BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1
Definisi Pemasaran Pada saat ini, konsep pemasaran tidak hanya mencakup kebutuhan dan
keinginan saja, tetapi juga mencakup pengharapan konsumen, dan hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya informasi yang diterima oleh konsumen sehingga menimbulkan tuntutan yang lebih tinggi akan pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan harapan itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu mendapatkan perhatian yang lebih khusus, karena konsumen merupakan pasar bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Definisi Pemasaran terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Menurut American Marketing Association dalam Kotler dan Keller (2009, p.45) bahwa “Marketing is an organization function and a set processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationship in ways that benefit the organization and it stakeholders.” Sedangkan, definisi dari organisasi yang sama American Marketing Association di tahun yang berbeda dalam Kotler dan Keller (2012, p.5), definisi tersebut sedikit berubah menjadi “Marketing is the activ-ity, set of institutions, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customers, clients, partners, and society at large.” Kotler (2005, p.10) seorang ahli pemasaran mengemukakan ”Pemasaran adalah proses sosial dan manajerial, dengan proses itu individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah proses perpindahan barang dan/ atau jasa dari produsen ke konsumen, atau semua kegiatan yang berhubungan dengan arus barang dan/ atau jasa dari produsen ke konsumen .
2.2
Retail Image Menurut Berman dan Evans pada bukunya “Retail Management”
(2007;p541), image merujuk kepada bagaimana sebuah retail dapat dirasakan oleh konsumen dan lain nya, dan positioning merujuk kepada bagaimana perusahaan 7
8 merancang strategi mereka untuk memproyeksikan image sebuah retail untuk mendapatkan respon yang positif dari konsumen. Pada buku tersebut Berman dan Evans juga mengatakan untuk mencapai kesuksesan sebuah retail harus mengkomunikasikan sebuah image secara, khusus, jelas dan konsisten, sehingga ketika image sebuah retail melekat pada benak konsumen, sebuah retail akan mendapatkan tempat yang sesuai di benak konsumen dibandingkan dengan kompetitor nya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi image sebuah retail
Attributes of Physical facilities
Target market Overall Retail Image
Firm’s Positioning
Gambar 2.1
Customer Service Store Locatipn
Merchandise Pricing Gambar 2.1 Atributes
Shopping Experiences
Community Service
Promotion tools
Gambar 2.1 Component of Retail Image Sumber : Berman dan Evans (2007;p542)
2.3
Store Atmosphere
2.3.1 Store Menurut Maretha (2011) store atau toko merupakan sebuah tempat yang umum nya tertutup dan di dalam nya terjadi perdagangan benda yang spesifik seperti buku, makanan, minuman dan sebagainya. Dalam hal bangunan atau arsitektur nya, bangunan toko biasanya lebih mewah dibandingkan dengan warung. Didalam toko jenis barang barang yang dijual pun lebih modern. Proses transaksi didalam toko juga lebih modern.
2.3.2 Atmosphere Menurut Levy dan Weitz dalam bukunya “Retailing Management” (2012;p490) Atmosphere adalah desain sebuah lingkungan atau suasana yang
9 menstimulasi 5 indra. Biasanya retailers menstimulasi persepsi dan emosional konsumen melalui pencahayaan, warna, music, dan aroma. Dalam buku tersebut dan dihalaman yang sama dikatakan riset telah menunjukan penting nya elemen Atmosphere untuk dipadukan dan diaplikasikan. Contoh nya “the right music with the right scent”. Menurut Maretha (2011) Atmosphere merupakan : 1. Lingkungan intelektual yang dominan 2. Sebuah kualitas estetika atau efek yang menyenangkan dari sebuah tempat 3. Suasana atau perasaan dalam sebuah tempat atau situasi. Atmosphere juga bagaimana interaksi antar konsumen dan kepuasan konsumen dipengaruhi oleh suasana tempat dalam sebuah lembaga atau perusahaan. Interaksi sesama konsumen memiliki pengaruh pada kepuasan dan loyalitas terhadap perusahaan. Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa atmosfer merupakan suasana yang tercipta dalam sebuah lingkungan yang di stimulisasikan melalui komunikasi visual, pencahayaan. Warna, music , aroma dan interior yang bias mempengaruhi persepsi dan emosi pengunjung atau konsumen.
2.3.3 Store Atmosphere Dengan menghubungkan relasi antara teori Store dan Atmosphere yang sudah dibahas sebelumnya, bias di simpulkan bahwa store Atmosphere atau lingkungan toko merupakan suasana atau lingkungan toko yang bias menstimuli 5 indra konsumen dan mempengaruhi persepsi dan emosional konsumen terhadap toko, sesuai dengan pernyataan Levy dan Weitz (2012;p490). Lingkungan toko juga dapat mempengaruhi pembelian dalam toko tersebut, didukung melaui teori, bahwa store atmosphere yang terencana dapat menarik minat konsumen untuk membeli (Kotler 2005). Minat pembelian secara mendadak juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan toko, karena menurut Kurniawan dan Kunto (2013) Store Atmosphere sangat mempengaruhi Impulse Buying, oleh karena itu pembenahan elemen elemen Store Atmosphere harus sangat diperhatikan, Menurut Berman dan Evans (2007;p544) store atmosphere merujuk kepada karakteristik fisik toko yang menampilkan image dan menarik perhatian konsumen. Dan menurut Schiffman & Kanuk yang dikutip dari Jurnal Penelitian Maretha dan Kuncoro (2011) menyatakan bahwa “toko-toko atau gerai mempunyai citra toko
10 perusahaan itu sendiri yang membantu mempengaruhi kualitas yang dirasakan dan keputusan konsumen mengenai pembelian produk” Justus, Srinivas, Venkadeshawaran dan Ramesh (2007) mengatakan bahwa konsumen akan cenderung berlangganan pada toko yang dirasa memiliki banyak kesamaan dengan mereka. Kemiripan Consumer’s self image dengan store image akan mempengaruhi dimana konsumen akan berbelanja.
2.3.3.1 Elemen Store Atmosphere Menurut Levy dan Weitz yang dikutip oleh Kurniawan dan Kunto (2013), Store Atmosphere terdiri dari dua hal, yaitu Instore Atmosphere dan Outstore Atmosphere. a. Instore Atmosphere Instore Atmosphere adalah pengaturan pengaturan didalam ruangan yang menyangkut : 1. Internal Layout Merupakan pengaturan dari berbagai fasilitas didalam ruangan yang terdiri dari tata letak meja kursi pengunjung. Tata letak meja kasir, dan tata letak lampu, pendingin ruangan, sound. 2. Suara Merupakan keseluruhan alunan suara yang dihadirkan dalam ruangan untuk menciptakan kesan rileks atau persepsi emosional tersendiri dari live music yang disajikan restoran dan alunan suara music dari sound system. Areni dan Kim (1993), mengatakan bahwa Background Music dapat mempengaruhi pembelian didalam toko. 3. Bau Merupakan aroma-aroma yang dihadirkan dalam ruangan untuk menciptakan selera makan yang timbul dari aroma makanan dan minuman dan aroma yang ditimbulkan oleh pewangi ruangan. 4. Tekstur Merupakan tampilan fisik dari bahan-bahan yang digunakan untuk meja dan kursi dalam ruangan dan dinding ruangan. 5. Desain Interior Bangunan adalah penataan ruang-ruang dalam restoran. Kesesuaian meliputi kesesuaian luas ruang pengunjung dengan ruas jalan yang
11 memberikan kenyamanan, desain bar counter, penataan meja, penataan lukisan-lukisan dan system pencahayaan dalam ruangan.
b. Outstore Atmosphere Outstore Atmosphere adalah pengaturan-pengaturan diluar ruangan yang menyangkut : 1. External Layout Yaitu pengaturan tata letak berbagai fasilitas restoran di luar ruangan meliputi tata letak parker pengunjung, tata letak papan nama, dan lokasi yang strategis. 2. Tekstur Merupakan tampilan fisik dari bahan bahan yang digunakan bangunan maupun fasilitas diluar ruangan yang meliputi tekstur dinding bangunan luar ruangan dan tekstur papan nama luar ruangan. 3. Desain Eksterior Bangunan merupakan penataan ruangan-ruangan luar restoran meluputi disain papan nama luar ruangan, penempatan pintu masuk, bentuk bangunan dilihat dari luar dan system pencahayaan luar ruangan. Menurut Berman dan Evans dalam bukunya “Retail Management” (2007;p545) Store Atmosphere (Atmospherics) dapat dibagi menjadi beberapa elemen penting yang akan mempengaruhi suasana toko yang diinginkan. Key element tersebut adalah : Exterior , General Interior, Store Layouts dan Displays.
EXTERIOR
ATMOSPHERE CREATED BY THE RETAILER
GENERAL INTERIOR
STORE LAYOUT
INTERIOR DISPLAY
Gambar 2.2 Elemen-elemen Store Atmosphere Sumber : Berman dan Evans (2007;p542)
12 1. Exterior Menurut Berman dan Evans dalam bukunya “Retail Management” (2007;p545) Eksterior atau bagian depan toko memiliki imbas yang sanagat kuat terhadap image toko dan harus di rencanakan secara tepat. Bagian depan toko adalah total ekstrior fisik dari toko itu sendiri. Yang meliputi Marquee (papan nama) , pintu masuk, jendela, pencahyaan dan konstruksi material. Dengan tampilan depan toko retailer dapat menampilkan diskon dan tampilan lainnya. Konsumen yang melewati depan toko dapat menilai toko tersebut dari eksterior nya. Ada beberapa alternative dalam menampilkan basic store front : a) Modular structure : berbentuk 1 buah persegi atau kotak yang menyambungkan beberapa toko. b) Prefabricated structure : frame atau kerangka bangunan yang dirakit dalam sebuah toko. c) Prototype Store : desain yang disediakan franschisor untuk membantu perkembangan atmosphere. d) Recessed Storefront : memikat konsumen dengan bersembunyi dibalik toko toko lain, sehingga konsumen penasaran dan berjalan memeriksa toko tersebut. e) Unique Building : struktur bangunan yang berbeda Yang termasuk exterior toko ialah pintu masuk toko. Pintu masuk toko harus memperlihatkan tiga hal utama yaitu: a. Jumlah pintu masuk yang dibutuhkan. Sebuah toko diharapkan dapat mengatur antara pintu keluar dan pintu masuk toko. Pintu sebuah toko juga harus dapat menghalangi potensi terjadinya pencurian. b. Tipe dari pintu masuk yang dipilih, apakah dapat secara otomatis membuka sendiri
atau
yang
bersifat
manual.
Lantai
jalan
masuk
dapat
menggunakan semen, keramik atau karpet. c. Jalan masuknya. Jalan yang lebar dan lapang dapat menciptakan atmosfer yang berbeda dibandingkan jalan yang kecil dan sempit. Dalam beberapa kasus, tercapainya tujuan store atmosphere adalah melalui penataan yang unik dan menarik perhatian. Bagian depan toko yang berbeda, papan nama toko yang menarik, sirkulasi udara yang menarik, dan bangunan toko yang tidak biasa.
13 2.
General Interior
Banyak elemen-elemen yang mempengaruhi persepsi konsumen ketika mereka memasuki bagiandalam toko. Suara dan aroma dapat mempengaruhi perasaan konsumen. Perlengkapan toko dapat direncanakan berdasarkan kegunaan dan estetikanya. Meja, rak barang, pintu merupakan bagian dari dekorasi interior. Dinding toko juga mempengaruhi atmosfer dengan pemilihan wallpaper yang berbeda pada setiap toko yang disesuaikan dengan keadaan toko. Konsumen juga dipengaruhi oleh temperatur udara didalam toko. Kurang sejuknya udara dapat mempercepat keberadaan konsumen di dalam toko. Ruangan yang luas dan tidak padat menciptakan suasana yang berbeda dengan ruangan yang sempit dan padat. Konsumen dapat berlama-lama di dalam toko apabila mereka tidak terganggu oleh orang lain ketika sedang melihat-lihat produk yang dijual. Toko dengan bentuk bangunan yang modern serta perlengkapan yang baru akan lebih mendukung atmosfer. Remodelling bangunan dan pembaharuan peralatan toko yang lama dengan yang baru juga dapat meningkatkan citra toko dimata konsumen. Yang perlu diperhatikan dari semua hal diatas adalah bagaimana perawatannya agar dapat selalu terlihat bersih. Tidak peduli bagaimana mahalnya interior sebuah toko apabila terlihat kotor maka akan menimbulkan kesan yang jelek. 3. Store Layout Setiap toko mempunyai ruang ruang yang digunakan untuk berjualan, menampilkan barang, personil, dan konsumen. Tanpa alokasi tersebut sebuah toko tidak akan memiliki ruang yang akan digunakan untuk displays, kamar mandi dan yang lain nya. Alokasi ruang tersebut dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu : a) Selling Space : ruang ini digunakan untuk menampilkan barang, interaksi antara penjual dan konsumen, demonstrasi dan yang lain nya. b) Merchandise Space : digunakan untuk menyimpan barang barang yang tidak ditampilkan kepada konsumen. c) Personnel Space : ruang ini digunakan untuk ruang ganti pegawai, tempat beristirahat pegawai. d) Customer Space : ruang ini bias berupa lounge, bangku atau sofa, dressing room, restaurant, tempat parkir.
14 4. Interior Displays Ketika layout toko sudah diaplikasikan dengan detail, retailer selanjutnya harus merencanakan interior displays. Jenis jenis Interior Displays adalah sebagai berikut : a) Assortment Display : Merupakan
bentuk
interior displays yang
digunakan untuk berbagai macam produk yang berbeda dan dapat mempengaruhi konsumen untuk merasakan, melihat, dan mencoba produk. Kartu ucapan, majalah, buku dan produk sejenis lainnya merupakan produk-produk yang menggunakan assortment displays. b) Theme-Setting Display : merupakan bentuk interior displays yang menggunakan tema-tema tertentu digunakan dengan maksud membangun suasana atau nuansa tertentu. c) Ensemble Display : bentuk displays digunakan untuk satu pasang produk yang merupakan gabungan dari berbagai macam produk. d) Rack Display : bentuk displays tenoat gantungan produk yang ditawarkan. e) Cut Case : Merupakan
interior
displays yang
murah
hanya
menggunakan kertas biasa. Biasanya digunakan di super market atau toko yang sedang menyelenggarakan diskon. Bentuk lain dari cut case adalah dump bin, merupakan tempat menumpuk pakaian-pakaian atau buku-buku yang sedang diskon.
2.4
Jasa
2.4.1 Pengertian Jasa Menurut Kotler (2003) Jasa adalah sesuatu yang tidak berwujud yang tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Dalam produksi nya, jasa bisa terikat pada suatu produk fisik, tetapi bisa juga tidak. Menurut Lovelock dalam Arief (2007;p11) lebih jelas mendeskripsikan jasa sebagai proses daripada produk, dimana suatu proses melibatkan input dan mentransformasikannya sebagai output. Dua kategori yang diproses oleh jasa adalah orang dan objek. Berdasarkan definisi di atas, jasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak berwujud, yang melibatkan tindakan atau unjuk kerja melalui proses dan kinerja
15 yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain. Dalam produksinya, jasa bisa terikat pada suatu produk fisik, tetapi bisa juga tidak. Menurut Rambat dalam Arief (2007;p12), kata jasa sendiri mempunyai banyak arti dari pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendifinisikan pengertian jasa. Berikut adalah diantaranya : “A service is an activity or a service of activities which take place in interactions with a contact person or physical machine and which provides consumer satistaction” Lethinen dalam Arief (2007;p12). “A service is an activity or series of activities of more or less intangible nature that normally, but not necessarily, take place in interaction between the customer and service employees and/or physical resource or good and/or sistem of the service provider, which are provide as solution to customer problems” Gronroos dalam Arief (2007;p12). Menurut William J.Staton dalam Arief (2007;p13) memberikan pengertian jasa sebagai berikut : “Service are to those separately identifiable, essentially intangible activies that provide want - satisfaction, and that are not necessarily tied to sale of a product or another service. To produce a service may or may not required the use of tangible goods. However, when such is required, there is not transfer of the title (permanent ownership) to these tangible goods. Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh Yamit (2004:22) melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan jasa pelayanan sebagai sekelompok manfaat yang berdaya guna secara eksplisit maupun implisit atas kemudahan untuk mendapatkan barang maupun jasa pelayanan. Dan definisi secara umum dari kualitas jasa pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan. Kotler (2000) dalam Arief (2007;p40) menjelaskan lima pokok klasifikasi bauran jasa sebagai berikut : 1. Pure tangible goods Produk yang ditawarkan adalah barang berwujud murni/nyata, tidak ada bentuk jasa-jasa yang menyertai produk jenis ini. Contohnya : obat nyamuk, shampoo, dan sabun.
16 2. Tangible goods with accompanying maintance Barang berwujud merupakan produk utama yang ditawarkan, sedangkan pemeliharaan jasa menyertai produk utama tersebut. Pada umumnya, barang elektronik kendaraan, dan mesin-mesin di ikuti oleh pemeliharaan/perawatan dari barang-barang tersebut 3. Hybrid Produk barang maupun jasa sama – sama dapat dirasakan, misalnya selain mengharapkan makanan yang khas, pengunjung kafe juga ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan. 4. Major Service with accompanying minor goods services Produk utama adalah jasa dengan melibatkan sedikit produk lain berupa jasa, misalnya penumpang kereta api membeli jasa transportasi darat dengan fasilitas makan dan minum yang diberikan secara cuma - cuma. 5. Pure Service Tidak ada produk lain yang berbentuk produk menyertai jasa murni, escort ( pengawalan/ teman), psikiater, dan jasa konsultasi.
2.4.2 Karakteristik Jasa Kotler (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya terdapat empat karakteristik jasa yang dapat di definisikan sebagai berikut : 1. Intangibility, karena jasa tidak berwujud. Biasanya jasa dapat dirasakan secara subjektif dan ketika jasa di deskripsikan oleh pelanggan, ekspresi seperti pengalaman, kepercayaan, perasaaan, dan keamanan adalah tolak ukur yang dipakai. Inti dari suatu jasa adalah ketidakberwujudan dari fenomena itu sendiri. Oleh karena itu tinggi nya derajat ketidak berwujudannya maka jasa sangat sulit di evaluasi oleh pelanggan. 2. Inseparability, karena jasa bukan benda tetapi merupakan suatu seri aktifitas atau proses
dimana
produksi
dan
konsumsi
dilakukan
secara
simultan
(simultaneously). Dengan demikian, pada suatu tingkatan sangat sulit untuk mengontrol kualitas dan melakukan pemasaran dengan cara tradisional. 3. Perishability, karakteristik yang menyatakan bahwa tidak memungkinkan untuk menyimpan jasa seperti barang. Walaupun jasa tidak memungkinkan untuk menyimpan jasa seperti barang. Walaupun jasa tidak dapat disimpan tetapi pelanggan dapat diusahakan unutuk disimpan.
17 4. Variability, karena proses produksi dan penyampaian dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia mempunyai sikap tidak konsisten sehingga penyampainya suatu jasa belum tentu terhadap tiap-tiap pelanggan.
Menurut Gaspersz dalam Ariani (2004, p7-8) ada beberapa karakteristik unik dari suatu industri jasa/pelayanan yang sekaligus membedakannya dari barang, antara lain: 1. Pelayanan merupakan output tidak berbentuk (intangibility output). 2. Pelayanan merupakan output variable, tidak standar. 3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam persediaan, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi. 4. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan. 5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan. 6. Pelanggan sekaligus merupakan input bagi proses pelayanan yang diterimanya. 7. Keterampilan personil diberikan secara langsung kepada pelanggan.
2.5
Service Quality Service Quality atau Kualitas pelayanan adalah salah satu unsur penting
dalam organisasi jasa. Hal ini disebabkan oleh kualitas pelayanan merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi jasa. Oleh karena itu, kualitas pelayanan harus mendapat perhatian yang serius dari manajemen organisasi jasa. Untuk menetapkan kualitas pelayanan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi jasa, terlebih dahulu organisasi tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas. Berbagai definisi diberikan para ahli terhadap kualitas pelayanan. Parasuraman (1998) mengartikan kualitas sebagai suatu bentuk sikap, berhubungan namun tidak sama dengan kepuasan, yang merupakan hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja aktual. Namun kualitas pelayanan dan kepuasan dibentuk dari hal yang berbeda. Selanjutnya disebutkan bahwa pengertian yang paling umum dari perbedaan kualitas pelayanan dan kepuasan adalah bahwa kualitas pelayanan merupakan satu bentuk sikap, penilaian dilakukan dalam waktu lama, sementara kepuasan merupakan ukuran dari transaksi yang spesifik. Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan mengarah pada cara diskonfirmasi yang dioperasionalkan.
18 Dalam mengukur kualitas pelayanan yang dibandingkan adalah apa yang seharusnya didapatkan, sementara dalam mengukur kepuasan yang diperbandingkan adalah apa yang pelanggan mungkin dapatkan (Parasuraman,1998). Menurut Tjiptono (2005;p59) kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dalam penelitian ini kualitas layanan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap penjualan, dan menurut Matilla (2008) kualitas pelayanan dari karyawan suatu toko dapan memicu Impulse Buying dari konsumen. Dan menurut Kharis (2011) Kualitas layanan dapat mempengaruhi Impulse Buying secara signifikan. Dari berbagai pendapat tentang kualitas pelayanan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kualitas pelayanan secara umum adalah bahwa kualitas harus memenuhi harapan-harapan pelanggan dan memuaskan kebutuhan mereka. Namun demikian meskipun definisi ini berorientasi pada konsumen, tidak berarti bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan penyedia jasa harus menuruti semua keinginan konsumen. Dengan kata lain, dalam menetapkan kualitas pelayanan, perusahaan harus mempertimbangkan selain untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan, juga tersedianya sumberdaya dalam perusahaan.
2.5.1 Dimensi Service Quality Menurut Pasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) dalam Tjiptono dan Chandra (2005),
ada 5 dimensi yang digunakan dalam menilai kualitas pelayanan pada
industri, yaitu: 1. Reliability (reliabilitas), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapundan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati. 2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalammembantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatankaryawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan pelanggan. 3. Assurance (Jaminan), yakni perilaku karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan
pelanggan
terhadap
perusahaan
dan
perusahaan
bisa
19 menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juda berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan danketerampilan
yang
dibutuhkan
untuk
menangani.
Dimensi
kepastian/jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi: •
Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.
•
Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian, dan sikap para karyawan.
•
Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungandengan kepercayaan
kepada
perusahaan,
seperti
reputasi,
prestasi,
dan
sebagainya. 4. Empati
(Empathy)
yaitu
perhatian
individual
yang
diberikan
perusahaankepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan,kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya.Dimensi ini merupakan penggabungan dari dimensi: •
Akses, meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan perusahaan.
•
Komunikasi, merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelangganatau memperoleh masukan dari pelanggan.
•
Pemahaman
pada
pelanggan,
meliputi
usaha
perusahaan
untuk
mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. 5. Tangibles (bukti fisik), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dankenyamanan
ruangan,
kelengkapan
peralatan
komunikasi,
dan
penampilankaryawan.
2.5.2 Manfaat Kualitas Pelayanan Keberhasilan suatu perusahaan dalam membangun bisnisnya, tidak luput dari peran pelayanan yang baik dan memuaskan pelanggannya. Kualitas pelayanan akan memberi manfaat yang cukup besar bagi perusahaan sebagai berikut (Simamora, 2003;p180):
20 1. Pelayanan yang istimewa (nilai pelayanan yang benar-benar dialami konsumen melebihi harapannya) atau sangat memuaskan merupakan suatu basis untuk penetapan harga premium. Perusahaan yang mampu memberikan kepuasan tinggi bagi pelanggannya dapat menetapkan suatu harga yang signifikan. 2. Pelayanan istimewa membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga. Misalnya pelayanan dibedakan menurut kecepatan pelayanan yang diminta oleh pelanggan yaitu tarif lebih mahal dibebankan untuk pelayanan yang membutuhkan penyelesaian yang cepat. 3. Menciptakan loyalitas pelanggan. Pelanggan yang loyal tidak hanya potensial untuk penjualan yang sudah ada tetapi juga untuk produk-produk baru dari perusahaan. 4. Pelanggan yang terpuaskan merupakan sumber informasi positif bagi perusahaan dan produk-produk kepada pihak luar, bahkan mereka dapat menjadi pembela bagi perusahaan khususnya dalam menangkal isu-isu negatif. 5. Pelanggan merupakan sumber informasi bagi perusahaan dalam hal intelijen pemasaran dan pengembangan pelayanan atau produk perusahaan pada umumnya.
2.6
Impulse Buying Pemahaman tentang konsep pembelian impulsif (impulsive buying) dan
pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak dibedakan. Philipps dan Bradshow (1993) dalam semuel (2006), tidak membedakan antara unplanned buying dengan impulsive buying, tetapi memberikan perhatian penting kepada periset, pelanggan harus memfokuskan pada interaksi antara pointof-sale dengan pembeli yang sering diabaikan. Engel dan Blacwell (1982) dalam Semuel (2006), mendefinisikan unplanned buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Cobb dan Hayer dalam Semuel (2006), mengklasifikasikan suatu pembelian impulsif terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Sedangkan menurut Loudon dan Bitta (1993), “Impulse buying or unplanned purchasing is another consumer
21 purchasing pattern. As the term implies, the purchase that consumers do not specifically planned”. Ini berarti bahwa impulse buying merupakan salah satu jenis perilaku konsumen, dimana hal tersebut terlihat dari pembelian konsumen yang tidak secara rinci terencana. Pernyataan tersebut didukung oleh Iyer (fadjar, 2007), impulse buying adalah suatu fakta kehidupan dalam perilaku konsumen yang dibuktikan sebagai suatu kegiatan pembelian yang berhubungan dengan lingkungan dan keterbatasan waktu dalam berbelanja, dimana rute pembelian yang mereka lakukan semstinya berbeda. Rute tersebut dapat dibedakan melalui hirarki impulse yang memperlihatkan bahwa perilaku didasarkan pada respon afektif yang dipengaruhi oleh perasaan yang kuat (Mown dan Minor, 2002), sehingga impulse bauying menurut Hoch et al., terjadi ketika terdapat perasaan positif yang sangat kuat yang kemudian diikuti oleh sikap pembelian (Negara dan Dharmmesta, 2003). Kollat dan Willet, dalam Semuel (2006), memperkenalkan Tipologi perencanaan masuk toko, meliputi perencanaan sebelum masuk toko, meliputi perncanaan terhadap produk dan merek produk, kategori produk, kelas produk, kebutuhan umum yang ditetapkan, kebutuhan umum yang belum ditetapkan. Beberapa peneliti pemasaran beranggapan bahwa impulse sinonim dengan unplanned ketika para psikolog dan ekonom memfokuskan pada aspek irasional atau pembelian impulsif murni (Bayley dan Nancarrow dalam Semuel, 2006). Thomson et al, dalam semuel, 2006, mengemukakan bahwa ketika terjadi pembelian impulsif akan memberikan pengalaman emosional lebih dari pada rasional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional dibanding irasional. Menurut Sterns (1962) yang dikutip dari Bong (2011) belanja impulsif adalah suatu pembelian yang dilakukan konsumen tanpa direncanakan sebelumnya (impulsive buying is a purchase that made by consumers without being intentionally planned before). Perilaku konsumen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendapatan, personalitas seseorang, ketersediaan waktu, lokasi, dan faktor budaya belanja setempat. Perilaku ini tidak hanya ditunjukkan oleh orang-orang yang berbeda terhadap produkproduk yang sama, tetapi juga oleh orang-orang yang sama pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Suatu pembelian yang direncanakan secara teliti, bijaksana dan melalui evaluasi matang pada umumnya menghasilkan hasil rasional, akurat dan merupakan keputusan baik. Kebalikannya dari berbelanja terencana, maka belanja impulsif adalah spontanitas dan keputusan
22 mendadak dimana konsumen tidak secara aktif melihat lebih rinci produk-produk yang dibeli dan tanpa rencana awal (Kollat dan Willet, 1967; Rook 1987; Rook dan Fisher 1995; Verplanken dan Herabadi, 2001) yang dikutip dari Bong (2011). Lebih jauh mengenai spontanitas, mendeskripsikan belanja impulsif sebagai suatu kondisi ketegangan, melakukan aksi pembelian dalam keadaan tergesa-gesa, seolah-olah terdesak waktu, tanpa mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya setelah keputusan pembelian. Rook (1987) yang dikutip dari Bong (2011) lebih menekankan bahwa konsumen mungkin berada dalam kondisi yang tidak rasional dalam berbelanja. Hansen dan Olsen yang dikutip dari Bong (2011) menekankan orientasi kenyamanan (Convenience Orientation) dan persepsi desakan waktu (Perceived Time Pressure) adalah sebagai anteseden dari tendensi belanja impulsif (Impulsive Buying Tendency) dan seterusnya memengaruhi loyalitas konsumen terhadap toko (Consumer Store Loyalty). Situasi dan kondisi dalam toko memegang peranan sangat penting dalam upaya meningkatkan ketertarikan calon konsumen untuk berbelanja, yang akhirnya calon konsumen mengambil keputusan melakukan belanja impulsif spontan di tempat (Verplanken dan Herabadi 2001; Rook dan Fisher, 1995; Rook 1987; Kollat dan Willet, 1967) yang dikutip dari Bong (2011). Menurut Bong (2011), dari hasil observasi yang dilihat dari sisi perilaku konsumen, maka diperoleh adanya keputusan pembelian yang direncanakan dan tidak direncanakan oleh konsumen pada titik keputusan pembelian (point of purchase). Titik keputusan pembelian merepresentasikan factor waktu dan tempat pada saat di mana terdapat unsur penawaran toko. Sedangkan faktor konsumen, adanya kesiapan keuangan dan tawaran produk menarik pada saat bersamaan. Dengan mempergunakan berbagai alat dan teknis komunikasi toko, seperti: pola pemajangan, kemasan produk, promosi penjualan, periklanan, dan pelayanan toko yang professional pada titik lokasi penjualan (Point Of Sales), maka pemasar (marketer) berusaha memengaruhi keputusan pembelian calon konsumen. Sedangkan Menurut Mowen & Minor yang dikutip dari Kurniawan dan Kunto (2013) pengertian impulse buying adalah “an impulse purchase has been defined as a buying action undertaken without a problem having been previously recognizing or a buying intention formed prior to entering the store”. Pembelian tak terencana adalah kegiatan pembelian mendadak tanpa ada perencanaan terlebih dahulu pada saat memasuki suatu toko.
23 Impulse Buying didefinisikan sebagai “tindakan membeli yang sebelumnya tidak diakui secara sadar sebagai hasil dari suatu pertimbangan atau niat membeli yang terbentuk sebelum memasuki toko”.
2.6.1 Dimensi Impulse Buying Menurut Loudon dan Della yang dikutip dari Kurniawan dan Kunto (2013), terdapat 4 dimensi dari pembelian tak terencana, yaitu : 1. Pure Impulse Adalah pembelian yang memang benar-benar murni secara spontan. 2. Suggestion Impulse Adalah ketika calon pembeli tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya atas produk tersebut dan baru pertama kali melihat dan merasa membutuhkan produk tersebut. 3. Reminder Impulse Adalah ketika calon pembeli mengingat pengalaman sebelumnya dalam pemakaian produk tersebut dan atau mengingat barang tersebut setelah melihat atau mendengarkan lewat iklan. 4. Planned Impulse Adalah ketika calon pembeli memasuki toko dengan harapan untuk mencari barang dengan harga special, penukaran kupon, dan sebagainya.
2.7
Hubungan Antar Variable
2.7.1 Hubungan Antara Store Atmosphere dengan Impulse Buying Lingkungan toko atau store atmosphere yang terencana dapat menarik minat konsumen untuk membeli (Kotler 2005). Minat pembelian secara mendadak juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan toko, karena menurut Kurniawan dan Kunto (2013) Store Atmosphere sangat mempengaruhi Impulse Buying. Jurnal penelitian Graa dan Dani-elKebir (2012) berjudul, Application Of Stimulus & Response Model To Impulse Buying Behaviour Of Algerian Consumers , menyatakan bahwa ada hubungan Antara Store Atmosphere dengan Impulse Buying. Jurnal ini meneliti bagaimana Situasional Factor dan Emotional States dapat mempengaruhi Impulse buying pada konsumen di Algerian. Dan hasil yang didapat
24 menyatakan bahwa Store Environtment , Perceived Crowding dan Time Pressure mempengauhi Impulse Buying Secara Positif. Jurnal An Analysis Of In-Store Shopping Environtment On Consumers Impulse Buying : Evidence From Pakistan , oleh Ali dan Hasnu (2011). Jurnal ini berisi tentang penelitian pengaruh Store Environtment yang memicu Impulse Buying Decision. Sample yang digunakan dalah 100 pembeli yang diambil secara acak di Abbotabad dan Islamabad , Pakistan. Hasilnya adalah peningkatan enjoyable, pleasant dan
attractive in-store yang dipengaruhi Store Atmosphere dapat
meningkatkan peluang terjadinya Impulsive Buying terhadap konsumen. Jurnal Pengaruh Faktor-Faktor Store Environtment dan Faktor-faktor Product Brand terhadap Impulse Buying Behaviour di Hypermart Ciputra World Surabaya, Hartanto (2010) . Jurnal ini meneliti tentang pengaruh suasana toko pada Hypermart Ciputra World Surabaya terhadap Impulse Buying Behaviour. Penelitian ini menggunakan metode observasi dalam pengumpulan datanya karena penelitian ini mencatat pola perilaku subyek (orang, obyek, benda) atau kejadian secara sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti. Sehingga dari data-data yang diperoleh, dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mendorong para pengunjung toko untuk melakukan impulse buying.
Hasil yang
didapat Store Atmosphere memiliki pengaruh negative terhadap Impulse Buying. Menurut jurnal penelitian Kurniawan dan Kunto (2013) berjudul, Pengaruh Promosi dan Store Atmosphere terhadap Impulse Buying dengan Shopping Emotion sebagai variable Intervening Studi Kasus Di Matahari Department Store Cabang Supermall Surabaya, Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatori. Sampel penelitian adalah konsumen Matahari department store cabang supermall Surabaya, yang berjumlah 150 orang. Penelitian ini menggunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa promotion dan store atmosphere berpengaruh terhadap shopping emotion, promotion dan Store Atmosphere berpengaruh terhadap impulse buying, serta shopping emotion berpengaruh terhadap impulse buying.
2.7.2 Hubungan Antara Service Quality dengan Impulse Buying Menurut jurnal penilitian Kharis (2011) berjudul, Studi Mengenai Impulse buying Dalam Penjualan Online (Studi Kasus di Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang), jurnal ini berisi tentang bagaimana pengaruh kualitas layanan dan
25 promosi terhadap impulse buying dalam penjualan online, dengan mengambil sample 100 Mahasiswa S1 Universitas Diponegoro Semarang yang pernah melakukan impulse buying dengan jenis barang berupa fashion secara online. Dengan batasan umur antara 18-25 tahun karena pada usia tersebut pelanggan dinilai sebagai pembeli produktif (potensial) dan mereka tertarik dengan dunia fashion.
Dengan hasil
Variabel kualitas pelayanan (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Maka Hipotesis pertama (H1) yaitu, semakin baik kualitas pelayanan yang dirasakan konsumen, maka akan semakin cepat keputusan melakukan impulse buying, dapat diterima. Jurnal penelitian berjudul The role of store environmental stimulation and social factors on impulse purchasing , oleh Mattila dan Wirtz (2008) berisi tentang bagaimana suasana mempengaruhi Impulse Buying yang distimuli oleh 2 Social Factor , dengan mengambil sampel 138 konsumen retail di Singapura. Dengan hasil yang menyatakan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh pegawai dapat mempengaruhi Perceived Crowded dan Impulse buying. Jurnal penelitian berjudul The effect of culture and salespersons’ retail service quality on impulse buying, oleh Pornpotakpan dan Han (2013), Studi ini mengkaji pengaruh dari kualitas layanan retail penjual ' pada impulse buying dan memberikan bukti bahwa moderat kualitas pelayanan berpengaruh pada impulse buying . Percobaan menggunakan 2 ( budaya peserta : Singapura vs Amerika ) dengan 2 ( retail kualitas layanan yang : buruk dibandingkan dengan yang baik) antara - subjek desain faktorial dengan 102 orang dewasa yang berasal dari Singapura dan 88 orang berasal dari Amerika yang direkrut dari perusahaan di Singapura . Ia menemukan bahwa untuk kedua budaya , pelayanan yang baik mengarah ke pembelian impuls yang lebih tinggi daripada layanan yang buruk . Interaksi yang signifikan antara budaya dan kualitas layanan terhadap impulse buying menunjukkan bahwa ketika layanan baik, Singapura menunjukkan pembelian impuls lebih tinggi daripada orang Amerika . Sebaliknya, ketika layanan buruk , Singapura mengungkapkan membeli impuls lebih rendah dibandingkan orang Amerika . Implikasinya adalah bahwa perusahaan-perusahaan multinasional harus berinvestasi dalam menciptakan dan menjamin kualitas pelayanan yang baik ketika mereka melakukan bisnis dalam budaya kolektivis tapi mungkin memberikan bobot
26 yang relatif lebih tinggi untuk jenis lain dari keunggulan kompetitif ketika mereka melakukan bisnis dalam budaya individualis
2.8
Kerangka Pemikiran
Store Atmosphere (X1) : a. Instore Atmosphere : Internal Layout Suara Tekstur Desain Interior
Service Quality (X2) : Reliability (reabilitas) Tangible (bukti fisik) Empathy (empati)
b. Outstore Atmosphere : External Layout Tekstur Desain Eksterior
Assurance (jaminan) Responsive (Daya tanggap)
Impulse Buying (Y) :
Spontanitas/ Pure impulse Reminder Impulse Suggestion Impulse Planned Impulse
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
27 2.9
Hipotesis Menurut Sugiono (2010,p159) hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Kebenaran hipotesis itu harus dibuktikan melalui data yang terkumpul. Variabel: X1
: Store Atmosphere
X2
: Service Quality
Y
: Impulse Buying
Hipotesis penelitian ini berdasarkan rumusan masalah: 1.
Hipotesis 1 : Adakah pengaruh yang signifikan antara penerapan Store Atmosphere di UMBRA Bar & Lounge terhadap : Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara penerapan Store Atmosphere di UMBRA Bar & Lounge terhadap : Impulse Buying
•
Ha
=
Ada pengaruh yang signifikan antara penerapan Store Atmosphere di
UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying 2.
Hipotesis 2 : Adakah pengaruh yang signifikan antara Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying.
•
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying.
3.
Hipotesis 3 : Adakah pengaruh yang signifikan antara Store Atmosphere dan Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap Impulse Buying?
•
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Store Atmosphere dan Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap impulse buying.
•
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara antara Store Atmosphere dan Service Quality UMBRA Bar & Lounge terhadap impulse buying.
.