BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Brand Trust 2.1.1.1 Konsep Brand Trust Menurut Delgado (2003), Brand Trust (kepercayaan merek) adalah perasaan aman yang dimiliki konsumen akibat dari interaksinya dengan sebuah merek, yang berdasarkan persepsi bahwa merek tersebut dapat diandalkan dan bertanggung jawab atas kepentingan dan keselamatan dari konsumen. Dimensi Brand Trust Kepercayaan merek adalah harapan akan kehandalan dan intensi baik merek. Berdasarkan definisi ini kepercayaan merek merefleksikan 2 komponen penting yaitu: •
Brand reliabity atau kehandalan merek yang bersumber pada keyakinan konsumen bahwa produk tersebut mampu memenuhi nilai yang dijanjikan atau dengan kata lain persepsi bahwa suatu merek tersebut mampu memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan. Brand reliabilty merupakan hal yang esensial bagi terciptanya kepercayaan terhadap merek karena kemampuan merek memenuhi nilai yang dijanjikannya akan membuat konsumen menaruh rasa yakin akan kepuasan yang sama di masa depan.
•
Brand intention
didasarkan pada keyakinan konsumen bahwa merek tersebut
mampu mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah dalam konsumsi produk muncul secara tidak terduga. Kedua komponen kepercayaan merek bersandar pada penilaian konsumen yang subyektif atau didasarkan pada beberapa persepsi yaitu:
1. Persepsi konsumen terhadap manfaat yang dapat diberikan produk/merek Delgado (2003) 2. Persepsi konsumen akan reputasi merek, persepsi konsumen akan kesamaan kepentingan
dirinya dengan penjual, dan persepsi mereka pada sejauh mana
konsumen dapat
mengendalikan penjual dan persepsi (Walzuch, 2001; Teltzrow
et.al.,2007). Menurut Lau dan Lee (1999: p44), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut ialah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan konsumen. Selanjutnya Lau dan Lee memproposisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek. Hubungan ketiga faktor tersebut dengan kepercayaan merek dapat digambarkan sebagai berikut.
Brand charateristic mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pengambilan keputusan konsumen untuk mempercayai suatu merek. Hal ini disebabkan oleh konsumen melakukan penilaian sebelum membeli. Karakteristik merek yang berkaitan dengan kepercayaan merek meliputi dapat diramalkan, mempunyai reputasi, dan kompeten.
Company charateristic yang ada dibalik suatu merek juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada dibalik merek suatu produk merupakan dasar awal pemahaman konsumen terhadap merek suatu produk. Karakteristik ini meliputi reputasi suatu perusahaan, motivasi perusahaan yang diinginkan, dan integritas suatu perusahaan.
Consumer - Brand
charateristic merupakan dua
kelompok
yang
saling
mempengaruhi. Oleh sebab itu karakteristik konsumen - merek dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara konsep emosiona l
9
konsumen dengan kepribadian merek, kesukaan terhadap merek, dan pengalaman terhadap merek. Konsep diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga seringkali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang. Suatu merek dapat memiliki kesan atau kepribadian. Kepribadian merek ialah asosiasi yang terkait dengan merek yang diingat oleh konsumen dan konsumen dapat menerimanya. Konsumen seringkali berinteraksi dengan merek seolah-olah merek tersebut adalah manusia. Dengan demikian, kesamaan antara konsep diri manusia dengan kepribadian merek sangat berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. (BULETIN STUDI EKONOMI p187-188 volume 13 nomor 2 tahun 2008). Penelitian tentang kepercayaan oleh Lau dan Lee (2000) menyatakan bahwa variabel itu menjadi variabel mediasi antara brand predictability, kesukaan terhadap merek, kompetensi merek, reputasi merek dan kepercayaan terhadap perusahaan dengan variabel loyalitas terhadap merek. Kepercayaan konsumen dalam literature marketing merupakan konsep yang terkait dengan persepsi konsumen. Namun, konsep ini masih terbatas referensinya. Salah satu penjelasan teoritis tentang kepercayaan terhadap merek adalah yang dikemukakan oleh Assael (1998), dimana kepercayaan terhadap merek adalah komponen kognitif dari perilaku. Kepercayaan dan loyalitas konsumen pada suatu merek tidak terlepas dari tingkat keterlibatan konsumen terhadap produk tersebut. Pada kondisi yang high involvement, konsumen lebih membutuhkan informasi, evaluasi merek dan proses perbandingan antar merek untuk menghindari resiko dan mengurangi kegagalan kinerja suatu produk. Pada kondisi yang low involvement, konsumen juga melakukan pencarian informasi, namun proses tersebut dilakukan secara terbatas dan evaluasi terhadap merek kadang bisa tidak dilakukan. Dengan demikian pertimbangan yang matang merupakan faktor penentu terbentuknya kepercayaan pada merek dan loyalitas merek. Kepercayaan konsumen dapat juga terbentuk
10
melalui pesan iklan yang jujur dan tidak bersifat deceptive (memperdaya). (Telaah manajemen Vol 2 No. 2/ November/ 2007: p133). Menurut Deutsch (dalam Lau dan Lee, 2000), kepercayaan adalah harapan dari pihak-pihak dalam sebuah transaksi dan resiko yang terkait dengan perkiraan dan perilaku terhadap harapan tersebut. Assael (1998) mengemukakan bahwa dalam mengukur kepercayaan terhadap merek diperlukan penentuan atribut dan keuntungan dari sebuah merek. Pembahasan tentang kepercayaan terhadap merek akan lebih lengkap dengan menjelaskan tentang 3 komponen sikap : •
Kepercayaan sebagai komponen kognitif. Kepercayaan konsumen tentang merek adalah karakteristik yang diberikan konsumen pada sebuah merek. Seorang pemasar harus mengembangkan atribut dan keuntungan dari produk untuk membentuk kepercayaan terhadap merek ini.
•
Komponen afektif, evaluasi terhadap merek. Sikap konsumen yang kedua adalah evaluasi terhadap merek. Komponen ini mereprensentasikan evaluasi konsumen secara keseluruhan terhadap sebuah merek. Kepercayaan konsumen terhadap sebuah merek bersifat multi dimensional karena hal itu diterima di benak konsumen.
•
Komponen konatif, niat melakukan pembelian. Komponen ketiga dari sikap adalah dimensi konatif yaitu kecenderungan konsumen untuk berperilaku terhadap objek, dan hal ini diukur dengan niat untuk melakukan pembelian. Menurut Gurviez dan Korchia (2003) ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi dari
variabel kepercayaan, yaitu: •
Kepercayaan dan komitmen merupakan variabel yang terpenting dan strategis untuk menjaga hubungan jangka panjang antar partner industri dan bisnis.
11
•
Penjelasan dari variabel kepercayaan dan komitmen dalam hubungan antara perusahaan dan konsumen, memberikan suplemen pada teori ekonomi khususnya tentang biaya transaksi.
•
Kesulitan terbesar dalam mengkonsepsikan kepercayaan adalah pada dasar kognitif maupun afektif. Penelitian yang dilakukan Tezinde et al (2001) membuktikan bahwa kepercayaan,
komitmen dan kepuasaan akan mempengaruhi hubungan dengan konsumen dan loyalitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Brand Trust merupakan suatu respon konsumen akibat penggunaan suatu merek dimana konsumen mendapatkan efek kognitif yaitu kepercayaan dari pengalaman mengkonsumsi. Kerangka kepercayaan konsumen pada merek, ialah:
Involvement (keterlibatan)
Karakteristik merek Reputasi merek Prediktabilitas merek Kompetensi merek
Karakteristik perusahaan Kepercayaan terhadap perusahaan Reputasi perusahaan Motif perusahaan yang dipersepsikan Integritas perusahaan
Kepercayaan terhadap merek (Trust in a brand)
Karakteristik merekkonsumen Kesesuaian antara konsep diri Konsumen dan merek Kesukaan terhadap merek Dukungan peer Kepuasan terhadap merek Pengalaman terhadap merek
Gambar 2.1 Consumer Trust in a Brand Sumber: Lau dan Lee (1999)
12
Loyalitas merek (Brand Loyalty)
2.1.2 Brand Image 2.1.2.1 Pengertian Brand (Merek) Menurut Kartajaya (2004:p11) Marketing Icon of Indonesia: Merek merupakan indikator nilai yang ditawarkan kepada pelanggan dan atau aset yag menciptakan value bagi pelanggan dengan memperkuat loyalitasnya. Berbeda dengan pendapat stanton dan Lamarto (1994:269) mendefinisikan merek adalah nama, istilah, simbol atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasi barang atau jasa yang ditawarkan oleh penjual.
Tidak berbeda jauh dengan Kotler (1997:p63) dalam buku The American Marketing
Association : Merek adalah nama, istilah, tanda simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Menurut Rangkuti dalam bukunya The Power of Brands (2002:2) : Merek merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan feature, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek terbaik akan memberikan jaminin kualitas, namun pemberian nama atau merek pada suatu
simbol.
Merek
dapat
juga
dibagi
dalam
pengertian
lainnya,
seperti:
(Rangkuti,2002:p.2)
a. Brand Name (nama merek) yang merupakan bagian dari yang dapat diucapkan. Misalnya, RCTI, Pepsodent, Honda, Value Plus, dsb. b. Brand Mark (tanda merek) yang merupkakan sebagian dari merek yang dapat dikenali namn tidak dapat diucapkan, separti lambang, disain, huruf atau warna khusus. Misalnya, simbol matahari pada logo Value Plus. c.
Trademark (Tanda merek dagang) yang merupakan merek atau sebagian dari merek yang dilindungi hukum karena kemampuannya untuk menhasilkan sesuatu yang
13
istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk menggunakan nama merek atau tanda merek. d. copyright (Hak cipta) yang merupakan hak istimewa yang dilindungi undang-undang untuk memproduksi, menerbitkan, dan menjual karya tulis, karya musik, atau karya seni.
Menurut Kotler dan Keller (2006, p.268), citra merek adalah sekumpulan persepsi dan kepercayaan yang dimiliki oleh konsumen, seperti yang tercerminkan dalam asosiasiasosiasi yang dingat dalam benak konsumen.
Citra merek menurut Aeker dalam buku Simamora (2002, p63) adalah bagaimana merek dipersepsikan oleh konsumen, sedangkan menurut kotler (simamora, 2002, p63) citra merk adalah sejumlah keyakinan tentang merek. Dari pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulan citra merek adalah sejumlah keyakinan bagaimana merek dipersepsikan oleh konsumen. Asosiasi-asosiasi itu menyatakan apa sesungguhnya merek dan apa yang dijanjikannya kepada konsumen. Davis mengatakan bahwa citra merek memiliki dua komponen, yaitu asosiasi merek dan Brand persona. Sebenarnya Brand persona merupakan bagian dari asosiasi merek. Brand persona harus memiliki keunikan dan kedinamisan pada karakter, atribut, penampilan dan ciri merek. Menurut Davis dan Kotler dalam buku Simamora (2002, p36) mengatakan bahwa syarat merek yang kuat dicerminkan dari citra merek (Brand image) yang kuat.
Bagaimana citra merek terbentuk pada konsumen? Menurut Simamora (2002, p92) citra merek merupakan interpretasi akumulasi berbagai informasi yang diterima konsumen. Jadi yang meninterpretasi adalah konsumen, dan yang diinterpretasi adalah informasi. Hasil interpretasi bergantung pada dua hal. Pertama, bagaimana konsumen melakukan interpretasi, dan kedua, informasi apa yang diinterpretasi. Perusahaan tidak sepenuhnya
14
dapat mengontrol kedua faktor ini. Karena faktor ”bagaimana konsumen melakukan interpretasi” dipengaruhi oleh aspek konsumen sendiri dan lingkungan.
Citra merek penting untuk diketahui karena citra merek dibentuk melalui kepuasan konsumen. Penjualan denngan sendirinya diperoleh melalui kepuasan konsumen, sebab konsumen yang puas selain akan membeli lagi, juga akan mengajak calon pembeli lainnya.
Para pemasar harus menciptakan dan memelihara gambaran citra merek produk atau jasa yang dijual. Jika gambaran itu diperoleh, maka merek sudah siap hidup dalam pikiran konsumen. Jika tidak, maka merek hanya berupa sesuatu yang mati yang tidak punya aura atau kekuatan mempengaruhi konsumen.
Sebuah merek tidak mungkin mempunyai satu asosiasi merek pembentuk citra merek, tetapi biasanya mempunyai lebih dari satu asosiasi merek pembentuk citra merek. Walaupun satu atau dua asosiasi yg ada, akan lebih menonjol dibanding dengan asosiasi yang lain. Citra merek yang baik adalah citra merek yang membangun, positif dan biasanya unik bila dibanding dengan citra merek produk, jasa, perusahaan lain.
Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena didalamnya tercakup enam pengertian berikut ini Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004: p2) :
1. Atribut produk, seperti halnya kualitas, gengsi, nilai jual kembali, desain dan lain-lain. Mercedes menyatakan sesuatu yang mahal, produk yang dibuat dengan baik, terancang baik, tahan lama, bergengsi tinggi, dan sebagainya. 2. Manfaat. Meskipun suatu merek membawa sejumlah atribut, konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk tersebut. Dalam hali ini atribut merek diperlukan untuk
15
diterjemahkan menjadi manfaat fungsional atau manfaat emosional. Sebagai gambaran, atribut ”mahal” cenderung diterjemahkan sebagai manfaat emosional, sehingga orang yang mengendarai Mercedes akan merasa dirinya dianggap penting dan dihargai. 3. Nilai. Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Mercedes menyatakan produk yang berkinerja tinggi,aman, bergengsi, dan sebagainya. Dengan demikian produsen Mercedes juga mendapat nilai tinggi di masyarakat. 4. Budaya. Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes mencerminkan budaya Jerman yang terorganisir, konsisten, tingkat keseriusannya tinggi, efisien, dan berkualitas tinggi. 5. Kepribadian. Merek juga mencerminkan kepribadian tertentu. Seringkali produk tertentu menggunakan kepribadian orang yang tgerkenal untuk mendongkrak atau menopang merek produknya. 6. Pemakai. Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. Pemakai Mercedes pada umumnya diasosiasikan dengan orang kaya, kalangan manajer puncak, dan sebagainya.
2.1.2.2 Asosiasi Merek (Brand Association)
Asosiasi merek adalah segala kesan yang muncul dibenak seseorang yang terkait dangan ingatannya mengenai suatu merek, (Durianto, Sugiarto, Sitinjak 2004). Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semaikin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semain seringnya menampakkan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain, suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi yang menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat.
16
Semakin banyak asosiasi saling berhubungan, semakin kuat Brand image yang dimiliki oleh merek tersebut.
Nilai-nilai asosiasi merek menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p27) ialah :
1. Membantu proses / Penyusunan Informasi Asosiasi – asosiasi dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan faktor dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para pelanggannya dan dapat menjadi mahal bagi perusahaan untuk mengkomunikasikannya. Sebuah asosiasi dapat menciptakan informasi bagi pelanggan yang memberikan suatu cara untuk menghadapinya
2. Diferensiasi / Posisi Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi usaha membedakan. Asosiasi – asosiasi merek dapat memainkan suatu alasan spesifik untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.
3. Alasan untuk membeli Banyak asosiasi merek yang membutuhkan berbagai atribut produk atau manfaat pelanggan yang dapat menyumbangkan suatu alasan spesifik untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.
4. Menciptakan sikap / perasaan positif beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan.
17
5. Basis perluasan Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian antara merek dan sebuah produk baru.
Selain nilai asosiasi merek terdapat pula atribut-atribut asosiasi merek menurut
Journal of Widya Management and Accounting volume 6 Nomor 1, april 2006 didalam artikel Analisis Brand association (Asosiasi merek) telepon seluler nokia, studi kasus pada mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Brawijaya, (Rahardjo, Toto dan Farida, p75) Aaker (yang dikutip didalam buku Durianto, dkk, 2004, p9-15) menyatakan bahwa atribut-atribut dari asosiasi merek adalah sebagai berikut :
1.) Perceived Value (Nilai yang Dirasakan)
Terdapat lima penggerak utama pembentuk perceived value yang terait erat dengan kepuasan pelanggan, yaitu :
- Dimensi Kualitas Produk - Dimensi Harga
- Dimensi Kualitas Layanan - Dimensi Emosional - Dimensi Kemudahan Pelanggan akan semakin puas apabila mereka merasa relatif mudah,nyaman dan efisien dalam menggunakan produk.
18
Chuwdury et al. Menjelaskan dalam Istijanto (2005, p239) ada enam yang digunakan dalam mengukur citra toko, yaitu :
1. Employee service (pelayanan konsumen) 2. Product quality (kualitas produk) 3. Pruduct selection (pilihan produk) 4. Atmosphere (suasana) 5. Convenience (kenyamanan)
2.1.2.3
Brand Personality (Kepribadian Merek) Kepribadian dapat dikatakan sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaannya
terhadap dirinya sendiri (Sirgi, 1982). Konsep kepribadian dapat juga disebut sebagai konsep diri, sesungguhnya merupakan struktur kognitif yang ternyata dalam banyak hal berhubungan erat dengan perasaan dan perilaku. Beberapa ahli berpendapat bahwa konsep diri merupakan pengetahuan tentang diri yang termasuk didalamnya mengarahkan perilaku yang lain. Konsep diri merupakan hasil dari proses interaksi antar individu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa konsep diri meliputi seluruh variasi hal – hal seperti peran identitas, rasa memiliki, dan simbol lainnya yang digunakan oleh individual untuk pengembangan dan pemahaman diri.
19
Persuasive
Close
Bonding
Atributes Brand Personality
Far apart
A
B
Detachment
Discrete Relationship
C
D
Gambar 2.2 Brand Personality 2.1.3 Keputusan Pembelian Dalam membeli suatu barang atau jasa, seorang konsumen akan melalul suatu proses keputusan pembelian. Menurut Ma'ruf (2006, pp. 61-62) terdapat tiga keputusan pembelian, yaitu: 1. Proses keputusan panjang (extended decision making) untuk barang d u r a b l e (rumah, lahan, mobil, kulkas, mesin cud, dll). Proses itu menurut Berman dan Evans adalah : Stimulus Æ KebutuhanÆmencari info Æ Evaluasi Æ Transaksi Æ Perilaku pasca pembelian. Pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuhan dalam diri konsumen. 2. Proses keputusan terbatas (limited decision making), sama dengan proses di atas tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan. Proses terbatas ini biasanya untuk barang seperti pakaian, hadiah, mobil kedua, atau jasa seperti wisata ke luar kota atau luar negeri. 3. Proses pembelian rutin, keputusan pembelian yang terjadi secara kebiasaan sehingga proses pembelian sangat singkat saja. Begitu dirasakan ada kebutuhan, langsung dilakukan pembelian, misalnya membeli baterai. Menurut Utami (2006,
20
p37) Kesetiaan pada merek dan Kesetiaan pada toko adalah contoh pengambilan keputusan berdasarkan kebiasaan. Proses pembelian yang panjang dan terbatas dapat dikatakan sebagai pembelian yang bersifat insidental. Sedangkan, proses pembelian rutin merupakan proses yang berlawanan dengan proses pembelian yang bersifat insidental. Pembelian yang insidental yaitu yang hanya sekali atau sekali-sekali dibeli. Belanja impulsif atau impulse buying adalah proses pembelian barang yang terjadi secara spontan. Menurut Ma'ruf (2006, p.64) ada tiga jenis pembelian impulsif, yaitu : 1. Pembelian tanpa rencana sama sekali. Konsumen belum punya rencana apa pun terhadap pembelian suatu barang, dan membeli barang itu begitu saja ketika terlihat. 2. Pembelian yang setengah tak direncanakan. Konsumen sudah ada rencana membeli suatu barang tapi tidak punya rencana merek ataupun jenis/berat, dan membeli barang begitu ketika melihat barang tersebut. 3. Barang pengganti yang tidak direncanakan. Konsumen sudah berniat membeli suatu barang dengan merek tertentu, dan membeli barang dimaksud tapi dari merek lain.
2.1.3.1 Model Perilaku konsumen dalam Keputusan Pembelian Pada hakikatnya kebutuhan konsumen akan mengalami perubahan dalam hidupnya sejalan dengan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada lingkungan di mana mereka hidup. Perubahan tersebut akan mempengaruhi perilaku konsumen (consumer
behaviour), yaitu dalam mengambil keputusan pembelian atau penggunaan suatu produk barang dan jasa. Engel, Blackwell dan Miniard (2000) yang dikutip oleh Hurriyati (2005, p.74) berpendapat bahwa terdapat tiga faktor yang mendasari variasi perilaku konsumen dalam proses pengambilan keputusan untuk membeli atau menggunakan produk barang dan jasa.
21
Adapun faktor-faktor tersebut adalah pengaruh lingkungan, karakteristik individu, proses psikologi. Menurut Kotler dan Amstrong dikemukakan melalui model perilaku konsumen yang digambarkan pada gambar 2.3 di bawah ini :
Stimulti Pemasaran
Stimulti Lain
Produk Harga Tempat Promosi Orang Proses Bukti Fisik
Ekonomi Tenologi Politik Budaya
Karakteristik Pembeli
Budaya
Proses Keputusan Pembelian Pengenalan masalah
Sosial Pencarian Informasi
Keputusan Pembelian
Pilihan produk Pilihan Merk Pilihan Toko Pilihan Waktu Pilihan Jumlah
Psikologis Evaluasi
Keputusan
Perilaku Pembelian
Gambar 2.3. Model Perilaku Konsumen Menurut Kotler dan Amstrong Sumber : Hurriyati (2005, p. 72)
Pada model ini, pemasaran dan rangsangan lain mempengaruhi perusahaan pembeli dan menimbulkan tanggapan tertentu dari pembeli. Rangsangan pemasaran untuk pembelian produk terdiri dari 7P untuk produk fisik dan 7P untuk produk jasa. Rangsangan lain adalah kekuatan-kekuatan utama dalam lingkungan, yaitu: ekonomi, teknologi, politik dan budaya. Rangsangan-rangsangan ini mempengaruhi pembeli dan berubah menjadi tanggapan pembeli untuk memutuskan pilihan pada keputusan pembelian. Aktivitas pembelian terdiri dari dua bagian utama: karakteristik pembeli dan proses pengambilan keputusan pembelian. Untuk sampai pada keputusan membeli atau mengonsumsi jasa, pelanggan mulai dengan
22
mengenali
permasalahan
yang
dihadapinya,
mencari
informasi
mengenai
solusi
permasalahannya, melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang ada, dan akhirnya melakukan pembelian. Setelah itu, konsumen akan melakukan evaluasi terhadap proses pembelian tersebut. Pengalaman tersebut selanjutnya mempengaruhi lingkungan eksternalnya dan jugs mempengaruhi dirinya sendiri, sehingga akhirnya membentuk self-concept dan gaya hidup konsumen. Menurut Sumarwan (2003, p.294-321) keputusan membeli atau mengonsumsi suatu produk dengan merek tertentu akan diawali oleh langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pengenalan kebutuhan Pengenalan kebutuhan muncul ketika konsumen menghadapi suatu masalah, yaitu suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara keadaan yang diinginkan dan keadaan yang sebenarnya
terjadi.
Ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
pengaktifan
kebutuhan yang dikemukakan oleh Engel, Blackwell dan Miniard (1995) yaitu: waktu, perubahan situasi, pemilikan poduk, konsumsi produk, perbedaan individu dan pengaruh pemasaran.
2. Pencarian informasi Pencarian informasi mulai dilakukan ketika konsumen memandang bahwa kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dengan membeli dan mengonsumsi suatu produk. Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan didalam ingatannya (pencarian internal) dan mencari informasi dari luar (pencarian eksternal). Menurut Schiffman dan Kanuk (2007, p.496497) pada tingkat yang paling fundamental, alternatif pencarian informasi dapat digolongkan sebagai personal maupun impersonal. Alternatif pencarian informasi personal memasukkan tidak saja pengalaman konsumen yang lalu dengan produk atau jasa. Tersebut juga di dalamnya permintaan informasi dan nasihat kepada temanteman, kerabat, rekan sekerja dan para wiraniaga. Sedangkan alternatif pencarian informasi impersonal terdiri dari artikel surat kabar, artikel majalah, brosur promosi
23
langsung, informasi dari Wan produk dan situs web internet. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian informasi yaitu: (a) Faktor risiko produk, (b) Faktor karakteristik konsumen dan (c) Faktor situasi. 3. Evaluasi alternatif Proses mengevaluasi pilihan produk dan merek, dan memilihnya sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Kriteria evaluasi adalah atribut atau karakteristik dari produk dan jasa yang digunakan untuk mengevaluasi dan menilai alternatif pilihan. Kriteria evaluasi bisa bermacam-macam tergantung kepada produk atau jasa yang dicvaluasi. Engel, Blackwell dan Miniard (1995) menyebutkan tiga atribut penting yang sering digunakan untuk evaluasi, yaitu harga, merek, dan negara asal atau pembuat produk. 4. Keputusan pembelian Memutuskan alternatif yang akan dipilih dan mungkin penggantinya jika diperlukan. Pembelian meliputi keputusan konsumen mengenai apa yang dibeli, apakah membeli atau tidak, kapan membeli, di mana membeli, dan bagaimana cara membayarnya. Setelah konsumen membeli atau memperoleh produk dan jasa, biasanya akan diikuti oleh proses konsumsi atau penggunaan produk. 5. Perilaku pasca pembelian Menggunakan alternatif yang dipilih dan mengevaluasinya sekali lagi berdasarkan kinerja yang dihasilkan. Hasil dari proses ini adalah konsumen akan memiliki perasaan puas atau tidak puas terhadap produk atau jasa yang dikonsumsinya. Kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan mengonsumsi ulang produk tersebut. Sebaliknya perasaan yang tidak puas akan menyebabkan konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali dan konsumsi produk tersebut. Sedangkan menurut Utami (2006, p.45) bahwa ada beberapa tahapan dalam proses belanja pelanggan, dapat dilihat dalam gambar 2.4 di bawah ini.
24
TAHAPAN
PEMILIHAN RITEL
PEMILIHAN BARANG KEBUTUHAN
PENGENALAN KEBUTUHAN
PENCARIAN INFORMASI
PENGENALAN KEBUTUHAN
PENGENALAN KEBUTUHAN
Mencari Informasi Tentang Ritel
Mencari Informasi Tentang Barang Dagangan
Evaluasi Ritel
Evaluasi Barang Dagangan
Memilih Ritel
Menyeleksi Barang Dagangan
EVALUASI
PENENTUAN PILIHAN
TRANSAKSI
KESETIAAN
Mengunjungi Toko/ Situs Internet/ Mencari melalui Katalog
Belanja Barang Dagangan
Membeli Kembali di Tempat yang sama
Evaluasi Setelah Belanja
Gambar 2.4 Proses Belanja Pelanggan Sumber : Utami (2006, p. 45)
2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumen Menurut Ma'ruf (2006, pp.57-60) proses keputusan memilih barang atau jasa dan lain-lainnya itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor pribadi.
25
A. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan terdiri atas: 1. Faktor budaya Budaya adalah faktor mendasar dalam pembentukan norma-norma yang dimiliki seseorang yang kemudian membentuk atau mendorong keinginan dan prilakunya menjadi seseorang konsumen. Termasuk di dalamnya kebudayaan, sub kebudayaan, dan kelas sosial. Budaya meliputi hal-hal berikut ini: - Nilai-nilai
: Norma yang dianut oleh masyarakat
- Persepsi
: Cara pandang pada sesuatu
- Preferensi
: Rasa lebih suka pada sesuatu dibandingkan pada yang lainnya
- Behaviour
: Tindak-tanduk atau kebiasaan seseorang
2. Faktor sosial - Kelompok
: Kelompok yang mempengaruhi anggotanya dalam membuat keputusan terhadap pembelian sesuatu barang atau jasa.
- Keluarga
: Faktor ini juga penting pengaruhnya bagi seseorang dalam memilih suatu barang dan jasa. Sama seperti kelompok yang dapat mempengaruhi anggotanya, demikian juga keluarga.
- Peran dan status
: Peran
seorang
di
masyarakat
atau
di
perusahaan
akan
mempengaruhi pola tindakannya dalam membeli barang atau jasa. Demikian juga status. Orang yang dalam status tidak bekerja akan sangat bertolak belakang dalam berbelanja dari orang yang berstatus bekerja. B. Faktor Pribadi Faktor pribadi atau faktor internal dalam diri seseorang adalah faktor penting bagi proses pembelian dalam diri konsumen. Keputusan konsumen juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor pribadi terdiri atas :
26
1. Faktor pribadi Seorang konsumen akan berbeda dari seorang konsumen lainnya karena faktorfaktor pribadi yang berbeda. Hurriyati (2005, pp.98-100) menjelaskan faktor-faktor pribadi tersebut, yaitu:
a. Umur dan tahap siklus hidup Orang merubah barang dan jasa yang mereka beli selama masa hidupnya. Selera akan makanan, pakaian, perabot, dan rekreasi seringkali berhubungan dengan umur. Membeli juga dibentuk oleh tahap daur hidup keluarga tahaptahap yang mungkin dilalui oleh keluarga sesuai dengan kedewasaannya. b. Pekerjaan Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya. Pekerja kasar cenderung membeli lebih banyak pakaian untuk bekerja, sedangkan pekerja kantor membeli Iebih banyak jas dan dasi. Pemasar berusaha mengenali kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata akan produk dan jasa mereka. c.
Situasi Ekonomi Situasi ekonomi akan mempengaruhi pilihan produk. Pemasar produk yang peka terhadap pendapatan mengamati kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan, dan tingkat minat.
d. Gaya Hidup Orang yang berasal dari subbudaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin mempunyai gaya hidup yang jauh berbeda. Gaya hidup adalah pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam psikografiknya. Gaya hidup mencakup sesuatu yang Iebih dari sekedar kelas sosial atau kepribadian seseorang, gaya hidup menampilkan pola bereaksi dan berinteraksi seseorang secara keseluruhan di dunia.
27
e. Kepribadian dan Konsep diri Kepribadian setiap orang yang jelas mempengaruhi tingkah laku membelinya. Kepribadian biasanya diuraikan dalam arti sifat-sifat seperti rasa percaya diri, dominasi, kemudahan bergaul, otonomi, mempertahankan diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan keagresifan. Dasar pemikiran konsep diri adalah bahwa apa yang dimiliki seseorang memberi kontribusi dan mencerminkan identitas mereka. Jadi, agar dapat memahami tingkah laku konsumen, pertama-tama pemasar harus memahami hubungan antara konsep diri konsumen dan miliknya. 2. Faktor psikologis Faktor kejiwaan atau psikologis yang mempengaruhi seseorang dalam tindakan membeli sesuatu barang/jasa ada empat macam, yaitu termasuk di dalamnya motivasi, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan dan sikap. Hurriyati (2005, pp.100-102) menjelaskan faktor-faktor psikologis tersebut, yaitu: a. Motivasi Seseorang mempunyai banyak kebutuhan pada suatu saat. Kebutuhan berubah menjadi motif kalau merangsang sampai tingkat intensitas yang mencukupi. Motif (dorongan) adalah kebutuhan yang cukup menekan untuk mengarahkan seseorang mencari kepuasan. b. Persepsi Seseorang yang termotifasi slap untuk bertindak. Bagaimana orang bertindak dipengaruhi oleh persepsinya mengenai situasi. Dua orang dengan motivasi sama dan dalam situasi yang sama mungkin mengambil tindakan yang jauh berbeda karena mereka memandang situasi secara berbeda. Persepsi adalah proses
yang
dilalui
orang
dalam
memilih,
mengorganisasikan,
dan
menginterpretasikan informasi guna membentuk gambaran berarti mengenai dunia.
28
c.
Pengetahuan Pentingnya praktik dan teori pengetahuan bagi pemasar adalah mereka dapat membentuk permintaan akan suatu produk dengan menghubungkannya dengan dorongan yang kuat, menggunakan petunjuk yang membangkitkan motivasi, dan memberikan pembenaran positif.
d. Keyakinan dan Sikap Keyakinan adalah pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang mengenai sesuatu. Pemasar tertarik pada keyakinan bahwa orang merumuskan mengenai produk dan jasa spesifik, karena keyakinan ini menyusun citra produk dan merek yang mempengaruhi tingkah laku membeli. Sikap menguraikan evaluasi, perasaan, dan kecenderungan dari seseorang terhadap suatu objek atau ide yang relatif konsisten.
2.1.4 Private Label 2.1.4.1 Pengertian Private Label Produk atau jasa private label adalah merek atau brand tertentu yang dibuat atau disediakan oleh satu perusahaan untuk menawarkan merek selain merek perusahaan lain. Barang atau jasa private label tersedia dalam jangkauan yang luas dalam industri-industri makanan sampai kosmetik sampai web hosting. Sering kali mereka diposisikan sebagai alternative harga yang lebih murah untuk merek-merek regional, nasional, atau internasional, walaupun belakangan ini private label sering diposisikan sebagai premium brand untuk bersaing dengan merek-merek atau brand lain yang sudah ada.
Private label sendiri sudah sering digunakan karena dianggap menguntungkan oleh mayoritas perusahaan ritel. Hal ini didukung oleh Kotler dan Keller (2006, p.480) yang mengatakan bahwa : “A growing trend and major marketing decision for retailers concerns private labels.”
29
2.1.4.2 Tipe-Tipe Private Label Adapun tipe-tipe dari private label sebagai berikut :
•
Store brands – Nama dari perusahaan ritel jelas terlihat pada kemasan
•
Store sub-brands – produk-produk di mana nama perusahaan ritel ada sedikit tercantum pada kemasan
•
Umbrella branding – sebuah merek generic, berdiri terpisah dari nama perusahaan ritelnya
•
Individual brands – nama yang digunakan dalam satu kategori, ini hanya digunakan untuk mempromosikan lini produk yang sedang melakukan pemotongan harga.
•
Exclusive brands – nama yang digunakan dalam satu kategori, tapi untuk mempromosikan nilai tambah atau added value produk didalam kategorinya.]
•
Distributor brands – Pusat grosir sering kali memiliki private label juga. Private label ini sering kali terlihat pada restoran-restoran dan toko-toko independen yang tidak sanggup memiliki private labelnya sendiri.
•
Copycat private labels – merek yang dimiliki oleh perusahaan ritel yang menggunakan kemasan dagang yang hampir serupa, contoh : kemasan yang menggunakan merek nasional.
2.1.5 Pengertian Brand Loyalty Menurut pendapat Kartajaya (2005: p182), merek tidak sekedar nama. Bukan juga sebuah logo atau simbol. Merek adalah payung yang mempresentasikan produk atau layanan. Merek merupakan cerminan nilai yang diberikan perusahaan kepada pelanggan. Konsumen dalam memenuhi kebutuhannya membeli produk dengan merek tertentu, kalau merek pilihan konsumen itu dapat memuaskan kebutuhannya, maka konsumen mempunyai ingatan yang dalam terhadap merek dan kesetiaan konsumen mulai berkembang. Jika pilihan
30
merek itu tidak dapat memuaskan, maka pada pembelian berikutnya merek itu tidak akan dipilih kembali. Pada saat kesetiaan konsumen sudah mulai berkembang maka perusahaan harus mempertahankan agar kesetiaan itu tetap bertahan. Konsumen yang setia pada merek produk tertentu, dalam keputusan pembelian merek tersebut tidak membandingkan dengan merek lain dan tidak diperlukan banyak penelitian dan informasi. Karena konsumen tersebut tidak mudah menerima informasi dari merek-merek lain dan tidak menanggapi informasi seperti itu. Perilaku pembelian ulang seringkali dihubungkan dengan loyalitas merek (brand
loyalty). Namun keduanya berbeda. Loyalitas merek mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu, maka perilaku pembelian ulang hanya semata-mata menyangkut pembelian merek tertentu yang sama berulang kali. Menurut Dharmmesta (1999: pp77-84), tahap-tahap loyalitas terbagi 4, yaitu: •
Tahap pertama: Loyalitas kognitif, pada tahapan ini konsumen menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya. Jadi loyalitasnya didasarkan pada keyakinan konsumen terhadap basis informasi yang dicerminkan oleh kualitas merek. Loyalitas tahap pertama ini bukan merupakan bentuk loyalitas yang kuat.
•
Tahap kedua: Loyalitas afektif, tahap ini berkaitan sikap konsumen yang didorong oleh kepuasan dan kesukaan konsumen. Loyalitas tahap ini jauh lebih sulit berubah karena loyalitasnya sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai sikap. Namun demikian loyalitas afektif ini masih tetap belum menjamin adanya loyalitas. Loyalitas tahap ini dicerminkan oleh tingkat kesukaan, tingkat kepuasan konsumen.
•
Tahap ketiga: Loyalitas konatif merupakan kondisi konsumen yang loyal yang dipengaruhi oleh niatan untuk melakukan sesuatu (dimensi konatif) yang mencakup niat atau komitmen yang tinggi untuk melakukan pembelian. Jenis komitmen pada
31
tahap ini sudah melampaui loyalitas afektif. Niat untuk melakukan pembelian ulang dapat dianggap sebagai tanda awal munculnya loyalitas. •
Tahap keempat: Loyalitas tindakan yaitu tahap dimana aspek konatif atau niat melakukan telah mengalami perkembangan, yaitu dikonversi menjadi perilaku atau tindakan. Penjelasan Dharmmesta mengenai 4 tahap loyalitas ini juga didukung oleh Oliver
(1997) serta Harris dan Goode (2004). Kepercayaan dalam media elektronik yaitu “e-trust” dipercaya meningkatkan loyalitas konsumen online (Ribbink et al. 2004). Menurut Mowen (2002, p109) bahwa loyalitas dapat didasarkan pada perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Menurut Durianto, et al (2004, p126) mendefinisikan ” loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek”. Ukuran ini menggambarkan tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Menurut Rangkuti (2004, pp60-61), pengertian loyalitas merek ialah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari brand equity yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran. Apabila loyalitas merek meningkat, maka kerentanan kelompok pelanggan dari serangan pesaing dapat dikurangi karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan di masa depan. Menurut Tjiptono (2005: p387) mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek.
32
Loyalitas merek didefinisikan oleh Keegan, et al (1995: p6) yaitu ” Brand loyalty is a
customer’s tendency to have a consistenly positive attitude toward a particular brand and to purchase it repeatedly over time”. Hal ini berarti bahwa loyalitas merek adalah kecenderungan pelanggan untuk berperilaku positif terhadap suatu merek dan melakukan pembelian merek tersebut secara berulang-ulang. Dalam proses pembentukan loyalitas merek ada kemungkinan seorang pelanggan pindah ke merek lain khususnya ketika merek tersebut melakukan perubahan. Seperti perubahan harga atau dalam ciri produknya. Apabila loyalitas terhadap suatu merek tinggi maka kemungkinan untuk pindah ke merek lain kecil. Definisi loyalitas merek menurut Aaker (1991: p39) “ Brand Loyalty is a measure of
the attachment that a customer has to a brand”. Loyalitas merek merupakan keterikatan konsumen terhadap suatu merek. Untuk itu ada beberapa tahap pembentukan brand loyalty mulai saat merek diperkenalkan sampai dengan terbentuknya loyalitas pelanggan terhadap merek. Dari sudut pandang strategi pemasaran, loyalitas merek adalah suatu konsep yang sangat penting khususnya pada kondisi pasar dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun persaingannya sangat ketat saat ini, keberadaan konsumen yang loyal pada merek
sangat
dibutuhkan
agar
perusahaan
dapat
bertahan
hidup
dan
upaya
mempertahankan ini sering menjadi strategi yang jauh lebih efektif jika dibandingkan upaya menarik pelanggan-pelanggan baru.
2.1.5.1 Jenis Brand Loyalty Sebagai suatu fenomena kognisi, Brand Loyalty atau loyalitas merek sering dianggap sebagai komitmen internal untuk membeli dan membeli ulang suatu merek tertentu. Sebagai fenomena perilaku, loyalitas merek adalah sekedar perilaku pembelian yang berulang. Berdasarkan kategori pola pembelian dan urutan pembelian, ada beberapa jenis loyalitas merek yaitu :
33
1. Loyalitas merek tidak terbagi ( Undivided brand loyalty) Merupakan kondisi yang ideal dalam beberapa kasus, karena alasan-alasan tertentu, konsumen benar-benar hanya mau membeli satu macam merek saja dan membatalkan pembelian jika merek itu ternyata tidak tersedia. 2. Loyalitas merek berpindah sesekali ( Brand loyalty with an occasional switch) loyalitas ini cenderung lebih sering terjadi. Konsumen kadang-kadang berpindah merek untuk berbagai macam alasan tertentu, antara lain: merek yang biasa dipakai mungkin sedang habis, suatu merek baru masuk ke pasar dan konsumen mencobacoba untuk memakainya, merek pesaing ditawarkan dengan harga yang khusus, atau merek yang berbeda dibeli untuk kejadian-kejadian tertentu saja. 3. Loyalitas merek berpindah (Brand loyalty switches) Sasaran bersaing dalam pasar yang pertumbuhannya lambat atau sedang menurun. Namun, perpindahan loyalitas dari merek satu ke merek lain yang masih dalam satu perusahaan juga dapat memberi manfaat. 4. Loyalitas merek terbagi (Divided brand loyalty) Pembelian 2 atau lebih merek secara konsisten. Dimana terdapat beberapa individu yang mempunyai hubungan yang erat, seperti contoh: Dalam sebuah keluarga terdiri dari beberapa individu dimana mereka menggunakan merek produk yang pastinya berbeda-beda sehingga ada pembelian lebih dari 1 merek. 5. Pengabaian merek (Brand indifference) Pembeliian yang tidak memiliki pola pembelian ulang yang jelas. Beberapa konsumen dari beberapa produk tertentu menunjukkan pola seperti ini. Tabel 2.1 Kategori Pola Pembelian dan Urutan Pembelian Merek NO 1.
Kategori pola pembelian
Urutan pembelian merek
Loyalitas merek tidak terbagi
A
34
A
A
A
A
A
A
A
A
A
2.
Loyalitas merek pengalihan sesaat
A
A
A
B
A
A
C
A
A
D
3.
Loyalitas merek pengalihan
A
A
A
A
A
B
B
B
B
B
4.
Loyalitas merek terbagi
A
A
B
A
B
B
A
A
B
B
5.
Pengabaian merek
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Sumber: J Paul Peter (1999, p162)
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1, loyalitas merek dapat dipandang sebagai suatu garis kontinum dari loyalitas merek yang tidak terbagi hingga ke pengabaian merek. Fakta menunjukkan bahwa dengan sikap dan perilaku akan menghasilkan suatu gambaran loyalitas merek yang diterima. Namun demikian terdapat beberapa karakteristik umum yang bisa
diidentifikasikan
apakah
seorang
konsumen
mendekati
loyal
atau
tidak.
Menumbuhkembangkan loyalitas merek yang tinggi pada konsumen adalah sasaran penting strategi pemasaran, akan tetapi tingkat penggunaan (rate of usage) merek yang tinggi pada konsumen adalah sasaran yang lebih penting dari pemasaran. Loyalitas merek merupakan ukuran kedekatan atau keterkaitan pelanggan pada sebuah merek. Ukuran ini menggambarkan tentang mungkin tidaknya konsumen beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut mengalami perubahan baik yang menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Konsumen yang loyal pada umumnya akan melanjutkan penggunaan merek tersebut, walaupun dihadapkan dengan banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul. Dengan demikian loyalitas merek dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi maupun ukuran kedekatan atau keterkaitan konsumen pada sebuah merek yang ditunjukkan dari perilaku pembelian yang berulang.
35
Loyalitas merek Loyal merek
Loyal merek
Pengguna ringan
Pengguna berat
Pengguna ringan
pengguna berat Pengabdi merek
pengabai merek
Pengguna ringan
pengguna berat
Gambar 2.5 Hubungan Antara Loyalitas Merek dan Tingkat Penggunaan Sumber: J. Paul Peter (1999, p164)
Terdapat empat hal yang menunjukkan kecenderungan konsumen loyal yaitu sebagai berikut: 1. Konsumen yang loyal terhadap merek cenderung percaya diri terhadap pilihannya. 2. Konsumen yang loyal lebih memungkinkan merasakan resiko yang lebih tinggi dalam pembeliannya. 3. Konsumen loyal terhadap merek juga memungkinkan loyal terhadap tempat produksi barang atau jasa. 4. Kelompok yang minoritas cenderung untuk loyal terhadap merek.
2.1.5.2 Ukuran Loyalitas Merek Menurut Durianto (2001, p132) mengatakan bahwa terdapat beberapa pendekatanpendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur loyalitas merek, pendekatan-pendekatan tersebut antara lain:
36
1. Behaviour measures (pengukuran perilaku) Merupakan cara yang langsung untuk menetapkan kesetiaan, khususnya untuk perilaku kebiasaan, adalah untuk mempertimbangkan pola-pola pembelian yang sebenarnya. 2. Switching cost (biaya peralihan) Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan dari kelompok pelanggan dari waktu ke waktu akan rendah. 3. Measuring satisfaction (pengukuran kepuasan) Pengukuran terhadap kepuasaan maupun ketidakpuasan pelanggan suatu merek merupakan indicator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alas an bagi pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada factor – factor penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi perusahaan untuk mengeksplor informasi dari pelanggan yang memindahkan pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan ataupun alas an yang terkait dengan ketergesaan mereka memindahkan pilihannya. 4. Measuring liking the brand (pengukuran kesukaan terhadap merek) Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan – perasaan hormat atau bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini. Pelanggan dapat saja sekedar suka pada suatu merek dengan alsan yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui persepsi dan kepercayaan mereka yang terkait
37
dengan atribut merek. Ukuran dari rasa suka tersebut dapat dicerminkan dengan kemauan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut. 5. Komitmen Komitmen merupakan hubungan yang paling kuat antara pelanggan dengan sebuah merek. Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu indikator kunci adalah jumlah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong mereka untuk membicarakan merek tersebut pada pihak lain, baik dalam taraf sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian merek terhadap merek tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya pada orang lain untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat kepentingan merek tersebut bagi seseorang berkenaan dengan aktivitas kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitan dengan penggunaannya.
2.1.5.3 Fungsi Loyalitas Merek Menurut Durianto, et al (2004, p127) Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: 1. Mengurangi biaya pemasaran Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika brand loyalty meningkat, ciri yang paling
38
nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah. 2. Meningkatkan perdagangan Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan. 3. Menarik minat pelanggan baru Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka pada merek tersebut,
akan
menimbulkan
perasaan
yakin
bagi
calon
pelanggan
untuk
mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka lakukan mengandung resiko tinggi. Disamping itu, pelanggan yang puas umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru. 4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing
Brand loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespon gerakan pesaing. Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan memberikan waktu kepada perusahaan tersebut untuk memperbaharui produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisirkannya. Berikut tampilan piramida Brand loyalty yang umum ialah:
39
Commited buyer Liking the brand Satistified buyer Habitual buyer Switcher Gambar 2.6 Piramida Brand Loyalty Sumber: Strategi menaklukkan pasar melalui riset ekuitas dan perilaku merek, Durianto, et al (2004, p130).
Dari piramida loyalitas tersebut terlihat bahwa bagi merek yang belum memiliki Brand
equity yang kuat, porsi terbesar dari konsumennya berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya, porsi terbesar kedua ditempati oleh konsumen yang berada pada taraf habitual
buyer, dan seterusnya hingga porsi terkecil ditempati oleh committed
buyer. Meskipun
demikian bagi merek yang memiliki brand equity yang kuat, tingkatan dalam brand loyaltynya diharapkan membentuk segitiga terbalik. Maksudnya makin ke atas makin melebar sehingga diperoleh jumlah committed buyer yang lebih besar daripada switcher seperti tampak pada gambar berikut :
40
Committed buyer Liking the brand Satisfied buyer Habitual buyer Switcher
Gambar 2.6 Piramida Brand Loyalty dalam Posisi Terbalik 2.1.5.4 Tingkatan Loyalitas Merek Loyalitas konsumen terhadap merek terdiri dari lima kategori yang memiliki tingkatan loyalitas mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi yang membentuk piramida loyalitas merek. Adapun tingkatan loyalitas merek adalah : 1. Switcher (konsumen yang berpindah-pindah) Pembeli yang berada pada tingkat ini disebut sebagai pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar, dan juga sama sekali tidak loyal. Pembeli pada tingkat ini tidak mau terikat pada merek apapun, karena karakteristik konsumen yang berada pada kategori ini pada umumnya adalah mereka yang sensitif terhadap harga. Mereka menganggap bahwa suatu produk (apapun mereknya) dianggap telah memadai serta hanya memiliki peranan yang kecil dalam keputusan untuk membeli. 2. Habitual Buyer (pembelian yang berdasarkan kebiasaan) Pembeli yang berada pada tingkat ini, dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek yang telah mereka konsumsi. Para pembeli tipe ini memilih merek hanya karena faktor kebiasaan. Karakteristik konsumen yang termasuk dalam kategori ini adalah jarang untuk
41
mengevaluasi merek lain. Sungkannya konsumen untuk berpindah ke merek lain lebih dikarenakan sikap mereka yang pasif. 3. Satisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan) Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi, namun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembelian ke merek lain dengan menanggung switch cost yang terkait dengan waktu, uang, manfaat, ataupun resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka dalam peralihan merek. 4. Liking the Brand (pembeli yang menyukai merek) Pada tingkat ini, konsumen sungguh-sungguh menyukai merek. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Preferensi mereka dilandaskan pada suatu assosiasi seperti: simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan merek produk. 5. Committed Buyer (pembeli yang setia) Pada tingkatan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna suatu merek bahkan mereka sudah menjadi suatu hal yang sangat penting bagi mereka, baik karena fungsi operasional maupun emosional dalam mengekspresikan jati diri. Salah satu aktualisasi loyalitas konsumen pada tingkat ini ditunjukan dengan tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut pada pihak lain.
42
Kepuasan
Loyalitas merek
Committed buyer
Pengurangan biaya pemasaran
Liking the Brand
Peningkatan perdagangan
Satisfied buyer with switching cost
Memikat para pelanggan baru: - menciptakan kesadaran merek - meyakinkan kembali
Habitual buyer
Waktu merespon ancaman pesaing
Switcher
Gambar 2.7 Efek Loyalitas Merek Sumber: Penelitian oleh Zainal Arifin mahasiswa jur. Administrasi bisnis, kutipan Bilson Simamora (2001).
2.1.5.5 Pengukuran Brand Loyalty 1.) Behaviour measures (pengukuran perilaku)
Behaviour measures (pengukuran perilaku) suatu cara langsung untuk menetapkan loyalitas, terutama untuk habitual behavior (perilaku kebiasaan) adalah dengan memperhitungkan pola pembelian yang aktual. Berikut disajikan beberapa ukuran yang dapat digunakan: 2.) Repurchase rates (tingkat pembelian ulang)
Repurchase rates (tingkat pembelian ulang) yaitu tingkat persentase pelanggan yang membeli merek yang sama pada kesempatan membeli jenis produk tersebut. 3.) Percent of purchase (persentase pembelian)
Percent of purchase (persentase pembelian) yaitu tingkat persentase pelanggan untuk setiap merek yang dibeli dari beberapa pembelian terakhir.
43
4.) Number of brands purchase (jumlah merek yang dibeli)
Number of brands purchase (jumlah merek yang dibeli) yaitu tingkat persentase pelanggan dari suatu produk untuk hanya membeli satu merek, dua merek, tiga merek, dan seterusnya.
2.1.6
Keanggotaan (Member) Keanggotaan adalah kegiatan dalam mencapai dukungan status formal dalam
sebuah kelompok. Ketika orang-orang diamggap sebagai anggota dalam kelompok, mereka telah mencapai penerimaan status secara resmi dalam kelompok itu. Keanggotaan dapat berada pada kelompok yang tidak resmiatau keluarga, atau pada kelompok resmi seperti kelompok keagamaan, persaudaraan dan perkumpulan mahasiswa, perdagangan atau pedagang eceran (Blackwell, Miniard, Engel. 1995, p397). Keanggotaan merupakan suatu pengakuan sebagai pelanggan yang bergabung dalam suatu organisasi, perusahaan atau kelompok secara resmi dan diakui. Pentingnya kenyataan yang terjadi bahwa pelanggan akan menjadi salah satu individual ataupun anggota dalam keanggotaan (member) dari sebuah perusahaan (Gronroos, 2001, p312). Kenggotaan biasanya ditandai dengan adanya sebuah kartu anggota atau membercard. Yang dapat menjadi member dalam sebuah organisasi atau perusahaan dapat berupa individu ataupun agen pembelian yang jasanya juga akan digunakan oleh orang lain.
Membercard dapat dipakai oleh mereka yang dianggap memenuhi syarat sebagai anggota member dan biasanya membercard memberikan keuntungan serta fasilitas lebih besar. Dengan adanya membercard, pihak perusahaan dapat menghitung banyaknya pelanggan yang ada serta implikasinya terhadap perusahaan. Dengan demikian dapat dilakukan evaluasi dalam perusahaan, apakah penggunaan membercard berguna baik bagi perusahaan ataupun pengguna membercard.
44
Menurut Gruen, Thomas W et al, perilaku keanggotaan terdiri dari : 1.
Retention, yaitu anggota yang memperbaharui keanggotaannya dari satu tahun keanggotaan ke tahun berikutnya.
2.
Participation,
yaitu
batasan
/
tahapan
dimana
anggota
mengkonsumsi
pelayanan/jasa yang diberikan oleh asosiasi. 3.
Coproduction, yaitu tahapan/batasan dimana anggota dilibatkan di dalam produksi dari produk, pelayanan. Dan/atau pemasaran asosiasi. Adapun hak yang dapat diperoleh pelanggan adalah sebagai berikut : (Gerson, 2001,
p93) 1. Layanan yang siap sedia, profesional, serta ramah. 2. perhatian penuh dan tak terbagi setiap kali pelanggan melakukan bisnis dengan perusahaan. 3. Produk dan layanan yang berkualitas. 4. Pemenuhan kebutuhan dalam cara yang konsisten dengan harapan layanan yang masuk akal. 5. staf yang kompeten, berpengetahuan dan berlatih baik. 6. Perhatian pada semua detail setiap kali mereka mengakses sistem layanan pelanggan perusahaan. 7. keuntungan seluruh sumber daya, tim kerja, dan jaringan kerja perusahaan untuk memberikan layanan superior jangaka panjang. 8. Saluran komunikasi yang terbuka untuk umpan balik, komplain, atau terima kasih. 9. Harga yang pantas untuk produk dan layanan perusahaan.
45
2.1.7
Hubungan antara Brand Trust (BT), Brand Image (BI), Keputusan
Pembelian (KP), Brand Loyalty(BL) Menurut Durianto (2002, p.2) Merek menjadi sangat penting saat ini salah satunya adalah merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian untuk konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan, ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut. •
Brand Image (BI) dan Keputusan Pembelian (KP) Pada masyarakat yang semakin terbuka wawasannya mengenai kualitas dan
performance suatu produk., brand image ini akan menjadi sangat penting. Suatu produk dengan brand image yang positif dan diyakini konsumen dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka dengan sendirinya akan menumbuhkan keputusan pembelian konsumen akan barang dan jasa yang ditawarkan tersebut. Sebaliknya, apabila brand image suatu produk negatif dalam pandangan konsumen, maka keputusan pembelian konsumen terhadap produk tersebut akan rendah. Mustopa dan Ramadhani (2008, p32) •
Brang Trust (BT) dan Brand Loyalty (BL) Menurut Lau dan Lee (1999, p44 ), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini berhubungan dengan tiga entitas yang tercakup dalam hubungan antara merek dan konsumen. Adapun ketiga faktor tersebut adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek dan konsumen. Selanjutnya Lau and Lee memposisikan bahwa kepercayaan terhadap merek akan menimbulkan loyalitas merek (Riana, Buletin Studi Ekonomi vol 13 no.2, 2008, p187. ”Consumer’s trust towards brand (brand trust) and a positive brand affect will also
influence the attitudinal loyalty or consumer behaviour towards the brand. (Chauduri & Holbrook, 2001)” . Dalam riset Rizal Edy Halim (2006, p2). Pernyataan tersebut menyatakan bahwa brand trust berdampak pada brand loyalty.
46
•
Brand Trust (BT), Keputusan Pembelian (KP) dan Brand Loyalty (BL) Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lau dan Lee (1999) dengan judul
"Consumers Trust in a Brand and the Link in Brand Loyalty" yang terdapat pada Journal of Market Focused Management No.4 Desember (1999, p46)
menyatakan bahwa indikator
utama eksistensi perusahaan adalah menjadikan konsumen bisa percaya pada merek/jasa yang kita tawarkan, membeli, puas, membeli kembali, dan kemudian membuat mereka menjadi loyal pada tingkatan loyalitas penuh. Dalam konsep tersebut didapatkan pengertian bahwa brand trust menyebabkan keputusan pembelian dan berdampak pada brand loyalty. •
Brand Trust (BT), Brand Image (BI) dan Brand Loyalty (BL) Penelitian tentang kepercayaan oleh Lau dan Lee (1999, p47) menyatakan bahwa
variabel itu menjadi variabel mediasi antara brand predictability, kesukaan terhadap merek, kompetensi merek, reputasi merek dan kepercayaan terhadap perusahaan dengan variabel loyalitas terhadap merek. Pada konsep ini ditemukan pengertian bahwa brand trust yang terkait dengan persepsi konsumen dan loyalitas merek. Berarti brand trust berhubungan dengan brand image dan brand loyalty. •
Brand Loyalty (BL) dan Keputusan Pembelian (KP) Menurut Tjiptono (2005: p387) mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah
komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek. Dengan demikian berarti bahwa
brand loyalty mengakibatkan keputusan pembelian bila dijelaskan dalam teori Lau dan Lee (1999, p46) pada jurnalnya yang berjudul "Consumers Trust in a Brand and the Link in Brand Loyalty" dan teori yang dikemukakan Tjiptono (2005, p387). Berarti bahwa terjadi kausalitas antara brand loyalty dengan keputusan pembelian.
47
2.2 Kerangka Pemikiran
Brand Reliability
Brand Intentions
Behaviour measures
Pelayanan Karyawan
Kualitas Produk
Pilihan Produk
Brand Trust (X1)
Switching cost Keputusan Pembelian (Y)
Brand Loyalty (Z)
Brand Image (X2)
Measuring satisfaction
Measuring liking the brand Komitmen
Suasana Pengenalan kebutuhan
Pencarian informasi
Evaluasi alternatif
Kenyamanan
Harga
48
Keputusan pembelian
Perilaku pasca pembelian