P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 01 Desember 2011
Indeks 1. Hanya Angelina yang Disebut Nazaruddin mulai diadili dalam kasus Wisma Atlet 2. Suap Wisma Atlet Perjalanan itu mulai dari Cikeas 3. Akhirnya, Pencuci Uang Rp 64 M itu benar-benar Dibui 12 Tahun 4. Pejabat Kemenag jadi Tersangka Korupsi Alat Laboratorium Madrasah 5. Empat Tersangka Korupsi BPOM Naik ke Penuntutan
Cetak.kompas.com
Kamis, 1 Desember 2011
Hanya Angelina yang Disebut Nazaruddin Mulai Diadili dalam Kasus Wisma Atlet Jakarta, Kompas - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Rabu (30/11), mulai diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia didakwa menerima gratifikasi dari proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, senilai Rp 4,675 miliar.
Namun, dalam dakwaan yang dibacakan tim jaksa penuntut umum dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya nama Angelina Sondakh dari unsur pimpinan
Partai Demokrat (F-PD) dan anggota DPR yang disebut turut berperan dalam kasus itu. Tim jaksa terdiri dari I Kadek Wiradana, Edy Hartoyo, dan Anang Supriatna. Nama lain yang pernah disebut Nazaruddin dalam pelariannya, seperti Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng, Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum, serta anggota F-PD DPR, Mirwan Amir, dan I Wayan Koster (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), tak muncul dalam dakwaan itu.
Dalam dakwaan, lima cek dari PT Duta Graha Indah (DGI), perusahaan yang
memenangi proyek wisma atlet SEA Games itu, tidak pernah diserahkan langsung kepada terdakwa. Cek itu diterima Yulianis dan Oktarina Furi, anggota staf PT Anak Negeri, dan disimpan di brankas.
Nama lain yang disebut terlibat dalam perkara itu antara lain mantan Sekretaris
Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Manajer PT DGI Mohammad El Idris, serta Direktur PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang. Ketiganya juga
menjadi terdakwa dalam kasus suap proyek wisma atlet. PT Anak Negeri disebutkan
sebagai perusahaan milik terdakwa.
”Kami mempertanyakan KPK, mengapa peran Andi sebagai atasan Wafid tak dilihat lebih dalam. KPK harus menjelaskan hal ini ke publik,” kata Koordinator Divisi
Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah di
Jakarta, Rabu. Ia juga mempertanyakan tidak dikaitkannya kasus ini dengan Anas, Mirwan, dan nama lain yang selama ini disebut-sebut oleh Nazaruddin.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, dakwaan harus terkait dengan orang yang
didakwa. ”Selain itu, nama-nama yang disebutkan Nazaruddin harus didukung bukti. Tidak bisa hanya karena pengakuan, lantas orang lain dijadikan tersangka. KPK juga
masih mengembangkan kasus ini. Apakah dalam sidang nanti muncul fakta lain yang mendukung pengakuan Nazaruddin tentu akan ditindaklanjuti. Kasus ini belum selesai,” katanya.
Menurut Johan, Angelina disebut dalam dakwaan karena kaitannya jelas dengan
kasus Nazaruddin. ”Jalinan cerita yang didakwakan kepada Nazaruddin menyangkut Angelina,” katanya.
Ketua Departemen Penegakan Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Benny K Harman menyatakan bahwa pertanyaan terkait dakwaan terhadap Nazaruddin
harus ditujukan kepada KPK. Partai Demokrat tak mengintervensi kasus itu. Kasus Nazaruddin menciptakan persepsi buruk pada Partai Demokrat. ”Kami serahkan
kasus ini ke penegak hukum. Silakan dibuka di sidang dengan bukti dan bukan kata.
Publik akan menilai langkah KPK menangani kasus ini,” katanya. Munculnya nama Angelina dalam dakwaan, Benny mempersilakan pengadilan membuka. Tak pernah ditanya Sidang perdana terhadap Nazaruddin, Rabu, juga berlangsung ”panas”. Terdakwa
dan penasihat hukumnya, antara lain Hotman Paris Hutapea, Elza Syarief, Rofinus,
dan Otto Hasibuan, berulang kali mengajukan pertanyaan terhadap dakwaan jaksa. Selain mempersoalkan surat dakwaan yang dianggap cacat dan merupakan hasil rekayasa, Nazaruddin juga menceritakan kembali dugaan keterlibatan Anas dalam
kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan kisah pelariannya ke luar negeri setelah bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Darmawati Ningsih, terdakwa mengaku tak mengerti sama sekali perkara yang didakwakan kepadanya. Dia
mengaku, sejak ditahan KPK pada Agustus 2011, tak pernah ditanya sama sekali oleh penyidik KPK mengenai perkara yang dituduhkan kepadanya.
Nazaruddin saat kasus itu terjadi masih menjadi anggota Komisi III DPR, yang
membidangi hukum, dan tidak ada kaitan dengan pembangunan wisma atlet SEA
Games di Palembang. ”Saya tak mengerti hubungannya dengan PT DGI. Saya juga tak mengerti soal pertemuan itu, tentang saya menerima cek. Tidak pernah sama sekali, hal-hal yang menyangkut dakwaan, ditanyakan kepada saya oleh penyidik, misalnya kapan dan di mana saya menerima cek dari El Idris, cek yang mana yang dicairkan Yulianis dan nilainya berapa,” ujarnya.
Nazaruddin juga menyatakan tak pernah ditanya penyidik soal keterkaitannya dengan PT Anak Negeri dan Permai Group.
Terkait dengan pernyataan Nazaruddin dan penasihat hukumnya tersebut, jaksa mengatakan bahwa terdakwa pernah bertemu dengan Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi dan El Idris membicarakan proyek wisma atlet.
Jaksa juga menjelaskan, dalam menyusun dakwaan, jaksa mendasarkan pada semua alat bukti yang diperoleh, bukan hanya keterangan terdakwa.
Tim penasihat hukum Nazaruddin pun mempertanyakan kepada majelis hakim
mengapa dalam berita acara pemeriksaan (BAP), Nazaruddin tidak pernah ditanya hal-hal yang didakwakan, termasuk tuduhan ia menerima uang. ”Persidangan ini
cacat hukum sebab penyidikannya tidak benar. Dalam BAP tidak ada pertanyaan soal perkara yang dituduhkan kepada Nazaruddin,” kata Hotman.
Dalam dua kali pemeriksaan, 14 Agustus 2011 dan 12 Oktober 2011, BAP
Nazaruddin berisi tentang kronologi buronnya ke luar negeri mulai dari Singapura
pada 23 Mei 2011 hingga tertangkap di Kolombia. Selain itu, berisi pula keterangan tentang paspor atas nama Syarifuddin, percakapan telepon, dan hubungannya
dengan Mindo Rosalina. BAP juga banyak berisi keterangan Nazaruddin tentang proyek Hambalang.
Seusai sidang, Nazaruddin menceritakan dugaan upaya Anas dan Ketua KPK Busyro Muqoddas terkait proyek Hambalang. ”Proyek Hambalang sengaja dihambat Pak Busyro karena ada tawar-menawar soal pimpinan KPK ke depan. Juga ada bukti
transfer kepada Anas. Pak Busyro sengaja mengulur waktu seperti pemain sinetron,” katanya.
Busyro pernah menyebutkan, pernyataan Nazaruddin tak perlu didengarkan. Anas akan diperiksa terkait kasus Hambalang.
Nazaruddin dan penasihat hukumnya akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan jaksa. (faj/ray/bil/nwo) Cetak.kompas.com
Kamis, 1 Desember 2011
SUAP WISMA ATLET Perjalanan Itu Mulai dari Cikeas Hampir tujuh bulan sejak pelariannya, Muhammad Nazaruddin akhirnya menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (30/11), sebagai
terdakwa perkara korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang. Meski grogi pada awal sidang, dia memberikan kejutan di akhir.
Kepada majelis hakim, sebelum hengkang ke luar negeri, Nazaruddin mengaku ”mampir” dulu ke Cikeas, Bogor, karena dipanggil Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Namun, ia tak menjelaskan apa tujuan pemanggilannya ke Cikeas itu.
”Pada panggilan ketiga, saya menjelaskan soal 23 Mei. Pada 23 Mei 2011 itu, saya dipanggil ke Cikeas oleh Pak SBY dan pimpinan Demokrat yang lain. Saya ceritakan kronologinya. Terus saya berangkat ke Singapura,” katanya.
Belum selesai menjelaskan, kata Nazaruddin, penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sudah memotong penjelasannya. Ia menduga ada sesuatu yang ingin
ditutup-tutupi oleh KPK. ”Penyidik bilang jangan dari situ, dari Singapura saja.
Mengapa? Ada sesuatu yang ditutupi dalam kasus ini. Ada rekayasa,” paparnya. Kemudian, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini memulai petualangannya ke sejumlah negara. Dari Singapura, ia lalu ke Vietnam, Malaysia, Uni Emirat Arab, Venezuela, Dominika, dan Kolombia. Seperti layaknya miliarder, ia memakai pesawat jet pribadi dalam perjalanan berpindah-pindah negara itu. Nazaruddin ditangkap Interpol di Cartagena, Kolombia, kota yang dikenal memiliki pemandangan eksotis.
Selama pelariannya di luar negeri, Nazaruddin mengungkapkan sejumlah pengakuan yang membuat gempar, di antaranya tudingan kepada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan sejumlah politikus lain terkait dalam korupsi sejumlah proyek.
Pengakuan selama pelarian itu diungkapkan secara detail saat Nazaruddin diperiksa untuk ketiga kalinya di KPK. Dalam sebuah dokumen, Nazaruddin menjelaskan peran Anas; Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng; anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Mirwan Amir, Mulyono, dan Angelina Sondakh; serta Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto dan Doni Tokan, yang disebutnya sebagai orang dekat Anas dalam kasus Stadion Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Menurut Nazaruddin, tugas Mirwan mengatur di Badan Anggaran (Banggar), Angelina yang mengondisikan Banggar Komisi X DPR dan urusan teknis dengan menteri
terkait. Tugasnya memonitor yang dilakukan Mirwan dan Angelina serta mengajak
Mahyuddin (Komisi X DPR) untuk bertemu Andi Mallarangeng. Semuanya itu diatur
Anas. Namun, dalam sejumlah kesempatan, Anas, Angelina, Mirwan, dan Andi membantah keterangan Nazaruddin ini.
Setelah bertemu Andi pada Januari 2010, Nazaruddin mengaku melaporkan
perkembangan Hambalang itu ke Anas. Tudingan Nazaruddin terhadap sejumlah nama itu juga beberapa kali diungkapkannya kepada wartawan seusai diperiksa KPK. Anas membantah tudingan itu. Nazaruddin dilaporkan ke polisi dan sudah ditetapkan sebagai tersangka atas perkara pencemaran nama baik Anas.
Seusai diperiksa menyangkut kasus korupsi pembangkit listrik tenaga surya pada 19 September lalu, Nazaruddin juga mengungkapkan aliran uang dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung 2010. Ia menyatakan sumber dana itu dari beragam proyek, seperti proyek Hambalang yang diserahkan Mahfud (pengusaha) kepada Yulianis, orang kepercayaan Anas. Ada pula dari proyek e-KTP serta pembangunan PLN di Riau dan pembangkit di Kalimantan Timur.
Namun, berbagai pengakuan itu itu tak tertuang dalam dakwaan jaksa, Rabu.
Dakwaan hanya menyangkut penerimaan uang senilai Rp 4,6 miliar oleh Nazaruddin terkait pembangunan wisma atlet. Kini ditunggu langkah KPK untuk membuka keterkaitan nama-nama yang disebut Nazaruddin itu. (RAY/FAJ)
Detik.com
Kamis, 1 Desember 2011
Akhirnya, Pencuci Uang Rp 64 M itu Benar-benar Dibui 12 Tahun Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menghukum bekas pejabat Ditjen Pajak, Bahasyim Assifie dengan penjara selama 12 tahun. Sebagai bekas PNS Ditjen Pajak, kekayaannya sangat fantastis yaitu lebih dari Rp 64 miliar.
Setelah melalui proses hukum yang cukup alot, akhirnya dia dihukum masing-
masing 6 tahun penjara untuk tindak pidana pencucian uang dan 6 tahun penjara untuk tindak pidana korupsi.
"Untuk korupsi dipidana 6 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta dan pencucian uang selama 6 tahun dengan denda 500 juta," kata ketua majelis hakim, Djoko Sarwoko, Selasa, (30/11/2011).
Putusan ini seakan membungkam pengakuan Bahasyim yang sempat mengatakan harta senilai Rp 64 miliar tersebut adala hasil kreatifitasnya sebagai PNS. Hasil kreatifitas yang diinvestasikan ke dalam berbagai bisnis miliknya.
"Saya bukan mafia pajak. Saya hanya PNS yang kreatif," ujar Bahasyim kala itu di PN Jaksel. Bahasyim yang dilahirkan di Sidoarjo, Jawa Timur, 5 Juni 1952 silam memulai
kariernya pada 1976 sebagai pegawai negeri di Ditjen Pajak. Dia juga mengaku
pernah jadi sopir taksi dan fotografer. Pada awal-awal kariernya di Ditjen Pajak itu, ia menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Berita Pajak.
Lantas, kariernya meroket bak meteor. Antara lain menjadi Kepala Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Koja, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Barat, dan kemudian Inspektur
Bidang Kinerja Kelembagaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional sejak Mei 2008.
Meski hanya sebagai PNS, kekayaan Bahasyim layaknya konglomerat. Sebutlah
rumahnya yang di daerah Pancoran, Jaksel, yang diperkirakan senilai Rp 1,5 miliar.
Belum lagi rumah megahnya di Jalan Cianjur, Menteng, Jakpus yang harganya ditaksir mencapai Rp 25 miliar.
Tidak hanya itu, dia juga memiliki rumah di Kompleks Mas Naga, Bekasi senilai Rp 1 miliar. Hartanya juga ditambah dengan tanah seluas 12 hektare di Cimanggis, Depok.
Tidak hanya itu Bahasyim juga terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 1 miliar dari
konglomerat Kartini Mulyadi saat Bahasyim menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII. Waktu itu, Bahasyim meminta uang dengan mendatangi kantor Kartini di kawasan segi tiga emas, Kuningan pada 3 Februari 2005.
Lantas Kartini mengirimkan uang itu ke rekening istri Bahasyim, Sri Purwanti. Uang
Rp 1 miliar inilah yang ikut menghantarkannya ke penjara atas delik korupsi. Ibarat pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya Bahasyim masuk penjara juga.
(asp/rdf)
Detik.com
Kamis, 1 Desember 2011
Pejabat Kemenag Jadi Tersangka Korupsi Alat Laboratorium Madrasah Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan dua orang sebagai tersangka korupsi proyek pengadaan alat laboratorium di madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah seIndonesia. Dua tersangka itu adalah seorang Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Agama dan seorang lagi dari pihak swasta.
"Penyidik Pidsus menetapkan dua orang terkait dugaan korupsi di Kementerian Agama," ujar Kapuspenkum Kejagung, Noor Rachmad, dalam rilisnya, Kamis (1/12/2011).
Penetapan kedua tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) nomor: 163/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 November 2011 atas nama Syaifuddin. Syaifuddin adalah Pejabat Pembuat Komitmen di Kemenag. Sementara sprindik
nomor:164/f.2/fd.1/11/2011 tanggal 29 November 2011 atas nama Ida Bagus
Mahendra Jaya Martha. Ida Bagus adalah konsultan IT, yang menjadi tersangka dari pihak swasta.
Kasus berawal pada tahun 2010, Kemenag memperoleh dana sesuai dengan APBN Perubahan. Saat itu digunakanlah dana itu untuk proyek pengadaan alat
laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) madrasah tsanawiyah se-Indonesia senilai Rp 27,5 miliar. Selain itu, dana juga digunakan untuk proyek yang sama untuk madrasah aliyah senilai Rp 44 miliar.
"Atas dua proyek ini terdapat dua pemenang tender, yakni PT Alfindo Nuratama Perkasa selaku pemenang lelang untuk tsanawiyah, dan PT Sean Hulbert Jaya untuk aliyah," jelas Noor Rachmad.
Namun setelah itu, mereka tidak langsung menjalankan proyek itu, malah
menyerahkan pada pihak lain. Di sinilah mulai adanya praktik kotor berupa mark up. Selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), Syaifuddin tidak mencegah itu.
"Sebagai Konsultan IT, Ida Bagus Mahendra Jaya Martha, tidak menjalankan tugasnya
mengecek barang yang tidak sesuai spesifikasi, sehingga barang yang ada tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya," paparnya.
Akibatnya, lanjut Noor, keduanya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pasal 2 dan 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU UU No 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Negara juga dirugikan sebesar Rp 25 miliar.
"Keduanya belum ditahan dan belum diperiksa sebagai tersangka. Mereka juga
belum diajukan cekal, tapi tidak lama lagi akan segera diajukan. Dalam kasus ini
juga tidak menutup kemungkinan melibatkan pihak lain, seperti termasuk pemenang tender. Tunggu saja hasil penyidikan," tegasnya. (mpr/nvc)
Mediaindonesia.com
Kamis, 1 Desember 2011 Empat Tersangka Korupsi BPOM Naik ke Penuntutan JAKARTA--MICOM: Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa empat
tersangka kasus korupsi pengadaan alat laboratorium di Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2008 segera naik ke tingkat penuntutan.
Informasi itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rachmad di Jakarta, Kamis (1/12). Noor menambahkan bahwa
sampai saat ini, tim penyidik Gedung Bundar sudah melakukan pemeriksaan terhadap 20 saksi.
"Ya, untuk saat ini sudah masuk ke dalam tahap finalisasi pemberkasan di
penyidikan. Ada sebanyak empat berkas untuk empat tersangka," ujar Noor. Keempat tersangka itu adalah Siam Subagyo (Kapus Penelitian Pengujian Obat dan Makanan selaku PPK), Irmanto Zamahrir Ganin (Ketua Panitia Pengadaan), Surung Hasiholan Simanjuntak (Direktur PT Ramos Jaya Abadi) dan Ediman Simanjuntak (Direktur PT Masenda Putra Mandiri).
"Untuk pelimpahan ke pengadilan, itu tidak akan lama lagi. Tunggu saja, kita akan limpahkan ke Pengadilan Tipikor," jelasnya.
Keempat tersengka disangkakan dengan Pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Noor menambahkan bahwa kerugian negara akibat ulah keempatnya menurut Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) adalah sekitar Rp12 miliar.
Sebelumnya, Kejagung telah menahan dua rekanan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kedua rekanan tersebut adalah Direktur PT Ramos Jaya Abadi Surung Hasiholan Simanjuntak dan Direktur PT Masenda Putra Mandiri Ediman Simanjuntak.
Tidak hanya itu, pejabat pembuat komitmen Siam Subagyo dan Kepala Panitia
Pengadaan Irmanto Zamahir Ganin juga telah ditahan oleh Kejagung. (FA/OL-12)
Humas PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER:
Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.