Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DAN TANTANGAN DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA Suyatno1, 2* 1 2
Universitas Kanjuruhan, Malang, Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima 12 Juni 2016 Disetujui 15 Juni 2016 Dipublikasikan 15 Juli 2016
Pilkada langsung pada akhirnya menggantikan pilkada tidak langsung didasari oleh semangat pemberdayaan masyarakat dalam berpartisipasi memilih kepala daerah secara lebih demokratis. Selain partisipasi terdapat unsur penting lainnya yang bisa menggambarkan berlangsungnya proses demokrasi lokal, yaitu responsivitas. Dua unsur tersebut dapat menentukan proses pilkada secara lebih substanstif daripada sekedar prosedur demokrasi lokal. Tulisan ini menggunakan metodologi kualitatif untuk menganalisa data partisipasi dan responsivitas pilkada sebagai variabel penting dalam demokrasi lokal. Partisipasi masyarakat dalam pilkada memang tidak setinggi partisipasi dalam pemilu di masa Orde Baru. Namun begitu partisipasinya bersifat substantif karena disertai penilaian terhadap kadar responsivitas pemimpin lokal. Petahana yang sukses menjalankan responsivitas lokal akan mendapatkan sukses lanjutan dalam wujud kemenangan pilkada berikutnya. Sebaliknya, petahana yang gagal dalam pelaksanaan responsivitas akan memperoleh kekalahan. Kemenangan dan kekalahan petahana dalam pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan partisipasi dan responsivitas menjadi amat penting dalam proses demokrasi lokal secara menyeluruh.
Keywords: Pilkada, Participation, Responsiveness, Local Democracy.
THE ELECTION OF THE HEAD OF DISTRICT (PILKADA) AND THE CHALLENGE OF LOCAL DEMOCRACY IN INDONESIA Abstract Direct local leader elections (Pilkada) had replaced indirect local elections. It based on the spirit of people empowerment to participate choosing local leaders more democratic. Responsiveness is an important element besides participation which represent local democracy. These two variables will decide the local elections that can enhance the quality of local democracy. This paper uses qualitative methodology to analyze the data of participation and responsiveness of Pilkada as an important variables in local democracy. People participation in Pilkada is not as high as the participation in New Order elections. Their participation are more substantive because accompanied assessment of the level of responsiveness of a local leader. Incumbent successful running of local responsiveness will get continued success as the next local elections victory. In contrast, incumbent who failed in the implementation of responsiveness will obtain defeat. Victory and defeat incumbent in the election can be stated that the relevance of participation and responsiveness become very important in the local democratic process as a whole.
*
Alamat korespondensi: Jl. Sudancho Supriyadi No.48 Malang 65148 Indonesia. Jl. Airlangga 4-6, Surabaya 60286 Indonesia. Email:
[email protected]
© 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
PENDAHULUAN
Pada
perjalanannya
mekanisme
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di
pilkada mengalami perubahan dari pemilihan
Indonesia merupakan amanah langsung dari
tidak langsung menjadi pemilihan langsung.
gerakan reformasi tahun 1998. Menimbang
Dinamika ini dilatar belakangi oleh berbagai
perlunya partisipasi yang kuat dari masyarakat
alasan seperti ‘perselingkuhan’ wakil rakyat
untuk ikut terlibat langsung dalam pemilihan
(DPRD) dengan calon Bupati/ Walikota/
pemimpinnya, maka pemilihan kepala daerah
Gubernur yang berimbas kepada korupsi
menjadi momentum demokrasi yang paling
politik dan akuntabilitas yang buram karena
penting dalam kehidupan berbangsa dan
persekongkolan
bernegara
wujud
transparansi tetapi justru menyemarakkan
pilkada
politik uang. Hal ini dimungkinkan karena
dimaksudkan tidak saja untuk memenuhi
DPRD lah yang memilih kepala daerah.
hasrat mengganti mekanisme lama pemilihan
Alasan tersebut menjadi puncak ketidak
pemimpin dan wakil rakyat gaya otoriterisme,
puasan terhadap pelaksanaan pilkada tidak
tetapi juga secara filosofis ingin menggapai
langsung. Dengan begitu terjadi perubahan
pelaksanaan
yang
dari UU No. 22/1999 digantikan dengan UU
mengembangkan
No. 32/2004 yang mengatur pilkada secara
Indonesia.
implementasi
Sebagai
demokrasi,
nilai-nilai
berkelanjutan, partisipasi
demokrasi
yaitu dan
responsivitas
serta
implementasi
masa
Orde
otoriterisme
meniadakan
Tulisan ini hendak membahas proses
Baru lebih
politik
langsung.
akuntabilitas secara menyeluruh. Pada
elit
praktis dominan
pilkada
sebagai
wujud
implementasi
demokrasi lokal yang sarat dengan gambaran
untuk memilih kepala daerah di wilayah
betapa
propinsi maupun kabupaten/kotamadya. Pola-
menjadi tolok ukur nyata demokrasi. Namun
pola
begitu
top
down
mendominasi
dan
politik
patrimonial Indonesia,
begitu
partisipasi seringkali
langsung sisi
masyarakat
tanggung
jawab
sehingga
pemimpin daerah yang terpilih kurang begitu
sangat wajar tuntutan reformasi yang paling
disoroti sehingga seolah-olah setelah pilkada,
esensial adalah mengganti praktek-praktek
proses
otoriterisme dengan mekanisme yang lebih
Padahal pesta demokrasi sejatinya tidak
demokratis, yaitu mekanisme pilkada. Hal ini
berhenti kepada titik pemilihan pemimpin saja
sesuai dengan UUD 1945, Pasal 18 ayat (4)
tetapi
yang menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati,
bentuk komitmen nyata pemimpin daerah
dan Walikota masing-masing sebagai kepala
yang
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
mensejahterakan rakyat yang kerap kali
kota dipilih secara demokratis.
diusung dalam janji kampanyenya. Inilah bentuk
224
demokrasi
lebih terpilih
sudah
subtstantif untuk
responsivitas
dianggap
usai.
mempertanyakan memenuhi
yang
hasrat
acapkali
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
menentukaan dinamika pilkada berikutnya,
peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah
yaitu petahana yang sukses menjalankan
(KPUD) di Kota Malang yang memiliki
program-programnya
peranan
kemenangan
dapat
dengan
telak
mendulang pada
pilkada
berikutnya.
penting
dalam
memperkuat
demokrasi lokal berkat peran krusialnya sebagai penyelenggara pilkada (Hijri, 2008).
Ada banyak tulisan tentang pilkada di Indonesia
dalam
ilmiah
ada yang membahas pilkada dan demokrasi
sebelumnya, tetapi yang khusus membahas
lokal dari sisi partisipasi dan responsivitas.
pilkada
belum
Oleh karena itu diharapkan tulisan ini mampu
banyak. Fitriyah (2011) lebih memfokuskan
mengisi kekosongan studi demokrasi lokal
diri kepada studi proses pilkada langsung
dan pilkada di Indonesia.
dengan
karya-karya
Dari rangkaian kajian literatur tersebut belum
demokrasi
lokal
yang diyakininya dapat memberikan ruang
Untuk lebih jauh membahas pilkada
kepada demokratisasi di Indonesia (Fitriyah,
dalam kaitannya dengan proses demokrasi
2011) Secara diametral pendapatnya berbeda
lokal, sebagai landasan pemahaman yang utuh
dengan
yang
maka penjelasan konseptualisasi menjadi asas
beragumen bahwa pilkada langsung justru
pembahasan pilkada dan demokrasi lokal.
tidak mendatangkan kesejahteraan rakyat
Penting
karena problem yang dihasilkan jauh dari
konsepsional karena diharapkan tulisan ini
unsur-unsur demokrasi. Pelaksanaan pilkada
dapat menganalisa pilkada dalam konteks
langsung juga dipertanyakan efektifitasnya
pelaksanaan demokrasi lokal secara lebih
oleh Iza Rumesten RS (2014), karena pada
argumentatif.
Sebagai
kenyataanya banyak melahirkan koruptor-
pembahasan
demokrasi
koruptor
kemukakan dibawah ini.
Retno
Saraswati
baru.
demokrasi Fatkhrohman
Studi
lokal
pilkada
juga
dengan
dibahas
untuk
mengemukakan
landasan
permulaan lokal
maka penulis
oleh
yang
menyoroti
langsung
sehingga
Memahami demokrasi lokal memang
memunculkan serangkaian korupsi yang pada
tak dapat memisahkan diri dari perbincangan
gilirannya
demokrasi
tentang kebijakan desentralisasi. Mengingat
(Fatkhurohman, 2010). Janpatar Simamora
kebijakan ini merupakan pintu awal bagi
(2011) lebih optimis melihat pilkada langsung
terciptanya demokrasi lokal. Bahkan sejumlah
sebagai proses pematangan demokrasi di
ilmuwan
tingkat daerah, kendati dalam pelaksanaannya
sesungguhnya dari desentralisasi tidak lain
banyak menimbulkan masalah (Simamora,
adalah menumbuhkan demokrasi lokal.134
kelemahan
(2010)
(2014)
pikada
memerosotkan
2011). Dalam kaitan dengan demokrasi lokal, Yana Syafriana Hijri (2008), membahas
DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA
meyakini
bahwa
tujuan
yang
134
Brian C. Smith, Decentralization: Territory Dimension of the State (London: MacMillan, 1985);
225
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Putnam.135
Dalam konteks ini salah satu bentuk kebijakan
oleh
desentralisasi
bagi
desentralisasi menumbuhkan partisipasi dan
adalah
tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi
kekuasaan,
demokratis warga telah melahirkan komitmen
kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya
warga yang luas maupun hubungan-hubungan
dari negara ke pemerintah lokal. Devolusi
horisontal:
juga sering disebut dengan desentralisasi
kerjasama, dan solidaritas yang membentuk
demokratis
decentralization),
apa yang disebut Putnam komunitas sipil
pengembangan
(civic community). Indikator-indikator civic
yang
kelangsungan devolusi,
yakni
sangat
demokrasi
yakni
sebagai
lokal
transfer
(democratic
penting
bentuk
Robert
hubungan sinergis antara pemerintah pusat
engagement
dengan
partisipasi
pemerintah
daerah
dan
antara
kepercayaan
--
Menurutnya
(trust),
solidaritas
massal
–
toleransi,
sosial
dapat
dan
berpengaruh
pemerintah daerah dengan warga masyarakat.
terhadap kinerja pembangunan sebagai contoh
Desentralisasi demokratis hendak mengelola
kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
kekuasaan
dan
kehidupan demokratis. Selama seperempat
mengimplementasikan kebijakan, perluasan
abad terakhir, desentralisasi politik di Itali
proses demokrasi pada level pemerintahan
telah secara luas mentransformasikan kultur
lokal, dan mengembangkan standar (ukuran)
politik
yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung
demokratis.
secara berkelanjutan (Manor, 1997). Adapun
regional,
kebijakan desentralisasi yang lain adalah
sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan
dekosentrasi,
dan
untuk
mengembangkan
yang
mengacu
pada
elite
dalam
suatu
Pembentukan yang
kontrol
arah
pemerintahan
kemudian
atas
yang
mendapatkan
sumber-sumber
daya,
penggeseran pembuatan keputusan (decision-
menghasilkan suatu tipe perpolitikan yang
making) dalam negara, dan delegasi tugas-
secara ideologis tidak terlalu terpolarisasi,
tugas tertentu sementara pemerintah pusat
lebih
masih
jawab
fleksibel dan suatu 'penerimaan mutual yang
keseluruhan. Sementara itu privatisasi adalah
lebih besar di antara hampir semua partai'.
merupakan bentuk desentralisasi yang paling
Secara
jauh jangkauannya (Freks dan Otto, 1996).
mengidentifikasi
menguasai
tanggung
Keyakinan bahwa desentralisasi akan
moderat,
toleran,
berangsur-angsur
pemerintahan
diri
lokal
dan
pragmatis,
lebih
warga
mulai
dengan
level
bahkan
lebih
menumbuhkan demokrasi lokal juga dianut
135
Dennis Rondinelli, "What is Decentralization?" Note prepared for the PREM Knowledge Management System, World Bank, Washington, DC, 1998; dan Larry Diamond, Developing Democracy (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1999), bab 4.
226
Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Moden Italy (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1993). Ide Putnam tentang civic community ini sangat dipengaruhi oleh aliran republikanisme dan pemikiran Tocqueville tentang kehidupan asosiasional sebagai basis demokrasi di Amerika Serikat. Lihat Alexis de Tocqueville, Democracy in America, ed. J.P. Mayer (Garden City, NY: Anchor Books, 1969
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
menghargainya
ketimbang
pemerintahan
nasional. detail
kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan
Kajian demokrasi lokal secara lebih
tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan
diberikan
tanggung
oleh
organisasi
non-
pemerintah global yatu International IDEA.
136
politik.
bersama-sama. Demokrasi
(3)
lokal
Pendidikan
akan
memberi
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang
fasilitas bagi proses pendidikan politik. Peran
penelitian
serta warga masyarakat memungkinkan setiap
dan
demokrasi,
advokasi
International
pemberadaayan banyak
individu memperoleh informasi mengenai
membantu memberikan analisa dan penjelasan
semua urusan dan masalah di masyarakat,
tentang
dengan
yang, jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat
menekankan kepada konspesi penting sebagai
terpilih atau para profesional pemerintahan di
berikut:
kantor walikota. Penduduk yang terdidik dan
demokrasi
(1)
IDEA
lokal
yaitu
Kewarganegaraan
memiliki
informasi
masyarakat. Peran serta masyarakat lokal
demokrasi
-yang
sesungguhnya adalah fondasi utama dalam
keputusan oleh rakyat- semakin mungkin dan
gagasan modern mengenai kewarganegaraan,
efektif.
sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada
mengurangi jurang pemisah antara para elite
beserta
pengambilan
politik
terwujudnya
Pemerintah yang baik dan kesejahteraan
praktik demokrasi yang lebih langsung,
sosial. John Stuart Mill dan para pendukung
dimana suara individu dapat didengar dengan
paham demokrasi partisipatoris di tingkat
lebih mudah. (2) Musyawarah. Demokrasi
lokal berpendapat bahwa membuka keran bagi
bukanlah semata berarti pemilu. Di dalamnya
kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan
terkandung
mendukung terciptanya pemerintahan yang
segala
keputusannya
proses
memungkinkan
unsur-unsur
penting
dan
seperti
Peran dan
dialog, debat, dan diskusi yang bermakna
baik
guna
kesejahteraan
yang
mencari solusi bagi segala masalah timbul
berarti
pengambilan
serta anggota
masyarakat
masyarakat.
mendukung sosial.
berarti
Artinya,
(4)
tercapainya demokrasi
cenderung meningkatkan hubungan yang baik
Perundingan atau musyawarah juga bukan
antarwarga, membangun masyarakat yang
sekadar mendengar dan menampung keluhan
mandiri dan memiliki semangat sosial (Sisk,
warga. Demokrasi berdasar musyawarah pasti
et al., 2002).
memberi
dialog dan
dalam
menciptakan
masyarakat.
melibatkan
di
serta
akan
yang
menerima
bersifat
saling
Kebijakan desentralisasi dan otonomi
antarkelompok-
daerah di Indonesia yang diawali dengan
136
International IDEA adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional yang menumpukan perhatian kepada penelitian bidang ilmu kemasyarakatan dan pemberdayaan demokrasi. Situsnya dapat dapat dilayari di : http:// www.idea.int.
dikeluarkannya UU No. 32/1999 dan direvisi dengan UU baru yaitu UU No.32/2004 adalah wujud
keseriusan
pemerintah
untuk
227
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
mengembangkan demokrasi pada level lokal.
dalam
Usaha ini tidak lain adalah wujud pemenuhan
masyarakat.
amanah
reformasi
hubungan
negara
dan
ingin
Sebagaimana diyakini bersama bahwa
luas.
filsafat demokrasi yang paling mendasar, yang
Semangatnya lebih tertuju kepada ingin
dipopulerkan oleh Abraham Lincoln, tidak
melepaskan diri dari bayang-bayang warisan
lain adalah “dari rakyat”, “oleh rakyat” dan
otoriterisme yang membelenggu partisipasi
“untuk rakyat”. Karena masih bersifat nlai-
dan pengembangan demokrasi di level lokal.
nilai falsafah maka hal ini memerlukan alat
mengembangkan
Uraian bahwa
yang
konteks
demokrasi
diatas
teorisasi
jelas
demokrasi
lebih
menunjukkan
yang sukses meletakkan filsafat tersebut agar
lokal
bisa
masih
dijalankan
lebih
nyata.
Suyatno
tergolong berserakan. Maka di bawah ini
menggunakan sistem politik “Easton” untuk
penulis
sebuah
menampung filsafat agar bisa dijalankan
membantu
dalam sebuah sistem politik. Terdiri dari tiga
menjelaskan teorisasi demokrasi lokal yang
bagian yang mampu menampung nilai-nilai
mencukupi.
akan
pemahaman
merangkaikan yang
dapat sebuah
disertasinya,
filsafat, yaitu input, proses dan output.
mencoba
memberikan
Melalui sistem ini dimana “input”, yang
alternatif penjelas dalam sebuah model yang
menerjemahkan nilai filsafat “dari rakyat”,
menggabungkan filsafat demokrasi, sistem
akan menghasilkan apa yang dinamakan
Suyatno
politik
Dalam
(2011)
“Easton”
137
dan
faktor-faktor
dengan keterwakilan dan partisipasi. “Proses”
implementasi demokrasi yang lebih terperinci.
yang menerjemahkan filsafat “oleh rakyat”,
Model ini oleh Suyatno disebut sebagai Model
akan menghasilkan institusi yang disebut
Implementasi Demokrasi, yang diharapkan
dengan
bisa memperjelas pelaksanaan demokrasi
kebertanggungjawaban. Sedangkan bagian
kemitraan,
transparansi
dan
“output”, yang menerjemahkan filsafat “untuk
137
David Easton, “An Approach to the Analysis of Poitical Systems”, dalam World Politics IX, No. 3 (April 1957). Easton mengusulkan suatu metode untuk menganalisis berbagai jenis sistem politik, yaitu dengan mengkaji sistem-sistem politik yang berdasarkan ciri-ciri utama: (1) kesatuan-kesatuan yang membentuk sistem itu dan luasnya batas-batas pengaruh sistem itu, (2) “input” dan “output” dari sistem yang tercermin dalam keputusan-keputusan yang dibuat (output) dan proses pembuatan keputusan (input) di dalam sistem tersebut, (3) jenis dan tingkat perbedaan (diferensiasi) dalam sistem tersebut, dan (4) tingkat integrasi sistem politik yang mencerminkan tingkat efisiensinya. Dengan menganalisis berbagai bagian ini, Easton menawarkan sebuah metode untuk memahami dan membandingkan berbagai sistem politik. Lihat Mochtar Mas’oed dan Collin McAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001).
228
rakyat”
akan
memunculkan
institusi
responsivitas (Suyatno, 2011). Untuk keperluan tulisan ini, penulis akan membatasi diri dengan menggunakan konsepsi partisipasi dan responsivitas dengan argumen bahwa pilkada memiliki pesan kuat untuk merefleksikan bentuk partisipasi warga dalam
memilih
pemimpinnya,
sehingga
menjadi wajar jika melihat proses pilkada begitu semarak dan gempita di berbagai daerah karena antusiasme pemilih begitu
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
besar. Sementara itu, kadar responsivitas
demikian,
menunjukkan betapa pentingnya fase setelah
penghubung antara negara dan masyarakat
pilkada bisa dapat dijadikan tolok ukur bagi
agar
berjalannya
melahirkan kesejahteraan manusia (human
demokrasi
lokal.
Beberapa
petahana sukses mendulang kemenangannya dalam
partisipasi
pengelolaan
adalah
jembatan
barang-barang
publik
well being) (Suyatno, 2011).
pilkada, sesungguhnya tidak lain
Dari
sudut
pandangan
negara,
ditentukan oleh salah satu faktor yaitu kadar
demokrasi mengajarkan bahawa partisipasi
responsivitas yang teruji dan terbukti selama
sangat
kepemimpinannya.
adalah
pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
terbatasnya ruang yang tersedia dalam tulisan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
kali ini untuk menggunakan konsepsi lain,
Tiadanya partisipasi hanya akan menabur
seperti keterwakilan, kemitraan, transparansi
pemerintahan
dan kebertanggungjawaban, untuk membahas
Sementara itu dari sisi masyarakat, partisipasi
pilkada dan demokrasi lokal. Oleh karena itu
adalah kunci pemberdayaan (empowerment).
pembahasan partisipasi akan menjadi diskusi
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas
yang menarik jika dikaitkan dengan pilkada
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan
yang dijalankan selama ini.
hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan
Alasan
lain
diperlukan
inisiatif
untuk
yang
lokal,
otoriter
membangun
dan
mengaktifkan
korup.
peranan
DEMOKRASI LOKAL DAN PARTISIPASI masyarakat serta membangun masyarakat Filsafat demokrasi “dari rakyat” jika
yang mandiri.
diletakkan dalam sistem politik Easton maka masuk
dalam
hubungan
tersebut, partisipasi meletakkan masyarakat
implementasinya akan melahirkan konsep
kepada posisi yang sebenarnya. Pertama,
partisipasi
Partisipasi
masyarakat bukanlah sebagai budak (client)
adalah persoalan hubungan kekuasaaan, atau
melainkan sebagai warga (citizen). Jika budak
hubungan ekonomi-politik, yang dianjurkan
memperlihatkan kepatuhan secara total, tetapi
oleh demokrasi. Partisipasi rakyat berada
kalau konsep warga menganggap bahwa
dalam
setiap individu adalah pribadi yang utuh dan
konteks
“input”,
konteks
dan
dan
kategori
Dalam
keterwakilan.
hubungan
antara
negara
(pemerintah) dan rakyat (masyarakat). Negara
mempunyai
adalah pusat kekuasaan,
kedaulatan dan
Kedua, masyarakat bukan dalam kedudukan
serangkaian hukum yang mengatur peredaran
yang diperintah tetapi sebagai mitra (partner)
barang-barang publik di
pemerintah dalam mengurus pemerintahan
masyarakat. Di
hak
penuh
dan
dan
kelompok,
bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan
hak warga masyarakat itu sendiri. Keempat,
politik,
kekuatan
Ketiga,
memiliki.
dalam masyarakat sendiri terdapat hak sipil hal
pembangunan.
untuk
partisipasi
229
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
masyarakat
bukan
sekadar
obyek
pasif
(responsiveness).
Responsivitas
merujuk
penerima manfaat kebijakank pemerintah,
kepada cara mana sesuatu yang diberikan oleh
tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif
pengambil keputusan -baik umum ataupun
menentukan
kebijakan.
138
Ini
yang
perseorangan-- dalam merespons keperluan
menjelaskan kenapa pilkada diselenggarakan
dan
secara
kelompoknya,
merata
Kesadaran pentingnya
di
wilayah
demokratis partisipasi
Indonesia.
menempatkan
ke
seperti
dalam
kasus
tuntutan
kemiskinan
misalnya.139
dalam
Karena merupakan hasil implementasi
kedudukan yang sebenarnya dalam proses
“untuk rakyat”, maka responsiviti dapat
pemilihan pemimpin. Ada kuasa politik dari
dipahami secara lekat dengan hasil pelayanan
rakyat untuk ikut menentukan pilihan terbaik
publik atau masyarakat, melalui serangkaian
pemimpinnya dalam mekanisme pemilihan
kebijakan yang ditempuh. Dalam kaitan ini
umum.
responsivitas diartikan sebagai kemampuan Namun
begitu
masyarakat
menjalankannya
fase
lain
dari
birokrasi
untuk
mengenali
kebutuhan
demokrasi yang tak kalah pentingnya adalah
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
Responsivitas (Responsiveness). Menjadi jelas
pelayanan, serta mengembangkan rancangan-
bahwa apakah demokrasi sudah dijalankan
rancangan
sebagaimana mestinya memenuhi kebutuhan
keperluan dan aspirasi masyarakat. Secara
rakyat guna mencapai keinginan membangun
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas
kesejahteraan bersama, maka responsivitas
ini mengukur kualitas responsif birokrasi
menjadi argumen pamungkas dari proses
terhadap harapan, keinginan dan aspirasi,
pilkada secara menyeluruh. Untuk itu dibawah
serta tuntutan layanan pengguna (service
ini akan dijelaskan penjeasan repsonsivitas
user). Responisivitas sangat diperlukan dalam
untuk
pelayanan
melengkapi
pembahasan
tentang
Pilkada secara lebih lengkap.
merupakan
perkhidmatan
publik bukti
sesuai
karena
dengan
hal
kemampuan
tersebut organisasi
untuk mengetahui kebutuhan masyarakat, DEMOKRASI
LOKAL
DAN
RESPONSIVITAS
menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta
Implementasi falsafah “untuk rakyat”
mengembangkan
rencana-rencana
pelayanan publik sesuai dengan keperluan
yang didalam sistem politik dapat diketahui
aspirasi
dalam bentuk output. Dalam demokrasi,
memiliki responsivitas yang rendah dengan
output ini yang menginstitusikan apa yang dikenal
dengan
sebutan
responsivitas
138
Sutoro Eko, Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat, makalah dalam www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_ akses_masyarakat.pdf. (2 Februari 2006)
230
masyarakat.
Organisasi
yang
139
Siri Gloppen, Lise Rakner and Arne Tostensen, Responsiveness to the Concerns of the Poor and Accountability to the Commitment to Poverty Reduction, dalam http://www.undp.org/oslocentre/ PAR_Bergen_2002/concerns-poor-issues-paper.pdf. (20 Januari 2015).
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
sendirinya memiliki kinerja yang buruk juga
publik dengan sasaran kesejahteraan rakyat
(Dwiyanto, dkk, 2011).
sebagai tujuan akhir. Bentuk responsivitas
Kebijakan
yang
responsif
adalah
sangat menentukan kualitas demokrasi lokal
sebagai
respons
karena menggambarkan dinamika kesuksesan
dasar
pemimpin terpilih dan masyarakt memilih
masyarakat. Memberantas kemiskinan dan
dalam komunikasi dan aksi politik yang
buta
kebijakan
yang
dibuat
terhadap
aspirasi
atau
huruf,
menjamin
kebutuhan
meningkatkan
taraf
hidup,
menguntungkan. Ini yang menjelaskan ketika
kesehatan,
menyediakan
masyarakat puas hati dengan kepemimpinan
pendidikan yang terjangkau, memberikan
lokal
pinjaman usaha kecil dan sebagainya, adalah
kebutuhan masyarakat, maka menjadi amat
contoh
dengan
wajar jika pada pilakda berikutnya akan
sebutan kebijakan yang berpihak kepada
dipilih kembali dengan suara yang amat
masyarakat miskin (pro poor policy). Juga
meyakinkan, mutlak. Kasus terpilihnya Azwar
kebijakan
respons
Anas di Banyuwangi dan Tri Rismaharini di
terhadap kebutuhan peningkatan kapasitas
Surabaya untuk kedua kalinya sebagai kepala
ekonomi
lapangan
daerah menjadi salah satu kisah sukses
pekerjaan yang lebih luas (pro jobs) dan
pemimpin yang responsif dengan pilkada
mendorong laju perekonomian lebih cepat
yang partisipatif.
kebijakan
yang
yang
diambil
dengan
dikenal
kerana
memberikan
yang
dianggap
responsif
terhadap
(pro growth) agar peringkat kesejahteraan masyarakat semakin tercapai. Ini adalah
PILKADA,
selaras dengan implementasi falsafah “untuk
RESPONSIVITAS
rakyat”
bukan
untuk
sekumpulan
elit
Pilkada
PARTISIPASI langsung
pada
DAN akhirnya
penguasa, dimana masyarakat tetap miskin
menggantikan pilkada tidak langsung didasari
tetapi para penguasanya kaya raya (pro elit).
oleh semangat pemberdayaan masyarakat
Capaian ini tentunya bergantung kepada
dalam berpartisipasi memilih kepala daerah
kapasitas
dari
secara lebih demokratis. Namun harus diakui
falsafah “dari rakyat” dan “oleh rakyat”
pemilihan langsung sesungguhnya merupakan
melalui pengolahan kepada sistem politik dari
tindak
implementasi “input” menuju “proses” yang
demokrasi secara normatif yakni jaminan atas
kepada
kualitas
bekerjanya prinsip kebebasan individu dan
“output” yang dilahirkan dalam bentuk
persamaan, khususnya dalam hak politik
responsivitas (Suyatno, 2011).
(Pratikno, 2005). Maswadi Rauf (2005)
pencapaian
gilirannya
yang
diawali
menentukan
lanjut
realisasi
prinsip-prinsip
Pilkada banyak melahirkan pemimpin
menyebutkan ada empat alasan mengapa
baru yang memiliki serangkaian janji program
pilkada langsung perlu digelar menggantikan
yang nantinya dijalankan dalam kebijakan
pilkada
tidak
langsung. Pertama, untuk
231
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
membangun daerah; kedua menumbuhkan
Namun
begitu
Pengawas
akuntabilitas
Republik Indonesia dalam pernyataan persnya
pemerintah;
dan
dan
keempat
transparansi adalah
proses
legitimasi rakyat yang kuat. Ada
beberapa
Umum
Badan
kepemimpinan lokal; ketiga, meningkatkan publik
Pemilihan
temuan
(Bawaslu)
memberikan keterangan yang mengejutkan tentang partisipasi pemilih dalam pilkada.
implikasi
yang
Bawaslu
menyatakan
bahwa
meskipun
menguntungkan pemilih dan pemimpin yang
pelaksanaan Pemilu/Pemilihan Kepala Daerah
dipilih karena partisipasi langsung dalam
sudah semakin demokratis, yakni ditandai
pemilihan
dengan
berikut:
karena pertama,
menyiratkan kepala
tiga
semakin
transparannya
proses
punya
(predictable process) dan hasilnya tidak bisa
legitimasi kuat untuk memerintah. Kedua,
diprediksi (unpredictable result) tetapi dari
pilkada langsung lebih menjamin stabilitas
pelaksanaan pemilu ke pemilu, partisipasi
pemerintahan daerah, karena masa kerja
masyarakat cenderung menurun. Bisa jadi ini
kepala daerah pasti yang tidak bisa dijatuhkan
merupakan
oleh DPRD. Ketiga, probabilitas aspirasi
terhadap
publik yang terserap lebih tinggi karena
memberikan perubahan yang signifikan bagi
keterpilihannya
kesehjateraan mereka.140
ditentukan
daerah
hal
suara
pemilih
(Fitriyah, 2011). Dengan begitu pilkada langsung
pemilu,
apatisme yang
masyarakat
dinilai
tidak
Ketika masyarakat terlibat langsung
menggambarkan
dalam menentukan pilihan politiknya untuk
pelaksanaan partisipasi yang kuat. Tidak saja
pemimpin di daerahnya, maka wajar jika
pemerintah lokal yang dibentuk menjadi kuat
mucul bentuk respon terhadap program-
karena legitimasi politik yang didapat melalui
program secara langsung. Tindakan yang
pemilihan langsung, sehingga tidak lagi begitu
dilakukan oleh pemilih tidak lain berwujud
mudah digoyang oleh DPRD, tetapi juga
‘stick and carrot’ dalam pilkada berikutnya.
pemerintah lokal memiliki modal politik yang
Jikalau pemimpin lokal yang terpilih mampu
kuat untuk membangun daerahnya. Dari sisi
memberikan responsivitas sebagaimana yang
masyarakat, langsung
memang
bentuk
partisipasinya mendorong
dalam
pilkada
diharapkan masyarakat, maka respon positif
adanya
ruang
(carrot) akan diberikan dalam bentuk suara
pemberdayaan politik secara signifikan. Tidak
dalam
saja masyarakat ikut menentukan pemimpin
dianggap tidak responsif dengan kebutuhan
lokal melalui suara pemilih tetapi juga terlibat
masyarakat, maka “hukuman” (stick) akan
dalam
proses
persetujuannya
partisipasi terhadap
politik
melalui
program-program
calon pemimpin yang disetujuinya dalam bentuk keputusan pilihan suaranya.
232
pilkada.
Namun
sebaliknya
jika
140
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pilkada Semakin Demokratis Tapi Partisipasi Cenderung Menurun, Selasa, 10 November 2015, dalam http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkadasemakin-demokratis-tapi-partisipasi-cenderungmenurun. Di unduh pada 1 Mei 2016.
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
diberikan dalam wujud tidak memilih atau
bisa berlangsung secara sempurna dengan
apatis (golput) dalam pilkada.
menyertakan variabel responsivitas pemimpin
Kemenangan dianggap
mampu
petahana
menjalankan
yang kebijakan
lokal.
Pengalaman
pilkada
menunjukkan
betapa tingginya angka partisipasi di masa
publik dengan baik, menjadi pertanda bahwa
Orde
Baru
berbanding
dengan
masa
partisipasi masyarakat diberikan secara penuh
reformasi, tetapi sesungguhnya menunjukkan
dalam pilkada. Perhimpunan untuk Pemilu
adanya partisipasi semu, karena partisipasinya
dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan dari
didorong oleh mobilisasi pemerintah.
538 calon kepala dan calon wakil kepala
Hal ini seiring dengan pernyataan
daerah yang maju dalam pilkada serentak
bahwa mobilisasi masyarakat secara top-down
2015 ini, 278 orang atau lebih dari separuh di
bukanlah bentuk partisipasi yang sejati.
antara mereka merupakan mantan gubernur,
Soebagio menyatakan bahwa beberapa studi
bupati dan wali kota ataupun wakilnya. Dalam
secara eksplisit tidak menganggap tindakan
hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survey
yang
Indonesia
(LSI)
sejumlah
dan
atau
yang
sejumlah
lembaga,
dimanipulasikan sebagai partisipasi politik,
petahana
tampak
yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari
pasangan
mendapatkan
dimobilisasikan
perolehan
suara
terbanyak,
partisipasi
dengan
argumentasi
bahwa
bahkan di beberapa daerah mereka menang
menjadi anggota organisasi atau menghadiri
telak. Antara lain pasangan calon wali kota
rapat-rapat umum atas perintah pemerintah
dan
Tri
tidak termasuk partisipasi politik (Soebagio,
Rismaharini – Wisnu Sakti Surya. Lalu, di
2008). Di masa Orde Baru partisipasi politik
Banyuwangi,
Bupati
yang dimobilisasikan merupakan kontribusi
Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko
hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh
memperoleh
jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde
wakil
wali
kota
pasangan suara
Surabaya, mantan
sampai
88,78%,
berdasarkan survei LSI.141
Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh
Ini semakin memperkuat argumen
para
tokoh-tokoh
masyarakat
karismatik
bahwa tingginya angka partisipasi belumlah
sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh
menjamin
birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun
bahwa
mengimplementasikan
pilkada prinsip
sukses demokrasi.
Substansinya tidak lain adalah sejauh mana rangkaian
proses
pilkada
ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Dengan begitu perilaku golput dalam
yang
hemat penulis juga merupakan partisipasi
direpresentasikan dalam bentuk partisipasi
politik karena merefleksikan sikap bukan
141
BBC Indonesia, Pilkada serentak, sejumlah calon petahana unggul, dalam http://www.bbc.com/ indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesi a_pilkada_petahana. Di unduh pada 1 Mei 2016.
sebagai budak (client) melainkan sebagai warga (citizen) dan menganggap partisipasi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai
233
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
hak warga masyarakat itu sendiri, baik
intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram
berpartisipasi
dan meluas (Soebagio, 2008).
untuk
memilih
dan
berpartisipasi untuk tidak memilih. Justru dengan
meningkatnya
jumlah
Dari uraian diatas nampak jelas
golput
betapa unsur responsivitas menjadi salah satu
menandakan keberanian masyarakat bersuara
unsur terpenting kelangsungan partisipasi
(voice) untuk merespon tindakan pemimpin
masyarakat untuk melanjutkan pilihannya
yang dipilih dalam pilkada sebelumnya. Ini
terhadap petahana. Jika peningkatan jumlah
adalah manifestasi demokrasi juga.
gotput dari
masa Orde Baru (rata-rata
Secara empirik peningkatan angka
dibawah 10 persen) ke masa reformasi (rata-
Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas
rata antara 30-40 persen) menjadi pertanda
sebagai berikut: (1). Pemilu dan Pilkada
melemahnya partisipasi aktif pemilih untuk
langsung
belum
mampu
menghasilkan
menentukan pilihannya, dalam konteks ini
bagi
peningkatan
bisa dikatakan justru ada keberanian pemilih
kesejahteraan masyarakat; (2). Menurunnya
untuk tidak memilih karena alasan tertentu.
kinerja partai politik yang tidak memiliki
Dengan kata lain merupakan respon terhadap
platform politik yang realistis dan kader
responsivitas pemimpin lokal.
perubahan
berarti
politik yang berkualitas serta komitmen
Fenomena lain selain golput yang
politik yang berpihak kepada kepentingan
menunjukkan adanya penurunan partisipasi
publik,
aktif dan dengan sendirinya menunjukkan
melainkan
lebih
mengutamakan
kepentingan kelompok atau golongannya; (3). Merosotnya
integritas
moral
aktor-aktor
keberanian untuk berpartisipasi pasif (golput) dari masyarakat, yaitu kemenangan petahana dalam pilkada 2015 yang mencapai lebih dari
politik (elit politik) yang berperilaku koruptif
50% pilkada di seluruh Indonesia. Dari
dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan
pilkada yang diselenggarakan di 269 daerah,
daripada memperjuangkan aspirasi publik; (4)
ternyata lebih banyak calon petahana yang
Tidak
memenangkan pilkada daripada yang kalah,
terealisasikannya
janji-janji
yang
dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang
mendukungnnya;
(5).
Kejenuhan
pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada
dengan perbandingan 57,9 persen dan 42,1 persen.
Petahana
mempertahankan
atau
yang
berhasil
meraih
kembali
posisinya sebagai kepala daerah lebih banyak
yang dipandang sebagai kegiatan seremonial
terjadi di wilayah kota daripada kabupaten. Di
berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi
kota, walikota yang berhasil mempertahankan
para elit politik; (6). Kurang netralnya
posisinya mencapai 47,1 persen, sementara di
penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih
kabupaten hanya 28,1 persen bupati yang
berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya
kembali daerah.
meraih Data
posisi ini
sebagai
seolah
kepala
menguatkan
142
234
142
Kompas, “Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/01/07
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
argumentasi
memiliki
Banyak faktor yang menyebabkan
daripada
kemenangan petahana. Peneliti LSI, Ardian
pesaingnya. Pada pilkada sebelumnya dari
Sopa mengatakan, setidaknya ada lima faktor
data yang dihimpun, selama kurun waktu
yang
tahun
memenangi
peluang
bahwa
menang
2011
petahana
lebih
saja,
dari
besar
sekitar
211-an
membuat
calon
pilkada
petahana
serentak
mampu
tahun
ini.
pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di
Pertama adalah karena masyarakat merasa
Indonesia,
59,05%
puas atas kinerja kepemimpinannya selama
dimenangkan kembali oleh calon incumbent
menjabat. Kedua, pasangan petahana sudah
(petahana), sementara 87 daerah lainnya atau
lebih dikenal oleh masyarakat. Para pasangan
sekitar 40,05 % calon incumbent mengalami
incumbent biasanya sudah lebih populer, itu
kekalahan.
juga bisa menjadi faktor kemenangannya.
124
Tabel
daerah
dibawah
atau
ini
menjelaskan
kemenangan yang diraih petahan dengan suara yang cukup telak. Tabel 1.0 10 Besar Petahana Menang Pilkada 2015 No.
Daerah
Nama Pasangan Petahana
Persentase Kemenangan
Samanhudi Anwar-Santoso
92,04
Rita Widyasari-Edi Damansyah
89,40
A Azwar Anas-Yusuf W
88,96
Herman H.N-Muhammad Yusuf Kohar
86,66
1.
Kota Blitar
2.
Kutai Kartanegara
3.
Banyuwangi
4.
Bandar Lampung
5.
Surabaya
Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana
86,22
6.
Denpasar
I.B.R. Dharmawijaya-I.G.N. Jaya Negara
82,19
7.
Tanah Bumbu
Mardani H Maming-Sudian Noor
81,50
8.
Mojokerto
Mustafa Kamal Pasa-Pungkasiadi
78,65
9.
Bolmong Selatan
Herson Mayulu-Iskandar Kamaru
77,35
10.
Medan
Dzulmi Edin-Akhyar Nasution
71,68
Sumber: Data KPU, dalam JPNN, Ibu Risma dibawah mbak Rita, http://www.jpnn.com/read/2015/12/13/3443 71/Ibu-Risma-di-Bawah-Mbak-Rita-/page3. Diunduh pada 5 Mei 2016
/02205431/Petahana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015. Di unduh pada 5 Mei 2016.
235
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
Ketiga, pasangan petahana dianggap
terhadap hasil auditnya yang berarti bahwa
telah menguasai dan mampu menjangkau
Pemkot
semua segmen pemilih. Keempat, pasangan
keuangannya secara wajar, baik, transparan
petahana
mampu
menggerakkan
tokoh
informal maupun formal. Kelima, pasangan petahana dianggap lebih siap secara finansial.
Surabaya
mampu
mengelola
dan akuntabel. Selain itu Walikota Surabaya tersebut
mengeluarkan
Selama menjabat, biaya hidup petahana
penggunanaan
ditanggung oleh negara, maka wajar jika
pengelolaan APBD Kota Surabaya. Sistem e-
mamapu mengumpulkan dari hasil selama
budgeting
menjabat kepala daerah untuk menghadapi
keberhasilannya
pilkada tahun ini.143 Kisah
sukses
kepemimpinan
Tri
Rismaharini sebagai walikota Surabaya dan Azwar Anas sebagai bupati Banyuwangi menjadi contoh betapa masyarakat di kedua daerah
tersebut
memberikan
kesempatan
kepada petahana untuk memimpin daerahnya kedua kali. Risma mampu merebut suara 86,22 persen dari pemilihnya, sedangkan Azwar Anas sukses mendulang 87,88 persen. Kedua petahana ini sebelumnya memang tergolong sangat populer di media masa karena kebijakan publiknya yang dianggap inovatif dan menyentuh masyarakat langsung. Risma
dikenal
dengan
kebijakan
publik yang membawa Surabaya sukses meraih Piala Adipura selama 4 tahun berturutturut. Audit BPK pada tahun 2013 juga memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
terhadap
Laporan
Keuangan
Pemerintah Daerah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2013. Opini WTP merupakan penilaian tertinggi yang diberikan oleh auditor
143
Dedy Priatmojo, Lima Faktor Calon Petahana Unggul di Pilkada Serentak, dalam http://politik.news.viva. co.id/news/read/709835-lima-faktor-calon-petahanaunggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016.
236
sistem
kebijakan
Pemkot
e-budgeting
Surabaya
sehingga
dalam
ini
diakui
diadopsi
oleh
daerah-daerah lain di Indonesia. Kemampuan Risma membangun citranya di media massa juga menjadi salah satu penentu karena popularitas akan memudahkan pemilih untuk memilihnya kembali. Salah satu kebijakannya yang sensasional adalah penutupan lokalisasi Dolly, sebagai area pelacuran terbesar di Asia Tenggara, menambah popularitasnya semakin tinggi. Sementara itu, Azwar Anas selama menjadi bupati di wilayah paling timur di propinsi
Jawa
Timur
itu
mampu
mempopulerkan daerahnya melalui programprogram
inovatifnya.
Kini
banyuwangi
menjadi tujuan pariwisata terpopuler selain Batu Malang dan Gunung Bromo di Jawa Timur. Semua itu berkat kegigihan Azwar membangun
dunia
pariwisata
daerahnya.
Klimaksnya ketika kabupaten yang berjuluk “The Sunrise of Java” ini, berhasil meraih penghargaan Perserikatan Nations
dari
Badan
Bangsa-Bangsa World
Pariwisata (The
United Tourism
Organization/UNWTO) dalam ajang "12th UNWTO Awards Forum" di Madrid, Spanyol. Kabupaten Banyuwangi menyabet UNWTO
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
Awards for Excellence and Innovation in
Indonesia
Tourism untuk kategori ”Inovasi Kebijakan
(Fitra) Riau Usman menyebutkan, status
Publik dan Tata Kelola” dengan mengalahkan
tersangka korupsi yang disandang Herlyan
nominator lainnya dari Kolombia, Kenya, dan
Saleh sangat mempengaruhi merosotnya suara
Puerto Rico.Tentu ini menambah kekuatan
bupati
petahana di Banyuwangi untuk meyakinkan
ketidakpercayaan masyarakat juga tampak
pemilihnya untuk memberikan eluang kedua
dari 5 tahun masa kepemimpinan Herlyan
kali memimpin daerahnya.
Saleh tidak memberikan dampak signifikan
Kebijakan publik yang dilakukan
untuk
Transparansi
inkumben
terhadap
itu.
pembangunan
Selain
itu
infrastruktur
ekonomi.
ukuran yang menentukan kemenangannya
daerah terkaya di Riau yang memiliki APBD
dalam
konsep
mencapai Rp 5 triliun. Namun program
responsivitas menyatakan bahwa kebijakan
pembangunan infrastruktur dan ekonomi tidak
yang responsif adalah kebijakan yang dibuat
menyentuh
sebagai
atau
Belum lagi petani karet yang sudah lima tahun
poor
lamanya terpuruk lantaran harga murah.
sukses
Masih banyak desa yang tidak dialiri listrik di
mendulang kemenangan pilkada, seperti yang
Rupat, begitu pula akses jalan yang tidak
diraih Risma dan Azwar, adalah tidak lain
beraspal di desa-desa.144
respons
kebutuhan policy),
Sebagaimana
terhadap
dasar maka
aspirasi
masyarakat petahana
(pro
yang
karena nilai responsivitas sebagai wujud amalan
filsafat
“untuk
rakyat”
memang
Bengkalis
dan
petahana selama menjabat, menjadi salah satu pilkada.
Padahal
Anggaran
kalangan
Jauh
masyarakat
sebelum
diselenggarakan,
merupakan
Heru
2015
Kundhimiarso
dirasakan masyarakat langsung. Amat lumrah
menjelaskan
jika petahana yang demikian mampu meraih
menyebabkan petahana mengalami kekalahan
kemenangan
adalah sebagai berikut: Pertama, Tingkat
Sebaliknya,
mutlak jika
dalam
responsivitas
pilkada. jauh
bahwa
pilkada
bawah.
hal-hal
yang
dari
popularitas calon petahana ternyata tidak
harapan masyarakat, maka “hukuman” (stick)
berbanding lurus dengan tingkat ke disukai-
akan diberikan dalam bentuk kekalahan yang
nya dan keterpilihannya (elektabilitasnya) di
telak sekalipun.
mata
rakyat.
Hal
ini
bisa
diakibatkan
Kisah Bupati petahana Bengkalis,
melekatnya persepsi negatif dalam diri sang
Herlyan Saleh kalah telak dalam pemilihan
petahana, baik dari sisi moralitas, karakter
kepala daerah serentak 2015 Bengkalis adalah
pribadi, maupun gaya kepemimpinannya.
salah satunya. Herlyan yang berpasangan
Tingkat
dengan Riza Pahlevi justru menduduki posisi
paling buncit dari dua pasangan calon bupati lainnya.
Menuut
Koordinator
Forum
144
ketidaksukaan
rakyat
terhadap
Tempo, “Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana Bengkalis Riau”, dalam https://m.tempo.co/read/news /2015/12/18/058728852/ini-penyebab-kekalahanbupati-petahana-bengkalis-riau. Diunduh [ada 5 Mei 2016.
237
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
karakter personal dan gaya kepemimpinan
oleh sang kandidat. Masyarakat kini lebih
seorang petahana akan membentuk politik
melihat berdasarkan pada visi, misi, dan
persepsi yang sedemikian kuat di mata publik,
program kerja konkret yang ditawarkan calon.
seperti kesan arogan, sok pintar, sok kuasa,
Lebih tertarik dengan sosok figur calon yang
pemarah, berjarak dengan rakyat dll.
mencerminkan kesederhanaan, dekat dengan
Kedua, Kekalahan petahana tersebut
rakyat, jujur, ramah, dan low profile. Pilkada
bisa dibaca sebagai bentuk protes langsung
DKI Jakarta contoh paling dekat dan paling
rakyat atas kepemimpinan sang petahana atau
tepat dengan sosok Jokowi nya. 145
pejabat politik di daerah tersebut. Petahana
Maka menjadi hal yang lumrah jika
dianggap mengingkari janji-janji kampanye
petahana gagal dalam pilkada tidak lain
pada saat pertama maju mencalonkan diri.
dikarenakan faktor-faktor tersebut. Tingkat
Petahana
mewujudkan
melek
menjalankan
reformasi ini memang meningkat pesat. Tidak
kepemimpinannya. Sehingga rakyat yang
saja apatisme dalam bentuk golput disuarakan
tidak puas melampiaskan ketidakpuasannya
dalam pilkada tetapi juga “hukuman” untuk
tersebut
petahana
dinilai
kesejahteraan,
gagal
gagal
dengan
cara
dalam
menghukum
sang
petahana dengan tidak memilihnya kembali. Ketiga,
Masyarakat
memiliki
politik
yang
masyarakat
tidak
sejak
responsif
masa
terhadap
kesejahteraan masyarakat menjadi taruhan yang penting.
keinginan kuat untuk melakukan perubahan dan mereka melakukan gerakan penolakan
KESIMPULAN
terhadap status quo yang dibangun petahana,
Proses pilkada di Indonesia sejak
hal ini terjadi karena masyarakat telah melihat
reformasi
menandakan
era
baru,
ketika
kepemimpinan petahana yang tidak mampu
masyarakat menjadi aktor penting dalam
dan tidak berhasil melakukan perubahan
proses pemilihan. Berbeda dengan masa Orde
dalam masa kepemimpinannya. Semangat
Baru dimana mayoritas masyarakat mengikuti
perubahan yang diinginkan masyarakat, akan
pemilihan umum di level nasional, karena di
membangun persepsi politik yang seolah-olah
level daerah semua kepala daerah ditunjuk
vis a vis antara pro status quo dengan pro
oleh Soeharto, adalah berdasarkan mobilitas
perubahan.
pusat, sehingga amat wajar jika tingkat
Keempat, Kondisi masyarakat saat ini
partisipasinya rata-rata diatas 85 persen.
yang mulai otonom dan rasional dalam
Namun begitu partisipasinya dianggap semu,
menentukan pilihannya, masyarakat tidak lagi tergantung
pada
bendera
parpol
yang
mengusung calon, masyarakat tak mau lagi terbuai dengan money politik yang diberikan
238
145
Puskapik, “Musim Bergugurannya Calon Incumbent (Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dengan Pemalang ?” dalam http://www.puskapik.com/musimbergugurannya-calon-petahana-incumbent-dalampilkada-bagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5 Mei 2016.
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
karena tidak disertai dengan keterwakilan,
Decentralization,
transparansi dan akuntabilitas, apatah lagi
http://www.rti.org/pubs/Democr_Dec
responsivitas
en.PDF. Muat turun10 Januari 2008
yang
memadai.
Di
masa
dalam
reformasi partisipasi aktif masyarakat dalam
David Easton (1957), “An Approach to the
pilkada disertai dengan pemantauan sepanjang
Analysis of Poitical Systems”, dalam
periode pemimpin daerah ketika menjabat,
World Politics IX, No. 3.
sehingga amatlah wajar unsur responsivitas menjadi
variabel
penting
dalam
proses
berdemokrasi secara menyeluruh. memang harus disertai dengan responsivitas tinggi.
diberikan
Kepercayaan
pemilih
dalam
Rondinelli
(1998),
"What
is
Decentralization?" Note prepared for the PREM Knowledge Management
Partisipasi yang aktif secara ideal yang
Dennis
politik
yang
pilkada
agar
System, World Bank, Washington, DC. Fatkhurohman (2010), “Pilkada dan Masa Depan
Penguatan
Demokrasi
di
penyelenggara negara menjalankan kebijakan-
Daerah”. Jurnal Konstitusi, Vol. III,
kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan
No. 2.
masyarakat, dewasa ini semakin mengemuka.
Fitriyah (2011), “Meninjau Ulang Sistem
Kemenangan dan kekalahan petahana dalam
Pilkada Langsung: Masukan Untuk
pilkada dapat dinyatakan bahwa keterkaitan
Pilkada
partisipasi dan responsivitas menjadi amat
POLITIKA Vol 2, No 1 Politika,
penting dalam proses demokrasi lokal secara
Jurnal Ilmu Politik, hal. 40-47.
menyeluruh.
Langsung
Berkualitas”,
Georg Freks dan Jan Michel Otto (1996), Decentralizationand Development: A
DAFTAR PUSTAKA
Review
Agus Dwiyanto, dkk. (2006), Reformasi
Administrative Literature, Research
Birokrasi
Publik
di
of
Development
Indonesia,
Report, Leiden: Van Vollenhoven
Yogykarta: Gadjah Mada University
Institute for Law and Administration
Press, 2006.
in NonWestern Countries.
Alexis de Tocqueville (1969), Democracy in
Iza Rumesten RS (2014), “Korelasi Perilaku
America, ed. J.P. Mayer, Garden City,
Korupsi
NY: Anchor Books.
Pilkada Langsung, Jurnal Dinamika
Brian C. Smith (1985), Decentralization: Territory Dimension of the State, London: MacMillan, 1985. Camille Burnet, Henry Minis, dan Jerry VanSant,
Kepala
Daerah
dengan
Hukum Vol 14, No 2. Janpatar
Simamora
Pemilukada
(2011),
“Eksistensi
Dalam
Rangka
Mewujudkan Pemerintahan Daerah
Democratic
239
Suyatno/ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Tantangan Demokrasi Lokal di Indonesia
yang Demokratis”, Jurnal Mimbar
akses_masyarakat.pdf.
Hukum Vol. 23 No. 1.
2006)
Larry
Diamond
(1999),
Developing
Suyatno
(2011),
(2
Dinamika
Demokrasi
Democracy, Baltimore and London:
Tempatan
The Johns Hopkins University Press.
Demokrasi
Tempatan
Yogyakarta
dan
Manor, J. (1997), “The Political Economy of Democratic
Decentralization”,
Washington: World Bank.
di
di
Kota
Kabupaten
Timothy D Sisk, dkk. (2002), Demokrasi di Tingkat
Yogyakarta: Gadjah Mada University
International
Press.
Penglibatan,
Langsung”,
Kajian
Jembrana, Bali, Tesis PhD Universiti
(2001), Perbandingan Sistem Politik,
”Demokrasi
Indonesia:
Sains Malaysa, Penang: USM.
Mochtar Mas’oed dan Collin McAndrews
Pratikno,
Pebruari
dalam
Pilkada
Lokal:
Buku IDEA
Panduan mengenai
Keterwakilan,
Pengelolaan
Konflik
dan
Makalah,
Sarasehan
Menyongsong
Pilkada
Langsung,
Yana Syafriana Hijri (2008), “KPUD, Pilkada
IRCOS-FNSt,
Hotel
Saphir,
Langsung dan Demokrasi Lokal”,
Yogyakarta, 25-26 Januari 2005.
Kepemerintahan, Jakarta: AMPERO.
Jurnal Ilmiah Bestari, Edisi No. 37..
Retno Saraswati (2014), Reorientasi Hukum Pemilukada
Langsung
Menyejahterakan
Rakyat,
yang dalam
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Journal of Dinamika Hukum Vol 14
Indonesia,
“Pilkada
No 2.
Demokratis
Tapi
Robert Putnam (1993), Making Democracy
Semakin Partisipasi
Cenderung Menurun”, Selasa, 10
Work: Civic Tradition in Moden Italy,
November
Princeton, New Jersey: Princeton
http://bawaslu.go.id/id/berita/pilkada-
University Press.
semakin-demokratis-tapi-partisipasi-
Soebagio (2008), “Implikasi Golongan Putih Dalam
Perspektif
Pembangunan
Demokrasi Di Indonesia”. Jurnal
2015,
dalam
cenderung-menurun. Diunduh pada 1 Mei 2016. BBC Indonesia, “Pilkada serentak, sejumlah
Makara, Sosial Humaniora, Volume
calon
12, No. 2.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_
Sutoro Eko, Voice, Akses, dan Kawalan Masyarakat,
makalah
dalam
www.ireyogya.org/sutoro/voice_dan_
240
Internet
petahana
unggul”,
dalam
indonesia/2015/12/151210_indonesia _pilkada_petahana. Diunduh pada 1 Mei 2016.
Politik Indonesia 1 (2) (2016) 223-241
Dedy
Priatmojo,
“Lima
Faktor
Petahana
Unggul
di
Calon Pilkada
Serentak”,
dalam
http://politik.news.viva.co.id/news/rea d/709835-lima-faktor-calonpetahana-unggul-di-pilkada-serentak. Diunduh pada 5 Mei 2016. Kompas, “Petahana Tetap Kuat di Pilkada 2015”, dalam http://nasional.kompas .com/read/2016/01/07/02205431/Peta hana.Tetap.Kuat.di.Pilkada.2015. Di unduh pada 5 Mei 2016. Puskapik, “Musim
Bergugurannya
Calon
Incumbent (Petahana) dalam Pilkada, bagaimana dalam
dengan
Pemalang
?”
http://www.puskapik.com/
musim-bergugurannya-calonpetahana-incumbent-dalam-pilkadabagaimana-dengan-pemalang/. Diunduh pada 5 Mei 2016. Siri
Gloppen,
Lise
Rakner
and
Arne
Tostensen, Responsiveness to the Concerns
of
the
Poor
and
Accountability to the Commitment to Poverty
Reduction,
dalam
http://www.undp.org/oslocentre/PAR _Bergen_2002/concerns-poor-issuespaper.pdf. (20 Januari 2015). Tempo, “Ini Penyebab Kekalahan Bupati Petahana Bengkalis Riau”, dalam https://m.tempo.co/read/news/2015/12 /18/058728852/ini-penyebabkekalahan-bupati-petahanabengkalis-riau. Diunduh pada 5 Mei 2016.
241