BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kepemimpinan Dalam kenyataannya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Untuk mencapai semua
itu
seorang
pemimpin
harus
mempunyai
kemampuan
dan
keterampilan
kepemimpinan dalam melakukan pengarahan kepada bawahannya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Menurut Heidjrachman (2000,p.217), pemimpin adalah seorang yang mempunyai wewenang untuk memerintah orang lain dan di dalam mengerjakan pekerjaannya untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dengan bantuan orang lain. Untuk lebih jelasnya berikut ini beberapa definisi yang di kemukakan oleh para ahli manajemen tentang kepemimpinan, diantaranya: Menurut Hasibuan (2007,p.170) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi prilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk encapai tujuan organisasi. Menurut Rivai (2004,p.2) Kepemimpinan (leadership)
adalah proses mempengaruhi
atau memberi contoh kepada pengikut-pengikutnya lewat prses komunikasi dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Menurut Arep dan Tanjung (2003,p.93) Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang berbeda-beda menuju pencapaian tertentu. Menurut
Werren
Bennis
(2004,p.74)
kepemimpinan
adalah
kapasitas
untuk
menerjemahkan visi dala realita. Dengan kata lain kepemimpinan berarti turut melibatkan
orang lain dan lebih mengutamakan visi diatas segalanya, baru kemudian pada langkah pelaksanaannya, demikian Walters (2004,p.8) menyatakannya. Kepemimpinan sebagai kesadaran dan keinginan untuk mempengaruhi orang lain, mereka kemudian memberikan tanggapan atas keinginan sendiri untuk mengikutinya. Definisi itu dinyatakan oleh Clawson (2000,p.27). Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi sebuah kelompok yang terorganisir untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Demikian Hughes et al.(2002,p.32) memperkuat definisi kepemimpinan. Kepemimpinan bearti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model [menjadi teladan], penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi Mochammad Teguh, (2001,p.69)
2.1.1. Ciri- Ciri dan Indikator-Indikator Kepemimpinan Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2003,p.290-291), ciri-ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: 1. Kecerdasan (Intelligence) Penelitian-penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin
yang
mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada pengikutnya, tetapi tidak sangat bebrbeda. 2. Kedewasaan, Sosial dan Hubungan Sosial yang luas ( Social maturity and
Breadht )
Pemimpin cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai kegiatan dan perhatian yang luas.
3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi, mereka bekerja keras lebih untuk nilai intrinsik. 4. Sikap-sikap hubungan manusiawi Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikutpengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada bawahannya. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada bawahannya dan mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi pula. Disamping itu untuk melihat gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat dilihat melalui indikator-indikator. Menurut Siagian (2002,p.121), indikator-indikator yang dapat dilihat sebagai berikut: • Iklim saling mempercayai • Penghargaan terhadap ide bawahan • Memperhitungkan perasaan para bawahan • Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan • Perhatian pada kesejahteraan bawahan • Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan tugas tugas yang dipercayakan padanya • Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional
2.1.2. Tanggung Jawab dan Wewenang Kepemimpinan Tanggung jawab kepemimpinan menurut Ranupandojo dengan mengutip pendapat Miljus (2001,p.218) menyatakan bahwa tanggung jawab pemimpin:
a)
Menentukan tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas, keamanan,dan sebagainya).
b)
Melengkapi para karyawan dengan sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya.
c)
Mengkomunikasikan pada karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka.
d)
Memberikan susunan imbalan atau hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
e)
Mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi apabila memungkinkan.
f)
Menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaas yang efektif.
g)
Menilai pelaksanaan pekerja dan mengkomunikasikan hasilnya.
h)
Menunjukan perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal ini adalah tanggung jawab dalam memadukan seluruh kegiatan dan mencapai tujuan organisasi tersebut secara harmonis, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien.
2.1.3. Peranan Kepemimpinan Menurut pendapat Stogill, yang dikutip oleh Sugandha (2001,p.99), beberapa peranan yang harus dimiliki: 1)
Integration, yaitu tindakan tindakan yang mengarah pada peningkatan koordinasi.
2)
Communication, yaitu tindakan-tindakan yang mengarah pada meningkatnya saling pengertian,penyebaran informasi (transmission of information)
3)
Product Emphasis, yaitu tindakan-tindakan yang berorientasi pada volume pekerjaan yang dilakukan.
4)
Fraternization, yaitu tindakan-tindakan yang menjadikan pemimpin bagian dari kelompok.
5)
Organization, yaitu tindakan-tindakan yang mengarah pada perbedaan dan penyesuaian daripada tugas-tugas.
6)
Evaluation, yaitu tindakan-tindakan yang berkenaan dengan pendistribusian ganjaranganjaran atau hukuman-hukuman.
7)
Innitation, yaitu tindakan-tindakan yang menghasilkan perubahan-perubahan pada kegiatan organisasi.
8)
Domination, yaitu tindakan-tindakan yang menolak pemikiran-pemikiran seseorang atau anggota kelompok.
2.1.4. Pengertian Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah suatu norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003,p.303). Menurut Hersey dan Blanchard (2004,p.114), gaya kepemimpinan terdiri dari kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Perilaku tugas dimaksudkan sebagai kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut); menjelaskan
aktivitas
setiap
anggota
serta
kapan,dimana,
dan
bagaimana
cara
menyelesaikannya; dicirikan dengan upaya menetapkan pola organisasi, saluran komunikasi dan cara penyelesaian pekerjaan secara rinci dan jelas. Sedangkan perilaku hubungan merupakan kadar upaya pemimpin membina hubungan pribadi diantara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok mereka (pengikut) dengan membuka lebar saluran komunikasi dan menyediakan dukungan sosio-emosional, psikologis, dan pemudahan perilaku. Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah perilaku yang dilakukan dan ditunjukan oleh seorang pemimpin di dalam
memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap bawahannya dengan rasa mempercayai bawahan juga memuat bagaimana cara pemimpin bekerja sama dengan bawahannya dalam mengambil keputusan, pembagian tugas dan wewenang, bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dan bagaimana hubungan yang tercipta diantara pemimpin dan bawahannya tersebut.
2.1.5
Tipe Gaya Kepemimpinan Secara relatif ada tiga macam gaya kepemimpinan yang berbeda, yaitu
otokratis,demokratis,laissez-faire. Kebanyakan manajer menggunakan ketiganya pada suatu waktu,
tetapi
gaya
yang
paling
sering
digunakan
akan
dapat
dipakai
untuk
membedakanseorang manajer sebagai pemimpin yang otokratis, demokratis atau Laissez-
faire. Menurut White dan Lippit yang dikutip oleh Reksohadiprojo dan Handoko (2001,p.298), mengemukakan tiga tipe kepemimpinan,yaitu antara lain: 1. Otokratis a. Semua penentuan kebijaksanaan dilakukan oleh pemimpin. b. Teknik-teknik dan langkah-langkah yang diatur oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkat yang luas. c. Pemimpin biasanya mendikte tugas kerja bagian dan kerja bersama setiap anggota. d. Pemimpin cenderung menjadi “pribadi” dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota, mengambil jarak dari partisipasi
kelompok aktif kecuali bila
menunjukkan keahliannya. 2. Demokratis a. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari kelompok.
b. Kgiatan-kgiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan klompok dibuat dan bila dibutuhkan ptunjuk-petunjuk teknis, pmimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih. c. Para anggota bebas bkerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok. d. Pemimpin adalah objektif atau “fack-mainded” dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.
3. Laissez-faire a. kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengan partisipasi minimal dari pemimpin b. bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh pemimpin yang membuat orang selalu siap bila dia akan memberikan informasi pada saat ditanya. Dia tidak mengambil bagian dari diskusi kerja. c. Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam penentuan tugas. d. Kadang-kadang memberi komentar sponsor terhadap kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud menilai atau mengatur suatu kejadian. Menurut W.J Reddin dalam artikel nya What Kind Of Manager, dan dikutip oleh Wahjosumidjo (Dept.P&K, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai,1982) sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono (2006,p.34), menentukan watak dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar, yaitu: • Berorientasi pada tugas (task orientation) • Berorintasi hubungan krja ( relationship orientation)
2.1.6
Syarat-Syarat Kepemimpinan
Seorang pemimpin bukanlah hanya seorang yang dapat memimpin saja tetapi harus dikembangkan lagi yaitu kemampuan dan kualitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri, salah satu yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah syarat-syarat kepemimpinan yang akan dikemukakan oleh Kartono (2002,p.31) bahwa kemampuan pemimpin dan syarat yang harus dimiliki adalah: 1.
Kemandirian, berhasrat untuk melakukan tindakan secara individual (individualisme).
2.
Besarnya rasa keingintahuan, untuk mengetahui sesuatu yang belum dia ketahui.
3.
Multi terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam.
4.
Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi,suka berkawan.
5.
perfeksionis, serta ingin mendapatkan yang sempurna.
6.
Mudah menyesuaikan diri,adaptasi tinggi.
7.
Sabar namun ulet.
8.
waspada, peka,jujur,optimis,berani,gigih,dan realistis.
9.
Komunikatif serta pandai berbicara atau berpidato.
10. Berjiwa wiraswasta. 11. Sehat jasmani, dinamis,sanggup dan suka menerima tugas yang berat, serta berani mengambil resiko. 12. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya. 13. Berpengetahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuan. 14. Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan hidupnya yang ingin di capai,dibimbingidealisme tinggi. 15. Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi dan daya inovasi. Dari penjelasan diatas,dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang berpengetahuan luas, adil, jujur, optimis, gigih, ulet, bijaksana, mampu memotivasi diri sendiri,memiliki hubungan baik dengan bawahan dimana semua ini diperoleh
dari pengembangan kepribadiannya sehingga seorang pemimpin memiliki nilai tambah tersendiri dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin.
2.2
Pengertian Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “budhayah” yang
merupakan bentuk jamak dari “budhi” (budi atau akal). Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “kultur” (www.wikipedia.com). Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: ¾
Melville.J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: • Alat-alat teknologi • Sistem ekonomi • Keluarga • Kekuasaan politik
¾
Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: • Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya. • Organisasi ekonomi. • Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama). • Organisasi politik.
2.2.1. Unsur-Unsur Budaya
Budaya organisasi menunjukan persepsi bersama yang di anut oleh para anggota organisasi, oleh karena itu ada kesamaan pandangan diantara mereka, hal ini disebut dengan budaya dominan, budaya dominan adalah mengungkapkan nilai-nilai inti yang di anut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Anggota organisasi terpecah kedalam subsub yang lebih kecil, dimana dalam sub-sub ini dapat terbentuk sub budaya, sub budaya adalah budaya kecil didalam organisasi yang di definisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis. Sub budaya ini terdapat di dalamnya nilai-nilai inti dari budaya dominan, nilai-nilai inti adala nilai pokok atau dominan yang di terima oleh seluruh orang dalam organisasi (Robbins,2003,p.723). Lebih jauh lagi menurut Kreitner dan Kinicki (2000:p.80), nilai adalah keyakinan yang di pegang teguh dan terampil dalam tingkah laku. Organisasi berusaha untuk menciptakan nilai yang akan di anut oleh para organisasinya. Nilai ini disebut dengan nilai yang mendukung (espaused value), yaitu nilai dan norma yang telah dibuat oleh organisasi. Bila nilai ini dilaksanakan oleh anggota organisasi maka nilai ini disebut dengan nilai yang diperankan (enacted value), yaitu nilai dan norma yang dimiliki karyawan.
2.2.2. Fungsi Budaya Budaya sebagai tatanan sistem yang terus dikembangkan tentunya mempunyai fungsi. Pertama, budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. Kedua, memberikan identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mendorong tumbuhnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, merupakan perekat diantara sesama anggota organisasi (Robbins,2003,p.725). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kreitner dan Kinicki (2000,p.83-86), bahwa budaya berfungsi untuk memberikan identitas kepada anggotanya, memudahkan komitmen
kolektif, mempromosikan stabilitas sistem sosial, dan membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya.
2.2.3
Mempertahankan Budaya Budaya harus dipertahankan, tujuannya adalah agar budaya dapat menjalankan
fungsi-fungsinya.
Menurut
Robbins
(2003,p.729-734)
ada
beberapa
cara
dalam
mempertahankan budaya, yaitu: 1. Seleksi Tujuan
eksplisit
dari
proses
seleksi
adalah
mengidentifikasi
dan
memper
kerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. 2. Manajemen Puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berprilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi. 3. Sosialisasi Pada saat perusahaan membantu proses adaptasi karyawan dengan budaya organisasi disebut dengan sosialisasi. Terdapat tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu: a.
Tahap prakedatangan, adalah periode pembelajaran pada proses sosialisasi yang dilakukan sebelum karyawan baru bergabung kedalam organisasi.
b.
Tahap keterlibatan, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru melihat apa yang sesungguhnya organisasi itu dan persimpangan yang mungkin dalam kenyataan yang ada.
c.
Tahap metamorfosis, adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana karyawan baru berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja,dan organisasi.
2.2.4
Budaya Kuat dan Formalisasi Sebuah organisasi tentunya menginginkan setiap anggotanya untuk dapat menyerap
setiap nilai dan norma budaya yang ada dan dikembangkan di organisasi. Semakin mendalam dan dianut secara meluas budaya tersebut, maka budaya tersebut semakin kuat. Budaya yang kuat dapat berperan untuk menggantikan formalisasi. Formalisasi adalah nilai dan norma yang tertulis yang menjadi peraturan didalam perusahaan. Formalisasi tinggi dalam perusahaan menciptakan prediktibilitas, ketertian,dan konsistensi, demikian halnya dengan budaya yang kuat. (Robbins, 2003,p.724). Budaya yang kuat akan mendukung standar etis yang tinggi, untuk menciptakan budaya yang kuat yang mendukung standar etis yang tinggi ada beberapa hal yang dapat dilakukan manajemane menurut Robbins (2003,p.739), diantaranya: •
Jadilah model peran yang kelihatan. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai tolak ukur untuk merancang perilaku yang tepat. Bila manajemen senior terlihat mengambil jalur cepat yang etis, ia memberikan pesan yang positif untuk semua karyawan. Artinya pimpinan harus memberikan teladan bagi para bawahannya.
•
Komunikasikanlah harapan etis. Ambiguitas etis dapat diminimalisir oleh penciptaan dan penyebaran kode etik organisasi. Kode etik tersebut harus menetapkan nilai-nilai utama organisasi da kaidah etis yang diharapkan untuk diikuti karyawan. Pemimpin atau manajemen juga harus mengkomunikasikan mana yang diinginkan organisasi dan mana yang tidak, hal ini harus jelas bagi anggota organisasi.
•
Berikanlah pelatihan etis. Adakanlah seminar, lokakarya,dan program-program pelatihan etis yang serupa. Gunakanlah sesi pelatihan ini untuk mendorong standar perilaku organisasi; untuk mengklarifikasi praktik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh; dan untuk mengajukan dilema etis yang mungkin. Harus ada perstiwa atau kesempatan
khusus dimana anggota organisasi melakukan pembelajaran terhadap budaya organisasi secara formal, bukan hanya berdasarkan pengalaman belaka. •
Berikanlah imbalan secara terang-terangan terhadap tindakan etis dan berikan hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja dari manajer harus mencakup evaluasi poin demi poin tentang apakah memang keputusannya sesuai dengan kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang diambil untuk mencapai sasaran dan juga hasil itu sendiri. Perilaku orang yang bertindak etis hendaknya diberi imbalan secara terang-terangan. Yang tidak kalah penting juga, tindakan yang tidak etis harus dihukum secara kasat mata. Untuk memperkuat pemahaman anggota organisasi terhadap budaya organisasi, maka manajemen harus memberikan reward bagi mereka yang berhasil beradaptasi dengan budaya perusahaan, dan punishment bagi mereka yang tidak mau mengadaptasi budaya perusahaan.
•
Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi. Organisasi perlu menyediakan mekanisme formal sehingga karyawan dapat membahas dilema etis dan melaporkan perilaku yang tidak etis tanpa takut di tegur. Ini mungkin mencakup pengadaan konselor etik, ombudsmen, atau pejabat etik. Sediakan badan penyuluhan atau tempat bagi anggota organisasi yang merasa tidak sesuai atau tidak mampu beradaptasi dengan budaya perusahaan, carilah solusi yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
2.2.5 Menanamkan Budaya Dalam Organisasi Sebuah budaya awal organisasi merupakan perkembangan dari filosofi pendirinya. Budaya asli baik yang ditanamkan maupun yang di modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi lingkungan sekarang. Edgar Shein, sarjana perilaku organisasi yang terkenal, mencatat bahwa menanamkan sebuah budaya melibatkan proses belajar. Karenanya,pada
anggota organisasi mengajarkan satu sama lain mengenai nilai-nilai, keyakinan,pengharapan, dan perilaku yang dipilih organisasi. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005,p.95) hal ini dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme berikut: 1.
Pernyataan filosofi normal, misi, visi, nilai,dan material organisasi yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi, dan sosialisasi.
2.
Slogan, bahasa, akronim, dan perkataan.
3.
Pembentukan peranan secara hati-hati, program pelatihan, pengajaran, dan pelatihan oleh para manajer dan supervisor.
4.
Penghargaan eksplisit, simbol status ( misalnya gelar), dan kriteria promosi.
5.
Cerita, legenda, dan mitos mengenai suatu peristiwa dan orang-orang penting.
6.
Aktivitas, proses, atau hasil organisasi yang juga diperhatikan, diukur, dan dikendalikan pimpinan. Para karyawan cenderung memberi perhatian pada penyelesaian pekerjaan yang tepat waktu ketika senior manajemen menggunakan penyelesaian pekerjaan tepat waktu untuk mengukur kualitas pelayanan pelanggan.
7.
Reaksi pimpinan terhadap insiden yang kritis dan krisis organisasi.
8.
Struktur organisasi dan aliran kerja. Struktur hierarkis cenderung menanamkan orientasi terhadap pengendalian dan otoritas dibandingkan organisasi yang horisontal.
9.
Sistem dan prosedur organisasi. Sebuah organisasi dapat mempromosikan prestasi dan kompetisi melalui penggunaan kontes penjualan.
10. Tujuan organisasi dan kriteria gabungan yang digunakan untuk rekruitmen, seleksi, pengembangan, promosi,pemberhentian, dan pengunduran diri karyawan.
2.2.6
Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi yang kuat memberikan pemahaman yang jelas kepada anggota
organisasi mengenai cara menyelesaikan sebuah pekerjaan, budaya juga memberikan
stabilitas kepada organisasi. Budaya organisasi menurut Schein dalam Tika (2006,p.3)
“Culture is a pattern of basic assumption invented, discovered, or develoved by given as it learns to cope with is problem of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and fill in relation to those problem.” Yang artinya budaya adalah
suatu pola konsumsi dasar yang di ciptakan, ditemukan,atau dikembangkan oleh
kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/ di wariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan keterkaitan dengan masalah-masalah tersebut. Budaya Organisasi adalah segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam ( Gea, 2005,p.325). Menurut Mathis dan Jackson (2000,p.45) budaya organisasi adalah pola dari nilai-nilai dan kepercayaan yang disepakati brsama yang memberikan arti kepada anggota dari organisasi tersebut dan aturan-aturan perilaku. Menurut Robbins yang diterjemahkan oleh Benjamin Molan (2003,p.721) Budaya Organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Menurut Kreitner dan Kinicki yang diterjemahkan oleh Erly Suandy (2000, p.78) budaya organisasi adalah nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas perusahaan. Variabel-variabel dari budaya organisasi adalah (Stephen P. Robbins, 2003,p.731): 1.
Sosialisasi : Lebih mengarah bagaimana suatu individu dalam perusahaan tersebut menjalin hubungan atau berinteraksi dengan rekan kerja lainnya, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah: •
Interaksi
• 2.
Rasa percaya
Bahasa : Mengarah kepada penggunaan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi sehingga tidak terjadi salah pengertian dalam berkomunikasi yang akan mengakibatkan terjadinya perselisihan dengan sesama rekan kerja, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah : • Rasa hormat • Kesatuan bahasa
3.
Seleksi : Mengarah kepada penyeleksian karyawan yang adakan
dipekerjakan,
sehingga semua karyawan yang bekerja tepat pada tempatnya dengan kapasistas yang tepat pula, adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah : • Pengetahuan • Keterampilan
2.2.7
Hakikat Budaya Sebuah Organisasi Dalam buku Character Building 1V Relasi Dengan Dunia (Gea,2005, p.318)
dikemukakan bahwa ada tujuh dimensi yang secara keseluruhan menangkap hakikat budaya sebuah organisasi. Dimensi hakikat budaya organisasi meliputi: 1.
Inovasi dan mengambil resiko, yaitu tingkat dimana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan mengambil resiko.
2.
Perhatian kepada detail. Tingkat dimana para karyawan diharapkan untuk menampilkan ketepatan, analisis,dan perhatian terhadap detail.
3.
Orientasi hasil. Tingkat dimana para manajer memusatkan perhatian pada hasil-hasil bukannya pada teknik-teknik dan proses-proses yang digunakan untuk mencapai hasilhasil itu.
4.
Orientasi manusia. Tingkat dimana keputusan-keputusan manajemen memperhitungkan pengaruh hasil-hasil terhadap manusia didalam organisasi itu.
5.
Orientasi tim. Tingkat dimana kegiatan-kegiatan kerja disusun sekitar tim-tim bukan individu.
6.
Agresifitas. Tingkat dimana orang bersifat agresif dan bersaing bukannya ramah dan bekerja sama.
7.
Stabilitas.
Tingkat
dimana
kegiatan-kegiatan
organisasi
menekankan
usaha
mempertahankan status quo bukan pertumbuhan.
2.2.8. Pengukuran Budaya Organisasi Menurut Taliziduhu dalam Tika (2006,p.114) ada beberapa kriteria dalam mengukur budaya organisasi yang kuat, yaitu: 1.
Kejelasan nilai-nilai dan keyakinan (Clarity of Ordering) Nilai- nilai dan keyakinan yang disepakati oleh anggota organisasi dapat ditentukan secara jelas. Kejelasan nilai-nilai ini ditentukan dalam bentuk filosofi usaha, slogan/moto perusahaan, asumsi dasar, tujuan umum perusahaan, dan prinsip-prinsip yang menjelaskan usaha. Perusahaan yang
mempunyai nilai- nilai budaya yang jelas
dapat memberikan pengaruh nyata dan jelas kepada perilaku anggota organisasi/ perusahaan. 2.
Penyebarluasan nilai-nilai dan keyakinan (Extent of Ordering) Penyebarluasan nilai-nilai ini terkait dengan beberapa banyak orang / anggota organisasi yang menganut nilai-nilai dan keyakinan budaya organisasi. Penyebarluasan nilai-nilai sangat tergantung dari sistem sosialisasi atau pewarisan yang di berikan oleh pimpinan organisasi kepada anggota- anggota organisasi khususnya anggota- anggota baru. Sistem sosialisasi/ pewarisan dapat dilakukanmelalui orientasi yang menyangkut
pemberian bimbingan anggota-anggota organisasi khususnya kepada anggota-anggota baru oleh pejabat-pejabat organisasi secara berjenjang atau anggota anggota senior organisasi kepada anggota baru. Disamping itu, orientasi juga dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kepada anggota organisasi secara
berkesinambungan.
Keberhasilan orientasi (sosialisasi) ini sangat tergantung kepada berapa banyak anggota organisasi yang menganut dan sekaligus
mempraktikan
budaya
organisasi
dalam
perilaku sehari-hari. 3.
Intensitas pelaksanaan nilai-nilai inti (core values being intensely held) Intensitas dimaksudkan seberapa jauh nilai-nilai budaya organisasi dihayati, dianut, dan dilaksanakan secara konsisten oleh anggota-anggota organisasi. Adakah nilai-nilai dan keyakinan budaya organisasi, dianut sepenuhnya oleh anggota organisasi atau hanya sebagian atau bahkan tidak dilaksanakan sama
sekali.
Disamping
itu,
intensitas
juga dimaksudkan bagaimana cara organisasi/ perusahaan memperlakukan anggotaanggota organisasi ( karyawan) yang secara konsekuen menjalankan nilai-nilai budaya organisasi dan anggota organisasi yang hanya separuh atau saa sekali tidak menjalankan nilai-nilai budaya.
2.3
Pengertian profesional Pengertian profesional secara sederhana dapat di-artikan sebagai kemampuan dan
keterampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masingmasing. Almasdi (2000,p.100). Selanjutnya Pamuji (2000,p.20-21) mengartikan orang yang profesional memiliki atau dianggap memiliki keahlian, akan melakukan kegiatan-kegiatan diantaranya
pelayanan
publik
dengan
mempergunakan
keahliannya
itu
sehingga
menghasilkan pe-layanan publik yang lebih baik mutunya, lebih cepat prosesnya, mungkin lebih bervariasi yang kesemuanya men-datangkan kepuasan pada masyarakat.
Profesional adalah orang yang terampil, handal, dan sangat bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya. Orang yang tidak mempunyai integritas biasanya tidak profesional. Profesionalisme pada intinya adalah kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik dan benar (MenPAN, 2002,p. 25). Yang dimaksud profesional adalah kemampuan, keahlian atau keterampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu yang relatif lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi dan diakui serta diterima masyarakat (MenPAN, 2002 ,p. 14). Pendapat lain dikemukakan oleh Pamungkas (2001 ,p. 206-207), bahwa manusia profesional dianggap manusia yang berkualitas yang memiliki keahlian serta kemampuan mengekspresikan keahliannya itu bagi kepuasan orang lain atau masyarakat dengan memperoleh pujian. Ekspresi ke-ahlian tersebut tampak dalam perilaku analis dan keputusan-keputusannya. Demikian hasil kerja profesional selalu me-muaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan ke-berhasilannya,
dan
menjadi
sumber
bagi
peningkatan
pro-duksi,
pertumbuhan,
kemakmuran dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkung-annya. Menurut Affandi (2002 ,p.88-89), ada empat ciri-ciri yang bisa ditengarai sebagai petunjuk atau indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu: •
Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai.
•
Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang berguna bagi kepentingan sesama.
•
Ketaatan
dalam
melaksanakan
dan
menjunjung
tinggi
etika
keilmuan,
serta
kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku dilingkungannya.
•
Besarnya rasa tanggungjawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga, serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku dalam mengemban tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki.
2.3.1
Pengertian Profesionalisme Istilah profesionalisme sudah dikenal luas dikalangan masyarakat. Namun menurut
Almasdi (2000 , p.99) pengertian yang muncul dimasyarakat umum seolah-olah hanya teruntuk bagi personil tingkat manajer, sedangkan sesungguhnya istilah profesional itu berlaku untuk semua personil mulai dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah. Muins (2000,p.45) menyatakan bahwa profesionalisme di dunia kerja bukan sekedar ditandai oleh penguasaan IPTEK saja, tetapi juga sangat ditentukan oleh cara memanfaatkan IPTEK itu serta tujuan yang dicapai dengan pemanfaatannya itu. Se-orang profesional harus dapat : 1. Memberi makna dan menempatkan IPTEK itu dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi dirinya sendiri maupun organisasi atau peru-sahaan dimana ia bekerja serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; 2. Mencerminkan sikap dan jati diri tehadap profesinya dengan kesungguhan untuk mendalami, menguasai, menerapkan dan bertanggungjawab atas profesinya; 3. Memiliki sifat intelektual serta mencari dan mem-pertahankan kebenaran; 4. Mengutamakan dan mendahulu-kan pelayanan yang maksimal di atas imbalan jasa, tetapi ti-dak berarti bahwa jasanya diberikan tanpa imbalan. Sedangkan
Poerwopoespito
&
Utomo
(2000,p.266),
mengatakan
bahwa
profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme se-lalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya.
Profesionalisme sangat di tentukan oleh kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan menurut bidang tugas dan tingkatannya masing-masing. Hasil dari pekerjaan itu lebih ditinjau dari segala segi sesuai porsi,objek,bersifat terus-menerus dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun serta jangka waktu penyelesaian pekerjaan yang relatif singkat (suit Almasdi,2000,p.99). Hal diatas dipertegas kembali oleh Thoha (2000,p.1) bahwa untuk mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi,setiap organisasi mau tidak mau harus adaptif terhadap perubahan organisasi. Birokrasi yang mampu bersaing dimasa mendatang adalah birokrasi yang memiliki sumberdaya manusia berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai keterampilan dan keahlian.
2.3.2
Ciri- ciri profesionalisme Sebagaimana
mengatakan
bahwa
disampaikan profesionalisme
oleh terlihat
Tjiptoherijanto dari
(2000,p.39)
kompetensi
yang
yang terwujud
pada kapasitas yang dimiliki seseorang yang meliputi dimensi : 1. Keahlian dan keterampilan (skill), 2. Pengetahuan (knowledge), dan 3. Perilaku (behavior). Hasil kerja profesional selalu memuaskan orang lain dan mempunyai nilai tambah yang tinggi. Profesionalisme selalu dikaitkan dengan efisiensi dan ke-berhasilannya, dan menjadi sumber bagi peningkatan produksi, pertumbuhan, kemakmuran dan kesejahteraan baik dari individu pemilik profesi maupun masyarakat lingkungannya. Menurut Affandi (2002 ,p.88-89), ada empat ciri-ciri yang bisa ditengarai sebagai petunjuk atau indikator untuk melihat tingkat profesionalitas seseorang, yaitu :
• Penguasaan ilmu pengetahuan seseorang dibidang tertentu, dan ketekunan mengikuti perkembangan ilmu yang dikuasai • Kemampuan seseorang dalam menerapkan ilmu yang dikuasai, khususnya yang berguna bagi kepentingan sesama • Ketaatan
dalam
melaksanakan
dan
menjunjung
tinggi
etika
keilmuan,
serta
kemampuannya untuk memahami dan menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku dilingkungannya • Besarnya rasa tanggungjawab terhadap Tuhan, bangsa dan negara, masyarakat, keluarga, serta diri sendiri atas segala tindak lanjut dan perilaku dalam mengemban tugas berkaitan dengan penugasan dan penerapan bidang ilmu yang dimiliki. Sedangkan
Poerwopoespito
&
Utomo
(2000,p.266),
mengatakan
bahwa
profesionalisme berarti faham yang menempatkan profesi sebagai titik perhatian utama dalam hidup seseorang. Orang yang menganut faham profesionalisme se-lalu menunjukkan sikap profesional dalam bekerja dan dalam keseharian hidupnya. Maister (2000 ,p.21-22), mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme sejati yaitu : • Bangga pada pekerjaan mereka, dan menunjukkan ko-mitmen pribadi pada kualitas. • Berusaha meraih tanggung jawab. • Mengantisipasi, dan tidak menunggu perintah, mereka menunjukkan inisiatif. • Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk meram-pungkan tugas. • Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang telah ditetapkan untuk mereka. • Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menja-di lebih mudah bagi orang yang mereka layani. • Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang-orang yang mereka layani. • Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang-orang yang layani.
• Belajar memahami dan berfikir seperti orang-orang yang mereka layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang-orang itu tidak ada ditempat. • Adalah pemain tim. • Bisa dipercaya memegang rahasia. • Jujur, bisa dipercaya dan setia. • Terbuka pada kritik-kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.
2.4
Kepuasan Karyawan Sumber daya manusia merupakan satu-satunya faktor produksi yang berupa
makhluk hidup dan merupakan sumber daya yang terpenting bagi keberhasilan perusahaan dalam pencapaian tujuannya. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan tuntutantuntutan dan harapan-harapan mereka, karena jika harapan-harapan tersebut tidak dapat terpenuhi, maka akan muncul kecenderungan dari karyawan tersebut untuk meninggalkan perusahaan dimana dia bekerja dan sebaliknya, namun jika harapan-harapan karyawan dapat terpenuhi maka dapat diharapakan karyawan akan tetap tinggal dalam perusahaan tersebut. Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan dibawah ini pendapat dari beberapa orang ahli mengenai kepuasan karyawan. Kuswadi, (2005,p.13) memberikan pengertian kepuasan karyawan sebagai berikut : “Kepuasan karyawan merupakan ukuran sampai seberapa jauh perusahaan dapat memnuhi harapan karyawannya yang berkaitan dengan berbagai aspek dalam pekerjaan dan jabatannya”. Sedangkan menurut Yuli, yang mengambil penjelasan dari Smither (2005,p.195) terdapat beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan tentang kepuasan karyawan, yaitu : 1. Need Fulfilmend (pemenuhan kebutuhan)
Pendekatan ini berbicara tentang pemenuhan kebutuhan merupakan jawaban dari ketidakpuasan karyawan. Kepuasan tergantung pada berapa banyak kebutuhankebutuhan individu yang telah terpenuhi. 2. Espectancies (harapan) Porter menerangkan bahwa kepuasan seseorang tergantung dari seberapa jauh perbedaan antara yang seharusnya ada dan yang ada sekarang . Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa semakin besar kesesuaian antara harapan dan kenyataan maka akan semakin puas seseorang , begitu juga sebaliknya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kepuasan karyawan adalah perasaan, sikap dan keyakinan seorang karyawan terhadap segala aspek yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhannya. Perasaan tersebut dapat berupa perasaan suka ataupun tidak suka. Kepuasan mempunyai fungsi dan peranan yang penting bagi perusahaan, terutama untuk menciptakan suatu keadaan yang positif di dalam lingkungan kerja. Seperti dikatakan oleh Kuswadi (2005,p.7) bahwa kepuasan karyawan dapat membantu dalam memaksimalkan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang dalam empat cara : 1. Karyawan yang puas cenderung bekerja dengan kualitas yang lebih tinggi 2. Karyawan yang puas cenderung bekerja dengan lebih produktif 3. Karyawan yang puas cenderung bertahan lebih lama dalam perusahaan. 4. Karyawan yang puas cenderung dapat menciptakan pelanggan yang puas. Maka dari itu perusahaan selalu berupaya untuk memuaskan karyawannya dengan cara memenuhi kebutuhan mereka. Dimana pemenuhan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan karyawan. Tidak asal-asalan tapi malah menjadi sasaran. Sehingga bukan pemenuhan kebutuhan yang terjadi akan tetapi justru menimbulkan keluhan yang baru bagi perusahaan.
2.4.1
Pengertian Kepuasan kerja karyawan Berdasarkan pendapat Robbins (2003,p.101) kepuasan kerja sebagai suatu sikap
umum seseorang individu terhadap pekerjaannya. Berdasarkan
pendapat Siagian
(2003,p.295) kepuasan kerja merupakan suatu cara pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif tentang pekerjaannya. Berdasarkan pendapat T. Hani (2001,p.103-194) kepuasan kerja adalah sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Berdasarkan pendapat Kreitner dan Kinichi (2003,p.271) kepuasan kerja adalah suatu efektifitas atau respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan.
2.4.2
Dimensi Kepuasan Kerja karyawan Dimensi yang menentukan kepuasan kerja karyawan menurut Robbins (2002,p.149-
150), adalah: •
Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaanpekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan yang masih mereka miliki,menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balikmengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
•
Imbalan yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan,
tingkat
keterampilan
individu
dan
standar
pengupahan
komunitas
kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. •
Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik, seperti kondisi fisik kerja yang nyaman dan aman,pemberian diklat untuk memudahkan karyawan dalam mengerjakan tugasnya dengan baik.
•
Rekan kerja yang mendukung. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar kepada kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.
2.5 Hubungan Antar Variabel 1. Menurut jurnal penelitian yang dilakukan oleh Ramlan Ruvendi dengan skripsi yang berjudul “IMBALAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI BALAI BESAR INDUSTRI HASIL PERTANIAN BOGOR” didapat kesimpulan bahwa
dimana
Pengaruh variabel untuk gaya kepemimpinan pada
kepuasan kerja juga signifikan dengan koefisien korelasi parsial 0,5495 Dari 0,355. dan koefisien regresi. Dalam uji Analisis Varians (ANOVA) pada persamaan regresi ganda menunjukkan bahwa F - nilai ini lebih besar bahwa F-tabel (F = 58,97> F-tabel = 3,098) atau Nilai Probabilitas lebih kecil dari 0,05. Di menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan dan pengaruh antara variabel imbalan semua bersama-sama dengan gaya kepemimpinan pada kepuasan kerja karyawan.
2. Menurut jurnal penelitian yang dilakukan oleh tikanazooe dengan skripsi yang berjudul “PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN” dimana didapat kesimpulan Analisis data pada penelitian ini menggunakan regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Berdasarkan perhitungan, diketahui pula bahwa rerata skor empirik dari tiap skala yang dibagikan pada subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki skor diatas rata-rata pada tiap variabel yang diteliti. Baik budaya organisasi, komitmen organisasional maupun kepuasan kerja dikategorikan cukup tinggi. 3. Menurut jurnal penelitian yang dilakukan oleh staffmm dengan skripsi yang berjudul “ANTECEDENTS
DARI
PROFESIONALISME
GURU
DI
SMK
N
KARANGPUCUNG
KABUPATEN CILACAP” dimana didapat kesimpulan Untuk mengetahui faktor yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap profesionalisme guru di SMK N Karangpucung Kabupaten Cilacap. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis jalur, sedangkan untuk menguji tingkat signifikansi menggunakan uji F dan uji t.
Hasil dari analisis jalur adalah variabel kepuasan kerja terhadap
profesionalisme guru mempunyai koefisien jalur sebesar 0,3117, Pengaruh kepuasan kerja terhadap profesionalisme guru adalah positif, karena nilai koefisien jalurnya adalah positif. Pengaruh positif artinya jika kepuasan kerja ditingkatkan maka profesionalisme guru juga akan meningkat. Berdasarkan hal tersebut menyatakan kepuasan kerja yang tinggi, maka akan meningkatkan profesionalisme guru di SMK N Karangpucung Kabupaten
Cilacap
dapat
diterima.
Variabel
supervisi
pendidikan
terhadap
profesionalisme guru mempunyai koefisien jalur sebesar 0,2962 dan komitmen profesi terhadap profesionalisme guru (Y) mempunyai koefisien jalur sebesar 0,4573. Nilai koefisien jalur variabel komitmen profesi nilainya paling besar.
Dengan demikian
variabel
komitmen
profesi
mempunyai
pengaruh
paling
dominan
terhadap
profesionalisme guru (Y) pada SMK N Karangpucung Kabupaten Cilacap.
2.6
Kerangka Pemikiran Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang mempunyai peran
penting dalam suatu organisasi, karena dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, faktor manusia memegang peranan yang paling dominan. Untuk mencapai tujuan organisasi, maka pemimpin tidak dapat mengabaikan karyawan dan situasi lingkungan kerjanya dengan memperhatikan
apa
saja
faktor-faktor
yang
akan
mempengaruhi
kepuasan
kerja
karyawannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah sbb: • Kerja yang secara mental menantang • Imbalan yang pantas • Kondisi kerja yang mendukung • Rekan kerja yang mendukung Setiap perusahaan selain memiliki budaya organisasi sendiri juga memiliki pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Sebuah perusahaan yang memiliki budaya organisasi yang berhasil membawa dampak positif pada karyawannya belum tentu akan berhasil jika di terapkan pada perusahaan lain. Begitupula dengan seorang pemimpin yangberhasil di lingkungan kerja dengan gaya kepemimpinannya,belum tentu cocok bila di aplikasikan pada perusahaan lain karena keberhasilan gaya kepemimpinan sangat tergantung pada situasi perusahaan yang di pimpinnya. Setiap gaya kepemimpinan dan budaya suatu organisasi akan mempengaruhi profesionalisme karyawan pada perusahaan tersebut. Hal ini juga pada akhirnya akan berdampak pada kepuasan kerja dari karyawan itu sendiri. Berdasarkan teori-teori yang ada
maka dapat dirumuskan suatu model kerangka pemikiran yang akan digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
K L I N I K
VARIABEL INDEPENDENT (X1) Gaya Kepemimpinan • Berorientasi tugas • Berorientasi hubungan PROFESIONAL ISME VARIABEL (Y) • Skill • Knowledge
C I T R A I N S A N I
•
Behavior
VARIABEL INDEPENDENT (X2) Budaya Organisasi • Sosialisasi Bahasa • Seleksi •
Sumber: Penulis
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
• • • •
KEPUASAN KERJA VARIABEL (Z) kerja yang secara mental menantang Imbalan yang pantas Kondisi kerja yang mendukung Rekan kerja yang mendukung