Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
EVALUASI PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2015 Pangi Syarwi Chaniago1* 1
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima 11 April 2016 Disetujui 15 Juni 2016 Dipublikasikan 15 Juli 2016
Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama tahun 2015, dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi. Penelitian menggunakan metode kualitatif. Adapun hasil penelitian yaitu; (1) pilkada serentak belum efisien; (2) pilkada serentak belum mampu meningkatkan partisipasi politik; (3) pilkada serentak belum mampu menutup celah praktek politik uang; (4) rekruitmen penjaringan bakal pasangan calon kepala daerah belum terbuka dan transparan; (5) pembiayaan pilkada serentak tidak (tepat) dibebankan ke APBD; (6) MK menolak mengadili sengketa hasil pilkada jika selisih suara lebih dari 2%, melukai rasa keadilan; (7) fenomena munculnya calon tunggal kepala daerah akibat regulasi wajib mundur bagi PNS, TNI/Polri, DPR, DPD, dan DPRD.
Keywords: Quality of Democracy, Direct District Heads Election, District Head Candidates, Evaluation.
THE EVALUATION OF CONCURRENT PILKADA IMPLEMENTATION IN 2015 Abstract
*
This study was carried out to evaluate the enforcement of the first direct district heads election in 2015, in order to promote the quality of democracy. This study applied qualitative method. There were several findings on this study; (1) direct district heads election has not been efficient yet; (2) direct district heads election has not been able to promote political participation; (3) direct district heads election has not been able to shut off money politic; (4) recruitment the election of district head candidates has not been transparant; (5) financing of direct election was not charged (appropriate) to Regional Government Budget; (6) Constitutional Court refused to adjudicate the dispute of election results if the margin of ballot more than 2%, it broke sense of justice; (7) the phenomenon of the emergence of a single candidate for district heads due to regulations, the must withdraw from candidacy for they were civil servants, military/police, House of Representatives, Regional Representative Board and Regional House of Representatives. © 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda No 95, Ciputat, Tangerang, Indonesia. Email:
[email protected]
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
kekuasaan harus dengan etika supaya bisa di kontrol (Mar’iyah 2012). PENDAHULUAN
Penyelenggaraan
Pemilu adalah kenduri demokrasi
pemilihan
kepala
daerah serentak tahun 2015 meninggalkan
yang menjadi landasan politik bangsa dan
banyak
negara dalam membangun masa depan yang
penyelenggaraan pilkada serentak dimulai
lebih baik. Pemilu sebagai pilar demokrasi
dengan merevisi Undang-Undang Nomor 8
mengantarkan bangsa dan negara dalam
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
meraih
membangun
Bupati, dan Wali Kota. Revisi undang-undang
peradabannya. Selain itu, pemilu juga sebagai
pilkada dilakukan dalam rangka mewujudkan
momentum evaluatif yang sangat penting bagi
pilkada yang transparan, jujur dan demokratis.
sebuah rezim kekuasaan dalam mewujudkan
Revisi harus mampu menjawab apa yang
cita- cita negara kemerdekaan.
menjadi kelemahan dan kekurangan pilkada
demokrasi
Praktek dilepaskan
dari
dan
demokrasi proses
tidak
bisa
penyelenggaraan
catatan.
serentak
tahun
Dibutuhkan
2015
perbaikan
dalam
rangka
peningkatan mutu demokrasi di daerah.
pemilihan umum. Pentingnya nilai demokrasi
Revisi undang-undang No. 8 Tahun
yang selalu dikembangkan yaitu masalah
2015, harusnya mengambil fokus terhadap
freedom, autonomy, equality, representative,
persoalan yang berpotensi merusak makna
majority
Pencapaian
hakiki penyelenggaraan pilkada. Apalagi,
demokrasi kita masih jauh dari nilai di atas,
DPR sebagai pembentuk UU berkewajiban
pengalaman demokrasi kita belum menuju
menjaga makna hakiki pilkada serentak yang
demokrasi substansial, namun hanya sebatas
demokratis dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD
demokrasi prosedural yaitu ritual pencitraan
1945. Kewajiban serupa juga menjaga asas-
pemilu sekali lima tahun dalam memilih
asas pemilu yang bersifat langsung, umum,
pemimpin, padahal demokrasi tidak hanya
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Pasal 22E
sekedar prosedural pemilihan (Zuhro, 2012).
Ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang No. 8
rule
citizenship.
Membangun
pemilu
Tahun 2015 merupakan revisi atas undang-
dibutuhkan nilai etika. Dengan berbagai teori
undang sebelumnya yakni Undang-Undang
yang kita miliki dan pengalaman perpolitikan
Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan
di Indonesia selama ini dapat kita gunakan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
untuk
dengan
Undang Nomor 1 Tahun 2014 perihal
menggunakan prinsip nilai yang kita yakini
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
bersama. Kekuasaan tanpa etika akan menjadi
menjadi Undang-Undang. Namun tetap saja
lemah karena tidak ada legitimasi, maka
masih terdapat kelemahan dalam Undang-
membangun
sistem
demokrasi
Undang Nomor 8 Tahun 2015. Produk
207
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
undang-undang di atas masih meninggalkan
permasalahan pemilu. Tahapan pendekatan
beberapa
penulisan
persoalan
mendasar.
Dalam
dalam
penelitian
dengan
praktiknya banyak ditemukan kelemahan dan
menggambarkan dan menganalisis secara
kekurangan.
mendalam terhadap objek yang diteliti, dan
Materi UU Nomor 1 Tahun 2015
melakukan kajian analisa yang mendalam
mengandung banyak masalah, baik dari sisi
terkait evaluasi pelaksanaan pilkada serentak
redaksional, sistematika maupun substansi.
di tahun 2015.
Jika dilihat dari pengaturan aktor, sistem pemilihan,
manajemen
pelaksanaan
dan
Sumber
sekunder
diperoleh
dari
atau
tahapan
kajian pustaka yakni kumpulan buku, jurnal,
penegakan
hukum,
artikel,
majalah
dan
laporan
penelitian.
kekurangan dan kelemahannya semakin nyata.
Pendekatan ini dipilih karena lebih mampu
Maka wajar saja muatan Undang-Undang
menemukan
Nomor 8 Tahun 2015 yang cikal bakalnya
realitas di lapangan dengan teori. Untuk
dari UU No. 1 Tahun 2015 mengandung
menjawab dan menyimpulkan pemecahan
banyak kelemahan dan kekurangan baik dari
permasalahan penelitian dilakukan dengan
segi sistematika maupun substansi, maka
langkah-langkah
undang-undang tersebut mesti direvisi. 118
penyusunan data yang diperoleh dari sumber-
Fokus tulisan ini adalah membahas
fakta
dalam
melihat
pengumpulan
antara
dan
sumber dokumentasi dan studi literatur.
evaluasi pelaksanaan pilkada serentak tahap pertama tahun 2015. Hasil evaluasi ini dapat
PEMBAHASAN
menjadi catatan untuk perbaikan kualitas
Pemilu
serentak
secara
(concurrent
pelaksanaan pilkada serentak pada masa yang
elections)
sederhana
dapat
akan datang.
didefinisikan sebagai sistem pemilu yang melangsungkan beberapa pemilihan pada satu
METODE
waktu
Penelitian ini menggunakan metode
secara
pemilihan
bersamaan.
tersebut
mencakup
Jenis-jenis pemilihan
kualitatif dengan sumber data primer dan
eksekutif dan legislatif di beragam tingkat,
sekunder. Sumber primer diperoleh melalui
yang terentang dari tingkat nasional, regional
wawancara. Sumber informan adalah peneliti
hingga pemilihan di tingkat lokal. Di negara-
Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi
negara anggota Uni Eropa, pemilu serentak
(Perludem). Parameter pemilihan narasumber
termasuk menyelenggarakan pemilu untuk
yaitu:
tingkat
memahami
dan
menguasai
118
Pandangan terkait dengan kekurangan dan kritik terhadap UU Pilkada misalnya dapat dilacak dari laporan kajian Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Revisi Undang-Undang Pilkada. (2015). Menuju Pilkada Serentak Nasional 2021. Jakarta: Perludem
208
supra-nasional,
yakni
pemilihan
anggota parlemen Eropa secara bersamaan dengan pemilu nasional, regional atau lokal (Mattila, 2003).
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Di
sinilah
tesis
Shugart
tentang
Secara
umum,
untuk
konteks
bekerjanya sistem pemilu dalam membentuk
Indonesia dengan mendasarkan pada varian
pemerintahan
sistem
secara empirik maupun hipotetis, terdapat
119
setidaknya enam model pemilu serentak yang
Menurut Shugart, jika waktu penyelenggaraan
bisa diterapkan. Pertama, pemilu serentak
pemilu presiden diserentakkan (simultan)
sekaligus serentak, satu kali dalam lima tahun,
dengan pemilu legislatif akan menimbulkan
untuk semua posisi publik di tingkat nasional
coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan presiden
hingga kabupaten/kota. Pemilu ini meliputi
akan mempengaruhi (hasil) pemilihan anggota
pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD
legislatif. Artinya, pemilih akan memilih
Provinsi dan DPRD Kab/Kota), pemilihan
presiden sekaligus parpol (koalisi parpol)
presiden, serta pilkada. Ini seringkali disebut
pendukung presiden (Lijphart, 1994).
dengan pemilihan tujuh kotak atau pemilu
efektif
dalam
presidensial, perlu mendapat perhatian.
Beragam penyelenggaraan
faktor
Kedua, pemilu serentak hanya untuk
terdapat beberapa varian yang sebagian sudah
seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah)
diterapkan dan beberapa lagi masih sifatnya
dan kemudian disusul dengan pemilu serentak
hipotetis. Sistem pemilu serentak sudah
untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah).
diterapkan di banyak negara demokrasi.
Dalam model clustered concurrent election
Sistem ini ditemukan tidak hanya di negara-
ini, pemilu untuk DPR, DPD, DPRD Propinsi
negara yang telah lama menerapkan sistem
dan DPRD Kab/Kota dilaksanakan seperti
demokrasi
selama
negara-negara
di
serentak,
borongan.
maka
seperti
pemilu
mempengaruhi
Amerika kawasan
Serikat Eropa
dan Barat,
ini
dilakukan
sesuai
waktunya, dan kemudian diikuti pemilu
melainkan juga ditemukan di banyak negara
presiden,
demokrasi yang relatif lebih muda seperti
beberapa bulan kemudian.
negara-negara demokrasi di kawasan Amerika Latin, dan Eropa Timur.120
bersamaan
gubernur
Ketiga, pemilu
sela
dan
pemilu
bupati/walikota serentak
berdasarkan
dengan tingkatan
pemerintahan, di mana dibedakan waktunya
119
Tesis Shugart ini ternyata berlaku di Brazil setelah mereka melakukan perubahan jadwal pemilu, yaitu dengan menyerentakkan waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pasca jatuhnya rezim militer pada 1984 dan jatuhnya presiden terpilih pertama oleh Senat dan DPR, Brazil kemudian mampu menjaga stabilitas politik sekaligus menciptakan pemerintahan efektif sehingga satu dekade kemudian Brazil menjadi raksasa ekonomi dunia. 120 Samuels, D. Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil,” dalam Comparative Political Studies 33 (1): 1-20.
untuk
pemilu
nasional
dan
pemilu
daerah/lokal (concurrent election withmidterm election). Dalam model ini pemilu anggota
DPR
pelaksanaannya Sementara
dan dengan
pemilu
DPD pemilu DPRD
bersamaan presiden. provinsi,
kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan
209
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
pemilihan gubernur dan bupati/walikota, dua
pemerintah, serta partai politik dapat selalu
atau tiga tahun setelah pemilu nasional.
dievaluasi secara tahunan oleh pemilih.
Keempat, pemilu serentak tingkat
Keenam,
pemilu
serentak
yang
kemudian
nasional dan tingkat lokal yang dibedakan
tingkat
waktunya secara interval (concurrent election
dengan pemilu serentak di masing-masing
with regional-based concurrent elections).
provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau
Dalam model ini, pemilihan presiden dan
siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi
pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD
tersebut. Dengan model concurrent election
dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian
with flexible concurrent local elections ini
pada tahun kedua diadakan pemilu serentak
maka pemilihan presiden dilakukan serentak
tingkat lokal untuk memilih DPRD Provinsi
dengan pemilihan legislatif untuk DPR dan
dan
pemilihan
DPD. Kemudian setelahnya tergantung dari
Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan
siklus maupun jadwal pemilu lokal yang telah
pengelompokan
wilayah
disepakati bersama diadakan pemilu serentak
kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus
tingkat lokal untuk memilih Gubernur, Bupati,
untuk wilayah Pulau Sumatera. Kemudian
dan Walikota serta memilih anggota DPRD
disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau
Provinsi
Jawa, dan tahun keempat untuk wilayah Bali
provinsi, dan kemudian diikuti dengan pemilu
dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk
serentak lokal yang sama di provinsi-provinsi
wilayah sisanya.
lainnya sehingga bisa jadi dalam setahun ada
Kabupaten/Kota region
serta atau
Kelima, adalah pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
nasional
adalah
dan
Kabupaten/Kota
diikuti
di
suatu
beberapa pemilu serentak lokal di sejumlah provinsi (Supriyanto, dkk, 2013).
Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian
Dengan
demikian,
mulai
dari
diikuti setelah selang waktu tertentu dengan
Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota
pemilu
satu
serta Anggota DPR, DPD, dan DPRD seluruh
provinsi. Dalam pemilu ini, pemilu serentak
Indonesia dipilih secara serentak melalui satu
tingkat
waktu
eksekutif lokal
Gubernur,
bersamaan
hanyalah
Bupati
untuk
memilih
umum
nasional.
Jika
pemilihan nasional yang bersifat total itu
bersamaan di suatu provinsi, dan jadwalnya
dipandang tidak realistis, maka tersedia
tergantung dari siklus pemilu lokal di masing-
pilihan
masing
dilakukannya
yang
Walikota
pemilihan
secara
provinsi
dan
untuk
telah
disepakati.
kedua,
yaitu
pemilihan
umum
dapat
diusulkan
yang
bertingkat.
Dengan model ini maka setiap tahun masing-
Pemilihan
dilakukan
dalam
tiga
masing partai akan selalu bekerja untuk
tingkatan yang masing-masing dimaksudkan
mendapatkan dukungan dari pemilih dan
untuk memilih pejabat eksekutif dan legislatif setempat, yaitu (i) pemilihan umum pusat
210
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
untuk
memilih
Anggota
DPR,
Presiden/Wakil dan
anggota
Presiden, DPD;
2021. Dengan demikian, masa jabatan mereka
(ii)
tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2017 akan
pemilihan umum provinsi untuk memilih
diikuti 5 provinsi, 51 kabupaten, dan 9 kota
Gubernur dan anggota DPRD Provinsi; dan
atau meliputi 11,9% daerah di Indonesia.
(iii) pemilihan umum kabupaten/kota untuk memilih
Bupati
dan
anggota
DPRD
Pilkada serentak tahap tiga pada Juni 2018 diperuntukkan bagi daerah yang akhir
Kabupaten serta Walikota dan anggota DPRD
masa
jabatan
kepala
daerahnya
jatuh
Kota, yang dilakukan serentak di tingkat
sepanjang September 2017 hingga Desember
pemerintahan masing-masing sesuai dengan
2019. Masa jabatan pasangan calon terpilih
jadwal kenegaraan yang ditetapkan.121
akan berakhir pada Agustus 2021, di mana
Berdasarkan Pasal 201 ayat (1) UU
mereka akan melanjutkan atau diganti oleh
No 1/2015, KPU menyelenggarakan pilkada
hasil pilkada serentak nasional pada Juni
serentak tahap pertama pada tanggal 9
2021. Dengan demikian, masa jabatan mereka
Desember 2015. Daerah yang mengikuti
tidak genap 5 tahun. Pilkada serentak Juni
pilkada serentak tahap pertama meliputi 9
2018 akan diikuti 20 provinsi, 128 kabupaten
provinsi, 237 Kabupaten dan 40 Kota. Jumlah
dan 49 kota yang meliputi 35,9% dari
total mencakup 286 daerah yang merupakan
keseluran daerah di Indonesia.
52,2% dari jumlah daerah provinsi dan
Ini kali pertama penyelenggaraan
kabupaten kota di seluruh Indonesia. Masa
pilkada
jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir
berlebihan bila disebut pilkada serentak
pada Agustus 2021, di mana mereka akan
terbanyak di dunia dalam kurun waktu satu
melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada
hari
122
serentak nasional pada Juni 2021.
serentak
yakni
di
286
memilih
daerah,
gubernur
tidak
dan
bupati/walikota secara langsung. Indonesia
Pilkada serentak tahap dua pada Juni
mesti berbangga dalam proses pencapaian dan
2017 diperuntukkan bagi daerah yang akhir
kemajuan demokrasi kita, walaupun di sana
masa jabatan kepala daerah yang jatuh
sini masih terdapat beberapa kekurangan.
sepanjang September 2016 hingga Agustus 2017. Masa jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana
EFISIENSI PILKADA SERENTAK Pilkada
serentak
seharusnya
bisa
mereka akan melanjutkan atau diganti oleh
menekan biaya penyelenggaraan pemilu yang
hasil pilkada serentak nasional pada Juni
selama ini boros. Kalau di telaah secara kritis,
desain pilkada serentak tahap pertama tahun
121
Asshiddiqie, Jimly . Pemilihan Umum Serentak dan Penguatan Sistem Pemerintahan. (Online). (http://www. jimly.com/makalah/namafile/173/PEMILIHAN_UMUM _SERENTAK.pdf diakses 2 April 2016) 122 Supriyanto, D. (2011). Menyederhanakan Waktu Pemilihan Umum: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah” tahun 2011.
2015 sebetulnya belum memenuhi unsur penghematan. Padahal dari awal salah satu yang menjadi latar belakang
dilaksanakan
211
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
pilkada serentak dalam rangka penghematan
atau
terhadap
penyelenggaraan pilkada”.123
penyelenggaraan
pilkada.
memanimilisir
biaya
Pandangan yang sama dinyatakan peneliti Perludem bahwa pilkada serentak tahap pertama
belum
mencerminkan
semangat
Maka
sesungguhnya
biaya
yang
paling besar dalam penyelenggaraan pemilu
efisiensi dan tetap saja boros dari segi
itu
adalah
anggaran
belanja
gaji
penggunaan anggaran penyelenggaraan.
penyelenggara. Kalau seandainya pilkada
“Segi efisensi pada pilkada tahap
gubernur, bupati/walikota dan DPRD provinsi
pertama belum bisa kita lihat, desain
dan
pilkada serentak itu masih berjarakan.
bersamaan
Misalnya di Jawa Barat ada delapan
penyelenggaranya
daerah yang melaksanakan pilkada
maka bisa dipastikan pilkada serentak berjalan
serentak
dibarengkan
efisien. Bisa kita bayangkan penghematannya,
bersamaan dengan pemilihan gubernur.
penyelenggara hanya mengeluarkan untuk
Kalau
penyelenggaraan
satu kali gaji saja dalam satu paket. Jadi
pemilihan gubernur berbeda dengan
pilkada serentak tahap pertama tahun 2015
waktu
masih belum efisien.
namun
tidak
waktu
penyelenggaraan
pemilihan
kabupaten/kota
bupati dan wali kota, maka biaya
dalam
dilaksanakan satu
hanya
waktu satu
secara dengan
kepanitian,
Hal sama juga disampaikan direktur
politiknya otomatis dua kali. Itu artinya,
eksekutif Perludem, Titi Anggraini,
gaji penyelenggara PPS, PPK tingkat
efisiensi dari pilkada serentak baru bisa
desa dan kecamatan akan di bayar dua
tercapai
kali.
menggelitik
pilkadanya serentak dilaksanakan mulai dari
penyelenggaraan
pemilihan gubernur, bupati atau walikota
pilkada serentak bisa efisien? Desain
dalam satu provinsi. Sebagai contoh, di
pilkada serentak yang efisien apabila
Provinsi Banten dari delapan kota/kabupaten
pemilihan gubernur, walikota, bupati,
hanya empat daerah yang menyelenggarakan
DPRD provinsi dan DPRD kab/kota
pilkada serentak. Kalau sekarang di Banten
dilaksanakan
atau
ada Tangerang Selatan, Serang, Cilegon, dan
hanya
Pandeglang yang penyelelenggaran pilkada
pemilihan bupati dan wali kota saja
jalan sendiri-sendiri dan ditambah lagi biaya
yang serentak, sementara pelaksanaan
dibebankan ke APBD, jadi tidak efisien.
pemilihan gubernurnya berbeda maka
Efisiensi itu bisa tercapai apabila pemilihan
Pertanyaan
bagaimana
berbarengan.
yang
agar
bersamaan Jadi,
kalau
tidak akan terlalu signifikan menekan
apabila
dalam
satu
bahwa provinsi,
123
Wawancara dengan Heroik Pratama (Peneliti Perludem Divisi Pilkada, 4 Februari 2016, Pukul 10.00 WIB, di Kantor Perludem Jalan Tebet Timur IV A, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
212
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
gubernur, bupati atau walikota bisa bersamaan
suara berlapis tidak efisien juga rentan terjadi
karena akan ada efisiensi dalam honor untuk
penyalahgunaan dan penyelewengan karena
penyelenggara dan efisiensi logistik pilkada.
lamanya
waktu
Efisiensi baru bisa terjadi seperti di Sumatera
Jenjang
rekapitualisi
Barat karena tahun ini ada pilkada provinsi
menunjukkan sinyal yang tidak efisien dan
dan
tidak transparan.
kabupaten/kota
kabupaten/kota, terkonfirmasi.
dilebih
maka
dari
efisiensi
10 dapat
124
akan
proses yang
rekapitulasi. berlama-lama
PARTISIPASI POLITIK Pemilu serentak sebetulnya punya
Jadi, salah satu indikator pilkada serentak
dan
efisien
waktu
Sebab masyarakat datang ke TPS cukup satu
penyelenggaraan gubernur, bupati, walikota
kali untuk memilih presiden, DPD, DPR,
adalah sama. Memang tidak mudah membuat
DPRD Provinsi dan DPRD kab/kota yang
pilkada
ada
dilaksanakan serentak, sehingga masyarakat
beberapa kepala daerah yang dipotong masa
tidak jenuh atau bosan datang berkali-kali ke
jabatannya, nanti akan ada resistensi dari
TPS. Walaupun dampak pemilu serentak dan
kepala daerah lainnya, dan pada akhirnya bisa
hubungannya
menjadi polemik.
pemilih tidak sebesar pengaruh penerapan
serentak,
Selain
konsekuensinya
desain
dengan
tingkat
partisipasi
penghematan
sistem wajib memilih (compulsory voting),
pemilu juga bisa dari mempersingkat jenjang
namun sejumlah bukti menunjukkan bahwa
proses rekapitulasi. UU No.8 Tahun 2015
ada korelasi pengaruh sistem pemilu serentak
memang sudah mengatur sedemikian rupa,
terhadap partisipasi pemilih lebih tinggi.125
rekapitulasi
itu,
apabila
korelasi meningkatkan partisipasi pemilih.
penghitungan
suara
secara
Fakta di beberapa pilkada serentak
berjenjang sesuai tingkatannya, dimulai di
tahap pertama tahun 2015, justru berbalik dari
tingkat panitia pemungutan suara (PPS),
situasi idealnya. Walaupun tidak secara
kemudian naik ke tingkat panitia pemilihan
kecamatan (PPK) lalu naik ketingkat KPU Kabupaten Kota, lalu naik ke tingkat KPU Provinsi, dan rekap secara nasional di KPU RI. Rekapitulasi pola berjenjang, misalnya dibawa ke desa di rekap oleh PPS kemudian dibawa ke kecamatan di rekap lagi oleh PPK, ini cenderung tidak efisien. Selain rekapitulasi
124
Anggraini, T. 16 November 2015. Efisiensi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 Belum Bisa Tercapai. (Online), (http://www.republika.co.id/berita/ nasional/pilkada/15/11/16/nxwawg335-efisiensi-pilkadaserentak-belum-tercapai, diakses 30 Maret 2016)
125 Penelitian Electoral Research Institute bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bentuk Position Paper dengan judul “Pemilu Nasional Serentak 2019”. Penelitian tersebut mengkaji pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Dalam model ini, pemilihan presiden dan pemilihan legislatif untuk DPR dan DPD dilakukan bersamaan waktunya. Kemudian pada tahun kedua diadakan pemilu serentak tingkat lokal untuk memilih DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota serta pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota berdasarkan pengelompokan region atau wilayah kepulauan tertentu. Misal tahun kedua khusus untuk wilayah Pulau sumatera. Kemudian disusul tahun ketiga untuk wilayah pulau Jawa, dan tahun keempat untuk wilayah Bali dan Kalimantan, dan tahun kelima untuk wilayah sisanya.
213
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
keseluruhan, namun tetap ada beberapa daerah
Politik uang
(money politics) baik
tingkat partisipasi pemilih rendah dalam
dalam pencalonan maupun pemungutan suara
penyelenggaraan pilkada serentak. Masih ada
masih banyak terjadi dalam pelaksanaan
daerah yang tingkat partisipasinya dibawah 50
pilkada serentak tahun 2015. Politik uang
persen. Salah satu penyebabnya adalah karena
adalah praktek destruktif (menyimpang) yang
kurang
merusak mutu demokrasi. Undang-undang
optimalnya
sosialisasi
penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya, akibat
pilkada
selama
ini
belum
mampu
aturan KPU yang memperketat pengunaan
meminimalisasi potensi politik uang.
alat peraga dalam rangka menghemat biaya
Salah satu dugaan bentuk kecurangan
pemilu, sehingga pilkada serentak tidak terlalu
money politics terjadi di delapan kabupaten
semarak
kota di Provinsi Maluku Utara (Malut).
apabila
dibandingkan
dengan
pilkada-pilkada sebelumnya. Pembiayaan
empat
Adanya 79 laporan yang diterima Badan atribut
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Malut
kampanye yang diatur KPU banyak dikritik
pasca pemungutan dan penghitungan suara
karena dianggap sebagai salah satu akar
pilkada
persoalan
partisipasi
menguatkan dugaan masih banyaknya politik
masyarakat (vote turn out) di pilkada serentak
uang.126 Di Bengkulu sebanyak 7 dari 13
2015. Selain itu, penurunan tingkat partisipasi
kasus dugaan money politics yang diterima
juga disebabkan oleh faktor lain seperti
Panwas Kabupaten Seluma, Bengkulu, selama
kejenuhan pemilih, tidak ada figur alternatif
pilkada
yang ditawarkan, hingga tidak memilih karena
Hukum
urusan teknis dan administratif.
(Gakkumdu) untuk diproses sesuai hukum
menurunnya
jenis
tingkat
serentak
dapat
9
Desember
diteruskan
Terpadu
ke
Pemilihan
2015
Penegakan Umum
Debat publik kurang optimal sebagai
yang berlaku. Sedangkan enam kasus lagi
panggung membentuk opini publik untuk
tidak dapat diproses atau diteruskan oleh
memperkenalkan kandidat ke pemilih dalam
Panwas ke Gakkumdu setempat, karena tidak
hal menguji kualitas gagasan, visi-misi, narasi
memenuhi syarat pidana umum.127
kepemimpinan sampai dengan program yang
Kasus di Kabupaten Karo misalnya,
ditawarkan. Realitasnya selama ini debat
seorang
pelaku money
publik hanya sebatas ritualisme politik belaka
Panitia
Pengawas
namun tidak mampu membangkitkan animo
masyarakat
untuk
datang
ke
Pemilihan Suara (TPS). MAHAR DAN POLITIK UANG
214
Tempat
126
politics diamankan
Pemilu
(Panwaslu)
Bawaslu. 14 Desember 2015. Bawaslu Malut Terima 79 Laporan Dugaan Money Politic. (Online), (http://www.jpnn.com/read/2015/12/14/344509/Bawaslu -Malut-Terima-79-Laporan-Dugaan-Money-Politic-, diakses 4 April 2016) 127 Panwas. 18 Desember 2015. 7 kasus dugaan politik uang pilkada seluma diproses gakkumdu. (Online), (http://www.beritasatu.com/nasional/333138-7-kasusdugaan-politik-uang-pilkada-seluma-diprosesgakkumdu.html, diakses 2 April 2016)
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Kecamatan Dolat Rakyat, Sumatera Utara,
aktor dan oknum pelaku politik uang, di mana
oknom tertangkap membagikan uang senilai
penyelenggara pilkada bisa men-diskualifikasi
Rp150
pasangan calon dan partai politik pengusul
ribu
kepada
masyarakat
guna
mendukung salah satu calon di Pilkada Serentak
2015
Kabupaten
Karo.
kehilangan hak mengajukan calon baru. 129
Pihak
Penyelenggara pilkada harus mampu
Panwaslu Kecamatan Dolat Rakyat menyita
mengantisipasi money politics baik waktu
barang bukti berupa data penerima uang yang
proses pencalonan maupun ketika masa
ditandatangani di atas materai Rp 6.000.
kampanye jauh sebelum pelaksanaan pilkada
Pelaku mengaku tidak mengetahui tentang
serentak. Di samping penyelenggara, ideal-
politik uang tersebut. Berdasarkan keterangan
nya praktek politik uang juga menjadi
pelaku yang diketahui bernama Heri Bangun,
tanggung jawab semua stake holder untuk
pembagian uang dilakukan atas perintah
mengawasinya. Kalau kita membaca aturan
seorang kawannya yang menyerahkan uang
dan regulasi, sudah banyak upaya dalam
Rp1,5 juta untuk dibagikan ke 10 orang
menekan perilaku politik uang dalam pilkada
supaya mendukung calon kepala daerah
serentak. Misalnya larangan mahar politik
nomor 4 atas nama Layari Sinukaban dan
dalam Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2015
wakilnya Ramlan Tarigan.
menyatakan bahwa partai politik/gabungan
Regulasi pelarangan praktik politik
partai politik dilarang menerima imbalan
uang dijelaskan secara tegas dan keras dalam
dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan
Pasal 47 Ayat (1) UU No 8 Tahun 2015
kepala daerah. Salah satu bentuk sangsi tegas
menyebutkan
bahwa “Partai Politik atau
bagi calon kepala daerah yang terbukti
gabungan Partai Politik dilarang menerima
memberi “mahar” kepada partai yakni akan
imbalan dalam bentuk apapun pada proses
di-diskualifikasi dan dilarang mencalonkan
pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur,
kembali pada pilkada periode berikutnya.
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Sedangkan, partai politik pengusung yang
Wakil Walikota”.128 Sangat jelas sanksi bagi
menerima setoran akan didenda 10 kali lipat
128
Dalam ketentuan Pasal 47 UU No. 8 Tahun 2015 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Ayat (1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Ayat (2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Ayat (3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (4) Setiap orang atau
dari dana yang diterima dari calon. Sanksi pidana terhadap pelaku politik uang mestinya bisa dipraktekkan, baik bagi penerima maupun pemberi. Namun realita di
lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. 129 Isra, Saldi. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada. Kompas, hlm.6.
215
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
lapangan politik uang masih tetap tinggi.
tidak relevan rekomendasi DPP terhadap
Kalau di telaah secara kritis,
kelemahan
pendaftaran calon karena wilayah kontestasi
Bawaslu pada pilkada serentak 2015 adalah
pilkada adalah di regional di Kabupaten/Kota
kesulitan memantau praktek politik uang,
maupun
kelemahan mencari bukti-bukti otentik serta
pertarungan di daerah maka menjadi otoritas
kesulitan membuktikan praktek money politic.
penuh pengurus partai di daerah.
Provinsi.
Karena
ini
adalah
Politik uang tersering hanya bisa dirasakan
Tidak ada rekomendasi DPP dalam
namun terkadang sulit untuk dibuktikan.
mengusung calon dalam pilkada, melainkan
Dibutuhkan kerja keras yang luar biasa untuk
dalam undang-undang pilkada Pasal 42 ayat 4
menekan semaraknya politik uang. Sumber
dan ayat 6 menyebutkan pendaftaran calon
daya yang mumpuni serta teknologi yang
Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati
sangat cangih dibutuhkan untuk menjebak
dan Wakil Bupati, serta calon Walikota dan
pelaku politik uang yang telah merusak
Wakil
kualitas demokrasi.
gabungan parpol ditandatangani oleh para
Walikota
oleh
parpol
maupun
ketua parpol dan para sekretaris parpol di REKRUITMEN PENCALONAN KEPALA tingkat Provinsi atau para ketua parpol dan DAERAH
para
Penyelenggaran 2015
meninggalkan
pilkada banyak
serentak
sekretaris
parpol
Kabupaten/Kota
disertai
di surat
Tingkat keputusan
kelemahan.
masing-masing penggurus parpol di tingkat
Rekruitmen penjaringan bakal pasangan calon
pusat tentang persetujuan atas calon yang
kepala daerah jauh dari semangat terbuka dan
diusulkan oleh pengurus parpol di tingkat
transparan. Padahal dalam UU No. 8 Tahun
provinsi dan/atau pengurus parpol tingkat
2015 tentang Pilkada dan UU No 2 Tahun
kabupaten/kota.
2011 tentang Partai Politik, meng-amanahkan pilkada
serentak
demokratis
dan
dilaksanakan jujur.
direkomendasikan
kader
Walaupun terbaik
Kalau kita cermati dari UU Pilkada di
secara
atas bahwa betapa besarnya kewenangan yang
sudah
diberikan kepada pengurus partai di daerah
oleh
dalam mengajukan calon kepala daerah dan
pengurus partai daerah (DPD), namun kalau
pengurus
kemudian tidak memperoleh surat sakti atau
menyetujui pencalonan yang diusung parpol
rekomendasi dari pengurus pusat (DPP) maka
maupun parpol pendukung di daerah. Artinya
otomatis gagal mencalonkan diri menjadi
DPP
calon kepala daerah. Pengurus partai tingkat
namun
pusat
melalui
menentukan,
rekomendasi sementara
bukan
tingkat
pusat
memberikan
hanya
konteks DPP
yang
hanya
‘rekomendasi’ ‘menyetujui’.
DPP
sangat
Rekomendasi
pengurus
partai
disalahgunakan sebab salah satu determinan
tingkat daerah hanya formalitas. Sebetulnya
216
parpol
seringkali
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
yang menentukan seseorang menjadi calon
(APBN), tidak tepat menggunakan Anggaran
kepala daerah.
Pendapatan
Belanja
Daerah
(APBD).
DPP seringkali mengintervensi proses
Pengunaan APBD dalam penyelenggaraan
pencalonan kepala daerah yang awalnya
pilkada serentak memungkinkan terjadinya
terbuka dan transparan oleh pengurus partai di
”permainan” anggaran oleh kepala daerah dan
daerah, lalu di bajak oleh rekomendasi DPP,
DPRD karena berbeda kepentingan politik
inilah
musabab
sehingga berkemungkinan APBD terlambat
pencalonan kepala daerah menjadi tidak
disahkan. Ketika APBD terlambat disahkan
terbuka dan tidak demokratis, ujungnya
maka
memperluas wilayah titik sebaran perilaku
tahapan proses pilkada yang sudah disusun di
transaksional
dalam
beberapa
merekomendasikan pencalonan kepala daerah
nasional
yang mau diusung oleh partai politik.
serentak, lebih tepat dibebankan ke APBN
yang
menjadi
dan
sabab
pragmatisme
Jadi, kuatnya kendali DPP dalam menentukan
pasangan
calon
otomatis
mengganggu
daerah. seperti
Jadi,
rangkaian
agenda
strategis
penyelenggaraan
pilkada
bukan ke APBD.131
disebabkan
Sebuah
konsekuensi
logis
dana
adanya ketentuan dalam Pasal 42 UU No 8
pilkada yang dibebankan ke APBD bisa
Tahun 2015 yang menyatakan pengajuan
menggangu
calon harus disertai surat keputusan DPP.
pilkada serentak yang sudah disusun dan
Dengan adanya ketentuan ini, mayoritas yang
dijadwalkan. Pilkada di puluhan daerah
berminat menjadi calon cukup berupaya
berjalan
mencari jalan pintas mendapatkan surat
kelancaran tugas KPUD dan Bawaslu. Di
keputusan DPP. Namun perlu dipahami
beberapa daerah misalnya ada yang terkendala
bahwa kewenangan partai tingkat pusat hanya
pengajuan Nota Perjanjian Hibah Daerah
mengeluarkan surat keputusan DPP
dalam
(NPHD) yang disebabkan oleh beberapa
konteks menyetujui nama calon kepala daerah
faktor seperti tahun anggaran yang sudah
yang telah diusulkan oleh pengurus partai di
ketok palu, bertambahnya daerah yang ikut
daerah
pilkada,
bukan
memberikan
rekomendasi
terhadap pencalonan kepala daerah.
130
serangkaian
seret
sampai
kepentingan
dari
penyelenggaran DANA PILKADA DARI APBD? Dana
penyelenggaraan
Pendapatan
Belanja
sehingga
dengan
proses
mengganggu
adanya
konflik
kepala
daerah
terkait
pilkada
yang
ikut
berkontribusi menghambat proses pengajuan pilkada
bahkan pencairan dana.
serentak sebaiknya disediakan melalui pos Anggaran
tahapan
Negara
Belum lagi APBD sebesar delapan puluh persen tersedot untuk belanja rutin
130
Kompas. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada, hlm.6.
131
Djohan, Djohermansyah. 11 Februari 2016. Merancang Pilkada yang Berkualitas. Kompas, hlm.6.
217
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
pegawai negeri sipil seperti gaji pegawai dan
calon.
jauh lebih sedikit untuk
signifikan
pembangunan
Di
satu
pihak
mengurangi
memang jumlah
sangat gugatan,
infrastruktur di daerah. Pelaksanaan pilkada
sehingga putusan MK tidak kejar tayang
serentak dibebankan ke APBD, secara tidak
dalam setiap sidang sengketa pilkada. Di
langsung dapat mengganggu pembangunan
pihak lain, bagaimana kalau calon kepala
infrastruktur di daerah karena
daerah
APBD
di
daerah.
penyelenggara Bawaslu
Selain
pilkada
bersifat
itu,
yakni
nasional
minimnya lembaga
KPU
bukan
dan lokal.
tersebut
menang
dengan
penuh
kecurangan dengan selisih lebih 2%? Kalau MK
tidak sanggup dan merasa keberatan
menangani
banyaknya
berkas
gugatan
Bentangan emperis sebelumnya juga biaya
sengketa pilkada yang masuk ke MK, maka
penyelenggaraan pilkada serentak dibebankan
perlu segera diprioritaskan
ke APBN bukan ke APBD. Oleh karena itu,
badan peradilan khusus yang fokus mengawal
dana pelaksanaan pilkada serentak harus
peraturan
dikembalikan ke aturan sebelumnya.
bertentangan dengan payung konstitusi UUD
pembentukan
perundang-undangan
yang
1945. SENGKETA PILKADA
Syarat selisih 0,5 persen- 2 persen
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menolak
mengadili
sengketa
hasil
harus dicabut kembali regulasinya karena ini jelas tidak sesuai dengan azaz keadilan.
pilkada serentak jika selisih suara 2 persen
Logika
sederhananya,
tidak
apa-apa
lebih adalah putusan yang tidak tepat.
melakukan kecurangan dalam pilkada asalkan
Kebijakan tersebut memunculkan polemik,
selelisihnya lebih 2 persen, calon yang kalah
menuai protes
dan melukai rasa keadilan.
akan gagal mengajukan gugatan ke MK
Ketentuan syarat selisih suara bagi setiap
karena tidak memenuhi syarat. Bukan tidak
calon kepala daerah yang ingin mengajukan
mungkin banyak calon yang menang pilkada
permohonan sengketa ke MK ini termaktub
tahun 2015 melakukan kecurangan sistematis,
dalam Pasal 158 UU 8 Tahun 2015. Aturan ini
terstruktur dan masif sehingga selisih hasil
terkesan menafikan tujuan keadilan pemilu itu
suaranya jauh dari kontestan calon lain.
sendiri, yakni suatu proses sengketa hasil
Selanjutnya, penyelesaian sengketa
pemilu di MK bukanlah persoalan angka dan
proses pilkada di PT-TUN hendaknya diberi
hasil semata, tetapi juga harus memenuhi
batas waktu, seperti penyelesaian sengketa
keadilan materiil.
hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus
Untuk sengketa hasil yang diajukan
Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang
ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5
berujung pada kasasi di MA memakan waktu
persen sampai 2 persen agar kembali ditinjau
lama sehingga pilkada serentak di lima daerah
ulang, karena
gagal dilaksanakan.
218
melukai rasa keadilan bagi
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
adalah FENOMENA CALON TUNGGAL
satu
strategi
untuk
mencegah
munculnya calon tunggal. Dengan kembali
Putusan menetapkan PNS, TNI/Polri
pada aturan main lama maka hampir bisa
serta anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib
dipastikan PNS, TNI/Polri, anggota DPR,
mundur saat penetapan pasangan calon kepala
DPD, dan DPRD akan ramai maju sebagai
daerah. Konsekuensinya ada beberapa daerah
calon kepala daerah. 133
mempunyai calon tunggal, artinya peserta
Selain itu, fenomena munculnya calon
calon kepala daerah yang berlaga dalam pesta
tunggal pada kontestasi pilkada serentak tahun
demokrasi lokal (pilkada) hampir tidak ada
2015 adalah disebabkan tingginya ambang
pesaing karena calonnya tunggal, perebutan
batas dukungan parpol. Akibatnya parpol
kursi kepala daerah minim kandidat. Sebuah
diborong oleh kandidat kuat sehingga muncul
justifikasi logis ketika kalah dalam kontestasi
kasus daerah bercalon tunggal di beberapa
pilkada maka risiko
daerah.
besar menanti yakni
tidak bisa kembali pada posisi jebatan semula, ada ketakutan dan tidak mau bunuh diri politik
atau
berjudi
mempertaruhkan
jabatan status
dengan
Pilkada
serentak
telah
berupaya
PNS,
menyederhanakan waktu pemilihan gubernur,
anggota TNI/Polri, ataupun anggota Dewan
bupati dan wali kota secara bersamaan dalam
ketika wajib harus mundur walaupun masih
satu
calon kepala daerah dan belum ditetapkan.
demokrasi, dalam pengertian efisien dari sisi
Untuk
kehilangan
KESIMPULAN
meminimalisir
paket
dengan
semangat
efisiensi
munculnya
penggunaan anggaran dan efektif dari sisi
calon kepala daerah tunggal di beberapa
penyelenggaraannya. Namun pilkada serentak
daerah maka sebaiknya kembali pada regulasi
pertama tahun 2015 belum mampu mencapai
atau aturan main sebelumnya yakni penetapan
efisiensi anggaran. Begitu juga terkait pilkada
pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota
serentak yang dari awal diharapkan mampu
DPR, DPD, dan DPRD wajib mundur sejak
meningkatkan
ditetapkan
faktanya tingkat partisipasi masih rendah.
sebagai
pemenang
kepala
daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan pencalonan.
132
Ini
132
Menurut Djohermansyah Djohan, ambang batas perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, untuk meminimalisir terlalu menjamurnya calon kepala daerah, ada yang jumlah calonnya sampai 13 pasangan. Kalau kita cermati dengan UU Pilkada lama, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi 3-5 pasangan calon. Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan
partisipasi
pemilih
namun
Regulasi UU No. 8 Tahun 2015 belum mampu meminimalisir celah politik uang. Masih banyak laporan dugaan politik
sebaiknya tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalah pemberian sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut mengajukan calon pada pilkada serentak berikutnya. 133
Kompas. 11 Februari 2016. Merancang Pilkada yang Berkualitas, hlm.6.
219
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
uang pada pilkada serentak 2015. Selain itu,
banyaknya berkas
pelaksanaan pilkada serentak perlu di evaluasi
MK,
terutama terkait penjaringan calon kepala
peradilan khusus sengketa pilkada supaya MK
daerah yang dinilai masih belum terbuka dan
bisa fokus mengawal konstitusi.
demokratis. Surat rekomendasi DPP merusak semua
mekanisme
solusinya
harus
dibentuk
Pelaksanaan pilkada serentak tahun
rekruitmen
2015 memunculkan fenomena calon tunggal
pencalonan kepala daerah. Nama calon yang
di beberapa daerah. Untuk meminimalisir
diusulkan
daerah
munculnya calon tunggal sebaiknya kembali
seringkali patah di tengah jalan dan pada
pada aturan main sebelumnya yakni pasangan
akhirnya yang sangat menentukan adalah
calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR,
tetap rekomendasi DPP bukan pengurus partai
DPD,
di tingkat daerah. Sebuah anomali politik,
ditetapkan
bagaimana
daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan
oleh
tahapan
maka
gugatan yang masuk ke
pengurus
mungkin
partai
proses
rekruitmen
pencalonan bersifat terbuka dan demokratis sesuai
kehendak
amanat
UU
dan
DPRD
wajib
sebagai
mundur
pemenang
sejak kepala
saat penetapan pasangan pencalonan.
Pilkada,
Penyelenggaraan
pemilihan
kepala
sementara pada waktu yang sama tumbuh
daerah serentak tahun 2015 meninggalkan
dengan
banyak
subur
praktek
persetujuan
catatan.
Dibutuhkan
perbaikan
rekomendasi dari pengurus partai tingkat
penyelenggaraan pilkada serentak dimulai
pusat yang justru sangat menentukan.
dengan merevisi Undang-Undang Nomor 8
Selanjutnya,
pelaksanaan
pilkada
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
serentak dibebankan ke APBD jelas tidak
Bupati, dan Wali Kota sehingga terwujudnya
tepat. Selama ini APBD sangat minim dalam
pilkada yang transparan, akuntabel, jujur dan
pembangunan infrastruktur dan lebih tersedot
demokratis.
untuk belanja rutin pegawai negeri sipil di daerah. Jangan sampai membebani daerah.
pemerintah pusat Begitu juga putusan
DAFTAR PUSTAKA Ma’riyah, Chusnul (2012), Menggugat Politik
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
Dinasti
mengadili sengketa hasil pilkada serentak jika
Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan.
selisih suara lebih dari dua persen. Kebijakan
Edisi: 36 Th 2012.
ini perlu ditinjau ulang kembali karena
Koalisi
Dalam
Masyarakat
Pemerintahan
Sipil
Untuk
melukai rasa keadilan, bagaimana kalau
Undang-Undang
selisih suara besar namun penuh dengan
Menuju Pilkada Serentak Nasional
kecurangan? Substansi pelaksanaan pilkada
2021. Jakarta: Perludem
serentak adalah demokrasi subtansial yang berkualitas. Kalau MK tidak siap menerima
220
Pilkada
Revisi (2015),
Supriyanto, D. (2011), Menyederhanakan Waktu
Pemilihan
Umum:
Pemilu
Pangi Syarwi Chaniago/ Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Nasional dan Pemilu Daerah” tahun
Perilaku Masyarakat Dalam Menuju
2011.
Pembangunan
Maswadi Rauf (2014), Pengantar Buku: Pilkada
Langsung
Demokratisasi
Demokrasi
Di
Indonesia. Hasyim
Asyari
dan
Didik
Supriyanto.
Daerah dan Mitos Good Governance,
Menyederhanakan Waktu Pemilihan
Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Politik UI
Umum. Pemilu Nasional dan Pemilu
Bekerjasama
Daerah (2011), Jakarta: Kemitraan
Dengan
Partnership
Kemitraan.
Bagi Tata Pembaruan Pemerintahan.
Supriyanto, Didik. Khoirunnisa Agustyati,
Suparjana (2012), Qua Vadis Pemilihan
dan August Mellazt (2013), Menata
Kepala Daerah Secara Langsung,
Ulang
Menuju
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Politik
Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Dinasti dan Implikasinya Terhadap
Jakarta: Perludem.
Praktek Pemerintahan, Edisi: 36.
Jadwal
Pilkada:
Menurut Moch. Ma’ruf, Dikutip oleh Moh.
Aminuddin dan A. Zaini Bisri (2005), Pilkada
Alifuddin (2012), Panduan Praktis
Langsung
Perilaku
Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada
Demokratis,
Jakarta:
MagnaScript Publishing. Koalisi
Masyarakat
Sipil
Undang-Undang
Prospek
Untuk
Pilkada
Revisi
Asfar, Muhammad (2005), ’Sistem Pilkada
(2015),
Langsung:
Beberapa
Implikasi
2021. Jakarta: Perludem
Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.
Pilkada
Tantangan
dan
Prospeknya, Jurnal Perludem.
Harris,
Politik
Syamsuddin
Pendalaman Demokrasi, Jurnal Ilmu
Hoessein, Bhenyamin (1997), ’Tantangan
No 1.
Desentralisasi Elections,
Discordant Results: Presidentialism,
Tanggap Demokrasi
Lokal: dan
Efisiensi.’ Manajemen Pembangunan, No. 19/V. Marijan, Kacung (2006), Demokratisasi di
Brazil,” dalam Comparative Political
Daerah: Pelajaran Pilkada Secara
Studies 33 (1): 1-20.
Langsung, Surabaya: Pustaka Eureka.
Pilkada
Governance
dan
in
Lukum,
and
’Pilkada
1. Global
Federalism,
(2005),
Langsung dan Masa Depan Otonomi
Sosial dan Ilmu Politik, Volume 11, “Concurrent
Solusinya.’
Daerah.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No.
Cornelis Lay (2007), Pilkada Langsung dan
Samuels,
dan
Problem,
Menuju Pilkada Serentak Nasional
Lokal:
Roni
dan
2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zuhro, Siti (2012), Memahami Demokrasi
David
Problem
Langsung
Dan
Implikasinya Terhadap Perubahan
Isra, Saldi. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada. Kompas, hlm.6.
221
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 206-222
Kompas. 17 Maret 2016. Ihwal Revisi UU Pilkada, hlm.6.
seluma-diproses-gakkumdu.html,
Bawaslu. 14 Desember 2015. Bawaslu Malut Terima 79 Laporan Dugaan Money Politic.
(Online),
(http://www.jpnn
diakses 2 April 2016) Anggraini, T. 16 November 2015. Efisiensi penyelenggaraan
Pilkada
Serentak
.com/read/2015/12/14/344509/Bawasl
2015 Belum Bisa Tercapai. (Online),
u-Malut-Terima-79-Laporan-Dugaan-
http://www.republika.co.id/berita/nasi
Money-Politic-, diakses 4 April 2016)
onal/pilkada/15/11/16/nxwawg335-
Panwas. 18 Desember 2015. 7 kasus dugaan politik uang pilkada seluma diproses gakkumdu.
(Online),
(http://www.
beritasatu.com/nasional/333138-7-
222
kasus-dugaan-politik-uang-pilkada-
efisiensi-pilkada-serentak-belumtercapai, diakses 30 Maret 2016)