6
BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1
Intensi turnover Definisi intensi, menurut Anwar dkk, menunjukkan bahwa intensi merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat subjektif, yaitu perkiraan seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Artinya, mengukur intensi adalah mengukur kemungkinan seseorang dalam melakukan perilaku tertentu (Anwar, Bakar, & Harmaini, 2005, p1). Selanjutnya, menurut Ajzen dalam teorinya yang disebut theory of planned
behavior (Ajzen, 2005, p2), intensi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) Sikap terhadap tingkah laku tertentu (attitude toward behavior) 2) Norma subjektif (subjective norm) 3) Persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavior control) Faktor pertama, sikap terhadap perilaku, adalah penilaian yang bersifat pribadi dari orang yang bersangkutan, menyangkut pengetahuan dan keyakinannya mengenai perilaku tertentu, baik dan buruknya, keuntungan dan manfaatnya. Norma subjektif mencerminkan pengaruh sosial, yaitu persepsi seseorang terhadap tekanan sosial (masyarakat, orang-orang sekitar) untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku. Persepsi tentang kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai sulit atau mudahnya seseorang untuk menampilkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merefleksikan pengalaman masa lalu beserta halangan atau rintangan yang diantisipasi. Dalam teori perilaku berencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 2005,
7
P5). Intensi diasumsikan seberapa keras seseorang berusahan atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar–benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu tersebut memiliki pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 2005, P6) sampai seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku, juga tergantung pada faktor–faktor non motivasional. Salah satu contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan kesempatan dan sumber–sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intensi untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu muncul, sangatlah besar dengan kata lain, suatu perilaku akan muncul jika terdapat motivasi (intensi) dan kemampuan (kontrol perilaku) (Ajzen, 2005, P2). Ada dua hal yang penting yang mendasari pernyataaan tersebut. Pertama, jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha–usaha untuk menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki individu tersebut. Misalkan jika ada 2 karyawan (karyawan A dan karyawan B) yang memiliki intensi untuk keluar dari pekerjaan. Jika karyawan A keyakinan kuat bahwa kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya akan memudahkan ia mencari pekerjaan baru sementara karyawan B kurang yakin bisa diterima kerja di tempat lain karena ia kurang terampil, maka
karyawan
A
memiliki
kemungkinan
terbesar
untuk
benar–benar
mengaktualisasikan intensinya tersebut dalam bentuk perilaku keluar dari pekerjaan (turnover). Hal penting kedua yang mendasari pernyataan bahwa ada hubungan langsung antara kontrol terhadap perilaku yang dihayati (perceived behavioral control) dan perilaku nyatanya, sering kali dapat digunakan sebagai pengganti / subtitusi untuk mengukur kontrol nyata (actual control)
8
Arti Intensi adalah niat atau keinginan yang timbul pada individu untuk melakukan sesuatu. Sementara turnover adalah berhentinya seseorang karyawan dari tempatnya bekerja secara sukarela. Dapat didefinisikan bahwa intense turnover adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaanya secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Zeffane, 2003, p 24-25). Menurut Zeffane (2003, p 27-31) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja, faktor institusi yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan supervisi, karakteristik personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur, dan lama bekerja serta reaksi individu terhadap pekerjaanya. Menurut Mobley (2000) dalam Muchinsky (2002, p 85-89) tentang employee
turnover, terdapat hubungan antara kepuasan dan berhenti bekerja. Hubungan itu dimulai dari adanya pikiran untuk berhenti bekerja (thinking of quitting), usaha–usaha untuk mencari pekerjaan baru, berintensi untuk berhenti bekerja atau tetap bertahan dan yang terakhir adalah memutuskan untuk berhenti bekerja. Menurut Mobley, perasaan tidak puas akan memicu rencana untuk berhenti bekerja, yang kemudian akan mengarahkan pada usaha mencari pekerjaan baru. Namun model Mobley yang membahas mengenai turnover ini harus memperhatikan
setting ekonomi yang sedang terjadi. Jika perekonomian sedang dalam kondisi baik sehingga pengangguran rendah, maka karyawan akan lebih mempermasalahkan kepuasan kerja dibanding jika perkonomian buruk dan pengangguran melimpah. Jika ongkos atau pengorbanan yang harus dibayar terlalu tinggi sementara alternatif pekerjaan yang ada memiliki prospek yang lebih baik, maka akan timbul intensi untuk berhenti bekerja dan hal ini diaktualisasikan dalam bentuk perilaku atau tindakan berhenti atau berpindah di pekerjaan lain. Jika alternatif perkerjaan yang
9
tersedia tidak terlalu baik atau menjanjikannya, situasi tersebut akan menstimulasi individu untuk tetap bertahan. Model Mobley dapat dipakai untuk menunjukan bahwa kognisi dan perilaku bisa menjembatani kepuasan akan pekerjaan dan tindakan berhenti bekerja. Kepuasan adalah determinan dari turnover, namun konteks ekonomi harus diperhatikan. Kepuasan akan menjadi prediktor dari turnover, jika kondisi ekonomi dalam keadaan baik. Jika kondisi perekonomian kurang menguntungkan, akan berpengaruh terhadap jumlah pengangguran yang melimpah. Kondisi semacam ini akan memaksa individu untuk tetap bertahan di pekerjaan atau organinasinya, meski ia merasa tidak puas dengan kondisi yang ada. Perusahaan yang memiliki angka turnover yang tinggi mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah akan mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering melakukan rekruitmen yang biayanya sangat tinggi, pelatihan dan menguras tenaga serta biaya dan faktor–faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi kurang menyenangkan. Selain itu, adanya turnover menurut Dalton & Todor (2000) dalam Feinstein & Harrah (2002, p 4-5) dapat mengganggu proses komunikasi, produktivitas serta menurunkan kepuasan kerja bagi karyawan yang masih bertahan. Organisai selalu berusaha mencari cara menurunkan tingkat perputaran karyawan, terutama dysfunctional turnover yang menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan, tingkat kinerja yang mesti dikorbankan, serta biaya rekruitmen dan pelatihan kembali. Walaupun pada kasus tertentu perputaran kerja terutama terdiri dari karyawan dengan kinerja rendah tetapi tingkat perpindahan kerja karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung organisasi jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh peningkatan kinerja dari karyawan baru (Hollenbeck & Willians, 2001) dalam Suwandi dan Indriartoro (2003, p 3-6).
10
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa keinginan berpindah merupakan variabel yang paling berhubungan dan lebih banyak menerangkan varians perilaku
turnover. Tingkat turnover adalah kriteria yang cukup baik untuk mengukur stabilitas yang terjadi di organisasi tersebut, dan juga bisa mencerminkan kinerja dari organisasi menurut Mobley (2000) dalam Munchinsky, (2002, p 325).
Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi organisasi berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu, sedangkan keinginan berpindah mengacu pada hasil evaluasi individu mengenal kelanjutan hubungan
dengan
organisasi
dan
belum
diwujudkan
dalam
tindakan
pasti
meninggalkan organisasi. Tindakan penarikan diri menurut Abelson (2000) dalam Suwandi & Indriartoro (2003, p 4-9) terdiri atas beberapa komponen yang secara simultan muncul dalam individu berupa adanya pemikiran untuk keluar, keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang layak di tempat lain, dan adanya keinginan untuk meninggalkan organisasi.
2.2
KONDISI KARYAWAN Karyawan adalah kekayaan suatu perusahaan, karena tanpa keikutsertaan mereka, aktifitas perusahaan tidak akan terjadi. Karyawan berperan aktif dalam menetapkan rencana, sistem, proses, dan tujuan yang ingin dicapai.
2.2.1 Usia Dengan makin tuanya para pekerja, makin sedikit kesempatan alternatif pekerjaan bagi mereka. Disamping itu, pekerja yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan kepada
11
mereka tingkat upah yang lebih tinggi, liburan dengan upah yang lebih panjang, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik. Suatu tinjauan ulang menyeluruh terhadap riset baru-baru ini menemukan bahwa usia dan kinerja tidak ada hubungannya. Lagi pula, ini tampaknya benar untuk hampir semua jenis pekerjaan, profesional, dan tidak profesional. Kesimpulan yang wajar adalah bahwa tuntutan dari kebanyakan pekerjaan, bahkan untuk pekerjaan dengan persyaratan kerja tangan yang berat, tidaklah cukup ekstrim untuk kemerosotan keterampilan fisik apapun yang disebabkan oleh usia berdampak pada produktivitas, atau jika ada suatu kemerosotan karena usia, sering diimbangi oleh perolehan karena pengalaman (Robbins, 2003, p 46-47).
2.2.2 Masa kerja Masa kerja merupakan variabel yang penting dalam menjelaskan keluar masuknya karyawan. Secara konsisten ditemukan bahwa masa kerja berhubungan negatif dengan keluar masuknya karyawan dan telah dikemukakan sebagai salah satu peramal tunggal paling baik tentang keluar masuknya karyawan. Bukti menunjukkan bahwa masa kerja dan kepuasan saling berkaitan positif. Bila usia dan masa kerja diperlakukan secara terpisah, tampaknya masa kerja akan merupakan peramal yang lebih konsisten dan mantap dari kepuasan kerja daripada usia kronologis (Robbins, 2003, p 49-50).
2.2.3 Tingkat pendidikan (Kemampuan) Kemampuan (ability) merujuk ke suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seorang individu pada hakekatnya tersusun dari 2 perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
12
1. Kemampuan intelektual Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tes IQ, misalnya, dirancang untuk memastikan kemampuan intelektual umum seseorang. 7 dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan (memory) (Robbins, 2003, p 50-51). 2. Kemampuan fisik Bila kemampuan intelektual mempunyai peran yang lebih besar dalam pekerjaan-pekerjaan rumit yang menuntut persyaratan pemrosesan informasi, kemampuan fisik memiliki makna penting untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang menuntut keterampilan dan yang lebih terbakukan dengan sukses. Misalnya, pekerjaan yang keberhasilannya menuntut stamina, kecekatan tangan, kekuatan tungkai, atau bakat-bakat serupa menuntut manajemen untuk mengenali kapabilitas fisik seorang karyawan (Robbins, 2003, p 52)
2.3
JOB INSECURITY Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (2002), dalam Suwandi dan Indriartoro (2003, p 3-4) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Sementara Smithson dan Lewis (2000, p 680-683) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah–ubah (perceived
impermanence). Kondisi ini mucul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerja dengan durasi waktu
13
yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000, p 681-685). Paserawak dan Strawser (2001) menerangkan mengenai empat variabel pendahulu (anteseden), yang oleh Suwandi dan Indriartoro disebut prediktor, dari job
insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya, yaitu: konflik peran (role conflict), ketidakjelasan peran (locus of control). Sedangkan konsekuensi dari job insecurity tersebut adalah komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kepercayaan organisasi.
2.3.1. Konflik peran ( role conflicy ) Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan (Robbins & Timothy A. Judge, 2008 p 364).
2.3.2 Ketidakjelasan peran (role ambiguity) Ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan (Greenberg & Robert A. Baron, 2007, p 124).
2.3.3 Perubahan Organisasi ( organizational change) Merupakan berbagai kejadian yang secara potensial dapat mempengruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi. Kejadian– kejadian tersebut antara lain meliputi merger, perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan pergantian manajemen (Greenhalg dan Rosenblatt, 2002).
14
2.3.4 Pusat pengendalian (locus of control) Lokus kendali merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternals) adalah individu yang yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan dan kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki kendali atas hidup mereka cenderung kurang memiliki kepercayaan diri (Robbins & Timothy A. Judge, 2008 p 138)
2.4
Komitmen organisasi (Organization Commitment) Komitmen organisasi menurut Robbins & Timothy A. Judge (2008, p100) adalah tingkat sampai mana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan– tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Komitmen organisasi menurut Greenberg & Robert A. Baron (2003, p 124) merupakan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik komitmen organisasi antara lain adalah loyalitas seseorang terhadap organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi, kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi (goal
conaruence), dan keinginan untuk menjadikan anggota organisasi. Menurut Robbins & Timothy A. Judge (2008 p 101-103) ada tiga komponen yang mempengaruhi
komitmen
organisasi,
sehingga
karyawan
memilih
tetap
atau
15
meninggalkan organisasi berdasarkan norma yang dimilikinya. Tiga komponen tersebut adalah: a.
Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam hal nilai–nilainya.
b.
Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dan bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.
c.
Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan–alasan moral atau etis. Satu penelitian menemukan bahwa komitmen afektif adalah pemrediksi berbagai
hasil (persepsi karakteristik tugas, kepuasan karir, niat untuk pergi) dalam 72 persen kasus, dibandingkan hanya 36 persen untuk komitmen normatif dan 7 persen untuk komitmen berkelanjutan. Hasil–hasil yang lemah untuk komitmen berkelanjutan adalah masuk akal karena hal ini sebenarnya bukan merupakan sebuah komitmen yang kuat. Dibandingkan dengan kesetiaan (komitmen afektif) atau kewajiban (komitmen normatif)
untuk
seorang
pemberi
kerja,
sebuah
komitmen
berkelanjutan
mendeskripsikan seorang karyawan yang terikat dengan seorang pemberi kerja hanya karena tidak ada hal lain yang lebih baik. Konsep komitmen mungkin tidak begitu penting bagi pemberi kerja dan karyawan bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kontrak kesetiaan tak tertulis antara karyawan dan pemberi kerja yang 30 tahun lalu ada kini telah sangat berbeda, dan pemikiran karyawan yang tinggal dengan satu organisasi untuk sebagian besar karir mereka telah menjadi semakin kuno. Begitupun, ukuran–ukuran keterikatan karyawan perusahaan, seperti komitmen, merupakan hal yang problematik untuk
16
hubungan kerjaan baru. Ini menunjukan bahwa komitmen organisasi sebagai sikap yang berkaitan dengan pekerjaan bila dibandingkan dengan sebelumnya mungkin tidak begitu penting. Ditempat tersebut, kita mungkin mengharapkan sesuatu yang sama dengan komitmen pekerjaan untuk menjadi sebuah variabel yang lebih relevan karena hal ini mencerminkan angkatan kerja yang berubah–ubah dengan lebih baik pada zaman sekarang.
2.5
Kepuasan Kerja (job satisfaction) Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap turnover. Hasil studi menunjukan bahwa kepuasan kerja berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (prewithdrawl cognition), intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa turnover (kinicki, McKee-Ryan, Schrieshelm & Carson, 2002) dalam Mueller (2003, p 2-5) Menurut Robbins & Timothy A. Judge (2008, p 40), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan–perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan–perasaan yang negatif tentang pekerjaan. Keyakinan bahwa karyawan yang merasa puas jauh lebih produktif bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak puas telah menjadi prinsip dasar di antara para manajer selama bertahun–tahun. Menurut Hasibuan (2007, p 202-203) kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaanya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam luar pekerjaan.
17
a.
Kepuasan kerja dalam pekerjaan Kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaanya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
b.
Kepuasan diluar pekerjaan Kepuasan kerja karyawan yang dinikmati diluar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dia dapat membeli kebutuhan–kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan diluar pekerjaan lebih mempersoalkan balas jasa daripada pelaksanaan tugas– tugasnya.
c.
Kepuasan diluar pekerjaan Kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaanya akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada karena setiap individu
karyawan berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan turnover kecil maka secara relatif kepuasan kerja karyawan yang baik. Sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja, dan turnover karyawan besar maka kepuasan kerja karyawan di perusahaan kurang. Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi faktor –faktor berikut (Hasibuan, 2007, p 202-203) : • Balas jasa yang adil dan layak • Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
18
• Berat ringannya pekerjaan • Suasana dan lingkungan pekerjaan • Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan • Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya • Sifat pekerjaan monoton atau tidak Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan dengan kepuasan kerja akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaan dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang merasa tidak
puas
dalam
pekerjaanya
cenderung
mempunyai
pikiran
untuk
keluar,
mengevaluasi alternatif pekerjaan lain, dan berkeinginan untuk keluar karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan.
2.6
Kepercayaan Organisasi Merupakan
gambaran
umum
dari
kemampuan
yang
diperlihatkan
oleh
karyawannya (Sterrs, 2000). Kepercayaan Organisasi, jika komitmen organisasi menekankan bagaimana tingkat loyalitas karyawan, maka kepercayaan organisasi menunjukan bahwa karyawan merasa percaya terhadap peusahaan dan juga manajemennya, sehingga karyawan tersebut merasa komitmennya telah dipenuhi. Jika tidak tercapai, maka karyawan akan merasa gagal dan diabaikan atas peran dan hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut. Namun jika perusahaan memenuhi komitmennya terhadap karyawan, maka antara kedua belah pihak sama– sama tercapai kepuasan dalam membentuk komitmen dan kepercayaan. Pasewark dan Strawser (2001) menguji model turnover dengan menggunakan konstruk kepercayaan organisasional. Variabel ini ditemukan hanya mempengaruhi keinginan berpindah secara tidak langsung melalui komitmen (dalam Suwandi dan Indriartoro, 2003, p 6-7).
19
2.7
PENGERTIAN ANALISIS JALUR Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun 1920-an oleh seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright. Model path analysis digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variable dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen) (Riduwan dan Kuncoro, 2008, p1). Menurut Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2008, p115), Teknik analisis jalur akan digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur dari hubungan kausal antar variable X1, X2 terhadap Y. Analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung (Robert D. Rutherford, 1993). Analisis jalur merupakan pengembangan langsung bentuk regresi berganda dengan tujuan untuk memberikan estimasi tingkat kepentingan dan signifikansi hubungan sebab akibat hipotetikal dalam seperangkat variabel (Paul Webley, 1997). Analisis jalur merupakan model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji keselarasan matriks korelasi dengan dua atau lebih model hubungan sebab akibat yang di bandingkan oleh David Garson (2003) dalam Sarwono (2007, p.1-2). Dari definisi – definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya analisis jalur merupakan kepanjangan dari analisis regresi berganda (Sarwono, 2007, p.1-2).
20
2.8
PENGERTIAN REGRESI DAN KORELASI 2.8.1 Regresi berganda Menurut Santosa & Ashari (2005, p 144-145), persamaan regresi berganda merupakan persamaan regresi dengan menggunakan dua atau lebih variabel independen. Bentuk umum persamaan regresi berganda yaitu: Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+…+e Dimana: Y adalah variabel dependen a adalah koefisien konstanta X1 adalah variabel independen pertama X2 adalah variabel independen kedua X3 adalah variabel independen ketiga E adalah error. Dalam melakukan analisis regresi terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Beberapa asumsi tersebut yaitu: 1. Variabel random ∈ diasumsikan secara statistik independen dari X. Hal ini berarti bahwa nilai kovarians adalah nol antara variabel independen dan tingkat kesalahan yang berhubungan untuk tiap pengamatan. 2. Variabel random ∈ diasumsikan terdistribusi secara normal. Hal ini berarti bahwa untuk setiap variabel independen, kesalahan dari prediksi diasumsikan terdistribusi secara normal. 3. Variabel random ∈ memiliki rata-rata sama dengan nol 4. Variabel random ∈ diasumsikan memliki varians yang terbatas sehingga konstan untuk semua nilai X. 5. Kesalahan prediksi dari X independen antar masing-masing variabel X. 6. Tidak satupun variabel independen yang saling berkorelasi satu sama lain.
21
7. Jumlah pengamatan (n) harus lebih besar dari jumlah variabel (m+1)
2.8.2 Korelasi berganda Korelasi berganda adalah hubungan dari beberapa variabel independen dengan satu variabel dependen (Santosa & Ashari, 2005, p 143).
2.9
KERANGKA PEMIKIRAN Untuk dapat meminimumkan niat atau keinginan karyawan untuk keluar, sebaiknya antara organisasi dengan karyawan ada keseimbangan antara hasil dan keinginan. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi dapat membuat kebijakan tentang yang hasilnya dapat memuaskan keinginan karyawan itu sendiri didasari pada kinerja dan hasil yang dicapai oleh karyawan. Hasil kinerja karyawan dapat dicapai target perusahaan tersebut, hendaknya karyawan pertahankan. Timbal balik perusahaan yaitu dengan memperhatikan apa yang karyawan inginkan untuk dirinya, baik dari segi kepuasan kerja yang ingin dicapai, membangun komitmen organisasi dari karyawan, kejelasan peranan karyawan, atau memperhatikan kondisi psikologi karyawan atas beban pekerjaan yang terangkum dalam pusat pengendalian diri karyawan yang terbagi atas internal dan eksternal.
22
PT. MEGAPRIMA PERSADA SAKTI
KONDISI KARYAWAN (X1) - Usia - Lama Kerja - Tingkat Pendidikan - Keikatan Terhadap Perusahaan
JOB INSECURITY (X2) - Konflik Peran - Ketidakjelasan Peran - Perubahan Organisasi - Pusat Pengendalian
KOMITMEN ORGANISASI (X3) - Rasa Memiliki - Loyalitas - Identifikasi Organisasi - Keterlibatan
TURNOVER INTENTION (Y)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
KEPUASAN KERJA (X4) - Kerja Secara Mental Menantang - Imbalan Yang Pantas - Rekan Kerja Mendukung - Kondisi Kerja Mendukung
KEPERCAYAAN ORGANISASI (X5) - Keyakinan - Kerja Sama - Kesanggupan - Resiko
23
2.10
Hipotesis Menurut Sekaran (2006, p135), Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan yang
diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah : Untuk T-1 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kondisi karyawan dengan turnover intention Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kondisi karyawan dengan turnover intention Untuk T-2 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel job insecurity dengan turnover intention Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel job insecurity dengan turnover intention Untuk T -3 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan
antara variabel job insecurity dengan
turnover intention Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel job insecurity dengan turnover intention Untuk T -4 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepuasan kerja dengan turnover intention
24
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepuasan kerja dengan turnover intention Untuk T -5 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepercayaan organisasi dengan turnover intention Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kepercayaan organisasi dengan turnover intention Untuk T -6 Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel kondisi karyawan, job insecurity, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kepercayaan organisasi terhadap turnover intention. Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara variabel kondisi karyawan, job insecurity, komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kepercayaan organisasi terhadap turnover intention