Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah: Sebuah Masalah Yang Masih Perlu Dikritisi1 Oleh. Haris Faozan
Latar Belakang
Tuntutan reformasi disegala bidang telah merubah tatanan mendasar manajemen pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya diwujudkan dalam Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua peraturan perundangan ini, tidak lain bertujuan untuk mewujudkan good governance di Indonesia. Mustopadidjaja (2000) menyebutkan bahwa kegagalan dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan merupakan salah satu penyebab krisis nasional di Indonesia pada akhir abad 202. Krisis nasional multi dimensional yang terjadi belum dapat dibendung hingga kini dan tampaknya akan terus berlanjut selama Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 belum membumi dan dapat diimplementasikan secara memadai pada level makro Indonesia. Hal demikian secara implisit mengisyaratkan bahwa seluruh pelaku-pelaku pemerintahan -dari staf paling rendah hingga (terutama) pejabat- dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan sejalan dengan pemikiran good governance yang pada saat ini tengah menjadi issue populer. Hal ini juga mengisyaratkan, bahwa pelakupelaku Pemerintahan Daerah di Indonesia pun dituntut untuk mewujudkan good local governance. Dalam rangka memfasilitas good local governance itulah lahir sebuah peraturan perundangan yaitu UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal dengan istilah undang-undang otonomi daerah. Dengan lahirnya UU No 22 Tahun 1999, gambaran otonomi daerah yang menempatkan Pemerintah Daerah sekedar kepanjangan administrasi Pusat, telah berakhir. Ini terlihat dari penekanan prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang berbeda dari UU No 5 tahun 1974. Pada butir (e) Penjelasan UU No 22 tahun 1999 disebutkan : “Disamping itu hal-hal yang mendasar dalam Undang-undang ini adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD”. Pada esensinya, UU No. 22 Tahun 1999 bertujuan untuk mengakselerasi pertumbuhan pembangunan daerah-daerah di Indonesia sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah masing-masing. Oleh karena itu, dengan diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 maka 1
Terbit dalam Jurnal “Desentralisasi” Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN, Vol 4 No. 2, 2003. Selengkapnya lihat Mustopadidjaja AR. (2000), dalam Kata Pengantar Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN –BPKP, Jakarta.
2
1
Pemerintah Daerah diharapkan akan lebih berorientasi dan bertanggung jawab kepada masyarakat dimana ia berada. Tuntutan itu memerlukan kemampuan strategis pemerintahan daerah dalam membaca harapan para pihak yang berkepentingan (stakeholder), yang dalam hal ini adalah masyarakat pengguna layanan, wakil-wakil dunia politik, maupun terhadap aspirasi para aparatur pemda sendiri. Disisi lain Pemerintah Daerah juga dituntut mampu menemukan sarana-sarana atau sumber daya alternatif yang dapat digunakan untuk memenuhi harapan para stakeholdernya. Melihat tuntutan ini maka Pemerintah Daerah perlu menata kembali peran dan fungsinya melalui model siklus kebijakan yang lebih berorientasi pada kepekaan terhadap lingkungan (environment sensibility) dan pertanggungjawaban yang kuat terhadap kepada siapa kebijakan tersebut akan pertanggungjawabkan (managerial and/or public accountability). Wujud good governance menurut UNDP sebagaimana dikutip oleh LAN-BPKP (2000) dapat dicermati melalui pola penyelenggaraan pemerintahan yang bercirikan: 1. Participation. Proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan bahkan hingga evaluasi harus memberikan akses sebesar-besarnya bagi partisipasi masyarakat. 2. Rule of Law. Perancangan peraturan hukum harus adil dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa pandang bulu. 3. Transparency. Suatu mekanisme yang terbuka dalam menetapkan kebijakan, baik yang menyangkut penggunaan sumber daya maupun alokasinya. Pembuatan kebijakan, program atau kegiatan pelayanan harus bersifat terbuka dan mampu memberikan arus informasi yang bebas dan jelas. Hal ini telah merubah paradigma lama, dimana penetapan kebijakan publik merupakan suatu mekanisme yang tertutup (black box 4. Responsiveness. Peka terhadap kebutuhan masyarakat dan stakeholder (pegawai, wakil rakyat, dan pengguna). Oleh karenya, pemberian otorisasi untuk mengambil suatu kebijakan pada level terendah. Hal ini dikarenakan pada level tersebut terdapat interaksi langsung dengan masyarakat pengguna jasa, dimana pada saat sekarang ini cenderung lebih dinamis. Dengan otorisasi seperti ini staf akan terbiasa menelurkan ide-ide dan bersikap inovatif dalam mencermati permasalahan dan mengambil tindakan. 5. Consensus Orientation. Berbagai kepentingan yang berbeda dalam masyarakat harus diakomodir melalui proses mediasi agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat luas. 6. Equity. Seluruh komponen dalam masyarakat yang berbeda dalam arti agama, ras, etnik, jender, suku, keadaan ekonomi, harus memiliki kesempatan yang sama atas manfaat yang akan didapat dari suatu kebijakan. 7. Effectiveness and efficiency. Proses untuk mencapai tujuan yang dilakukan oleh pemerintah harus mampu memberikan hasil yang maksimal dan menggunakan sumber daya seefisien mungkin. 8. Accountability. Kebijakan yang dibuat dan para pelaksananya, pemerintah, swasta atau masyarakat harus mampu mempertanggung jawabkan tindakannya kepada masyarakat luas. Bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap apa
2
9.
yang dilakukan dan yang tidak dilakukan, tingkat keberhasilan dan kegagalan. Pada dasarnya, akuntabilitas bagi pemerintah bukanlah semata-mata managerial accountability melainkan juga public accountability, mengingat masyarakatlah yang pada dasarnya memberikan mandat kepada pemerintah. Strategic Vision. Para pimpinan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki perspektif good governance dan berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia yang memiliki cakrawala jauh ke depan menembus batas-batas yang tidak tertentu.
Selain itu menurut Bryson (1997), untuk mencapai good local governance sebagaimana yang telah dilaksanakan di beberapa negara dunia ketiga, pemerintah daerah diharapkan memiliki visi startegis yang harus diwujudkan dalam bentuk perencanaan strategik, implementasi strategik dan evaluasi pengukuran kinerja (performance measurement). Dewasa ini, sorotan terhadap kinerja Pemerintah Daerah telah menjadi fenomena yang perlu dikritisi oleh segenap penyelenggara pemerintahan di daerah, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga propinsi. Hal tersebut pada dasarnya merupakan bagian kecil permasalahan yang ditanggung oleh pemerintah daerah, karena masalah-masalah lain yang menjadi pivotal point tidak sedikit jumlahnya, seperti belum memadainya sebagian besar kompetensi pegawai pemerintah daerah dan belum memadainya komitmen para pimpinan pemerintah daerah, serta belum memadainya kemampuan kepemimpinan Pemerintah Daerah3. Beranjak dari permasalah yang muncul dan dirasakan oleh masyarakat, maka tidak bisa tidak, bahwa segenap jajaran Pemerintah Daerah harus mampu menerawang ke belakang (flash back) terhadap kinerja mereka. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu kiranya dilakukan kajian/studi evaluasi kinerja penyelengggaraan pemerintah daerah. Hal ini penting untuk dilakukan karena bagaimanapun juga kinerja yang dicapai perlu didokumentasikan sebagai feedback yang berharga demi kemajuan kinerjanya di masamasa yang akan datang.
Evaluasi Evaluasi digambarkan sebagai suatu upaya dimana didalamnya mencakup beberapa pendekatan alternatif dan kegiatan-kegiatan (Weiss, 1998). Dalam konteks public policy, maka evaluasi merupakan sebuah landasan atau alasan untuk menciptakan (secara tidak langsung) perbaikan atau kemajuan sosial (social betterment). Pada prinsipnya pengertian ‘evaluasi’ memiliki arti jamak dan makna yang sangat luas. Scriven (1993) mengidentifikasi Big Six P’s sebagai hal-hal yang dapat dievaluasi, yaitu: Programs, Policies, Products, Personnel, Performance, dan Proposals, dan dari sini evaluasi digambarkannya sebagai ‘trans-discipline’. Sementara itu Mark et al. (2000) mempersempit fokus evaluasi hanya pada kebijakan dan program sosial (social programs and policies). LAN dan BPKP (2000) menyatakan bahwa istilah evaluasi 3
Sebagai contoh, lihat Kajian tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Gaya Kepemimpinan Camat di DKI Jakarta, Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi STIA-LAN Jakarta (2000), Penelitian tidak dipublikasikan.
3
dapat disamakan dengan penilaian (assessment), pemberian angka (rating) ataupun penaksiran (appraisal). Dalam public policy, evaluasi terhadap suatu kebijakan (policy evaluation) merupakan hal penting yang berguna sebagai input dalam penyusunan kebijakan pada tahap berikutnya. Menurut Jones (1977) evaluasi dirancang untuk mengetahui hasil program serta mengetahui alokasi sumberdaya. Segi rasional dari evaluasi adalah untuk menyediakan data yang mampu dijadikan sebagai dasar penentuan suatu program yang diperkirakan berhasil dan /atau sebaliknya justru meninggalkan program-program yang dinilai kurang berhasil. Untuk memudahkan evaluasi terhadap kebijakan, Broomly (1989) mengusulkan 3 hirarki kebijakan negara: 1. Policy level, yaitu bahwa kebijakan negara direpresentasikan oleh keinginan lembaga legislatif. Melalui Kebijakan tersebut ditentukan arah kebijakan sebuah negara yang memiliki ruang lingkup sangat luas. 2. Organizational level, yaitu suatu kebijakan yang dirumuskan oleh lembaga eksekutif sebagai jabaran dari kebijakan negara. Meskipin kebijakan ini lebih kecil ketimbang level sebelumnya, tetapi cakupan materi dan sekupnya relatif cukup besar, karena kebijakan ini masih mampu mengcover wilayah suatu negara. 3. Operational level, yaitu suatu kebijakan yang merupakan penjabaran teknis kebijakan yang dibuat oleh lembaga eksekutif (organizational level). Pada level ini, hasil dari sebuah kebijakan dapat dilihat oleh masyarakat. Operational level policy ditujukan bagi progran dan kegiatan yang langsung bersinggungan dengan masyarakat luas. Dalam konteks otonomi daerah, maka program dan kegiatan yang secara langsung menyentuh pada grass root adalah pada pemerintah wilayah desa/kelurahaan dan kecamatan. Dengan demikian hasil yang dicapai pada tingkat operasional akan dilihat secara langsung oleh masyarakat. Dari sinilah akan muncul reaksi kolektif dari berbagai kalangan yang dapat membuahkan hasil (outcomes) tertentu. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Mark et al. (2000) mengidentifikasi 4 (empat) tujuan dari evaluasi, yaitu: 1. Assessment of merit and worth: pengembangan pendapat-pendapat yang menjamin -bagi level individu dan sosial- atas nilai sebuah program atau kebijakan. 2. Program and organizational improvement: usaha untuk menggunakan informasi guna memodifikasi secara langsung dan pelaksanaan program. 3. Oversight and compliance: penilaian sejauhmana program mengikuti arah status, peraturan, standar perintah atau harapan formal yang lainnya. 4. Knowledge development: penemuan atau menguji teori-teori umum, preposisi dan hipotesis dalam konteks kebijakan dan program.
4
Tahap selanjutnya, setelah menentukan tujuan evaluasi adalah memilih model yang tepat dalam evaluasi yang bersangkutan. Mark et al. (2000) menawarkan empat model untuk praktek-praktek evaluasi, yaitu: 1. Description: metode untuk mengukur kejadian atau pengalaman-pengalaman, seperti misalnya karakteristik klien, penyampaian layanan, sumberdaya atau kedudukan klien pada variable-variabel hasil yang potensial. 2. Classification: metode digunakan untuk mengelompokkan dan untuk menyelidiki struktur yang melandasi sesuatu seperti pengembangan atau aplikasi pengkalisifikasian (taxonomy) bagian jenis program. 3. Causal analysis: metode digunakan untuk menggali dan menguji hubungan sebab akibat (causal relationship) -misalnya: antara program-program pelayanan dan fungsi klien- atau untuk mengkaji mekanisme hingga dampak yang terjadi. 4. Values inquiry: metode ini biasanya merupakan model natural valuation processes, menilai values yang tengah berlangsung, atau membedah posisi nilai dengan menggunakan analisis formal atau analisis kritis (formal or critical analysis) Dari tujuan dan metode yang telah dipaparkan diatas, tersirat, bahwasanya praktek evaluasi membutuhkan kesesuaian antara tujuan dan cara yang harus dilakukan. Atau dengan kata lain, bahwa evaluasi mengenai hal tertentu, dilakukan dengan metode/cara tertentu sesuai dengan akar permasalahannya.
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa esensi dari evaluasi adalah untuk perbaikan sosial (social betterment). Dalam konteks evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, maka berikut ini akan diuraikan beberapa instrumen yang berlaku dalam upaya evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Instrumen tersebut diantaranya adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah/LAKIP (Inpres No. 7/1999); dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (PP No. 108/2000). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah merupakan bentuk dan /atau media pertanggungjawaban sebuah unit organisasi atau instansi kepada unit organisasi atau instansi pemberi mandat/amanah. Meskipun orientasi LAKIP adalah public accountability, namun sementara ini dalam konteks pertanggungjawabannya masih bersifat managerial accountability. Tetapi meskipun demikian, pada dasarnya Inpres No. 7/ 1999 memberikan kebebasan bagi instansi pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk mempublikasikan LAKIPnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait. Esensi materi dari LAKIP yaitu uraian Perencanaan Strategik Instansi Pemerintah, Pengkuran Kinerja dan Evaluasinya. Dari sini dapat diketahui bahwa LAKIP merupakan media evaluasi yang bersifat internal evaluation dimana seluruh perencanaan strategik hingga evaluasinyanya ditentukan sendiri oleh Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
5
Kondisi demikian mungkin saja memiliki kekurangan dan kelebihan dari laporan yang dihasilkan. Kekurangan dari LAKIP yang disampaikan diantaranya dapat ditelusuri melalui Perencanaan Strategik yang ditetapkan. Apakah rencana strategik tersebut mengarah kepada perbaikan sosial? Apakah dalam prakteknya akan melibatkan lapisanlapisan masyarakat? Apakah masyarakat dapat mengendalikan dan turut mengevaluasi pelaksanaan rencana strategik dimaksud? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya perlu mendapatkan keterangan lebih jelas, mengingat perubahan paradigma partisipasi dan demokrasi yang tengah berkembang menuntut kondisi seperti itu. Instrumen kedua yang berlaku adalah Pertanggungjawaban Kepala Daerah (PP No. 108/2000). Apabila dikaji secara teliti, PP tersebut sebenarnya adalah suatu instrumen yang bermaksud menyempurnakan Inpres No. 7/1999 dalam konteks lokus pertanggungjawabannya. Hal ini dapat diketahui dari esensi materi yang terkandung dalam PP tersebut. Dari Perencanaan Strategik hingga Evaluasinya merunut kepada Inpres No. 7/1999. Perbedaannya terletak pada area atau wilayahnya dimana dalam PP 108/2000 menekankan pada Daerah bukan instansi Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka sistem pelaporannya lebih luas yaitu harus dipertanggungjawabkan kepada DPRD sebagai wakil rakyat di daerah. Tetapi meskipun demikian, dengan adanya PP 108/2000 apakah pertanggungjawaban kepala daerah dapat dijadikan reperesentasi kegiatan dan program yang bersifat social betterment? Hal ini tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam karena pada kenyataannya sistem pertanggungjawaban atau sistem evaluasi atau sistem akuntabilitas masih merupakan konsep-konsep baru yang perlu disosialisasikan secara intensif kepada jajaran pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya. Sosialisasi tersebut perlu digalakkan mengingat perlunya dilakukan perubahan mendasar terhadap budaya birokrasi yang telah mengakar kuat dan tidak kondusif terhadap terwujudnya social betterment. Penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu diarahkan pada outcome/result oriented activity bukan input atau process oriented. Dengan demikian berarti bahwa instansi pemerintah daerah perlu kembali memahami filosofi keberadaannya, untuk apa dan untuk siapa keberadaan instansi pemerintah daerahnya? Dan bagaimana instansi pemerintah daerah dapat secara efisien dan efektif dalam melaksanakan kebijakan dan program-program yang kembangkan? Tidak diragukan lagi bahwa Pemerintah Daerah dituntut memahami dasar dan kegunaan konsep dan teori evaluasi, agar Pemerintah Daerah mampu melakukan evaluasi dengan sasaran dan metode yang tepat, sehingga segala sesuatu yang dilaporkan benar-benar merupakan reperesentasi pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat menunjukan kinerja yang memadai sehingga akuntabilitas instansi Pemerintah Daerah pun dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh lapisan masyarakat selaku stakeholdernya.
6
Penutup Tidak diragukan lagi bahwa evaluasi merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kebijakan (policy cycle). Evaluasi sebagai suatu tahap dalam siklus kebijakan perlu direncanakan sejak awal formulasi kebijakan/program/kebijakan. Artinya bahwa ‘evaluasi’ bukanlah suatu tahap yang baru dirancang hanya ketika sebuah kebijakan/program/kegiatan tengah dilakukan. Hal ini berlaku pula bagi evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dimana pada saat ini instrumen evaluasi yang digunakan mengacu pada Inpres No. 7/1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan PP No. 108/2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Perlu sama-sama kita sadari bahwa kedua instrumen tersebut memiliki kelemahan yang cukup mendasar apabila dikaitkan dengan “tujuan akhir suatu evaluasi” yaitu untuk mencapai perbaikan sosial (social betterment). Apabila kedua instrumen tersebut dipandang sebagai langkah awal (initial step), tentu pemerintah juga dituntut untuk merancang langkah-langkah selanjutnya. Lebih penting lagi adalah bahwa rancangan evaluasi yang ditawarkan Pemerintah Pusat merupakan sebuah instrumen evaluasi yang komprehensif --yang mampu mengevaluasi kebijakan/program/kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (termasuk DPRD-nya)— sehingga tujuan akhir evaluasi dapat tercapai yaitu terwujudnya perbaikan sosial yang kita harapkan. Apakah instrumen evaluasi tersebut bisa diwujudkan? Tentu semua tergantung pada komitmen para aktor yang akan merancangnya. Kita tunggu saja.
7
Referensi Broomly, D.W. 1989, Economic Interest and Institution: The Conceptual Foundations of Public Policy, Basil Blackwell, New York. Bryson, M. J. 1995, Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations: A Guide to Strengthening and Sustaining Organization Achievement, Revised Edition, Jossey-Bass Inc., San Francisco. Jones, C.O. 1977, An Introduction to The Study of Public Policy, 3rd ed, Cole Publishing Company, California. LAN-BPKP. 2000, Evaluasi Kinerja Instansi Pemerintah (Modul Sosialisasi SAKIP), LAN, Jakarta. LAN-BPKP. 2000, Akuntabilitas dan Good Governance (Modul Sosialisasi SAKIP), LAN, Jakarta. Mark, M.M. et al. 2000, Evaluation: An Integrated Framework for Understanding, Guiding, and Improving Public and Nonprofit Policies and Programs, JosseyBass, San Francisco. Scriven, M.S. (ed) 1993. Hard-won Lesson in Program Evaluation (New Direction for Evaluation, No. 58), Jossey-Bass, San Francisco. Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi STIA-LAN Jakarta. 2000, Kajian tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Gaya Kepemimpinan Camat di DKI Jakarta, Penelitian tidak dipublikasikan. Weiss, C.H. 1998. Evaluation: Methods for Studying Programs and Policies, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jearsey.
8