34 BAB 2 LANDASAN PERANCANGAN
2.1 Tinjauan Data 2.1.1 Kejujuran Pada Anak Semua anak – anak pada umumnya tidak memiliki sifat berbohong, hanya saja kebiasaan buruk dalam lingkungan anak bermain dan meniru gaya bicara orang dewasa sehingga menjadi kebiasaan yang sangat buruk bila sebagai orang tua dan guru tidak menegur serta memberi tahu bahwa berbohong itu tidak baik saat dia dewasa. Menurut Jane Kostelc spesialis tumbuh kembang anak, semakin cepat dan banyak perkembangan jaman meliputi anak – anak, semakin cepat pula anak mendapatkan informasi ataupun berita dengan mudah antara teman sekolah dan teman bermain. Namun informasi itu tidak sepenuhnya benar karena banyak media – media yang sengaja menghiperbolakan informasi, dengan begitu anak akan memberitahu teman mereka informasi yang di dapat. Tidak berhenti sampai disitu, bila ada anak yang tidak mempercayai atau meragukan informasi itu, maka sang anak akan mulai meyakinkan teman – teman dengan kebohongan – kebohongan kecil.
2.1.2 Perkembangan Anak Anak prasekolah berada pada masa lima tahun pertama yang disebut The Golden Years merupakan masa emas perkembangan anak. Anak pada usia tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengoptimalkan segala aspek perkembangannya, termasuk perkembangan cara berfikir, fisik dan motoriknya. Perkembangan cara berfikir pada anak sangatlah berpengaruh pada perilaku lingkungan anak seperti keluarga, teman dan orang tua. Berikut dijelaskan perkembangan anak sesuai dengan usia menurut teori piaget.
Aspek Perkembangan Kognitif 1. Tahap sensorimotor, usia 0 – 2 tahun. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahas awal, waktu sekarang dan ruang yang dekat;
3
4 2. Tahap pra-operasional, usia 2 – 7 tahun, kemampuan menerima rangsangan yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, walaupun pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas; 3. Tahap konkret operasional, 7 – 11 tahun. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan
tugas-tugas
menggabungkan,
memisahkan,
menyusun,
menderetkan, melipat dan membagi; 4. Tahap formal operasional, usia 11 – 15 tahun. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi, mampu berfikir abstrak.
Aspek Perkembangan Fisik 1. Keterampilan motorik anak terdiri atas motorik kasar dan keterampilan motorik halus. Keterampilan motorik anak usia 4-5 tahun lebih banyak berkembang pada motorik kasar,
2. Pada usia 4 tahun anak-anak masih suka jenis gerakan sederhana seperti berjingkrak-jingkrak, melompat, dan berlari kesana kemari, hanya demi kegiatan itu sendiri tapi mereka sudah berani mengambil resiko.
3. Pada usia 5 tahun, anak-anak bahkan lebih berani mengambil resiko dibandingkan ketika mereka berusia 4 tahun. Mereka lebih percaya diri melakukan ketangkasan yang mengerikan seperti memanjat suatu obyek, berlari kencang dan suka berlomba dengan teman sebayanya bahkan orangtuanya
Aspek Perkembangan Bahasa Pada umur 2 tahun, anak-anak memproduksi rata-rata dari 338 ucapan yang dapat dimengerti dalam setiap jam, cakupan lebih luas adalah antara rentangan 42 sampai 672. 2 tahun lebih tua anak-anak dapat mengunakan kira-kira 134 kata-kata pada jam yang berbeda, dengan rentangan 18 untuk 286. Anak perlu mengenal beberapa kata dan beranjak memahami kalimat. Dengan membaca anak juga semakin banyak menambah kosakata. Anak
5 dapat belajar bahasa melalaui membaca buku cerita dengan nyaring. Hal ini dilakukan untuk mengajarkan anak tentang bunyi bahasa.
Aspek Perkembangan Sosio & Emosional Perilaku sosial yang terlihat pada masa kanak-kanak awal, seperti : kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empat, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, perilaku kelekatan. Perkembangan sosial anak: Tahap 1: Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga) usia 0 – 2 tahun Tahap 2: Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu) usia 2 – 3 Tahap 3: Initiative vs Guilt (berinisiatif vs bersalah) 4 - 5 Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Berkaitan dengan perkembangan fisik, Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956 dalam Yusuf, 2006: 101) mengemukakan bahwa: Perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) otot-otot yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) kelenjar endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) struktur fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat dan proporsi. Salah satu bentuk kejahatan yang sangat merugikan diri sendiri adalah berbohong, anak yang semakin besar memerlukan pemikiran yang lebih karena ditangan merekalah masa depan bangsa tersandang. Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa, anak merupakan aset utama. Dapat dibayangkan bila penerus bangsa adalah seorang pembohong yang tidak pernah jujur bahkan dengan hal kecil.
6 2.1.3 Mendidik dan Menghadapi Anak
1. Raja yang Tak Pernah Salah Sewaktu anak masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya orang tua telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga anak dewasa. Akibatnya, setiap mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada orang tua. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah. Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis? Yang sebaiknya dilakukan adalah ajarilah anak untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelanpelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil, Berbohong pada Anak Awalnya semua anak adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? Karena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika beranjak besar anak sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita. Karena tanpa sadar sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk
7 menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang dilakukan? Apakah menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu buru-buru pergi? Atau yang lebih sering mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi kenyataannya orang tua pulang malam. Contoh lain yang sering orang tua lakukan ketika sedang menyuapi makan anak, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalanjalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika orang tua berbohong ringan atau sering diistilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan orang tua yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan.
Yang sebaiknya dilakukan. Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian. Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Orang tua harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan orang tua selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang katakana orang tua.
3. Banyak Mengancam!” Mengancam Anak Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih
8 ada kalimat tambahan “nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Yang sebaiknya dilakukan. Orang tua tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran, Bicara tepat sasaran Seringkali memberitahu anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun sebagai orang tua lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal-hal atau tindakan apa saja yang diinginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.
Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagai bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah
9 di hadapan orang tua).
Yang sebaiknya dilakukan. Sampaikanlah hal2 atau tindakan-rindakan yang orang tua inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang diinginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak-anaknya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak bertengkar, perhatian orang tua tertuju pada mereka untuk mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Orang tua seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Yang sebaiknya dilakukan. Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri Apa yang orang tua lakukan jika melihat anak lebih lama bermain Playstation dari belajarnya? Mungkin yang sering diucapkan pada mereka, “Ayo,dimati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Secara tidak sadar bahwa telah mengajarkan
10 pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran jika anak tidak mengindahkan perkataan karena tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Yang sebaiknya dilakukan. Siapkanlah aturan main sebelum bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa orang tua ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.
Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya.
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau Pihak Lain Pada saat orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam
11 mendidik anak, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Yang sebaiknya dilakukan. Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh orang tua si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Orang tua juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang orang tua sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak-anak juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan sangat menghormati orang-orang yang menepati janji baik
12 untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. jangan pernah mengumbar janji pada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah orang tua benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan meminta anak untuk menentukan apa yang orang tua bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak Seringkali orang tua tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa disadari orang tua telah mengajari anak untuk melawan. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat orang tua bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah orang tua seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak. Akhirnya mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang berfikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali orang tua memiliki konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini.
13 Akibat dari perasaan bersalah ini, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin orang tua memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya.
Yang sebaiknya dilakukan. Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak adalah hal yang terbaik. Orang tua tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Dalam kondisi sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Sering kali mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “anak saya itu memang keras betul,saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Yang sebaiknya dilakukan.
14 Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan Orang tua seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, orang tua tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak lain.
Yang sebaiknya dilakukan. Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
15. Gengsi untuk Menyapa Orang tua pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.
Yang sebaiknya dilakukan. Siapa yang seharusnya memulai? Sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan orang tua. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa orang tua tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak
15 laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah.anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah.namanya juga anak anak”.
Bila orang tua selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Yang sebaiknya dilakukan. Orang tua tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi, harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak akan mau bekerja sama selama orang tua selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya Seberapa sering sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Tanpa disadari seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak. Dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut. Yang sebaiknya dilakukan. Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa
16 konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan Orang tua terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga saat anak berbuat salah, orang tua ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan, orang tua ingin agar anak berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila orang tua sering memaksakan perubahan pada anak dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, anak akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya anak memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Yang sebaiknya dilakukan. Jika orang tua mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah anak untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah anak memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian orang tua pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, anak datang di sore hari. Orang tua tidak mendapat keterangan apapun darinya atas
17 keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara selalu memotongnya. Akibatnya anak akan tidak mau bicara dan marah pada orang tua
Bila orang tua tidak berusaha mendengarkan anak, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Yang sebaiknya dilakukan. Jika orang tua tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan ketertarikan akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak. Anak sematang wayang, Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga menerapkan pola asuh open bar, atau mau apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Raja semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Yang sebaiknya dilakukan. Betapapun sayangnya pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika sayang, maka orang tua harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang orang tua akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja. 21. Terlalu Banyak Larangan Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita
18 cenderung membentuk anak sesuai dengan keinginan orang tua; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Anak pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis orang tua. Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Orang tua cenderung memotong pembicaraan pada saat anak sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak. Padahal kesimpulan orang tua belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak pulang terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika orang tua melakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir orang tua yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Anak tidak mau mendengarkan nasehat lagi, dan pada tahapan terburuk, anak akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.
19
Yang sebaiknya dilakukan. Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya anak sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak, yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, anak akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Yang sebaiknya dilakukan. Jika tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah. Ikutlah berempati sampai anak mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang dilakukan, maka selanjutnya anak akan lebih mendengar nasehat orang tua.
24. Suka Membandingkan Orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal
20 membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung orang tua rasakan; anak semakin tidak menyukai orang tua yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Yang sebaiknya dilakukan. Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Namun jika orang tua memiliki kebiasaan pemikiran selalu paling benar, maka akan membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun bermaksud menunjukkan superioritas di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Yang sebaiknya dilakukan. Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman. Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak.
21 26. Saling melempar tanggung jawab Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan? Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
27. Kakak harus selalu mengalah Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Yang sebaiknya dilakukan. Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya. Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak.
28. Menghukum secara fisik Dalam kondisi emosi, orang tua cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai
22 dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika terbiasa dengan keadaan ini, orang tua telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Yang sebaiknya dilakukan. Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan. Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri sendiri. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah orang tua lakukan dan menyebabkan anak berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman Bila telah terjadi kesepakatan antara orang tua dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek, kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan. Yang sebaiknya dilakukan. Jila orang tua sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika orang tua kasihan, bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
23 Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi yang pada kahirnya orang tua marah atau malah mengalah. Jika terpancing oleh emosi, anak akan merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar lagi.
Yang sebaiknya dilakukan. Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, katakan saja bahwa akan mempertimbangkan keputusan orang tua dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu dikeluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses ini jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi. Sekali saja orang tua berhasil membuat anak mengalah, maka selanjutnya anak tidak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya.
31. Menghukum Anak Saat Marah Hal yang perlu perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi sedang memuncak. Pada saat emosi sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski anak telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
Yang sebaiknya dilakukan. Bila sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera. Saat marah orang tua cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya anak memahami
24 perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon untuk tidak menggodanya, orang tua malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada orang tua dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Yang sebaiknya dilakukan. Jika ingin bercanda dengan anak, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah orang tua yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak tetap akan menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak. Apakah kesal dan meminta segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir Kebiasaan ini tidak akan membuat anak menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak karena telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan orang tua.
Yang sebaiknya dilakukan. Katakanlah secara langsung apa yang diinginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo naik sepeda terlalu sore”. Dan sejenisnya.
25 34. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel Pada saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu dengan memaksa, orang tua biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak sedang fokus pada apa yang diinginkannya, anak akan memancing emosi orang tua dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak pada umumnya adalah anak yang cerdas. tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin orang tua berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak tersebut.
Yang sebaiknya dilakukan. Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang orang tua inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini yang katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali
26 menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak Perilaku anak terbentuk karena 4 hal: Berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: orang tua atau TV? Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata – kata orang tua atau ketepatan waktu program2 TV? Oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah orang tua menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan? Oleh siapa yang sering menemaninya: orang tua atau TV? Yang sebaiknya dilakukan. Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak. Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya. Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak anda disakiti dan memprovokasi anak unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak sering membalas atau membalikkan apa yang orang tua sampaikan kepadanya.
Yang sebaiknya dilakukan. Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
27 Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
2.2 Data literatur 2.2.1 Sejarah Tzu Chi Primary School Tzu Chi primary school yang terletak di daerah pantai indah kapuk ini adalah salah satu dari sekolah yang dibangun oleh yayasan Buddha Tzu Chi. Pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen adalah seorang biksuni yang berprinsip untuk mengembangkan welas asih, belas kasih, sukacita, dan sikap memberi tanpa pamrih. Dalam menjalankan misi amalnya, insan Tzu Chi tidak pernah membedakan antara satu dan lainnya. Selangkah demi selangkah, kini 44 tahun telah berlalu. Bermula dari misi amal kemanusiaan, kesehatan, pendidikan, budaya kemanusiaan, bantuan bencana internasional, donor sumsum tulang, kegiatan pelestarian lingkungan, hingga relawan komunitas. Ibarat satu langkah dengan delapan jejak, cinta kasih telah berkembang melintasi samudera, menjadi dunia Tzu Chi. Mengendalikan diri dan kembali ke tata krama yang luhur, adalah kegiatan yang selalu diimbau oleh Tzu Chi agar setiap orang selalu dapat hidup rajin dan hemat, serta bersikap sopan kepada orang lain. Tujuan utama pendirian Sekolah Tzu Chi adalah untuk mendidik anak-anak yang disiplin, menjaga kebersihan dan bersopan santun. Tzu Chi School dilengkapi dengan kelas bimbingan tata krama yang mendidik anak anak agar menerapkan tata krama dalam kehidupan sehari-hari di dalam cara makan, berpakaian, duduk, serta berjalan agar anak-anak memiliki budi pekerti yang baik dan tentu saja belajar untuk berbicara jujur seperti yang Sekolah Tzu Chi ajarkan pada semua anak.
2.3 Data Penyelenggara Kampanye bertema Penyelenggaraan kampanye ini diselenggarakan dengan dukungan penuh dari Tzu Chi Primary School yang mana Tzu Chi merupakan suatu organisasi yang mengajak orang untuk beramal kepada yang membutuhkan, berhemat, memberi pertolongan, mengajarkan kebajikan dan sangat menjunjung tinggi nilai – nilai kejujuran. Pembuatan kampanye ini juga tidak lepas dari dukungan masyarakat yang bernotabe sebagai orang tua dari anak. Penyelenggaraan kampanye ini merupakan cara atau mediasi antara mengajarkan dan mengingatkan
28 kembali pentingnya menanamkan kejujuran pada anak sejak dini. Penyelenggara selain memberikan informasi, melainkan memberikan unsur edukatif serta unsur persuasive dalam setiap Print Ad yang dibuat. Dengan membuat kampanye ini, penyelenggara menggunakan media video dan print ad sebagai media utama.
2.4 Target Market Kampanye yang diadakan dengan dukungan Tzu Chi Primary School menjadikan anak - anak umur 5 – 11 tahun sebagai target market utama. Hal ini dikarenakan target market masi terbilang belia dan suka meniru apa saja yang menurutnya membuat terlihat keren dari gaya berbicara, pakaian, hingga ucapan pun akan ditiru oleh anak – anak. Alasan memilih anak sebagai target langsung Selain itu, untuk mendapatkan target yang lebih luas, kampanye ini akan mengajak sekolah – sekolah lain untuk memberi edukasi kepada anak serta mengaplikasikan media kampanye seperti memutarkan video kampanye pada hari minggu pagi saat anak ingin menonton televisi sekitar jam 7 pagi hingga 10 pagi, agar mengajak penonton untuk melihat cerita lengkap kancil di youtube dan print ad. Dengan adanya kampanye yang mengajarkan anak untuk jujur, diharapkan perubahan dapat membuat anak – anak menjunjung tinggi kejujuran dan memberikan pengaruh yang besar terhadap market lainnya. Selain itu, beberapa target pendukung lainnya antara lain: •
Media
•
Public figure
•
Organisasi Masyarakat sipil
2.4.1 Hasil Wawancara Wawancara yang dilakukan dalam mengunjungi Tzu Chi Primary School yang berada di daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dari wawancara tersebut, hasil yang di dapatkan berupa data – data mengenai organisasi Tzu Chi, aktifitas yang sering dilakukan Tzu Chi, dan beberapa data lainnya seperti kebiasaan anak – anak. Dapat disimpulkan bahwa hasil dari wawancara yang dilakukan adalah karena semakin berkembangnya jaman, masyarakat Indonesia semakin sedikit yang memiliki kesadaran dalam menanggapi permasalahan kebohongan pada anak dengan alasan yang beragam, dan tentu kurangnya dukungan dari pemerintah dan kesadaran
29 masyarakat akan penting dan akibat buruk dari kebiasaan berbohong pada anak. Berikut tabel presentase sifat – sifat yang membuat anak berbohong.
Gambar 2.1 hasil wawancara di Tzu Chi Primary School
Setelah mewawancari beberapa orang tua, dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab anak kecil berbohong karena hanya untuk semata – mata membela diri dari ancaman takut dimarahi ataupun hukuman. Namun itu menjadi salah satu kewajiban orang tua mendidik dan mendekatkan diri pada anak sehingga terjadi komukasi yang terbuka dan jujur agar sifat kebiasaan berbohong pada anak tidak berkelanjutan hingga dewasa. Berikut tabel hasil wawancara orang tua yang memiliki anak dibawah umur delapan tahun
30
Gambar 2.2 hasil wawancara dengan orang tua
2.5 Tinjauan Teori Semua anak pernah pasti pernah berbohong, sangat dibutuhkan orang tua atau seseorang yang dapat menginspirasikan anak yang berbohong tersebut karena perlu menanamkan arti penting kejujuran. Namun sebelum menanamkan nilai kejujuran, akan sangat membantu bila mengerti alasan anak berbohong, serta pergeseran alasan seiring dengan pertambahan usia anak. Beda usia beda pula cara berbohong, maka dengan adanya kancil jujur yang telah memiliki data dan riset tentang kebohongan dari yang berbohong serta mencari tahu mengapa itu dilakukan pada anak.
2.5.1 Tahun Kejujuran Anak Perkembangan otak pada anak sangatlah cepat berkembang, seluruh kegiatan dan lingkungan pada anak menentukan pola pikir pada anak. Maka anak sangat disarankan untuk melihat tindakan – tindakan yang baik karena anak sangatlah suka meniru apa yang dilihatnya. Berikut adalah tingkatan usia dan cara cerdas mengajarkan arti penting kejujuran.
31 2- 4 TAHUN: PEMBUAL Kebohongan umum: “Monster mencoret tangan saya.” “Saya bisa melakukan 1000 kali salto dalam satu putaran!” Yang anak pikirkan: “Anak usia prasekolah masih terlalu kecil untuk memahami arti kebohongan. Mereka tanpa sadar membelokkan kenyataan. Mereka suka mengarang dan melebih-lebihkan cerita, namun hal itu adalah bentuk ekspresi imajinasi yang sangat kaya, bukan kebohongan.” Kata Dr. Gallagher Seringkali anak usia 3-4 tahun kesulitan membedakan khayalan dan kenyataan. “Dilihat dari tahap perkembangan, mereka belum cukup dewasa untuk menyadari bahwa sebuah kejadian tidak selalu sesuai dengan apa yang mereka inginkan,” kata Dr. Gallagher. Karena itu balita bisa memegang gelas kosong, tumpahan susu di pangkuannya, dan mengatakan monster telah menumpahkan susu dari gelas. Itu berarti ia berharap bukan dia yang menumpahkan susu karena hal itu bisa memancing kemarahan Anda. Dalam pikirannya, karena ia tidak sengaja maka bukan dia pelakunya. Dan dengan daya ingat yang terbatas, mereka cepat lupa akan hal-hal yang mereka lakukan. Taktik menghadapi: Pertama, jangan menampakkan reaksi berlebihan. “Jangan menyebut anak sebagai pembohong, berapa pun usianya,” kata Jane Kostelc, spesialis tumbuh kembang anak di Parents as Teachers National Center, organisasi pelatihan orang tua yang berbasis di St. Louis. Jika orang tua marah, ia akan terus membela diri dan senantiasa berbohong untuk menghindari masalah. Lebih baik fokus kepada permasalahan. Katakan dengan lembut, “Mama lihat susu Adik tumpah,” lalu lakukan tindakan penyelesaian, “Ayo ambil tisu dan kita bersihkan tumpahan ini sama-sama.” Jika anak mulai mengatakan hal-hal yang “liar”, ajak kedalam suasana santai dan penuh canda, saran peneliti perilaku Wendy Gamble, PhD, lektor kepala pada family studies and human development di University of Arizona, Tucson. Cara yang baik adalah balik bertanya, “Ini cerita sungguhan atau pura-pura?” Biasanya, ia akan berkata jujur bahwa telah mengarang cerita.
5 - 7 TAHUN: TAKTIK MENUTUPI KESALAHAN
32 Kebohongan umum: “Aku sudah selesai mengerjakan PR matematika.” “Dia memukul saya lebih dulu.” Yang anak pikirkan: Pada awal usia sekolah, anak berbohong untuk melarikan diri dari tanggung jawab atau hukuman. Tapi mungkin juga mereka berbohong untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan (jam tidur lebih larut atau izin menonton acara televisi), atau bisa saja mereka berbohong agar orang tua tidak kecewa, kata Dr. Di Prisco. Jika anak merasa orang tua akan kecewa karena ia tidak belajar mengeja dengan benar, besar kemungkinan ia berbohong seputar hasil ujian membaca hari itu. Dan ketika peran teman semakin besar, anak yang merasa dijauhi akan mengutarakan kebohongan demi menaikkan reputasi, “Ibuku akan menjadi juri American Idol tahun depan.”
Taktik menghadapi: Cobalah mencari motif di balik kebohongan anak. Pikirkan respons yang akan orang tua berikan terhadap kebohongan itu. Apakah harapan terlalu tinggi atau aturan disiplin yang terapkan terlalu berat? Bisa saja anak merasa cemas lantas berbohong demi menghindari amarah dan hukuman. Biarkan anak tahu bahwa orang tua mengerti benar rasa takut, malu, dan bersalah yang anak rasakan ketika berbuat salah. Lalu katakan, semua orang (bahkan orang tuanya sendiri) pernah melakukan kesalahan dan tegaskan orang tua tetap menyayangi anaknya, terlepas dari kesalahannya. Namun orang tua perlu menggarisbawahi bahwa kejujuran lebih dihargai, meskipun terkadang menyakitkan. Ketika anak pulang membawa mainan yang bukan miliknya dan orang tua mengetahui bahwa anak mengambil milik teman, jangan paksa untuk mengaku. Lebih baik mengeluarkan komentar netral seperti, “Mama lihat Adik bawa pulang mainan Billy,” dan katakan bahwa tidak baik membawa benda-benda milik orang lain tanpa izin. Lalu cari solusi: anak bisa menelepon Billy, minta maaf, dan atur pertemuan untuk mengembalikan mainan tersebut. “Bayangkan diri Anda sebagai guru, bukan polisi,” kata Kostelc. Jangan memberi hukuman yang melenceng jauh dari kesalahan yang anak perbuat. Jika anak berbohong seputar rutinitas misalnya lupa mematikan televisi, tatapan ragu plus peringatan bahwa orang tua mengharapkan kejujuran dari anak, cukup untuk menyampaikan pesan yang orang tua maksud. Ketika kebohongan menyangkut
33 masalah keamanan, seperti tidak mengenakan helm saat bersepeda atau memukul sang adik, terapkan aturan kedispilinan. Jelaskan letak kesalahan anak, lalu berikan dua konsekuensi yang sesuai, satu untuk kesalahan dan satu lagi untuk kebohongan yang ia ucapkan. “Semua anak terkadang berbohong,tergantung bagaimana orang tua dapat menanggapinya” kata psikolog klinis Richard Gallagher, PhD, direktur Parenting Institute di the New York University Child Study Center. “Faktanya, berbohong itu normal dalam tahapan perkembangan anak Namun bukan berarti Anda mengacuhkan begitu saja perilaku tersebut. Orang tua perlu mengajarkan kejujuran” kata Joseph Di Prisco, PhD, co-author Right from Wrong: Instilling a Sense of Integrity in Your Child. Jika mendapati anak berbohong, maknai hal itu sebagai kesempatan membicarakan arti penting kejujuran.
2.6 Faktor SWOT Adapula faktor Strengths, Weakness, Opportunities dan Threat pada kampanye:
Strengths -
Orang tua mengidamkan anak untuk jujur
-
Memiliki masa depan yang baik dan cerah
Weakness - Kebohongan pada anak sering dianggap sepele Opportunites - Kejujuran sesuai dengan ajaran agama apapun - Mendukung pemerintah dalam membangun masyarakat yang lebih baik Threat - Topik yang lebih besar dari kejujuran
34