P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 08 September 2011
Indeks 1. Peran Orang-orang Sekitar Muhaimin Mulai Terkuak 2. Rosa Dituntut 4 tahun 3. Korupsi KRL Pengadilan dinilai tidak berwenang adili Soemino 4. Tersangka Merpati Akan Bertambah 5. Suap Kemenakertrans Dharnawati dicecar pertanyaan untuk ungkap peran nama yang terlibat
6. Staf Pribadi Menakertrans Disebut Terlibat 7. Muhaimin : Kemenakertras Tak Minta Rp 500 M 8. Kepala BPN Tuba Diduga Korupsi Rp 1,6 Miliar
Mediaindonesia.com
Kamis, 8 September 2011
Peran Orang-Orang Sekitar Muhaimin Mulai Terkuak JAKARTA--MICOM: Kasus dugaan suap yang melibatkan dua pejabat Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenagkertrans) kian menggelinding mendekati
Menakertrans Muhaimin Iskandar. Satu persatu, orang dekat Muhaimin diduga terlibat sebagai penghubung.
Sebelumnya, kuasa hukum pengusaha Dharnawati, Rahmat Jaya, mengatakan ada tiga nama yang menjadi makelar dalam kasus suap Program Percepatan
Pembangunan Daerah Transmigrasi yakni Ali Mudhori dan Fauzi dan Acos.
Media Indonesia mencoba menghubungi Mudhori dan Fauzi. Namun, hingga berita
ini diturunkan keduanya belum bisa dikonfirmasi.
Namun, berdasarkan penelusuran Media Indonesia, Mudhori, Fauzi, dan Fawaid
merupakan orang dekat Muhaimin Iskandar. Sumber Media Indonesia menyebutkan, mereka merupakan ‘pesuruh’ Muhaimin untuk mengumpulkan pundi-pundi bagi
sang menteri dan Partai Kebangkkita Bangsa (PKB). Ketiganya merupakan kader PKB. Ali Mudhori disebutkan merupakan mantan anggota DPR 2004-2009 asal Lumajang Jawa Timur. Saat ini Ali Mudhori menjabat Ketua DPC PKB Lumajang. Ali Mudhori punya istri bernama Masitah, saat ini adalah anggota DPR. Sebetulnya, Mudhori memiliki catatan buruk soal praktik manipulasi keuangan
partai. Pada zaman Gusdur, ia dipecat dari jabatan Wakil Bendahara Umum DPP PKB. Alasan pemecatan karena melakukan praktik kotor dan sering memanipulasi keuangan partai.
Dikatakan, Ali Mudhori sangat dekat dengan Muhaimin dan menjadi tangan kanan dalam pengaturan proyek-proyek yang ada di Kemenagkertrans.
Sementara itu, Fauzi, jabatan formal saat ini yakni Wakil Bendahara DPP PKB. Pria
muda itu dipercaya Muhaimin untuk urusan keuangan, baik internal partai maupun di Kemenakertrans. “Dia kerjanya mengurus pembayaran gaji karyawan Muhaimin.
Setahu saya dia sudah menggunakan mobil Alphard,” ujar sumber Media Indonesia itu.
Fawaid adalah orang kepercayaan Muhaimin sejak sang menteri menjabat anggota
DPR. Fauzi boleh dikatakan sebagai pemegang tas Muhaimin. Perannya secara formal saat itu adalah staf ahli Muhaimin. Dia menjadi orang kepercayaan Muhaimin di Kemenagkertrans. “Dia ini sebelumnya di Garda Bangsa,” terang sumber itu. Menurut sumber tadi, Mudhori, Fawaid, dan Fauzi menjadi kaki tangan Muhaimin
dan PKB untuk mengumpulkan duit. “Mereka itu seperti pesuruh Muhaimin untuk ngurus proyek kemenagkertrans,” ujarnya. (OL-8)
Ecetak.kompas.com
Kamis, 12 September 2011
Rosa Dituntut 4 Tahun Jakarta, Kompas - Mindo Rosalina Manulang dan Mohamad El Idris, terdakwa kasus korupsi wisma atlet SEA Games 2011, dituntut hukuman masing-masing empat tahun dan tiga tahun enam bulan penjara.
Keduanya dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan memberi uang kepada anggota DPR RI, Muhammad Nazaruddin, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam sebagai imbalan dalam pemenangan tender proyek pembangunan wisma atlet bagi PT Duta Graha Indah (DGI) tbk.
Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum, yang terdiri dari Agus Salim,
Hendarbeni Sayekti, dan Rachmat Supriady, dalam dua persidangan terpisah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu (7/9). Dalam sidang lain, Wafid Muharam didakwa menerima hadiah Rp 3,289 miliar dan menyalahgunakan
wewenang sebagai Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) karena membantu memenangi tender wisma atlet bagi PT DGI tbk.
Mindo Rosalina Manulang selaku Direktur Pemasaran PT Anak Negeri dituntut
hukuman empat tahun penjara, ditambah dengan denda Rp 200 juta, subsider enam bulan kurungan. Mohamad El Idris selaku Manajer Pemasaran PT DGI tbk dituntut
penjara tiga tahun enam bulan, ditambah denda Rp 150 juta, subsider empat bulan kurungan.
Surat tuntutan menyebutkan, Mindo dan El Idris telah memberikan uang kepada sejumlah orang yang memuluskan pemenangan tender proyek wisma atlet SEA
Games di Palembang 2011 untuk PT DGI. Cek senilai Rp 4,340 miliar diserahkan kepada Muhammad Nazaruddin sebagai anggota DPR RI lewat dua anggota staf
keuangannya, Yulianis dan Oktarina Furi, di PT Anak Negeri. Cek senilai Rp 3,289
miliar diberikan untuk Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga sekaligus KPA, Wafid Muharam di Kantor Kemenpora. Ada juga uang untuk Komite Pembangunan Wisma Atlet dan panitia.
Semua uang itu diberikan sebagai komitmen karena PT DGI berhasil menjadi
pelaksana pembangunan wisma atlet dengan kontrak senilai Rp 191,672 miliar. Seusai persidangan, Mindo Rosalina Manulang tampak menangis di tengah
kerumunan para wartawan. Pengacara Mindo, Djufri Taufik, mengatakan, ”Kami tidak menerima tuntutan itu.”
Pada akhir persidangannya, Mohamad El Idris juga mengatakan tidak menerima
tuntutan itu. Sebagai kontraktor, dia mengaku berada di hilir dan hanya mencari
proyek. ”Semestinya hulunya juga dituntut. Yang bajingan-bajingan itu yang mencari uang,” katanya.
Di sidang terpisah, Wafid Muharam didakwa menyalahgunakan wewenang
Sesmenpora dan KPA untuk menerbitkan surat keputusan Bantuan Pembangunan Wisma Atlet. (IAM)
Ecetak.kompas.com
Kamis, 8 September 2011
KORUPSI KRL Pengadilan Dinilai Tidak Berwenang Adili Soemino Jakarta, Kompas - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dianggap tidak berwenang mengadili dan memeriksa perkara dugaan korupsi pengiriman kereta rel listrik dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan, Soemino Eko Saputro. Alasannya, Soemino didakwa melakukan tindak pidana bersama warga Jepang di Jepang, padahal warga asing itu tunduk pada yurisdiksi negerinya. Demikian nota keberatan Soemino yang dibacakan tim penasihat hukumnya dalam sidang kasus dugaan korupsi pengiriman KRL di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Rabu (7/9). Penasihat hukum Soemino, antara lain Tarwo Hadi Sadjuri, Hasan Madani, Muchlis Amin, dan Kani Ariniwati. Jaksa penuntut umum diwakili Agus Salim. Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Soemino saat menjabat dirjen perkeretaapian periode 2005-2007 menyalahgunakan kewenangannya dengan menunjuk langsung pelaksana pengangkutan KRL bekas hibah dari Jepang, yaitu Sumitomo Corporation. Kerugian negara diduga berjumlah 200 juta yen atau sekitar Rp 20 miliar. Perbuatan itu diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Dalam kasus ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa diperiksa KPK sebagai saksi pada awal Juni lalu. Hatta diperiksa dalam kapasitasnya sebagai menteri perhubungan saat proyek tersebut berlangsung.
Tim penasihat hukum Soemino mengutip surat dakwaan yang menyebutkan, Soemino melakukan korupsi secara sendiri-sendiri atau bersama Hiroshi Karashima, Hideyuki Nishio, serta Daiki Ohkubo (perkara diproses Pemerintah Jepang) pada 2005-2007 di kantor Ditjen Perkeretaapian di Jakarta dan di kantor Sumitomo Corporation di Jepang. Menurut penasihat hukum, Pengadilan Tipikor tak berwenang memeriksa kasus ini karena tak masuk dalam yurisdiksi hukum pidana Indonesia. Menanggapi nota keberatan itu, jaksa penuntut umum Agus Salim menyatakan membutuhkan waktu satu minggu untuk menyiapkan tanggapan. (IAM)
Vivanews.com
Kamis, 8 September 2011
Tersangka Korupsi Merpati Akan Bertambah
"Hasil penyelidikan kita selama ini tidak diminta persetujuan pada Menteri BUMN." VIVAnews - Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan bos PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan sebagai tersangka. Dia diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar US$1 juta.
Hotasi diduga merugikan negara atas penyewaan pesawat tipe Boeing 737-400 dan 737-500 oleh perusahaan TALG USA. Hotasi tak sendiri, Guntur Aradea, mantan Direktur Keuangan Merpati, juga dinyatakan terlibat.
Kejaksaan Agung terus menyelidiki adanya tersangka lain dalam kasus ini. Hal ini
karena kasus tersebut dinilai sebagai tanggung jawab kolegial dan kekurang hatihatian. Menurut mantan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Jasman Panjaitan, kasus ini termasuk kasus sangat sensitif.
"Bukan hanya dua tersangka. Ada sementara orang berpendapat bahwa itu kasus
prudent," kata Jasman usai pelantikan dia sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat di Kejaksaan Agung, Rabu 7 September 2011.
Dikatakan sebagai tanggung jawab kolegial, kata Jasman karena ada direksi lain yang pada waktu itu harus ikut bertanggung jawab.
Menurut Jasman, penambahan tersangka dalam kasus korupsi sewa pesawat Merpati
harus dilakukan. Hal ini dilakukan karena Jasman enggan kejaksaan dianggap tebang pilih dalam penetapan tersangka bila hanya menetapkan dua orang dari jajaran direksi.
Jasman menambahkan, hari ini 7 September 2011 penyidik Jampidsus telah
menjadwalkan pemanggilan terhadap tiga orang direksi untuk dimintai keterangan. Namun, ketiganya tidak memenuhi panggilan penyidik.
"Tetapi pengacaranya menyebutkan dia tidak bisa hari ini. Harusnya tadi harus dipanggil. Namun dijadwal ulang, biasalah karena habis lebaran," kata dia.
Mengenai pemanggilan Menteri BUMN saat itu, Sugiharto, Jasman mengatakan dia
masih melihat hasil penyelidikan yang berkembang. "Justru hasil penyelidikan kita selama ini tidak diminta persetujuan pada menteri BUMN. Perbuatan melawan hukumnya kan disitu," kata dia.
Kedua, kata Jasman Menteri BUMN juga telah memberikan uang itu pada perusahaan TALG tanpa jaminan dan ternyata setelah uang dibayar tidak dibayarkan.
"Mereka berpendapat bahwa itu perdata, saya tawarkan. Kalau memang ada silahkan dikembalikan keuangan negara. Tetapi mereka bersikukuh itu perdata. Kami berpendapat ada kerugian negara," kata dia.
Kuasa Hukum eks Dirut Merpati, Lawrance mengatakan bahwa Kejaksaan Agung telah memaksakan diri untuk memidanakan kasus perdata. "Sebab itu murni
perdata," kata Lawrance TP Siburian saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 19 Agustus 2011.
Selain itu, kata Lawrance kasus ini bukanlah perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena kasus ini tak memenuhi tiga unsur yang diperlukan untuk menjerat seseorang dalam tindak pidana korupsi.
Ketiga syarat itu adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kerugian negara dan ada yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. "Ketiga hal
tersebut harus terpenuhi, tidak bisa hanya satu saja. Kalau dia bilang ada kerugian negara, di mana kerugian negaranya," kata dia.
Detik.com Kamis, 8 September 2011
Suap Kemenakertrans Dharnawati Dicecar Pertanyaan untuk Ungkap Peran Nama yang Terlibat
Jakarta - Tersangka kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Dharnawati, diperiksa selama enam jam oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia dicecar 7 pertanyaan terkait peran nama yang disebut terlibat dalam kasus tersebut.
"Diungkap keterkaitannya melalui hasil rekaman dan bukti berupa pesan singkat
atau SMS," tutur kuasa hukum Dharnawati, Muhammad Burhanudin di KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Rabu (7/9/2011) malam. Burhanuddin mengatakan, selama ini dua pejabat Kementerian yang aktif
menghubungi kliennya adalah Sekretaris Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan
Transmigrasi (P2KT) I Nyoman Suisanaya dan Kepala Bagian Program Evaluasi Ditjen P2KT Dadong Irbarelawan.
"Pak Dadong yang meminta. Pak Dadong mengatakan ada permintaan dari Menteri, dia bilang, kalau ada uangnya langsung diserahkan kepada orangnya Pak Menteri, yaitu Fauzi. Jadi, kalau mau dibongkar, ya Fauzi ini kuncinya," terangnya.
Burhanuddin membenarkan ada seorang yang bernama Dani Nawawi yang
mengenalkan kliennya itu kepada Nyoman dan Dadong. Dani adalah orang diluar Kemenakertrans namun pernah aktif di partai politik. Menurut dia, kliennya mengenal Dani melalui hubungan bisnis dan pertemanan.
"Dharnawati ada rencana tender di sana kemudian dikenalkan dengan Nyoman dan Dadong. Mereka dikenalkan oleh Dani Nawawi. Dani ini orang luar, bukan dari Kemankertrans. Tetapi tidak jelas orang partai apa bukan. Dia tidak mengaku sebagai apa-apa meski mengaku pernah aktif di partai," imbuh Burhanuddin. (mpr/her) Koran.republika.co.id
Kamis, 8 September 2011
Staf Pribadi Menakertrans Disebut Terlibat JAKARTA - Tersangka kasus suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Dharnawati berbicara blak-blakan di hadapan penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Karyawan PT Alam Jaya Papua ini menyebut dugaan keterlibatan orang dekat Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam kasus yang menjeratnya.
Anggota tim kuasa hukum Dharnawati, Rahmat Jaya, mengungkapkan, setidaknya
ada tiga nama yang disebut kliennya dan diduga aktif meminta uang kepada PT Alam Jaya Papua. Dia menyebut nama Ali Mudori, Fauzi, dan Acoz. "Ali Mudori merupakan
staf khusus Mentra 1, Fauzi ialah staf pribadi Mentra 1, dan Acoz adalah orang dekat Tamsil," beber Rahmat, Rabu (7/9).
Mentra 1 merupakan sebutan bagi Menakertrans, sedangkan Tamsil, kata Rahmat,
merujuk pada nama Tamsil Linrung, wakil ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Anggota tim kuasa hukum Dharnawati lainnya,
Farhat Abbas, mengakui adanya aliran dana suap kepada sejumlah kader partai
politik. Bahkan, ujarnya, kader partai ini meminta jatah hingga 10 persen dari total nilai proyek yang mencapai Rp 500 miliar. Namun, ia enggan menyebutkan nama
kader dan parpol yang dimaksudnya dengan dalih masih dalam proses penyidikan. Dharnawati bersama dua pejabat Kemenakertrans ditangkap pada 25 Agustus lalu
beserta barang bukti uang suap senilai Rp 1,5 miliar yang disimpan di dalam kardus pembungkus durian. Dua pejabat yang juga telah dijadikan sebagai tersangka ini adalah I Nyoman Suisnaya, sekretaris Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT), dan Dadong Irbarelawan, kepala bagian Perencanaan dan Evaluasi P2KT.
KPK, kemarin, menjadwalkan pemeriksaan terhadap Fauzi, mantan kepala seksi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah IV C Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Sindu Malik, dan Dirjen P2KT Jamaluddin Malik. Namun, semua saksi tidak hadir memenuhi panggilan KPK. "Mereka tidak ada yang datang tanpa keterangan, KPK akan
melakukan panggilan ulang," kata Kabag Media dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha kepada Republika.
Selasa (6/9) lalu, Farhat mengatakan, Dharnawati memberikan keterangan adanya peran Sindu Malik sebagai makelar proyek PPIDT kepada penyidik KPK. Mantan
pejabat Kemenkeu itu, kata Farhat, terus menekan kliennya supaya memberikan suap kepada pejabat di Kemenakertrans.
Bahkan, Sindu pernah menghubungi Bupati Manokwari, Papua Barat, supaya PT Alam Jaya Papua diganti sebagai rekanan Kemenakertrans dengan perusahaan kontraktor lain jika tidak menyediakan uang suap tersebut. Program PPIDT ini dilaksanakan di 19 kabupaten yang salah satunya adalah Manokwari.
Soal tudingan itu, Dadong membantah menerima uang dari Dharnawati sebesar Rp 1,5 miliar. Dia berkelit jika segala perbuatannya dilakukan berdasarkan tanggung jawab atasannya, yakni I Nyoman Suisnaya. "Saya cuma pejabat eselon III, yang
bertanggung jawab tentu saja Pak Sesditjen," ujarnya usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK.
Dadong juga membantah tudingan kuasa hukum Dharnawati, Rahmat Jaya, bahwa ia meminta jatah Rp 100 juta dari uang Rp 1,5 miliar yang disita KPK. Melalui kuasa
hukumnya, M Syafri Noer, Dadong mengaku hanya dititipi uang yang nantinya akan dibagikan ke sejumlah orang yang terkait proyek di Manokwari, Papua Barat.
"Klien saya diperintahkan untuk menerima uang tersebut. Ini uang titipan untuk dibagikan kepada beberapa orang yang ada hubungannya dengan proyek
Manokwari, tapi saya tidak bisa sebutkan," tutur Syafri. Dibantu kuasa hukumnya,
Dadong menjawab 25 pertanyaan yang diajukan tim penyidik KPK mengenai uang Rp 1,5 miliar yang ditemukan di kantornya. Dipanggil presiden
Suara miring mengenai dugaan korupsi yang melibatkan orang-orang dekat
Menakertrans rupanya telah sampai ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Presiden sudah memanggil secara khusus Muhaimin, Selasa (6/9) lalu, seusai sidang kabinet di kantor presiden.
Presiden meminta Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu untuk menjelaskan
kasus korupsi yang menjerat anak buahnya di Kemenakertrans ini secara transparan.
"Pak Muhaimin diminta proaktif menjelaskan kepada masyarakat dan aparat penegak
hukum terkait dengan apa yang terjadi sesungguhnya," ungkap Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, Rabu (7/9).
Menurut Julian, jika kasus ini kelak terbukti melibatkan Muhaimin, ini harus
dipertanggungjawabkannya. Sebaliknya, kata Julian, bila memang tidak ada bukti yang kuat, Muhaimin tak perlu dipermasalahkan. Perkara ini dimintanya jangan sampai mengemuka dan menjadi fitnah. teguh firmansyah, ed: budi raharjo
Vivanews.com
Kamis, 8 September 2011
Muhaimin: Kemenakertrans Tak Minta Rp500 M
"Wewenang soal dana itu sepenuhnya ada di Kementerian Keuangan, bukan Kemenakertrans." VIVAnews – Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, menyatakan bahwa anggaran proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah Transmigrasi senilai Rp500 miliar tidak diajukan oleh Kemenakertrans.
“Dana PPIDT biasanya disebut dana transfer daerah yang masuk ke dalam dana penyesuaian. Dalam pengetahuan kita, dana penyesuaian infrastruktur itu
sepenuhnya ada di Kementerian Keuangan, dan besarannya diputuskan bersama Badan Anggaran DPR yang di dalamnya mencakup semua komisi di DPR,” kata
Muhaimin saat memberikan penjelasan di hadapan Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis 8 September 2011.
Hal itu, menurut Muhaimin, telah diatur dalam Undang-undang. “Dasar hukum itu menjadi background, bahwa dana PPIDT bukan masuk ke dalam Daftar Isian
Pelaksana Anggaran Kemenakertrans, dan juga tidak masuk ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara – Perubahan milik Kemenakertrans,” ujar Muhaimin.
Penjelasan Muhaimin itu untuk menjawab pertanyaan Komisi IX DPR soal
mengucurnya anggaran PPIDT sebesar Rp500 miliar tanpa sepengetahuan mereka.
“Sebenarnya dalam APBN-P, Kemenakertrans mendapat Rp270 miliar. Kok tiba-tiba nyelonong jadi Rp500 miliar. Kami kaget,” kata Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning. Padahal, kata Ribka, Panitia Kerja Anggaran Komisi IX hanya menyetujui Rp270 miliar.
“Kemenakertrans adalah mitra Komisi IX. Jadi kami akan mempertanyakan, kenapa
dana itu tidak dikoordinasikan dan diinformasikan kepada kami. Apapun, kami harus tahu mengenai hal itu,” ujar Ribka lagi. Ia mengaku jengkel ketika pertama kali mendengar anggaran PPIDT ternyata lebih besar daripada yang sebelumnya disepakati oleh Komisi IX.
Anggaran PPIDT sebesar itu terungkap ketika KPK menangkap tiga tersangka terkait
kasus suap PPIDT. KPK menemukan uang Rp1,5 miliar dari tangan I Nyoman Suwina, Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kemenakertrans. Uang
tersebut diduga terkait imbalan pencairan dana PPIDT. “Proyek dari Kemenakertrans itu bernilai Rp500 miliar. Uang Rp1,5 miliar itu untuk fee, untuk APBNP 2011,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Anggaran Rp500 miliar itu disepakati antara Badan Anggaran DPR dan pemerintah.
“Dari alokasi Rp1 triliun yang diminta Menakertrans, hanya bisa diberi Rp500 miliar.
Itu diputuskan bulan Juli 2011 lalu di Puncak, setelah rapat kurang lebih dua minggu membahas asumsi makro penambahan pendapatan negara,” kata anggota Banggar Wa Ode Nurhayati.
Komisi IX pun merasa ‘dikelabui’ dan diloncati kewenangannya oleh Banggar, karena Kemenakertrans seyogyanya adalah mitra resmi mereka. “Semua anggota DPR dan alat kelengkapan DPR punya tugas yang sama – pengawasan, legislasi, budgeting. Jadi tidak ada yang lebih istimewa,” tegas Ribka.
Namun Muhaimin telah menjelaskan, anggaran sebesar Rp500 miliar itu bukan atas permintaan Kementeriannya, karena merupakan wewenang Kementerian Keuangan. (umi)
Lampung.tribunnews.com Rabu, 7 September 2011
Kepala BPN Tuba Diduga Korupsi Rp 1,6 Miliar TRIBUN LAMPUNG.co.id - Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tulangbawang
(Tuba) nonaktif Syukri Hidayat didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan proyek nasional (prona) sertifikasi tanah dengan kerugian negara sebesar Rp 1,6 miliar di Pengadilan Tipikor Lampung, Rabu (7/9/2011). Berdasarkan SK Kepala Kanwil BPN Lampung No 24 Tahun 2008 tanggal 13 Maret
2008, Syukri bertugas sebagai Petugas Pelaksana Program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam rangka Pembuatan Sertifikat Hak Milik Transmigrasi
Lampung. Terdakwa diduga menyelewengkan dana senilai Rp 1,6 miliar dari dana program yang bersumber dari biaya APBN tahun 2008 sebesar Rp 2,5 miliar.
Program yang dilaksanakan tahun 2008 tersebut berdasarkan DIPA Kanwil BPN Lampung No SP.0013.0/056-01.0/VII/2008 tanggal 31 Desember 2007.
Adapun kegiatan yang dibiayai APBN dalam rangka penerbitan sertifikat yakni,
penyuluhan, pengumpulan data yuridis, pengukuran bidang/tugu orde 4, penetapan hak, pendaftaran tanah, penerbitan sertifikat.
Sementara kegiatan yang tidak dibiayai dalam DIPA prona atau dibiayai sendiri oleh masing-masing peserta/pemohon sertifikat adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh) dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan bangunan bagi yang terkena, biaya materai untuk leges alas hak.
Jaksa Agustina mengatakan, sekitar bulan Maret 2008, terdakwa Syukri memanggil tiga kepala kampung (kakam) yaitu Kakam Indra Loka I Kecamatan Way Kenanga Jumali, Kakam Setiatama Kecamatan Gedung Aji Supriyadi, Kakam Makartitama
Kecamatan Gedung Aji Baru Sariyo. Kemudian pada bulan April 2008, terdakwa
memanggil empat kakam lainnya, Kakam Trirejo Mulyo Kecamatan Penawartama Joko Prayitno, Kakam Bujuk Agung Kecamatan Banjar Margo I Gusti Nyoman Agus Putra, Kakam Sumber Agung Kecamatan Rawapitu
Subari, Kakam Fajar Baru Kecamatan Panca Jaya Suroso. Ketujuh kakam dipanggil terdakwa untuk datang dalam pertemuan di kantor BPN Tuba.
"Dalam pertemuan pada waktu yang berbeda itu, terdakwa menjelaskan tentang Program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam rangka Pembuatan
Sertifikat Hak Milik Transmigrasi Lampung dan meminta kepada tujuh kakam untuk membayar per sertifikat Rp 350 ribu - Rp 490 ribu," ujar Agustina kepada hakim
ketua Ida Ratnawati didampingi Sri Suharini dan Haridi dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum.
Dia menambahkan, pembayaran bisa dilakukan bertahap hingga pembuatan sertifikat selesai.
Padahal pembuatan sertifikat tersebut tidak dipungut biaya seperti yang diatur
dalam petunjuk teknis (Juknis) Prona tahun 2008 yang dikeluarkan Surat Sekretaris Utama BPN RI tanggal 22 Februari 2008 No. 496-120-1-Settama perihal Petunjuk Teknis Pelaksanaan APBN tahun Anggaran 2008 di Lingkungan BPN RI dan Surat
Kepala BPN No 963-310-D.11 tanggal 28 Maret 2008 tentang petunjuk teknis prona. "Namun terdakwa tetap meminta biaya kepada masyarakat melalui kakam yang telah ditunjuk," lanjutnya.
Setelah pembayaran tahap I yang dilakukan masyarakat, ternyata diketahui bahwa pembuatan sertifikat tidak dikenakan biaya maka masyarakat tidak mau menyerahkan sisa dana yang harus mereka bayar.
Untuk meredam kemarahan masyarakat, terdakwa mengatakan dana yang diberikan kepadanya digunakan untuk pembayaran BPHTB.
Jaksa Agustina mengatakan terdakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya karena pembayaran BPHTB seharusnya dibayar langsung masyarakat ke Kantor Pelayanan PBB setempat bukan kepada terdakwa selaku Kepala BPN.
Perbuatan terdakwa mengakibatkan masyarakat di tujuh kampung yakni Kampung
Makartitama Kecamatan Gedung Aji Baru, Kampung Fajar Baru Kecamatan Panca Jaya, Kampung Sumber Agung Kecamatan Rawapitu, Kampung Setiatama Kecamatan
Gedung Aji Baru, Kampung Bujuk Agung Kecamatan Banjar Margo, Kampung Trirejo Mulyo Kecamatan Penawartama, Kampung Indra Loka I Kecamatan Way Kenanga di Kabupaten Tulangbawang mengalami kerugian sebesar Rp 1,6 miliar. Jaksa menjerat terdakwa dengan pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primer. Sementara dakwaan subsider,
terdakwa dijerat pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Okta)
Humas PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER: Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.