BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Kualitas Pelayanan dalam Industri Retail. Pada dasarnya sebuah industri ritel itu tidak bisa terlepas dari kualitas pelayanan. Karena industri ritel ini adalah bagian dari industri jasa. Oleh karena itu sangat relevan bila peneliti mengkaji service quality dalam penjualan ritel.
2.1.1.1
Definisi Ritel/Pengecer. Sebelum membahas tentang kualitas pelayanan lebih lanjut, peneliti akan membahas sedikit tentang definisi dari ritel. Karena penelitian ini sangat erat dengan industri ritel. Menurut kotler dan Amstrong (2001, p62), ”Retailer / pengecer adalah semua kegiatan yang dilibatkan dalam penjualan barang atau jasa langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi non-bisnis”. Menurut Bunne dan Lucsh (2005) yang dikutip dari DeReMa Jurnal Manajemen vol.2 No.2, Mei 2007, menyatakan bahwa ”Ritel adalah aktivitasaktivitas dari tahapan yang dibutuhkan untuk menempatkan barang (goods) yang dibuat sampai ke tingkat konsumen atau menyediakan jasa ke konsumen”. Sedangkan menurut Berman dan Evans (2001) yang dikuti dari Usahawan no. 07 tahun 2004, p29, penjualan eceran atau lazim disebut sebagai ”Retailing adalah aktivitas penjualan kepada konsumen akhir”.
7
8
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ”Retailer / pengecer adalah aktivitas penjualan barang ataupun jasa hingga ke tangan konsumen akhir’’. 2.1.1.1
Definisi Pelayanan Di sini kata jasa terkadang identik dengan pelayanan karena dalam kenyataannya memang sulit untuk memberikan
batasan yang jelas antara
pelayanan dan jasa. Agar jangan mengaburkan pengertian tersebut di atas, maka di sini peneliti cenderung memakai pengertian pelayanan itu sinonim dengan jasa. Supaya lebih jelasnya peneliti akan mengemukakan pendapat dari para ahli di bawah ini dalam memberikan pengertian tentang pelayanan.
Menurut Kotler (2002,p486) dikatakan bahwa pengertian jasa atau layanan adalah “A service is any activity or benefit that one part can offer to another
that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or not be tied to a physical product”. Maksudnya
jasa
adalah
setiap
kegiatan
atau
kinerja
yang
ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan hak milik terhadap sesuatu. Produksinya bisa atau bisa juga tidak dikaitkan dengan produk fisik.
Menurut Cronin, et al. (2001) dalam Journal of Marketing mengemukakan arti pelayanan sebagai berikut: “Service as an intangible activity that provide the
user same degree of performance satisfaction but does not involve ownership and that in most cases, cannot be stored or transported”. Pelayanan merupakan suatu aktivitas yang tidak berwujud, yang memberikan suatu tingkat kepuasan bagi pemakai jasa tersebut tetapi tidak termasuk kepemilikan dan tidak dapat disimpan atau dipindahkan.
9
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah suatu aktivitas yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dengan tujuan untuk memberikan kepuasan kepada pihak yang menerimanya. 2.1.1.3
Definisi Kualitas Pelayanan Menurut
Tjiptono(2004,p59)
”Kualitas
Pelayanan
adalah
tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Sedangkan menurut Lewis dan Booms yang dikuti dari Tjiptono (2005,p121) merupakan pakar yang petama kali mendefinisikan “Kualitas Jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan”. Dari beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah suatu ukuran tingkat baik-buruknya pelayanan yang diberikan suatu pihak kepada pihak lain (dalam hal ini antara pihak perusahaan dengan konsumen) yang diharapkan sesuai dengan ekspektasi konsumen. 2.1.1.4
Dimensi Kualitas Pelayanan Sejumlah pakar dan peneliti melakukan riset khusus untuk merumuskan dimensi kualitas jasa. Tabel berikut merangkum telaah dimensi kualitas jasa yang banyak diacu. Beberapa diantaranya akan dibahas dalam tabel berikut ini. Tabel 2.1 Dimensi-dimensi Kualitas Jasa PENELITI Albercht
dan
DIMENSI KUALITAS Zemke
Perhatian dan kepedulian, kapabilitas pemecahan
10
(1985)
masalah, spontanitas, dan fleksibilitas, recovery.
Brady dan Cronin (2001)
Kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik, kualitas hasil.
Caruana dan Pitt (1997)
Reliabilitas jasa dan manajemen ekspektasi.
Dabholkar, et al. (1996)
Aspek
fisik,
reliabilitas,
interaksi
personal,
pemecahan masalah, kebijakan. Dabholkar, et al. (2000)
Reliabilitas, perhatian pribadi, kenyamanan, fitur.
Edvardsson, Gustavsson
Kualitas
dan Riddle (1989)
fungsional, kualitas hasil.
Garvin (1987)
Reliabilitas,
teknis,
kualitas
kinerja,
integratif,
fitur,
kualitas
konformasi,
daya
tahan,serviceability, estetika, perceived quality. Gronroos (1979,1982)
Kualitas teknis, kualitas fungsional.
Gronroos (1990,2000)
Profesionalisme
dan
keterampilan,
sikap
dan
perilaku, aksesibilitas dan fleksibilitas, reliabilitas dan
trustworthiness,
recovery,
reputasi
dan
kredibilitas serviscape. Gummesson (1987b)
Kualitas
desain,
kualitas
produksi,
kualitas
penyampaian, kualitas relasional. Gummesson (1991)
Kualitas desain, kualitas produksi jasa, kualitas proses,kualitas hasil.
Gummesson (1993)
Kualitas desain, kualitas produksi dan penyampaian, kualitas relasional, kualitas hasil.
Hedvall dan Paltschik
Kesediaan dan kemampuan untuk melayani, akses
(1989)
fisik dan psikologis.
11
Johnson dan Silvestro
Faktor higienis, faktor peningkatan kualitas, dan
(1990)
threshold factors.
Leblanc
dan
Nguyen
(1988)
Citra korporat, organisasi internal, dukungan fisik terhadap sistem penghasil jasa, interaksi antara staf dan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan.
Lehtinen dan Lehtinen
Kualitas fisik, kualitas interaksi, kualitas korporat.
(1982) Lehtinen dan Lehtinen
Kualitas proses, kualitas hasil.
(1991) Ovreveit (1992)
Kualitas pelanggan, kualitas profesional, kualitas manajemen.
Parasuraman,
zeithaml
dan Berry (1985)
Bukti fisik, reliabilitas, daya tanggap, kompetensi, kesopanan,
kredibilitas,
keamanan,
akses,
komunikasi, kemampuan memahami pelanggan. Rust & Oliver (1994)
Kualitas
fungsional,
kualitas
teknis,
kualitas
lingkungan. Sumber :Tjiptono (2005, pp131-132) Melalui serangkaian penelitian terhadap berbagai macam industri jasa, Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) yang dikutip dari Tjiptono (2005,pp130133) berhasil mengidentifikasikan sepuluh dimensi pokok kualitas jasa, yaitu: 1. Reliabilitas Meliputi dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja (performance) dan sifat dapat
dipercaya
(dependability).
Hal
ini
berarti
menyampaikan jasanya secara benar sejak awal.
perusahaan
mampu
12
2. Responsivitas Yaitu keadaan dan kesiapan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan menyampaikan jasa secara cepat. 3. Kompetensi Yaitu penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat menyampaikan jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan. 4. Akses Meliputi kemudahan untuk dihubungi atau ditemui dan kemudahan kontak. 5. Kesopanan (Cortesy) Meliputi sikap santun, respek, atensi dan keramahan para karyawan . 6. Komunikasi Artinya menyampaikan informasi kepada para pelanggan dalam bahasa yang mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 7. Kredibilitas Yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan kontak dan interaksi dengan pelanggan. 8. Keamanan (Security) Yaitu bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. 9. Kemampuan Memahami Pelanggan Yaitu berupaya memahami pelanggan dan kebutuhan spesifik mereka, memberi perhatian individual, dan mengenal pelanggan reguler. 10. Bukti Fisik (Tangible)
13
Meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil dan bahan-bahan komunikasi perusahaan. Namun dalam riset selanjutnya Parasuraman, Zeithml dan Berry (1988) yang dikutip dari Tjiptono (2005,pp133-135) menemukan adanya overlapping diantara dimensi di atas. Oleh sebab itu mereka menyederhanakan sepuluh dimensi tadi menjadi lima dimensi pokok,yang biasa disebut dengan model SERQUAL. Yaitu : 1. Kehandalan (Reliability) Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat
sejak
pertama
kali
tanpa
membuat
kesalahan
apapun
dan
menyampaikan jasa dengan tepat waktu. 2. Daya Tanggap (Responsibility) Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu
para
pelanggan
dan
merespon
permintaan
mereka
serta
menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat. 3. Jaminan (Assurance) Yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi pelanggannya. 4. Empati (Empathy) Berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personel kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman. 5. Bukti Fisik (Tangible)
14
Berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan. Sedangkan menurut Johnston dan Silvestro (1990) dikutip dari Tjiptono (2005,p135), mengelompokkan dimensi kualitas jasa kedalam tiga kategori, yaitu: 1. Hygiene Factors Yakni atribut-atribut jasa yang mutlak dibutuhkan demi terciptanya persepsi kualitas jasa yang bagus/positif. 2. Quality-anhancing Factors Yakni atribut-atribut jasa yang bila tingkat kinerjanya tinggi akan berdampak positif pada persepsi kualitas, namun bila kinerjanya sudah mencapai tingkat rendah tertentu, tidak ada dampak negatif signifikan. Contohnya : friendliness,
attentiveness, kebersihan, dan ketersediaan. 3. Dual-threshold Factors Yaitu atribut-atribut jasa yang bila tidak ada atau tidak tepat penyampainnya akan membuat pelanggan mempersepsikan kualitas jasa secara negatif, namun bila penyampainnya mencapai tingkat tertentu yang bisa diterima, maka akan menyebabkan pelanggan puas dan persepsinya terhadap jasa menjadi positif. Misalnya : komunikasi, kesopanan, dan kenyamanan. Berdasarkan serangkaian riset kualitatif yang dilakukan dalam rangka menyusun dimensi kualitas jasa ritel, Dabholkar, et al.(1996) dari Tjiptono (2005,p163) mengajukan struktur faktor hierarkis kualitas jasa ritel. Dalam model yang mereka kembangkan, kualitas jasa ritel dievaluasi pada tingkat level berbeda yaitu level dimensi, level keseluruhan (overall) dan level sub-dimensi. Dimensi kualitas jasa ritel meliputi 5 faktor utama : 1. Aspek Fisik (Physical Aspects)
15
Meliputi penampilan fasilitas fisik, dan kenyamanan yang ditawarkan kepada pelanggan berkaitan dengan layout fasilitas fisik (misalnya kemudahan pelanggan untuk bergerak di dalam toko dan mencari barang yang dibutuhkan). 2. Reliabilitas (Reliability) Pada prinsipnya sama dengan dimensi reliabilitas pada model SERVQUAL. Hanya saja disini reliabilitas dibagi menjadi 2 subdimensi, yaitu memenuhi janji dan memberikan layanan dengan tepat. 3. Interaksi Personal (Personal Interaction) Mengacu pada kemampuan karyawan jasa dalam menumbuhkan kepercayaan pelanggan dan sikap sopan/suka membantu. Pada prinsipnya dimensi ini merefleksikan cara karyawan memperlakukan pelanggan. 4. Pemecahan Masalah (Problem Solving) Berkaitan dengan penanganan retur, penukaran dan komplain. 5. Kebijakan (Policy) Mencakup aspek-aspek kualitas jasa yang secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan toko. Seperti jam opersai, fasilitas parkir, dan pemakaian kartu kredit. 2.1.1.5
Model Kualitas Jasa Beberapa peneliti dibidang jasa telah mengembangkan beberapa model kualitas jasa dan berdasarkan urutan atau kronologis dari penemuannya terdiri dari 5 model. Beragam model kualitas jasa ini membantu para manajer jasa untuk menilai berbagai aspek dari kinerja perusahaan dan mengembangkan strategi untuk meningkatkan kualitas jasa. Kelima model tersebut dapat dijelaskan sebagai
16
berikut yang dikutip dari (Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, vol.1 No.2, Maret 2005, pp5-7) 1. The Disconfirmation of Expectationt Model, yang dikembangkan oleh Oliver (1977, 1980, 1981 ). Model ini merupakan model dasar dari semua model kualitas jasa yang ada saat ini. Model ini menerangkan bahwa kualitas jasa ditentukan oleh seberapa besar
ketidaksesuaian
(disconfirmation)
harapan
dalam
mempengaruhi
persepsi konsumen terhadap produk atau jasa. Menurut model ini, ada 3 elemen yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan seseorang, yaitu : - Harapan - Diskonfirmasi - Persepsi. Apabila harapannya melebihi persepsinya, maka akan terjadi diskonfirmasi negatif. Akibatnya tidak puas. Begitu juga sebalikanya. 2. Nordic Model dikembangkan oleh Gronroos (1982). Merupakan model kualitas jasa yang pertama kali mengadopsi model
disconfirmation.
Model
ini
menyatakan
bahwa
pengalaman
terhadap
penggunaan jasa tertentu didasarkan pada 2 hal, yaitu: - Kualitas Fungsional (funcional element) - Kualitas Teknik (technical element). Model kualitas jasa dari Gronroos ini merefleksikan model efek diskonfirmasi harapan (model pertama) dalam mengembangkan model kualitas jasa. 3. The SERVQUAL / Gaps Model, dikembangkan oleh Parasuraman, Zeihaml dan Berry (1985, 1988, 1991).
17
Model
kualitas
menyebabkan
ini
mengidentifikasikan
lima
kesenjangan
yang
dapat
kegagalan jasa yang diterima pelanggan. Model kualitas ini
merupakan suatu konsep yang sangat bermanfaat bagi manajer untuk memahami mengapa sampai terjadi kegagalan dalam kualitas pelayanan dengan menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) dalam mengidentifikasikan dan mengukur dimensi-dimensi kunci dari konsep kualitas jasa. Selanjutnya dalam metode ini juga dijelaskan, bahwa manager agar dapat berhasil memuaskan pelanggannya harus menghilangkan atau mengurangi adanya gap atau kesenjangan pada setiap level. 4. The Three Component Model, yang dikembangkan oleh Rust and Oliver
(1994). Dengan semakin menurunnya kepopuleran model SERVQUAL, muncul model ini yang memperbaruhi konsep kualitas teknik dan kualitas fungsional dari Groonros. Model ini mengemukakan bahwa terdapat tiga elemen utama yang menentukan kualitas jasa, yaitu: - Service Product - Service Delivery - Service Enviroment. 5. Model yang paling akhir yang dikembangkan oleh Brady and Cronin (2001), yaitu Hierarchical Model of Service Quality. Model ini menjelaskan bahwa kualitas jasa terdiri dari tiga elemen,yaitu : - Interaction Quality (kualitas Interaksi) Pada jenjang pertama ini menggambarkan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas jasa. Kualitas interaksi ini terdiri dari tiga indikator, yaitu :
18
1. Sikap Persepsi pelanggan swalayan atas sikap pegawai dalam melayani pembeli. 2. Perilaku Yaitu persepsi pelanggan swalayan atas perilaku pegawai dalam melayani pembeli. 3. Pengalaman Persepsi pelanggan swalayan atas pengalaman pegawai terhadap pekerjaannya. - Physical Enviroment Quality (Kualitas Lingkungan Fisik) Pada jenjang kedua ini mengenai dimensi utama yang digunakan konsumen untuk menilai jasa. Pada kualitas lingkungan fisik ini terdapat tiga indikator, yaitu: 1. Kondisi Ambient Yakni penilaian pelanggan atas suasana aman dan nyaman dari swalayan. 2. Desain Yakni penilaian pelanggan atas tata ruang swalayan. 3. Tangibilitas Yakni penilaian pelanggan atas sarana fisik yang disediakan. - Outcome Quality (Kualitas Keluaran) Sedangkan pada jenjang ketiga ini mengidentifikasikan sub dimensi dari masing-masing item yang membentuk dimensi-dimensi utama. Kualitas keluaran atau hasil juga mempunyai tiga indikator, yaitu: 1. Waktu Tunggu
19
Yaitu penilaian pelanggan terhadap pengelolaan waktu tunggu yang harus dilakukan. 2. Faktor Sosial Yakni penilaian pelanggan lain terhadap reputasi perusahaan. 3. Valensi Yakni kesan pelanggan atas pengalaman berbelanjanya.
Sikap
Kualitas interaksi
Perilaku Keahlian
Kondidi Ambient
Kualitas Kualitas jasa
lingkungan fisik
desain Bukti fisik Waktu tunggu
Kualitas hasil
Faktor sosial valensi
Gambar 2.1
Hierarchical Model of Service Quality Sumber : Brady and Cronin (2001) dalam Jurnal Manajemen dan Pemasaran Vol.6 No.1, Maret 2005.
20
Model ini membantu manager untuk memahami bagaimana konsumen menilai jasa pada setiap tingkat, sehingga berusaha lebih memfokuskan perhatian pada aspek yang dinilai konsumen paling lemah. 2.1.1.6
Karakteristik Jasa/ pelayanan Ada empat karakteristik jasa menurut Yamit (2004, p21), yaitu :
Tidak Terpisah Jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya. Jasa adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama dengan produksi. Misalnya saja ketika kita membeli suatu produk di suatu Hypermarket, maka secara bersama-sama kita juga membutuhkan jasa dari mereka misalnya kita menginginkan pelayanan yang baik dari mereka.
Tidak Berwujud Jasa adalah sesuatu yang tidak dapat disentuh, dilihat, diraba, didengar, atau dibaui sebelum dibeli. Tetapi jasa itu bisa dirasakan, dan bila konsumen merasakan jasa atau pelayanan yang baik dari penyedianya, maka tentu ini adalah nilai positif bagi perusahaan.
Beragam Jasa banyak sekali bentuknya. Kualitas jasa tergantung kepada siapa yang menyediakan, kapan, dimana dan bagaimana mereka melakukan atau memberi pelayanan.
Tidak tahan lama: Salah satu ciri dari jasa yang sangat spesifik adalah bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk penjualan.
21
2.1.1.7
Jenis-jenis Pelayanan Menurut (Bellenger, 1983,p282) yang dikutip dari
Jurnal Ekonomi
Manajemen Universitas Kristen Petra (2007,p9), jenis-jenis pelayanan yang disediakan toko pengecer pada umumnya adalah : a. Waktu layanan toko (store hour) b. Penanganan terhadap barang-barang yang dikembalikan (returned goods) c. Pengiriman barang (delivery) d. Penanganan terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh konsumen (handling complain) e. Penerimaan pesanan melaui telepon dan fax f. Penyediaan fasilitas parkir g. Penyediaan meja informasi untuk membantu konsumen dalam mencari informasi yang dibutuhkan, dan lain-lain. Di sini terlihat bahwa syarat untuk sukses bagi perusahaan yang bergerak dalam bisnis eceran yakni melalui pemenuhan kepuasan terhadap segala kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu, pengecer berusaha agar selalu dapat memuaskan konsumen dengan menyediakan produk yang lengkap pada tokonya sehingga konsumen akan selalu memperoleh barang yang mereka butuhkan dan yang mereka inginkan. Pelayanan yang memuaskan juga merupakan tuntutan bagi pengecer dimana konsumen akan suka dan senang apabila mereka dilayani secara memuaskan bagaikan seorang raja, yaitu dengan menyediakan fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, seperti adanya ruang tunggu yang sejuk dan bersih dan sebagainya, sehingga akan membuat konsumen merasa betah dan bebas dalam melakukan aktivitas pembeliannya.
22
2.1.2
Kepercayaan Konsumen (Customer Trust) Rasa percaya memang merupakan landasan bisnis yang kuat. Tanpa adanya rasa percaya, tak akan ada transaksi bisnis yang terjadi. Jadi jelaslah bahwa kepercayaan merupakam motor penggerak bisnis.
2.1.2.1
Definisi Kepercayaan Konsumen (Costumers Trust) Menurut Costabile dalam Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan vol.6 No.2 (2004) kepercayaan konsumen atau customers trust didefinisikan sebagai persepsi akan keterhandalan dari sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urut-urutan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan itu akan muncul apabila konsumen sudah merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan.
2.1.2.2
Konsep Kepercayaan Konsep Kepercayaan Menurut Soetomo (2002) yang diambil Jurnal Marketing dan Kewirausahaan Vol.5 No.2 (2004), ada lima tindakan yang menunjukkan suatu kepercayaan: (1) Menjaga hubungan (2) Menerima pengaruh (3) Terbuka dalam komunikasi (4) Mengurangi pengawasan (5) Kesabaran akan faham oportunis.
23
2.1.2.3
Membangun Kepercayaan Konsumen Pada
dasarnya
kepercayaan
konsumen
timbul
dari
suatu
proses
pembinaan yang cukup lama sampai kedua belah pihak saling mempercayai. Apabila kepercayaan sudah terjalin di antara pelanggan dan perusahaan, maka perusahaan tidak akan teralu sulit untuk mempertahankan pelanggannya. Tetapi membangun kepercayaan konsumen itu bukan perkara yang mudah. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen. Tetapi pada dasarnya kepercayaan konsumen akan timbul bila mereka merasa puas atas kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan kepada mereka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Jasfar, Farida (2005,p10) dimana dalam penelitian itu disimpulkan bahwa “Variabel kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan pelanggan”. Dalam sebuah artikel yang berjudul (Membangun Kepercayaan dengan
Kedekatan, Sinar Harapan 2007), menyebutkan bahwa hanya ada satu kunci untuk membangun kepercayaan Konsumen, yaitu pendekatan. Namun kedekatan ini memiliki tiga titik tolak, yaitu kedekatan fisik, kedekatan intelektual dan kedekatan emosional. 1. Kedekatan Fisik Yang dimaksud kedekatan fisik disini adalah bahwa perusahaan harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan para konsumennya. Menurut David J. Lieberman dalam bukunya Get Anyone To Do Anything mengatakan bahwa ”komunikasi menciptakan rasa saling percaya, dan memungkinkan kita untuk membangun jembatan psikologis dengan orang lain”. Komunikasi yang dimaksud di sini tentu saja komunikasi dua arah, yaitu yang mencakup tindakan menyampaikan pendapat, informasi dan menerima pendapat dan
24
informasi. Yang penting adalah membangun komunikasi yang tulus sehingga antara pihak perusahaan dengan konsumen. Sehingga perusahaan bisa mengerti apa yang diinginkan oleh para konsumen. 2. Kedekatan Intelektual Kedekatan fisik saja ternyata belum lengkap dalam membangun kepercayaan konsumen. Kedekatan intelektual perlu diterapkan juga agar kepercayaan tidak hanya pada permukaan saja, tapi juga bisa meraih ke pikiran. Yang dibidik dari kedekatan intelektual adalah keinginan untuk saling mengerti. Jika kondisi saling mengerti bisa diciptakan maka kepercayaan pun lebih mudah untuk dibangun antara kedua belah pihak. Kedekatan intelektual bisa dikembangkan melalui pengalaman. Dimana yang dimaksud pengalaman disini adalah pengalaman konsumen selama berbelanja, apakah mereka merasa sudah puas, atau sebaliknya. Melalui kedekatan intelektual ini diharapkan perusahaan bisa lebih tahu hal-hal apa saja yang membuat konsumen merasa kurang puas dan hal-hal apa saja yang membuat mereka puas. Jadi intinya di sini adalah untuk membangun kepercayaan, kita harus terlebih dulu untuk membangun pengertian. Tanpa adanya ‘saling mengerti’ tidak akan ada ‘saling percaya’ 3. Kedekatan Emosional Kedekatan fisik dan intelektual memang perlu dibangun, tetapi yang paling penting adalah mempertahankan kedekatan secara emosional. Kedekatan emosional inilah yang membuka kunci ”kepercayaan”. Jadi disini perusahaan harus dapat membangun kedekatan emosional dengan para pelanggannya. Kedekatan emosional ini bisa muncul jika ada rasa saling menyukai, keinginan untuk saling membantu, dan ketulusan untuk saling menghargai antara pihak konsumen dengan pihak perusahaan.
25
Menurut Shaw (2000,p27) dalam sebuah artikel di internet, ada 3 faktor penting untuk membangun kepercayaan: 1. Situasi Dalam membangun kepercayaan tergantung pada situasi dan risiko yang ada. 2. Kejadian masa lampau Perusahaan akan sulit membangun kepercayaan bila konsumen mengalalami kejadian buruk pada masa lampau. 3. Kredibilitas perusahaan Untuk membangun kepercayaan konsumen, perusahaan harus mempunyai kredibilitas yang baik. Menurut Shabazz, Abu An-Nagary (2008), dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Membangun Kepercayaan Pelanggan ”.
Ada beberapa langka-langkah
dalam membangun kepercayaan pelanggan, diantaranya: 1. Tidak menyakiti hati atau merendahkan pelanggan. “Pelanggan adalah raja”, demikian pameo yang sering didengar dalam dunia pemasaran. Nah dengan hal itu, maka
hal utama yang harus dilakukan
perusahaan adalah menjaga hati para pelanggan dengan berbuat tidak menyakiti hatinya. 2. Keinginan berkorban untuk pelanggan. Pengorbanan disini bukan berarti perusahaan
harus mengorbankan tujuan
organisasi / perusahaan, tetapi mau berbuat lebih kepada pelanggan kita dengan cara memberikan apa yang telah menjadi hak mereka dengan tidak mengurangi bahkan melebihkan atas hak-hak mereka 3. Menjalani semua ujian.
26
Kepercayaan pelanggan tidak begitu saja muncul, tetapi harus menjalani beberapa ujian - ujian untuk meraihnya. Ujian yang dimaksud disini adalah perusahaan harus bisa memenuhi keinginan-keinginan pelanggan dengan baik. Sedangkan menurut Donney dan Connon (1997, p38) dikutip dari Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, vol 6 No.1, Maret 2005, menjelaskan bahwa ada faktor-faktor
yang
berpengaruh
dalam
proses
terbentuknya
kepercayaan
pelanggan, faktor-faktor itu seperti : reputasi perusahaan, besar/kecilnya perusahaan, saling menyayangi, baik antara pelanggan dengan perusahaan maupun antara pelanggan dengan pegawai perusahaan, termasuk kualitas jasa. Menurut Gabino dan Jhonson (1995) yang dikutip dari jurnal manajemen dan pemasaran jasa, vol 6 No.1, Maret 2005 “Membangun atau membina kepercayaan sebaiknya lebih ditekankan pada kepercayaan individual dengan mengacu kepada keyakinan konsumen atas kualitas dan keterandalan jasa yang diberikan. Dari beberapa pendapat diatas, dijelaskan bahwa kualitas jasa termasuk faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kepercayaan konsumen. Beberapa proses yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan adalah menurut (Doney dan Canon,1997 dalam, Bruhn, 2003,p65) dalam Jurnal
Marketing dan Kewirausahaan Vo.6 No.2, september 2004, yaitu: •
Proses yang terkalkulasi Menurut proses ini pihak tertentu yakin pada perilaku positif pihak lain ketika manfaat dari perilaku negatif pihak yang sama memiliki konsekuensi biaya yang lebih rendah.
•
Proses prediktif Kepercayaan menurut proses ini sangat bergantung pada kemampuan pihak tertentu untuk mengantisipasi perilaku pihak lainnya.
27
•
Proses kemampuan Proses ini berkaitan erat dengan perkiraan kemampuan pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.
•
Proses intensi Menurut proses ini kepercayaan didasarkan pada tujuan dan intensi pihak lain.
•
Proses transfer Kepercayaan menurut proses ini mengacu pada penilaian pihak lain diluar pihak-pihak yang terlibat dalam proses transfer.
2.1.2.4
Manfaat Membangun Kepercayaan Konsumen Menurut Shabazz, Abu An-Nagary (2008), dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Membangun Kepercayaan Pelanggan ”, Manfaat - manfaat dibangunnya kepercayaan
pelanggan
bagi
pegiat
bisnis
adalah
sebagai
berikut
:
1. Meraih sukses berkesinambungan. Membangun kepercayaan pelanggan harus berlandaskan satu petunjuk yang pasti, yaitu suatu petunjuk yang memiliki visi dan misi yang jauh melihat kedepan.
Dengan
berpegang
kepada
rencana
strategik
dan
rencana
operasional yang baku, visioner maka tidak ada kekhawatiran bagi yang menjalankannya. 2. Selalu dilindungi oleh atasannya. Atasan dalam hal ini adalah pelanggan. Dimana bila perusahaan telah memegang kepercayaan pelanggan, tentu akan mendapatkan imbal balik yang paling berharga dari pelanggan, yaitu perusahaan selalu mendapatkan informasi langsung dari pelanggannya, apa yang baik dan apa yang buruk atas barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan. 3. Memperkokoh loyalitas.
28
Kepercayaan pelanggan yang diperoleh akan berakibat kepada munculnya loyalitas pelanggan kepada perusahaan, disaat - saat kita dalam kondisi yang sulit, pelanggan datang kepada perusahaan sebagai penolong dengan tetap berbelanja produk atau jasa di perusahaan.
2.1.3
Keputusan Pembelian Konsumen
2.1.3.1
Definisi Keputusan Pembelian Menurut Sriwardiningsih, Enggal et. Al (2006) yang dikutip dari Journal
The Winner, Vol.7 No.1, maret, 2006 pp.14-25, Pengambilan keputusan konsumen (Consumer
decision
making)
adalah
proses
pengintegrasian
yang
mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya. 2.1.3.2
Perilaku Konsumen Keputusan
pembelian
pada
dasarnya
tidak
terlepas
dari
perilaku
konsumen. Karena perilaku konsumen biasanya akan mempengaruhi keputusan pembelian. Perilaku pembelian konsumen ini mempelajari cara individu, kelompok dan orang dalam memilih, membeli, memakai serta memanfaatkan barang, jasa dalam rangka memuaskan kebutuhan mereka. Menurut Kotler (2005, pp202-215) Perilaku pembelian konsumen di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Faktor Budaya Faktor budaya memiliki pengaruh yang luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen di dalam pembelian. Peran budaya, sub-budaya dan kelas sosial dalam mempengaruhi perilaku konsumen sangatlah penting. a) Budaya
29
Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Anak-anak mendapatkan kumpulan nilai, persepsi, preferensi, dan perilaku dari keluarganya serta lembaga-lembaga penting lainnya. b) Sub-Budaya Masing-masing budaya terdiri dari sub-budaya yang lebih kecil. Sub budaya terdiri dari : bangsa, agama, kelompok ras, daerah geografis. c) Kelas Sosial Kelas sosial tidak hanya mencerminkan penghasilan, tetapi juga indikator lain seperti : pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. 2. Faktor Sosial Selain faktor budaya, perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial, diantaranya kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status sosial dari konsumen. a) Kelompok Acuan Kelompok acuan adalah seseorang atau kelompok
yang memiliki
pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku konsumen. b) Keluarga Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat, dan ia telah menjadi obyek penelitian yang luas. Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer berpengaruh. c) Peran dan Status
yang paling
30
Seseorang berpartisipasi kedalam banyak kelompok sepanjang hidupnya. Kedudukan di masing-masing kelompok dapat ditentukan berdasarkan peran dan status. 3. Faktor Pribadi Keputusan pembelian juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik tersebut meliputi usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, serta kepribadian dan konsep diri sendiri. a) Usia dan Tahap Siklus Hidup Orang membeli barang dan jasa berbeda sepanjang hidupnya. Karena kebutuhannya akan terus berubah sesuai dengan usia dan tahap siklus hidupnya. b) Pekerjaan Pola konsumsi orang juga dipengaruhi oleh pekerjaannya, makin tinggi level pekerjaannya, maka makin kompleks pola konsumsinya. c) Status Ekonomi Status ekonomi seseorang akan berpengaruh besar terhadap pilihan produk. Makin tinggi status ekonomi seseorang, makin tinggi pula keputusan terhadap pemilihan produk. d) Gaya Hidup Gaya Hidup seseorang adalah pola hidup seseorang dalam dunia kehidupan sehari-hari yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapat (opini) yang bersangkutan. Gaya hidup melukiskan ”keseluruhan pribadi” yang berinteraksi dengan lingkungnnya. e) Kepribadian dan Konsep Diri
31
Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku membeli. Yang dimaksud dengan kepribadian adalah ciri-ciri psikologis yang membedakan seseorang yang menyebabkan terjadinya jawaban secara relatif tetap dan bertahan lama terhadap lingkungannya. 4. Faktor Psikologis Kebutuhan yang bersifat psikologis adalah kebutuhan yang timbul dari keadaan fisiologis tertentu seperti kebutuhan untuk diakui, harga diri, atau kebutuhan untuk diterima oleh lingkungannya. Pilihan membeli seseorang juga dipengaruhi oleh faktor psikologis utama, yaitu motivasi, persepsi, proses belajar, serta kepercayaan dan sikap. a) Motivasi Adalah dorongan suatu kebutuhan yang cukup kuat mendesak untuk mengarahkan seseorang agar mencari pemuasan terhadap kebutuhan. b) Persepsi Adalah proses seorang individu memilih, mengorganisasi dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah keputusan. c) Belajar Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seorang individu yang bersumber dari pengalaman. Kebanyakan perilaku manusia diperoleh dari apa yang dipelajari. d) Kepercayaan dan Sikap melalui perbuatan dan belajar, seseorang memperoleh kepercayaan dan sikap. Hal ini selanjutnya mempengaruhi tingkah laku membeli mereka.
32
Faktor Buadaya - Budaya
Faktor Sosial - Kelompok Acuan
- sub budaya
- Kelas Sosial
- Keluarga - Peran & Status
Faktor pribadi - Usia - Tahap Siklus hidup - Pekerjaan - Status Ekonomi - Gaya Hidup - Kepribadian & konsep diri
Factor Psikologis -
Motivasi Persepsi Pengetahuan Keyakinan & Sikap
Pembeli
gambar 2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pembelian Konsumen Sumber : Kotler (2005) 2.1.3.3
Peran Pembelian. Peran pembelian ini sangat mempengaruhi proses keputusan pembelian. Kita dapat membedakan lima peran yang dimainkan orang dalam keputusan pembelian (Kotler 2005,pp.220-221), yaitu:
Pencetus yaitu orang yang pertama kali mengusulkan gagasan untuk membeli produk atau jasa. Dalam sebuah keluarga,semua anggota bisa menjadi pencetus, baik itu ayah, ibu ataupun anaknya. Misalnya dalam sebuah keluarga, seorang anak ingin minta dibelikan mobil.
Pemberi Pengaruh
33
Yaitu orang yang pandangan atau sasarannya mempengaruhi keputusan. Biasanya dalam sebuah keluarga yang menjadi pemberi pengaruh adalah anak. Misalnya seorang anak menginginkan mobil yang berbentuk sedan.
Pengambil Keputusan Yaitu orang yang mengambil keputusan mengenai setiap komponen keputusan pembelian, apakah memutuskan untuk membeli, tidak membeli, bagaimana cara membeli, dan dimana akan membeli. Dalam sebuah keluarga yang mengambil keputusan biasanya adalah kepala keluarga atau ayah.
Pembeli Yaitu orang yang melakukan pembelian yang sesungguhnya. Dan dalam keluarga yang melakukan pembelian sesungguhnya adalah kepala keluarga.
Pemakai Yaitu seseorang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa tertentu. Disini yang menjadi pemakai juga semua anggota keluarga.
2.1.3.4
Perilaku Pembelian Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pembelian. Henry Assael membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembelian dan tingkat perbedaan antarmerek yang dikutip dari Kotler, (2005, p221) sebagai berikut: 1. Perilaku Pembelian yang Rumit Konsumen terlibat dalam perilaku pembelian yang rumit bila mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan adanya perbedaan besar antar merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, berisiko dan sangat mengekspresikan diri, seperti mobil.
34
2. Perilaku Pembelian Pengurang Ketidaknyamanan Dalam
kasus
ini
konsumen
akan
berbelanja
dengan
berkeliling
untuk
mempelajari merek yang tersedia. Jika konsumen menemukan perbedaan mutu antarmerek,mungkin dia akan memilih harga yang lebih tinggi. Jika konsumen menemukan perbedaan kecil dia mungkin akan membeli, semata-mata berdasarkan harga dan kenyamanan. Setelah pembelian tersebut, konsumen mungkin mengalami ketidaknyamanan yang muncul karena adanya fitur yang tidak mengenakkan atau mendengar kabar yang menyenangkan tentang merek lain. Disini fungsi pemasar sangat diperlukan untuk meyakinkan konsumen agar konsumen merasa yakin dan benar dengan pilihannya. 3. Perilaku Pembelian karena Kebiasaan. Banyak produk yang dibeli pada kondisi rendahnya keterlibatan konsumen dan tidak adanya perbedaan antarmerek yang signifikan. Misalnya saja seorang ibu rumah tangga selalu pergi ke Supermarket Giant, karena kebiasaan, bukan karena adanya hal yang berbeda dari supermarket tersebut. 4. Perilaku Pembelian yang Mencari Variasi. Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah tetapi perbedaan antarmerek yang signifikan. Dalam situasi ini, konsumen sering melakukan peralihan merek. Misalnya saja seorang ibu rumah tangga sering berbelanja di Giant, tetapi pada lain kesempatan dia berbelanja di tempat lain karena ingin mencari sesuatu yang berbeda. Nah, disini peran pemasar sangat diperlukan, untuk mencari tahu sesuatu yang berbeda dari tempat lain yang diinginkan oleh para konsumen.
35
Keterlibatan tinggi
Perbedaan besar
Perilaku pembelian
Perilaku pembelian
yang rumit
yang mencari
Antar Merek
Perbedaan Kecil Antar merek
keterlibatan rendah
variasi
Perilaku pembelian
Perilaku pembelian
yang mengurangi
yang rutin /
ketidaknyamanan
kebiasaan
Gambar 2.3 Empat Jenis Perilaku pembelian. Sumber : Kotler (2005, p222) 2.1.3.5
Tahap-tahap Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Menurut
Kotler (2005,p224) ada lima tahap dalam proses pembelian
konsumen yaitu: 1. Pengenalan Masalah Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. 2. Pencarian Informasi
36
Konsumen yang tergugah kebutuhannya akan terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Tantangan bagi marketer adalah mengenali sumber informasi yang paling berpengaruh. 3. Evaluasi Alternatif Mengevaluasi berbagai alternatif yang ada dalam konteks kepercayaan utama tentang konsekuensi yang relevan dan mengkombinasikan pengetahuan tersebut untuk membuat keputusan. 4. Keputusan Pembelian. Calon pembeli menentukan apa dan dimana produk pilihan mereka akan dibeli.
Marketer harus menyediakan jalan paling mudah bagi calon pembeli untuk mendapatkan produk yang mereka inginkan. Misalnya : prosedur yang tidak berbelit, kemudahan pembayaran dengan berbagai macam kartu kredit, kelengkapan produk yang dijual, kenyamanan tempat belanja dan lain-lain. Berikut gambar tahapan antara evaluasi alternatif dan keputusan pembelian:
Sikap orang lain Evaluasi alternatif
Niat pembelian
Keputusan Pembelian Faktor social yang tidak terantisipasi Gambar 2.4
Tahapan Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian Sumber : Kotler (2005, p228)
37
5. Perilaku Pasca Pembelian Dalam perilaku pasca pembelian, hanya ada tiga kemungkinan, yaitu : -
Performa produk/jasa sama dengan ekspektasi
-
Performa produk/jasa lebih rendah dari ekspektasi.
-
Performa produk/jasa lebih tinggi dari ekspektasi
Pengenalan
Pencarian
Evaluasi
masalah
informasi
Informasi
Perilaku
Keputusan
Pascapembelian
pembelian
Gambar 2.5 Tahap Proses Pengambilan Keputusan Sumber : Kotler (2005,224) Menurut Ma’ruf (2006,pp.61-62), dalam membeli barang / jasa, seorang konsumen akan melalui tiga proses keputusan pembelian, yaitu: 1. Proses Keputusan yang Panjang (Extended Decision Making). Proses keputusan yang panjang ini biasanya terjadi untuk barang durable seperti (rumah, lahan, mobil). Proses tersebut menurut Breman dan Evan adalah dimulai dari ” stimulus Æ kebutuhan Æ mencari Æ informasiÆ evaluasi Æ transaksi Æ perilaku pasca pembelian”. Dimana pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuhan dalam diri konsumen. 2. Proses Keputusan Terbatas ( Limited Decision Making) Proses keputusan terbatas sebenarnya hampir sama dengan proses diatas, tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan-tahapan. Proses
38
keputusan terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah, mobil kedua dan tempat wisata. 3. Proses Pembelian Rutin Keputusan Pembelian ini terjadi secara kebiasaan sehingga proses pembelian sangat singkat. Begitu dirasa ada kebutuhan, langsung dilakukan pembelian. Sedangkan menurut Utami (2006, p45) ada beberapa tahapan dalam proses belanja pelanggan, yang di jelaskan dalam bentuk gambar berikut : TAHAPAN
PENGENALAN KEBUTUHAN
PEMILIHAN RITEL BARANG PENGENALAN KEBUTUHAN
PEMILIHAN KEBUTUHAN PENGENALAN KEBUTUHAN
Mencari Informasi tentang Ritel
Mencari Informasi tentang barang dagangan
EVALUASI
Evaluasi Ritel
Evaluasi barang dagangan
PENENTUAN PILIHAN
Memilih Ritel
TRANSAKSI
Mengunjungi toko
PENCARIAN INFORMASI
Membeli kembali di toko yang sama
Gambar 2.6 Proses Belanja Pelanggan Sumber : Utami (2006,p45)
Menyeleksi Barang dagangan
Belanja Barang Dagangan
Evaluasi setelah belanja
39
2.1.4
Hubungan Antar Variabel
2.1.4.1
Hubungan Kualitas Pelayanan dan Kepercayaan Konsumen. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan dan kepercayaan konsumen saling berhubungan, antara lain : 1. Menurut pendapat Gabino dan Jhonson (1995) yang dikutip dari Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, vol 6 No.1, Maret 2005 “Membangun atau membina kepercayaan sebaiknya lebih ditekankan pada kepercayaan individual dengan mengacu kepada keyakinan konsumen atas kualitas dan keterandalan jasa yang diberikan. 2. Menurut pendapat Jasfar, Farida (2005,p10) yang dikutip dari Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, vol 1 No.1, Maret 2005 dalam penelitiannya disimpulkan bahwa “Variabel kualitas pelayanan berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan pelanggan”. 3. Menurut Donney dan Connon (1997, p38) dikutip dari Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, vol 6 No.1, Maret 2005, menjelaskan bahwa ada
faktor-
faktor yang berpengaruh dalam proses terbentuknya kepercayaan pelanggan, faktor-faktor itu seperti : reputasi perusahaan, besar/kecilnya perusahaan, saling menyayangi, baik antara pelanggan dengan perusahaan maupun antara pelanggan dengan pegawai perusahaan, termasuk kualitas jasa. Dari beberapa pendapat diatas, dijelaskan bahwa kualitas jasa termasuk faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kepercayaan konsumen. 2.1.4.2
Hubungan Kualitas Pelayanan dan Keputusan Pembelian. Menurut Maruto, Budi Arto dan Dharmastuti Ctristiana Fara (2007), yang dikutip dari Judul skripsinya “Pengaruh Kualitas Pelayanan Produk Dan Jasa Terhadap Keputusan Pembelian” menjelaskan bahwa ada pengaruh kualitas
40
pelayanan produk dan jasa akan diukur melalui tiga variabel yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan
fisik, dan kualitas hasil terhadap keputusan
pembelian. 2.1.4.3
Hubungan Kualitas Pelayanan, Kepercayaan Konsumen dan Keputusan Pembelian. Menurut pendapat Mason (2001), (dalam Hill dan Becker Olson, 2004) (http://puslit.petra.ac.id/journals/management/),
menyebutkan
bahwa
“ Informasi keterlibatan perusahaan dalam mendukung suatu cause tertentu perlu disampaikan kepada konsumen. Diharapkan dengan adanya informasi ini dapat mempengaruhi penilaian konsumen tentang perusahaan dan berdampak kepada kepercayaan, sikap dan niat membeli”. Penyampain informasi ini merupakan bagian dari kualitas pelayanan.
41
2.2
Kerangka Pemikiran
Kualitas Pelayanan
Kepercayaan
(X)
Konsumen (Y)
Kualitas Interaksi
Kedekatan Fisik
Kualitas Lingkungan
Kedekatan Intelektual
Fisik
Kedekatan Emosional
Kualitas Keluaran/Hasil
Keputusan Pembelian (Z) Pengenalan Masalah Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif Keputusan Pembelian Perilaku pascabeli