BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Robert dan Jackson (2003, p4-5), Human Resource (HR)
Management the design of formal system in an organization to ensure effective and efficient use of human talent to accomplish organizational goals. Manajemen sumber daya manusia merupakan perancangan sistem formal dari suatu organisasi, yang digunakan untuk memastikan keefektifan dan keefisienan dari kemampuan karyawan dalam memenuhi tujuan organisasi. Hal ini sejalan dengan Sihotang yang menjelaskan dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen Sumberdaya Manusia” (2007, p1) bahwa manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya lain yang ada dalam organisasi, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dan menurut Hasibuan dalam bukunya yang berjudul ”Manajemen Sumber Daya manusia” (2007, p1), ”Manajemen adalah ilmu, dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia, dan sumber-sumber lainnya secara efektif, dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Sedangkan dalam buku yang berjudul ”Manajemen Sumber Daya Manusia dan Perusahaan” (2003, p1) Veithzal Rivai menjelaskan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan salah satu bidang dari manajemen yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat dalam fungsi/bidang produksi pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian. Karena sumber daya manusia (SDM) dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan perusahaan, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan secara sistematis dalam
9
10 apa yang disebut manajemen sumber daya manusia. Istilah ”manajemen” mempunyai arti sebagai kumpulan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya memanage (mengelola) sumber daya manusia. Dan menurut Rachmawati dalam bukunya ”Manajemen Sumber Daya Manusia” (2008, p1) sumber daya manusia kini makin berperan besar bagi kesuksesan suatu organisasi. Banyak organisasi menyadari bahwa unsur manusia dalam suatu organisasi dapat memberikan keunggulan bersaing. Mereka membuat sasaran, strategi, inovasi, dan mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, sumber daya manusia merupakan salah satu unsur yang paling vital bagi organisasi. Dari beberapa teori mengenai MSDM diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia sangatlah penting bagi suatu organisasi dan adalah Manajemen Sumber Daya Manusia adalah segala usaha yang dilakukan untuk menambah nilai dari Sumber Daya Manusia tersebut dalam kaitannya dengan mencapai tujuan perusahaan. 2.1.2 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan buku yang ditulis oleh Veithzal Rivai (2003, p8) tujuan-tujuan manajemen sumber daya manusia (MSDM) memiliki 4 sasaran. Keempat sasaran yang relatif umum bagi MSDM dan membentuk sebuah kerangka masalah yang sering ditemui dalam perusahaan, keempat sasaran itu adalah: 1) Sasaran Perusahaan Sasaran ini untuk mengenali manajemen SDM dalam rangka memberikan kontribusi atas efektifitas perusahaan. Bahkan ketika departemen SDM secara formal didirikan untuk membantu manajer, mereka masih tetap bertanggung jawab atas kinerja karyawan. 2) Sasaran Fungsional
11 Sasaran ini mempertahankan kontribusi departemen SDM pada level yang cocok bagi berbagai kebutuhan perusahaan. Terkadang sumber daya dihabiskan ketika manajemen SDM kurang atau lebih canggih dibandingkan dengan kebutuhan perusahaan. Sasaran fungsional antara lain adalah: pengangkatan, penempatan, dan penilaian. 3) Sasaran Sosial Sasaran ini untuk selalu tanggap secara etis maupun sosial terhadap berbagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat dengan terus meminimalkan dampak negatif atas tuntutan tersebut terhadap perusahaan. Kegagalan perusahaan dalam menggunakan sumber daya mereka bagi kepentingan masyarakat yang tidak melalui cara-cara yang etis bisa menimbulkan sejumlah kendala. Sasaran sosial antara lain meliputi: keuntungan perusahaan, pemenuhan tuntutan hukum, dan hubungan manajemen dengan serikat pekerja. 4) Sasaran Pribadi Karyawan Yaitu untuk membantu para karyawan mencapai tujuan-tujuan pribadi mereka, setidaknya sejauh tujuan-tujuan tersebut dapat meningkatkan kontribusi individu atas perusahaan. Sasaran pribadi karyawan harus mampu ditemukan bila mereka ingin dipertahankan dan dimotivasi. Selain itu, kinerja dan kepuasan karyawan bisa menurun dan mereka bisa hengkang dari perusahaan. 2.1.3 Peran Strategis Sumber Daya Manusia Menurut Dessler (2004, p13) Keunggulan yang dimiliki perusahaan dalam menghadapi ketatnya persaingan di masa sekarang ini sangat ditentukan oleh peran karyawan perusahaan tersebut. Maka fungsi bisnis bertanggungjawab untuk memperoleh, melatih, memberi penghargaan, dan memberikan kompensasi kepada karyawan harus memainkan peran yang lebih besar bagi keberhasilan perusahaan.
12 Mathis dan Jackson (2006, p67) mengatakan bahwa kemampuan bersaing, kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dalam pasar, dan banyak masalah lainnya merupakan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan sebuah organisasi. SDM terlibat (atau seharusnya terlibat) dengan semua hal-hal tersebut dengan mengidentifikasi bagaimana ia dapat membantu dalam meningkatkan produktifitas organisasional, membantu untuk menangani kompetisi asing secara efektif, atau meningkatkan inovasi dalam organisasi. Pemikiran seperti ini menunjukkan adanya cara berpikir strategis. Pokok dari perencanaan strategis adalah pengetahuan yang didapat dari membaca lingkungan eksternal akan perubahan yang terjadi. Merumuskan rencana strategis membutuhkan identifikasi, analisis, menyeimbangkan kesempatan dan ancaman eksternal perusahaan, serta kekuatan dan kelemahan internalnya. Sumber daya manusia (SDM) bisa membantu perencana strategis dengan mengamati lingkungan, mengidentifikasi dan menganalisis kesempatan dan ancaman eksternal yang sangat penting bagi keberhasilan perusahaan. Merumuskan rencana membutuhkan kecerdasan kompetitif, dan manajemen SDM bisa memberikan informasi yang berguna. Sebagai contoh, rincian mengenai insentif baru dari pesaing, dan informasi tentang peraturan yang ditunda seperti Undang-Undang tenaga kerja atau perintah asuransi kesehatan. Menurut Dessler (2004, p14) pelaksanaan strategi merupakan inti dari peran strategis SDM, dan hal tersebut masuk akal. Strategi fungsional sebuah perusahaan harus mendukung strategi persaingannya. Jika perusahaan memiliki strategi kompetitif untuk membedakan dirinya dengan para pesaingnya dalam menawarkan pelayanan kepada pelanggan
yang
superior,
maka
perusahaan
akan
membutuhkan
karyawan
yang
berkomitmen tinggi untuk melaksanakan strategi kompetitif guna memberikan daya saing terhadap kompetitor.
13 2.1.4 Aktivitas Utama Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan pendapat Cushway (2002, p7-9) MSDM adalah kegiatan mendapatkan, mengelola, dan melepaskan sumber-sumber, dalam hal ini adalah manusia. 1) Mendapatkan Sumber Daya Merupakan langkah dalam proses penentuan persyaratan organisasi mengenai sumber yang ingin diperoleh dengan memperhatikan kualitas, tipe, dan kualitas. 2) Mengelola Sumber Daya Setelah organisasi mendapatkan semua tenaga yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, prioritas berikutnya adalah memastikan bahwa tenaga kerja tersebut akan tinggal cukup lama di organisasi, sehingga efektif dan dapat menunjukkan kinerja yang baik selama mereka disana. Sala satunya adalah: •
Menasehati dan menetapkan strategi pengupahan yang dapat menunjang tujuan organisasi dan rencana bisnis, yaitu strategi pengupahan yang dapat menarik dan mempertahankan pegawai sesuai dengan kemampuannya.
3) Pemutusan Sumber Daya Akan tiba masanya dimana pegawai harus melepaskan diri dari organisasi. Alasannya bisa karena pensiun, mengundurkan diri, selesai kontrak, berakhir kontrak pelatihan, pemecatan, redundasi, dan sebagainya. 2.2 Kepribadian 2.2.1 Pengertian Kepribadian Bila para psikolog berbicara tentang kepribadian, yang mereka maksudkan adalah satu konsep dinamik yang menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem psikolog seseorang (Robbins, 2006, p120). Menurut Luthans kepribadian adalah bagaimana orang mempengaruhi orang lain dan bagaimana mereka memahami dan memandang dirinya (2006, p228). Sedangkan menurut
14 Pervin dan John, kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten (1993). Dan definisi kepribadian yang paling sering digunakan adalah yang dikemukakan Gordon Allport yang mengatakan bahwa kepribadian adalah “organisasi dinamik dari sistemsistem psikologis dalam individu yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya” (Robbins, 2006, p120). 2.2.2 Faktor Penentu Kepribadian Argumen awal dalam riset kepribadian adalah apakah suatu kepribadian individual merupakan hasil dari keturunan atau lingkungan. Tentunya tidak ada jawaban yang sederhana untuk hal tersebut, tetapi tampaknya kepribadian merupakan hasil dari kedua pengaruh tersebut. Selain itu, dewasa ini kita mengenal faktor ketiga, yaitu faktor situasi. Dengan demikian, kepribadian seseorang dewasa sekarang umumnya dianggap terbentuk dari baik faktor keturunan maupun faktor lingkungan, dalam kondisi situasional (Robbins, 2006, p120). 1. Faktor keturunan Keturunan merujuk pada faktor-faktor yang ditentukan sejak lahir. Ukuran fisik, wajah yang menarik, jenis kelamin, temperamen, komposisi dan refleksi otot, level energi, dan ritme biologis adalah karakteristik yang umumnya dianggap entah sepenuhnya atau secara substansial dipengaruhi oleh siapa orang tua mereka. Artinya susunan biologis, fisiologis, dan psikologis inheren mereka. Pendekatan keturunan berpendapat bahwa penjelasan terakhir tentang kepribadian seseorang adalah struktur molekul dari gen, yang berlokasi dalam kromosom (Robbins, 2006, p120). 2. Faktor lingkungan Di antara faktor-faktor yang memberikan tekanan pada formasi kepribadian kita adalah budaya (culture) di mana kita dibesarkan, kondisi awal kita, norma di
15 tengah keluarga, teman, kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. lingkungan di mana kita berada memainkan peranan penting dalam membentuk kepribadian kita (Robbins, 2006, p121). Pertimbangan-pertimbangan yang cermat tentang argumen-argumen yang mendukung entah keturunan atau lingkungan sebagai penentu utama kepribadian mendorong konklusi bahwa keduanya penting. Keturunan menetapkan parameter atau batas luar, tetapi potensi sepenuhnya seorang individu akan ditentukan oleh seberapa baiknya dia menyesuaikan diri dengan permintaan dan persyaratanpersyaratan lingkungan (Robbins, 2006, p121). 3. Faktor situasi Faktor ketiga, faktor situasi mempengaruhi efek dari keturunan dan lingkungan terhadap kepribadian. Kepribadian seorang individu, walaupun umumnya stabil dan konsisten, justru berubah dalam situasi-situasi yang berbeda. Permintaan yang bervariasi dari situasi yang berbeda menimbulkan aspek yang berbeda dari kepribadian seseorang. Misalnya saat kita berada di gereja, atau wawancara untuk mendapatkan pekerjaan, maka banyak sekali hal yang akan membatasi perilaku dan kepribadian kita. Sedangkan situasi lain saat kita berada di taman bermain, maka akan sangat sedikit yang membatasi perilaku dan kepribadian kita (Robbins, 2006, p122). Sedangkan menurut Luthans ada beberapa faktor yang menentukan kepribadian seseorang, yaitu : 1. Peran Keturunan dan Otak. Menurut laporan American Psychological Association menyimpulkan bahwa, “Studi mengenai anak kembar dan anak yang diadopsi selama 20 tahun terakhir ini secara tegas menetapkan bahwa terdapat komponen genetik di setiap trait dan perilaku manusia, meliputi kepribadian, intelegensi umum, dan gangguan perilaku.”
16 Dengan kata lain, tampak bahwa ratusan gen setidaknya ikut mempengaruhi ciri kepribadian, begitu juga halnya lingkungan. Sehingga baik keturunan dan lingkungan sama-sama memberikan pengaruh kepada kepribadian seseorang. Akan tetapi, gen juga mempengaruhi fungsi otak yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana orang berinteraksi dengan lingkungan mereka (2006, p228-229). 2. Penghargaan Diri. Hal ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menilai diri dan citra diri. Terdapat penelitian mengenai penghargaan diri dan implikasi sosialnya. Ringkasan karya terbaru menunjukkan bahwa orang dengan penghargaan diri lebih tinggi memiliki sikap, perasaan, dan kepuasan hidup yang positif dan tidak terlalu cemas, putus asa, dan depresi. Jika penghargaan dirinya rendah dan tidak percaya kepada kemampuan berpikirnya, maka seseorang mungkin akan takut mengambil keputusan, lemah dalam bernegosiasi dan keahlian interpersonal, seta menjadi malas atau tidak dapat berubah, sehingga pada akhirnya sifat-sifat seperti itu mungkin akan mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang (2006, p230). 3. Interaksi Manusia-Situasi Dikatakan bahwa orang itu tidak statis, bertindak sama dalam semua situasi, tetapi selalu berubah dan fleksibel. Sebagai contoh, karyawan dapat berubah tegantung pada situasi tertentu dimana mereka berinteraksi (2006, p231). 4. Proses Sosialisasi Peranan manusia, kelompok, dan terutama organisasi yang sangat mempengaruhi kepribadian individu semakin dihargai. Dampak yang berkelanjutan dari lingkungan sosial secara umum disebut proses sosial. Proses sosial secara khusus relevan dengan perilaku organisasi karena proses tidak ditentukan pada awal masa kecil, melainkan terjadi sepanjang kehidupan seseorang. Fakta menyatakan
17 bahwa sosialisasi mungkin menjadi salah satu penjelasan terbaik mengapa karyawan berperilaku seperti yang terlihat dalam organisasi saat ini (2006, p231). 2.2.3 Ciri-ciri Kepribadian Karya awal dalam struktur kepribadian berkembang sekitar usaha untuk mengidentifikasi dan pemberian label atas ciri-ciri yang terus bertahan yang menggambarkan perilaku seorang individu. Karekteristik populer mencakup perasaaan malu, keagresifan, sifat patuh, kemalasan, ambisi, kesetiaan, dan sifat takut. Karakteristik ini, bila diperagakan dalam sejumlah besar situasi, disebut ciri-ciri kepribadiaan, semakin konsisten karakterisik itu dan semakin sering terjadi dalam berbagai situasi, semakin penting ciri-ciri itu dalam menggambarkan individu (Robbins, 2006, p123). 1. Pencarian awal atas ciri-ciri primer Usaha untuk mengisolasi ciri-ciri sudah dihindari karena begitu banyak ciri, dalam sebuah studi, diidentifikasikan 17.953 ciri individu. Sebenarnya tidak mungkin untuk meramalkan perilaku bila ada begitu besar ciri yang harus diperhitungkan. Akibatnya perhatian diarahkan langsung untuk mengurangi ribuan ciri-ciri ini menjadi satu jumlah yang lebih dapat dikelola. Seorang periset mengisolasi 171 ciri namun menyimpulkan bahwa ciri-ciri itu tidak cukup punya kekuatan untuk digambarkan. Yang dicarinya adalah mengurangi perangkat ciri yang akan mengidentifikasi polapola yang melandasi. Hasilnya dalah identifikasi atas 16 faktor kepribadian , yang dia sebut sumber atau pokok, ciri-ciri ini umumnya dianggap sebagai sumber perilaku yang konstan dan mantap, yang memungkinkan prediksi atas perilaku seorang individu dalam situasi spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik-karakteristik untuk mendapatkan relevan situasionalnya (Robbins, 2006, p123) Tabel 2.1 Enam Belas Sifat Utama 1.
Pendiam vs Ramah
18 2.
Kurang cerdas vs Lebih cerdas
3.
Dipengaruhi oleh perasaan vs Stabil secara emosional
4.
Penurut vs Dominan
5.
Serius vs Tak kenal susah
6.
Bijaksana vs Berhati-berhati
7.
Malu-malu vs Suka bertualang
8.
Keras vs Sensitif
9.
Percaya vs Curiga
10.
Praktis vs Imajinatif
11.
Jujur, blak-blakan vs Lihai
12.
Yakin diri vs Ragu-ragu
13.
Konservatif vs Suka bereksperimen
14.
Tergantung kelompok vs Mandiri
15.
Tak terkendali vs Terkendali
16
Santai vs Tegang
Sumber : Robbins, 2006, p123
2. Ciri Kepribadian Big five Meskipun ciri kepribadian dan kecenderungan pada perilaku sudah ada sejak lama, namun secara umum tidak digunakan dan bahkan tidak diperhitungkan lagi. Akan tetapi, belakangan ini ada dukungan terhadap ciri lima faktor yang didasarkan pada teori kepribadian. Beberapa tahun lalu, sekitar 18000 kata ditemukan untuk mendeskripsikan kepribadian. Bahkan setelah mengkombinasikan kata dengan arti yang sama, masih ada 171 ciri kepribadian yang tersisa. Tentu saja dalam praktik jumlah ciri kepribadian yang besar itu tidak digunakan, jadi selanjutnya ditemukan lima ciri kepribadian utama. Disebut Five Factor Model (FFM), atau dalam bidang perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia, “Big five” (Luthans, 2006,
19 p233), Big five Personality merupakan pendekatan dalam psikologi kepribadian yang mengelompokan trait kepribadian dengan analisis faktor, tokoh pelopornya adalah Allport dan Cattell (Panggabean, 2009). Ciri tersebut telah menjadi ciri kepribadian dalam banyak analisis selama bertahun-tahun dan bahkan terjadi antarbudaya (Luthans, 2006, p233). Yang kecenderungan
penting, ciri
bukan
kepribadian
hanya yang
terdapat utama,
kesepakatan tetapi
juga
mengenai penelitian
apa yang
menunjukkan bahwa lima hal tersebut memprediksi kinerja di tempat kerja. Barubaru ini Big five diperluas melalui studi meta-analisis untuk menunjukkan hubungan positif antara motivasi kinerja dan kepuasan kerja. Meskipun kelima ciri merupakan faktor kepribadian yang sangat independen, seperti warna utama, ciri tersebut dapat dicampur dalam proporsi yang tidak terhitung dan dengan karakteristik lain untuk menghasilkan keseluruhan kepribadian yang unik. Akan tetapi, seperti halnya warna, pasti ada satu mendominasi ketika mendeskripsikan kepribadian individu (Luthans, 2006, p233). Tabel 2.2 Ciri Kepribadian “Big five” Ciri Utama
Kesungguhan Stabilitas emosi Sifat menyenangkan
Ekstraversi
Karakteristik Deskriptif pada orang dengan Skor Tinggi dapat diandalkan, pekerja keras, teratur, disiplin diri, gigih, bertanggung jawab Tenang, aman, senang, tidak khawatir Kooperatif, hangat, perhatian, watak baik, sopan, dapat dipercaya Dapat bersosialisasi, terbuka, banyak bicara, asertif, suka berteman
20 Terbuka pada
Ingin tahu, intelek, kreatif, terpelajar, sensitif, fleksibel,
pengalaman
imajinatif
Sumber : Luthans, 2006, p234
Penjelasan mengenai ciri-ciri Big five adalah sebagai berikut : •
Kesungguhan/sifat mendengarkan suara hati. Kesungguhan dapat disebut juga dependability, impulse control, dan will to
achieve, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Seseorang yang bersungguh-sungguh memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orangorang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius (Panggabean, 2009). Dimensi ini juga dapat dikatakan sebagai ukuran dari keandalan (reliability). Orang yang sangat peka terhadap suara hati bertanggung jawab, terorganisir, dapat dipercaya, dan gigih (Robbins,2006, p125). Kesungguhan mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Di sisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi
sangat
perfeksionis,
kompulsif,
workaholic, membosankan. Tingkat
kesungguhan yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya (Panggabean, 2009). •
Kemampuan untuk bersepakat/sifat menyenangkan. Kemampuan untuk bersepakat, dapat disebut juga social adaptibility atau
likability yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan value survey, seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu,
forgiving, dan penyayang (Panggabean,2009).
21 Namun, ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi, dimana ketika berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun. Selain itu, menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi. Pria yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dengan penggunaan power yang rendah, akan lebih menunjukan kekuatan jika
dibandingkan
dengan
wanita.
Sedangkan
orang-orang
dengan
tingkat
agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif (Panggabean, 2009). Pelajar yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi memiliki tingkat interaksi yang lebih tinggi dengan keluarga dan jarang memiliki konflik dengan teman yang berjenis kelamin berlawanan (Panggabean, 2009). Jadi dimensi ini merujuk pada kecenderungan seorang individu untuk tunduk kepada orang lain. orang-orang ini dicirikan dengan kooperatif, hangat, dan percaya. Orang-orang yang memilki skor rendah dalam dimensi ini biasanya merupakan orang yang dingin, tidak mampu bersepakat, dan antagonistif (Robbins,2006, p125). •
Stabilitas Emosional. Dimensi ini membuka jalan bagi kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap stress. Orang dengan stabilitas emosional yang positif cenderung tenang, percaya diri, dan aman. Mereka dengan skor negatif cenderung nervous, cemas, tertekan, dan tidak aman (Robbins, 2006, p125). Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah (Panggabean, 2009).
22 •
Extraversi. Extraversi, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh (dominance-
submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extraversi ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki faktor extraversi yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversi yang rendah. Dalam berinteraksi, mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Peergroup mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang ramah, fun-loving, affectionate, dan talkative (Panggabean, 2009). Extraversi dicirikan dengan efek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversi memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extraversi dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversi yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversi yang rendah. Extraversi mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat extraversi rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya (Panggabean, 2009). Jadi bisa disimpulkan dimensi ini mencakup tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Orang-orang bersosialisasi.
extravert Kaum
cenderung
introvert
cenderung
(Robbins,2006, p125). •
suka
Keterbukaan terhadap pengalaman.
berkelompok, pendiam,
tegas,
malu-malu,
dan dan
mampu tenang
23 Faktor keterbukaan terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain. Keterbukaan mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru (Panggabean, 2009). Dimensi final ini mengajukan kisaran minat individual dan kekaguman terhadap hal baru. Orang yang ekstrim terbuka adalah orang yang kreatif, ingin tahu, dan sensitif secara artistik. Mereka yang berada pada sisi lain dari kategori keterbukaan adalah konvensional dan menemukan kenyamanan dalam keakraban (Robbins,2006, p125). Nilai riil dari Big five pada perilaku organisasi adalah bahwa Big five benarbenar menunjukkan pentingnya ciri/trait, dan ciri tersebut secara jelas menunjukkan kinerja pekerjaan. Yang perlu diperhatikan adalah lima ciri tersebut cukup stabil. Meskipun tidak ada kesepakatan total, banyak ahli teori kepribadian cenderung sepakat bahwa setelah umur 30 tahun, profil kepribadian individu akan berubah sedikit demi sedikit. Hal ini tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa Big five memberikan profil kepribadian yang ideal untuk karyawan pada keseluruhan karier mereka karena ciri yang berbeda dan diperlukan untuk pekerjaan yang berbeda. Kuncinya adalah menemukan yang sesuai (Luthans, 2006, p233-234). a. Dampak Positif dari Ciri Kesungguhan Terdapat kesepakatan umum bahwa kesungguhan memiliki korelasi positif yang paling kuat (sekitar 0,3) dengan kinerja. Dari level korelasi ini (lebih bagus kalau 1,0), sebaiknya diperhatikan bahwa kurang dari 10 persen (korelasi persegi, atau R2) dari kinerja dalam studi ada pada kesungguhan. Tetapi juga perlu dicatat bahwa hal ini masih signifikan dan karyawan yang bersungguh-sungguh mungkin memberikan keunggulan kompetitif utama.
24 Seperti disimpulkan meta-analisis, individu yang dapat diandalkan, gigih, tujuan terarah, dan teratur cenderung menjadi orang yang berkinerja lebih tinggi pada pekerjaan secara virtual, sedangkan orang yang kelihatan negatif, sembrono, tidak bertanggungjawab, sedikit berjuan, dan impulsif cenderung menjadi orang berkinerja lebih rendah pada pekerjaan apapun secara virtual (Luthans,2006, p234). Berhubungan dengan wilayah perilaku organisasi, khususnya ciri kepribadian, karyawan yang bersungguh-sungguh mengelola tujuan yang lebih tinggi untuk dirinya sendiri, memiliki harapan kinerja lebih tinggi dan merespons penambahan bidang kerja dengan baik dan strategi pemberian wewenang dari manajemen sumber daya manusia. Seperti diharapkan, penelitian
mengindikasikan
bahwa
orang
yang
bersungguh-sungguh
cenderung sedikit tidak masuk kerja, dan studi terbaru menemukan dalam manajemen sumber daya manusia internasional bahwa kesungguhan ekspatriat berhubungan secara positif dengan rating kinerja di luar negeri. Juga studi dengan hasil campuran dan tidak mendukung yang menunjukan kompleksitisas ciri kepribadian. Misalnya, dalam studi terbaru, kesungguhan diketahui tidak punya pengaruh terhadap penentuan kinerja manajerial. Dalam studi terhadap manajer ekspatriat Timur Tengah, kesungguhan dihubungkan dengan rating kinerja ekspatriat negara asal, tetapi bukan rating ekspatriat yang sama dari negara tuan rumah. Studi tersebut juga mengindikasikan bahwa kemampuan individu mengurangi hubungan antara kesungguhan dan kinerja (positif untuk kemampuan tinggi tetapi nol atau bahkan negatif untuk kemampuan rendah), tetapi studi terbaru menemukan bahwa tidak ada moderator seperti itu. Studi baru lainnya menemukan hubungan kesungguhan dengan kinerja menjadi kuat
25 saat kepuasan kerja rendah, tetapi hubungan relatif lemah saat kepuasan tinggi (Luthans, 2006, p234). Kesungguhan merupakan hal yang kompleks dan bukan satusatunya jawaban untuk kinerja. Hal ini menimbulkan aliran penelitian baru yang mendukung efek interaktif yang dihipotesis antara kesungguhan dan ekstraversi dan sifat menyenangkan terhadap kinerja dan interaksi dari kesungguhan dan keterbukaan terhadap pengalaman dan perilaku kreatif. Juga muncul penelitian mengenai efek mediasi dan moderating terhadap kesungguhan saat dipengaruhi oleh berbagai dinamika perilaku organisasi. Dengan kata lain, tanpa mendalami analisis tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada hal yang begitu kompleks berkaitan dengan dampak ciri kepribadian dari kesungguhan terhadap berbagai variabel yang berhubungan dengan pekerjaan. Akan tetapi, ini adalah wilayah kepribadian dimana terdapat bukti penelitian yang cukup untuk menyimpulkan bahwa kesungguhan sebaiknya mendapat perhatian ketika kita berusaha memahami dampak ciri kepribadian terhadap kinerja, kepuasan kerja, dan motivasi kerja; dan secara pragmatis kesungguhan juga perlu diperhatikan dalam proses seleksi personel untuk sebagian besar pekerjaan (Luthans, 2006, p234-235). b. Dampak Ciri Lainnya Meskipun kesungguhan memiliki hubungan paling konsisten dengan kinerja dan dengan demikian paling banyak diperhatikan, empat ciri lainnya juga memiliki beberapa penemuan yang menarik. Sebagai contoh, studi yang melibatkan perserta dari beberapa negara Eropa, beberapa kelompok pekerjaan, dan berbagai metode pengukuran kinerja menemukan bahwa kesungguhan dan stabilitas emosi berhubungan dengan semua ukuran dan
26 pekerjaan. Studi mengenai ketidakhadiran menemukan bahwa ekstraversi memiliki hubungan terbalik, semakin tinggi ciri ekstraversi, karyawan cenderung semakin sedikit absen (Luthans, 2006, p235). Ciri lain memiliki dampak lebih selektif, tetapi masih logis. Misalnya, orang
dengan
ekstraversi
tinggi
cenderung
dihubungkan
dengan
keberhasilan manajemen dan penjualan, sedangkan orang dengan stabilitas emosi tinggi cenderung lebih efektif dalam situasi tertekan, orang dengan sifat menyenangkan cenderung manangani hubungan dan konflik konsumen dengan lebih efektif, dan orang yang terbuka pada pengalaman cenderung memiliki keahlian pelatihan kerja dan membuat keputusan lebih baik dalam pelatihan stimulasi pemecahan masalah. Studi lain menemukan bahwa orang dengan gaya manajemen strategis memiliki ciri kesungguhan dan terbuka pada pengalaman, dan dengan Big five untuk memprediksi kinerja tim. Sebuah studi menemukan bahwa semakin tinggi nilai rata-rata ciri kepribadian anggota tim, seperti sifat menyenangkan, ekstraversi, dan stabilitas emosi, akan semakin baik kinerja tim. Dengan kata lain, tergantung pada situasi, semua ciri Big five sebaiknya diperhatikan dalam studi dan aplikasi perilaku organisasi (Luthans, 2006, p235). 3. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) Sementara Big five muncul dari penelitian dasar dan secara umum berhubungan dengan kinerja secara signifikan, MBTI didasarkan pada teori yang sangat tua, dengan dukungan penelitian terbaik, tetapi digunakan secara luas dan sangat populer dalam konseling karier, pembentukan tim, manajemen konflik, dan analisis gaya manajemen. Teori tersebut kembali memelopori psikiater Carl Jung dari Swiss pada tahun 1920-an. Jung berpendapat bahwa manusia dapat dibagi menjadi ekstravert dan introvert dan manusia memiliki dua proses mental dasar, persepsi dan
27 pendapat. Selanjutnya dia membagi persepsi menjadi indera dan intuisi dan pendapat menjadi pikiran dan perasaan. Dengan demikian, dihasilkan empat dimensi atau ciri kepribadian (Luthans, 2006, p235) : 1. Introversion/ekstraversion (introversi/ekstraversi) 2. Perceiving/judging (pendapat/penilaian) 3. Sensing/intuition (indera/intuisi) 4. Thinking/feeling (pikiran/perasaan) Dia berpendapat bahwa meskipun secara umum orang memiliki keempat dimensi tersebut, namun kombinasi preferensinya berbeda-beda. Menurut Jung, yang penting preferensi seseorang tidak lebih baik dari orang lain, hanya berbeda (Luthans, 2006, p235). Sekitar 20 tahun setelah Jung mengembangkan teorinya, pada tahun 1940an. Katharine Briggs dan Isabel Briggs-Myers mengembangkan sekitar 100 soal ujian kepribadian yang memberi pertanyaan kepada peserta mengenai bagaimana mereka biasanya merasa atau bertindak dalam situasi tertentu untuk mengukur tingkat preferensi pada keempat pasang ciri yang menghasilkan 16 tipe yang berbeda. Disebut Myers-Briggs Type Indicator atau MBTI, pertanyaan-pertanyaan tersebut berhubungan dengan bagaimana manusia memfokuskan energi mereka (ekstraversi versus introversi), memberikan perhatian dan mengumpulkan informasi (indera versus intuisi), proses dan evaluasi informasi dan membuat keputusan (pikiran vesus perasaan), dan mengorientasikan diri pada dunia luar (pendapat versus penilaian). Misalnya ESJT adalah Extravert, Sensing, Thinking, Judging. Tipe ini suka berinteraksi dengan yang lain (E), melihat dunia secara realistis (S), membuat keputusan secara objektif dan tegas (T), dan suka struktur, jadwal, dan urutan (J), ini adalah tipe manajer (Luthans, 2006, p236). Sedangkan kaum INTJ adalah visioner. Mereka biasanya memiliki pikiran asli dan dorongan yang kuat atas gagasan
28 dan tujuan mereka sendiri. Mereka dicirikan sebagai skeptis, kritis, independen, tekun, dan sering keras kepala. Kaum ENTP adalah penggagas (conceptualizer). Meraka inovatif, individualistik, cakap dalam berbagai hal dan tertarik kepada gagasan wirausaha. Orang ini cenderung memiliki banyak akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menantang tetapi bisa melupakan tugas-tugas rutin (Robbins, 2006, p124). Tabel 2.3 Dimensi Teori Jung dan Myers-Briggs Type Indicator Darimana Anda mendapat energi ? Ektraversi (E) ---------------------------------------- Introversi (I) Terbuka
Pendiam
Interaksi
Konsentrasi
Bicara, kemudian berpikir
Berpikir, kemudian bebicara
Suka berteman
Reflektif
Perhatian & informasi ditujukan untuk apa? Sensing (S) ------------------------------------------ Intuiting (N) Praktis
Umum
Detail
Kemungkinan
Konkrit
Teoritis
Spesifik
Abstrak
Bagaimana Anda mengevaluasi dan membuat keputusan ? Thinking (T) ----------------------------------------- Feeling (F) Analisis
Subjektif
Otak
Perasaan
Aturan
Lingkungan
Keadilan
Belas kasihan
29 Bagaimana Anda mengorientasikan diri pada dunia luar ? Judging (J) -------------------------------------------- Perceiving (P) Terstruktur
Fleksibel
Berorientasi pada waktu
Penyelesaian terbuka
Tegas
Eksplorasi
Teratur
Spontan
Sumber :Luthans, 2006, p237
Ketika merumuskan teorinya, Jung menekankan bahwa tidak ada tipe yang bagus atau jelek. Inilah alasan mengapa MBTI adalah inventori kepribadian yang banyak digunakan (jutaan setiap tahunnya) dan tidak mengancam secara psikologis. Meskipun
MBTI
memiliki
realibilitas
dan
validitas
sebagai
ukuran
yang
mengidentifikasikan tipe kepribadian Jung dan memprediksi pilihan pekerjaan (misalnya, orang yang memiliki intuisi tinggi cenderung menyukai karier dalam periklanan, seni, dan pengajaran), namun belum ada dukungan penelitian yang memadai untuk menjadikan MBTI sebagai dasar seleksi keputusan atau memprediksi kinerja pekerjaan. Akan tetapi, penggunaan MBTI oleh sejumlah perusahaan seperti AT&T, Exxon, dan Honeywell untuk program pengembangan manajemen mereka dan Hewlett-packard untuk pembentukan tim (tim building), sepertinya dibenarkan. Hal ini dapat menjadi titik awal yang efekif dan berguna untuk diskusi tentang perkembangan personal. Akan tetapi, seperti alat ukur psikologi yang lain, MBTI dapat disalahgunakan. Seperti disimpulkan dalam analisis komprehensif, “Beberapa penggunaan yang tidak tepat meliputi pelabelan satu sama lain, memaklumi alasan bahwa mereka tidak bisa bekerja dengan orang lain, dan menghindari tanggung jawab oleh karena orang lain lebih fleksibel. Tipe individu bukanlah alasan untuk perilaku yang tidak tepat (Luthans, 2006, p236).
30 2.3 Efikasi Diri 2.3.1 Pengertian Efikasi Diri Seperti yang dinyatakan oleh Goleman, efikasi diri adalah konstruksi dasar untuk Emotional Intelligent (EI) maupun optimisme, dan Synder berpendapat sama mengenai konstruksi harapan (Goleman, 1995, p89). Sampai saat ini 9 meta-analisis skala besar secara konsisten menunjukkan bahwa efikasi memberikan kontribusi pada tingkat motivasi dan kinerja secara signifikan (Luthans, 2006, p337). Dasar teoritis untuk efikasi diri adalah kapabilitas refleksi diri yaitu bagaimana orang merefleksikan kembali tindakan/pengalaman kejadian tertentu dan selanjutnya memproses secara kognitif seberapa besar keyakinan mereka terhadap penyelesaian tugas/kejadian di masa mendatang (Bandura, 1999, p21). Bandura sangat menekankan bahwa efikasi diri adalah mekanisme psikologis yang paling penting dari pengaruh diri (self-influence). Dia menyatakan, “Jika orang tidak yakin bahwa mereka dapat menghasilkan efek yang diinginkan dan mencegah hal yang tidak diinginkan dengan tindakan mereka, maka mereka memiliki sedikit dorongan untuk bertindak. Faktor apapun yang bertindak sebagai motivator, berakar dalam keyakinan bahwa seseorang punya kekuasan untuk membuahkan hasil yang diinginkan (Locke, 2000, p120). Definisi formal efikasi diri yang biasa digunakan adalah pernyataan Bandura mengenai penilaian (judgment) atau keyakinan pribadi tentang “ seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prospektif” (Bandura, 1982, p122). Definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk efikasi diri diberikan Stajkovic dan Luthans : “efikasi diri mengacu pada keyakinan individu (atau konfidensi) mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu” (Stajkovic, 1998, p66).
31 2.3.2 Efikasi diri spesifik versus umum Efikasi diri spesifik (specific self-efficacy) mengikuti konseptualisasi bandura dan dikenal secara luas oleh sebagian besar penganutnya dalam bidang psikologi secara keseluruhan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa peneliti efikasi menggunakan efikasi diri umum (general self efficacy) sebagai dimensi lain dari efikasi diri. Mereka menyatakan bahwa selain efikasi diri spesifik, terdapat efikasi diri yang digeneralisasi untuk merefleksikan keyakinan seseorang untuk menyelesaikan tugas diberbagai situasi dengan berhasil (Luthans, 2006, p338). Perlu disadari bahwa efikasi yang digeneralisasi sangat berbeda dari gambaran efikasi diri Bandura. Secara khusus, versi efikasi diri pada tugas tertentu dapat berubah (statelike), dengan demikian memenuhi kriteria Positive Organizational Behavior (POB). efikasi diri adalah variabel yang sangat tergantung pada tugas spesifik dan diproses secara kognitif oleh individu sebelum usaha dilakukan (Luthans, 2006, p338). Bandura berpendapat bahwa efikasi diri mempresentasikan kognisi khusus tugas dan kognisi situasi. Sebaliknya, efikasi diri umum berkebalikan secara konseptual; efikasi diri umum bersifat karakter (pridelike). Oleh karena itu, efikasi umum tetap stabil setiap waktu dalam kondisi apapun. Bandura berpendapat melalui teori dan penelitian dasar yang dilakukan
selama
bertahun-tahun,
bahwa
“keyakinan
efikasi
bukan
ciri
yang
didekonstektualkan.” Akan tetapi, Bandura dan yang lainnya yakin bahwa meskipun efikasi diri tidak bersifat karakter, tidak berarti evaluasi efikasi diri spesifik tidak pernah menjadi efikasi diri umum. Meskipun tidak memerlukan situasi yang stabil, penilaian efikasi pada suatu tugas mungkin sama dengan yang lainnya tergantung pada situasi, tugas dan orangnya (Luthans, 2006, p338). Secara singkat, seperti dijelaskan di sini sebagai konstruksi POB tidak bersifat karakter, karena itu ia ditujukan untuk tugas spesifik dan dapat dilatih dan dikembangkan. Sebagai contoh, analis sistem mungkin memiliki efikasi diri tinggi dalam memecahkan
32 masalah pemograman tertentu, tetapi efikasi rendah dalam menulis laporan untuk CIO (chief
informatiaon officer) mengenai bagaimana masalah terpecahkan. Terutama untuk POB, efikasi rendah ini dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan, dan efikasi yang meningkat akan menghasilkan kinerja yang meningkat (Luthans, 2006, p338). 2.3.3 Perbedaan efikasi diri dan konsep perilaku organisasi yang telah mapan Sekilas, efikasi diri tampak sangat serupa dan sering tercampur dengan konsep perilaku organisasi yang dikenal secara luas. Khususnya penghargaan diri, motivasi harapan, dan locus of control. Ada beberapa perbedaan utama yang akan menjelaskan lebih lagi mengenai arti dari efikasi diri (Stajkovic, 1998, p67-68) : 1. Perbedaan efikasi diri dengan penghargaan diri, perbedaan utamanya adalah penghargaan diri merupakan konstruksi global dari evaluasi dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang berharga, sementara efikasi diri merupakan keyakinan seseorang mengenai kemampuan terhadap penugasan dan konteks tertentu. Kedua, penghargaan diri bersifat stabil dan berkarakter, sementara efikasi diri berubah setiap waktu saat informasi baru dan pengalaman pekerjaan diperoleh dan dikembangkan. Akhirnya, penghargaan diri ditujukan kepada setiap aspek diri sementara efikasi diri merupakan penilaian saat ini terhadap kesuksesan tugas di masa depan. Contoh perbedaan tersebut adalah tenaga penjualan yang memiliki efikasi diri tinggi dalam menjual barang mewah kepada pelanggan berpenghasilan rendah, tetapi penghargaan dirinya rendah karena dia tahu bahwa kariernya didasarkan pada penjualan yang tidak di perlukan oleh pelanggannya dan hal itu membuat pelanggan tidak mampu membeli kebutuhan dasar bagi keluarganya. 2. Efikasi diri dengan teori motivasi, meskipun motivasi usaha-kinerja maupun efikasi diri sama-sama mengatakan bahwa usaha menghasilkan kinerja, namun efikasi diri mencakup lebih banyak hal. Efikasi diri juga melibatkan persepsi kemampuan, keahlian, pengetahuan, pengalaman dengan tugas tertentu, kompleksitas tugas, dan
33 lebih banyak lagi. Selain itu, efikasi diri melibatkan reaksi psikomotorik seperti emosi, stres, dan kelelahan fisik. Dengan motivasi perilaku-hasil, terdapat lebih banyak perbedaan. Prosesnya berbeda, efikasi merupakan penilaian kemampuan seseorang untuk menyelesaikan pola perilaku tertentu (yakni, “saya yakin saya berhasil menyelesaikan tugas ini”) sementara perilaku-hasil merupakan penilaian atas konsekuensi yang mungkin terjadi dari perilaku tertentu (yakni, “saya yakin bahwa apa yang saya lakukan akan (atau tidak akan) membuahkan hasil yang diinginkan”). Dengan kata lain, evaluasi efikasi diri individu biasanya akan terjadi sebelum harapan atas hasil perilaku dipertimbangkan. 3. Efikasi diri dengan locus of control. Konstruksi ketiga yang sering membingungkan berasal dari teori atribusi, terutama locus of control. Orang yang membuat atribusi internal mengenai perilaku mereka dan konsekuensinya (sukses atau gagal) yakin bahwa mereka mengontrol nasib mereka sendiri (misalnya, “usaha dan kemampuan sayalah yang membuat perbedaan”) dan mengasumsikan tanggung jawab personal untuk konsekuensi perilaku mereka. Sebaliknya, atribusi eksernal membuat atribusi terhadap berbagai kondisi (“tugasnya terlalu berat”) atau keberuntungan dan tidak menggunakan tanggung jawab individu atas konsekuensi perilaku mereka. Bandura berpendapat bahwa atribusi locus of control merupakan keyakinan kausal mengenai hubungan tindakan-hasil, sementara efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuannya dan sumber daya kognitif yang dapat disusun bersama-sama untuk menyelesaikan tugas dan berhasil. 2.3.4 Proses dan dampak efikasi diri Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung tehadap faktor lain. secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan mengawali usaha mereka. Yang pertama, orang cenderung mempertimbangkan, mengevaluasi dan
34 mengintegrasikan informasi mengenai kapabilitas yang dirasakan. Yang penting, langkah awal dalam proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Selanjutnya, evaluasi/persepsi menghasilkan harapan atas efikasi personal yang pada gilirannya menentukan (Luthans, 2006, p340): 1. Keputusan untuk menampilkan tugas tertentu dalam konteks ini. 2. Sejumlah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas. 3. Tingkat daya tahan yang akan muncul (selain masalah), tidak sesuai dengan bukti dan kesulitan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa dari awal dapat dilihat bahwa efikasi diri secara langsung mempengaruhi (Luthans, 2006, p340): 1. Pemilihan perilaku (misalkan, keputusan dibuat berdasarkan bagaimana efikasi yang dirasakan seseorang terhadap pilihan, misalnya tugas pekerjaan atau bidang karir) 2. Usaha motivasi (misalnya, orang mencoba lebih keras dan berusaha melakukan tugas dimana efikasi diri mereka lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki penilaian efikasi rendah). 3. Daya tahan (misalnya, orang dengan efikasi diri tinggi akan bangkit, bertahan taat menghadapi masalah atau kegagalan, sementara orang dengan efikasi diri rendah cenderung menyerah saat muncul rintangan). Selain itu, terdapat bukti penelitian bahwa efikasi diri juga dapat secara langsung mempengaruhi (Mager, 1992, p32): 1. Pola pemikiran fasilitatif (misalnya, penilaian efikasi mempengaruhi perkataan pada diri sendiri (self-talk) seperti orang dengan efikasi diri tinggi mungkin mengatakan pada diri sendiri, “ saya tahu saya dapat menemukan cara untuk
35 memecahkan masalah ini, “ sementara orang dengan efikasi diri rendah mungkin berkata pada diri sendiri, “saya tahu saya tidak bisa melakukan hal ini, saya tidak punya kemampuan”). 2. Daya tahan terhadap stres misalnya, orang dengan efikasi diri rendah cenderung mengalami stres dan kalah karena mereka gagal, sementara orang dengan efikasi diri tinggi memasuki situasi penuh tekanan dengan percaya diri dan kepastian dan dengan demikian dapat menahan reaksi stres). Contoh dampak langsung efikasi diri pada fungsi manusia sejalan dengan individu berkinerja tinggi. Mungkin profil individu berkinerja tinggi dalam sebuah pekerjaan tertentu adalah orang berefikasi tinggi yang sungguh-sungguh melakukan pekerjaan (menerimanya dan memandangnya sebagai tantangan); memberikan usaha maksimal untuk menyelesaikan tugas; tahan menghadapi rintangan, frustasi, atau kemunduran; memiliki pemikiran dan perkataan yang positif; dan tahan terhadap stres dan kekalahan (Luthans, 2006, p340). Bandura menekankan bahwa efikasi diri juga memainkan peranan vital dalam menentukan kinerja manusia lainnya seperti aspirasi tujuan, insentif hasil, dan kesempatan yang dirasakan terhadap suatu proyek (Locke, 2000, p120). Apapun tingkat tujuan yang dipilih, seberapa banyak usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan tertentu, dan bagaimana reaksi/ ketahanan seseorang saat menghadapi masalah dalam proses pencapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh efikasi diri. Begitu pula dengan insentif hasil yang diantisipasi seseorang. Orang dengan efikasi diri tinggi mengharapkan keberhasilan dan mendapat yang diinginkan, dan insentif hasil yang positif, sementara orang dengan efikasi diri rendah mengharapkan kegagalan dan memikirkan dis-insentif hasil yang negatif (misalnya, “saya tidak akan menyelesaikan apapun”). Secara khusus relevan dengan formulasi strategi, awal kewirausahaan, dan transisi ekonomi yang begitu sulit di negara bekas komunis (Luthans, 2006, p341).
36 Bandura memberikan komentarnya berbagai peluang sebagai berikut : Orang efikasi diri tinggi berfokus pada peluang yang layak dikejar dan melihat rintangan sebagai hal yang dapat diatasi. Melalui kecerdasan dan daya tahan , mereka mencari cara untuk mengendalikan, bahkan dalam lingkungan dengan peluang terbatas dan banyak hambatan. Orang yang ragu-ragu diam dalam kesulitan karena mereka memandang rintangan sebagai sesuatu yang tidak dapat mereka kontrol dan dengan mudah menyakinkan diri sendiri bahwa usaha mereka akan sia-sia. Mereka mencapai kesuksesan yang terbatas, bahkan dalam lingkungan dengan banyak kesempatan (Locke, 2000, p121). Melalui berbagai proses lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, efikasi diri tinggi mempunyai hubungan yang kuat dan sangat prediktif dengan kinerja tinggi. Penelitian ekstensif secara solid mendukung kesimpulan tersebut. Bukan hanya bahan seminar Bandura mengenai efikasi diri yang memberikan ratusan kutipan dan studi, tetapi lebih dari 9 meta-analisis secara konsisten menemukan hubungan positif antara efikasi diri dan kinerja dalam berbagai fungsi yang berbeda di bawah kondisi percobaan di laboratorium dan kondisi alam (Luthans, 2006, p338). 2.3.5 Sumber Efikasi Diri Bandura memberikan pemahaman teoritis yang komprehensif yang didukung dengan penelitian bertahun-tahun, karena itulah ada kesempatan umum mengenai sumber utama efikasi diri. Seperti ditunjukkan pada gambar 2.1, dari perspektif teori kognitif sosial harus diingat bahwa keempat sumber efikasi tersebut hanya menyediakan data mentah. Individu harus memilih, memproses secara kognitif, dan merefleksikan diri untuk mengintegrasikan serta menggunakan informasi tersebut untuk membuat penilaian persepsi efikasi diri dan membentuk keyakinan (Pervin, 1999, p181). Sebagai contoh, mengenai input utama dalam efikasi diri dari kinerja, Bandura menyatakan, “mungkin bervariasi tergantung bias interpretatif, kesulitan tugas, seberapa
37 giat mereka bekerja, seberapa bantuan yang mereka peroleh, kondisi tempat mereka bekerja, keadaan emosi dan fisik pada saat itu, tingkat perkembangan dari waktu ke waktu, bias selektif bagaimana mereka memonitor dan menentukan pencapaian mereka.” Dengan kata lain, efikasi tergantung pada bagaimana interpretasi invidu dan proses keberhasilan secara kognitif (Pervin, 1999, p181).
Pengalaman Penguasaan atau Pencapaian Kinerja Pengalaman Pribadi dan Pemodelan Persuasi Sosial
Efikasi Diri
Peningkatan Fisik dan Psikologis Gambar 2.1 Sumber Informasi Utama untuk Efikasi Diri Sumber : Luthans, 2006, p341
Menurut kepentingannya, sumber utama efikasi diri adalah sebagai berikut (Luthans, 2006, p341-342): 1. Pengalaman penguasaan (mastery experience) atau pencapaian kinerja. Inilah yang paling kuat dalam membentuk keyakinan efikasi karena merupakan informasi langsung mengenai kesuksesan. Akan tetapi, sekali lagi, perlu ditekankan bahwa pencapaian kinerja tidak berarti sama dengan efikasi diri. Proses situasi maupun kognitif (misalnya, persepsi kemampuan seseorang) yang berkaitan dengan kinerja akan mempengaruhi penilaian dan keyakinan efikasi diri. Bandura juga menunjukkan bahwa pengalaman yang diperoleh melalui usaha terus-menerus dan kemampuan untuk belajar membentuk efikasi yang kuat dan fleksibel. Akan tetapi, efikasi yang dibangun dari kesuksesan yang datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul berbagai kesulitan, dan efikasi diri tersebut akan berubah dengan cepat.
38 2. Pengalaman pribadi atau pemodelan. Seperti halnya individu yang tidak perlu mengalami secara langsung perilaku personal yang memperkuat pembelajaran (mereka belajar sendiri dengan mengamati dan melihat orang lain yang relevan), hal yang sama juga terjadi pada pencapaian efikasi. Seperti dinyatakan oleh Bandura, “jika orang melihat orang lain seperti dirinya, yang berhasil karena berusaha keras, mereka yakin bahwa mereka juga punya kapasitas untuk sukses. Sebaliknya, mengamati kegagalan orang lain menanamkan keraguan mengenai kemampuan diri sendiri untuk menguasai aktivitas yang sama. Adalah penting untuk menekankan bahwa semakin mirip modelnya (misalnya, aspek-aspek demografis seperti umur, jenis kelamin, karakteristik fisik, pendidikan, dan status serta pengalaman) dan semakin relevan tugas yang dilakukan, semakin besar pengaruh pada proses efikasi pengamat. Sumber informasi pribadi ini penting untuk orang dengan pengalaman langsung (misalnya, tugas baru) dan sebagai strategi praktik untuk meningkatkan efikasi seseorang melalui pelatihan 3. Persuasi sosial. Tidak sekuat sumber informasi pada poin sebelumnya, dan kadangkadang terlalu disederhanakan sebagai pendekatan "can-do", keyakinan seseorang atas efikasi mereka dapat diperkuat melalui pengaruh orang lain yang kompeten dan dihormati sehingga mereka "mendapatkan apa yang diperlukan" dan memberikan umpan balik positif pada perkembangan yang terjadi dalam tugas. Pada sisi lain, tidak perlu dipertanyakan mengenai dampak kata-kata yang buruk dan umpan balik negatif (misalnya, "anda tidak dapat melakukannya"). Hal tersebut melumpuhkan dan menurunkan kepercayaan diri seseorang. Sering sedikit komentar negatif atau gerakan nonverbal dapat berdampak besar terhadap emosi dan efikasi seseorang. Sayangnya, memberikan umpan balik positif dan menunjukkan kekuatan mereka untuk menyelesaikan tugas dengan berhasil tidak dianggap punya dampak yang sama besar dengan umpan balik negatif. Persuasi sosial dapat dipilih dan diproses
39 untuk membentuk efikasi dengan memberikan informasi objektif dan melakukan berbagai tindakan tindak lanjut untuk membentuk kesuksesan seseorang. Persuasi sosial lebih berguna untuk menghapus kesenjangan saat orang mulai berjuang atau ragu pada diri sendiri ketika mereka melakukan tugas, daripada dilakukan untuk membangun efikasi pada tugas baru. 4. Peningkatan fisik dan psikologis. Orang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Lebih dari sumber informasi lainnya, jika ada hal-hal negatif (misalnya, orang sangat lelah dan atau tidak sehat secara fisik atau cemas/depresi dan atau merasa tertekan), maka hal tersebut akan sangat mengurangi efikasi. Pada sisi lain, jika keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut tidak perlu memberi kontribusi pada efikasi individu. Kesimpulannya, jika individu berada dalam kondisi mental dan fisik yang sehat, maka hal ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun efikasi. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang pada tugas yang menuntut kondisi fisik dan atau psikologis yang baik. Berkaitan dengan perilaku organisasi dan manajemen sumber daya manusia, setiap sumber efikasi bersifat lunak dan dapat diubah. Sebagaimana telah dibahas, efikasi diri dapat berubah dan bukan merupakan trait. Dengan kata lain, efikasi diri dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan yang ditargetkan pada keempat sumber tersebut (Luthans, 2006, p342). Orang perlu rasa efikasi yang kuat sebelum mereka mencoba menerapkan apa yang mereka pelajari dan sebelum mereka mencoba mempelajari hal baru. Mereka perlu yakin akan kemampuan diri untuk berkinerja lebih baik dalam pekerjaan yang tidak selalu mendukung. Keyakinan ini membantu mereka selamat dari penolakan. Hal ini juga membantu mereka bertekun menghadapi tantangan dan kemunduran. Efikasi diri tidak
40 hanya memiliki implikasi penting untuk pelatihan, tetapi juga bagi banyak hal di tempat kerja saat ini (Mager, 1992, p36). 2.3.6 Implikasi efikasi diri di tempat kerja Teori efikasi diri pertama kali digunakan 30 tahun yang lalu sebagai kerangka klinis "untuk menganalisis perubahan yang dicapai dalam perilaku ketakutan dan menghindar." Perlakuan
psikoterapi
seperti
desensitisasi,
permodelan
simbolis,
dan
pengalaman
penguasaan langsung jelas mengubah perilaku klien melalui efikasi diri. Akan tetapi, lingkup efikasi diri dengan cepat meluas melebihi domain perubahan perilaku klinis untuk bisa diterapkan dalam bidang-bidang seperti : (1) promosi kesehatan dan rekoveri dari kemunduran fisik, (2) kontrol terhadap makan, (3) tahan terhadap zat adiktif, (4) keberhasilan pendidikan, (5) kinerja olahraga, dan yang paling penting, (6) untuk studi dan aplikasi perilaku organisasi dan kinerja di tempat kerja (Cervone, 2000, p33). Sebagaimana telah dijelaskan, sementara konstruksi POB lainnya mempunyai beberapa studi penelitian di tempat kerja, efikasi diri mempunyai pengetahuan yang tertanam dengan baik untuk dapat diterapkan dan berdampak positif terhadap kinerja. Secara khusus, meta-analisis dari Stajkovic dan Luthans yang mencakup 114 studi dan 21.626 subjek, mengindikasikan hasil korelasi rata-rata yang bernilai 38 yang sangat signifikan antara efikasi diri dan kinerja. Ketika diubah menjadi efek estimasi yang biasanya digunakan dalam meta-analisis, nilai kinerja yang ditranformasikan meningkat 28 persen dikarenakan efikasi diri. Dengan perbandingan, hasil efikasi diri di tempat kerja memperoleh rata-rata kinerja yang lebih besar daripada hasil meta-analisis intervensi perilaku organisasi populer seperti penetapan tujuan (10,39%), umpan balik (13,6%), atau modifikasi perilaku organisasi (17%), dan sepertinya menjadi prediktor kinerja yang lebih baik daripada ciri kepribadian (misalnya,"Big five") atau sikap yang relevan (misalnya, kepuasan kerja atau komitmen organisasi) yang umunya digunakan dalam penelitian perilaku organisasi (Stajkovic, 1998, p261).
41 2.4 Motivasi 2.4.1 Pengertian Motivasi Untuk mengetahui lebih luas tentang masalah motivasi, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian tentang motivasi. Motivasi dapat ditafsirkan dan diartikan berbeda oleh setiap orang sesuai dengan tempat dan situasi dari masing-masing orang itu serta disesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia. Namun ditinjau dari aspek taksonomi, motivasi berasal dari bahasa latin yaitu “movere” yang artinya bergerak. Menurut Winardi (2001, p1), istilah motivasi berasal dari perkataan bahasa latin, yakni movere yang berarti “menggerakkan” (to move). Dengan demikian secara etimologi, motivasi berkaitan dengan hal-hal yang mendorong atau menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut Sutrisno (2009, p115) motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Begitu juga definisi motivasi menurut Schiffman dan Kanuk (1991, p5): “Motivation can be described as the driving force
between individuals that impels them to action”. Penjelasan tersebut menjelaskan motivasi dapat digambarkan sebagai kekuatan penggerak diantara individu-individu yang mendorong mereka untuk bertindak. Kekuatan penggerak tersebut disebabkan adanya ketegangan yang timbul karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Robbins (2001, p156) : “Motivation is the processes that
account for individual’s intensity, direction, and persistence of effort toward attaining a goal”, yang berarti motivasi merupakan suatu proses yang menjelaskan kesediaan seseorang berusaha untuk mencapai ke arah tujuan, yang dikondisikan oleh kemampuan/intensitas seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Wexley dan Yukl memberikan batasan mengenai motivasi sebagai the process by
which behavior is energized and directed. Pengertian motivasi seperti dikemukakan oleh Wexley dan Yukl adalah pemberian atau penimbulan motif atau dapat pula diartikan sebagai
42 hal atau keadaan menjadi motif. Jadi, motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja (Sutrisno, 2009, p117). Dengan demikian maka istilah motivasi sama artinya dengan kata-kata motive, motif, dorongan, alasan dan lain-lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2000, p40) yang menyatakan bahwa motivasi berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai keadaan termotivasi, maka kita harus mempunyai tindakan tertentu yang harus dipenuhi, dan apabila kebutuhan itu terpenuhi, maka muncul lagi kebutuhan-kebutuhan yang lain hingga semua orang termotivasi. Dan juga Menurut Loudon dan Della Bitta (1993, p322): “A motif as an inner state
that mobilizes bodily energy and directs it in selective fashion toward goals usually located in the external environment”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa motif merupakan suatu keadaan yang menggerakan energi dan tenaga jasmani dalam diri seseorang dan mengarahkan secara selektif menuju suatu tujuan yang biasanya terletak dalam lingkungan external. Peran motif untuk membangkitkan dan menunjukkan perilaku konsumen. Motif mempunyai beberapa fungsi penting untuk mengarahkan perilaku, (Laudon dan Bella Ditta, 1993, p323) yaitu menetapkan kebutuhan dasar, mengidentifikasikan obyek sasaran, mempengaruhi kriteria pemilihan, dan mengarahkan pengaruh-pengaruh lainnya. Selain itu motivasi juga sangat erat kaitannya dengan kinerja seperti yang dikatakan Jones bahwa motivasi mempunyai kaitan dengan suatu proses yang membangun dan memelihara perilaku ke arah suatu tujuan (Sutrisno, 2009, p116). Dan menurut Sutrisno (2009, p117) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.
43 2.4.2 Pengertian Motivasi Kerja Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan dan kerja. oleh sebab itu , motivasi kerja dalam psikologi sebagai pendorong semangat kerja (Pandji Anoraga, 1998, p35). Menurut As’ad (1991, p45) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Motivasi merupakan pemberian atau penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mau bekerja sama bekerja secara efektif dan terintegrasi dan segala daya upaya untuk mencapai kepuasan. Sedangkan Hasibuan (2003, p94) mengatakan bahwa semangat kerja atau motivasi bekerja adalah keinginan dan kesungguhan seseorang mengerjakan pekerjaannya dengan baik serta berdisiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal. Dan dalam penelitian terbarunya, Hasibuan (2003, p95) mengungkapkan motivasi kerja merupakan kemauan seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan giat dan antusias, sehingga pekerjaan tersebut dapat selesai dengan cepat dan baik. Sedangkan menurut Dessler (2004, p328) motivasi merupakan hal yang sederhana karena orang-orang pada dasarnya termotivasi atau terdorong untuk berperilaku dalam cara tertentu yang dirasakan mengarah kepada perolehan ganjaran. Dengan demikian, memotivasi
seseorang
tentunya
mudah;
usahakan
untuk
mengetahui
apa
yang
dibutuhkannya (motif) dan gunakan hal itu sebagai kemungkinan ganjaran. 2.4.3 Jenis Motif Terdapat tiga jenis motif, yaitu motif primer, motif umum, dan motif sekunder : 1) Motif primer Yang dimaksud motif primer disini adalah motif yang tidak dapat dipelajari dan didasarkan secara fisiologis. Motif-motif tersebut disebut fisiologis, biologis, tidak dipelajari, atau primer. Akan tetapi, penggunaan kata istilah primer tidak
44 mengimplikasikan bahwa motif tersebut lebih diutamakan daripada motif umum dan sekunder (Luthans, 2006, p270). Ada dua kriteria yang harus dipenuhi agar motif dapat dimasukkan dalam klasifikasi primer. Motif harus tidak dipelajari, dan motif harus didasarkan secara fisiologis. Dengan definisi tersebut, motif primer yang paling dikenal secara umum adalah lapar, haus, tidur, menghindari sakit, seks, dna perhatian maternal/ibu (Luthans, 2006, p270). 2) Motif umum Klasifikasi motif umum muncul dikarenakan adanya sejumlah motif dalam area antara klasifikasi primer dan sekunder. Agar termasuk dalam kategori umum, sebuah motif haruslah tidak dipelajari, tetapi tidak didasarkan pada fisiologis. Sementara kebutuhan primer mengurangi ketegangan atau stimulasi, kebutuhan umum justru diperlukan untuk mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan jumlah stimulasi. Dengan demikian, kebutuhan tersebut kadang-kadang disebut “motif stimulus” (Rathus, 1990, p312). Meskipun tidak semua psikolog sependapat, namum motif keingintahuan, manipulasi, aktivitas, dan afeksi sepertinya paling memenuhi kriteria untuk klasifikasi tersebut (Luthans, 2006, p271). 3) Motif sekunder Pada studi manusia dalam organisasi, sekalipun dorongan umum tampaknya relatif lebih penting daripada dorongan primer, namun dorongan sekunder adalah yang paling penting. Saat masyarakat berkembang secara ekonomi menjadi lebih kompleks, dorongan primer, dan dorongan umum kurang penting, membuka jalan bagi dorongan sekunder yang dipelajari untuk memotivasi perilaku (Luthans, 2006, p272). Sebuah motif harus dapat dipelajari agar dapat dimasukkan dalam klasifikasi sekunder. Berbagai motif manusia yang paling memenuhi kriteria tersebut. Beberapa
45 motif yang lebih penting adalah kekuasaan, pencapaian/prestasi, dan afiliasi, atau seperti yang umum digunakan saat ini, n Pow, n Ach, dan n Aff. Selain itu terutama dalam perilaku organisasi, keamanan dan status merupakan motif sekunder yang penting (Luthans, 2006, p272). Tabel 2.4 Contoh Kebutuhan Sekunder yang Utama Kebutuhan untuk Berprestasi •
Melakukan
sesuatu
Kebutuhan Keamanan lebih
baik
•
daripada pesaing •
pekerjaan
yang
membawa rasa aman
Memperoleh atau melewati sasaran
•
yang sulit
Dilindungi
dari
kehilangan
penghasilan atau masalah ekonomi
•
Memecahkan masalah kompleks
•
Menyelesaikan
tugas
•
•
Dilindungi dari gangguan fisik dan kondisi berbahaya
Mengembangkan cara terbaik untuk •
melakukan sesuatu
Mempunyai perlindungan sakit dan cacat
yang
menantang dengan berhasil •
Mempunyai
Menghindari tugas atau keputusan dengan
resiko
kegagalan
atau
kesalahan Kebutuhan akan kekuasaan •
Mempengaruhi
orang
Kebutuhan akan Status untuk
•
mengubah sikap atau perilaku •
Mengontrol orang dan aktivitas
•
Berada pada posisi berkuasa melebihi orang lain
•
mengenakan pakaian yang tepat •
Bekerja pada perusahaan yang tepat dengan pekerjaan yang tepat
•
Mempunyai gelar dari universitas ternama
Memperoleh kontrol informasi dan sumber daya
Mempunyai mobil yan tepat dan
•
Tinggal
dalam
lingkungan
yang
46 •
tepat dan termasuk dalam klub elit
Mengalahkan lawan atu musuh •
Mempunyai hak istimewa eksekutif
Kebutuhan akan Afiiasi •
Disukai banyak orang
•
Diterima sebagai bagian kelompok atau tim
•
Bekerja dengan orang yang ramah dan kooperatif
•
Mempertahankan
hubungan
yang
harmonis dan mengurangi konflik •
Berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang menyenangkan
Sumber : Luthans, 2006, p273
2.4.4 Pendekatan Motivasi Kerja Terdapat tiga pendekatan umum untuk motivasi kerja, yaitu teori kepuasan (content) muncul pada pergantian abad 20, saat pelopor seperti frederick W.Taylor, Frank Gilberth, dan Henry L. Gantt mengajukan model insentif upah untuk memotivasi pekerja. Selanjutnya muncul gerakan hubungan manusia, dan kemudian teori kepuasan Maslow, Herzberg, dan Alderfer. Setelah gerakan kepuasan adalah teori proses. Berdasarkan konsep kognitif harapan, teori proses paling berhubungan dengan karya Victor Vroom, serta Lyman Porter dan Ed Lawler. Baru-baru ini, teori kontemporer seperti teori ekuitas dan keadilan organisasi/prosedur banyak dibahas dalam motivasi kerja (Luthans, 2006, p279). 2.4.4.1 Teori Kepuasan Motivasi Kerja Teori ini menentukan apa yang memotivasi orang dalam pekerjaan. Ahli teori kepuasan
berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan pada diri seorang dan
bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut diprioritaskan (Luthans, 2006, p280). Teori ini
47 memusatkan perhatian pada faktor-faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilakunya. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan kebutuhan apa yang memuaskan dan mendorong semangat bekerja seseorang. Kebutuhan dan pendorong ini adalah keinginan memenuhi kepuasan material maupun nonmaterial yang diperolehnya dari hasil pekerjaannya (Sutrisno, 2009, p130).
Kebutuhan
Dorongan
Tindakan
Kepuasan Gambar 2.2 Model Motivasi dari Content Theory Sumber : Sutrisno, 2009, p130
Jika kebutuhan dan kepuasannya semakin terpenuhi, semangat bekerjanya pun akan semakin baik pula. Jadi, pada dasarnya teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan bertindak untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasannya. Semakin tinggi standar kebutuhan dan kepuasan yang diiginkan, semakin giat orang itu bekerja. Tinggi dan rendahnya tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang mencerminkan semangat bekerja orang tersebut (Sutrisno, 2009, p130). Penganut teori kepuasan ini cukup banyak, yang satu sama lain sebenarnya tidak mempunyai kaitan. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan mereka, ternyata hasil penemuannya dapat dimasukkan dalam teori kebutuhan (Sutrisno, 2009, p131). Teori kepuasan tersebut dipelopori oleh F.W. Taylor, Abraham Maslow, McClelland, Frederick Herzberg, Claynton P. Alderfer dan Douglas Mcgregar (Sutrisno, 2009, p131). 1. F.W. Taylor dengan teori Motivasi Konvensional Teori motivasi konvensional ini termasuk content theory, karena F.W. Taylor memfokuskan teorinya pada anggapan bahwa keinginan untuk pemenuhan
48 kebutuhannya yang menyebabkan orang mau bekerja keras. Dengan teori ini, dapat disebutkan bahwa seseorang akan mau berbuat atau tidak berbuat didorong oleh ada atau tidak adanya imbalan yang akan diperoleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah memberikan imbalan beebentuk materi, agar bawahannya bersedia diperintah melakukan pekerjaan yang telah ditentukan. Jika besar imbalan ini bertambah, maka intensitas pekerjaan pun akan dapat dipacu. Jadi, dalam teori ini pemberian imbalanlah yang memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan (Sutrisno, 2009, p131). 2. Abraham Maslow dengan Teori Hierarki Dia berpendapat bahwa kebutuhan motivasi seseorang dapat disusun dengan cara hierarki. Intinya, dia yakin bahwa jika satu tingkat kebutuhan terpenuhi, tingkat tersebut tidak memotivasi lagi. Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya diaktifkan untuk memotivasi individu (Luthans, 2006, p280). Abraham H. Maslow dalam Need Hierarki Theory menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan manusia bersifat jamak yaitu kebutuhan psikologis dan biologis berupa material. Maslow menggolongkan adanya lima kebutuhan manusia (Hasibuan 2003, p104) : 1. Manusia adalah mahluk sosial yang bekeinginan dan selalu menginginkan lebih banyak. 2. Keinginan ini bersifat terus menerus dan berhenti bila akhir hayat tiba. 3. Suatu kebutuhan yang telah terpuaskan telah menjadi alat motivasi bagi pelakunya. 4. Hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang menjadi alat motivasi. 5. Kebutuhan manusia itu bertingkat Adapun tingkat kebutuhan manusia yang mendorong manusia untuk bekerja menurut Maslow adalah: a. Kebutuhan fisik
49 Kebutuhan fisik adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang seperti sandang, membantu individu dengan menyediakan gaji
pangan, papan. Organisasi yang baik, keuntungan serta
kodisi kerja untuk memuaskan kebutuhannya. b. Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan Jika kebutuhan psikologis sudah sedikit terpenuhi maka kebutuhan ini dapat menjadi motivasi. Kebutuhan ini merupakan rasa aman dari kecelakaan dan keselamatan dalam melaksanakan pekerjaan. Kebutuhan ini mengarah pada bentuk kebutuhan akan keamanan dan keselamatan jiwa di tempat kerja pada saat mengerjakan pekerjaan pada waktu jam-jam tertentu c.
Kebutuhan Afilasi Kebutuhan afiliasi adalah kebutuhan sosial misalnya berteman, motivasi serta mencintai serta diterima dalam pergaulan lingkungan kerjanya. Manusia pada dasarnya selalu ingin hidup berkelompok dan tidak seorangpun manusia ingin hidup menyendiri. Kebutuhan ini terdiri dari: •
Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di tempat ia bekerja.
•
Kebutuhan akan perasaan dihormati. Karena manusia merasa dirinya penting. Serendah rendahnya pendidikan dan kedudukan seseorang tetap merasa dirinya penting.
•
Kebutuhan akan perasaan kemajuan dan tidak sanggup yang menyenangi kegagalan. Kemajuan di segala bidang merupakan keinginan dan kebutuhan yang menjadi idaman setiap orang.
•
Kebutuhan akan perasaan ikut serta. Setiap karyawan akan merasa senang jika diikutkan dalam berbagai kegiatan dan mengemukakan saran atau pendapat pada pimpinan.
d. Kebutuhan akan penghargaan diri / status
50 Merupakan kebutuhan akan pengakuan serta penghargaan prestise dari karyawan dan masyarakat lingkungannya. Ideal pretise timbul karena adanya prestasi, tetapi tidak selamanya demikian. e. Kebutuhan aktualisasi diri Kebutuhan aktualisasi diri dipenuhi dengan menggunakan kecakapan, kemampuan, ketrampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar biasa yang sulit dicapai orang lain. Kebutuhan aktualisasi diri ini berbeda. 2 hal dengan kebutuhan yang lain yaitu: •
Kebutuhan aktualisasi diri hanya dapat dipenuhi atas usaha individu
itu
sendiri. •
Aktualisasi diri berhubungan dengan pertumbuhan individu. Kebutuhan ini berlangsung terus menerus terutama sejalan dengan meningkatnya jenjang karier seorang individu.
3. David McClelland dengan Teori Motivasi Prestasi Teori kebutuhan yang dikemukakan oleh David disebut juga dengan teori motivasi prestasi. McClelland menyatakan bahwa tiga kebutuhan yang diidentifikasikan (kebutuhan berprestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan berafiliasi) merupakan titik pendekatan terhadap motivasi. Menurut Schemerhorn (1997, p348), McClleland bereksperimen dengan Thematic Apperception Test (TAT) sebagai salah satu cara untuk memeriksa kebutuhan manusia dan merupakan suatu teknik proyektif yang digunakan untuk menilai motif sosial. TAT meminta seseorang untuk melihat lukisan/gambar dan menulis cerita tentang gambar yang mereka lihat. Cerita itu selanjutnya dianalisis isinya untuk mengetahui kebutuhan individual sehingga McClleland mengidentifikasikan tiga macam kebutuhan sebagai berikut: 1. Kebutuhan berprestasi (Need for Achievement), merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses, yang diukur berdasarkan standar kesempurnaan dalam diri
51 seseorang. Kebutuhan ini, berhubungan erat dengan pekerjaan, dan mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu (Sutrisno, 2009, 139). 2. Kebutuhan berafiliasi (Need for Affiliation), keinginan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang hangat dan bersahabat dengan orang lain (Schemerhorn, 1997, p348). Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain (Sutrisno, 2009, 139). 3. Kebutuhan
akan
kekuasaan
(Need
for
Power),
adalah
keinginan
untuk
mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi perilaku mereka, atau memiliki rasa tanggung jawab pada orang lain. Ada dua bentuk kekuasaan yaitu: a. kebutuhan kekuasaan personal, yakni kebutuhan ini bersifat eksploitatif dan melibatkan manipulasi demi gratifikasi personal dan tidak akan berhasil dalam manajemen. b. kebutuhan kekuasaan sosial, merupakan sisi kekuasaan positif karena kebutuhan ini melibatkan penggunaan kekuasaan dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial (Schemerhorn, 1997, p348). Tabel 2.5 Characteristics of people with high need achievement, need power, and
need affiliation CHARACTERISTIC
N ACHIEVEMENT
N POWER
N AFFILIATION
General
Concern to do better,
Concern with having
Concern
to
impact,
establishing,
improve
performance
reputation
and influence.
for
maintaining, repairing
friendly
relation Arousing situation
A
moderately
challenging task
Hierarchical influence situation
or
Opportunity friends
to
be
52
Related activities
Chooses
and
Accumulates
Makes
performs better at
“prestige
phone calls, visits,
challenging
often
prefer
tasks, personal
responsibility, seeks
supplies,” tries
convince more often
to others,
more
seeks dislikes with
local
approval, disagreeing strangers,
and
better grades from a
utilizes feedback on
warm teacher.
performance quality innovates to improve
Sumber : Morgan, 1986, p281
Morgan (1986:283) menyatakan: “Need for Achivement was one of the first social
motives to be studied in detail and research into this motive continues today”. Pernyataan tersebut berarti kebutuhan berprestasi adalah salah satu motif sosial pertama yang dipelajari dan diteliti secara detail oleh David McClelland. Brenneck dan Amick (1978, p122-123) mengutip pendapat David McClelland menyatakan: “He finds that achivement motivation is a
powerfull force in many societies of the world, especially those with high levels of technological development, affluence, and success oriented. McClelland suggest that while many people in such societies do in fact have strong needs for personal achivement,…”. Pernyataan tersebut berarti kebutuhan berprestasi (needs achievement) memiliki pengaruh yang kuat dalam sebagian masyarakat di dunia, khususnya mereka yang mengikuti perkembangan teknologi dan berorientasi pada kekayaan dan kesuksesan. Pada Tabel 2.5 di atas, dijelaskan tiga kebutuhan dikaitkan dengan tiga karakteristik seseorang sebagai berikut (Morgan, 1986, p281-282): 1. Kebutuhan Berprestasi (Achievement Needs) yang memiliki karakteristik :
53 a) Umum (general), seseorang mempunyai fokus untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik dan berusaha mengembangkan kinerjanya. b) Situasi yang menggerakkan (Arousing situation), seseorang tertarik terhadap tugas-tugas yang penuh dengan tantangan. c) Aktivitas yang berhubungan (Related activities), seseorang memilih dan menunjukkan hasil pekerjaaan yang lebih baik, memiliki rasa tanggung jawab pribadi, dan menggunakan pengontrolan ulang (feed back ) atas pekerjaan yang dilakukan untuk menjamin kualitas pekerjaannya. 2. Kebutuhan akan kekuasaan (Power Needs) yang memiliki karakteristik : a. Umum (general), seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap orang lain dan selalu menjaga reputasi. b. Situasi yang menggerakkan (Arousing situation), seseorang ingin mempengaruhi dan mengendalikan orang lain, berorientasi pada status dan cenderung lebih peduli akan prestige (gengsi). c.
Aktivitas yang berhubungan (Related activities), seseorang lebih menyukai menjadi penguasa dalam organisasi serta memiliki kompetitif yang tinggi.
3. Kebutuhan berafiliasi (Affiliation Needs) yang memiliki karakteristik : a. Umum (general), seseorang ingin menciptakan, memelihara, dan memperbaiki hubungan persahabatan (derajat pemahaman timbal balik). b. Situasi yang menggerakkan (Arousing situation), seseorang ingin memiliki banyak teman, ingin disukai dan diterima baik oleh orang lain serta lebih menyukai situasi kooperatif. c.
Aktivitas yang berhubungan (Related activities), seseorang yang tidak menyukai perselisihan tetapi lebih menyukai hubungan yang akrab/hangat seperti melakukan percakapan melalui telepon dan kunjungan.
54 4. Frederick Herzberg dengan Teori Motivasi Dua Faktor Sebenarnya teori ini merupakan pengembangan dari teori hierarki kebutuhan Maslow (Sutrisno, 2009, p142) Dia melakukan studi motivasional pada sekitar 200 akuntan
dan
insinyur
yang
diperkerjakan
oleh
perusahaan
di
Pittsburgh,
Pennsylvania. Pengumpulan data untuk analisis dilakukan dengan menggunakan metode kejadian kritis. Subjek profesional dalam studi ini menghadapi dua pertanyaan dasar. Yang pertama adalah kapan Anda merasa bekerja dengan baikapa yang membuat Anda senang?, dan pertanyaan kedua adalah kapan Anda merasa bekerja dengan buruk-apa yang membuat anda tidak tertarik? (Luthans, 2006, p282). Respon yang diperoleh dari metode kejadian kritis ini menarik dan cukup konsisten. Perasaan nyaman umumnya berhubungan dengan pengalaman kerja dan kepuasan kerja. Sebaliknya, perasaan tidak senang umumnya berhubungan dengan aspek di sekitar pekerjaan-suasana pekerjaan. Herzberg dengan mentabulasikan perasaan senang dan tidak senang, menyimpulkan bahwa orang puas dalam pekerjaan berhubungan dengan suasana kerja. Herzberg menamai orang yang dengan motivator, dan orang yang tidak puas dengan faktor higienis. Istilah higienis mengacu pada faktor-faktor yang bersifat mencegah (seperti dalam bidang kedokteran). Dalam teori Herzberg, faktor higienis adalah orang yang terhalang kepuasannya. Motivator dan higienis dikenal sebagai motivasi dua faktor Herzberg (Luthans, 2006, p283). Tabel 2.6 Teori Dua Faktor Herzberg Faktor Higienis
Motivator
Kebijakan dan administrasi perusahaan
Prestasi
Pengawasan, teknis
Penghargaan
55 Gaji
Pekerjaan itu sendiri
Hubungan antarpribadi, penyelia
Tanggung jawab
Kondisi kerja
Kemajuan
Sumber : Luthans, 2009, p283
a) Faktor Motivasi Faktor pemuas yang disebut juga motivator, merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri orang yang bersangkutan (intrinsik). Faktor ini menyangkut kebutuhan psikologis seseorang akan perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kursi yang empuk, penempatan yang tepat, dan sebagainya (Sutrisno, 2009, p143). b) Faktor Higienis Faktor ini merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, higienis ketentraman dan kesehatan (Sutrisno, 2009, p142). Faktor-faktor higienis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus- menerus karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Hilangnya faktor-faktor higienis ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya karyawan, bahkan dapat menyebabkan banyak karyawan yang keluar (Sutrisno, 2009, p142). Faktor-faktor higienis ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan, agar kepuasan dan kegairahan bekerja bawahan dapat ditingkatkan. Faktor-faktor
higienis
bukanlah
merupakan
motivasi
bagi
karyawan,
tetapi
56 merupakan keharusan yang harus diberikan pimpinan kepada mereka demi kesehatan dan kepuasan bawahan (Sutrisno, 2009, p142). 5. Clayton P. Aldefer dengan Teori ERG Peluasan lebih lanjut dari Herzberg dan terutama teori kepuasan dari motivasi kerja Maslow dilakukan oleh Clayton Alderfer. Dia merumuskan model kategori kebutuhan yang lebih sejalan dengan bukti empiris yang sudah ada. Dia merasa bahwa ada nilai dalam mengkategorikan kebutuhan dan bahwa ada perbedaan mendasar antara kebutuhan dengan urutan rendah dan kebutuhan dengan urutan lebih tinggi (Luhans, 2006, p285). Aldefer
mengidentifikasikan
tiga
kelompok
kebutuhan
:
eksistensi
(existence), hubungan (relatedness), dan perkembangan (growth), yang kemudian disebut teori ERG (Luthans, p285). a. Eksistensi (existence) Eksistensi merupakan kebutuhan seseorang untuk dapat dipenuhi dan terpelihara keberadaan yang bersangkutan sebagai seorang manusia ditengahtengah masyarakat atau perusahaan. Eksistensi ini meliputi kebutuhan psikologi (rasa lapar, haus, tidur) dan kebutuhan rasa aman. Oleh karena kebutuhan ini amat mendasar untuk dipenuhi dengan sebaik-baiknya, agar konsentrasi pikiran dan perhatian karyawannya terpusat untuk melaksanakan pekerjaan (Sutrisno, 2009, p148). b. Hubungan (relatedness) Hubungan merupakan keterkaitan antara sesseorang dengan lingkungan sosial sekitarnya. Setiap orang dalam hidup dan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang. Dalam teori ini hubungan mencakup semua kebutuhan yang melibatkan hubungan seseorang dengan orang lain. mereka akan terlibat dalam kegiatan saling menerima, pemberian pengertian, dan sebagainya yang merupakan
57 proses hubungan. Kebutuhan ini sebanding dengan kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial dan sebagaian kebutuhan prestise dalam teori Maslow. Seorang pemimpin yang mempunyai bawahan haruslah memerhatikan kebutuhan hubungan ini yang terdapat pada diri setiap orang, dan berupaya untuk memenuhinya dengan sempurna (Sutrisno, 2009, p148). c.
Perkembangan (growth) Kebutuhan akan pertumbuhan dan perkembangan ini merupakan kebutuhan
yang berkaitan dengan pengembangan potensi diri seseorang, seperti pertumbuhan kreativitas dan pribadi. Kebutuhan ini sebanding dengan dengan kebutuhan harga diri dan perwujudan diri. Dalam kebutuhan ini akan dikombinasikan kedua kebutuhan ini. Walaupun dilihat dari kebutuhan masing-masing yang amat berbeda. Akan tetapi, fokus perhatian dan perkembangan, maka cara pengkombinasian ini dapat diterima. Bila kebutuhan ini dapat dipenuhi, diikuti pribadi yang bersangkutan mendorong dirinya untuk secara penuh mengembangkan kapasitas pribadinya sendiri (Sutrisno, 2009, p148-149). Teori ini dimaksudkan untuk memperbaiki beberapa kelemahan teori Maslow. Dalam memodifikasi ini memanfaatkan kelima tingkat kebutuhan Maslow menjadi tiga macam kebutuhan saja. Untuk setiap orang perlu memenuhi tiga kebutuhan tersebut dengan sebaik-baiknya (Luhans, 2006, p285). Teori ERG ini membedakan dua hal dasar, yaitu (Sutrisno, 2009, p149): 1) Memecahkan kebutuhan-kebutuhan ke dalam tiga kategori : kebutuhan eksistensi (kebutuhan fundamental), kebutuhan hubungan (kebutuhan akan hubungan interpersonal), dan kebutuhan pertumbuhan (kebutuhan kreativitas personal atau pengaruh produktif). 2) Lebih penting menekankan bahwa bila kebutuhan yang lebih tinggi dikecewakan, kebutuhan yang lebih rendah walaupun sudah dipenuhi akan muncul kembali.
58 Rangkaian kategori ini telah berguna untuk mengukur berapa banyak kebutuhan yang ada pada seseorang pada suatu saat tertentu. Pendekatan ini mengakui kemungkinan bahwa tidak semua orang mempunyai kebutuhan dasar yang sama banyaknya. 6. Douglas McGregor dengan teori X dan Y McGregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia, pada dasarnya satu negatif yang ditandai sebagai teori X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y. setelah memandang cara para manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada suatu pengelompokan pengandaianpengandaian tertentu dan bahwa manajer cenderung mencetak perilakunya terhadap bawahannya menurut pengandaian-pengandaian ini (Robbins, 2006, p210). Prinsip teori X didasarkan pada pola pikir konvensional yang ortodoks, dan menyorot sosok negatif perilaku manusia. Teori ini memandang manusia dengan kaca mata gelap, dan buram, yang menganggap manusia itu (Sutrisno, 2009, p151): •
Malas dan tidak suka bekerja.
•
Kurang bisa bekerja keras, menghindar dari tanggung jawab.
•
Mementingkan diri sendiri, dan tidak mau peduli pada orang lain. karena itu bekerja lebih suka dituntun dan diawasi.
•
Kurang suka menerima perubahan, dan ingin tetap seperti dahulu.
Sedangkan prinsip umum teori Y amat jauh berbeda dengan teori X. Teori ini dapat dikatakan merupakan suatu revolusi pola pikir dalam memandang manusia secara optimis, karena itu disebut sebagai teori potensial. Maka teori Y memandang manusia itu pada dasarnya (Sutrisno, 2009, p151-152): •
Rajin, aktif dan mau mencapai prestasi bila kondisi konduktif.
•
Sebenarnya mereka dapat produktif, hanya perlu diberi motivasi.
•
Selalu ingin perubahan dan merasa jemu pada hal-hal yang monoton.
59 •
Dapat berkembang bila diberi kesempatan yang lebih besar. Kesimpulannya dari teori X dan Y adalah sebagai berikut (Sutrisno, 2009,
p152): •
Kedua teori ini pada dasarnya memang berlaku dan dapat kita terima dalam memandang manusia, tipe-tipe perilaku yang cocok dengan kedua teori tersebut.
•
Dalam memberi motivasi kepada bawahan, seorang pemimpin harus mempunyai kualifikasi bawahan, apakah mereka tipe X atau tipe Y, manusia tipe X memerlukan gaya kepemimpinan otoriter, sedangkan manusia Y memerlukan gaya kepemimpinan partisipatif.
2.4.4.2 Teori Motivasi Proses 1. Teori Harapan Vroom Yang pertama kali merumuskan teori harapan yang ditujukan untuk motivasi kerja adalah Victor Vroom. Vroom menyatakan teori harapan sebagai alternatif untuk model kepuasan. Ia menilai tidak ada penjelasan yang memadai terhadap proses motivasi kerja yang kompleks. Paling tidak dalam lingkaran akademis perilaku organisasi, teorinya menjadi penjelasan motivasi kerja yang populer dan terus menghasilkan penelitian (Luthans, 2006, p286). Model Vroom dibentuk di sekitar konsep valensi, dan harapan dan umumnya disebut teori VIE. Arti valensi bagi Vroom adalah kekuatan preferensi individu untuk hasil akhir tertentu. Istilah lain yang dapat digunakan adalah nilai, sikap, dan utilitas yang diharapkan. Agar valensi menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak memperolehnya sama sekali. Valensi nol terjadi saat individu mengabaikan hasil, valensi akan negatif saat individu lebih suka tidak memperoleh hasil daripada memperolehnya (Luthans, 2006, p286). Input utama dalam valensi adalah instrumen dari hasil level pertama untuk memperoleh hasil level kedua yang diinginkan. Misalnya, orang akan termotivasi
60 terhadap kinerja superior karena keinginan untuk dipromosikan. Kinerja superior dinilai sebagai instrumen untuk memperoleh promosi. Variabel lain dalam proses motivasional Vroom adalah harapan. Meskipun semua ahli teori psikologi sependapat bahwa harapan merupakan keadaan mental atau kognitif, tetapi terdapat sedikit persetujuan mengenai sifat keadaan tersebut. Meskipun secara sekilas konsep harapan mungkin mirip dengan instumentalitas pada valensi, tetapi ia sebenarnya sangat berbeda (Klein, 1989, p280). Harapan menghubungkan usaha dengan hasil level pertama, sementara instumentalitas menghubungkan hasil level pertama dengan hasil level kedua. Dengan kata lain, harapan dalam teori Vroom merupakan kemungkinan (berkisar dari 0 sampai 1) bahwa tindakan atau usaha tertentu akan mengakibatkan hasil level pertama tertentu. Instumentalitas mengacu pada tingkat dimana hasil level pertama akan mengakibatkan hasil level kedua yang diinginkan. Singkatnya, kekuatan motivasi untuk melakukan sebuah tindakan tertentu akan tergatung pada penjumlahan aljabar dari produk valensi untuk hasil akhir (yang mencakup instumentalis) dikalikan dengan harapan (Luthans, 2006, p287). Teori Vroom berasal dari teori kepuasan yang menggambarkan proses variabel kognitif yang mencerminkan perbedaan individu dalam motivasi kerja. Teori ini tidak berusaha mendeskripsikan kepuasan atau perbedaan individu. Setiap orang memiliki kombinasi unik dari valensi, instumentalis, dan harapan. Jadi, teori Vroom hanya mengindikasikan faktor penentu motivasi konseptual dan bagaimana faktorfaktor tersebut berhubungan. Teori tersebut tidak memberikan pembahasan spesifik mengenai apa yang memotivasi anggota organisasi, seperti yang dilakukan oleh model Maslow, Herzberg, dan Alderfer (Luthans, 2006, p287). Alasan utama model Vroom menjadi sebuah teori modern yang penting dari motivasi kerja dan telah menghasilkan begitu banyak penelitian adalah model
61 tersebut tidak menggunakan pendekatan sederhana. Teori kepuasan terlalu menyederhanakan motivasi manusia. Tetapi, teori kepuasan sangat populer di antara manajer berpengalaman karena konsepnya mudah dipahami dan diterapkan pada situasi mereka sendiri. Sebaliknya, teori VIE mengakui kompleksitas motivasi kerja, tetapi tidak banyak memberi bantuan praktis dalam memecahkan masalah motivasional, kecuali preskripsi sederhana seperti memastikan bahwa karyawan sepenuhnya mengetahui apa yang diharapkan dari mereka (Luthans, 2006, p286). 2. Model Porter-Lawler Porter dan Lawler memperbaiki dan memperluas model Vroom (misalnya, hubungan diekspresikan secara diagram dan bukan secara matematis, terdapat lebih banyak variabel, dan proses kognitif persepsi memainkan peranan utama) sehingga hubungan antara kepuasan dan kinerja dihubungkan secara langsung oleh model motivasi (Luthans, 2006, p288). Mereka memulai dengan premis bahwa motivasi (usaha dan kekuatan) tidak sama dengan kepuasan dan kinerja. Motivasi, kepuasan, dan kinerja merupakan variabel yang terpisah. Ketiganya dihubungkan dengan cara yang kompleks. Akan tetapi, yang penting Porter dan Lawler menunjukkan bahwa usaha (kekuatan dan motivasi) tidak secara langsung menghasilkan kinerja. Kinerja dihubungkan dengan kemampuan dan karakter serta persepsi peran. Yang lebih penting dalam model Porter dan Lawler adalah apa yang terjadi setelah kinerja. Penghargaan yang menyusul dan bagaimana penghargaan dinilai akan menentukan kepuasan (Luthans, 2006, p288). Dengan kata lain, model Porter dan Lawler menyatakan sesuatu yang berbeda dari pemikiran tradisional dimana biasanya dikatakan
bahwa kinerja
menghasilkan kepuasan. Model ini mendapat dukungan penelitian selama bertahuntahun. Misalnya, studi lapangan menemukan bahwa level usaha dan arah usaha
62 merupakan hal penting dalam menjelaskan kinerja inividu dalam organisasi. Tinjauan yang komprehensif terhadap penelitian juga membuktikan pentingnya penghargaan berkenaan dengan kinerja dan kepuasan. Secara khusus, disimpulkan bahwa hubungan antara kinerja dan kepuasan akan lebih erat saat penghargaan dihubungkan dengan kinerja (Luthans, 2006, p288-289). 2.4.4.3 Teori Kontemporer dari Motivasi Kerja 1. Teori Ekuitas dan keadilan organisasi Secara sederhana teori ini berpendapat bahwa input utama dalam kinerja dan kepuasan adalah tingkat ekuitas (atau inekuitas) yang diterima seseorang dalam pekerjaan mereka. Inekuitas terjadi jika rasio input hasil seseorang dan rasio input hasil orang lain tidak sama. Secara skematis, hal tersebut dijelaskan sebagai berikut (Luthans, 2006, p290-291): •
(Hasil seseorang/input seseorang) < (hasil orang lain/input orang lain)
•
(Hasil seseorang/input seseorang) > (hasil orang lain/input orang lain)
Sedangkan ekuitas terjadi saat : •
(Hasil seseorang/input seseorang) = (hasil orang lain/input orang lain) Input dan output (hasil kerja) seseorang dan orang lain didasarkan pada
persepsi seseorang. Usia, jenis kelamin, status sosial, posisi organisasi, kualifikasi, dan seberapa keras orang bekerja merupakan contoh variabel input yang dinilai. Hasil meliputi berbagai penghargaan seperti gaji, status, promosi, dan minat intrinsik dalam pekerjaan. Pada pokoknya. Rasio didasarkan pada persepsi seseorang atas apa dan yang mereka terima (Luthans, 2006, p291). Jika rasio yang dinilai seseorang tidak sama dengan orang lain, maka orang tersebut akan berjuang untuk memulihkan rasio ekuitas. “Perjuangan” untuk memulihkan ekuitas digunakan sebagai penjelasan motivasi kerja. Kekuatan motivasi ini searah dengan inekuitas yang dirasakan. Untuk memulihkan ekuitas orang dapat
63 mengubah input atau hasil (Luthans, 2006, p291). Perkembangan teori terbaru menentukan bahwa teori ekuitas dapat diperluas menjadi apa yang disebut keadilan organisasi. Teori ekuitas berfungsi sebagai fondasi keadilan pada dimensi-dimensi keadilan (Luthans, 2006, p293). 2.5 Kinerja 2.5.1 Pengertian Kinerja Kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan (Mathis, 2006, p378). Sedangkan Gibson (1996, p70) mengemukakan bahwa
performance (prestasi) adalah hasil yang diinginkan dari perilaku. Kinerja menurut Simanjuntak (2005, p10), adalah kemampuan dan keterampilan melakukan kerja. Kompetensi setiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor: Kemampuan dan keterampilan kerja, motivasi dan etos kerja. Menurut Mangkunegara (2000, p67), kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance yang artinya hasil kerja secara kualitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja adalah hasil kerja individu atau kelompok dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan periode waktu yang telah ditetapkan. Kelompok atau organisasi terdiri dari beberapa individu, sehingga kinerja individu akan mempengaruhi kinerja kelompok atau organisasi. Kinerja merupakan terjemahan dari kata performance. Menurut Robbins (2005, p226) kinerja adalah hasil akhir kegiatan. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan (apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya). Juga dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah motivasinya. Hasibuan (2003, p94) mengemukakan “kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan kepadanya yang
64 didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Kinerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas pelaksanaan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Menurut Cushway (2002, p198) Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan. Dan menurut Rivai ( 2003, p309) mengemukakan kinerja adalah merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Menurut Mathis (2006, p113-114), kinerja para karyawan individual adalah faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi. Selain karyawan dapat menjadi keunggulan bersaing, mereka juga dapat menjadi liabilitas atau penghambat. Ketika karyawan terus menerus meninggalkan perusahaan dan ketika karyawan bekerja namun tidak efektif, maka sumber daya menempatkan organisasi dalam keadaan merugi. Kinerja individu, motivasi, dan retensi karyawan merupakan faktor utama bagi organisasi untuk memaksimalkan efektivitas sumber daya manusia. 2.5.2 Pengertian Manajemen Kinerja Menurut Simanjuntak (2005,p1) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen dan Evaluasi Kinerja”, Manajemen Kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja diperusahaan tersebut. Dalam buku Mathis (2006, p377), sistem manajemen kinerja terdiri atas proses untuk
mengidentifikasi,
mendorong,
mengukur,
mengevaluasi,
meningkatkan,
dan
memberikan penghargaan atas kinerja karyawan. Dalam
bukunya
yang
berjudul
”Manajemen
Kinerja”
(2007,
p7)
Wibowo
mendefinisikan manajemen kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan dan
65 memastikan komunikasi yang efektif. Manajemen kinerja memfokuskan pada apa yang diperlakukan oleh organisasi, manajer, dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah tentang bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses. Menurut pendapat Cushway (2002, p87) definisi manajemen kinerja adalah : suatu proses manajemen yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisasi dengan tujuan individu sedemikian rupa, sehingga baik tujuan individu maupun tujuan korporasi dapat bertemu. Ada asumsi yang perlu digarisbawahi, yaitu jika sesorang merasa puas karena tujuannya tercapai dan pada saat yang bersamaan ikut serta dalam pencapaian organisasi, maka dia akan benar-benar termotivasi dan akan mendapatkan kepuasan yang lebih besar. Asumsi ini juga merupakan inti dari manajemen sumber daya manusia (MSDM). 2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Gibson (2003, p39), ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu: 1. Variabel individual, terdiri dari : kemampuan dan keterampilan (mental dan fisik), latar belakang (keluarga, tingkat social), penggajian dan demografis (umur, asalusul, jenis kelamin) 2. Variabel organisasional, terdiri dari : sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur desain pekerjaan 3. Variabel psikologis, terdiri dari : persepsi, sikap, kepribadian, belajar, motivasi. 2.5.4 Pengertian Evaluasi Kinerja Penilaian/evaluasi kinerja ( performance appraisal ) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Menurut Wahyudi (2002, p101) penilaian
66 kinerja adalah suatu evaluasi yang dilakukan secara periodik dan sistematis tentang prestasi kerja / jabatan seorang tenaga kerja, termasuk potensi pengembangannya. Menurut Simamora (2004, p338) penilaian kinerja adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan. Sedangkan menurut Russell (2003, p379) ”A way of measuring the contribution of individuals to their
organization”. Penilaian kinerja adalah cara mengukur kontribusi individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja. Sedangkan menurut Handoko (2001, p99), penilaian kinerja adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Menurut Simanjuntak (2005, p20), evaluasi kinerja adalah satu sistem dan cara penilaian hasil kerja suatu perusahaan atau organisasi dan penilaian pencapaian hasil kerja setiap individu yang bekerja didalam dan untuk perusahaan tersebut. Evaluasi kinerja terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: •
Mengumpulkan dan menyeleksi informasi.
•
Mendeskripsikan dan menginterpretasikan data.
•
Mengembangkan dan mengkaji informasi.
•
Menarik kesimpulan.
Dalam prakteknya, interaksi positif yang dimaksud melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu bagian kepegawaian, atasan langsung, dan pegawai yang dinilai. Bentuk interaksi itu adalah ketiga pihak yang terlibat harus memahami bahwa penilaian prestasi kerja merupakan suatu sistem yang bukan saja harus efektif, melainkan juga harus diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud dengan sistem penilaian prestasi kerja adalah suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja karyawan yang didalamnya terdapat beberapa faktor. 1) Yang dinilai adalah manusia yang disamping memiliki kemampuan tertentu juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan.
67 2) Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolok ukur tertentu yang realistik, berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta kriteria yang ditentukan dan diterapkan secara obyektif. 3) Hasil penilaian harus disampaikan kepada karyawan yang dinilai dengan 3 (tiga) tujuan : •
Dalam hal penilaian tersebut positif, menjadi dorongan kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi di masa yang akan datang sehingga kesempatan meniti karir lebih terbuka baginya.
•
Dalam hal penilaian tersebut bersifat negatif, pegawai dengan demikian dapat mengetahui kelemahannya sehingga dapat mengambil berbagai langkah yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan tersebut.
•
Jika seorang merasa mendapat penilaian yang tidak obyektif, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatannya sehingga pada akhirnya ia dapat memahami dan menerima hasil penilaian prestasi kerja yang diperolehnya.
4) Hasil penilaian yang dilakukan secara berkala itu terdokumentasikan dengan rapi dalam arsip kepegawaian setiap orang sehingga tidak ada informasi yang hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai. 5) Hasil penilaian prestasi kerja setiap orang menjadi bahan yang selalu turut dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang diambil mengenai mutasi pegawai, baik dalam arti promosi, alih tugas, alih wilayah, emosi, maupun dalam pemberhentian tidak atas permintaan sendiri. 2.5.5 Unsur-unsur Evaluasi Kinerja Menurut Mathis (2006, p378), kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: •
Kuantitas dari hasil
68 Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam persentase atau indeks. •
Kualitas dari hasil Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba.
•
Waktu dan kecepatan dari hasil Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukkan. Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian.
•
Kehadiran atau absensi
•
Kemampuan bekerja sama
•
Rasa dapat dipercaya Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan Agus Dharma dalam bukunya
Manajemen Supervisi (2003, p355) yang mengatakan bahwa hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. 2) Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3) Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
69 Sedangkan menurut Ruky (2002, p210) pendekatan penilaian kinerja berdasarkan kajian input-proses-output sebagai berikut. 1) Kinerja berorientasi input. Sistem ini merupakan cara tradisional yang menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan. Karakteristik yang banyak dijadikan objek pengukuran adalah misalnya kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, kreativitas, adaptasi, komitmen sopan santun dan lain-lain. 2) Kinerja berorientasi proses. Melalui sistem ini, kinerja atas prestasi karyawan diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. 3) Kinerja berorientasi output. Sistem ini biasa juga disebut sistem manajemen kinerja yang berbasiskan pencapaian sasaran kerja individu. Sistem ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai oleh karyawan. Sistem ini berbasis pada metode manajemen kinerja berbasiskan pada konsep manajemen berdasarkan sistem. Sedangkan menurut Russell (2003, p135) ukuran-ukuran kinerja yaitu sebagai berikut : 1) Quantity of Work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan. 2) Quality of Work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya. 3) Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya. 4) Creativeness : keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. 5) Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi.
70 6) Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja. 7) Initiative
:
semangat
untuk
melaksanakan
tugas-tugas
baru
dan
dalam
memperbesar tanggung jawabnya. 8) Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan dan integritas pribadi. 2.5.6 Manfaat Evaluasi Kinerja Menurut Hartoyo sebagaimana yang dikutip oleh Handoko (2001, p92) terdapat 10 (sepuluh) manfaat dari penilaian kerja adalah : 1. Perbaikan prestasi kerja, yaitu umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatankegiatan mereka demi perbaikan prestasi kerja. 2. Penyesuaian kompensasi, yaitu evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya. 3. Keputusan penempatan, yaitu promosi, transfer dan demosi (penurunan jabatan) biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan terhadap prestasi kerja masa lalu. 4. Kebutuhan latihan dan pengembangan, yaitu prestasi kerja yang tidak baik menunjukkan kebuthan akan suatu training (pelatihan). 5. Perencanaan dan pengembangan karier, yaitu umpan balik prestasi kerja seorang karyawan dapat mengarahkan keputusan karier, yaitu tentang jalur karir yang harus ditempuh. 6. Penyimpangan proses staffing, yaitu prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.
71 7. Ketidakakuratan informasi, yaitu prestasi kerja yang tidak baik menunjukkan kesalahan dalam informasi analisis jabatan, perencanaan sumber daya manusia, dan sistem informasi manajemen personalia yang lain. 8. Kesalahan desain pekerjaan, yaitu penilaian prestasi kerja membantu penyelesaian kesalahan dalam desain pekerjaan. 9. Kesempatan kerja yang adil, yaitu penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi. 10. Tantangan eksternal, terkadang prestasi kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar lingkungan kerja seperti keluarga, kondisi finansial. Dengan penilaian prestasi kerja tersebut, memungkinkan departemen personalia memberikan bantuan kepada karyawan yang memerlukan. Dessler (Sirait, 2006, p129), menyebutkan beberapa alasan pentingnya penilaian kinerja, yaitu : 1. memberikan informasi untuk keputusan promosi dan gaji. 2. memberikan peluang kepada karyawan itu sendiri dan supervisornya untuk meninjau perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. 3. penilaian prestasi kerja merupakan pusat bagi proses perencanaan karir. Sementara itu, Werther dan Davis (Sirait, 2006, p129) menyebutkan manfaat atau kegunaan penilaian kinerja, sebagai berikut: 1) Memperbaiki prestasi kerja. Prestasi yang sudah baik harus ditingkatkan lagi dan prestasi yang buruk harus segera diperbaiki. Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan dapat memperbaiki prestasi kerja mereka. 2) Dapat melakukan penyesuian kompensasi. Kompensasi tidak boleh statis, tetapi harus bersifat dinamis, yaitu dinamis dalam pengertian menurut harga pasar dan kontingensi (dihubungkan dengan
72 prestasi karyawan masing-masing). Pembayaran akan memotivasi karyawan, jika pembayaran tersebut sesuai dengan prestasi kerjanya. 3) Bahan pertimbangan penempatan. Promosi, transfer dan demosi biasanya didasarkan pada prestasi kerja masa lalu atau antisipasinya. Promosi sering merupakan bentuk penghargaan trehadapa prestasi kerja masa lalu. 4) Menetapkan kebutuhan latihan dan pengembangan. Melalui penilaian pretasi kerja, perusahaan dapat menetapkan materi latihan dan pengembangan. 5) Membantu perencanaan dan pengembangan karir karyawan. Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu 6) Dapat mengetahui kekurangan-kekurangan dalam proses penempatan staf. Prestasi kerja yang baik atau jelek mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing. 7) Dijadikan patokan dalam menganalisis informasi analisis jabatan. Uraian jabatan belum tentu baik, jadi dengan penilaian prestasi kerja, perusahaan dapat menganalisis uraian jabatan yang telah disusun. 8) Mendiagnosis kesalahan-kesalahan rancangan jabatan. Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan pertanda kesalahan dalam desain pekerjaan. 9) Mencegah adanya diskriminasi. Penilaian prestasi kerja secara akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal dapat diambil tanpa diskriminasi.
73 Manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar mereka mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam manfaat penilaian kinerja adalah (Rivai, 2003, p55): 1) Manfaat bagi karyawan yang dinilai. Bagi karyawan yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja adalah antara lain: -
Meningkatkan motivasi.
-
Meningkatkan kepuasan kerja.
-
Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan mereka.
-
Umpan balik dari kinerja lalu yang akurat dan konstruktif.
-
Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi besar.
-
Pengembangan
perencanaan
untuk
meningkatkan
kinerja
dengan
membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal mungkin. -
Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas.
2) Manfaat bagi penilai (Supervisor). -
Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan kinerja karyawan untuk perbaikan manajemen selanjutnya
-
Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang pekerjaan individu dan departemen yang lengkap.
-
Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik untuk pekerjaan manajer sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya.
-
Identifikasi gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi.
-
Peningkatan kepuasan kerja.
-
Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut, rasa grogi, harapan dan aspirasi mereka.
74 -
Meningkatkan kepuasan kerja, baik dari para supervisor maupun dari para karyawan.
3) Manfaat bagi perusahaan -
Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan, karena: a) Komunikasi menjadi lebih efektif mengenai tujuan perusahaan dan nilai budaya perusahaan. b) Peningkatan rasa kebersamaan dan loyalitas. c) Peningkatan
kemampuan
dan
kemauan
manajer
untuk
menggunakan keterampilan atau keahlian memimpinnya untuk memotivasi
karyawan
dan
mengembangkan
kemauan
dan
keterampilan karyawan -
Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan oleh masing-masing karyawan.
-
Meningkatkan kualitas komunikasi.
-
Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan.
-
Meningkatkan keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan perusahaan.
-
Peningkatan segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan oleh karyawan.
-
Harapan dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan.
2.6 Organisasi Nirlaba 2.6.1 Pengertian Organisasi Nirlaba Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi berbagai yayasan, gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal
75 perundang-undangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para petugas pemerintah (Wikipedia). Selain itu perlu diketahui bahwa konsep-konsep stratejik yang sudah lama dimanfaatkan organisasi profit dapat diaplikasikan di dalam organisasi non profit. Pengaplikasian
tersebut,
lingkungannya,
membuat
diperuntukan
penyesuaian
keputusan-keputusan
organisasi
efektif
secara
non
profit
stratejik,
dengan
menangani
perubahan-perubahan, menciptakan keunggulan komparatif, dan meningkatkan peranan kerjasama dengan organisasi profit. Akan tetapi, dalam pengaplikasiannya tetap memerlukan adaptasi dari karena organisasi profit tidaklah tepat sama dengan organisasi non profit. Adaptasi mematahkan ungkapan setiap sesuatu adalah sama dengan dirinya sendiri (Mulyana, 2007). Menurut Mulyana (2007) pengaplikasian konsep stratejik pada organisasi non profit dilakukan dengan empat pedoman, yaitu : 1. Mengembangkan misi organisasi non profit secara jelas. 2. Mengidentifikasi publik sasaran. 3. Menciptakan deskripsi organisasi non profit yang mampu mengkomunikasikan misi kepada publik. 4. Fokus menciptakan kepuasan publik sasaran. Selanjutnya beberapa aktifitas yang menempatkan organisasi non profit bekerjasama secara menguntungkan dapat dilakukan, yaitu: membuat proyek bersama, menyelenggrakan forum atau meja bundar dengan sponsor bersama untuk mengkaji isu-isu pokok, membentuk koalisi aktif, mengembangkan program pertukaran kerja antara organisasi non profit dengan para praktisi. Pengaplikasian konsep stratejik pada organisasi non profit memenuhi kebutuhan desakan untuk melibatkan diri dalam pemasaran kewirausahaan dan keterampilan manajemen.
Pengaplikasian
tersebut,
membuahkan hasil pertumbuhan yang pesat
penggunaan perencanaan stratejik yang memperluas wawasan manajemen pada istilah
76 scanning lingkungan. Singkatnya, dengan mengaplikasikan konsep stratejik organisasi non profit berlangsung efektif dan efisien secara menguntungkan (Mulyana, 2007). Dan di dalam pengelolaan organisasi nirlaba dan kriteria-kriteria pencapaian kinerja organisasi tidak berdasar pada pertimbangan ekonomi semata, tetapi sejauhmana masyarakat yang dilayaninya diberdayakan sesuai dengan konteks hidup dan potensi-potensi kemanusiaannya. Sifat sosial dan kemanusiaan sejati merupakan ciri khas pelayanan organisasi-organisasi nirlaba. Manusia menjadi pusat sekaligus agen perubahan dan pembaruan
masyarakat
untuk
mengurangi
kemiskinan,
menciptakan
kesejahteraan,
kesetaraan gender, keadilan, dan kedamaian, bebas dari konfilk dan kekerasan. Kesalahan dan kurang pengetahuan dalam mengelola organisasi nirlaba, justru akan menjebak masyarakat hidup dalam kemiskinan, ketidakberdayaan, ketidaksetaraan gender, konflik dan kekerasan sosial. Pengelolaan organisasi nirlaba, membutuhkan kepedulian dan integritas pribadi dan organisasi sebagai agen perubahan masyarakat, serta pemahaman yang komprehensif dengan memadukan pengalaman-pengalaman konkrit dan teori manajemen yang handal, unggul dan mumpuni, sebagai hasil dari proses pembelajaran bersama masyarakat (Wirjana, 2008) 2.6.2 Perbedaan organisasi nirlaba dengan organisasi laba Banyak hal yang membedakan antara organisasi nirlaba dengan organisasi lainnya (laba). Dalam hal kepemilikan, tidak jelas siapa sesungguhnya ’pemilik’ organisasi nirlaba, apakah anggota, klien, atau donatur. Pada organisasi laba, pemilik jelas memperoleh untung dari hasil usaha organisasinya. Dalam hal donatur, organisasi nirlaba membutuhkannya sebagai sumber pendanaan. Berbeda dengan organisasi laba yang telah memiliki sumber pendanaan yang jelas, yakni dari keuntungan usahanya. Dalam hal penyebaran tanggung jawab, pada organisasi laba telah jelas siapa yang menjadi Dewan Komisaris, yang kemudian memilih seorang Direktur Pelaksana. Sedangkan pada organisasi nirlaba, hal ini tidak mudah dilakukan. Anggota Dewan Komisaris bukanlah ’pemilik’ organisasi (Wikipedia).
77 2.6.3 Pajak bagi organisasi nirlaba Banyak yang bertanya, apakah organisasi nirlaba, yang mana mereka tidak mengambil keuntungan dari apapun, akan dikenakan pajak. Sebagai entitas atau lembaga, maka organisasi nirlaba merupakan subyek pajak. Artinya, seluruh kewajiban subyek pajak harus dilakukan tanpa terkecuali. Akan tetapi, tidak semua penghasilan yang diperoleh yayasan merupakan obyek pajak (Wikipedia). Pemerintah Indonesia memperhatikan bahwa badan sosial bukan bergerak untuk mencari laba, sehingga pendapatannya diklasifikasikan atas pendapatan yang obyek pajak dan bukan obyek pajak. Namun dibanyak negara, organisasi nirlaba boleh melamar status sebagai bebas pajak, sehingga dengan demikian mereka akan terbebas dari pajak penghasilan dan jenis pajak lainnya (Wikipedia) 2.6.4 Organisasi nirlaba di negara lain a. Kerajaan Inggris Di Inggris dan Wales, organisasi nirlaba yang mengambil format derma biasanya harus dicatatkan didalam Komisi Pengawasan Derma. Di Skotlandia, Kantor Pengatur Derma Skotlandia juga melayani fungsi yang sama. Berbeda dengan organisasi nirlaba di Amerika Serikat, seperti serikat buruh, biasanya tunduk kepada peraturan yang terpisah, dan tidak begitu dihormati sebagaimana halnya derma dalam hal pengertian teknis (Wikipedia). b. Amerika Serikat Perkembangan organisasi nirlaba di Amerika Serikat telah sangat jauh lebih maju dibanding Indonesia, terutama dalam bidang keagamaan. Amandemen Pertama Amerika Serikat menjamin kebebasan beragama bagi masyarakatnya. Bagaimanapun, organisasi nirlaba relijius seperti gereja, tunduk kepada lebih sedikit sistem pelaporan pemerintah pusat dibanding dengan banyak organisasi lain.Dalam hal perpajakan, organisasi nirlaba
78 relijius di Amerika Serikat juga dikecualikan dari beberapa pemeriksaan ataupun peraturan, yang membedakannya dengan organisasi non relijius (Wikipedia). 2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Sibarani dengan judul “Peran kepribadian model lima faktor (big five) dan motivasi kebutuhan McCleland terhadap unjuk kerja agen asuransi jiwa” ditemukan bahwa hanya kepribadian Extraversion saja yang berperan terhadap unjuk kerja agen asuransi jiwa, sedangkan kepribadian Agreeableness,
Conscientiousness, Emotional Stability, dan Openness to Experience tidak berperan terhadap unjuk kerja agen asuransi jiwa. Ketiga kebutuhan McClelland juga ditemukan tidak berperan terhadap unjuk kerja agen asuransi jiwa. Pada penelitian ini juga dikaji mengenai kelima model kepribadian Big five dan ketiga kebutuhan McClelland terhadap unjuk kerja task dan unjuk kerja contextual agen asuransi jiwa dan hubungan antara kepribadian Big five dengan ketiga kebutuhan McClelland. Selain itu ditemukan pula korelasi yang signifikan antara kepribadian Extraversion, kepribadian
Agreeableness dan kepribadian Openness to Experience I Intellect dengan kebutuhan berprestasi I Need for Achievement, kebutuhan berafiliasi I Need for Affiliation dan kebutuhan berkuasa I Need for Power. Di dalam penelitian ini juga ditemukan skor kebutuhan berkuasa I Need for Power agen asuransi jiwa pria ternyata lebih tinggi daripada agen asuransi jiwa wanita sedangkan kebutuhan berprestasi I Need for Achievement dan kebutuhan berafiliasi I Need for Power tidak terdapat perbedaan skor antara agen pria dan wanita. Demikian pula halnya dengan agen yang menikah dan belum menikah tidak ditemukan adanya perbedaan skor pada ketiga kebutuhan motivasi McClelland tersebut. Selain itu dikatakan juga bahwa sudah banyak penelitian yang mengkaji hubungan antara kepribadian Big five dengan unjuk kerja maupun motivasi kebutuhan McClelland terhadap unjuk kerja namun dari sekian banyak penelitian tersebut masih ditemukan kesamaan maupun perbedaan (2009).
79 Dan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Baird dengan judul “Cognitive Self-
Regulation In Youth With and Without Learning Disabilities : Academic Self Efficacy, Theories of Intelligence, Learning Vs. Performance Goal Preferences, and Effort Attribution” menemukan bahwa seseorang dengan kemampuan belajar yang rendah memiliki nilai efikasi diri, teori intelegensi, tujuan akademis, dan usaha yang rendah pula. Di dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa teori intelegensi dan efikasi diri terbukti mempengaruhi tujuan akademis dan atribusi kemampuan dari seseorang. Selain itu juga ditemukan bahwa efikasi diri memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar dan kinerja (2009). Selain itu di dalam penelitian yang berjudul “Self-Efficacy : A Concept Analysis” yang dilakukan oleh Zulkosky yang menjelaskan secara mendalam mengenai konsep efikasi diri menjelaskan bahwa efikasi diri mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasa, memotivasi dirinya sendiri dan bagaimana seseorang bertindak (2009). Ditambah lagi sampai saat ini 9 meta-analisis skala besar (gabungan dari berbagai analisis yang meneliti satu variabel sama dengan responden dalam skala besar bahkan sampai ribuan) secara konsisten menunjukkan bahwa efikasi memberikan kontribusi pada tingkat motivasi dan kinerja secara signifikan (Luthans, 2006, p337). Dan di dalam penelitian berjudul “Pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap prestasi kerja pegawai CPP network di Magelang” yang dilakukan oleh Wiyono dimana penelitian ini menitikberatkan pada jenis penelitian penjelasan yang artinya menyoroti pengaruh variabel-variabel yang diteliti dan menguji hipotesa yang dirumuskan. Sedangkan datanya di peroleh dari responden yang merupakan karyawan / pegawai di CPP
Network dengan jabatan sebagai programmer dan station manajer yang berjumlah 38 responden dari seluruh popuplasi yang berjumlah 60 orang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap prestasi kerja pegawai di CPP network. Hubungan variabel-variabel tersebut dapat
80 dilihat dari t hitung x2 (disiplin) > t tabel x2 (disiplin) dengan sig : 0,000. Artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara disiplin kerja terhadap prestasi kerja. F hitung > F tabel dengan sig : 0,000 , koefisien R2 = 0,477 variabel motivasi dan disiplin kerja secara bersama-sama mampu menjelaskan variasi dari variabel independen sebesar 47,7% . Dengan melihat hasil signifikansinya dimana sig untuk x1 (motivasi) = 0,133 dan sig untuk x2 (disiplin) = 0,000 , untuk itu antara x1 (motivasi) dan x2 (displin) dapat terlihat bahwa disiplin kerja mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap prestasi kerja karyawan dibandingkan dengan motivasi kerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara motivasi dan disiplin kerja terhadap prestasi kerja pegawai CPP Network di Magelang , secara bersama-sama. 2.8 Kerangka Pemikiran Kepribadian (X1) •
Kesungguhan
•
Stabilitas emosi
•
Sifat menyenangkan
•
Ektraversi
•
Terbuka pada pengalaman
Efikasi Diri (X2) •
Inisiatif (Initiative)
•
Usaha (Effort)
•
Ketahanan (Persistence)
Motivasi (Y) •
Kebutuhan untuk
Kinerja (Z) •
Kuantitas dari hasil
•
Kualitas dari hasil
•
Ketepatan waktu dari hasil
•
Kehadiran
•
Kemampuan bekerja sama
berprestasi •
Kebutuhan Keamanan
•
Kebutuhan akan kekuasaan
•
Kebutuhan akan status
•
Kebutuhan akan Afiliasi
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
81 2.9 Hipotesis Menurut Sugiyono (2005, p51), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Ho : tidak ada pengaruh atau hubungan antar variabel. Ha : terdapat pengaruh atau hubungan atar variabel. Berdasarkan dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta tinjauan pustaka, maka kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Untuk T - 1 Ho : Variabel Kepribadian (X1) dan Efikasi diri (X2) tidak berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Motivasi (Y). Ha : Variabel Kepribadian (X1) dan Efikasi diri (X2) berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Motivasi (Y). 2. Untuk T - 2 Ho : Variabel Kepribadian (X1), Efikasi diri (X2) dan Motivasi (Y) tidak berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Kinerja (Z). Ha : Variabel Kepribadian (X1), Efikasi diri (X2) dan Motivasi (Y) berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap variabel Kinerja (Z).