7
BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1
Pengertian, Tujuan dan Dasar Pemikiran didirikannya Bank Syariah Menurut Undang-Undang RI No.10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998
tentang perbankan dalam pasal 1, pengertian bank adalah : “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada mayarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Dan pengertian bank umum adalah : “Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Sedangkan pengertian Unit Usaha Syariah (UUS) adalah : “unit kerja di kantor pusat bank umum konvesional yang berfungsi sebagia kantor induk dari Kantor Cabang Syarih atau Unit Syariah, atau unit kerja di Kantor cabang Asing yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kntor induk dari kantor Cabang Pembantu Syariah dan atau Unit Syariah..” Adiwarman Karim (2004,p18) menyatakan bahwa “Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang”.
8
Definisi bank tersebut, memberi tekanan bahwa bank dalam melakukan usahanya terutama menghimpun dana dalam bentuk simpanan yang merupakan sumber dana bank. Demikian pula dari segi penyaluran dananya, hendaklah bank tidak sematamata ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik, tapi juga harus pula diarahkan pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Definisi tersebut merupakan komitmen bank dalam melakukan usahanya di Indonesia. Sedangkan dalam ensiklopedi Islam yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan uang usaha pokoknya membarikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah Islam. Fauzi Solihin dalam Journal The Winners Vol.2 (2001,p173-174) menjelaskan bahwa tujuan didirikan bank syariah adalah sebagai berikut: 1.
Mengarahkan kegiatan ekonomi umat bermu’amalat secara Islam, khususnya mu’amalat yang telah berhubungan dengan praktek riba dan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi umat.
2.
Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan/gap yang besar
antara
Aghniya
(pemilik
modal)
dengan
Dhuafa
(orang
yang
membutuhkan modal). 3.
Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar (produktif) terutama kepada kelompok kecil dan menengah.
4.
Membantu menanggulangi kemiskinan, berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjolkan sifat kemitraan dan kebersamaan dalam pengembangan usaha.
9
5.
Untuk menjaga kestabilan ekonomi moneter pemerintah, yaitu dengan sistem perbankan yang bebas bunga diharapkan mampu menghindari inflasi dan persaingan yang tidak sehat antar lembaga keuangan, khususnya dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun dari luar negeri. Sedangkan dasar pemikiran didirikannya bank syariah bersumber dari adanya
larangan riba di dalam Al Qur’an sebagai berikut: “Orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyung-huyung karena sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan : “Perdagangan itu sama dengan riba”. Padahal Allah SWT telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu barang siapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka baginyalah apa yang telah lalu dan mengulang lagi (memakan riba) maka itu ahli neraka mereka akan kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah : 275). “Allah (telah) menghapus (barakah) riba dan ia menyuruh sedekah”. (Q.S. alBaqarah : 276) Sehingga dapat diketahui, bahwa riba adalah: Pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan, atau penukaran suatu barang dengan barang sejenis tetapi lebih banyak jumlahnya karena yang menukarkan mensyaratkan demikian. Riba tetap haram walaupun tidak berlipat ganda. Tidak hanya dilarang dalam agama Islam saja, riba juga tidak diterima/diragukan oleh umat Yahudi dan Kristen yang terlihat di ayat-ayat dalam kitab mereka, yaitu : –
Yahudi : ”Janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu baik uang maupun makanan atau apapun yang dapat dibungakan (Kitab Ulangan 23:19)”
10
–
Kristen : ”Dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu?; orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak; tetapi kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan maka upahmu akan besar dan akan menjadi anak anak Tuhan Yang Maha Tinggi (Lukas 6:34-35)”
2.1.2
Sejarah Perkembangan Bank Syariah di Dunia dan di Indonesia
Dunia Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embelembel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social Bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat Islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun
11
utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis Islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antaralain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal
Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Indonesia Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syariah, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru. UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang Bak Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai
12
dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia. Kemudian, pada Tahun 1998 dikeluarkan UU No.10 tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Pada Tahun 1999 dikeluarkan UU No.23 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah. Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan. Secara umum perkembangan perbankan syariah di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut.
1990 Lokakarya MUI
1992
1998
Pengenalan dual banking sistem
kesepakan untuk mendirikan bank syariah
Pengenalan dual system bank
1999
2000
Pengenalan instrumen moneter syariah
- UU No.10/1998, Bank Indonesia mengakui keberadaan bank syariah dab bank konvensional - Bank konvensional diperkenankan membuka KC syariah
2002
Pengenalan pasar uang syariah
Perbedaan cara penilaian kinerja keuangan dan
- Penyususnan peraturan perbankan syariah oleh BI - Pengenalan instrumen pasar uang syariah
- UU No.7/1992: - UU No. 23/1999: Kesempatan operasi - BI bertanggungjawab terhadap pengaturan dan bank bagi hasil pengawasan perbankan termasuk bank syariah - Bank muamalat sebagai - BI berwenang untuk menetapkan kebijakan bank syariah pertama moneter berdasarkan prinsip syariah sebagai hasil kongres - Berdirinya Bank Umum Syariah kedua MUI
PBI No.41/2002: - Konversi BUK menjadi BUS - Konversi KCK menjadi KCS - Konversi KCP/KK menjadi KCS - Membuka KCPS di KCK - Membuka Unit Syariah (US) di KCK
Gambar 2.1 Perkembangan Perbankan syariah di Indonesia Sumber: Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, 2002
13
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini terdapat 3institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang sebanyak 104 BPR Syariah. Peta penyebaran bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dewasa ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi dan Bandung. Perkembangan bank syariah justru tidak berfokus di daerah potensial, yaitu masyarakat muslim di Banda Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Timur. Pola pemilihan lokasi pendirian syariah saat ini terlihat masih berpegang pada pola pendirian bank konvensional, yaitu daerah pertumbuhan ekonomi dan sentra perdagangan seperti Jabotabek dan Bandung. Adiwarman Karim (2004,p25-25) menjelaskan bahwa dari sebuah riset yang dilakukan oleh Karim Bussiness Consulting, diproyeksikan bahwa total aset bank syariah di Indonesia akan tumbuh sebesar 2.850% selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 256.25% tiap tahunnya. Sebuah pertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh
14
kembangnya aset bank syariah ini dikarenakan adanya kepastian di sisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
The Growth Sharia Banks' Asset 100000000 80841345
80000000 in billion rupiah
60000000 40000000
27468797
20000000 0
0 0 0 0 0 0 0 1996 1998 2000 2002
2004
2006
2008
2010
Gambar 2.2 Diagram Tingkat Pertumbuhan Aset Bank Syariah tahun 1996-2010 Sumber: Karim Business Consulting, 2002
Sedangkan dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia (2002,p2) diketahui perbankan syariah dalam statistic yang menjelaskan bahwa selama periode krisis ekonomi, bank syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif baik dibandingkan dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loans) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya (lihat Gambar 2.3 (a)). Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingkat pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya modal yang relatif lebih rendah kepada masyarakat. Data menunjukkan bahwa bank syariah relatif lebih dapat menyalurkan dana kepada sektor produksi dengan LDR berkisar antara 113-117 persen (lihat Gambar 2.3 (b))
15
Convensional Bank
Shariah Bank
26.77%
Conventional Banking
Sharia Banking
250 200 150
12.96%
14.08%
100 50 0
4.04%
92 2000
93
94
95
96
97
98
99 '00 '01
2001
(a)
(b)
NPL Bank Syariah lebih rendah dan mengalami proses recovery yang lebih cepat dibandingkan Bank Konvensional dalam periode pasca krisis ekonomi
LDR Bank Konvensional menurun berada pada level di bawah 50% sedangkan Bank Syariah telah kembali di atas 100%
Gambar 2.3 Kinerja Perbankan Syariah di Indonesia Sumber: Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, 2002
Perkembangan perbankan syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber dana insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun rentabilitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Dan inilah memang yang harus mendapatkan perhatian, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi syariah di semua lini. Karena sistem yang baik tidak mungkin berjalan bila didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
16
2.1.3
Ciri dan Keistimewaan Bank Syariah Adapun ciri-ciri dan keistimewaan dari bank syariah menurut Fauzi Solihin dalam
Journal The Winners Vol.2 (2001,p174-175) adalah : Ciri Bank Syariah 1. Bagi hasil dan keuntungan yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk presentase bagi hasil dari jumlah keuntungan yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk melakukan tawar-menawar dalam batas wajar. 2. Penggunaan presentase tetap dari jumlah kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan karena persentase bersifat melekat pada sisa hutang
meskipun
batas
perjanjian
telah
berakhir.
Sistem
persentase
memungkinkan beban bunga semakin tinggi. 3. Dalam kontrak pembiayaan proyek, Bank Syariah tidak menetapkan perhitungan berdasarkan nominal pembiayaan (fixed return) yang ditetapkan di muka karena pada hakikatnya untung/ruginya suatu proyek yang dibiayai bank baru diketahui setelah proyek selesai. 4. Adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dari sudut syariah (Hukum Islam). 5. Adanya produk khusus yang tidak terdapat dalam bank konvensional, yaitu pembiayaan tanpa beban yang murni bersifat sosial. Produk itu ditujukan bagi orang miskin/yang sangat membutuhkan untuk kegiatan keagamaan. Sumber dana fasilitas ini berasal dari zakat, infak, sedekah, dan pendapatan nonhalal sebagai hasil transaksi dengan bank konvensional yang menetapkan sistem bunga.
17
Keistimewaan Bank Syariah 1. Kesamaan ikatan emosional yang kuat antara pengelola bank dengan nasabah sehingga dalam menghadapi risiko usaha membagi keuntungan secara jujur dan adil. 2. Diterapkannya prinsip bagi hasil sebagai pengganti bunga. 3. Konsep Bank Syariah berorientasi pada kebersamaan dalam hal berikut: a. Mendorong investasi dan menghambat simpanan yang tidak produktif melalui profit and loss sharing. b. Memerangi kemiskinan dengan membina ekonomi lemah melalui bantuan hibah yang diarahkan secara produktif. c.
Meratakan pendapatan melalui sistem bagi hasil baik yang diberlakukan kepada Mudharib (bank) atau kepada pemegang amanah maupun kepada peminjam.
2.1.4
Operasional Perbankan Syariah
Prinsip perbankan syariah Menurut Undang-Undang RI No.10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan dalam pasal 1, pengertian Prinsip Syariah adalah : “Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyediaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
18
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Produk dan Jasa perbankan syariah Adiwarman Karim (2004,p87) menjelaskan pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga besar, yaitu Produk Penghimpunan Dana (funding), Produk Penyaluran Dana (financing) dan Produk Jasa (service). Gambaran operasional bank syariah dapat terlihat pada gambar berikut.
19
Prinsip Wadi’ah Giro Tabungan
Penghimpunan Dana
Prinsip Mudharabah Deposito Tabungan Prinsip Ba’i (Jual beli) Murabahah Salam Istishna
Operasional Bank Syariah
Penyaluran Dana
Ijarah Wa Iqtina (Sewa Beli)
Prinsip Syirkah (Bagi Hasil) Musyarakah Mudharabah
- Walakah - Hiwalah - Qardh
Jasa Keuangan
- Kafalah - Rahn - Sharf
Gambar 2.4 Operasional Bank Syariah Sumber: Bank Islam, 2004
1. Kegiatan Penghimpunan Dana (funding)
Wadi’ah (jasa penitipan) Terdapat dua jenis penghimpunan dana berdasarkan prinsip wadi’ah, yaitu giro
wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah. Berbeda dengan wadi’ah amanah yang mengharuskan harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititip, prinsip wadi’ah yad dhamanah memperbolehkan pihak yang dititipkan (bank) memanfaatkannya dengan catatan bertanggung jawab atas
20
keutuhan harta titipan tersebut. Ketentuan yang digunakan untuk kegiatan ini tentu saja tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mudharabah Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana, prinsip Mudharabah
terbagi menjadi dua, yaitu: a. Mudharabah Mutlaqah Dalam prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun, sehingga bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana tersebut. Produk yang dikembangkan dalam prinsip ini adalah tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. b. Mudharabah Muqayyadah Jenis ini merupakan simpanan khusus (restricted investment), dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank. Misalnya diisyaratkan digunakan untuk bisnis atau pihak tertentu.
2. Kegiatan Penyaluran Dana (financing) Dalam penyaluran dana bank syariah harus berpedoman pada prinsip kehatihatian. Untuk itu bank wajib meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan asas pembiayaan yang sehat. Dalam
penyaluran
dana
kepada
nasabah,
Dahlan
Siamat
(2001,p192)
menguraikan secara garis besar terdapat empat kelompok prinsip operasional syariah, yaitu:
Prinsip Ba’i (jual beli)
21
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni sebagai berikut: a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi jual beli dimana bank menyebutkan jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. b. Pembiayaan Salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Kuitansi, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti, dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. c.
Pembiayaan Istishna Produk Istishna menyerupai produk salam, namun pembayarannya dapat dimuka, dicicil atau dibelakang. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur, industri kecil-menengah dan kontruksi. Kriteria barang pesanan seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah harus jelas serta disepakati saat akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
22
Prinsip Ijarah Wa Iqtina (Sewa Beli)
Ijarah Wa Iqtina adalah akad sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah dimana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad atau dalam dunia usaha dikenal dengan finance lease. Harga sewa dan harga beli ditetapkan bersama di awal perjanjian. Transaksi ijarah dilandaskan adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, perbedaannya adalah bila pada jual beli obyek transaksinya barang, sedangkan ijarah obyek transaksinya adalah jasa.
Prinsip Syirkah (Bagi Hasil) Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah: a. Musharakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. b. Murabahah, yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut.
3. Produk Jasa (service). Jasa keuangan ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, tapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk meminta biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan jasa tersebut. Jasa perbankan ini adalah akad-akad tabbaru’.
23
Walakah (Perwakilan) Perjanjian antara bank dengan nasabah untuk mentransfer dana dari nasabah
kepada seseorang di tempat lain, termasuk juga mengeluarkan letter of credit.
Kafalah (garansi Bank) Merupakan pemberian garansi oleh pihak bank kepada nasabah untuk menjamin
pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu kepada pihak yang dijamin.
Hiwalah (Alih Hutang Piutang) Perjanjian pengalihan hak dan kewajiban nasabah pihak pertama (piutang)
kepada bank sebagai pihak ke dua dari nasabah lain pihak ketiga (berhutang). Bank melaksanakan pembayaran lebih dahulu atas transaksi yang timbul baik dari jual beli atau transaksi lainnya setelah hutang piutang tersebut jatuh tempo, pihak ketiga akan melakukan pembayaran kepada bank (anjak piutang).
Rahn (Gadai) Perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembiayaan
yang diberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Qardh Perjanjian pinjaman, dimana pemberi pinjaman (kreditor) memberikan pinjaman
kepad pihak lain dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengendalikan pinjaman tersebut pada waktu yang sama ketika pinjaman itu diberikan. Qardhul hasan merupakan perjanjian qardh untuk tujuan kesejahteraan seperti pendidikan, pengusaha kecil dan kebutuhan darurat lainnya. Peminjam berkewajiban untuk mengembalikan pokok pinjaman. Namun tidak dituntut untuk mengembalikan lebih dari pokok pinjaman kecuali atas keikhlasan peminjam.
24
Sharf Perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Jual beli valuta asing
yang sejalan dengan prinsip syariah adalah apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang sama. Sedangkan apabila yang dipertukarkan adalah mata uang yang berbeda maka nilai uang tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan/harga pasar dan dilakukan secara tunai (spot).
2.1.5
Perbedaan antara Bank Syariah dan Konvensional Sepintas bila dilihat secara teknis, menabung di bank syariah dengan yang
berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank syariah maupun bank konvensional memang dalam beberapa hal memiliki kesamaan terutama dalam sisi penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan terutama dalam diharuskannya mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar di antara keduanya. Muhammad Syafi’I Antonio (2001,p29-34) menjelaskan bahwa perbedaan itu menyangkut bebarapa aspek yaitu: 1. Akad dan Aspek Legalitas Perbedaan pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak sesuai
25
dengan aturan syariah, misalnya wadi’ah, karena dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap terhadap uang yang disetor. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut : 1. Rukun, seperti : -
penjual,
-
pembeli,
-
barang,
-
harga,
-
akad/ijab-qabul.
2. Syarat, yaitu : -
Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
-
Harga barang dan jasa harus jelas.
-
Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
-
Barang
yang
ditransaksikan
harus
sepenuhnya
dalam
kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.
2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak
26
menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum syariah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia. 3. Struktur Organisasi Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan redaksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomondasi dari Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah (DPS) Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibandingkan bank konvensional. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional.
27
Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pertanyaan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank yang bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomondasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Mekanisme kerja DPS dapat digambarkan sebagai berikut. Rapat DPS dengan direksi dan Bag/ Dept. Terkait
DPS 2. Pengajuan Rancangan Produk/ Jasa/ Pertanyaan
3. Jawaban
Implementasi dan Sosialisasi
4. Instruksi
Bag / Dept. Terkait
Direksi
Diskusi
1. Usulan
Gambar 2.5 Mekanisme kerja DPS Sumber: Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 2001
Dewan Syariah Nasional (DSN) Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fakta yang berbeda dari masing-
28
masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Indonesia, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN. Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomondasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota. Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari hukum-hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Syariah Nasional pada lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya. Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomondasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomondasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
29
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan. Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. Secara garis besar, tugas dan mekanisme kerja DSN dapat digambarkan sebagai berikut.
Pembahasan
Pleno DSN
Rapat dengan Direksi dan Bag/Dept Terkait
Pembahasan 4. Pengajuan 5. Jawaban
Badan Pelaksana Harian DSN
3. Pengajuan 6. Jawaban
DPS sebagai wakil DSN
2. Pengajuan Rancangan Produk/Jasa /Pertanyaan
7. Jawaban
Implementasi dan Sosialisasi
Bag/Dept. Terkait
8. Instruksi Direksi 1. Usulan
Gambar 2.6 Mekanisme Kerja DSN Sumber: Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 2001
Diskusi
30
4. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiarkan usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan bebrapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut: 1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram? 2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat? 3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan asusila? 4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian? 5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuhan masal? 6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak?
5. Lingkungan Kerja dan Corporate Culture Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan siddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integrasi eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus skillful dan professional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work di mana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian pula dalam hal pemberian pengharagaan (reward) (punishment), diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
dan imbalan
31
Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cermin bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga dan tersenyum.
Tabel 2.1 Perbandingan Antara Bank Syariah dan Konvensional BANK SYARIAH
BANK KONVENSIONAL
1.
Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
1.
Investasi yang halal dan haram.
2.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual- beli, atau sewa.
2.
Memakai perangkat bunga.
3.
Profit dan falah orinted.
3.
Profit oriented.
4.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan
4.
Hubungan
kemitraan. 5.
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai
dengan
nasabah
dalam
bentuk hubungan debitor-denitor. 5.
Tidak terdapat dewan sejenis.
dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
Sumber : Bank Syariah Dari Teori ke Praktek
2.1.6
Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil Muhammad Syafi’I Antonio (2004,p60-61) menjelaskan bahwa Islam mendorong
praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam table berikut.
32
Tabel 2.2 Tabel Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil Bunga 1.
2.
Penentuan
bunga
Bagi Hasil
dibuatpada
waktu
akad
pada
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah
kemungkinan untung rugi. 2.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa
4.
pertimbangan
apakah
proyek
yang
waktu
akad
dengan
berpedoman
pada
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
sekalipun
jumlah
keuntungan
berlipat
atau
4.
keadaan ekonomi sedang “booming”. 5.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat
dengan asumsi harus selalu untung.
uang (modal) yang dipinjamkan. 3.
1.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peringkatan jumlah pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)
5.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
oleh semua agama, termasuk Islam.
Sumber : Bank Syariah Dari Teori ke Praktik
2.1.7
Laporan Keuangan Perbankan Syariah Laporan
keuangan
(Financial
Statement)
merupakan
saran
untuk
mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan oleh manajemen atas sumber daya pemilik keberhasilan dalam mengelolah harta perusahaan yang dapat dilihat pada laporan keuangan yang diterbitkan pada tiap periode tertentu, triwulan atau tahunan. Menurut Muhammad Syafi’I Antonio (2001,34) laporan keuangan bank Syariah yang berkualitas harus memenuhi persyaratan: a. Dapat dipahami (understandability) b. Relavan (relevan) c.
Andal (reliable)
d. Dapat dibandingkan (comparability) e. Dapat diuji kebenarannya (auditability)
33
Ketentuan Umum Laporan Keuangan Bank Syariah Tim Penyusun Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Islam – PAPSI (2003) menjelaskan beberapa ketentuan umum laporan keuangan bank syariah yaitu:
1. Tujuan laporan keuangan a. Laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan (pengguna laporan keuangan) dalam pengambilan keputusan ekonomi yang rasional, seperti : 1)
Shahibul maal/pemilik dana,
2)
Pihak-pihak yang memanfaatkan dan menerima penyaluran dana,
3)
Pembayar zakat, infak dan shadaqah,
4)
Pemegang saham,
5)
Otoritas pengawasan,
6)
Bank Indonesia,
7)
Pemerintah,
8)
Lembaga penjamin simpanan, dan
9)
Masyarakat.
b. Informasi bermanfaat yang disajikan dalam laporan keuangan, antara lain, meliputi informasi : 1)
Untuk pengambilan putusan investasi dan pembiayaan,
2)
Untuk menilai prospek arus kas baik penerimaan maupun pengeluaran kas dimasa datang,
3)
Mengenai
sumberdaya
ekonomis
bank
(economic
resources),
kewajiban bank untuk mengalihkan sumberdaya tersebut kepada entitas lain atau pemilik saham, serta kemungkinan terjadi transaksi
34
dan peristiwa yang dapat mempengaruhi perubahan sumber daya tersebut, 4)
Mengenai kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, termasuk pendapatan dan pengeluaran yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dan bagaimana pendapatan tersebut diperoleh serta penggunaannya,
5)
Untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab bank terhadap amanah dalam mengamankan dana, mengivestasikannya pada tingkat keuntungan yang layak dan informasi mengenai tingkat keuntungan yang layak dan informasi mengenai tingkat keuntungan investasi terikat, dan
6)
Mengenai pemenuhan fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat.
c.
Laporan
keuangan
juga
merupakan
sarana
pertanggung
jawaban
manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercaya kepada mereka.
2. Tanggung jawab atas laporan keuangan Manajemen bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
3. Komponen laporan keuangan Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen: neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan perubahan dana investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan.
35
4. Bahasa laporan keuangan Laporan keuangan harus disusun dalam bahasa Indonesia. Jika laporan keuangan juga disusun dalam bahasa lain selain dari bahasa Indonesia, maka laporan keuangan dalam bahasa lain tersebut harus memuat informasi yang sama dan waktu yang sama (tanggal posisi dan cangkupan periode). Selanjutnya, laporan keuangan dalam bahasa lain tersebut harus diterbitkan dalam waktu yang sama seperti laporan keuangan dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini terjadi inkonsistensi dalam penyajian laporan, maka dipergunakan sebagai runjukan adalah dalam bahasa Indonesia.
5. Mata uang pelaporan Mata uang pelaporan harus dalam rupiah. Apabila transaksi bank menggunakan mata uang selain rupiah maka harus dijabarkan dalam mata uang rupiah dengan menggunaan kurs laporan yang ditetapkan Bank Indonesia. Keuangan atau kerugian dalam periode berjalan yang terkait dengan transaksi dalam mata uang asing dinilai dengan menggunakan kurs laporan yang ditetapkan Bank Indonesia.
6. Kebijakan akuntansi Kebijakan tersebut harus mencerminkan prinsip kehati-hatian dan mencakup semua informasi yang material dan sesuai dengan ketentuan dalam PSAK. Apabila PSAK belum mengatur masalah pengakuan, pengukuran, penyajian atau pengukapan dari suatu transaksi atau peristiwa, harus ditetapkan kebijakan agar laporan keuangan yang disajikan memuat informasi yang dapat diandalakan dan relevan dengan kebutuhan para pengguna laporan keuangan untuk pengambilan keputusan.
36
7. Penyajian a. Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, arus kas, perubahan investasi terikat, sumber dan penggunaan dana zakat, infak dan shadaqah, sumber dan penggunaan dana qardhul hasan disertai pengungkapan yang diharuskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Aktiva disajikan berdasarkan karakteristiknya menurut urutan likuiditas, kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya, dan investasi tidak terikat disajikan dalam unsur tersendiri. c.
Saldo transaksi sehubungan dengan kegiatan operasi normal bank disajikan dan diungkapkan secara terpisah antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa antara lain pihak-pihak terkait sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
d. Laporan laba/rugi menggambarkan pendapatan dan beban menurut karakteristiknya yang dikelompokkan secara berjenjang (multiple step) dari kegiatan utama bank dan kegiatan lainnya. e. Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis dengan urutan penyajian sesuai dengan komponen utamanya. Setiap pos dalam komponen laporan keuangan harus berkaitan dengan informasi yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas Laporan Keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan, yang sifatnya memberikan penjelasan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif terhadap laporan keuangan pokok, sehingga laporan keuangan
37
secara keseluruhan tidak akan menyesatkan pembaca. Informasi yang diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan, antara lain, mengenai: 1) Gambaran umum bank syariah, 2) Ikhtisar kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan, 3) Penjelasan atas pos-pos yang terdapat dalam setiap komponen laporan keuangan, dan 4) Pengungkapan
hal-hal
penting
lainnya
yang
berguna
untuk
pengambilan keputusan. Dalam
catatan
atas
laporan
keuangan
tidak
diperkenankan
menggunakan kata “sebagian besar” untuk menggambarkan bagian dari suatu jumlah tetapi harus dinyatakan dalam jumlah nominal atau presentasi. f.
Perubahan akuntansi wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Perubahan estimasi akuntansi Estimasi akuntansi dapat diubah apabila terdapat perubahan kondisi yang mendasarinya. Selain itu, juga wajib diungkapkan pengaruh material dari perusahaan yang terjadi baik pada periode berjalan maupun periode-periode berikutnya. 2) Perubahan kewajiban akuntansi a) Kebijakan akuntansi dapat diubah apabila (1) Terdapat peraturan perundangan atau standar akuntansi yang berbeda penerapannya, atau
38
(2) Diperkirakan
bahwa
perubahan
tersebut
akan
menghasilkan penyajian kejadian atau transaksi yang lebih sesuai dalam laporan keuangan. b) Dampak perubahan kebijakan akuntansi harus diperlakukan secara restropskif dengan melakukan penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian. c) Dalam hal perlakuan secara restropektif dianggap tidak praktis maka cukup diungkapkan alasannya atau mengikuti ketentuan dalam PSAK yang berlaku apabila aturan lain dalam ketentuan masa transisi pada standar akuntansi keuangan baru. 3) Terdapat kesalahan mendasar Koreksi kesalahan mendasar dilakukan secara restropektif dengan melakukan penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode penyajian. g. Pada setiap lembar neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan perubahan investasi terikat, laporan sumber dan penggunaan zakat, infak dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan harus diberi pernyataan bahwa “catatan atas laporan keuangan merupakan bagian tak terpisahkan dari laporan keuangan”. h. Disamping hal-hal di atas, penyajian laporan keuangan bagi bank wajib mengikuti ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia, sedangkan bagi bank yang telah go public wajib pula mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas pasar modal.
39
8. Konsistensi penyajian a. Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten, kecuali : 1) Terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi perbankan, atau 2) Perubahan tersebut diperkenankan oleh PSAK. b. Apabila penyajian atau klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan diubah, maka penyajian periode sebelumnya reklasifikasikan tersebut juga harus diungkapkan. Dalam hal reklasifikasi dianggap tidak praktis maka cukup diungkap alasannya.
9. Materialitas dan Agregrasi a. Penyajian laporan keuangan didasarkan pada konsep materialitas. b. Pos-pos yang jumlahnya material disajikan terdiri dari laporan keuangan, sedangkan yang jumlahnya tidak material dapat digabungkan sepanjang memiliki sifat atau fungsi yang sama. c.
Informasi dianggap material apabila kelalaian dalam mencantumkan
(omission) atau kesalahan pencatatan (misstatement) informasi tersebut keputusan diambil.
10. Saling hapus (Offsetting) a. Jumlah aktiva dan kewajiban yang disajikan pada neraca tidak boleh disalinghapuskan dengan kewajiban atau aktiva lain kecuali secara hukum dibenarkan dan saling hapus tersebut mencerminkan perkiraan realisasi atau penyelesaian aktiva atau kewajiban.
40
b. Pos-pos pendapatan dan beban tidak boleh disalinghapuskan kecuali yang berhubungan
dengan
aktiva
dan
kewajiban
yang
disalinghapuskan
sebagaimana dimaksud pada 10.a.
11. Periode pelaporan Laporan keuangan wajib disajikan secara tahunan berdasarkan tahun takwim. Dalam hal bank baru berdiri, merger atau akusisi atau konsolidasi, laporan keuangan dapat disajikan untuk periode yang lebih pendek dari satu tahun takwim. Selain itu, untuk kepentingan pihak lainnya, bank dapat membuat dua laporan yaitu dalam tahun takwim dan periode efektif dengan mencantumkan : a. Alasan penggunaan periode laporan selain periode satu tahun. b. Fakta bahwa jumlah komperatif dalam laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan investasi terkait, laporan sumber dan penggunaan zakat, infak dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan tidak dapat diperbandingkan.
12. Informasi komparatif a. Laporan keuangan tahunan dan interim harus secara komperatif dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk laporan laba rugi internim harus mencakup periode sejak awal tahun buku sampai dengan akhir periode internim yang dilaporkan. b. Informasi komperatif yang bersifat baratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya wajib diungkapkan kembali apabila relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.
41
13. Laporan keuangan interim a. Laporan keuangan internim adalah laporan keuangan yang diterbitkan di antara dua laporan tahunan dan harus dipandang sebagai bagian integral dari laporan periode tahunan. Penyusunan laporan keuangan internim dapat dilakukan secara bulanan, triwulan atau periode yang lain yang kurang dari satu tahun. b. Laporan keuangan internim memuat komponen yang sama seperti laporan keuangan tahunan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, laporan investasi terkait, laporan sumber dan penggunaan zakat, infak dan shadaqah, laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan, dan catatan atas laporan keuangan.
14. Laporan keuangan konsolidasi Dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, laporan keuangan dan anak perusahaan digabung satu persatu dengan menjumlahkan unsur-unsur yang sejenis dari aktiva, kewajiban, investasi tidak terikat, ekuitas, pendapatan dan beban. Agar laporan keuangan konsolidasi dapat menyajikan informasi keuangan dari kelompok perusahaan tersebut sebagai satu kesatuan ekonomi, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Transaksi dan saldo resiprokal antara induk dan anak perusahaan, harus dieliminasi. b) Keuntungan dan kerugian yang belum direalisasi, yang timbul dari transaksi antara induk perusahaan dan anak perusahaan. Harus dieliminasi. d) Untuk tujuan konsolidasi, tanggal pelaporan, keuangan anak perusahaan pada dasarnya harus sama dengan tanggal laporan keuangan perusahaan
42
induk. Apabila tanggal laporan keuangan tersebut berbeda maka laporan keuangan kondolidasi per tanggal laporan keuangan bank masih dapat dilakukan sepanjang: (1) Perbedaan tanggal laporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan, dan (2) Peristiwa atau transaksi material yang terjadi di antara tanggal pelaporan tersebut diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan konsolidasi. Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi maka penyesuaian yang diperlukan harus dilakukan. c) Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan yang sama atau sejenis. d) Hak minoritas (minotity interest) harus disajikan tersendiri dalam neraca konsolidasi antara kewajiban dan modal. Sedangkan hak minoritas dalam laba disajikan dalam laporan laba rugi konsolidasi.
2.1.8
Kesehatan Bank Dahlan Siamat (2005,p208-209) menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan
Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/10/2004 Tahun 2004 mengenai tingkat kesehatan perbankan adalah nilai penilai kualitaf atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif dan atau penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, dan proyeksi rasio-rasio keuangan bank. Sedangkan penilian kualitatif
43
adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung penilaian kuantitatif, penerapan manajemen resiko, dan kepatuhan bank. Kesehatan
atau
kondisi
keuangan
dan
nonkeuangan
bank
merupakan
kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelolaan (manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank, dan pihak lainnya. Informasi mengenai kondisi suatu bank dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen resiko. Perkembangan industri perbankan terutama produk dan jasa yang semakin kompleks dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi bank. Perubahan ekposur resiko bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil risiko bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi bank secara keseluruhan. Perkembangan metodologi penilaian kondisi bank senantiasa bersifat dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan bank perlu di-review secara periodik untuk menyesuaikan kondisi terkini. Tujuannya adalah agar lebih mencerminkan kondisi bank saat ini dan diwaktu yang akan datang. Dalam konteks inilah Bank Indonesia senantiasa melakukan perbaikan kembali terhadap sistem penilaian tingkat kesehatan yang meliputi penyempurnaan pendekatan penilaian kualitatif dan kuantitatif dan penambahan faktor penialian. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi kesehatan bank tersebut yang akan datang. Sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank.
44
Faktor Penilaian Bank Indonesia dalam melakukan penilaian tingkat kesehatan bank menggunakan faktorfaktor yang disebut CAMELS, sebagai berikut: 1. C : Capital
(untuk rasio kecukupan modal bank).
2. A : Assets
(untuk rasio-rasio kualitas aktiva).
3. M : Management
(untuk menilai kualitas manajemen).
4. E: Earnings
(untuk rasio-rasio rentabilitas bank).
5. L : Liquidity
(untuk rasio-rasio likuiditas bank).
5. S : Sensitivity to Market Risk
(Sensitivitas terhadap resiko pasar).
2.2 Kerangka Pemikiran Riyadi (2004,p149) mengungkapkan bahwa tingkat kesehatan bank adalah penilaian atas suatu kondisi laporan keuangan bank pada periode dan saat tertentu sesuai dengan standar Bank Indonesia. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan tingkat kesehatan bank tersebut dapat digunakan sebagai tolak ukur pihak-pihak yang berkepentingan, baik pemilik, pengelola, masyarakat umum, maupun pemerintah untuk menilai kegiatan operasional dan kegiatan pengelolaan bank tersebut. Jalan pemikiran dari judul yang diajukan adalah dengan analisis CAMEL dari tingkat kesehatan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk, dan Unit Usaha Syariah PT. bank Rakyat Indonesia, Tbk. maka akan diketahui segi kekuatan dan kelemahan atas unsurunsur CAMEL-nya. Titik tolak analisis tersebut dapat dipakai oleh manajer sebagai alat untuk mengambil kebijakan-kebijakan dan keputusan dalam kaitannya dengan bank untuk probabilitas dan kesehatannya.
Serta dapat diketahui bagaimana perbedaan
antara penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dengan unit usaha syariah.
45
Perbankan Syariah
Bank Umum Syariah
Unit Usaha Syariah Kinerja Laporan Keuangan dan Manajemen
Permasalahan : 1.
Bagaimana tingkat kesehatan Bank Muamalat Indonesia periode tahun 2002-2005 berdasarkan analisis CAMEL?
2.
Bagaimana tingkat kesehatan Unit Usaha Bank Rakyat Indonesia periode tahun 2002-2005 berdasarkan analisis CAMEL?
3.
Bagaimana perbedaan cara penilaian kinerja keuangan dan manajemen bank umum syariah (Bank Muamalat Indonesia) dan bank syariah yang masih unit usaha (Unit Usaha Syariah Bank Rakyat Indonesia)?
Tujuan : 1.
Untuk mengetahui bagaimana tingkat kesehatan Bank Muamalat Indonesia periode tahun 2002-2005 berdasarkan analisis CAMEL.
2.
Untuk mengetahui bagaimana tingkat kesehatan Unit Usaha Bank Rakyat Indonesia periode tahun 2002-2005 berdasarkan analisis CAMEL.
3.
Untuk mengetahui apa perbedaan cara penilaian kinerja keuangan dan manajemen bank umum syariah (Bank Muamalat Indonesia) dan bank syariah yang masih unit usaha (Unit Usaha Syariah Bank Rakyat Indonesia).
-
Tingkat Kesehatan Bank Rasio Permodalan Rasio Kualitaf Aktiva Produktif Rasio Manajemen Rasio Rentabilitas Rasio Likuiditas
Hasil Analisis CAMEL
Simpulan dan Saran
Gambar 2.7 Diagram Alur Pemikiran