BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia “Human Resource Management refers to the policies, practices, and systems that
influence employees’ behavior, attitudes, and performance.” (Noe dkk, 2000, p4) Berdasarkan Hariandja dan Hardiwati (2003, p16), manajemen SDM adalah keseluruhan penentuan dan pelaksanaan berbagai aktivitas, policy, dan program yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja, pengembangan, dan pemeliharaan dalam usaha meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan efektivitas organisasi dengan cara yang secara etis dan sosial dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Mathis dan Jackson (2006, p67), manajemen SDM adalah penggunaan karyawan secara organisasional untuk mendapatkan atau memelihara keunggulan kompetitif terhadap para pesaing. Sehingga, manajemen SDM adalah sistem dan kebijakan yang mengatur penggunaan karyawan secara organisasional dengan cara yang etis untuk mempengaruhi kinerja karyawan dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas organisasi.
2.1.1.1 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia Seperti digambarkan dalam Gambar 2.1, manajemen Sumber Daya Manusia memainkan beberapa peranan bagi organisasi, seperti berikut.
8
9
Sumber: Mathis dan Jackson, 2006, p51
Gambar 2.1 Perbedaan Peran Manajemen SDM 1. Peran Administratif Meliputi aktivitas-aktivitas administrasi, seperti program bantuan karyawan, administrasi pensiun, pemerikasaan latar belakang/surat keterangan, administrasi imbalan kerja, perencanaan dan administrasi kompensasi, dan penanganan persoalan cuti yang terkait dengan urusan keluarga. 2. Penasihat Karyawan Profesional-profesional SDM sebagai suara atas persoalan-persoalan karyawan, biasanya dipandang sebagai petugas moral perusahaan. Profesional SDM banyak menghabiskan waktu untuk menangani manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan masalah pekerjaan karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. 3. Operasional Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini.
10
•
Pengadaan tenaga kerja (procurement) Fungsi operasional dari manajemen personalia adalah berupa usaha untuk memperoleh jenis dan jumlah yang tepat dari personalia yang diperlukan untuk menyelesaikan sasaran organisasi. Hal-hal yang dilakukan dalam kaitan ini adalah penentuan sumber daya manusia yang dibutuhkan dan perekrutannya, seleksi, dan penempatan . Penentuan sumber daya manusia yang diperlukan harus bersandar pada tugas-tugas yang tercantum pada rancangan pekerjaan yang ditentukan sebelumnya
•
Pengembangan (development) Pengembangan merupakan peningkatan keterampilan melalui pelatihan yang perlu untuk prestasi kerja yang tepat. Kegiatan ini amat penting dan terus tumbuh karena perubahan-perubahan teknologi, reorganisasi pekerjaan, tugas manajemen yang semakin rumit.
•
Kompensasi (compensation) Fungsi ini dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai dan layak kepada personalia untuk sumbangan mereka kepada tujuan organisasi
•
Integrasi (integration) Integrasi merupakan usaha untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi (kecocokan) yang layak atas kepentingan-kepentingan perorangan (individu), masyarakat, dan organisasi. Definisi ini berpijak atas dasar kepercayaan bahwa masyarakat kita terdapat tumpang tindih kepentingan yang cukup berarti.
•
Pemeliharaan (maintenance) Pemeliharaan merupakan usaha untuk mengabadikan angkatan kerja yang mempunyai kemauan dan mampu untuk bekerja. Terpeliharanya kemauan untuk bekerja sangat dipengaruhi oleh komunikasi dengan para karyawan, keadaan jasmani (fisik) karyawan, dan kesehatan serta keselamatan kerja.
11
•
Pemutusan hubungan kerja (separation) Jika fungsi pertama manajemen personalia adalah untuk mendapatkan karyawan, adalah logis bahwa fungsi terakhir adalah memutuskan hubungan kerja dan mengembalikan orang-orang tersebut kepada masyarakat. Organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan
proses
pemutusan
hubungan
kerja
sesuai
dengan
persyaratan-
persyaratan yang telah ditentukan, dan menjamin bahwa warga masyarakat yang dikembalikan itu berada dalam keadaan yang sebaik mungkin. 4. Strategis SDM harus berfokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM dan berperan sebagai rekan bisnis strategis perusahaan. Contoh dari peran strategis ini adalah bagaimana demografi angkatan kerja
dan kekurangan angkatan kerja
yang berubah-ubah akan
mempengaruhi organisasi, dan cara apa yang akan digunakan untuk menyampaikan keurangankekurangan seiring berjalannya waktu.
2.1.2 Sikap Kepribadian dan sikap merupakan proses kognitif yang kompleks. Perbedaannya adalah kepribadian biasanya dianggap sebagai manusia seutuhnya, sedangkan ciri/trait dan sikap dianggap sebagai pembentuk kepribadian. (Luthans, 2006, p236). Sikap dapat ditandai dengan tiga cara. Pertama, sikap cenderung bertahan kecuali ada sesuatu yang dilakukan untuk mengubahnya. Kedua, sikap dapat mencakup rangkaian dari yang sangat disukai sampai yang sangat tidak disukai. Ketiga, sikap diarahkan pada beberapa objek di mana orang memiliki perasaan dan kepercayaan. “An attitude consists of feelings, beliefs, and predispositions to behave in certain ways” (Organ dan Hammer, 1982, p131). Ketiga komponen tersebut kemudian berpadu bersama-sama, secara psikologis, di mana masing-masing komponen berimplikasi terhadap yang lainnya. Greenberg dan Baron (2003, p147) menyebut ketiga komponen tersebut sebagai an evaluative
12
component, a cognitive component, and a behavioral component. Evaluative component menunjuk pada kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain, barang, atau kejadian tertentu (disebut sebagai attitude object). Cognitive component adalah hal-hal yang kita percayai tentang suatu attitude object, tak peduli apakah pandangan tersebut salah atau benar. Sedangkan, behavioral component merupakan kecenderungan (predispotition) untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu secara konsisten sesuai dengan keyakinan (belief) dan perasaan (feeling) kita tentang sebuah attitude object. Ketiga komponen sikap tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.
Sumber: Greenberg dan Baron,2003, p147
Gambar 2.2 Tiga Komponen Dasar dari Sikap Fungsi-fungsi dari sikap, yaitu: -
Fungsi penyesuaian Sikap sering membantu orang menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka. Saat karyawan diperlakukan dengan baik, mereka cenderung mengembangkan sikap positif terhadap manajemen dan organisaisi. Sebaliknya, bila mereka diperlakukan kasar dan peningkatan gaji kecil, mereka cenderung mengembangkan sikap negatif terhadap manajemen dan organisasi.
-
13
Fungsi pertahanan ego Sikap juga membantu karyawan mempertahankan citra diri. Misalnya, manajer lebih tua yang keputusannya terus ditentang manajer bawahan yang lebih muda mungkin merasa bahwa anak muda tidak sopan, sombong, belum dewasa, dan tidak berpengalaman. Sebanarnya, manajer muda mungkin benar ketika menentang keputusan tersebut. Manajer yang lebih tua mungkin bukan pemimpin yang efektif dan terus membuat keputusan yang buruk. Sebaliknya, manajer yang lebih tua tidak mengakui hal tersebut dan mencoba melindungi egonya dengan menempatkan kesalahan pada pihak lain. Jadi, sikap berfungsi membenarkan tindakan dan mempertahankan ego.
-
Fungsi mengekspresikan nilai Sikap bertindak sebagai dasar untuk mengekspresikan nilai sentral seseorang. Misalnya, manajer yang meyakini etika kerja akan cenderung mengomentari sikap individu tertentu atau praktik kerja tertentu sebagai alat untuk merefleksikan nilai. Seorang atasan yang ingin bawahannya bekerja lebih keras mungkin melakukan hal ini: “Anda harus bekerja lebih keras lagi. Hal tersebut telah menjadi tradisi perusahaan sejak didirikan. Semua itu membuat kami seperti sekarang ini, dan setiap orang diharapkan menganut etika ini”.
-
Fungsi pengetahuan Sikap membantu menyediakan standar dan kerangka referensi memungkinkan orang untuk mengelola dan menjelaskan dunia di sekitar mereka. Misalnya, organisator serikat mungkin memiliki sikap negatif terhadap manajemen. Sikap ini bisa saja tidak berdasarkan fakta, tetapi membantu orang untuk berhubungan dengan manajemen. Akibatnya, apa pun yang dikatakan manajer ditanggapi organisator serikat sebagai tidak lebih daripada sekumpulan bualan, atau usaha memanipulasi pekerja. Tanpa memedulikan keakuratan pandangan seseorang terhadap realita, sikap terhadap orang lain, kejadian, dan objek, membantu individu mengerti apa yang sedang terjadi.
14
Seseorang bisa mempunyai ribuan sikap, tapi perilaku organisasi memfokuskan pada jumlah sangat terbatas sikap yang berhubungan dengan pekerjaan. Sikap kerja adalah perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku yang relatif stabil terhadap berbagai aspek dari pekerjaan itu sendiri. Sikap yang berkaitan dengan pekerjaan ini membuka jalan evaluasi positif atau negatif yang dipegang para karyawan mengenai aspek-aspek dari lingkungan kerja mereka. Kebanyakan riset dalam perilaku organisasi telah mempedulikan tiga sikap: kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen organisasi (Robbins, 2003, p91). Dalam penelitian ini, hanya dibahas mengenai kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
2.1.2.1 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat imbalan yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari organisasi tempat mereka bekerja (Tangkilisan, 2005, p164). Berdasarkan Robbins (2003, p30), kepuasan kerja adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima
seorang
pekerja
dan
banyaknya
yang
mereka
yakini
seharusnya
mereka
terima.Sedangkan, berdasarkan pendapat Luthans (2006, p243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Dari definisi-definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah persepsi karyawan bahwa imbalan yang mereka terima dari organisasi sebagai hasil dari pekerjaan mereka sudah setimpal, sehingga mereka memunculkan sikap puas terhadap pekerjaan mereka. Menurut Wexley dan Yukl (Moeljono, 2003, p113), ada tiga dimensi kepuasan kerja: a. Kepuasan kerja adalah sebuah respons emosional terhadap situasi kerja b. Kepuasan kerja sering ditentukan oleh bagaimana outcomes (hasil/keluaran) dapat sesuai atau melebihi harapan
15
c.
Kepuasan kerja akan mempresentasikan sikap-sikap yang berhubungan dengan hal tersebut Beberapa faktor penentu kepuasan kerja adalah sebagai berikut.
1. Pekerjaan itu sendiri Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Berdasarkan survey diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut ialah: a. Keragaman keterampilan, banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin
banyak
ragam keterampilan yang
digunakan,
makin
kurang
membosankan pekerjaan. b. Jati diri tugas (task identity), sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas. c.
Tugas yang penting (task significance), rasa pentingnya tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja.
d. Otonomi,
pekerjaan
yang
menimbulkan
kebebasan,
ketidaktergantungan
dan
memberikan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. e. Pemberian umpan balik (feedback) pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja.
2.
16
Gaji atau imbalan yang dirasakan adil Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari
gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda-beda. Di samping memenuhi kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat merupakan simbol dari pencapaian (achievement), keberhasilan, dan pengakuan atau penghargaan. Lagipula uang mempunyai kegunaan sekunder. Jumlah gaji yang diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan. Dengan menggunakan teori keadilan Adams, orang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress (ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasaan kerja. 3. Kesempatan promosi Menyangkut kemungkinan seseorang untuk maju dalam organisasi dan dapat berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak, serta proses kenaikan jabatan terbuka atau kurang terbuka. Ini juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. 4. Pengawasan (supervisi) Atasan yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dalam memperlakukan bawahannya dapat menjadi menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi bawahannya tersebut, dan hal ini mempengaruhi kepuasan kerja. Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang
17
serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua hubungan adalah positif. 5. Rekan kerja Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara (kebutuhan sosial terpenuhi). Sifat alami dari kelompok atau tim kerja akan mempengruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok kerja bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota individu. Kelompok yang memerlukan kesalingtergantungan antar-anggota dalam menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan menjadi menyenangkan, sehingga menimbulkan kepuasan kerja pada individu karyawan. 6. Kondisi kerja Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya. Dalam hal ini perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dengan peralatan kerja yang nyaman untuk digunakan, seperti meja, kursi yang dapat diatur tinggi-randah, miring-tegaknya posisi duduk. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan-kebutuhan fisik yang terpenuhi akan memuaskan tenaga kerja.
2.1.2.2 Mengukur Kepuasan Kerja Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dari segi analisa statistik maupun dengan pengumpulan data. Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global,
18
kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan. 1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya . 2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manejemen, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan. 3. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap responden
19
menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1) Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “Berapa yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan, maka semakin besar kepuasannya. Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan. Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan kepada penyilidik ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden.Hampir semua penelitian kepuasan kerja berdasarkan pada kuesioner pengukuran kepuasan kerja. Karena kepuasan kerja adalah fenomena yang subjektif dan individual, mungkin kuesioner merupakan ukuran yang paling sesuai. Meskipun demikian penting sekali menyadari adanya keterbatasan tertentu dari metode ini dalam mendapatkan data bagi penelitian kepuasan kerja. Sejumlah masalah yang timbul oleh pengukuran melalui kuesioner tersebut berkaitan dengan ketepatan tanggapan. Walaupun responden tidak memberikan jawaban yang menyesatkan secara sengaja, sejumlah variabel situasional dapat mempengaruhi, baik sejauh mana mereka mau memahami pertanyaan tersebut maupun sejauh mana mereka mau benar-benar berterus terang dalam menjawab. Meskipun kesalahan pengukuran yang berkaitan tidak dapat dihilangkan, namun terdapat langkah-langkah
tertentu
yang
dapat
diambil
untuak
menguranginya,
yaitu
dengan
menggunakan kuesioner yang keandalannya telah ditentukan, kejelasan pengarahan diuji sebelumnya, menjaga kerahasiaan subjek, menggunakan sample yang cukup banyak untuk mengurangi penyimpangan respon yang cenderung terdistribusi secara acak.
2.1.2.3 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Menurut Robbins, ketidakpuasan kerja, pada tenaga kerja dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara, misalnya selain meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang,
20
mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan, dll. Seperti terlihat pada Gambar 2.3, empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan: -
Keluar (exit), meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain
-
Suara (voice), memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi secara aktif dan konstruktif
-
Kesetiaan (loyalty), menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela organisasi terhadap kritik dari luar serta mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat
-
Mengabaikan (neglect), sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti sering absen, menurangi upaya, atau kesalahan yang dibuat makin banyak
Sumber: Robbins, 2008, p106
Gambar 2.3 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja 2.1.2.4 Cara Meningkatkan Kepuasan Beberapa cara yang dapat dilakukan organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawannya berdasarkan Greenberg dan Baron (2003, p159):
21
-
Make jobs fun Orang akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka nikmati daripada yang membosankan. Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat membosankan, tetap ada cara untuk menyuntikkan beberapa level keasyikan ke dalam hampir setiap pekerjaan. Teknik-teknik kreatif yang telah diterapkan misalnya mengoper buket bunga dari meja satu orang ke yang lainnya setiap setengah jam dan mengambil gambar lucu orang lain ketika sedang bekerja lalu memasukkannya ke papan buletin.
-
Pay people fairly Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau diberi imbalan secara adil, maka kepuasan kerja mereka cenderung akan meningkat.
-
Match people to jobs that fit their interests Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi kesenangan atau minat mereka saat bekerja, semakin mereka akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan tersebut.
-
Avoid boring, repetitive jobs Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk mencapai keberhasilan dengan memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana mereka melakukan tugas-tugas mereka.
2.1.3 Perilaku Organisasi Menurut Keith Davis (Umar, 1998, p23), perilaku organisasi merupakan telaah dan penerapan pengetahuan mengenai bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Berdasarkan Robbins (2008, p10), perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi. Sedangkan berdasarkan Luthans (2006, p20), perilaku organisasi didefinisikan sebagai pemahaman, prediksi, dan manajemen perilaku manusia dalam organisasi.
22
Maka, dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi adalah ilmu yang berusaha menyelidiki, memahami, meramalkan, dan mengatur bagaimana orang-orang bertindak dalam organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi. Gambar 2.4di bawah ini menunjukkan hubungan dan penekanan yang sangat umum antara perilaku organisasi (OB) dan berbagai disiplin ilmu yang terkait.
Sumber: Luthans, 2006, p20
Gambar 2.4 Hubungan Perilaku Organisasi dengan Disiplin Ilmu yang Terkait Erat Greenberg dan Baron (2003, p4) mengatakan bahwa ada empat karakter utama dari bidang ilmu perilaku organisasi, yaitu: -
Perilaku organisasi menggunakan metode ilmiah untuk mengatasi masalah-masalah manajerial Pengetahuan dalam perilaku organisasi didasarkan pada ilmu perilaku (behavioral sciences), seperti psikologi dan sosiologi yang mencari tahu tentang perilaku manusia dan masyarakat melalui penggunaan metode ilmiah.
-
Perilaku organisasi fokus pada tiga level analisis, yaitu individu, kelompok, dan organisasi Perilaku organisasi tidak hanya menyoroti orang-orang secara individual, karena dalam organisasi orang bekerja sama dalam kelompok dan tim. Lebih jauh, orang secara individu maupun kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan kerja mereka. Level
23
individu yang dipelajari dalam perilaku organisasi misalnya sikap kerja, level kelompok misalnya komunikasi, dan level organisasi misalnya struktur. -
Perilaku organisasi sebenarnya merupakan multi-disipliner Perilaku organisasi tidak hanya mempelajari sebuah topik dari satu perspektif tertentu, melainkan juga mempertimbangkan berbagai macam pendekatan, mulai dari pendekatan psikologi yang sangat berorientasi pada individu, ilmu sosiologi yang lebih berorientasi pada kelompok, hingga isu-isu dalam kualitas organisasi yang dipelajari oleh para ilmuwan manajemen.
-
Perilaku organisasi berusaha mengembangkan efektivitas organisasi dan kualitas kehidupan dalam pekerjaan Disiplin-disiplin ilmu yang menyumbang kepada bidang perilaku organisasi (Robbins,
2008, p13-17): -
Psikologi, yaitu ilmu yang berupaya mengukur, menjelaskan, dan kadang-kadang mengubah perilaku manusia dan binatang-binatang lain.
-
Sosiologi, yaitu studi tentang orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia sesamanya.
-
Psikologi sosial, yaitu suatu bidang di dalam psikologi yang memadukan konsep-konsep baik dari psikologi maupun sosiologi dan yang memusatkan perhatian pada saling mempengaruhi antara orang-orang.
-
Antropologi, yaitu studi tentang masyarakat untuk mempelajari mengenai manusia dan kegiatan mereka.
-
Ilmu politik, yaitu studi tentang perilaku individu dan kelompok dalam suatu lingkungan politik.
24
2.1.4 Loyalitas Karyawan Loyalitas berasal dari kata loyal yang berarti setia. Loyalitas dalam perusahaan dapat diartikan sebagai kesetiaan seorang karyawan terhadap perusahaan. Velasques dalam Sudimin (2003) mengatakan bahwa kewajiban karyawan adalah bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan perusahaan dan menghindari aktivitas yang dapat mengancam atau menganggu pencapaian tujuan tersebut dan bukan untuk kepentingan atau manfaat pribadi karyawan. Hal yang bisa menimbulkan kesulitan terhadap terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan (conflict of interest), yaitu konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Demi kepentingan pribadi, karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan yang bersaing dengan perusahaannya. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul dengan terjadinya penggabungan beberapa jenis pekerjaan. Menurut Sudimin (2003) loyalitas berarti kesediaan karyawan dengan seluruh kemampuan, keterampilan, pikiran dan waktu untuk ikut serta mencapai tujuan perusahaan dan menyimpan rahasia perusahaan serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan perusahaan selama orang itu masih berstatus sebagai karyawan. Kecuali menyimpan rahasia, hal-hal itu hanya dapat dilakukan ketika karyawan masih terikat hubungan kerja dengan perusahaan tempatnya bekerja. Fletcher dalam Sudimin (2003) merumuskan loyalitas sebagai kesetiaan kepada seseorang dan tidak meninggalkan atau membelot serta tidak menghianati yang lain pada waktu diperlukan. Menurut Robbins (2005) pengertian loyalitas yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan adalah suatu keinginan untuk melindungi dan menyelamatkan wajah bagi orang lain. Bila seseorang memiliki loyalitas dan kepercayaan terhadap suatu hal, maka orang tersebut bersedia berkorban dan setia terhadap hal yang dipercayainya tersebut. Jadi, loyalitas memiliki hubungan positif terhadap tingkat kepercayaan, semakin tinggi tingkat kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat loyalitas karyawan tersebut terhadap perusahaan.
25
Loyalitas merupakan tekad dan kesanggupan untuk mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab (Flippo, 1996). Karyawan yang loyal sangat dihargai oleh perusahaan karena perusahaan sangat membutuhkan karyawan-karyawan yang loyal untuk kelangsungan perusahaannya dalam menentukan maju mundurnya perusahaan di masa mendatang. Banyak factor yang menjadikan seorang karyawan menjadi loyal, diantaranya kepuasan kerja, kompensasi atau insnsentif, komunikasi yang efektif, motivasi yang diberikan oleh perusahaan, tempat kerja yang nyaman, pengembangan karir, pengadaan pelatihan dan pendidikan karyawan, partisipasi kerja, pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja, serta hubungan dengan karyawan lain.
2.1.5 Organizational Citizenship Behaviour
Organizational Citizenship Behaviouratau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposisi karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan bersungguh-sungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi(Luthans, 2006, p251). Sehingga dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku anggota organisasi yang mencakup faktor kepribadian dan sikap keja sebagai dasar utama, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini.
26
Gambar 2.5Dasar Teori OCB
Menurut Organ, kewarganegaraan organisasional (Organizational Citizenship Behaviour) adalah perilaku diskresioner yang bukan merupakan bagian dari persyaratan-persyaratan jabatan formal seorang karyawan, meskipun demikian hal itu mempromosikan pemfungsian efektif atas organisasi (Robbins, 2008, p30). Van Dyne dkk mengusulkan konstruksi dari extra role behavior (ERB), yaitu “behavior that attempts to benefit the organization and that goes beyond existing
role expectations” (Organ, 2005, p33). Organisasi
membutuhkan
karyawan
yang
bergabung
dalam
perilaku-perilaku
“kewarganegaraan yang baik” seperti membuat pernyataan-pernyataan yang konstruktif tentang kelompok kerja dan organisasi mereka, membantu yang lain dalam tim mereka, sukarela melakukan
kegiatan-kegiatan
tambahan,
menghindari
konflik-konfik
yang
tidak
perlu,
menunjukkan perhatian pada properti organisasi, menghargai semangat dan juga kaidah dan aturan tersurat, dan bersedia mentolerir gangguan dan kerugian-kerugian yang berkaitan dengan pekerjaan yang tidak tetap (Robbins, 2003, p30).
27
Sehingga, penulis menyimpulkan OCB sebagai perilaku karyawan yang dengan suka rela bersedia melakukan hal-hal di luar uraian jabatan formal yang menguntungkan organisasi, sehingga memberikan dampak bagi efektivitas organisasi. Menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004, p106), OCB terdiri dari lima dimensi: 1. Altruism, yaitu perilaku membantu meringankanpekerjaan yang ditujukan kepada individu lain dalam suatu organisasi, misalnya membantu saat rekan kerja tidak sehat. 2. Courtesy,
yaitu
membantu
teman
kerjamencegah
timbulnya
masalah
sehubungan
denganpekerjannya dengan cara memberi konsultasi daninformasi serta menghargai kebutuhan mereka, atau memahami dan berempati walaupun saat dikritik. 3. Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh, misalnya ikut menanggung kegagalan proyek tim yang mungkin akan berhasil dengan mengikuti nasihat anggota. 4. Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi, misalnya rela mewakili perusahaan untuk program bersama. 5. Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi, misalnya mematuhi peraturan-peraturan di organisasi dan bersedia lembur untuk menyelesaikan proyek. Bukti menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut yang memiliki karyawan yang memiliki OCB tinggi berkinerja melebihi organisasi-organisasi yang tidak memiliki karyawan tersebut. Akibatnya, perilaku organisasi itu berhubungan dengan OCB sebagai varibel bergantung (Robbins, 2008, p30). Sehingga, manajer sekarang sangat bijaksana bukan hanya dalam mencoba meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasi, tetapi juga OCB karyawan mereka (Luthans, 2006, p251).
28
2.1.5.1 Motif yang Mendasari OCB Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak ada penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendekatan motif dalam perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya. Menurut McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005, p14): 1. Motif
berprestasi,
mendorong
orang
untuk
menunjukkan
suatu
standard
keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi 2. Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain 3. Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari status dan situasi di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk memahami OCB guna memahami mengapa orang menunjukkan OCB. Gambar 2.6 menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif. Paradigma 1: OCB dan Motif Berprestasi OCB dianggap sebagai alat untuk prestasi tugas (task accomplishment). Ketika prestasi menjadi motif, OCB muncul karena perilaku tersebut dipandang perlu untuk kesuksesan tugas tersebut. Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan dapat mempengaruhi orang lain, berusaha tidak mengeluh, berpartisipasi dalam rapat unit merupakan hal-hal yang dianggap kritis terhadap keseluruhan prestasi tugas, proyek, tujuan atau misi. Singkatnya, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi memandang tugas dari perspektif yang lebih menyeluruh. Hal-hal kecil yang membentuk OCB benar-benar dianggap sebagai kunci untuk kesuksesan.
29
OCB
Motif Berprestasi
Motif Afiliasi
Motif Kekuasaan
Dengan OCB berarti:
Dengan OCB berarti:
Dengan OCB berarti:
•
kesempurnaan tugas
•
kesuksesan organisasi
•
pembentukan dan pemeliharaan relasi
•
penerimaan dan persetujuan
•
mendapat kekuasaan dan status
•
menunjukkan kesan positif
Gambar 2.6Motif OCB
Dengan mewujudkan OCB mungkin meningkatkan derajat kepuasan intrinsik. Namun karyawan yang berorientasi pada prestasi akan menunjukkan OCB seolah-olah hal ini dibutuhkan untuk kesuksesan tugas. Mereka termotivasi untuk memperbaiki kinerja di masa mendatang dan berusaha keras untuk sukses. Tapi mereka juga membutuhkan perlakuan yang adil dan penuh perhatian dari manajer maupun orang lain. Ketika feedback tidak memberikan yang diharapkan, tidak akurat atau tidak adil, ada kemungkinan mereka akan kehilangan ketertarikan untuk menampilkan OCB. Menurut Bateman dan Organ, paradigma ini mendukung kepuasan kerja atau keadilan sebagai antesedens OCB (Hardaningtyas, 2005, p17). Karyawan yang berorientasi pada prestasi bertekad untuk menggantikan atau mengerjakan hal-hal yang membuahkan prestasi atas tugas yang dikerjakannya. Selama orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menerima perlakuan atau reward yang adil dari manajemen, OCB akan terus nampak.
30
Paradigma 2: OCB dan Motif Afiliasi Orang yang berorientasi pada afiliasi menunjukkan OCB karena mereka menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerjasama. Istilah sederhananya adalah karyawan yang ‘berorientasi pada orang’ berusaha melayani orang lain. Motif afiliasi dipandang sebagai suatu komitmen terhadap pemberian pelayanan pada orang lain. Karyawan yang berorientasi pada afiliasi membantu orang lain karena mereka membutuhkan
bantuan,
atau
menyampaikan
suatu
informasi
karena
hal
tersebut
menguntungkan penerima. Karyawan tipe ini akan bersungguh-sungguh karena seseorang, baik atasan maupun pelanggan, membutuhkan mereka. Hasil kinerja mereka tidal sebanyak perhatian tentang keuntungan yang diterima orang lain. Mereka menempatkan prioritas pada OCB, meskipun kadang-kadang merugikan dirinya. Paradigma ini mendukung pendapat William dan Anderson bahwa terdapat hubungan antara komitmen organisasi dan OCB (Hardaningtyas, 2005, p18). Karyawan yang berorientasi pada afiliasi akan menunjukkan komitmen terhadap orang lain dalam organisasi, baik rekan kerja, manajer, maupun supervisor. Perilaku menolong, berkomunikasi, bekerja sama, dan berpartisipasi muncul dari keinginan mereka untuk memiliki dan tetap berada dalam kelompok. Selama masyarakat tersebut memahami bahwa kelompok tersebut bernilai, OCB akan tetap berlanjut. Paradigma 3: OCB dan Motif Kekuasaan OCB dipandang sebagai perilaku yang dapat diamati yang berasall dari berbagai motif, tidak hanya sekedar intensi altruistik. Di satu sisi, terdapat perilaku organisasi yang mendukung organisasi, namun di sisi lain terdapat pelayanan diri (self-serving). Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB merupakan alat untuk mendapatkan kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam organisasi. Tindakan-tindakan OCB didorong oleh suatu komitmen terhadap agenda karier seseorang.
31
Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menolong orang lain, berkomunikasi lintas departemen, atau memberikan masukan dalam proses organisasi adalah agar dapat terlihat peran kekuasaannya. Selama target figur otoritas diakui, para pencari kekuasaan termotivasi untuk
melanjutkan
OCB,
yang
dianggap
sebagai
bentuk dari
modal
politis.
Mereka
menginvestasikan modalnya dengan menampilkan OCB dan membangun landasan untuk kekuasaan mereka melalui OCB. Mereka mengkalkulasi kesempatan perilaku mereka, kemudian berjuang untuk organisasi selama organisasi tersebut membantu mereka mencapai agenda pribadi mereka.
2.1.5.2 Manfaat OCB dalam Perusahaan Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan bahwa (Hardaningtyas, 2005): 1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja -
Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut
-
Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer -
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja
-
Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen
3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan -
Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat
32
memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi -
Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting
-
Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut
-
Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok -
Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moral, dan kerekatan
kelompok,
sehingga
anggota
kelompok
atau
manajer
tidak
perlu
menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok -
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang
5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja -
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue, seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya, akan membantu koordinasi di antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam kelompok
33
-
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy, seperti saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan
6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik -
Perilaku menolong dapat meningkatkan moral dan kerekatan serta perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik
-
Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship, misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil, akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi
7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi -
Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas, dengan cara mengurangi variabilitas dari kinerja unit kerja
-
Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja
8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan -
Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran tentang
bagaimana
merespon
perubahan
tersebut,
sehingga
organisasi
dapat
beradaptasi dengan cepat -
Karyawan yang aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi
34
-
Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness, misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru, akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya
2.1.6 Efektivitas Organisasi Georgopualos dan Tannebaum dalam Tangkilisan (2005, p139) mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai “...the extent to which an organization as a social system, given certain
resources and mean, fulfill it’s objective without incapacitating it’s means and resources and without placing strain upon it’s members.” Sedangkan Price dalam Zammuto (1982, p22) mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai “...the degree of achievement of multiple goals.” Argriss dan Siliss mengatakan efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada pencapaian tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga manusia (Tangkilisan, 2005, p139). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh mana organisasi berhasil memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya dengan tetap menghindari ketegangan seminimal mungkin di antara para anggotanya. Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, karena itu efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Namun demikian, efektivitas organisasi lebih banyak dari jumlah efektivitas individu dan kelompok. Organisasi mampu mendapatkan hasil kinerja untuk lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil kinerja setiap bagiannya. Hubungan antara ketiga pandangan mengenai efektivitas diperlihatkan dalam Gambar 2.7. Efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok, namun tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor seperti jenis
35
organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan, dan teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Efektivitas Organisasi
Efektivitas Kelompok Efektivitas Individu Gambar 2.7 Tiga Pandangan tentang Efektivitas Organisasi
Organisasi memiliki dua kelompok besar, yaitu sumber manusia dan sumber alam. Manusia terdiri dari orang-orang yang bekerja di organisasi karyawan operasional, staf, dan tenaga manajemen. Mereka menyumbangkan waktu dan tenaga mereka kepada organisasi dengan mendapatkan upah dan imbalan lain, baik berwujud maupun tak berwujud. Sedangkan, sumber alam terdiri dari input bukan manusia, yang akan diproses atau akan digunakan dalam kombinasi dengan unsur manusia untuk menghasilkan sumber lain. Fungsi efektif dari sebuah organisasi tergantung dari usaha karyawan yang melebihi persyaratan peran formal pekerjaannya, yang disebut dengan Organizational Citizenship
Behavior(OCB). Terdapat bukti bahwa individu yang menunjukkan OCB memiliki kinerja lebih baik dan menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi. OCB juga berhubungan dengan kinerja dan keefektivan kelompok dan organisasi (Luthans, 2006, p251). Selain itu, Organ juga menyatakan bahwa tingkat OCB yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat keefektifan yang lebih pula bagi organisasi dan membantu membawa sumber-sumber daya baru ke dalam organisasi. Perilaku OCB yang ditampilkan oleh karyawan seharusnya berdampak pada efektivitas organisasi. Setiap dimensi OCB memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap hubungan
36
ini, namun berujung pada satu hasil, yaitu efektivitas organisasi.Altruism(membantu meringankan tugas rekan kerja)membuat sistem kerja lebih produktif karena satu pekerja dapat menggunakan waktu luangnya untuk membantu tugas lain yang lebih mendesak. Perilakucivic virtue, seperti memberikan saran maupun ide-ide kepada manajemen, membawa perkembangan bagi organisasi, yang secara langsung mempengaruhi efisiensi. Karyawan yang memiliki dimensi
conscientiousness, menghindari mengutamakan kepentingan pribadi dan perilaku negatif lainnya, menaati kebijakan perusahaan dan mempertahankan jadwal kerja yang konsisten, akan meningkatkan reliabilitas karyawan. Ketika reliabilitas meningkat, maka biaya pengerjaan ulang dapat dikurangi, sehingga membuat unit kerja lebih efisien.Dengan begitu, maka tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai.
2.1.6.1 Pendekatan Efektivitas Organisasi Efektivitas organisasi dapat dieveluasi dengan melihat dua hal, yaitu (1) pencapaian sasaran dan (2) proses pelaksanaan organisasi, yang tercermin dalam perilaku organisasi (Hutapea dan Thoha, 2008, p59). Baik pencapaian sasaran maupun proses pelaksanaan organisasi memiliki peran yang sama penting bagi organisasi karena pencapaian sasaran yang tidak disertai dengan proses pelaksanaan yang baik akan mengakibatkan usaha pencapaian sasaran tidak dapat berlangsung lama. Dengan kata lain, proses organisasi yang buruk akan dapat menurunkan tingkat efisiensi yang berdampak pada menurunnya pencapaian sasaran pada periode berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tangkilisan (2005, p139) bahwa konsep tingkat efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu (1) tujuan organisasi dan (2) pelaksanaan fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, dalam Hutapea dan Thoha (2008, p59) Ivancevich dan Matteson pun menggunakan pendekatan yang serupa untuk mengukur efektivitas organisasi, yaitu Pendekatan Sasaran Organisasi (Goal Approach) dan Pendekatan Sistem (System Theory Approach).
37
Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua pendekatan tersebut. 1. Pendekatan Sasaran Organisasi Pendekatan tujuan berfokus pada tingkat di mana suatu organisasi mencapai tujuannya (Griffin, 2004, p88). Pendekatan ini telah lama digunakan oleh organisasi untuk mengetahui tingkat efektivitas organisasi dan bahkan sampai saat ini masih tetap digunakan. Para pendukung pendekatan ini berargumentasi bahwa organisasi dibentuk dengan tujuan untuk mencapai sasaran sehingga untuk melihat tingkat efektivitas pelaksanaan organisasi mereka langsung menghubungkannya dengan pencapaian sasaran organisasi. Banyak perusahaan menggunakan pendekatan ini dan pada umumnya mereka menggunakan sasaran jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengukur tingkat keberhasilan manajer dan karyawannya. Mereka menentukan sasaran kerja manajer dan bawahannya berdasarkan sasaran perusahaan. Atas dasar sasaran perusahaan tersebut dibuat sasaran departemen atau bagian, dan dari sasaran departemen atau bagian ditentukan sasaran setiap pekerjaan. Menurut Gibson dalam Tangkilisan (2005, p141), kejelasan tujuan yang hendak dicapai memang merupakan salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi. Pendekatan sasaran ini ditanggapi secara positif oleh banyak perusahaan karena penggunaan sasaran perusahaan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan untuk mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan. 2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem tidak melihat efektivitas organisasi atas dasar sasaran yang dicapai, melainkan dari gambaran perilaku organisasi baik pada saat terjadi interaksi secara internal di organisasi maupun dari perilaku organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hutapea dan Thoha, 2008, p61). Dengan kata lain, ada dua peran yang harus dilakukan oleh organisasi, yaitu peran internal dan peran eksternal. Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan proses secara internal, karena pengkuran efektivitas organisasi dalam hal ini dilakukan dari sudut pandang karyawan. Pendekatan
38
proses internal berkaitan dengan mekanisme internal dari organisasi dan berfokus pada meminimalisasi ketegangan, mengintegrasikan individu dan organisasi, dan melaksanakan operasi secara lancar dan efisien (Griffin, 2004, p88). Sharma dalam Tangkilisan (2004, p140) juga menyebutkan tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatanhambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi sebagai salah satu kriteria efektivitas organisasi. Selain itu, kepuasan kerja juga merupakan indikator efektivitas organisasi berdasarkan Steers. Sedangkan, Gibson menyebutkan sistem pengawasan dan pengendalian sebagai ukuran efektivitas organisasi. Komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi dan adanya semangat kerja sama dan loyalitas anggota organisasi juga merupakan kriteria dari pendekatan proses (ITB, 2003, p14).
39
2.2 Kerangka Pemikiran
Kepuasan Kerja (X1) -
Pekerjaan Itu Sendiri Imbalan Kesempatan Promosi Penyelia Rekan Kerja Kondisi Kerja
Loyalitas Karyawan (X2)
-
Transparasi Job Description Tingkat kepercayaan Motivasi
Organizational Citizenship Behavior (Y) -
Altruism Courtesy Sportsmanship Civic Virtue Conscientiousness
Perilaku Organisasi (X3) - Etika Kerja - Komunikasi - Budaya Organisasi
Gambar 2.8 Kerangka Pemikiran Keterangan: Menggambarkan pengaruh secara simultan Menggambarkan pengaruh secara individual Menggambarkan hubungan (korelasi) antar variabel
Efektivitas Organisasi (Z) - Sasaran Organisasi - Proses
40
Kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor: pekerjaan itu sendiri, imbalan, kesempatan promosi, penyelia, rekan kerja, dan kondisi kerja. Sedangkan, Loyalitas Karyawan dipengaruhi oleh factor : Transparansi, Job Description, Tingkat kepercayaan, dan motivasi. Perilaku organisasi sendiri dinilai dari tingkat Etika Kerja, Komunikasi, dan Budaya Organisasi. Ketiga variabel bebas tersebut dicari apakah saling berkorelasi secara signifikan atau tidak serta bagaimana sifat hubungannya. Variabel Kepuasan Kerja Karyawan, Loyalitas Karyawan dan Perilaku Organisasi secara individual maupun simultan diasumsikan berkorelasi dengan dan mempengaruhi variabel
Organizational Citizenship Behavior (OCB) yang memiliki ciri: altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue, dan conscientiousness. Kemudian, keempat variabel tersebut dicari apakah berkorelasi dengan dan berkontribusi terhadap variabel bergantung Efektivitas Organisasi yang dilihat dari dimensi sasaran organisasi dan proses, baik secara individual maupun simultan. Korelasi antara Kepuasan Kerja dan Loyalitas Karyawan dibuktikan oleh N Supriatna (2010). Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel Kepuasan Kerja dengan Loyalitas Karyawan dimana setiap dimensi dalam kepuasan kerja memiliki hubungan dengan Loyalitas Karyawan. Hubungan kepuasan kerja terhadap perilaku organisasi juga telah dibuktikan oleh penelitian sebelumya. Kepuasan kerja berhubungan secara positif dan signifikan terhadap perilaku organisasi (S Ma’sum, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat Jati (2007) bahwa Perilaku Organisasi memberikan suatu iklim dan budaya yang membantu karyawan dalam merasa puas dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang pada akhirnya mendukung dalam performance kerjanya. Korelasi antara Perilaku Organisasi dan Loyalitas Karyawan dibuktikan oleh Prameswari (2007). Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel Perilaku Organisasi dengan Loyalitas Karyawan buktinya bahwa perilaku
41
organisasi menciptakan suatu iklim yang menunjang dalam loyalitas karyawan contohnya yaitu lamanya bekerja karyawan yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat turn over. Menurut Organ dan Ryan, dimensi kepuasan kerja secara jelas berhubungan dengan OCB (Luthans, 2006, p251). Sedangkan menurut Triyanto (2010) dan Paramita (2010) dinyatakan bahwa adanya hubungan antara OCB dengan loyalitas karyawan. Dan menurut Sirumapea (2009) dan Organ, dimensi perilaku organisasi juga secara jelas berhubungan dengan OCB. Demikian pula ada hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku organisasi dan kepuasan kerja dengan Organizational Citizenship Behavior. Pengaruh keempat variabel bebas terhadap efektivitas organisasi juga telah dibuktikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Kepuasan kerja diketahui berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Job satisfaction is a concept that behavioral scientists have emphasized in
recent years, it has an important impact on organizational effectiveness and efficiency (Demir, 2002). Berdasarkan Knopp dan O’Reilly, yang meneliti pengaruh kepuasan kerja guru terhadap efektivitas organisasi pada Sekolah-sekolah Dasar di Ontario, Canada, keefektivan organisasi dipengaruhi oleh kepuasan kerja guru terhadap rekan kerja, penyelia, dan pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Miskel dan Fevurly (2005),
loyalitas karyawan diketahui
mempengaruhi efektivitas organisasi. Sedangkan, pengaruh perilaku organisasi terhadap efektivitas organisasi dibuktikan dalam penelitian Koys (2001). Adanya pengaruh OCB terhadap efektivitas organisasi dibuktikan dalam penelitian Yen dan Niehoff terhadap pegawai bank-bank di Taiwan. Selain itu, hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa “developing a work environmentthat promotes OCB performance may
enhance a manager’spersonal productivity and success as well as the organization’seffectiveness” (Walz dan Niehoff, 2000).
42
2.3 Hipotesis Hipotesis yang pertama yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan Tujuan 1 adalah sebagai berikut : Ho = Kepuasan Kerja Karyawan (X1), Loyalitas Karyawan (X2), dan Perilaku Organisasi (X3) Karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y) pada PT Wirajaya Anugrah Perkasa Ha = Kepuasan Kerja Karyawan (X1), Loyalitas Karyawan (X2), dan Perilaku Organisasi (X3) Karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y) pada PT Wirajaya Anugrah Perkasa
Lalu, hipotesis kedua yang juga akan dibuktikan kebenarannya sesuai dengan Tujuan 2 yaitu sebagai berikut : Ho = Kepuasan Kerja Karyawan (X1), Loyalitas Karyawan (X2), dan Perilaku Organisasi (X3), serta OCB (Y) karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap Efektivitas Organisasi (Z) pada PT Wirajaya Anugrah Perkasa. Ha = Kepuasan Kerja Karyawan (X1), Loyalitas Karyawan (X2), dan Perilaku Organisasi (X3), serta OCB (Y) karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap Efektivitas Organisasi (Z) pada PT Wirajaya Anugrah Perkasa.