outlets within or outside the parliamentary
suara tersebut sebagai suara sah atau suara
system”. Pemilih memberikan suara kepada
tidak sah (Medium, 2016). Dalam suara tidak
semua kandidat untuk memprotes keadaan
sah, sistem tidak mampu membedakan suara
politik yang sedang terjadi dan cara pandang
tidak sah yang memang tidak sesuai regulasi
yang tidak terwakili oleh semua kandidat yang
dengan suara tidak sah yang dimaksudkan
ada. Gagasan terkait memberikan suara
sebagai bentuk protes. Sistem melihat suara
kepada semua kandidat juga diungkapkan
tidak sah sebagai sesuatu yang sama; tidak sah
oleh Pop-Eleches (2010) “A protest vote (or
maka tidak dihitung.
tersebut
terletak
pada
Pemilih dapat
antivote) is an electoral option driven less by
Kegagalan sistem membaca pesan
the positive appeal of the chosen party’s
pada surat suara dan memberlakukannya sebagai surat suara tidak sah, sebenarnya
181
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
mencoreng esensi dari pemilu itu sendiri.
framing analysis. Setiap bentuk pendekatan
Esensi dari pemilu adalah sarana untuk
tersebut memiliki kelebihan masing-masing,
menyampaikan suara rakyat dalam memilih
namun kesemuanya terhubung dalam proses
pemimpin.
berbagai
pencarian ideologi, kesadaran, dan hegemoni
macam cara untuk menyampaikan pesan.
atas pesan-makna di dalam teks. Ideologi
Regulasi pada saat Pemilu Presiden 2014
adalah
hanya mengakomodir sistem coblos untuk
diungkapkan dalam komunikasi. Kesadaran
menentukan suara rakyat tersebut sah atau
adalah esensi atau totalitas dari sikap,
tidak. Jika surat suara tersebut dicoblos sesuai
pendapat,
regulasi, maka suara rakyat tersebut sah. Jika
pembawa pesan. hegemoni adalah proses
surat suara dicoblos tidak seperti regulasi,
ideologi “dominan” disampaikan, kesadaran
maka suara rakyat tersebut tidak sah dan
dibentuk, dam kuasa sosial dijalankan (Lull
gugur. Hal tersebut sangat membatasi rakyat
dalam Sobur, 2001: 61). Sehingga batasan
dalam menyampaikan suara; mencederai suara
diantara ketiga pendekatan tersebut sangat
rakyat.
tipis, tidak kaku, sangat cair, bahkan terkesan
Rakyat
mempunyai
sebuah
sistem
perasaan
ide-ide
yang
dimiliki
yang
oleh
Kelemahan dalam konsep protest
tidak ada batasan. Dalam pendekatan ini teks
voting tersebut menjadi objek yang dikritik
dimaknai sangat luas. Segala cipta tangan
melalui konsep yang ditawarkan penulis
manusia baik itu gambar, video, tulisan,
melalui
Dengan
ataupun karya seni itulah yang dimaksud
intepretatif
dengan teks. Teks dipandang sebagai medium
tersebut, penulis membaca dan memaknai
penyampai pesan. Jadi ada kandungan pesan
pesan-pesan tersurat maupun tersirat dalam
di dalam teks tersebut.
pendekatan
menggunakan
intepretatif.
pendekatan
surat suara tidak sah; konteks Pemilu Presiden
Melalui
pendekatan
intepretatif
2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pesan-
tersebut tulisan ini menganalisis dan membaca
pesan tersembunyi di surat suara tidak sah
pesan-pesan
tersebut diungkap melalui metode analisa
kesadaran, dan hegemoni, dalam surat suara
intepretatif.
bawah ini
tidak sah Pilpres 2014 di DIY. Tulisan ini
pesan-pesan
sepenuhnya
berusaha
Uraian-uraian menjelaskan
di
tersembunyi dibalik suara tidak sah tersebut.
yang
tersembunyi;
menggunakan
ideologi,
data
hasil
penelitian Research Centre for Politics and Government
(PolGov)
DPP
UGM
bekerjasama dengan KPU Daerah Istimewa
Metode Penelitian Tulisan ini menggunakan pendekatan
Yogyakarta (DIY); penulis sendiri terlibat
intepretatif. Pendekatan intepretatif biasanya
langsung sebagai asisten peneliti. Penelitian
dipisahkan
yaitu
tersebut bertujuan untuk melacak Pola Surat
discourse analysis, semiotic analysis, dan
Suara Tidak Sah Pemilu Presiden 2014 di
182
menjadi
tiga
bentuk
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
DIY. Penelitian dilakukan dalam rentang
penulis kesulitan bertemu dengan pemilih
waktu
dengan
sebagai aktor utama surat suara tidak sah.
membongkar gudang penyimpanan surat suara
Kedua, penulis tidak mendalami konteks
di seluruh KPU Kabupaten/Kota di DIY.
sosial masyarakat dimana surat suara tidak sah
Mei-September
Setidaknya
ada
2016
enam
hal
yang
tersebut ditemukan.
dibahas dalam tulisan ini yaitu: tematik (apa yang
dikatakan?),
skematik
(bagaimana
Pesan-Pesan Tersembunyi di Pilpres 2014
pendapat disusun dan dirangkai), semantik
Selama ini surat suara tidak sah hanya
(makna yang ingin ditekankan dalam teks?),
dianggap sebagai kegagalan penyampaian
sintaksis (bagaimana pendapat disampaikan?),
suara. Padahal seringkali apa yang termuat
stilistik (pilihan kata apa yang dipakai?),
dalam surat suara tidak sah bisa jadi adalah
retoris (bagaimana dan dengan cara apa
tanda atau pesan yang merepresentasikan
penekanan
2008).
suara rakyat. Secara prosedural pemberian
Selain menekankan masalah yang hendak
tanda atau pesan pada surat suara merupakan
diulas, pendekatan intepretatif memberikan
tindakan yang menyalahi aturan pemilu.
penekanan kepada unsur yang menjadi pusat
Namun,
perhatian penafsiran teks secara kontekstual,
tidaklah melanggar karena salah satu prinsip
yaitu (Sudibyo, Hamad, Qodari dalam Sobur,
pemilu adalah suara rakyat suara Tuhan.
2001:
Sehingga apapun bentuknya, suara tersebut
dilakukan?)
148):
Medan
(Eriyanto,
Wacana
(field
of
discourse) yaitu menunjuk pada hal/peristiwa yang
terjadi, Pelibat
hal
tersebut
haruslah dihargai. Bagian ini membahas pesan-pesan
discourse) yaitu menunjuk pada orang-orang
apa saja yang berhasil ditangkap dalam surat
yang dicantumkan dalam teks, dan Sarana
suara tidak sah pada Pilpres 2014 di DIY.
Wacana (mode of discourse) yaitu menunjuk
Dalam
pada penggunaan tata bahasa.
pengelompokan surat suara tidak sah. Surat
setiap
(field
substansial
of
Penggunaan
Wacana
secara
unsur
bahasan,
setidaknya
ada
tiga
yang
suara tidak sah yang dimasukan dalam
disebutkan di atas sangat flexibel tergantung
pengelompokan tersebut hanyalah surat suara
obyek teks yang diteliti. Hal ini dikarenakan
tidak sah yang memiliki tanda khusus; tanda
setiap gambar memiliki dimensi yang berbeda
yang
untuk memahami makna. Perlu ditekankan
Pertama, surat suara yang memiliki lubang
bahwa unsur-unsur tersebut hanyalah alat
besar pada wajah kandidat. Kedua, coblosan
bantu untuk mengidentifikasi makna dan
yang membentuk pola; pola tertentu ataupun
kemudian dikaitkan dengan framing yang ada.
pola acak. Ketiga, surat suara yang memiliki
Namun, di sisi lain tulisan ini juga memberi
coretan.
limitasi terhadap berberapa aspek. Pertama,
kelompok surat suara tidak sah dengan tanda
diberikan
Berikut
diluar
ini
cara
prosedural.
pembahasan
tiga
183
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
khusus
yang
dianalis
menggunakan
pendekatan intepretatif.
merujuk pada peristiwa yang terjadi, pelibat wacana; merujuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks, dan sarana wacana;
Lubang Besar pada Wajah/Nomor Urut
merujuk pada tata bahasa. Gambar 2. Bolong Muka B.
Calon Gambar 1. Bolong Muka A.
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov
Pola tersebut terjadi di surat suara
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov
tersebut
tidak sah Pilpres 2014 di DIY. Pilpres 2014
memiliki pola kerusakan yang sama yakni
merupakan kontenstasi yang cukup sengit
adanya lubang yang menghilangkan muka
antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan
calon presiden. Pola kerusakan tersebut jelas
Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Saking
mengatakan bahwa dengan secara sengaja
sengitnya, pertarungan pilpres sampai kepada
pemilih melubangi surat suara bukan dengan
ranah simpatisan dan masyarakat. Bahkan
alat yang disediakan KPU. KPU hanya
sampai paska Pilpres 2014, masyarakat saat
menyediakan paku ukuran sedang yang
ini seperti masih terbelah menjadi dua yaitu
memiliki diamater kecil. Kerusakan tersebut
masyarakat yang pro kepada Jokowi dan
ada yang disobek manual dengan tangan;
masyarakat yang kontra Jokowi. Selain
terlihat tidak rapinya lubang yang terbentuk,
sengitnya pertarungan antar elit dan antar
adapula yang dilubangi dengan suatu alat
masyarakat, Pilpres 2014 juga diindikasikan
tertentu;
dengan berlangsungnya politik uang yang
Surat
suara
terlihat
tidak
rapinya
sah
lubang
yang
cukup massif (Republika, 2014). Persaingan
terbentuk. Pertanyaannya kemudian mengapa
yang ketat dan masifnya politik uang di
pola tersebut muncul? Makna apa yang
Pilpres
terkandung didalamnya? Untuk melihat hal
memunculkan pola kerusakan surat suara
tersebut
komentar-
tersebut. Framing inilah yang perlu dilihat
komentar interpretatif di sekitar isi manifes.
lebih dalam agar pesan dalam gambar sesuai
Hal tersebut diperlukan agar tanda dan pola
dengan konteks.
perlunya
membaca
tersebut mendapatkan bingkai yang tepat dan
2014
Bambang
Eka
turut
andil
(mantan
anggota
mengungkapkan
bahwa
sesuai konteks. Upaya membongkar makna
Bawaslu
haruslah
munculnya pola kerusakan surat suara tidak
184
memperhatikan
medan
wacana;
RI)
diyakini
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
sah tersebut ditengarai karena adanya politik
terjalin dari politik uang diharapkan dapat
uang. Hal ini menarik karena praktik politik
terjadi dua arah.
uang yang dilakukan berbeda dari praktik
Indikasi
pada
umumnya.
Biasanya
politik
uang
pola
kerusakan
tersebut
mengarah ke politik uang sangatlah kuat. Pola
dilakukan sebelum pemungutan suara. Namun
kerusakan
dalam kasus ini, politik uang dilakukan
kabupaten/kota di DIY menunjukan bahwa
setelah
pola ini terstruktur dan sistematis; seperti
proses
diintefikasi
pencoblosan.
sebagai
politik
Praktik uang
ini post-
halnya
yang
politik
tersebar
uang.
di
Indikasi
seluruh
tersebut
elections. Politik uang post-elections ini
diperkuat dengan multitafsirnya peraturan
dilakukan dengan menjadikan wajah calon
KPU tentang sah atau tidaknya surat suara
dari
telah
(Karim, et al., 2016). Di level teknis
memberikan suara. Sobekan wajah calon
pelaksanaan, masih ditemukannya perbedaan
tersebut kemudian ditukarkan dengan uang
pendapat temtang sah dan tidak sahnya suara.
oleh para pemilih. Sebuah praktik baru dalam
Salah satu celah dari peraturan KPU dalam
perkembangan politik uang di Indonesia.
pola kerusakan ini adalah surat suara tidak
surat
suara
sebagai
bukti
Permasalahan utama praktik politik
sah jika dicoblos bukan dengan alat yang
uang selama ini adalah relasi yang terbangun
disediakan KPU. Subyektifitas petugas KPPS
merupakan relasi tunggal (one-off). Sehingga
akan sangat menentukan apakah lubang pada
elemen timbal balik kadang tidak terjadi
surat suara dicoblos dengan alat yang
karena si penerima pemberian tidak merasa
disediakan KPU atau bukan. Subyektifitas
terbebani untuk membalas pemberian sang
inilah yang akan menentukan sah atau
patron dengan cara si penerima memilih sang
tidaknya suara. Semua penjelasan di atas,
patron dalam pemilu. Dalam relasi tersebut
pembacaan atas pola kerusakan surat suara ini
tidak ada mekanisme yang dapat memastikan
mengarah
politik
praktik politik uang.
uang
berkorelasi
positif
dengan
dan
mengindikasikan
adanya
perolehan suara. (Aspinall & Sukmajati, 2015). Politik uang post-elections diduga digunakan untuk memastikan relasi berjalan
Coblos Banyak pada Surat Suara Surat
suara
tidak
sah
tersebut
dua arah. Untuk mendapatkan uang yang
memiliki pola kerusakan yang sama yakni
dijanjikan, pemilih harus telebih dahulu
adanya banyak coblosan pada kertas surat
mencoblos calon yang telah ditentukan.
suara. Pola kerusakan menunjukan bahwa
Pemilih membuktikan telah memilih calon
dengan secara sengaja pemilih mencoblos
yang ditentukan dengan membawa potongan
berulang kali pada surat suara. Dari pola
wajah calon atau nomor urut surat suara.
tersebut, setidaknya ada dua tipe coblosan
Dengan mekanisme tersebut, relasi yang
yang dihasilkan yakni coblos banyak pada
185
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
satu pasangan calon dan coblos banyak pada semua pasangan calon. Coblos banyak pada semua paslon jelas merupakan suara tidak sah. Melalui coblos banyak dengan pada semua paslon, pemilih ingin menunjukan ekspresi tidak suka. Ekspresi tidak suka ini bisa ditujukan kepada kedua paslon ataupun kepada hal-hal terkait pemilu. Namun, hal berbeda pada coblos banyak pada satu kolom paslon. Hal tersebut seharusnya sah menurut peraturan KPU. Multitafsir peraturan KPU dan kompetensi
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
petugas KPPS dinilai menjadi penyebab tidak Argumen tersebut jelas menyiratkan
sahnya surat suara (Karim, et al., 2016). Pola coblos banyak ini dianggap
bahwa pola ini membawa pesan berupa
sebagai pesan ekspresi politik dari pemilih.
ekspresi politik. Selain ekspresi senang, bagi
Pendapat bahwa pola ini merupakan bentuk
pemilih lain pola ini juga dapat bermakna
ekspresi politik diperkuat oleh argumen Widi;
sebagai ekspresi setuju ataupun suka. Dari
perwakilan kelompok difabel SIGAB. Widi
gambar 4, terdapat pola coblos berbentuk hati
menyebutkan bahwa pemilih difabel biasanya
diantara dua pasangan calon. Bentuk dan letak
menunjukan
tersebut
ekspresi
politik
dengan
menekankan
bahwa
pemilih
mencoblos berulang kali. Mereka senang
menyukai kedua pasangan calon. Selain itu
karena dapat terlibat dalam pemilu. Pemilih
terdapat pola coblos membentuk tulisan
difabel ini dahulu seringkali terciderai haknya
“OK” yang mengindikasikan ekspresi setuju
karena tidak dapat ikut serta menggunakah
dengan salah satu calon. Peraturan KPU yang
hak pilih.
tidak melarang adanya coblos banyak dengan
Gambar 3. Coblos Banyak A.
syarat masih di dalam kotak pasangan calon, membuat pemilih memiliki kesempatan untuk menunjukan
ekspresi
tersebut.
Secara
prosedural dia tidak melanggar aturan, dan secara
substansial
tersampaikan.
186
pesan
pemilih
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
Adanya Tulisan atau Gambar pada Surat
Gambar 4. Ojo Omong Tok Buktekke!!!
Suara Pola ketiga ini memiiki bentuk yang berlainan dengan dua pola sebelumnya. Pesan di dalam kedua pola sebelumnya terkesan implisit dan sangat membutuhkan framing dalam melihat makna. Sedangkan, pesan didalam pola ini sangatlah eksplisit karena dituliskan atau digambar. Namun, dalam melihat makna juga membutuhkan framing untuk membingkai pesan yang disampaikan. “Ojo Omong Tok Buktekke!!!” Gambar tersebut merupakan surat suara tidak sah yang di dalamnya terdapat tulisan”Ojo Omong Tok Buktekke!!!” atau yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki
arti
“Jangan
bicara
saja,
buktikan!!!.” Bahasa jawa yang digunakan dalam gambar tersebut menunjukan identitas dari pemilih. Pemilih dapat diidentifikasi sebagai orang jawa dan masyarakat asli; bukan
pendatang.
Pesan
tersebut
juga
menandakan bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan politik yang cukup memadai. Pesan
yang
disampaikan
dalam
gambar tersebut eksplisit dan sangatlah jelas. Pemilih merasa bahwa kedua pasangan calon hanya memberikan janji yang belum tentu bisa dibuktikan. Dalam kalimat tersebut juga disertai tanda seru berjumlah tiga yang mempertegas dan memberi penekanan.
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
Selain mempertegas dan memberi penekanan pada kalimat, tanda seru tersebut jika dikaitkan dengan kalimat yang ada juga mengisyaratkan
ada
luapan
emosi
dari
pemilih. Pemilih sepertinya merasa jengah dengan aktivitas politik pra pemilu yang dilakukan
oleh
kedua
pasangan
calon.
Aktivitas pra pemilu biasanya diisi dengan kampanye para calon sebagai sarana menjual janji-janji politis. Selain jengah, penekanan pada kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa pemilih
kecewa
dengan
pemerintahan
sebelum-sebelumnya. Sehingga makna yang terkesan dari kalimat tersebut “Mau yang jadi siapa pun, tidak ada artinya. Mereka yang terpilih tidak pernah menepati janji-janji saat kampanye.” Jika dikaitkan dengan realitas sosial yang ada, janji-janji politik (sebagian kecil
187
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
maupun besar) saat kampanye seringkali tidak
Banyaknya coretan-coretan tersebut
dapat dipenuhi. Janji-janji politik tersebut
dapat dimaknai beragam. Pertama, pemilih
seringkali mengabaikan kompleksitas hal
merasa ekspresi dalam wajah kedua pasangan
seperti proporsi anggaran, kapasitas sumber
calon tersebut adalah palsu. Ekspresi palsu
daya
kedua pasangan calon tersebut kemudian oleh
manusia
aparatur,
dan
banyaknya
kepentingan aktor-aktor dalam pemerintahan.
pemilih
Hal tersebut seringkali yang tidak dipahami
coretan berbentuk kacamata, penutup satu
oleh calon kandidat maupun masyarakat.
mata, kumis, dan jenggot. Hal inilah yang
Terjadinya jarak ataupun perbedaan apa yang
ingin ditekankan oleh pemilih, bahwa kedua
dibayangkan
masyarakat
pasangan calon tidak menampilkan “wajah
membuat
asli” mereka, penuh kepalsuan dan pencitraan.
dengan
dan
kenyataan
diharapkan dilapangan
dipertegas
memberikan
masyarakat kecewa. Sehingga anggapan janji-
Kedua,
janji politik saat kampanye hanya sekedar
pasangan calon sepertinya halnya “badut”
bualan tidak dapat disalahkan dan menjadi
politik. Gambaran itu kemudian diperjelas
sesuatu
masyarakat
oleh pemilih dengan mencoret-coret kedua
Kacamata,
pasangan
yang
(Firmanzah,
melekat
2007).
di
Coretan
Kumis, Jenggot dan Silang. Kedua gambar tersebut menunjukan
pemilih
dengan
calon.
menggambarkan
Coret-coretan
kedua
tersebut
menghasilkan gambar layaknya badut. Ketiga, pemilih
merasa
keduanya
merupakan
surat suara yang diberi coretan berbentuk
“perampok” kekayaan negara. Gambar kedua
kacamata, penutup satu mata, kumis, dan
dengan coretan penutup satu mata dan jenggot
silang. Setiap tanda yang dibuat dalam
memberi gambaran layaknya bajak laut. Bajak
gambar tersebut memiliki arti tersendiri.
laut adalah sosok perampok yang sering
Kacamata, penutup satu mata, jenggot dan
menjarah kapal laut. Segala bentuk coretan
kumis merupakan benda yang berbeda, namun
tersebut kemudian ditambah dengan tanda
keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai
silang
penutup wajah. Kemudian tanda silang pada
ketidaksetujuan terhadap kedua pasangan
tengah gambar tersebut berada ditengah-
calon. Tanda silang dalam keseharian sering
tengah antar kolom calon dan semua tercoret.
dimaknai sebagai tanda salah, kekeliruan, atau
Gambar 5. Coretan Muka
untuk
menekankan
kembali
tidak setuju. Pilpres
2014
yang
hanya
menampilkan dua pasang calon seringkali dipenuhi dengan pertarungan citra (VOA Indonesia, 2014). Pencitraan yang dilakukan oleh para calon seolah-olah membagi dunia Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
menjadi dua hal yang kontras. Jika salah satu
188
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
pihak mencitrakan diri sebagai orang yang
berupa norma-norma ilahiyah yang mengatur
sederhana, pihak yang lain secara otomatis
tingkah laku individual maupun kolektif.
mendapat citra tidak sederhana. Selain sibuk
Sedangkan khilafah memiliki arti sebuah
mencitrakan diri sendiri, para calon seringkali
sistem
sibuk merusak citra lawannya.
menggunakan Islam sebagai Ideologi serta
Salah satu
kepemimpinan
umat,
pihak menyerang pihak lain dengan isu anti-
undang-undangnya
mengacu
Islam, komunis, liberal, antek asing, anti-
Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
dengan
kepada
Al-
nasionalis dan pengkhianat jabatan. Kemudian
Pesan yang ingin disampaikan dalam
dibalas dengan isu pelanggar HAM, antek
gambar tersebut terletak pada kalimat yang
Orde Baru, kacung Islamis, dan kunyuk fasis.
dituliskan pada surat suara. Pemilih ingin
Pertarungan tersebut terkesan sangat riuh dan
menekankan
menjadi lelucon seperti halnya badut. Energi
terhadap sistem pemerintahan dan mekanisme
para calon seringkali habis mengurusi citranya
pemilu. Penekanan tersebut dilakukan dengan
dan
bukan
tidak mencoblos salah satu pasangan calon
memikirkan hal-hal substantif seperti program
dan menuliskan “Saya Pilih Syariah &
dan kebijakan.
Khilafah”.
merusak
citra
lawannya,
dipertegas “Saya Pilih Syariah dan Khilafah” Gambar 6. Saya Pilih Syariah dan Khilafah
pada
ketidaksetujuannya
Ketidaksetujuan dengan
huruf
tersebut
kapital
yang
digunakan dalam tulisan. Selain itu pilihan kata yang digunakan sangatlah jelas dan tersurat tentang apa yang apa yang diinginkan oleh pemilih. Jika dikaitkan dengan isu selama ini, kalimat pernyataan pada gambar tersebut mengacu pada pertarungan wacana demokrasi vs
khilafah.
Demokrasi
mendapat
pertentangan keras dari pihak-pihak Islam tertentu karena sistem ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ketidaksesuaian dengan ajaran islam terletak pada paham kedaulatan tertinggi di tangan rakyat bukan Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
Gambar tersebut menunjukan surat suara yang tidak dicoblos namun diberi tulisan “Saya Pilih Syariah & Khilafah”. Tulisan pada gambar tersebut ditulis dengan huruf kapital. Syariah memiliki arti ajaran Islam
pada hukum Islam, berlandaskan sekularisme bukan aqidah Islam, kebenaran merupakan suara terbanyak bukan sesuai nash syara’, dan segala peraturan demokrasi bukan mengacu pada Qur’an & Sunnah. Wacana khilafa
189
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
tersebut
biasanya
diberlangsungkannya
menguat pemilu.
saat Pemilu
sikapnya apakah dia memilih Jokowi dan layak menjadi Presiden atau tidak.
dianggap sebagai simbol demokrasi yang
Gambar 8. Sticker Jokowi
harus ditentang dan diperangi (Hizbut Tahrir, 2014). “Jokowi” pada Kolom Pasangan PrabowoHatta Surat suara tidak sah tersebut tidak dicoblos namun wajah pada pasangan calon nomor urut satu ditempel stiker putih dan adanya tulisan “Jokowi”. Sticker yang ditulisi “Jokowi” tersebut menutup seluruh muka Prabowo-Hatta. Wajah Prabowo-Hatta yang
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
tertutup tersebut membuat surat suara yang
Anggapan
atas
ketidaklayakan
awalnya menyajikan foto Prabowo-Hatta pada
Prabowo maju dalam Pilpres 2014 sangat
nomor urut 1 dan Jokowi-Kalla pada nomor 2,
terkait
menjadi tulisan “Jokowi” pada nomor urut 1
menyanderanya. Isu-isu HAM seperti kasus
dan Jokowi-Kalla pada nomor urut 2.
penculikan
dengan
isu-isu
aktivis
HAM
1997/1998
yang
selain
Pesan yang ingin disampaikan dalam
menyandera jaga mengancam elektabilitas
gambar tersebut adalah Jokowi merupakan
Prabowo saat itu. Survei yang dilakukan LSI
satu-satunya calon yang layak maju dalam
menyimpulkan,
32,8%
pemilih
telah
Pilpres 2014. Pesan tersebut dirangkai dalam
mendengar
Prabowo
terlibat
dalam
tempelan stiker pada wajah Prabowo-Hatta
penculikan. LSI menyebut kasus tersebut
dan
tulisan
”Jokowi”.
tulisan
dengan 'aktivis gate'. LSI menyimpulkan,
“Jokowi” yang menutupi muka Prabowo-
pada Juni 2014, 51,5% publik percaya kalau
Hatta menekankan bahwa Prabowo-Hatta
Prabowo
tidak layak maju dalam Pilpres 2014. Makna
1997/1998. Hanya 37,6% yang tidak percaya
tersebut disampaikan dengan cara yang cukup
kalau Prabowo terlibat. Dampaknya adalah
jelas
56,8%
dengan
hanya
Sticker
isu
menuliskan
kata
terlibat
publik
dalam
yang
kasus
mendengar
HAM
kasus
“Jokowi”. Namun, makna yang ditangkap
keterlibatan
disini memiliki keterbatasan. Pemilih hanya
mempertimbangkan
menyampaikan bahwa Jokowi-Kalla pantas
mendukung Prabowo. Hanya 34,3% yang
maju dalam Pilpres 2014 sedangkan Prabowo-
menyatakan tidak terpengaruh dan mantap
Hatta tidak pantas. Pemilih tidak menunjukan
memilih Prabowo (Berita Satu, 2014). Dari
190
Prabowo niatnya
bakal dalam
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
survey LSI tersebut, framing isu “aktivis
dalam keseharian selain digunakan untuk
gate” sangat mempengaruhi persepsi publik
menunjukan sikap tidak peduli, menantang,
atas kelayakan Prabowo maju dalam Pilpres
atau melawan pihak lain. Biasanya pihak lain
2014.
disini mencoba memberikan aturan atau tawaran
“Anda Siapa!”
tertentu,
namun
mendapat
pertentangan atau perlawanan.
Gambar 9. Anda Siapa!
Pesan dalam gambar tersebut sangat terkait dengan persepsi masyarakat selama ini yang menganggap calon kandidat hanya akan turun ke tengah masyarakat saat pemilu saja (Kompas, 2016). Masyarakat sering dijadikan komoditi dalam pemilu untuk mendulang suara namun setelah itu mereka dilupakan. Perilaku calon kandidat tersebut menunjukan
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
Gambar tersebut menunjukan surat suara yang tidak dicoblos dan diberi tulisan “Anda Siapa!”. Tulisan tersebut ditulis dengan huruf kapital disertai tanda seru. Jika dilihat dari struktur kalimatnya, kalimat tersebut bukanlah pertanyaan walaupun di dalam kalimat terdapat kata tanya, “siapa”. Kalimat tersebut lebih ke kalimat penegasan karena disertai tanda seru dan ditulis dengan huruf kapital. Pesan yang ingin disampaikan dalam gambar
tersebut
adalah
pemilih
ingin
menegaskan ketidaktahuannya terhadap calon. Selain itu, gambar tersebut memberi kesan bahwa pemilih tidak peduli dengan siapa calon yang maju dan proses pemilu yang berlangsung.
Ketidaktahuan
masyarakat mencapai
hanya
dijadikan
kepentingan
tersebut
alat
pribadi.
mengkhianati
untuk Perilaku
dan
tidak
merepresentasikan suara rakyat. “Luwih Rusuh – Kampanye Rusuh” Gambar tersebut menunjukan surat suara yang dengan tulisan “luwih rusuhkampanye
rusuh”.
Pesan
yang
ingin
disampaikan disini bahwa kampanye dan penyelenggaraan Pilpres 2014 lebih rusuh atau
lebih
sengit
dibandingkan
penyelenggaraan Pilpres sebelumnya. Pesan tersebut ditulis sangat jelas dan sebagai poin terpenting penyampaian makna. Gambar 10. Luwih Rusuh Kampanye Rusuh
dan
ketidakpedulian pemilih sangat jelas terlihat dalam kalimat yang ditulisankan. Kalimat tersebut dirangkai dengan huruf kapital dan tanda seru di akhir. Kalimat “Anda Siapa!”
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
191
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
Pilpres 2014 memang dikenal pemilu paling
berisik
jika
“ASU” dan Coretan Berbentuk Kelamin
dibandingkan
Gambar tersebut menunjukan surat
sebelum-
suara yang diberi coretan berbentuk kelamin
Calon yang mengikuti Pilpres
laki-laki, kelamin perempuan, dan tulisan
2014 hanya berjumlah dua pasang, membuat
“ASU”. Pesan yang ingin disampaikan dalam
masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Jika
gambar tersebut dapat dimaknai dalam dua
satu kubu pro, maka secara otomatis kubu
hal. Pertama, gambar tersebut dapat dimaknai
yang lain kontra. Jika satu kubu dianggap
bahwa kedua pasangan calon hanya mengejar
baik, maka secara langsung kubu lainnya
nafsu jabatan dan kekuasaan. Pemilu bagi dia
dianggap tidak baik. Seringkali masyarakat
hanya sarana memuaskan sahwat politik para
dalam melihat Pilpres 2014 saat itu sebatas
elite. Pesan tersebut dirangkai dengan coretan
dua sisi, hitam – putih, baik – buruk, santun –
berbetuk
tidak
perempuan.
penyelenggaraan sebelumnya.
santun.
pemilu
Bahkan
sampai
sekarang,
alat Alat
kelamin kelamin
laki-laki pada
dan
gambar
pengkotak-kotakan paska Pilpres 2014 masih
tersebut merupakan simbol atas nafsu dan
terasa; antara pro pemerintah dengan kontra
kuasa.
pemerintah (Kompas, 2016).
dimaknai sebagai umpatan terhadap kondisi
Kedua, gambar tersebut dapat
Selain itu kehadiran media sosial baru
yang dialami masyarakat saat ini. Alat
seperti facebook, twitter, instagram membuat
kelamin dan kata “ASU” merupakan umpatan
kegaduhan pilpres 2014 sangat terasa. Pilpres
yang sering digunakan oleh warga asli Jogja.
2014 merupakan pemilu dengan penggunaan
“ASU” sebenarnya secara harfiah memiliki
media sosial paling masif sepanjang sejarah
arti
pelaksanaannya. Hal ini tidak terlepas dari
digunakan untuk menunjukan kekecewaan
perkembangan media sosial sebagai media
atau kemarahan terhadap subyek atau obyek
baru
pada kondisi tertentu.
masyarakat
dalam
mendapatkan,
memproduksi, dan menyebarkan informasi.
“Anjing”.
Umpatan
ini
biasanya
Gambar 11. Umpatan dan Alat Kelamin
Namun, tidak semua informasi yang beredar di media sosial tersebut benar dan valid. Banyak
black
campaign
dan
negative
campaign yang berseliweran tiada henti dan mudah diakses oleh semua orang. Hal tersebut yang membuat implikasi langsung dalam kehidupan nyata (BBC, 2014). Kampanye dan Sumber: Dokumentasi Tim PolGov
penyelenggaraan Pilpres 2014 terkesan sangat riuh, rusuh, dan gaduh di media sosial maupun di kehidupan nyata.
192
Pesan tersebut disampaikan dengan sangat jelas. Coretan yang berbentuk alat kelamin laki – laki dan perempuan serta
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
tulisan “ASU” tersebut ditulis dengan besar
Kekecewaan dan ketidaksesuaian terhadap
dan hampir memenuhi bagian kertas serta
calon yang ada tergambar jelas dengan
penggunaan
menggambar kolom ketiga yang kemudian
huruf
kapital.
Hal
ini
menandakan, ada pesan yang teramat kuat
dicoblos.
Pemilih
mengisyaratkan
atas kekecewaan dan kemarahan terhadap
keinginannya terhadap hadirnya calon lain
pemerintahan selama ini ataupun kehidupan
dalam Pilpres 2014.
politik dalam arti yang luas. Selain itu, pesan
Kekecewaan masyarakat akan calon
tersebut memiiki identitas yang cukup kuat
yang itu-itu saja tergambar jelas pada gambar
terhadap siapa aktor yang menulisnya; orang
tersebut. Prabowo pernah maju dalam pilpres
Jogja asli.
2009, sedangkan Hatta Rajasa pernah menjadi
Kekecewaan dan kemarahan atas
Menko Perekonomian, Menteri Sekretaris
pemerintahan ataupun kondisi politik tersebut
Negara, dan Menteri Perhubungan di masa
merupakan kondisi yang sering dialami di
Presiden
level grassroot. Politik dewasa ini seringkali
Sedangkan Jokowi yang namanya melejit
dicap
sejak menjadi walikota Solo dan gubernur
sebagai
menampilkan
politik
wajah
atau
yang
hanya
figur
populer
Susilo
DKI Jakarta
Bambang
merupakan
Yudhoyono.
sosok populer.
dibanding pertarungan ide dan program.
Namun, periode jabatan walikota Solo yang
Selain
belum selesai (yang kemudian mecalonkan
itu
banyaknya
pengangguran,
proyek
kelakuan
yang
kasus
korupsi, dan
diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta) dan
rakyat
periode jabatan Gubernur DKI Jakarta yang
menambah apatisme masyarakat terhadap
baru dijalankan dua tahun, sedikit banyak
politik (Sindo News, 2012). Bentuk apatisme
mempengaruhi persepsi publik. Nama Jusuf
masyarakat dapat dilihat melalui umpatan-
Kalla juga tidaklah asing. Dia pernah menjadi
umpatan dan makna dari gambar tersebut.
wakil presiden 2004 – 2009, calon presiden
elite
mangkrak, tidak
pro
dalam Pilpres 2009 namun kalah, kemudian Gambar
Kolom
Pasangan
Nomor
3
maju lagi menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2014.
kemudian Dicoblos Gambar tersebut menunjukan surat
Gambar 12. Kolom Nomor 3
suara yang digambar kolom urut nomor tiga kemudian
dicoblos.
Pesan
yang
ingin
disampaikan dalam gambar tersebut adalah kekecewaan terhadap kedua pasangan calon ataupun kedua pasangan calon tidak ada yang sesuai harapannya. Pesan tersebut sangat kuat dan sangat cerdik dalam penyampaiannya.
Sumber: Dokumentasi Tim PolGov.
193
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
Gambaran Pilpres 2014 yang hanya
dibawa oleh pemilih. Ketika isu tersebut
diikuti oleh aktor yang itu-itu saja membuat
dikonfirmasi
masyarakat tidak memiliki pilihan alternatif.
anggota Bawaslu RI, beliau tidak menyangkal
Jika tidak Prabowo maka Jokowi yang dipilih,
jika memang terjadi politik uang post-
jika tidak A maka B. Masyarakat yang
elections. Pola yang sama pernah ia temukan
memiliki bayangan lain terkait siapa sosok
di Papua dan terbukti sebagai politik uang
Presiden Indonesia, tidak terakomodasi dalam
post-elections.
hal ini. Gambar kolom nomor urut tiga memberi makna akan hal tersebut.
ke
Kedua,
Bambang Eka;
adanya
ekspresi
mantan
senang
pemilih yang disampaikan dalam surat suara. Ekspresi ini ditunjukan dengan mencoblos
Refleksi atas Protest Voting pada Pemilu
berulang kali pada surat suara. Hal ini
Presiden 2014
dikonfirmasi oleh Widi, perwakilan dari
Analisa surat suara tidak sah pada Pemilu
Presiden
menggunakan
minoritas sangat senang mengikuti pemilu.
pendekatan intepretatif berhasil membaca
Melalui pemilu, mereka merasa setara dengan
makna pesan dari surat suara tidak sah.
mayoritas orang lain. Selain itu, mereka
Beragam makna pesan yang selama ini tidak
merasa dihormati oleh negara dan memiliki
terbaca oleh sistem, dapat dijelaskan melalui
kedudukan yang sama. Ekspresi senang
pendekatan intepretatif ini. Pesan yang ada di
tersebut dilampiaskan melalui pemilu yang
dalam surat suara, apapun bentuknya tetap
hanya bisa diikuti pada waktu-waktu tertentu.
merupakan
harus
Kesempatan yang ada untuk menunjukan
tersampaikan dan didengar. Pertama, pesan
kesetaraan tersebut, mereka maksimalkan
atas indikasi terjadinya politik uang post-
dengan menunjukan ekspresi senang melalui
elections. Indikasi adanya politik uang post-
mencoblos berulang kali.
suara
2014
kelompok difabel. Menurut beliau, kelompok
rakyat
yang
elections adalah ditemukannya pola gambar
Ketiga, adanya umpatan dan hujatan
muka paslon yang hilang dan ditemukan di
yang disampaikan pemilih. Umpatan dan
seluruh kabupaten/kota di DIY. Gambar muka
hujatan
paslon yang hilang sengaja disobek melingkar
terhadap kondisi sosial yang ia alami. Pemilih
mengikuti muka paslon. Bahkan ada gambar
seringkali merasa kecewa terhadap kondisi
muka paslon yang terpotong rapih ditengah
sosial yang tidak banyak berubah paska
seperti menggunakan alat tertentu. Ketika hal
pemilu. Sebelum pilkada, para kandidat dan
ini dikonfirmasi ke para petugas KPPS,
partai ramai-ramai menebar janji dan berbaik
mereka tidak menemukan potongan gambar
hati menawarkan bantuan. Namun, ketika
muka paslon yang hilang tersebut. Hal ini
pilkada telah usai janji-janji yang diberikan
mengindikasikan potongan gambar muka
jarang untuk ditepati. Kandidat yang terpilih
194
ini
merupakan
respon
pemilih
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
seolah-olah yang berorientasi pada kekuasaan
sangat menentukan jalannya pemerintahan
dan bukan kepentingan masyarakat yang
nasional lima tahun mendatang hanya diikuti
memilihnya. Hal ini memunculkan respon dari
oleh dua paslon. Hal ini memberi gambaran
pemilih dalam bentuk umpatan dan hujatan
jelas bahwa masyarakat jenuh terhadap kedua
dalam surat suara. Umpatan dan hujatan
paslon dan menginginkan sosok baru. Seperti
tersebut ditulis secara eksplisit seperti “Ojo
yang diketahui, Prabowo Subianto sudah
Omong Tok Buktekke!!!”, “ANDA SIAPA!”,
pernah
“Luwih Rusuh – Kampanye Rusuh”, "ASU"
Sedangkan
dan coretan berbentuk kelamin.
menunaikan amanat rakyat menjadi Gubernur
mengikuti
pilpres
namun
kalah.
Joko Widodo belum selesai
Keempat, adanya penolakan terhadap
DKI Jakarta. Pemilih menunjukan kejenuhan
kandidat. Pola penolakan terhadap kandidat
dan penolakan tersebut melalui pesan dalam
terbagi menjadi dua yakni, menolak salah satu
bentuk coretan pada semua paslon dan coretan
kandidat dan menolak seluruh kandidat.
berbentuk kolom baru.
Pemilih
nampak
terhadap
salah
menunjukan
penolakan
Kelima, adanya penolakan terhadap
dengan
sistem pemilu saat ini. Sebagian masyarakat
menempelkan stiker pada gambar muka
menyampaikan penolakan terhadap hal yang
Prabowo – Hatta. Pemilih kemudian pemilih
jauh lebih besar terkait pemilu yakni sistem
menulis “JOKOWI” dengan huruf kapital
pemilu.
pada stiker tersebut. Pola kedua, pemilih
tersebut dengan menuliskan “Saya Pilih
menunjukan penolakan terhadap semua calon
Syariah dan Khilafah” pada surat suara.
dengan
berbentuk
Pesan tersebut dengan jelas bahwa pemilih
kacamata, kumis, jenggot dan silang. Coretan
tidak setuju terhadap sistem untuk memilih
yang
tersebut
pemimpin. Selain pesan penolakan, pemilih
menutupi muka semua paslon. Hal ini secara
juga menegaskan sistem yang seharusnya
jelas
dijalankan.
satu
memberikan
membentuk
kandidat
coretan
benda-benda
menunjukan
ketidaksukaan
dan
Pemilih
menunjukan
Pemilih
penolakan
berpendapat
sistem
penolakan terhadap semua kandidat. Selain
khilafah lebih baik daripada sistem pemilu
itu, pemilih menunjukan penolakan terhadap
saat ini dalam menentukan pemimpin.
semua paslon dengan tidak mencoblos kedua
Makna atas pesan tersebut setidaknya
paslon yang ada, namun membuat kolom
menggambarkan kondisi yang terjadi di
baru.
masyarakat saat Pemilu Presiden 2014 terjadi.
Pemilih
memberikan
membuat angka
kolom
tiga,
baru,
kemudian
Dalam pemilu,
masyarakat
tidak
hanya
mencoblosnya. Hal ini selain menunjukan
sekedar mencoblos atau tidak mencoblos,
penolakan terhadap kedua paslon, pemilih
memilih atau tidak memilih. Suara masyarakat
mengindikasikan keinginan hadirnya paslon
dalam pemilu tidak hanya ditunjukan dengan
ketiga diluar paslon yang ada. Pilpres yang
sah-nya suara yang diberikan pada surat suara,
195
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
namun suara tidak sah pun memiliki “suara”
pemilu.
dari masyarakat. Kegagalan sistem mewadahi
menyamaratakan cara pandang terhadap surat
“suara” tersebut menodai esensi dari pemilu
suara
itu sendiri. Pemilu yang sejatinya sarana
memandang suara tidak sah sebagai “suara
menyampaikan suara rakyat dalam memilih
rakyat” yang merupakan esensi dari pemilu.
pemimpin, gagal membaca “suara” yang
Suara tidak sah apapun bentuknya; memiliki
tersembunyi pada surat suara tidak sah.
atau tidak memiliki nilai, dikelompokkan
Sistem pemilu saat ini hanya mengakomodir
menjadi satu ke dalam satu kelompok besar
suara yang diberikan secara sah sesuai
suara tidak sah; tidak sah maka tidak dihitung.
Sistem
tidak
sah.
pemilu
Sistem
saat
pemilu
ini
tidak
prosedur. Padahal diluar suara sah tersebut, terdapat “suara” didalam surat suara tidak sah yang juga wajib diakomodir.
Penutup Pada
Artikel ini setidaknya menunjukan
bagian
rekomendasi
ini
utama
disajikan merespon
dua dua
ada dua permasalahan utama dalam melihat
permasalahan di atas. Pertama, gagasan
pesan-pesan tersembunyi surat suara tidak
perbaikan atas konsep protest voting selama
sah. Pertama, protest voting selama ini tidak
ini. Kedua, gagasan perbaikan sistem agar
cukup menjelaskan bentuk protes pada surat
suara rakyat dapat terwadahi dalam Pemilu
suara pilpres 2014 di DIY. Bentuk protes di
selanjutnya. Konsep protest voting selama ini
surat suara pilpres 2014 tidak seperti apa yang
menjelaskan
dibayangkan protes voting selama ini. Bentuk
menyampaikan
protes tidak menggunakan voting sebagai alat
ketidaksetujuannya
protes. Protes menggunakan tanda dan simbol
terkait pemilu. Voting dalam konsep tersebut
yang disematkan pada surat suara. Surat suara
bukan dimaksudkan untuk memenangkan
tersebut
kandidat atau partai tertentu, namun untuk
diberi
tulisan,
gambar,
bahkan
tindakan
voting protes
dengan
untuk atau
hal-hal
sobekan sedemikian rupa dan menimbulkan
memprotes
kandidat
makna tertentu. Selain itu, protes tidak
sebenarnya
disukai.
dilakukan dengan memilih kandidat yang
protest voting karena pemilih menganggap
sebenarnya tidak disukai sebagai bentuk
kandidat atau partai mengabaikan isu-isu
protes kepada kandidat yang disukai. Protes
tertentu. Secara lebih luas, protest voting juga
dilakukan dengan memberikan pesan dan
dapat digunakan untuk memprotes sistem
tanda langsung kepada kandidat yang dikritik
pemilu secara keseluruhan. Konsep protest
pada surat suara terlepas kandidat tersebut
voting ini secara khusus mensyaratkan voting
disukai atau tidak disukai. Kedua, suara protes
sebagai elemen utama dalam kerangka protes.
pada surat suara tidak sah yang merupakan
Protes terhadap hal-hal terkait pemilu tidak
suara rakyat tidak terakomodir dalam sistem
hanya dapat dilakukan dengan voting saja.
196
atau Pemilih
partai
yang
yang
melakukan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
Temuan pada surat suara tidak sah pada
kajian serius dari penyelenggara pemilu.
pilpres 2014 menunjukan bentuk protes yang
Penyelenggara
jauh berbeda dari apa yang dibayangkan oleh
menyuarakan
peneliti sebelumnya yang menulis terkait
analisis pesan, teks dan gambar dalam surat
protest voting. Konsep protest voting selama
suara tidak sah sebagai peringatan atau
ini tidak sepenuhnya salah. Pemilih memang
pembelajaran kepada para penyelenggara
memprotes hal-hal terkait pemilu seperti
negara dan pengambil kebijakan lainnya.
pemilu atau
harus
berani
menyampaikan
hasil
kandidat, keadaan sosial politik, ataupun
Dalam pemaparan surat suara tidak
sistem pemilu secara lebih luas, namun sifat
sah di atas, juga ditemukan penolakan atas
protes nya tidak sekaku apa yang dibayangkan
semua kandidat yang ada. Selama ini, sistem
oleh Kselman & Niou dan peneliti lain. Protes
pemilu hanya menyediakan kolom atau ruang
terkait pemilu tidak melulu dilakukan dengan
untuk memilih kandidat namun tidak pernah
voting
menyediakan
namun
dapat
dilakukan
dengan
kolom
atau
ruang
untuk
berbagai cara, yaitu: dengan tulisan pada surat
menolak kandidat. Padahal suara penolakan
suara, coretan gambar, stiker, atau bahkan
tersebut juga merupakan bagian dari suara
sobekan
memperkaya
rakyat sebagai esensi dari pemilu itu sendiri.
sekaligus mengkritik konsep protest voting
Selama ini masyarakat menyampaikan suara
selama ini. Konsep protest voting harus lebih
penolakan
luas dan lebih cair, yakni segala hal protes
mencoblos lebih dari satu atau semua
pemilih yang berkaitan dengan pemilu yang
kandidat, atau bahkan merusak surat suara.
dapat disampaikan dengan media dan cara
Namun pada akhirnya suara penolakan atau
apapun tidak hanya melalui voting saat pemilu
protes tersebut hanya akan dianggap suara
itu berlangsung.
tidak sah oleh sistem. Sistem pemilu tidak
tertentu.
Hal
ini
Selain itu, penyelenggara
dengan
tidak
mencoblos,
pemilu
mampu membedakan suara tidak sah yang
sistem
memang tidak sesuai regulasi dengan suara
kepemiluan. Esensi pemilu sebagai sarana
tidak sah yang dimaksudkan sebagai bentuk
menyampaikan suara rakyat untuk memilih
protes. Sistem melihat suara tidak sah sebagai
pemimpin, harus benar-benar diperhatikan.
sesuatu yang sama; tidak sah maka tidak
Selama ini, penyelenggaraan pemilu hanya
dihitung.
perlu
melakukan
perbaikan
berfokus pada surat suara yang sah dalam
Untuk
mengakomodir
suara
melihat suara rakyat. Sistem pemilu didesain
penolakan atau protes atas semua kandidat,
hanya untuk mengakomodir suara yang sah
penyelenggara
secara prosedur namun abai terhadap suara
memperbaiki sistem pemilu. Penyelenggara
yang diberikan tidak sesuai prosedur. Surat
harus mulai memikirkan kolom atau ruang
suara tidak sah tersebut tidak pernah menjadi
pada surat suara untuk mewadahi suara
pemilu
hendaknya
197
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
penolakan atau protes tersebut. Belajar dari
meningkatkan dan memperluas fokus, tidak
beberapa
Kanada,
hanya pada surat suara yang sah melainkan
ataupun negara bagian Nevada, penyelenggara
surat suara tidak sah. Pesan-pesan tersebut
pemilu dapat mengadaptasi konsep NOTA
menggambarkan kondisi sosial yang terjadi
(None of The Above) Voting. Dalam konsep
saat pemilu bahkan dapat menjadi bahan
NOTA Voting, penyelenggara pemilu memberi
untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu
ruang kepada pemilih untuk menolak semua
secara lebih luas. Penyelenggara pemilu harus
kandidat yang tersedia. Kolom yang tersedia
berani menyampaikan pesan yang termuat
pada surat suara tidak hanya ditujukan untuk
dalam suara tidak sah sebagai peringatan atau
memilih kandidat, namun ada kolom atau
pembelajaran kepada para penyelenggara
ruang untuk menolak kandidat. Dengan sistem
negara dan pengambil kebijakan lainnya.
tersebut,
dapat
Selama ini suara tidak sah hanya dianggap
membedakan suara tidak sah yang bertujuan
“sampah”, tidak memiliki esensi kepemiluan
abstain, salah prosedural atau dengan tujuan
sama sekali, padahal di dalamnya terkandung
menolak semua kandidat. Dengan sistem ini
pesan dari masyarakat yang sifatnya sangat
juga, memungkinkan pemilih untuk memberi
cair.
sinyal ketidakpuasan yang lebih baik terhadap
menyediakan
kandidat (Damore, Waters, & Bowler, 2012).
mengoptimalkan suara tidak sah tersebut
negara
seperti
penyelenggara
India,
pemilu
Tulisan ini telah membahas pesanpesan
tersembunyi
yang
pemilu
mekanisme
harus untuk
paska pemilu.
mampu
Selain itu penyelenggara pemilu harus
terdeteksi oleh sistem yang kemudian oleh
mulai menimbang untuk menyediakan kolom
peneliti
atau ruang untuk menampung suara protes
dikelompokkan
tidak
Penyelenggara
menjadi
lima
kategori. Lima kategori tersebut adalah pesan
atau
atas indikasi terjadinya politik uang post-
tersedia. Salah satunya adalah dengan konsep
elections, ekspresi senang pemilih yang
NOTA
disampaikan
adanya
memungkinkan penyelenggara pemilu dapat
umpatan dan hujatan terhadap kondisi sosial,
membedakan suara tidak sah yang bertujuan
adanya penolakan terhadap kandidat, dan
abstain, salah prosedural atau dengan tujuan
adanya penolakan terhadap sistem pemilu saat
menolak semua kandidat.
dalam surat
suara,
penolakan
Voting.
terhadap
Konsep
kandidat
NOTA
yang
Voting
ini. Melihat aturan pemilu saat ini, pesanpesan yang disampaikan rakyat akan lebih
Daftar Pustaka
banyak ditemukan di surat suara tidak sah.
Aspinall, E., & Sukmajati, M. (2015). Politik
Menimbang
hal
tersebut,
penyelenggara
pemilu harusnya mulai memperbaiki sistem pemilu saat ini. Penyelenggara pemilih harus
198
Uang di Indonesia. Yogyakarta: PolGov.
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 2 (2) (2017) 179-200
BBC. (5 Juli 2014). Diambil kembali dari
Kang, M. S. (2010). VOTING AS VETO.
BBC:
Michigan Law Review, Vol. 108,
http://www.bbc.com/indonesia/berit
No. 7, 1221-1281.
a_indonesia/2014/07/140704_pilpre
Kang, W.-T. (2004). Protest Voting and
s_medsos.
Abstention Under Plurality Rule
Berita Satu. (2014, June 15). Diambil kembali dari
Berita
Elections: An Alternative Public
Satu:
Choice
http://www.beritasatu.com/nasional/ 190273-lsi-prabowo-makin-sulit-
Approach.
Journal
of
Theoretical Politics 16(1), 79-102. Karim, A. G., Rahmawati, D., Jamson, U. N.,
kejar-elektabilitas-jokowi.html.
Yunanto, A. G., Fimmastuti, D. R.,
Bowler, S., & Lanoue, D. J. (1992). Strategic
& Prasetyo, W. (2016). Pola Surat
and Protest Voting for Third Parties:
Suara Tidak Sah dalam Pemilu
The Case of the Canadian NDP. The
Presiden 2014 di Daerah Istimewa
Western Political Quarterly, Vol. 45,
Yogyakarta. Yogyakarta: Research
No. 2, 485-499.
Center for Politics and Government
Eriyanto. (2008). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Firmanzah. (2007). Marketing politik: Antara Pemahaman
dan
(PolGov). Kompas.
(2016,
October
kembali
dari
15).
Diambil Kompas:
http://nasional.kompas.com/read/20
Realitas.
16/10/15/19211651/anies.masih.ban
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor
yak.yang.mengira.sekarang.pilpres.2
Indonesia.
014.
Hizbut Tahrir. (2014, April 23). Diambil kembali
dari
Hizbut
Tahrir:
Kompas. (2016, November 18). Diambil kembali
dari
Kompas:
https://hizbut-
http://megapolitan.kompas.com/read
tahrir.or.id/2014/04/23/pemilu-
/2016/11/18/17273181/.kalau.pemili
untuk-perubahan-ibarat-
han.seperti.ini.saja.kami.warga.misk
menggantang-asap.
in.dicari-cari.
Hooghe, M., & Dassonneville, R. (2016). A
Kselman, D., & Niou, E. (2010). Protest
Spiral of Distrust: A Panel Study on
Voting in Plurality Elections: A
the
Theory of Voter Signaling. Public
Relation
between
Political
Distrust and Protest Voting in Belgium.
Government
Opposition, 1-27.
and
Choice, 395-418. Kselman, D., & Niou, E. (2010). Strategic Voting
in
Plurality
Elections.
199
Wegik Prasetyo/ Beyond Protest Voting: Membaca Pesan Tersembunyi di Balik Suara Tidak Sah
Political Analysis, Vol. 18, No. 2, 227-244. McAllister, I., & White, S. (2008). Voting 'Against
All'
in
Postcommunist
Russia. Europe-Asia Studies Vol. 60, No. 1, 67-87. Medium. (6 Agustus 2016). Diambil kembali dari
Medium:
https://medium.com/@cshirky/there s-no-such-thing-as-a-protest-votec2fdacabd704#.4bkg9jhfa. Republika. (11 Mei 2014). Diambil kembali dari
Republika:
http://www.republika.co.id/berita/pe milu/hot-politic/14/05/11/n5etiapolitik-uang-dominasi-pelanggaranpemilu-2014.
200