Politik Indonesia 1 (2) (2016) 143-162
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
PEMBIARAN PADA POTENSI KONFLIK DAN KONTESTASI SEMU PEMILUKADA KOTA BLITAR: ANALISIS INSTITUSIONALISME PILIHAN RASIONAL Moh. Fajar Shodiq Ramadlan 1
1*
, Tri Hendra Wahyudi
1
Universitas Brawijaya, Jawa Timur, Indonesia
Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima 31 Maret 2016 Disetujui 15 Juni 2016 Dipublikasikan 15 Juli 2016 Keywords: Local Election, Conflict Managemen, PseudoContestation, Avoiding
Abstrak Pemilukada serentak merupakan langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia. Melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilukada di banyak daerah yang berpotensi menimbulkan konflik dan kerusuhan, manajemen konflik diperlukan guna mengantisipasi potensi konflik. Artikel ini menjelaskan manajemen konflik pemilukada di Kota Blitar menggunakan pendekatan kelembagaan pilihan rasional, dengan asumsi bahwa lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu mempunyai kemampuan dalam manajemen konflik. Kota Blitar dipilih karena mempunyai aspek yang parikular dimana terdapat dua kandidat, yakni petahana dan perseorangan, tetapi dengan kontestasi yang bersifat semu. Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif eksploratif. Teknik penggalian data adalah dengan focus group discussion yang melibatkan lembagalembaga terkait pemilukada di Kota Blitar. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa meskipun institusi terkait pemilukada memahami potensi konflik, tetapi manajemen konflik yang dipilih adalah metode pembiaran.
OMMISSION ON CONFLICT POTENCY AND PSEUDO-CONTESTATION IN PEMILUKADA KOTA BLITAR (BLITAR REGIONAL ELECTION): THE ANALYSIS OF RATIONAL CHOICE INSTITUTIONALISM Abstract The simultaneous local election is the new step of democratization in Indonesia. Viewing an implementation about the local election in each district which have many of potential conflict and unrest, conflict managements required to anticipate a potential conflict. This paper will suggest to describe about conflict management of the local election in Blitar City using an rational choice institutionalism approach, assuming that institutions has a capacity to solve a problem of conflict management in the local election. Blitar city been selected because it has a particular aspect that the two candidates, namely by incumbent and independent, but the contestation is pseudo-contestation. This paper is the result of exploratory qualitative research. The techniques to explore data is use focus group discussion that involved an institutions related with Blitar local election. Belong this research, the institutions that related in the local elections understand a potential conflict, but the selected conflict management is avoiding method. *
© 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
Alamat korespondensi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Gedung Darsono Lantai 2, Jl. Veteran, Malang, 65145 Indonesia, Email:
[email protected], cc:
[email protected]
LATAR BELAKANG
(SNPK) Indonesia menunjukkan sejak tahun
Pemilukada langung serentak menjadi langkah
baru
dalam
demokratisasi
di
2005 hingga 2014, di seluruh wilayah Indonesia,
terjadi
2570
konflik
terkait
Indonesia. Setelah debat panjang di DPR
pemilihan dan jabatan, dalam berbagai bentuk
untuk
tetap
konflik dan tersebar di seluruh Indonesia. Dua
atau
tahun pertama penyelenggaraan Pemilukada
mengembalikan pemilihan kepala daerah ke
(2005-2007), setidaknya terdapat 98 dari 323
DPRD, yang salah satu pertimbangannya
daerah yang menyelenggarakan Pemilukada
adalah
dirundung
menentukan
diselenggarakan
pemilukada
besarnya
pemilukada,
apakah
biaya
Tak
kurang
dari
penyelenggaraan 21 Pemilukada berakhir
merupakan jalan tengah untuk tujuan jangka
bentrokan dan kerusuhan. (Kompas. 28 Juni
panjang untuk menciptakan pemilihan kepala
2013).
yang
lebih
pemilukada
persoalan.
serentak
daerah
maka
penyekenggaraan
efektif
dan
efisien.
Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5
Keputusan untuk melaksanakan pemilukada
(lima)
serentak memang baru disahkan pada tahun
menjelang, saat penyelenggaraan, maupun
2015, dan gelombang pertama pemilukada
pengumuman hasil Pemilukada. Pertama,
serentak akan dimulai pada bulan Desember
konflik yang bersumber dari mobilisasi politik
2015 di 271 daerah yang masa jabatan kepala
atas nama etnik, agama, daerah, dan darah.
daerahnya berakhir pada 2015 dan semester I-
Kedua,
2016. Gelombang kedua pemilukada diadakan
kampanye negatif antar pasangan calon kepala
pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang
daerah. Ketiga, konflik yang bersumberdari
akhir masa jabatan semester II-2016 dan
premanisme politik dan pemaksaan kehendak.
2017. Gelombang ketiga pemilukada diadakan
Keempat,
pada Juni 2018 untuk AMJ 2018 dan 2019.
manipulasi dan kecurangan penghitungan
Adapun
suara hasil Pemilukada. Kelima, konflik yang
pemilukada
serentak
nasional
disepakati diadakan pada 2027. Pengalaman pemilukada
konflik
yang
yang
potensial,
bersumber
bersumber
baik
dari
dari
bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap
penyelenggaraan
Indonesia
konflik
konflik
(Haris, 2005). Kelima sumber konflik tersebut
pengalaman konflik dan kerusuhan. Sejak
juga menjadi potensi konflik penyelenggaraan
diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005,
Pemilukada serentak di berbagai daerah.
tak
Dalam konteks tersebut, kebutuhan atas
dari
1.027
bukan
aturan main penyelenggaraan Pemilukada
tanpa
kurang
di
sumber
pemilukada
diselenggarakan di negeri ini. Tahun 2012,
kapasitas
mengelola
dilaksanakan 73 pemilukada (enam pemilihan
menjadi penting.
konflik
pemilukada
gubernur dan 67 pemilihan bupati/wali kota).
Kota Blitar merupakan salah satu
Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan
daerah yang menyelenggarakan pemilukada
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
pada Desember 2015. Pemilukada di Kota
calon
Blitar, diikuti oleh dua pasangan kandidat,
mensyaratkan
yakni calon incumbent Samanhudi Anwar–
populer, didukung oleh akar rumput, dan
Santoso,
mempunyai
yang
diusung
koalisi
Partai
perseorangan.
Calon
perseorangan
yang
benar-benar
calon
kemampuan mumpuni.
dan
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P),
keuangan
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai
kontestasi yang terjadi adalah kontestasi semu
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai
(pseude-contestation)
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golongan
yang
logistik
Gambaran
Karena
tersebut
itu,
menjadikan
Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat
kontestasi dalam pemilukada Kota Blitar
(Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), dan
relatif berintensitas rendah, atau tidak terjadi
Partai Demokrat. Calon petahana Samanhudi
kompetisi yang ketat. Banyak pihak, baik
Anwar
pemerintah,
adalah
Wali
Kota
Blitar,
yang
partai
politik,
penyelenggara
sebelumnya menggantikan Djarot Syaiful
pemilu bahkan masyarakat, berpersepsi bahwa
Hidayat yang kemudian menjabat sebagai
pemilukada Kota Blitar sudah dapat diprediksi
wakil gubernur DKI Jakarta. Sedangkan
siapa yang akan menjadi pemenang. Kondisi
wakilnya Santoso adalah mantan Sekretaris
ini juga menjadikan banyak stakeholder
Daerah Kota Blitar. Calon kedua adalah
menjelang dilaksanaknnya Pemilukada Kota
Muhsin-Dwi sebagai
Sumardiyanto,
kandidat
walikota
yang
maju
Blitar menilai bahwa Pemilukada Kota Blitar
dari
jalur
akan berlangsung minim konflik.
perseorangan.
Salah
seorang
kandidat
yang
Yang perlu dikritisi dalam konteks
diprediksi menjadi pemenang, Samanhudi,
pemilukada kota Blitar, sekaligus argumen
juga mengungkapkan bahwa Pemilukada kota
mengapa Kota Blitar dipilih sebagai obyek
Blitar akan berlangsung sangat kondusif.
penelitian
Bahkan nuansa permusuhan baik di tingkat
adalah,
(independent)
kandidat
perseorangan
sebenarnya
merupakan
pasangan
calon
“kandidat boneka” dari petahana (incumbent).
disebutnya
sama
Proses pendaftaran kandidat perseorangan
mengungkapkanbahwa setiap pagi ia sarapan
relatif sangat rapi, detail dan tanpa kendala
bersama
yang berarti, serta mencukupi persyaratan
menunjukkan bahwa Pemilukada Kota Blitar
untuk menjadi calon independen. Padahal,
merupakan kontestasi “semu”.
jika merujuk pada Undang-undang nomor
kontestasi semu inilah, menarik melihat model
8/2015 tentang Pemilihan Umum Kepala
manajemen konflik yang dipilih oleh berbagai
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, prasyarat
stakeholder di dalam pemilukada.
calon
independen
sangat
berat
dan
mempersulit aspek administratif pendaftaran
calon
Artikel bagaimana
maupun sekali lawan.
ini para
pendukung
tak
ada.
Fenomena
hendak
Ia ini
Dalam
menjelaskan
stakeholder
terkait
145
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
penyelenggaraan pemilukada di Kota Blitar
Hasil FGD ditranskrip, di-koding, ditabulasi
melihat
untuk kemudian dianalisis
potensi
konflik
yang
terjadi
menjelang pemilukada. Kedua, artikel ini hendak menjelaskan model yang digunakan
PENDEKATAN
INSTITUSIONALISME
dalam manajemen konflik dalam konteks
PILIHAN RASIONAL
kontestasi “semu” pada pemilukada di Kota
Akar ilmu politik adalah pada studi-
Blitar. Artikel ini memberi sumbangsih dalam
studi tentang lembaga, tentang kelembagaan
kajian
negara, birokrasi, kebijakan publik, yang
pengelolaan
konflik
pemilukada
terutama dalam pilihan-pilihan model yang
kesemuanya
digunakan oleh stakeholder di daerah dalam
kelembagaan. Tetapi pada periode pasca-
pelaksanaan Pemilukada melalui perspektik
Perang Dunia II, disiplin ilmu politik,
institusionalisme pilihan rasional.
terutama di Amerika Serikat, telah mengkritik studi
METODE
dilihat
tentang
dalam
kerangka
lembaga-lemabaga
tersebut
dengan berkembangnya dua pendekatan yang
Penelitian ini menggunakan teknik
lebih didasarkan pada asumsi individualistik:
Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi
behavioralisme dan pilihan rasional. Kedua
Kelompok Terarah dalam penggalian data.
pendekatan
Dalam teknik FGD, aktor atau kelompok yang
individu bertindak secara otonom sebagai
terkait, yang menjadi informan, di kumpulkan
individu, baik berdasarkan karakteristik sosio-
pada satu forum, untuk saling berinteraksi,
psikologis atau perhitungan rasional untung
berdiskusi,
atau
rugi oleh individu. Dalam kedua teori,
menguatkan tentang suatu persoalan atau
individu tidak dibatasi oleh baik lembaga
topik spesifik, dengan dipandu oleh fasilitator
formal maupun informal, tapi akan membuat
atau mediator (Somekh and Lewin, 2011: 2-
pilihan
15)
dipandang lebih determinan dalam proses-
dan
Teknik
saling
Faktor
individu
mempertemukan dan terjalin komunikasi intra
serta pada keputusan-keputusan politik (Peters
dan antar pihak terkait pemilukada Blitar,
1999, 25). Hal ini merupakan titik tolak dari
mulai penyelenggara pemilu, partai politik
perkembangan
hingga pemerintah. Melalui pertemuan pada
institutionalism”
satu forum, dapat diidentifikasi cara pandang
institusionalisme baru.
pemaknaan,
terhadap
penafsiran
karena
sendiri.
bahwa
proses berjalannya lembaga-lembaga negara,
berbeda
dipilih
mereka
mengasumsikan
dapat
yang
ini
membantah
ini
pemahaman,
suatu
pendekatan atau
“newpendekatan
Tahun 1980-an, perhatian terhadap
masalah,
lembaga formal dan non-formal pada sektor
berdasarkan latar belakang dan kepentingan.
publik dan bagaimana peran penting struktur, mulai
146
tumbuh
kembali.
Penjelasan
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
kelembagaan
digunakan
dalam
studi
Dalam
arikel
ini,
kami
menggunakan
kebijakan dan tata kelola pemerintahan, tetapi
pendekatan institusionalisme pilihan rasional
juga memperhatikan perilaku pada tingkat
dalam menjelaskan relasi kelembagaan dan
individu.
manajemen konflik dalam pemilukada.
Pendekatan
institusionalisme
baru
Institusionalisme
pilihan
rasional
mencerminkan banyak vitur dari versi lama
berawal dari studi tentang perilaku kongres di
dari
untuk
Amerika, dimana terdapat perbedaan yang
memahami politik, di samping, juga memberi
beragam dan tajam terhadap preferensi dan
kemajuan pada studi politik pada sejumlah
karekteristik legislator mengenai kebijakan.
teori dan analisis empiris. Sebagai contoh:
Tetapi meski terjadi perbedaan yang tajam,
“institusionalisme lama” sistem presidensial
kongres masih menunjukkan situasi yang
secara
cukup stabil. Fenomena ini memunculkan
pendekatan
signifikan
institusionalisme
berbeda
degan
sistem
parlementer berdasarkan struktur formal dan
pertanyaan
aturan. Pendekatan “institusionalisme baru”,
perbedaan yang tajam masih dapat berjalan
melihat lebih jauh dan mencoba untuk mecari
dengan stabil. Salah satu penjelasannya adalah
tahu apakah perbedaan-perbedaan tersebut
adanya transaksi atau tawar menawar di antara
benar-benar berbeda, dan jika demikian,
para
bagaimana mengatur kehidupan politik yang
kesepakatan
berbeda tersebut? Apakah perbedaan tersebut
Teradapat proses-proses politik berdasarkan
lantas juga menciptakan perbedaan dalam hal
pertimbangan
kinerja
menyelesaikan
pemerintah?
(Peters
1999,
25).
bagaimana
legislator
institusi
dalam
terhadap
dengan
perumusan kebijakan
untung
atau
tersebut.
rugi
untuk
masalah-masalah
bersama
Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, lebih
(Hall dan Taylor 1996, 9). Institusionalisme
jauh, juga merefleksikan bahwa pendekatan
pilihan
insitusionalisme baru juga melihat bagaimana
institusionalisasi dan relasi antar institusi
sebuah
lembaga-
sebagai mekanisme untuk menyelesaikan
lembaga tersebut direkayasa dan berintraksi
persoalan bersama melalui pertimbangan-
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
pertimbangan rasional dan untung rugi.
sistem,
struktur,
atau
tertentu.
rasional
melihat
proses
Dalam pandangan institusionalisme
Hall dan Taylor (1996, 9) membagi
pilihan rasional-seperti halnya teori pilihan
pendekatan institusionalisme baru ke dalam
rasional-manusia secara individual-yang juga
tiga kelompok teori, yaitu institusionalisme
merupakan representasi dar sebuah institusi-
historis
institutionalism),
dipandang sebagai individu rasional yang
institusionalisme pilihan rasional (rational
bertindak atas dorongan kepentingan rasional,
choice institutionalism) dan institusionalisme
didasari oleh perhitungan ekonomis, untung-
sosiologis
rugi, memaksimalkan keuntungan dan aksi-
(historical
(sociological
instituti¬onalism).
147
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
reaksi dari aktor lainnya. Asumsi mendasar
institusionalisme, termasuk analisis dalam
dari institusionalisme pilihan rasional adalah
perilaku koalisi, pengembangan lembaga-
bahwa individu adalah aktor sentral dalam
lemabga politik dan kajian tentang konflik
proses
orang-orang
(Hall dan Taylor 1996, 9). Dalam konteks
bertindak rasional untuk memaksimalkan
penelitian ini, pendekatan institusionalisme
utilitas pribadi. Salah satu mencapai tujuan
baru digunakan dalam melihat bagaimana
tersebut secara efektif adalah melalui tindakan
lembaga-lembaga berperan dan merespon
institusional,
juga
perubahan-perubahan yang menuntut peran
dibentuk oleh lembaga (Peters, 1991, 45).
mereka. Serta, bagaimana aktor-aktor dalam
Tindakan individu mempengaruhi lembaga,
lemabga, atau aktor-aktor yang merefleksikan
tetapi juga diatur oleh aturan-aturan dalam
lembaga, berfikir, dan berperan. Baik peran
lembaga. Karena itu, tindakan atau keputusan
yang diatur dan dibatasi oleh norma dan
lembaga, juga dapat merefleksikan tindakan
aturan, maupun peran yang lebih luas yang
individu.
tidak diatur dalam aturan-aturan formal.
politik,
dan
dan
bahwa
perilaku
Institusionalisme
mereka
pilihan
rasional
melihat keseimbangan institusional sebagai norma atau aturan – baik formal maupun informal
–
sebagai suatu situasi dimana dua pihak atau
Pendekatan ini melihat bahwa keadaan normal
lebih berusaha untuk mendapatkan sumber
politik adalah di mana aturan permainan yang
daya yang sama langka di sama waktu
stabil
memaksimalkan
(Wallensteen 2002, 16). Para sarjana sosial
keuntungan (biasanya keuntungan pribadi)
umumnya setuju bahwa lebih dari satu pihak
yang diberikan oleh
aturan-aturan tersebut.
agar sebagai prasyarat terjadinya konflik dan
Para aktor mempelajari aturan-aturan, strategi
faktor waktu dinilai penting. Penyebab utama
adaptasi dan dengan demikian melahirkan
adalah sumber daya yang langka. Sumber
keseimbangan
tidak
daya bukan sekedar soal sumber ekonomi di
semua aktor merasa senang atau diuntungkan
alam, tetapi juga berkaitan dengan orientasi
dengan struktur kelembagaan yang terbentuk,
ekonomi, keamanan manusia, lingkungan, isu-
tetapi yang menjadi tujuan adalah pada
isu sejarah, dll. Dalam konteks politik, jabatan
kondisi yang stabil. Setelah stabil, sangat sulit
atau posisi strategis dalam institusi politik,
untuk mengubah aturan karena tidak ada yang
juga dapat dilihat sebagai sumber daya yang
bisa memastikan hasil dari struktur yang
terbatas.
para
disepakati
Konflik secara umum didefinisikan
bersama.
dan
yang
KONFLIK PEMILUKADA
aktor
institusional.
Meski
terbentuk (Clarke and Foweraker, 2005; 572).
Simon Fisher (2000, 6) menyatakan
Ada beberapa fenomena yang menjadi
bahwa konflik merupakan keniscayaan, tak
perhatian para penganut pilihan rasional
terhindarkan dan kerap bersifat reatif. Konflik
148
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
dapat terjadi ketika tujuan masyarakat tidak
(keputusan
sejalan, berbagai pendapat dan konflik bisa
dipertentangkan dalam konflik politik berada
diselesaikan tanpa terjadi kekerasan. Dalam
pada tingkatan political (Urbaningrum 1999).
perspektif
hubungan
Masalah
yang
Fisher
Penjelasan di atas sejalan dengan
menjelaskan bahwa bahwa konflik disebabkan
konteks pemilukada serentak, yang secara
oleh terjadinya polarisasi sosial, serta kondisi
substansi adalah kompetisi dan konflik.
dimana tidak adanya saling rasa percaya
Terjadi
dalam masyarakat, yang akhirnya melahirkan
masyarakat dalam memperebutkan sumber
permusuhan diantara kelompok yang berbeda
daya yang terbatas, dan pada banyak kasus
dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab
melahirkan konflik vertikal dan horizontal.
konflik
Meski
dalam
masyarakat,
politik).
masyarakat
juga
dapat
polarisasi
kompetisi
di
antara
dan
kelompok
konflik
dalam
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar
pemilukada jika terkelola akan menjadi celah
manusia.
positif bagi perkembangan masyarakat, tetapi
Sejalan dengan Fisher, T.F. Hoult (dalam
Wiradi
2000)
menyebut
konflik
bukan proses yang mudah. Dibutuhkan kerjakerja
yang
signifikan
sosial
agar
dalam
mengelola
merupakan proses interaksi antara dua (atau
konflik
mengarah
pada
lebih) orang atau kelompok yang masing-
pengkondisian situasi positif dimasyarakat.
masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek
yang
sama,
yaitu
sumber
daya
MANAJEMEN KONFLIK PEMILUKADA
(dijelaskan tanah dan benda-benda lain yang
Dalam pandangan fungsional, konflik
berkaitan dengan tanah, seperti air dan
sebenarnya
perairan, tanaman, tambang, dan juga udara
konflik dapat dipahami sebagai rangkaian aksi
yang berada di atas tanah yang bersangkutan).
dan reaksi antara pelaku dan pihak luar dalam
Konflik yang terjadi dapat berupa konflik
konflik. Manajemen konflik mengacu pada
vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat
pendekatan untuk mengarahkan pada bentuk
dan
pusat,
komunikasi dan tingkah laku dari pelaku
pemerintah kota dan desa, serta konflik
maupun pihak luar dalam konflik bagaimana
horizontal yaitu konflik antar masyarakat.
mereka mempengaruhi kepentingan mereka.
swasta,
Konflik
antar
pemerintah
pemilukada,
merupakan
dapat
dikelola.
Manajemen
Manajemen konflik tidak hanya dipahami
konflik politik, dan konflik politik dapat
sebagai
digolongkan dalam konflik sosial, terjadi di
menganalisa agar konflik dapat dikontrol
antara anggota masyarakat sebagai akibat dari
tetapi juga dipahami sebagai gagasan, teori
adanya hubungan sosial yang cukup intensif.
dan metode untuk memahami konflik dan
Konflik politik berkaitan dengan penguasa
praktik kolektif untuk mengurangi potensi
politik
atau
keputusan
yang
upaya
mengenali
konflik
dan
dibuatnya
149
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
kekerasan dan meningkatkan harmonisasi
saling berkomunikasi secara terbuka,
dalam proses politik.
untuk mengatasi perbedaan secara
Selama ini, kritik yang berkembang
konstruktif
dan
berupaya
dalam manajemen konflik di banyak kasus
merumuskan solusi yang dapat saling
konflik sosial di Indonesia, model manajemen
diterima. Model ini mengharapkan
konflik cenderung dilakukan dengan cara
win-win
parsial dan dengan cara dibentuk sedemikian
pihak
rupa (ad hoc). Akibatnya kurang menyentuh
mengalami kerugian minimal.
jantung dan akar penyelesaian konflik jangka
solution, merasa
kepedulian
konflik dimulai dengan penghentian konflik
sendiri
melalui
terhadap
keamanan
(peace
koersif
oleh
keeping)
pihak
kemudian
semua
diuntungkan
atau
2. Obliging style: strategi ini terjadi jika
panjang. Di banyak kasus, penyelesaian cara-cara
dimana
tinggi.
terhadap
rendah
kepentingan
dan
kepentingan Gaya
ini
kepedulian orang
bersifat
menekankan
lain non-
dilanjutkan dengan penetapan serangkain
konfrontatif,
aturan termasuk sanksi bagi semua pihak agar
menjaga hubungan dengan orang lain
tidak mengulangi konflik (Suprapto 2013).
daripada
mengejar
untuk
hasil
untuk
Salah satu model manajemen konflik
kepentingan diri sendiri. Strategi ini
adalah dual concern model atau model
akan efektif dalam kondisi pihak yang
kepedulian ganda. Model ini merupakan salah
memiliki kepedulian adalah pihak
satu
yang kuat dan dominan.
model
manajemen
konflik
paling
sederhana, yang dikembangkan oleh Blake
3. Dominating
style:
strategi
ini
dan Mouton (1964) dan dikembangkan oleh
merupakan yang paling konfrontatif,
sarjana lain, salah satunya adalah Thomas
yang
(1976) dan Pruitt & Rubin (1986). Model ini
kepentingan
bertolak dari pertanyaan apakah seseorang
kepentingan orang lain. Manajemen
atau kelompok memiliki kepedulian terhadap
konflik menggunakan strategi ini
pihak lain dan apakah pemilihan strategi
ditandai dengan upaya atau taktik
menyelesaikan masalah akan efektif dalam
intimidatif,
situasi atau persoalan tertentu. Terdapat lima
untuk mengalahkan lawan.
lebih diri
mementingkan sendiri
ejekan,
dan
daripada
berfokus
strategi manajemen dan resolusi konflik
4. Avoiding style: strategi ini berarti
menurut model kepedulian ganda (Cai and
upaya menghindari atau membiarkan
Fink, 2002), yakni:
masalah. Strategi ini merupakan gaya
1. Integrating style: strategi manajemen
non-konfrontatif. Untuk jangka waktu
konflik ini ditandai dengan kesediaan
tertentu atau persoalan tertentu, cara
pihak-pihak yang berkonflik untuk
ini efektif, tetapi dapat menjadi
150
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
persoalan besar jika berakumulasi
EKSPLORASI PERSEPSI
menjadi persoalan yang lebihh besar
STAKEHOLDER TENTANG POTENSI
dalam waktu jangka panjang.
KONFLIK
5. Compromising
ini
Bagian ini akan mengulas bagaimana
yang
pemahaman, persepsi dan interpretasi masing-
berkonflik berupaya untuk mengejar
masing stakeholder atau actor/institusi yang
hasil yang dapat diterima bersama
peneliti libatkan dalam FGD tentang potensi
untuk mencapai hasul yang optimal.
konflik,
upaya
Cara ini efektif pada situasi yang
persepsi
mereka
tidak
yang
menjelang Pemilukada Kota Blitar. Melalui
terbatas, atau besarnya biaya jika
pemetaan persepsi soal potensi konflik, serta
konflik berlarut.
berkaitan dengan hambatan-hambatan yang
mencerminkan
ada
style:
gaya
pihak-pihak
tekanan,
waktu
mengelola tentang
konflik, kondisi
dan
politik
dirasakan oleh aktor atau institusi terkait Dalam artikel ini, upaya keempat, yakni avoiding style, yang akan diulas karena
Pemilukada kota Blitar. Secara
sederhana,
pemetaan
menjadi pilihan mengelola konflik oleh aktor
perspektif para stakeholder terkait potensi dan
dan institusi terkait Pemilukada Kota Blitar.
upaya mengelola konflik pemilukada di Kota Blitar dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perspektif Stakeholder tentang Manajemen dan Potensi Konflik Pemilukada di Kota Blitar Aktor/ Perspektif tentang Hambatan dalam Upaya yang Dapat Dilakukan Institusi Potensi Konflik Manajemen Konflik dalam Mengelola Konflik KPUD Terdapat Potensi Dalam undang-undang Pengelolaan konflik dapat konflik di tiap tahapan dan PKPU, diinisiasi oleh pemerintah dan kewenangan KPU partai politik atau DPRD. Bukan Kab/Kota terbatas oleh penyelenggara pemilukada urusan administratif, (KPUD/Panwaslu). sehingga KPUD tidak punya ruang dalam pencegahan/manageme n konflik. Panwaslu Terdapat Potensi Aturan tentang 1. Mengoptimalkan konflik di tiap tahapan wewenang dan tugas improvisasi divisi Panwaslu dinilai masih pencegahan dan hubungan belum komperehensif. antar lembaga yang ada Banyak kebutuhan pada Panwaslu untuk bertindak tidak 2. Revitaisasi peran mempunyai payung Penegakan Hukum hokum Terpadu (Gakkumdu) dalam pencegahan konflik. 3. Terjalinnya kerjasama antar lembaga pemerintah, apparat keamanan, partai politik dan Panwaslu (desk-Pemilukada)
151
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
Pemerintah (Bakesbangpo l-linmas)
Potensi konflik rendah. Pemilukada akan berlangsung aman dan kondusif.
Partai Politik pendukung incumbent
1.
Partai Politik (di luar koalisi pendukung incumbent)
LSM
Potensi konflik di akar rumput rendah, karena tidak ada polarisasi tegas antara pendukung calon walikota. 2. Ada potensi penundaan Pemilukada dengan cara ‘menggugurkan’ pasangan calon walikota dari jalur perseorangan/inde penden. Terdapat banyak potensi konflik 1. Banyaknya pelanggaran dalam pemilu yang diselesaikan dengan cara pembiaran 2. Kontestasi yang terbatas, yang didominasi oleh sebagian kecil elit dan partai politik 3. Politik yang makin transaksional di akar rumput (dalam pemilihan maupun saat pengumpulan dukungan calon perseorangan) Terdapat banyak konflik, dalam pertimbangan kondisi politik nasional yang dianggap pragmatis dan transaksional.
Tidak ada hambatan dalam manajemen konflik menjelang Pemilukada Kota Blitar 2015 Tidak ada hambatan dalam manajemen konflik menjelang Pemilukada Kota Blitar 2015
Tetap dibentuk ruang komunikasi antara stakeholder terkait pemilu atau Pemilukada
1.
Adanya aturan yang membelenggu kontestasi yang terbuka Adanya celah dalam aturan yang menjadikan banyak aktor berani untuk melakukan pelanggaran dalam pemilu
Mendorong pemerintah dalam menginisasi kegiatan yang meminimalisir konflik
Melihat banyak kelemahan baik pada institusi penyelengara, pemerintah dan keamanan dalam mengelola konflik
Mendorong stakeholder terkait untuk menciptakan kondisi politik yang kondusif, minim konflik, termasuk di antaranya soal politik transaksional, seperti politik uang
2.
Mendorong pemerintah dalam menginisasi kegiatan yang meminimalisir konflik
Diolah dar hasil FGD bersama stakeholder terkait Pemilukada Kota Blitar 2015.
152
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
Penyelenggara pemilu, yakni KPUD dan
Panwaslu
Kota
Blitar
dalam
hal
ruang
gerak
dirasakan
oleh
menyadari
Panwaslu dengan dikeluarkanya Peraturan
sepenuhnya dan bahkan khawatir, jika terjadi
Bawaslu No 7 Tahun 2015 yang menambah
persoalan terkait penyelenggaraan pemilu,
dan mengatur adanya divisi pencegahan dan
maka yang menjadi sasaran utama kesalahan
hubungan antar lembaga pada organisasi
adalah penyelenggara pemilu. Dalam konteks
Panwaslu.104
pra-pemilu, baik KPUD dan Panwaslu masih menyadari
bahwa
Pemilukada
tiap
mempunyai
tahapan potensi
dalam konflik.
Persepsi soal potensi konflik pilada oleh pemerintah Kota Blitar, justru berbeda dengan
persepsi
penyelenggara
pemilu.
Bahkan persoalan pada satu tahapan, akan
Persepsi bahwa penyelenggaraan Pemilukada
turut
selanjutnya.
di Kota Blitar akan berlangsung aman dan
Potensi konflik pada aspek yang mendasar,
tanpa konflik, lebih banyak diungkapan oleh
misalnya, persoalan Daftar Pemilih Tetap
pemerintah Kota Blitar (dalam hal ini, yang
(DPT), dapat menjadi alat mendelegitimasi
saat
proses penyelenggaraan pemilu. Tidak hanya
Bakesbangpollinmas). Persepi tersebut, selain
pada pelaksanaan pemungutan suara, tetapi
karena kontestasi dalam pemilukada Kota
juga pada penetapan pemenang Pemilukada.
Blitar tidak terlalu kompetitif, pemerintah
mengganggu
tahapan
itu
terlibat
dalam
FGD
adalah
Potensi konflik yang menurut KPUD
mengklaim Kota Blitar selama ini, baik secara
dan Panwaslu penting untuk dicermati adalah
sosial dan kultur, dirasa aman dan minim
pada penerimaan hasil pemilu. Tetapi dalam
konflik dalam penyelenggaraan pemilu apa
konteks pemilukada Kota Blitar, hasil pemilu
pun.
bukan
menjadi
masalah
Semua
Persepsi terhadap potensi konflik
stakeholder menyadari kandidat mana yang
yang lebih beragam justru disampaikan oleh
akan menjadi pemenang – seperti yang sudah
partai politik. Meski sebagian partai politik
dijelaskan
juga
pada
utama.
bagian
pendahuluan
sebelumnya.
menyadari
kandidat
mana
yang
mempunyai peluang menang paling besar –
Meski menyadari terdapat potensi di
bahkan sebagian di antara parpol di Kota
tiap tahapan pemilu, KPUD dan Panwaslu
Blitar
merasa bahwa ruang gerak mereka juga
Pemilukada Kota Blitar sudah dapat diketahui
terbatas karena mereka juga merupakan
sebelum pelaksanaan Pemilukada dimulai –
lembaga birokratis yang harus patuh terhadap
tetapi mereka menyadari bahwa terdapat
prosedur dan aturan. Hal ini yang menjadi hambatan mengambil
KPUD
dan
langkah
Panwaslu lebih
luas
dalam untuk
mengelola konflik. Salah satu perkembangan
mengungkapkan
bahwa
pemenang
104
Meski demikian, bagaimana pelaksanaan peran pada divisi pencegahan dan hubungan antar lemabaga pada Pemilukada Kota Blitar Desember 2015 lalu, belum dipahami dan diterapkan secara teknis dan spesifik, mengingat aturan bawaslu No. 7 Tahun 2015 merupakan aturan baru.
153
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
beberapa hal yang dapat menjadi potensi
pemerintahan
atau
konflik Pemilukada di Kota Blitar. Pandangan
penyelenggara
pemilu.
tersebut, tidak lepas karena partai politik
kecenderungan ini dianggap “lumrah” oleh
merupakan institusi yang di dalamnya berisi
partai
aktor-aktor yang terlibat langsung dengan
kelompok yang berkuasa berupaya untuk
politik di Kota Blitar dalam jangka waktu
menguasai seluruh instrument kekuasaan,
yang relatif lebih panjang, dibandingkan
termasuk pada aspek pemilu.
politik,
birokrasi, Meski
karena
serta
demikian,
kecenderungan
dengan aktor yang ada di KPUD, Panwaslu,
Persoalan yang sebenarnya menjadi
bakesbangpol dan kepolisian. Karena itu,
sorotan utama, terutama oleh partai politik di
sebagian pandangan mereka di satu sisi
Kota Blitar yang tidak sepenuhnya terlibat
merefleksikan kesadaran, pehamanan dan
dalam kontestasi Pemilukada Desember 2015,
pengalaman pemilu di masa lalu di Kota
adalah
Blitar, serta kemugkinan-kemungkinan yang
membuka peluang partisipasi dan kompetisi
terjadi pada pemilu mendatang.
yang lebih luas. Adanya aturan yang dirasa
soal
struktur
aturan
yang
tidak
Partai politik menilai, di beberapa
membelenggu oleh partai kecil di daerah,
momen pemilu di Kota Blitar, terdapat
karena kader dari partai mereka dipaksa
persoalan
penyelenggaraan
berkoalisi dengan kader dari partai lain. Selain
Pemilukada, tetapi partai politik melihat
itu, dalam konteks pemilukada Kota Blitar,
persoalan
dengan
struktur aturan yang mensyaratkan syarat
Persoalan
minimal, menjadi refleksi pandangan kritis
pembiaran tersebut terjadi karena model
partai politik terkait kondisi pemilukada di
politik yang lebih mengarah pada politik
Kota Blitar yang didominasi oleh partai dan
transaksional.
kandidat tertentu.
dalam tersebut
mekanisme
ditangani
“pembiaran”.
Beberapa
persoalan
tidak
dilakukan melalui jalur hukum, atau, beberapa pelanggaran
memang
sudah
dikalkulasi
implikasi hukum pada pelanggaran tersebut.
PEMBIARAN PADA POTENSI KONFLIK: SEBUAH PILIHAN RASIONAL
Fenomena ini, yang menurut partai politik
Konflik adalah hal yang inheren di
menjadi salah satu sebab pelanggaran dalam
dalam pemilukada, mengingat pemilukada
pemilu dilakukan melalui model pembiaran.
adalah
Partai penegakan
politik aturan
juga
mengeluhkan
dan
netralitas
ajang
kontestasi
politik
yang
melibatkan banyak anasir kepentingan di masyarakat.
Dengan
demikian,
alih-alih
penyelenggara pemilu. Partai politik melihat
menghindari konflik, yang terpenting adalah
terdapat kecenderungan pada kandidat dan
bagaimana
partai
dalam
penyelenggara Pemilukada agar memiliki
mengintervensi
kapasitas mumpuni ketika berhadapan dengan
politik
pemerintahan
154
yang untuk
dominan
menyiapkan
segenap
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
konflik, baik yang latent maupun ketika sudah
penyelenggara
bertransformasi faktual.
inisiator
pemecah
masalah
yang
Dalam
pemilukada,
penyelenggara
enggan
potensi
timbul
menjadi
masalah
dalam
dan
tahapan
dalam
menghadapi
mengapa
keterlibatan
Hal diatas juga diakui oleh Ketua
Kepolisian dan Pemerintah Daerah mutlak
Panwaslu Kota Blitar, diantaranya dalam
diperlukan. Mengingat, pertama, KPUD dan
kasus daftar pemilih perseorangan (DPS).
Panwaslu adalah dua badan ad hoc yang masa
Salah satu kasus adalah terkait beberapa
jabatannya
sehingga
pemilih purnawirawan TNI dan Polisi. Secara
keterlibatan dan pengalaman mereka dalam
normatif, semestinya Panwaslu menjadi pihak
situasi konfliktual pemilukada sebelumnya
yang mendorong para purnawirawan ini
relatif
penyelenggara
dipastikan namanya ada dalam DPS, melalui
pemilukada tidak dilengkapi dengan tupoksi
mekanisme rekomendasi. Tetapi panwaslu
yang berkaitan dengan deteksi potensi konflik,
lebih
pun ihwal otoritas pengelolaan konflik tidak
menurutnya proses perbaikan DPS masih
diatur dalam UU nomor 15/2011 tentang
cukup panjang dan masih banyak cara
Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan
kalaupun hingga finalisasi DPS nama-nama
demikian
purnawirawan tersebut belum masuk.
konflik,
diuji
sensitivitas
pemilu
itulah
sangat
minimal.
berbatas,
Kedua,
sensitivitas
serta
keterampilan
pemilukada.
memilih
wait
and
see,
karena
menggali informasi mencegah konflik, tidak
Institusi-institusi terkait pemilukada –
dimiliki penyelenggara Pemilu. Hal inilah
baik kontestastan dan penyelenggara – sudah
yang mengharuskan penyelenggara pemilu –
menerka,
dalam hal pengelolaan konflik - tidak bisa
bagaimana dan sejauh apa pelanggaran,
lepas dari peran kepolisian dan pemerintah
kecurangan atau cacat dalam prosedur tidak
daerah.
bertentangan dengan aspek hukum. Terdapat
berhitung
dan
memprediksi
Sebagian partai politik kecil di Kota
kesamaan cara berpikir antara penyelenggara
Blitar (yang oposisi dengan partai dominan)
pemilukada dengan partai dominan yang
melihat penyelenggara pemilu dan pemerintah
berpeluang besar memenangkan pemilukada,
daerah lebih nampak sebagai bagian dari aktor
yakni potensi konflik yang ada sebaiknya
yang melakukan pembiaran terhadap potensi
diabaikan saja, karena lambat laun akan
konflik daripada pihak yang semestinya
selesai dengan sendirinya. Namun demikian,
menjadi mediator. Parpol-parpol kecil (selain
di balik pengabaian konflik oleh partai
parpol
dominan,
adanya
pendukung
petahana)
indikasi
menengarai
ketidaknetralan
tersembunyi
sebenarnya yakni
ada
memudahkan
skenario agenda
penyelenggara pemilu, bukan soal adanya
proses pemilu dan pemenangan kandidat
dugaan
tertentu.
transaksional,
melainkan
155
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
Alasannya, semakin sedikit potensi
Strategi pembiaran konflik seperti
konflik yang masuk ke ranah penanganan
yang terjadi dalam pemilukada Kota Blitar,
KPUD/Panwaslu (misalnya; kasus DPT dan
sebenarnya bukan langkah dalam managemen
sengketa pencalonan walikota) maka potensi
konflik yang ideal. Bahwa kemudian model
gugatan yang masuk ke PTUN, sengketa
pembiaran ini menjadikan potensi konflik
proses di Bawaslu ataupun sengketa hasil di
reda dengan sendirinya, bukanlah sebuah
MK akan bisa diminimalisir. Jika sengketa
langkah
maju.
semacam
masalah,
pembiaran
itu
muncul,
penyelenggara
Alih-alih ini
menyelesaikan sejatinya
akan
Pemilukada (KPUD/Panwaslu) harus bekerja
menimbulkan masalah besar jika kekuatan
lebih ekstra; melakukan investigasi, membuat
politik antara penantang dengan petahana
klarifikasi, menyusun laporan dan keterangan
relatif setara. Dinamika konfliktual yang
tertulis, dan tindakan lain sebagai konsekuensi
berujung situasi ‘damai’ ini lebih disebabkan
hukum posisi mereka sebagai pihak teradu
oleh faktor lain di luar kendali penyelenggara
atau pihak terkait. Di sinilah titik temu
Pemilu, Pemerintah Daerah dan kepolisian.
simbiosis antara penyelenggara pemilukada
Diantaranya, (1) paragmatisme para aktor
dengan partai dominan dimungkinkan, sama-
politik di luar kubu petahana, sehingga
sama diuntungkan jika proses pemilukada
mendiamkan kecurangan-kecurangan politik
berjalan lancar. Kesamaan cara berpikir
adalah
demikian
lahirnya
rendahnya soliditas di antara partai politik di
konsensus dari para pihak yang punya
luar koalisi – yang dibangun PDIP Kota
berbagai kepentingan. Konsensus tersebut
Blitar,
bisa saja terwujud dengan atau tanpa proses
incumbent tidak mendapatkan perlawanan
yang transaksional.
yang berarti, (3) lemahnya posisi NGO
yang
memungkinkan
hal
yang
sehingga
dianggap
manuver
lumrah,
(2)
pencalonan
Di samping itu, dengan berlindung di
pemantau pemilu, sehingga laporan-laporan
balik kekosongan norma hukum, Panwaslu
perihal kecurangan pencalonan kepala daerah
bisa berada di zona nyaman tanpa harus
hanya menjadi dokumen internal lembaga,
mengambil
tidak berujung gugatan ke Panwaslu/KPUD.
tanggungjawab
pencegahan/
penyelesaian konflik. Posisi ini bagi mereka
Dari perspektif peserta pemilukada,
menjadi alasan, bahwa kesan ketidaknetralan
pembiaran
penyelenggara pemilu dalam kasus-kasus
penyelenggara pemilukada akan mendorong
yang
karena
aktor politik yang dominan memiliki skenario
penyelenggara pemilu berpihak, melainkan
sendiri dalam penyelesaian potensi konflik.
ketiadaan
konflik
Sehingga dinamika kepemiluan akan terpisah
membuat pilihan membiarkan konflik itu
menjadi dua aspek, yakni: pertama, aspek
menjadi pilihan yang benar dan taat asas.
normatif Pemilukada, yakni penyelenggaraan
156
berpotensi otoritas
konflik
bukan
menyelesaikan
konflik
yang
dilakukan
oleh
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
teknis tahapan Pemilukada mulai dari (1)
Skema
pemutakhiran DPT, (2) pendaftaran dan
kecenderungan
penetapan calon kepala daerah, (3) masa
managemen konflik yang dipilih oleh institusi
kampanye dan masa tenang, (4) distribusi
terkait
logistik,
dan
masing-masing insititusi akan diuntungkan
rekapitulasi hasil pemungutan, serta (6)
jika ujung konfliknya adalah jalan damai,
penetapan calon terpilih.
maka tiap istitusi cenderung memilih untuk
setiap
(5)
pemungutan
suara
tersebut pilihan
pemilukada
sikap
kota
dan
Blitar.
Karena
tidak
tahapan
terhadap yang institusi atau aktor lain. Relasi
tercakup
dalam
yang
tidak
tindakan
arah
Kedua, adalah penyelesaian konflik di pemilukada,
mengambil
menggambarkan
konfrontatif
kerangka
normatif
pemilukada,
sehingga
Contoh yang merefleksikan pilihan
masing-masing pihak mencari jalan keluar
pada sikap pembiaran misalnya, adalah pada
sendiri-sendiri.
kasus
penyelenggaraan
politik
dominan
Pada akhirnya kelompok yang
pencalonan
kandidat.
Berdasarkan
akan
penuturan beberapa pihak dalam wawancara,
menginisiasi skenario pengelolaan potensi
pengumpulan dukungan (berupa Kartu Tanda
konflik,
Penduduk/KTP) dari penduduk Kota Blitar
untuk
(parpol)
utilitarian sangat kental dalam kasus ini.
mendukung
lancarnya
pemenangan dalam pemilukada. Jika
digambarkan
dalam
bagi sebuah
pencalonan
muncul
dari
pasangan
kekhawatiran bagi
perseorangan, dan
kandidat
langkah
bagan, yang menunjukkan bagaimana relasi
antisipatif
petahana
antara masing-masing aktor dengan potensi
(Samanhudi) seandainya gagal mendapatkan
konflik yang ada dalam Pemilukada Kota
rekomendasi dan diusung oleh PDI-P.
Blitar, akan tampak pola seperti di bawah ini:
Gambar. 1 Pilihan Institusi dalam Managemen Konflik Pemilukada Kota Blitar
157
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
Hal ini tak lepas dari cerita di lapangan,
tandatangan yang terindikasi palsu). Demikian
bahwa penilaian DPP PDI-P yang menilai
halnya dengan Panwaslu, yang mempunyai
prestasi
Samanhudi
tugas dan kewenangan melakukan verifikasi
(2009-2014) tidak sebaik rezim sebelumnya
faktual keabsahan dukungan, yang – jika
(Djarot
terbukti tidak sah – bisa berdampak pada
pemerintahan Syaiful
rezim
Hidayat
2004-2009).
Kekhawatiran ini pada akhirnya tidak terbukti
perbaikan
dengan
rekomendasi
Namun rupanya, baik LSM pemantau Pemilu,
pencalonan (kembali) Samanhudi oleh DPP
Parpol oposisi maupun Panwaslu Kota Blitar
PDI-P.
memilih
keluarnya
surat
Langkah
pengumpulan
KTP
sebelumnya, menjadi skenario cadangan yang digunakan pasangan
untuk calon
mengantisipasi Walikota,
yang
untuk
membiarkan
pencalonan.
pencalonan
satu dapat
Kota Blitar hingga tahun 2017.
EWUH-PAKEWUH DAN PEMBIARAN Tindakan pembiaran pada potensi konfllik oleh institusi terkait Pemilukada Kota
Langkah pengumpulan KTP tersebut digunakan
pembatalan
pasangan independen berjalan mulus.
menyebabkan penundaan jadwal pemilukada
akhirnya
atau
untuk
Blitar menurut penulis bukan semata sikap
membuat
konsensus kolektif yang tiba-tiba muncul.
“calon/kandidat boneka’ sebagai penantang
Sikap tersebut berbasis pada pertimbangan
petahana dalam pemilukada Kota Blitar 2015.
untung rugi jika Pemilukada berjalan lancer,
Calon boneka ini didaftarkan ke KPUD
tanpa
dengan menggunakan dukungan KTP yang
ekuilibrium pada kontestasi. Bagan di atas
telah dikumpulkan sebelumnya oleh petahana.
mencoba menjelaskan hal tersebut secara
Dengan strategi ini, meskipun parpol lain
umum dimana, masing-masing institusi sadar,
tidak mengajukan calon walikota, pemilukada
jika
Kota Blitar tetap bisa digelar pada 9
pemilukada berlangsung, dapat memunculkan
Desember 2015 karena telah memenuhi
konsekuensi politik, sosial dan psikologis
kaidah hukum dengan menyertakan dua
yang menimpa mereka, baik secara individual
pasangan calon walikota.
maupun kelembagaan, misalnya disintegrasi
Jika partai lain di Kota Blitar –
sengketa
terjadi
dan
konflik
menemukan
(sengketa)
titik
selama
atau polarisasi dalam masyarakat, selama
terutama partai oposisi – bersikap kritis, ada
proses
kemungkinan
ketika kontestasi politik tersebut telah usai.
keabsahan
partai
calon
oposisi
menggugat
independen/perseorangan
pemilukada Bagan
di
berlangsung atas
linear
maupun dengan
yang diduga kuat sebagai calon ‘boneka’ dari
pendekatan institusionalisme pilihan rasional,
pasangan petahana. Misalnya,
yang
daftar
dukungan
kelengkapan
158
yang
administratif,
keungkinan
janggal materai,
melihat
sosok
manusia
sebagai
(tanpa
representasi institusi maupun kelompok sosial
atau
tertentu. Sehingga setiap tindakan mereka
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
harus dipandang sebagai tindakan rasional
berbeda dan konfrontatif dengan pihak lain
sebagai pemenuhan dorongan kepentingan
yang berbeda kepentingan dan pilihan politik.
dan
Sikap
memaksimalkan
institusi/kelompok
sosial
keuntungan yang
menaungi
ini
mendorong
sekelompok
orang
seseorang
memilih
diam
atau dan
mereka. Selain perihal ekonomi, keuntungan
membiarkan penyimpangan yang dilakukan
yang
ini
pihak lain, sepanjang masih dalam batas
menyangkut pula minimalisasi reaksi negative
toleransi, karena konfrontasi adalah pilihan
dari actor lain di luar institusi/kelompok
terakhir yang sebisa mungkin dihindari.
dimaksud
dalam
pengertian
individu bersangkutan.
Norma di atas, dalam pengamatan
Dalam kasus pemilukada Kota Bllitar,
penulis, beberapa kali dalam dialog intensif
prosedur pencalonan walikota dari jalur
yang terjadi selama proses FGD Pemilukada
perseorangan memiliki masalah tersendiri.
Kota Blitar. Meski setiap actor atau institusi
Tetapi, membiarkan persoalan di dalam
mampu
prosedur tersebut adalah pilihan rasional yang
potensi persoalan dari masing-masing tahapan
pada akhirnya dipilih – dan diterima – semua
Pemilukada – baik karena tindakan secara
pihak demi terhindar dari disintegrasi sosial.
sadar atau tidak sadar, misal karena kinerja
Stabilitas soasial dinilai lebih mahal jika
pihak lain yang tidak optimal, tetapi sikap
dibandingkan
yang dipilih adalah pembiaran. Sebagian
dengan
pengungkapan
mengidentifikasi
kelemahan
dan
penyimpangan selama proses pengumpulan
parpol oposisi yang hadir dalam
dukungan pasangan calon walikota dari jalur
menyebut terdapat upaya ‘main mata’ antara
perseorangan, yang berpotensi menimbulkan
petahana dengan pasangan calon walikota
konflik.
Dalam
institusionalisme
lain, dan indikasi upaya transaksional oleh
pilihan
rasional,
dan
kelompok
petahana ketika pengumpulan dukungan calon
melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks
perseorangan, yang diikuti pembiaran oleh
yang dibatasi secara kolektif, pembatasan-
KPUD dan Panwaslu. Pada akhirnya, pilihan
pembatasan tersebut terdiri dari institusi-
sikap mendiamkan, membiarkan dan ewuh
institusi, yaitu pola norma dan pola peran
pakewuh yang justru dipilih oleh parpol
yang telah berkembang dalam kehidupan
oposisi. Tujuannya adalah terciptanya titik
sosial
ekuilibrium dalam kehidupan sosial yang
dan
analisis aktor
perilaku
dari
mereka
yang
memengang peran itu. Dalam konteks pola norma yang
FGD
lebih besar, yakni situasi yang harmonis dan minim konflik.
membatasi institusi terkait pemilukada Kota Blitar adalah nilai dan norma ewuh pakewuh.
KESIMPULAN
Ewuh pakewuh dapat dipahami sebagai sikap
Dari beberapa uraian di atas, terdapat
tidak enak hati jika harus mengambil sikap
beberapa poin yang menjadi kesimpulan,
159
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
pertama, kontestasi politik dalam Pemilukada
manajemen
di Kota Blitar tahun 2015 bukan tanpa
membutuhkan desain kelembagaan yang di
persoalan. Ada beberapa potensi konflik di
antaranya berisi standar operasional dan
tiap tahapan Pemilukada, baik pada persiapan
interaksi
(terkait Daftar Pemilih Tetap, pendaftaran
kebutuhan terhadap manajemen konflik dalam
kanddiat,
logistik),
pemilu/Pemilukada, dibutuhkan karena aktor-
penyelenggaraan dan pasca pemilu. Hal
aktor pada institusi penyelenggara pemilu
tersebut dirasakan oleh penyelenggara pemilu
(pemerintahan dan keamanan) dapat berganti-
karena
ganti.
penyiapan
institusi
tanggungjawab Pemilukada
yang
dalam
Kota
mempunyai
penyelenggaraaan
Blitar.
dalam
kelembagaan.
pemilu,
Disamping
itu,
Ketiga, model manajemen konflik
situasi
pada Pemilukada di Kota Blitar lebih tepat
Pemilukada di Kota Blitar yang didominasi
disebut sebagai ‘model pembiaran’ oleh
oleh sebagian kecil elit dan partai politik
penyelenggara Pemilu, Pemerintah Daerah
pemenang
dan
Pemilu
Tetapi,
konflik
2014,
memunculkan
pihak
kepolisian.
Pembiaran
ini
persepsi bahwa Pemilukada di Kota Blitar
berlindung di bawah dalih; di satu sisi,
minim
terdapat
Pemerintah Daerah dan Kepolisian tidak
“konsensus” bersama di antara aktor politik.
memiliki kewenangan intervensi atas proses
Selain
pemenang
Pemilukada, sementara di sisi lain KPUD dan
Pemilukada sudah dapat diketahui bahkan
Panwaslu merasa tidak mendapatkan amanat
sebelum pemungutan suara dilakukan. Pada
dari Undang-undang untuk mengemban peran
akhirnya, meski terdapat pemungutan suara,
sebagai mediator/inisiator pengelola konflik.
tetapi kontestasi yang terjadi adalah kontestasi
Model pembiaran ini semakin meneguhkan
semu.
kesimpulan bahwa telah ada ‘konsensus’
konflik itu,
karena
persepsi
sudah bahwa
Kedua, persepsi soal konflik disadari
antara
actor-aktor
politik
yang
sedang
oleh banyak stakeholder terkait Pemilukada di
berkuasa. Sehingga yang terjadi adalah, partai
Kota Blitar, terutama oleh penyelenggara
politik dan elit berkuasa menjadi actor
pemilu dan partai politik. Tetapi persepsi yang
dominan pengendali konflik, dengan tujuan
terkonstruksi di antara para aktor adalah
memuluskan
bahwa potensi konflik dalam Pemilukada
mereka dalam Pemilukada Kota Blitar.
Kota
Blitar
2015
sangat
kecil.
strategi
pemenangan
calon
Untuk
kebutuhan jangka panjang, hal ini menjadikan
DAFTAR PUSTAKA
kota Blitar tidak mempunyai mekanisme
Antaranews.com. 2015. Petahana Samanhudi-
manajemen konflik yang baik, belum ada
Santoso Menangi Pilkada Kota Blitar.
early
konflik
Diakses di http://www.antaranews.
Pemilukada. Padahal, kebutuhan terhadap
com/berita/535443/petahana-samanhu
160
warning
system
tentang
Politik Indonesia 1 (1) (2016) 143-162
di-santoso-menangi-Pemilukada-kotablitar pada 27 Desember 2015.
Konflik Pilkada, Kompas tanggal 10
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Blake,
R.
and
Utama . J.
1964.
The
Managerial Grid 3: The Key to Leadership Exellence. Houston, TX: Gulf Publishing Co.
Peters, B. Guy. 1999. Institutional Theory in Sciene:
The
‘New
Institutionalism’. London and New York: Pinter. Pruit, G.Dean dan Rubin Z. Jeffrey. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta:
Cai, Deborah A. and Edward L. Fink, 2002. ”Conflict Style Differences Between and
Collectivists”
Communication Monographs, Vol. 69, No. 1, March 2002, pp 67–87 Copyright
Me 2005i. Political
Mouton,
Individualists
Haris, Syamsuddin, 2005, Mengelola Potensi
2002,
Pustaka Pelajar Somekh,
Bridget
and
Chaty
Lewin
(Ed.), Theory and Methods in Social Research. London: Sage. Suprapto.
2013.
“Revitalisasi
Nilai-Nilai
National
Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi
Communication Association. Diakses
Konflik”. Jurnal Walisongo. Vol 21,
di
No 1
www.galileoco.com/literature/Cai
Fink2002.pdf
pada
17
Desember
2015.
Tempo.co. 2015. Pemilukada Sepi, Dua Calon Wali Kota Blitar Menolak
Clarke, Barry Paul and John Foweraker. 2005.
Kampanye. Diakses di http://nasional.
Encyclopedia of Democratic Though.
tempo.co/read/news/2015/09/02/0586
London and New York: Routledge.
97350/Pemilukada-sepi-dua-calon-wa
Fisher, Simon., et.al, 2000. Mengelola Konflik Ketrampilan
dan
Strategi
Untuk
Bertindak, terj. S.N. Karikasari dkk., Jakarta:
The
British
Council
Responding to Conflict. 1996. “Political Science and the Three New Institutionalisms”, paper di
pada 1 November 2015 Thomas, K. W. 1976.” Conflict and conflict management”. dalam M. D. Dunnette (Ed.), Handbook in industrial and
Hall, Peter A. dan Rosemary C. R. Taylor.
dipresentasikan
li-kota-di-blitar-menolak-kampanye
the
organizational psychology. Chicago: Rand McNally. Urbaningrum, Anas. 1999. Ranjau-ranjau
MPIFG
Reformasi; Potret Konflik Politik
Advisory Board Meeting’s Public
Pasca Kejatuhan Soeharto, Jakarta:
Lecture, 9 Mei 1996.
PT Raja Grafindo Persada. Wallensteen,
Peter.
2002. Understanding
Conflict Resolution War, Peace and
161
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
The Global System. London: Sage Publishing Wiradi
G.
2000.
Reforma
Agraria:
Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press.
162