BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Definisi Kesehatan, Rumah sakit, dan Tenaga Kesehatan Pengertian – kesehatan, rumah sakit dan tenaga kesehatan, seperti tertuang dalam undang-undang pokok kesehatan RI nomor 9 tahun 1960, dan undang-undang Replubika indonesia Nomor 23 tahun 1992, departemen kesehatan RI tahun 1997, secara beruntun adalah sebagai berikut: Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara secara sosial dan ekonomis (disesuaikan dengan batasan WHO 1947), dan yang dimaksud dengan
sarana
kesehatan
adalah
tempat
yang
digunakan
untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Produk jasa rumah sakit terdiri dari pelayanan medik, penunjang medik dan penunjang non medik yang dilaksanakan oleh rumah sakit dalam bentuk rawat inap. Pelayanan kesehatan rawat inap, adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik atau kesehatan lainnya dengan menempati tempat tidur.
Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. 2.1.1.1 Definisi Dokter Secara operasional, definisi dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama pasien untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi tanpa
memandang jenis penyakit, organologi,
golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, bersinambungan, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakan adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran. Tugas seorang dokter adalah meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosa penyakit pasien secara cepat dan memberikan terapi secara tepat dan cepat 2. Memberikan terapi untuk kesembuhan penyakit pasien 3. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit
4. Manangani penyakit akut dan kronik 5. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar 6. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke Rumah Sakit (RS) 7. Tetap bertangung jawab atas pasien yang dirujukan atau dikonsultasikan 8. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya 9. Memberikan nasihat untuk perawatan dan pemeliharaan sebagai pencegahan sakit 10. Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, pengobatan pasien sekarang harus komprehensif, mencakup promotif, preventif, kuatif, dan rehabilitatif. Dokter berhak dan juga berkewajiban melakukan tindakan tersebut untuk kesehatan pasien. Tindakan promotif misalnya memberikan ceramah, preventif misalnya melakukan vaksinasi, kuratif memberikan obat / tindakan operasi, rehabilitatif misalnya rehabilitasi medis. 11. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, [encegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi 12. Mawas diri dalam mengembangkan diri / belajar sepanjang hayat dan melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu kedokteran
13. Tugas dan hak eksklusif dokter untuk memberikan surat keterangan sakit dan surat keterangan berbadan sehat setelah melakukan pemeriksaan pada pasien. 2.1.2
Fungsi Komunikasi Menurut M. Faiz, Sitti Saleha (2009, p.37) fungsi komunikasi dibagi menjadi : 1. Kontrol Komunikasi itu berfungsi untuk mengontrol perilaku anggota dalam berbagai cara. Organisasi/ perusahaan itu memiliki hierarki kewenangan dan petunjuk-petunjuk normal yang mengharuskan para bawahan untuk mengikutinya. 2. Motivasi Komunikasi itu bisa juga memelihara motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang harus dijelaskan , bagaimana sebaiknya mereka berkerja, dan apa yang dapat dikerjakan untuk meningkatkan prestasi kerja. Pembuatan tujuan-tujuan speseifik, umpan balik untuk kemajuan menuju kepada realsasi, dan penguatan untuk perilaku yang dikehendaki,
semuanya
memerlukan komunikasi.
bisa
untuk
menstimulasi
motivasi
dan
3. Ekspresi emosional Komunikasi dapat memberikan pelepasan ketegangan untuk ekspresi emosional dan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Fungsi terakhir adalah peranannya dalam memfasilitasi pembuatan keputusan. Fungsi ini memberikan informasi yang dibutuhkan oleh kelompokkelompok untuk membuat keputusan dengan mentransmisikan data untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan-pilihan alternatif 4. Informasi Fungsi
komunikasi
menyampaikan
pesan
(informasi)
atau
menyebarluaskan informasi kepada orang lain. Harapannya penerima informasi mengetahui sesuatu yang ingin disampaikan oleh pemberi pesan.
2.1.2.1 Karakteristik komunikasi 1. Komunikasi Merupkan proses simbolis. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu yang lainnya. Kata adalah simbol, karena ia mewakili sebuah benda atau sebuah pengertian. Kata bisa merujuk pada benda yang wujud, seperti matahari, bulan, lingkaran. Atau merujuk pada
sifat, seperti pendiam, pembohong dan sebagainya. Tetapi seringkali pula, kata juga berarti dua. Pertama sesuai makna harfiahnya, tetapi juga berarti sebagai istilah serangkaian peristiwa, sifat sesuatu, tindakan hubungan, konsep dan lain-lain. Seperti kata “joy stick”. Secara harfiah berarti tongkat kesenangan, tetapi kata tersebut merujuk pada perkembangan terakhir untuk sebuah benda dalam alat play station atau handphone yang berfungsi sebagai tombol yang bisa diputar 360 derajat dan ditekan ke bawah. 2. Komunikasi merupakan proses sosial Komunikasi juga berfungsi untuk menjelaskan dan mewariskan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Kesopanan, gaya hidup sehat, dan kemandirian, merupakan sekian dari nilai sosial yang dikomunikasikan. 3. Komunikasi merupakan proses satu arah atau dua arah Bersifat satu arah, manakalla, komunikator tidak memberikan kesempatan kepada komunikannya untuk memberikan umpan balik dalam bentuk pertanyaan. Sebaliknya bila komunikator memberikan umpan balik dalam bentuk pertanyaan adalah bentuk komunikasi dua arah. 4. Komunikasi bersifat koorientasi
Komunikasi bersifat koorientasi, karena dua belah pihak atau lebih, terlibat dalam komunikasi yang mempunyai tujuan yang sama 5. Komunikasi bersifat purposif dan persuasif Komunikasi bersifat purposif karena komunikasi merupakan aktifitas pertukaran pesan-pesan dengan tujuan yang sudah di tentukan. Bersifat persuasif karena komunikasi bertujuan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan sikap 6. komunikasi mendorong interpretasi individu Dalam komunikasi, pengirim pesan maupun penerima pesan harus menginterpretasikan pesan sesuai dengan maksud pengirim. 7. Komunikasi merupakan aktifitas pertukaran makna Komunikasi yan berlangsung antarmanusia tidak dapat dipahami hanya melalui kata-kata yang diucapkan atau yang ditulis. Komunikasi hanya dapat dipahami jika pesan-pesan komunikasi dipahami dalam dua makna yaitu makna denotatif (arti kata berdasarkan kamus) dan makna konotatif (arti kata berdasarkan konteks tertentu) dari situasi yang berbeda di balik kata-kata itu. 8. Komunikasi terjadi dalam konteks.
Komunikasi dilakukan oleh manusia selalu dalam berada dalam sebuah ruang dan waktu, atau disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu. Konteks yang dimaksud berupa : a. Lingkunga fisik, misalnya di klinik praktik pribadi, puskesmas, di tepi jalan raya, di mesjid dan lain-lain. b. Antar
budaya
manakala
komunikasi
itu
melibatkan
komunikator dan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaannya. c. Psikologis, artinya komunikasi itu memperhatikan beragam faktor psikologis seperti persepsi, sikap, motivasi, kebutuhan, keinginan dari pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi. d. Personal, artinya aktivitas komunikasi memperhitungkan situasi hubungan antarpribadi (interaksi sosial, relasi sosial, atau transaksi sosial) e. Kelompok, artinya aktivitas komunikasi turut memperhatikan sifat dan karakteristik kelompok, jumlah anggota dalam kelompok, daya tarik kelompok, dinamika kelompok , dan lain-lain.
f. Organisasi, artinya aktivitas komunikasi turut memperhatikan tujuan organisasi, karakteristik atau sifat organisasi, jumlah orang dalam organisasi, daya tarik organisasi, dinamika organisasi, dan lain-lain. g. Massa, artinya aktivitas komunikasi turut memperhatikan sifatsifat massa, atau katagori massa yang dapat dirinci dalam ciri-ciri kategori seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, gaya hidup dan lain-lain.
2.1.2.2 Komunikasi Kesehatan Di dalam buku yang ditulis oleh M. Fais Satrianegara dan Siti Saleha (2009 : 73) komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktik-praktik kesehatan populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah lakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status kesehatan. Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan prilaku yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, atau melindungi individu-individu terhadap bahaya.
Komunikasi kesehatan yang efektif merupakan suatu kombinasi antara seni dan ilmu. Setidaknya salah satu dari kunci-kunci keberhasilan adalah penerapan metodologi komunikasi kesehatan yang ilmiah, serta sistematis bagi masalah-masalah kesehatan masyarakat.
2.1.2.3 Komunikasi Dokter dengan Pasien Secara garis besar komunikasi dokter dengan pasien meliputi : 9 Mampu mengobati pasien dengan cara mutakhir, teliti dan terampil. 9 Mampu mendengarkan, menghormati pendapat pasien, berlaku santun dan penuh pertimbangan, berkomunikasi dengan baik, memberikan nasihat tanpa menggurui. 9 Mampu menyimpan rahasia, bersifat jujur dan punya integritas, dan tetap memberikan asuhan walaupun ilmu kedokteran tidak berhasil lagi. 9 Mampu mempertahankan hubungan luwes sehingga pasien mendapat penjelasan lengkap dan dapat dilibatkan dalam keputusan tentang asuhan.
Keterampilan yang dibutuhkan seorang dokter meliputi lingkup keterampilan berpikir, berfikir, berkomunikasi dan keterampilan tindakan praktis seperti dapat dilihat pada bagan berikut :
Sumber : M. Fais Satrianegara dan Siti Saleha (2009 : 73) Gambar 2.1 Lingkup keterampilan Empati adalah kemampuan memahami dan ikut serta dalam permasalahan orang lain. Model komunikasi dokter – penderita adalah model yang menempatkan informasi sebagai milik bersama. Dokter dapat membuka saluran komunikasi dengan pasien dengan cara mendengarkan secara aktif serta mempunyai empati. Sedangkan pasien dapat membuka saluran komunikasi dengan dokter apabila pasien mempunyai motivasi untuk sembuh serta mempunyai rasa percaya kepada dokter.
Kepercayaan dokter terhadap pasien merupakan modal yang kuat bagi dokter untuk membina hubungan dengan pasien. Kepercayaan tersebut harus dijaga termasuk kepercayaan pasien bahwa dokter akan menjaga kerahasiaan pasien, mengenai apa yang dia ketahui dan dia lihat dari pasien. Kewajinan menyimpan rahasia kedokteran tidak hanya merupakan kewajiban yang dibebankan oleh profesi kedokteran tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Keterampilan berkomunikasi telah dipunyai oleh seseorang sejak kecil. Keterampilan tersebut dapat dikembangkan. Dalam pekerjaannya dokter harus mampu berkomunikasi dengan pasien dalam berbagai situasi serta terampil menyampaikan kabar buruk (telling bad news).
Sumber : M. Fais Satrianegara dan Siti Saleha (2009 : 73) Gambar 2.2 Model Terjadinya Sakit Rasa empati tumbuh sejak kecil baik dalam didikan keluarga, sekolah serta kegiatan di luar sekolah. Kemampuan empati tidak hanya monopoli dokter tetapi dipunyai oleh semua orang. Namun agar dapat berkomunikasi
dengan baik dengan pasien maka dokter harus mampu menumbuhkan rasa empati pada dirinya. Dalam melaksanakan pekerjaannya dokter dituntut oleh etika kedokteran. Keterampilan komunikasi dan empati merupakan dasar yang kuat untuk menjalankan etika kedokteran. Dengan demikian etika kedokteran mencakup : 9 Kesanggupan memahami keluhan dan pribadi pasien 9 Kemampuan menumbuhkan empati 9 Kemampuan mempertahankan kerahasiaan hubungan dokter-pasien 9 Kewajiban melakukan pendekatan ilmiah (analitik) pada pasien dan masalahnya 9 Kewajiban memberitahu pasien tentang tindakan dan rencana selanjutnya, serta melanjutkan asuhan pasien 9 Kemampuan menolong pasien mengambil keputusan terbaik mengenai penyakit dan hidupnya 9 Prinsip untuk menghargai hak orang lain.
2.1.2.4 Tekhnik Komunikasi Yang Efektif
Untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar pribadi antara dosen dan pasien, inisiatif harus diambil dari dokter tersebut, karena menurut para ahli dokterlah yang dituntut untuk menciptakan suasana yang mendukung. Akan tetapi karena waktu kerja dokter yang sempit dengan pekerjaan yang sudah menunggu, sehingga tekhnik yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah digunakan, dan juga efektif. Terdapat berbagai cara dalam melakukan komunikasi yang efektif, yaitu teori yang dibuat oleh Devito. Untuk menciptakan komunikasi antar personal, terdapat syarat yang harus dipenuhi, antara lain : •
Positiveness (sikap positif)
•
Emphaty (merasakan perasaan orang lain)
•
Supportiveness (sikap mendukung)
•
Equality (keseimbangan antara pelaku komunikasi)
•
Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka) Dalam tindakan praktisnya kondisi komunikasi antara dokter dengan
pasien diharapkan terjadi seperti berikut : •
Positiveness
Dokter diharapkan mau menunjukan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien (keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan). Tidak boleh seorang dokter selalu menyangga apapun yang disampaikan pasiennya, karena mungkin menurut pasien, pesan itu termasuk gagasan hebat. Dengan demikian pasien dapat lebih berani menyampaikan pesannya, nukan kemudian menyimpannya dalam hati dan menyampaikannya, bahkan mengadukan pada orang lai. •
Emphaty Dari hasil pengamatan serta cerita-cerita para pasien, diketahui bahwa hampir semua pasien yang harus ditangani/diobati oleh dokter memiliki takut yang besar. Yang terutama adalah rasa takut akan keselamatan jiwa, dan juga rasa sakit yang ditimbulkan dengan menggunakan alat-alat. Rasa takut itu sudah muncul hanya dengan melihat alat-alat yang sudah siap dimeja. Seorang dokter diharapkan menyadari dan peduli dengan perasaan ini(empati) dan menunjukan pada pasien bahwa ia peduli. Kejujuran seorang dokter yang mengatakan “ Anda akan merasakan sakit sebentar.... “ justru akan menenangkan pasien karena pasien merasa tidak sendirian dalam merasakan sakit dan ada orang lain yang peduli.
•
Supportivenes
Ketika seorang pasien nampak ragu untuk memutuskan sebuah pilihan tindakan, dokter diharapkan memberikan dukungan agar keraguan itu berkurang atau bahkan hilang. Sehingga pasien menjadi percaya diri dan berani saat memilih keputusan itu. Walaupun akibat keputusan itu akan menimbulkan derita dengan dukungan dokter, derita akan dianggap konsekuensi oleh pasien, bukan resiko (posisi sebagai korban). Akan lebih baik jika dokter mencontohkan (walaupun hanya karangan) bahwa dia juga akan mengambil keputusan yang sama dengan pasien jika dia memiliki masalah seperti itu. •
Equality Yang dimaksud dengan kesamaan / kesetaraan adalah bahwa diantara dokter dan pasien tidak boleh ada kedudukan yang sangat berbeda, misalnya dokter yang menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. Walaupun dalam relasi ini dokter diakui lebih tahu dan lebih bisa, dia tidak boleh memperlakukan pasiennya hanya sebagai objek yang tidak tahu apa-apa dan kesiapannya menjalani pemeriksaan / penanganan / pengobatan. Jika memungkinkan pasien sebaiknya merasa bahwa dokter yang menanganinya adalah teman, bukan orang asing yang tidak boleh ditanyai apapun.
•
Openess
Dengan menciptakan suasana yang santai (dengan instrumen musik yang lembut di latar belakang) di ruang praktek, keakraban dapat dibangun dan diharapkan pasien mau menyampaikan apa yang dikhawatirkannya, tindakan apa yang sebenarnya diinginkan dilakukan oleh dokternya. Sebaiknya adalah bahwa dokter diharapkan juga lebih bersedia bercerita tentang apa yang sedang dilakukannya saat demi saat. Jika perlu, dokter dapat mengatakan kesulitan yang dihadapinya saat menangani masalah pasien, masalah yang bakal dihadapi pasien, dsb. Dengan keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun kepercayaan (trust) dari pasien pada dokternya.
2.1.2.5 Mengembangkan komunikasi yang efektif Menurut buku yang ditulis oleh Philip Kotler (2005 : 250), cara mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sebagai berikut : •
Identifikasi pendengan sasarannya. Proses tersebut harus dimulai pendengar sasaran yang jelas dalam benak: calon pembeli produk perusahaan tersebut, pemakai sekarang, penentu kebijakan, atau pihak yang mempengaruhi; orang-orang, kelompok, masyarakat tertentu, atau masyarakat umum. Pendengar sasaran tersebut akan sangat mempengaruhi keputusan komunikator tentang apa yang harus
dikatakan, bagaimana mengatakannya, kapan mengatakannya, dimana mengatakannya, dan kepada siapa mengatakannya. •
Tentukanlah tujuan komunikasinya. Pemasar dapat mencari tanggapan kognitif, afektif, atau perilaku. Maksudnya pemasar tersebut mungkin ingin memasukan sesuatu kedalam pikiran konsumen, mengubah sikap, atau mengupayakan konsumen tersebut bertindak.
•
Rancanglah pesannya. Perumusan pesan akan memerlukan pemecahan 4 masalah: apa yang harus dikatakan (isi pesan), bagaimana mengatakannya
secara
logis
(struktur
pesan),
bagaimana
mengatakannya secara simbolis (format pesan), dan siapa seharusnya mengatakannya (sumber pesan). •
Pilihlah saluran komunikasinya. Komunikator harus memilih saluran yang efisien untuk menyampaikan pesan. Saluran komunikasi dapat bersifat pribadi dan non-pribadi. Saluran komunikasi pribadi melibatkan dua atau beberapa orang yang berkomunikasi langsung satu sama lain dengan tatap muka, satu orang dengan pendengar, melalui telepon, atau melalui e-mail. Saluran komunikasi pribadi memperoleh efektivitasnya melalui presentasi dan umpan balik yang bersifat perseorang.
•
Tetapkanlah anggaran total komunikasi pemasarannya. Salah satu keputusan pemasaran tersulit adalah beberapa banyak uang yang diperlukan untuk promosi.
2.1.3
Konsep kepercayaan
2.1.3.1 Kepercayaan Konsumen Rasa percaya merupakan landasan bisnis yang kuat. Tanpa adanya rasa percaya, tidak akan ada transaksi binsnis yang terjadi. Jadi jelaslah bahwa kepercayaan merupakan motor penggerak bisnis. Menurut Graham Dietzs dan Dianne N den Hartog, dalam jurnal measuring trust inside organization (personnel review,2006,vol.35,no.5) , menyebutkan bahwa kepercayaan memiliki 2 bentuk konsep yaitu: a. “trust is a subjective,aggregated and confident set of beliefs about the other party and one’s relationship with her or him,which lead to assume that the other party’s likely actions will have positive consequences for oneself”. Yang artinya kepercayaan bersifat subjektif, tertimbang dan keyakinan pada pihak lain dalam suatu hubungan sehingga timbul asumsi bahwa apapun tindakan yang diambil pihak lain tersebut hanya akan berakibat positif bagi orang tersebut.
b. “trust is the decision to actually trust the other party”. Yang artinya kepercayaan merupakan suatu keputusan untuk seutuhnya mempercayai orang lain. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan itu akan muncul apabila seseorang yakin bahwa mitranya akan memberikan tindakan yang positif atau sesuai dengan harapan. 2.1.3.2 Membangun Kepercayaan konsumen Pada dasarnya kepercayaan konsumen timbul dari suatu proses pembinaan yang cukup lama sampai kedua belah pihak saling mempercayai. Apabila kepercayaan sudah terjalin diantara pelanggan dan perusahaan, maka perusahaan tidak akan sulit untuk mempertahankan pelanggannya. Dalam sebuah artikel yang berjudul “membangun kepercayaan dengan kedekatan, sinar harapan 2007”, menyebutkan bahwa hanya ada satu kunci untuk membangun kepercayaan konsumen, yaitu dengan pendekatan. Namun pendekatan ini memiliki tiga titik tolak, yaitu : •
Kedekatan fisik Kedekatan fisik dalam konteks ini adalah bagaimana perusahaan harus bisa membangun kedekatan dengan konsumen nya melalui komunikasi yang baik dengan para konsumennya. Menurut
Lieberman bahwa “komunikasi menciptakan rasa saling percaya, dan memungkinkan kita untuk membangun jembatan psikologis dengan orang lain.” . konteks komunikasi yang dimaksud disini adalah komunikasi 2 arah yaitu yang mencakup tindakan, menyampaikan pendapat dan informasi. Yang penting adalah membangun komunikasi yang tulus sehingga antara pihak perusahaan dengan konsumen terjalin kedekatan sehingga perusahaan bisa mengerti apa yang diinginkan oleh konsumen •
Kedekatan intelektual. Kedekatan fisik saja ternyata belum lengkap dalam membangun kepercayaan. Kedekatan intelektual perlu diterapkan juga agar kepercayaan tidak hanya pada permukaan saja, tapi juga bisa meraih ke pikiran. Yang dibidik dari kedekatan intelektual adalah keinginan untuk dimengerti. Jika kondisi saling mengerti bisa diciptakan maka kepercayaan pun lebih mudah untuk dibangun antara kedua belah pihak. Kedekatan intelektual bisa dikembangkan dengan mencari kesamaan pengalaman dan kesamaan bahasa yang digunakan. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman konsumen selama menggunakan produk attau jasa, apakah mereka merasa puas atau sebaliknya.
Melalui pendekatan intelektual ini perusahaan diharapkan bisa lebih tahu hal-hal apa saja yang membuat mereka puas. •
Kedekatan emosional Kedekatan fisik dan intelektual memang perlu dibangun, tetapi yang paling penting adalah mempertahankan kedekatan secara emosional. Kedekatan emosional inilah yang membuka kunci ”kepercayaan” orang lain akan diri kita. Tanpa adanya kedekatan ”emosional”, rasa percaya tidak akan pernah ada. Kedekatan emosional bisa muncul jika ada rasa saling menyukai, keinginan untuk saling membantu, dan ketulusan untuk saling menghargai antara konsumen dan perusahaan.
2.1.3.3 Proses Untuk Menumbuhkan Kepercayaan Beberapa proses yang diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan adalah menurut Doney dan Canon, 1997 (dalam Bruhn, 2003: 65) dalam Jurnal Marketing dan Kewirausahaan vol.6, No.2, September 2004, yaitu : •
Proses yang terkalkulasi Menurut proses ini pihak tertentu yakin pada perilaku positif pihak lain ketika manfaat dari perilaku negatif
pihak yang sama memiliki konsekuensi biaya yang lebih rendah. •
Proses prediktif Kepercayaan menurut proses ini sangat bergantung pada kemampuan pihak tertentu untuk mengantisipasi perilaku pihak lainnya.
•
Proses kemampuan Proses ini berkaitan erat dengan perkiraan kemampuan pihak lain dalam memenuhi kewajibannya.
•
Proses intensi Menurut proses ini kpercayaan didasarkan pada tujuan dan intense pihak lain.
•
Proses transfer
Kepercayaan menurut proses ini mengacu pada penilaian pihak lain diluar pihakpihak yang terlibat dalam proses transfer.
2.1.3.4 Manfaat Membangun Kepercayaan Konsumen Menurut
Shabazz,
Abu
An-Nagary
(2008)
maanfaat-manfaat
kepercayaan konsumen bagi pegiat bisnis adalah sebagai berikut: 1. Meraih sukses berkesinambungan
dibangunnya
Membangun kepercayaan pelanggan harus berlandaskan satu petunjuk yang pasyi, yaitu suatu petunjuk yang memiliki visi dan misi yang jauh melihat kedepan. Dengan berpegang kepada rencana strategic dan rencana operasional yang baku, visioner maka tidak ada kekhawatiran bagi yang menjalankannya. 2. Selalu dilindungi oleh atasannya Atasan dalam hal ini adalah konsumen. Dimana bila perusahaan telah memegan kepercayaan konsumen tentu akan mendapatkan imbal balik yang paling berharga dari konsumen, yaitu perusahaan selalu mendapatkan informasi langsung dari konsumennya, apa yang baik dan buruk atas barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan. 3. Memperkokoh loyalitas Kepercayaan konsumen yang diperoleh akan berakibat pada munculnya loyalitas pelanggan kepada perusahaan, disaat-saat kita dalam kondisi yang sulit, pelanggan datang kepada perusahaan sebagai penolong dengan tetap berbelanja produk atau jasa di perusahaan.
2.1.4 Konsep Komitment 2.1.4.1 Pengertian komitmen organisasi
Menurut Robbins (2003 : 92), komitmen organisasi diidentifikasikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Sedangkan berdasarkan Luthans (2006 : p249), komitmen organisasi didefinisikan sebagai : 1. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi 3. Keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi Dengan kata lain ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada
organisasi
dan
proses
berkelanjutan
di
mana
anggota
organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakina, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.
2.1.4.2 Komitmen Anggota Organisasi
Komitmen merupakan gambaran kesetiaan para anggota organisasi termasuk pimpinan
organisasi
terhadap
organisasinya.
Komitmen
merupakan
proses
berkelanjutan dimana para anggota organisasi masing-masing menyumbangkan karyanya untuk kemajuan. Komitmen merupakan hal utama yang paling tinggi dalam merekatkan sistemsistem yang diperlukan dalam organisasi untuk menjalankan aplikasi-aplikasi strategis yang sudah disepakati bersama, yang memperlihatkan rasa memiliki yang kuat dari semua unsur yang berada dalam organisasi. Setiap dokter spesialisdapat memiliki komitmen yang berbeda-beda, dapat berupa komitmen rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta. Berbagai model keterlekatan dokter spesialis rumah sakit :
Rendah Tinggi
Keterlekatan Kepada Rumah Sakit Pemerintah
A
Keterlekatan kepada rumah sakit swasta Rendah Tinggi B
Tidak berkomitmen kemana‐mana C D Berkomitmen kepada RS. Pemerintah
Berkomitmen kepada RS. Swasta Berkomitmen kepada keduanya
(sumber: Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Trisnantoro, 2005) Tabel 2.1 Model komitmen dokter spesialis terhadap rumah sakit
Berdasarkan tabel, apakah mungkin seorang spesialis mempunyai komitmen untuk rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta secara sama? Secara teoritis sebenarnya dapat, tetapi secara praktis kemungkinan akan mengalami kesulitan. Salah satu kesulitan praktis adalah pembagian waktu, meningat bahwa ada kemungkinan seorang spesialis bekerja tidak hanya disatu rumah sakit swasta, maka akan terjadi kesulitan membagi waktu. 2.1.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen Menurut Dona Fatia (2008 : 32) yang mengutip DITJEN PUOD DEPDAGRI (2000) dan Subanegara (2005), komitmen dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu: 1. Faktor personal (personal faktor) a. Usia Umumnya orang dengan usia lebih muda memiliki katagori kebutuhan yang berbeda. Pada usia 35 tahunan orang akan mulai mencari kebutuhan akan keamanan, kemapanan sedangkan diatas 50 tahun mulai mencari kebutuhan aktualisasi diri. Cepat lambatnya akselerasi perpindahan kebutuhan ini sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dari karyawan yang bersangkutan. Perbedaan kebutuhan menyebabkan tingkat komitmen yang berbeda-beda antar satu karyawan dengan karyawan yang lain
b. Perasaan dan kecerdasan emosi Karyawan dengan ecerdasan emosi tinggi, dimana ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya, biasanya memiliki komitmen yang tinggi, tidak mudah putus as dan frustasi menghadapi tekanan yang cukup besar yang menimpa dirinya. Sebalinya bagi karyawan atau staf dengan kecerdasan emosi yang rendah biasanya komitmennya rendah pula ia sangat sulit mengendalikan emosi, ia merasa dirinya yang paling benar, hanya mementingkan diri sendiri, mudah tersinggung sehingga akan sulit beradaptasi, selalu gelisah berada dalam lingkungan yang ia tempati sekarang akibatnya bisa dua macam, ia akan keluar dari organisasi atau ia tetap dalam organisasi tapi kemudian ia tidak produktif dan seringkali melakukan sabotase terhadap organisasi. c. Sifat Sifat atau kepribadian sesungguhnya terbentuk dari sejak usia nol tahun sampai tujuh tahun, setelah itu akan menetap sampai dewasa. Akibatnya dalam organisasi akan terjadi bermacam-macam nilai yang akan saling berbenturan dan dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang sangat sulit dipecahkan karena menyangkut nilai dasar seorang manusia. Manusia ada yang bersifat serakah, mau
menang sendiri, tidak sensitif terhadap kepentingan orang lain, tidak pernah puas dengan apa yang di dapat saat ini, dan akan melakukan segala cara untuk memuaskan keinginannya. 2. Faktor Organisasi a. Kepemimpinan Kepemimpinan
dalam
organisasi
akan
berpengaruh
terhadap
komitmen seseorang untuk tetap berada dalam organisasi tersebut. Jika pemimpin memiliki kepemimpinan yang baik maka sebenarnya dia sedang membentuk suatu kekuatan besar, karena dukungan datangnya dari komitmen karyawan yang senang memiliki pemimpin yang mereka dambakan. Namun sebaliknya kepemimpinan yang buruk akan tidak mendapati simpati dari karyawannya dan akan berakibat suasana kerja yang tidak nyaman bagi mereka. Terlepas baik atau buruknya insentf tetap saja komitmen yang akan menjadi longgar. b. Iklim bekerja Keadaan tempat bekerja, hubungan antar karyawan, kepercayaan kepada sistem, keterbukaan dan berbagai hal lainnya merupakan bagian dari iklim bekerja yang dapat meningkatkan komitmen. c. Kompensasi
“there are two things people want more than sex and money.. recognation and praise”. Kutipan tersebut seperti yang diucapan oleh Mary Kay Ash, chairman Emiratus, Mary Kay Cosmetics. Kata-kata ini sebenarnya bertujuan menyatakan bahwa kompensasi yang diberikan oleh lembaga untuk karyawannya dapat berupa kompensasi uang atau uang. Disini terjadi interaksi antara sifat karyawan dan jenis kompensasinya. Terdapat karyawan yang mengharapkan uang tetapi juga terdapat karyawan yang mengharapkan surga sebagai balasan atas kerja kerasnya di rumah sakit. Kombinasi antara kompensasi uang dan non uang ini dapat mempengaruhi komitmen. Karena banyak faktor yang mempengaruhi komitmen seseorang pada organisasi, maka Mayer dan Allen menguraikan tiga Dimensi Komitmen dari komitmen organisasi yaitu : komitmen afektif, komitmen kontinuans, komitmen normatif. Menurut Darmadjaja (2001), komitmen dokter spesialis sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang dijalankan dirumah sakit tersebut, termasuk didalamnya bagaimana
gaya
kepemimpinan
yang
diterapkan
dan
bagaimana
direktur
memperlakukan dokter sesialis, baru kemudian suasana kerja yang nyaman terutama suasana non fisik yang didapat dari hubungan interpersonal yang harmonis, dan akhirnya sistim insentif yang transparan.
2.1.4.4 Dimensi Komitmen Menurut Dona Fathia (2008 : 36) yang mengutip pendapat Mayer dan Allen, komitmen terdiri dari tiga dimensi yaitu: a. Komitmen afektif Melibatkan rasa memiliki dan terlibat didalam organisasi. Seseorang yang telah berada lama dalam organisasi seharusnya memiliki komitmen yang tinggi, jika diberikan penghargaan oleh organisasinya. Komitmen ini lebih bersifat mengikat karyawan. Seseorang tidak mau meninggalkan organisasi karena ia sangat meyakini bahwa rasa memiliki dan rasa tanggung jawabnya terhadap pekerjaan menahannya untuk tidak melakukan itu b. Komitmen kontinuans Dimensi komitmen atas dasar besar kecilnya pembiayaan yang akan ditanggung oleh karyawan jika meninggalkan organisasi. Tentu saja dalam hal ini erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk memperhitungkan resiko yang akan diambilnya. Jadi yang menentukan komitmen adalah faktor rasional. Bisa saja dalam satu organisasi ada karyawan yang hanya memiliki komitmen ini, ia tidak mau ambil pusing dengan yang lainnya yang penting kebutuhannya untuk pembiayaan hidupnya bisa terpenuhi.
c. Komitmen normatif Komitmen ini lebih menekankan kepada keterlibatan perasaan dan menggambarkan dedikasi seseorang untuk tetap tinggal dan bekerja pada organisasinya. Seseorang akan tetap setia karena perasaannya memang mengatakan demikian. Komitmen ini merupakan komitmen yang paling tinggi. Dalam komitmen ini perasaan sangat mendominasi dan akan menimbulkan motivasi yang besar terhadap pekerjaan Komitmen yang harus dibangun adalah komitmen afektif dan komitmen normatif, sebab kedua komitmen ini akan sangat kuat dan mengikat, hanya saja memerlukan kesabaran dan ketelitian untuk membangunnya dan membutuhkan waktu yang sangat lama, sebab kuncinya adalah membangun kepercayaan kepada organisasi. 2.1.4.5 Komitmen Pasien Hennig-Thurau et al (2002) mengutip pendapat dari Geyskens et al (1996) dan Moorman et al (1992), bahwa komitmen dapat digambarkan sebagai orientasi dari pasien dalam jangka panjang melalui sebuah hubungan bisnis yang dibangun atas dasar ikatan sosial. Selain itu, komitmen juga dapat dijelaskan sebagai balasan yang akan diperoleh pelanggan apakah akan mendapatkan manfaat bersih dari penggunaan
barang atau jasa, daripada berhenti berhubungan dengan perusahaan tersebut (Geyskens et al., 1996) Morgan dan Hunt (1994) dalam pendapatnya, mendukung uraian sebelumnya, yaitu jika partner dapat memberikan manfaat tinggi, maka akan mampu mendorong komitmen partner lain untuk membangun, mengembangkan dan mempertahankan hubungan relasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan faktor penting untuk memperkuat hubungan.
2.1.4.6 Komitmen Psikologis Joohyun Lee dalam jurnal “Psychological commitment as a mediator of the relationship between involvement and loyalty” mengatakan : “from a sociological perspective, the concept of commitment is explained as consistent behavior over some period caused by social pressure or side bet (becker, 1960). Therefore behavioral consistency and outside influences are important facets of commitment. Extending this view, Johnson (1973) proposed two distinct meanings: personal commitment and behavioral commitment. Personal commitment refers to an individual’s dedication to achieve a line of action. Behavioral commitment is a consistent behavior, which consist of social and cost components”
Pernyataan diatas mengemukakan bahwa konsep komitmen dijelaskan sebagai sebuah perilaku yang konsisten selama beberapa periode yang dipengaruhi oleh tekanan sosial. Oleh karena itu konsistensi dari perilaku merupakan hal penting dalam komitmen. Dalam pandangan yang lebih luas, Johnson mengusulkan dua makna yang berbeda, yaitu komitment pribadi dan komitmen perilaku. Komitmen pribadi mengacu pada dedikasi individu untuk mencapai garis tindakan. Komitmen perilaku adalah perilaku yang konsisten, yang terdiri dari komponen sosial dan biaya.
Pritchard, Havittz dan Howard (1999 : 334) menyatakan : “unlike the sociological definition that emphasizes the social aspect of commitment, the psychological perspective stresses the role of personal commitment. Commitment is the emotional or psychological attachment to a brand..[that] is usually considered in purely cognitive terms that measure consumer attitudes of attachment to a brand” Pernyataan diatas menjelaskan bahwa tidak seperti definisi sosiologis yang menekankan aspek sosial dari komitmen, perspektif psikologis menekankan peran komitmen pribadi. Komitmen adalah ikatan emosional atau psikologis untuk merek yang biasa dianggap dalam hal kognitif murni untuk mengukur sikap konsumen dari keterikatan pada sebuah merek.
Berdasarkan Buchanan (1985 : 402) “commitment is defined as the pledging or binding of an individual to behavioral acts which result in some degree of affective attachment to the behavior. Therefore, psychological attachment is considered as a key component of commitment”
Buchanan menjelaskan bahwa komitmen didefinisikan sebagai suatu jaminan atau pengikat individu untuk tindakan konsumen yang mengakibatkan beberapa keterikatan afektif terhadap perilaku. Oleh karena itu, ikatan psikologis dianggap sebagai komponen kunci dari komitmen. Untuk menambahkan pembuktian dalam pengukuran komitmen, Pritchard, Howard, dan Havitz (1992) mengadaptasi teori dari Crosby & Taylor (1993) mengenai psychological commitment , menyatakan: “as a basis for the operationalization of the Psychological commitment instrument (PCI). The primary aspect of the PCI is symbolic consistency that measures overall reluctance to change important associations with service. The second factor of PCI is volition which is related to components of free choice and control in one’s preference for service. Positional involvement is the third factor and refers to personal values and self-images perceived in association with service” Pernyataan diatas dapat diartikan, sebagai dasar bagi operasionalisasi instrumen komitmen Psikologi (PCI). Aspek utama dari PCI adalah konsistensi simbolik bahwa langkah-langkah keengganan secara keseluruhan untuk mengubah asosiasi penting dengan layanan. Faktor kedua PCI adalah kemauan yang terkait dengan komponen pilihan bebas dan kontrol dalam preferensi seseorang untuk layanan. Posisi keterlibatan adalah faktor ketiga dan mengacu pada nilai-nilai pribadi dan self-image yang dirasakan dalam hubungan dengan layanan.
2.1.5
Sustainable Competitive Advantage (SCA) Dalam jurnal an examination of the “sustainable competitive advantage
concept: Past, Present, and Future” , Nicole P. Hoffman (2000 : 32) menyatakan, Ide dari munculnya keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (SCA) muncul pada tahun 1984. Ketika Day menyarankan jenis strategi yang dapat membantu untuk “mempertahankan keunggulan kompetitif”. Istilah yang sebenarnya “SCA” muncul pada tahun 1985 ketika Porter membahas tipe-tipe dasar dari strategi kompetitif suatu perusahaan untuk mencapai Sustainable Competitive Advantage (SCA). Tetapi menariknya, tidak ada definisi yang konseptual yang resmi disampaikan oleh Porter dalam pembahasannya.. Barney (1991 : 102) datang dengan definisi formal yang menyatakan SCA didefinisikan sebagai berikut: “Sebuah perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika menerapkan strategi penciptaan nilai tidak secara simultan dilaksanakan oleh pesaing saat ini atau potensial dan ketika perusahaan lainnya tidak mampu untuk menduplikasikan manfaat dari strategi ini” Menurut Robbins (2002 : 211) adapun definisi competitive advantage is what sets an organization apart, that is, its distinct edge. Sedangkan competitive advantage menurut Kotler (1996) adalah keunggulan dibandingkan dengan pesaing yang diperoleh dengan menyampaikan nilai yang lebih besar pada pelanggan, harga yang
lebih murah atau dengan menyediakan lebih banyak manfaat yang sesuai walaupun dengan harga yang lebih tinggi. Menurut Robbins dan Coulter (2002) cara untuk membangun ataupun mengembangkan strategi kompetitif yang efektif adalah dengan cara mengetahui dan mengerti dengan baik competitive advantage sebagai konsep kunci didalam manajemen strategis. Maka dari itu untuk mencapai competitive advantage yang dibutuhkan oleh setiap perusahaan adalah strategi kompetitif, yaitu strategi di tingkat bisnis yang memiliki perhatian utama pada penciptaan keunggulan kompetitif produk atau jasa yang terus menerus. Pilihan strategi kompetitif ini diambil agar suatu perusahaan dapat memperoleh competitive advantage. 2.1.5.1 Strategi Kompetitif Manajemen perlu senantiasa merumuskan dan memilih strategi apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh perusahaan untuk mengikuti perkembangan bisnis yang selalu berubah dar waktu ke waktu, maka dari itu dibutuhkan adanya analisa linkungan terutama industri, karena lingkungan industri menurut Porter dalam teorinya tentang five-forces mode of competition sangat berpengaruh terhadap penentuan strategi sebuah perusahaan. Sebuah perusahaan tidak akan merumuskan strategi dengan baik apabila tidak mengetahui karakter industri tersebut. Maka dari itu sebua industri harus dipaham
karena industri merupakan medan tempat perusahaan bersain dengan perusahaan lainnya. Porter (1980 : 53) menilai bahwa perusahaan secara nyata atau samar – samar, tidak hanya bersaing dengan perusahaan lainnya dalam hal industri pada saat tertentu saja, tetapi juga bersaing dengan pesaing potensial, yaitu yang akan masuk (new entrants), para pemasok (suppliers), para pembeli (buyers), dan produsen produk – produk pengganti (subtitusi). Dan menurut Porter, kompetisi sangat dipengaruhi oleh lingkungan politik, ekonomi, hukum dan teknologi. (referensi)
Gambar 2.3 Competitive Strategy
Maka dari itu perlu ditekankan lagi bahwa manajemen perlu senantiasa merumuskan dan memilih strategi kompetitif yang seperti apa yang arus dilakukan untuk mengikuti perkembangan bisnis yang selalu berubah – ubah dari waktu ke waktu. Perlu juga diingat sesuai dengan teori pemilihan strategi kompetitif yang bertujuan dan berfokus pada persaingan produk dan jasa di pasar, merupaan hasil analisis lingkungan kekuatan internal, peta persaingan, persepsi konsumen dan lain – lain, sesuai dengan teori Michael Porter tentang five-forces model of competition.
2.1.5.2 Pilihan Strategi Kompetitif Pada bagian sebelumnya, sudah dijelaskan tentang dasar strategi kompetitif. Menurut Sitinjak (2004), salah satu model dari strategi kompetitif adalah model Porter’s generic strategy. Model ini merupakan salah satu dasar dari pilihan strategi kompetitif yang dapat di implementasikan agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif. Porter (1980 : 40) menyatakan dalam model generic strategies, bahwa ada dua strategi bisnis yang mendasar, yaitu low cost leadership dan differentiation. Low cost
leadership
adalah
kemampuan
untuk
merancang,
memproduksi,
dan
memasarkan suatu produk agar lebih efisien dibandingkan pesaing. Lebih lanjut Porter mengatakan “although low cost leaders don’t place a lot of emphasis
on’frills’, the product or service being sold must be perceived as comparable in quality to that offered by rivals or at least be acceptable to buyers”. Sedangkan definisi differentiation menurut Porter (1980) adalah kemampuan untuk memproduksi sesuatu dengan nilai yang unik superior melalui kualitas produk, feature yang spesial atau layanan purna jual. Variasi dari kedua dasar strategi bisnis diatas adalah focus. Strategi focus ini dikenal juga dengan nama niche strategy. Dimana sebuah organisasi atau perusahaan dapat memilih apakah mengambil cara low cost leadershp, differentiation ataupun keduanya. Menurut Porter (1980 : 40) “skills and resourcesthat commonly required to run a focus strategy is a combination of the foregoing policies directed at the particular target”. Namun demikian model porter’s generic strategy memiliki kelemahan yaitu dapat membuat perusahaan ataupun organisasi berada di dalam situasi yang dinamakan stuck in the middle dimana perusahaan berada dalam kondisi gagal dalam meraih dan melaksanakan strategi milik Porter, serta mengakibatkan perusahaan tidak mendapatkan keunggulan kompetitif sedikitpun. Model Porter’s generic strategy ini selanjutnya dikembangkan oleh Bowman dan Faulkner menjadi model matriks konsumen (customer matrix) sebagai pengembangan dan langkah pilihan dalam pengambilan strategi kompetitif. 2.2
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Hubungan Antar Variable : •
Hubungan
komunikasi,
Kepercayaan,
dan
Komitmen
(dalam
jurnal
International Journal of Business and Management (2011:80) vol. 6, No. 6; June 2011, oleh Rachid Zeffane, PhD ) “The relationships between communication, trust and commitment has yielded mixed results. Although exploratory, the results of this study clearly indicate that while a close link exists between all of the three variables, the relationship between communication and trust is by far the strongest, followed by that between trust and commitment. These findings lend support to the strong logical assumption that trust is at the centre of this triadic relationship, while commitment is the end product of such relationship” Pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang erat antara variable komunikasi, kepercayaan, dan komitmen. Hubungan antara komunikasi dan komitmen adalah yang paling kuat
yang diikuti oleh kepercayaan dan komitmen. Hasil temuan ini memberikan dukungan yang logis bahwa kepercayaan adalah pusat dari hubungan antara 3 variable tersebut. Sementara komitmen adalah produk akhir dari hubungan tersebut. •
Hubungan kepercayaan terhadap komitmen
Bowen dan Shoemaker (2003) dan Hoffman (2002) dalam jurnal adm. Kebijakan kesehatan vol. 6, no 3, september-desember 2008 (139-147), menyatakan bahwa dalam hubungan pemasaran di bidang jasa, konsumen jika ingin melanjutkan hubungan dengan penyedia jasa arena mereka telah membangun kepercayaan. Sebelumnya, Morgan and Hunt (1994) melalui penelitian mereka, telah menemukan bahwa kepercayaan secara signifikan mempengaruhi komitmen dalam suatu hubungan. •
Hubungan antara Kepercayaan, Komitmen, dan Sustainable Competitive Advantage ( jurnal “ an examination of the sustainable competitive advantage. Concept: Past, Present, and future) “As developed earlier, SCA may be defined as the prolonged benefit of
implementing some unique value-creating strategy not simultaneously being implemented by any current or potential competitors along with the inability to duplicate the benefits of this strategy. If trust is present, then firm performance is enhanced (Achrol, 1997). Trust, which induces a more open exchange of ideas,
fosters the creativity that is necessary to produce a unique value-added strategy. Therefore, trust leads to SCA. Additionally, commitment is an enduring desire to maintain a valued relationship. Therefore, if each firm in a network is committed to the relationship, then it is implicit that the network provides value which may be sustained over time” Pernyataan diatas dapat diartikan sebagai : Seperti yang dikembangkan sebelumnya, SCA dapat didefinisikan sebagai manfaat dalam jangka panjang dalam menerapkan beberapa nilai yang unik untuk menciptakan strategi yang tidak banyak di implementasikan oleh pesaing saat ini. Jika kepercayaan hadir, maka kinerja perusahaan ditingkatkan (Achrol, 1997). Kepercayaan, yang menginduksi suatu pertukaran yang lebih terbuka ide-ide, memupuk kreativitas yang diperlukan untuk menghasilkan nilai tambah strategi unik. Oleh karena itu, kepercayaan menyebabkan SCA. Selain itu, komitmen adalah keinginan untuk menjaga hubungan. Oleh karena itu, jika terdapat suatu komitmen dalam hubungan, maka implisit bahwa jaringan memberikan nilai yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu
2.3
Hipotesis
1. Ho : Tidak ada hubungan antara komunikasi dokter-pasien dengan kepercayaan pasien Ha : Ada hubungan antara komunikasi dokter-pasien dengan kepercayaan pasien
2. Ho : Tidak ada hubungan antara kepercayaan pasien terhadap komitmen Ha : Ada hubungan antara kepercayaan pasien terhadap komitmen 3. Ho : Tidak ada hubungan antara komunikasi dokter pasien terhadap kepercayaan yang menciptakan komitmen Ha : Ada hubungan antara komunikasi dokter pasien terhadap kepercayaan yang menciptakan komitmen 4. Ho : Tidak ada hubungan antara kepercayaan terhadap SCA Ha : Ada hubungan antara kepercayaan terhadap SCA 5. Ho : Tidak ada kontribusi komitmen terhadap SCA Ha : Ada kontribusi komitmen terhadap SCA 6. Ho : Tidak ada kontribusi kepercayaan terhadap komitmen untuk menciptakan SCA Ha : Ada kontribusi kepercayaan terhadap komitmen untuk menciptakan SCA 7.Ho
: Tidak ada kontribusi komunikasi dokter-pasien terhadap kepercayaan untuk
menciptakan SCA Ha
: Ada kontribusi komunikasi dokter-pasien terhadap kepercayaan untuk
menciptakan SCA