BAB 2
LANDASAN PERANCANGAN
2.1 Tinjauan Umum Data yang mendukung Tugas Akhir ini didapat dari sumber sebagai berikut : 2.1.1 Wawancara dengan Narasumber : Sobar Budiman (Budi Sobar) Budi Sobar adalah anggota dari Teater Koma (kelompok teater yang sudah berkarya sejak tahun 1977 di Indonesia), dosen Kajian Seni Pertunjukkan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan juga tergabung dalam Komite Teater di Dewan Kesenian Jakarta.
2.1.2 Tinjauan Pustaka a. Referensi Buku : Mengenal Teater Tradisional di Indonesia oleh A. Kasim Achmad (2006) Buku ini menyajikan informasi mengenai asal mula teater tradisional di Indonesia, perbedaannya dengan teater Barat, dan jenisjenis teater tradisional yang berkembang di Indonesia.
b. Referensi Buku : Teater Daerah Indonesia oleh Prof. Dr. I Made Bandem dan Dr. Sal Murgiyanto (1996) Buku ini menyajikan informasi mengenai teater secara umum, teater daerah di Indonesia dan jenisnya, peran dan fungsi teater, serta disertakan juga sumber lakon yang biasa digunakan dalam teater.
c. Referensi Buku : Teater : Sebuah Perkenalan Dasar oleh Max Arifin (1980) Buku ini menyajikan informasi mengenai seluk-beluk tentang teater, seperti naskah, latihan, tata panggung, dan sebagainya, dan sedikit tentang sejarah perkembangan teater di Indonesia.Buku ini masih minim visual, cenderung teks panjang berisi informasi dan penjelasan materi.
d. Referensi Buku : Tata dan Teknik Pentas oleh Pramana Padmodarmaya (1988) Buku ini menyajikan informasi mengenai teater secara umum dan juga tata panggung dan teknik pentas yang menyertai suatu teater.
2.1.3 Data Umum a. Pengertian Teater Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teater adalah pementasan drama sebagai suatu seni atau profesi ; seni drama ; sandiwara. Menurut Prof. Dr. I Made Bandem dan Dr. Sal Murgiyanto dalam buku “Teater Daerah Indonesia” (1996 : 9-10), teater berasal dari kata Yunani yaitu theatron, yang berarti tempat atau gedung pertunjukkan. Dalam perkembangannya, kata teater memiliki arti yang lebih luas dan diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam batasan yang lebih sempit, teater diartikan sebagai drama, yaitu lakon atau kisah hidup manusia yang dipertunjukkan di atas pentas dan disaksikan orang banyak. Media ungkap yang utama dalam seni teater adalah gerak laku para pemain yang disebut ‘akting’. Di samping itu, didukung oleh unsur percakapan atau dialog. Dalam buku “Mengenal Teater Tradisional di Indonesia”, A. Kasim Achmad mengatakan bahwa teater mempunyai arti yang cukup luas, cakupan dari segala sesuatu yang dipertunjukkan dan ditonton orang. Brockett, dalam bukunya “The Essential Theatre” (1988 : 5), menyebutkan elemen pokok dalam teater yaitu (1) apa yang dipertunjukkan (lakon, skrip, atau rencana), (2) pertunjukkannya (termasuk proses kreasi dan penyajiannya), dan (3) penonton. Max Arifin, dalam bukunya “Teater : Sebuah Perkenalan Dasar”, menyebutkan bahwa seni teater adalah suatu bentuk pengucapan seni yang cara penyampaiannya dilakukan dengan dipertunjukkan (diperagakan lewat gerak dan suara) dan ditonton oleh orang. Dikatakan teater sebagai sebuah seni yang ephemeral, mempunyai sifat hidup yang sebentar, seperti yang dikatakan oleh Brockett : “The theatre dies every night, only to reborn each day, for it
exists whenever actors perform before an audience.”. Seni teater adalah seni yang objektif karena menghidangkan pengalaman-pengalaman batin dan pengalaman indra melalui ucapan dan laku.
b. Unsur-Unsur dalam Teater Menurut Pramana Padmodarmaya dalam buku “Tata dan Teknik Pentas”, menyebutkan unsur-unsur dalam teater adalah : 1. Tubuh manusia, sebagai alat/media utama (pemeran/pemain) 2. Gerak, sebagai unsur penunjang 3. Suara, sebagai unsur penunjang (kata atau ucapan pemeran) 4. Bunyi, sebagai unsur penunjang (efek bunyi benda, musik) 5. Rupa, sebagai unsur penunjang (cahaya, sinar lampu, skeneri, kostum, tata rias).
c. Hubungan Antara Teater dengan Publik/Audiens “Bahasa teater adalah bahasa yang tidak sepenuhnya langsung begitu saja bisa dimengerti, tapi yang pasti secara langsung berkomunikasi dengan individu.Teater seperti puisi adalah sesuatu yang berbicara dari hati ke hati.” (Arifin, 1980) Hubungan antara pementasan teater dengan audiens atau penonton harus berjalan secara harmonis, ideal, dan akrab. Para pemain ingin ditonton dan begitu juga dengan penonton datang untuk menonton. Teater tidak sepenuhnya dapat memperbaiki masyarakat, mengubah pemikiran seutuhnya dari sekelompok manusia, teater hanya memberikan sedikit sentuhan kepada audiens, dan kemudian tergantung pribadi dari audiens itu sendiri. Audiens yang bisa tersentuh dengan apa yang ditampilkan dalam teater adalah audiens yang siap, siap untuk berpikiran terbuka, dengan begitu mereka adalah audiens atau publik yang ideal bagi suatu pementasan.
d. Teater Tradisional Menurut A. Kasim Achmad dalam buku “Mengenal Teater Tradisional di Indonesia”, di Indonesia dapat dijumpai dua bentuk teater, yaitu :
a. Teater tradisional : bertolak dari sastra lisan, yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat ; berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal masyarakatnya. b. Teater non-tradisi/teater modern : terutama berkembang di kotakota besar sebagai hasil kreativitas masyarakat Indonesia dalam persinggungan dengan kebudayaan Barat ; bertolak dari sastra tulis, sastra Indonesia yang berbentuk lakon dan diikat oleh konvensi dan hukum dramaturgi.
Tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Teater tradisional adalah teater dalam suatu masyarakat etnik tertentu yang mengikuti tata cara, tingkah laku, dan cara berkesenian mengikuti tradisi, ajaran turun-temurun dari nenek moyangnya, sesuai dengan budaya lingkungan yang dianutnya.
Tiga jenis teater tradisional di Indonesia : a. Teater rakyat : yang hidup di tengah kehidupan masyarakat. b. Teater istana : teater yang dikelola raja dan bangsawan saat itu. c. Teater sandiwara bangsawan : yang bermunculan pada periode jaman teater transisi di kota-kota.
e. Ciri-Ciri Teater Tradisional Ada beberapa hal yang membedakan teater tradisional dengan teater yang sudah mendapat pengaruh Barat, antara lain : 1. Suasana santai dan untuk bersama Penonton teater daerah atau tradisional umumnya menikmati suasana santai sehingga menimbulkan suasana betah dan kerasan, sedangkan penonton teater Barat pada umumnya harus duduk terpaku di atas kursi bernomor, tidak boleh berisik, dan harus berkonsentrasi untuk memahami dialog pemain. Dalam bentuk tontonan daerah yang populer di pedesaan, penonton boleh berbicara santai dengan sesama penonton, sambil menikmati kuekue atau kacang.
2. Melibatkan berbagai aspek dan untuk semua (total) Para ahli teater Barat sering menjuluki teater daerah Indonesia sebagai teater total, pertama, karena terbentuk dari paduan berbagai aspek pendukung, dan kedua, karena dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat serta pribadi. Teater daerah melibatkan aspek rasa, indra, jiwa, dan pikiran. 3. Pengindahan atau stilasi Teater daerah menggunakan tingkat pengindahan atau stilisasi gerak yang cukup tinggi, sedangkan teater Barat tampak lebih realistis dan representatif. Stilisasi dalam teater bukan menjauhi kenyataan, tapi mendekatinya melalui jalur lain, yaitu memungut hanya yang baku, yang mengasyikkan, atau yang secara dramatik efektif. Gaya non-realis juga terlihat dalam gaya berperan : penghayatan pemeran lebih bersifat kepura-puraan, emosinya sebatas terlihat dari luar. 4. Spontanitas Apa yang berlangsung pada saat pertunjukkan dilakukan secara improvisatoris. Semua didasarkan pada kebiasaan bermain yang mentradisi, dengan mengikuti pakem yang sudah digariskan oleh generasi sebelumnya. Tidak seperti teater Barat dan modern yang sudah menggunakan skrip atau naskah.
f. Peran dan Fungsi Teater Tradisional 1. Sebagai sarana upacara (misalnya di Bali ada upacara tolak bala dengan memainkan teater Sanghyang ; di Kalimantan Timur ada upacara sesudah panen oleh suku Dayak yang disebut dangai) 2. Sebagai hiburan (di Yogyakarta ada Ketoprak Lesung) 3. Sebagai sarana pendidikan, komunikasi, dan kritik sosial (misalnya bentuk-bentuk wayang dan sindiran-sindirannya) 4. Sebagai alat ekspresi seni 5. Sebagai alat dokumentasi hidup (peninggalan warisan tradisi yang masih dapat disaksikan)
g. Jenis Teater Tradisional di Berbagai Daerah di Indonesia 1. Teater Mula / Bertutur Berbagai tradisi seperti kitab-kitab dan hasil-hasil kesusastraan pada zaman dulu umumnya hanya dimiliki dan boleh dibaca oleh orangorang tertentu, misalnya keluarga istana, pendeta-pendeta, sastrawan, dan lain-lain, dan juga sebagian besar dari kitab-kitab itu ditulis dalam bahasa Sansekerta, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Jawa Tengahan. Hal itu menyebabkan sastra tidak mudah dibaca oleh masyarakat umum, dan juga tidak semua masyarakat di berbagai daerah di Indonesia mengenal tulisan. Maka dari itu, isi kitab-kitab itu disampaikan secara lisan (tutur) oleh para pendeta dan ahli sastra, kemudian turun-temurun disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contoh teater bertutur adalah : a. Bakaba : teater bertutur dari Minangkabau, Sumatera Barat. Pembacaan sastra daerah ini dilakukan dengan berdendang, diiringi dengan beberapa alat musik seperti rebana besar (adok), kecapi, rebab, dan biola. Kisah yang dibawakan adalah yang berhubungan dengan tema baik buruk dan patut tidak patut dalam tradisi Tambo Alam dan adat Minangkabau, dengan menampilkan tokoh-tokoh dalam tradisi hikayat, seperti kalangan keluarga raja di Rantau dan Pagaruyung. b. Kentrung : teater bertutur asal Jawa Timur ini biasanya dimainkan oleh satu orang, yang bertindak sebagai juru cerita (pembawa tutur) dan sekaligus juga memainkan (menabuh) alat musiknya yang berupa terbang besar atau sering disebut juga kentrung. Terbang atau rabana termasuk membranofon, alat musik yang menghasilkan suara dengan memukul selaput atau kulit pada alat musik tersebut, seperti kendang. c. Cekepung : teater bertutur asal Bali / Lombok yang dilakukan oleh sejumlah pemeran pria yang bermain rebab dan suling, sambil bernyanyi-nyanyi tapi tetap dalam posisi duduk. Yang biasa dinyanyikan adalah pantun-pantun, yang menjadi kebiasaan orang Bali dan Lombok pada musim panen dan pada upacara selamatan.
2. Teater Istana Munculnya pemerintahan raja-raja bukan hanya menjadikan istanaistana sebagai pusat kekuasaan dan pemerintahan, melainkan juga menjadi pusat kebudayaan dan kesenian. Raja sebagai pusat kekuasaan memiliki sejumlah ahli sastra, empu-empu tari, dan ahli kesenian lainnya. Oleh karena itu, berkembanglah bentuk-bentuk kesenian seperti teater, di dalam lingkungan istana. Contoh teater istana adalah : a. Wayang Wong : disebut juga wayang orang dalam bahasa Indonesia, adalah bentuk perkembangan kesenian wayang, yang dimainkan oleh orang. Wayang Wong lahir sebagai bentuk pengembangan wujud wayang kulit yang dapat dimainkan oleh orang, sehingga dalang tidak muncul untuk memainkannya lagi. Wujud pergelarannya adalah perpaduan antara drama, tari, dan musik. b. Langendriyan : teater Jawa dalam bentuk opera, teater ini lebih menekankan penampilannya pada seni suara atau olah vokal karena seluruh dialog dalam pertunjukkan ini dilakukan dalam bentuk vokal. Langendriyan berasal dari kata langen yang artinya hiburan dan driya yang artinya hati, sehingga dapat diartikan sebagai penghibur hati, hiburan hati yang bermutu tinggi, karena biasa dimainkan di istana raja. Para penari Langendriyan di Surakarta semuanya adalah wanita, sedangkan di Yogyakarta, semua peran dibawakan oleh penari pria. Langendriyan lahir di luar tembok keraton, baru kemudian di Surakarta diangkat menjadi tontonan kebanggaan istana Mangkunegaran, sedangkan di Yogyakarta teater ini lahir dengan dukungan dari para bangsawan istana. c. Gambuh : teater asal Bali yang merupakan teater tradisional yang paling tua, berasal dari abad ke-16, dan dianggap sebagai sumber dari semua teater di Bali. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh masyarakat Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Menurut tradisi, pemeran Gambuh hanya dimainkan oleh pria, tapi dalam perkembangannya wanita pun dapat ikut bermain.
3. Teater di Luar Istana Di dalam keseharian masyarakat, juga muncul bentuk kesenian yang dikenal dengan teater rakyat, yaitu teater yang tumbuh di tengah rakyat dari dulu sampai sekarang. Teater rakyat terkait dengan kehidupan di pedesaan, lahir, tumbuh, dan berkembang, serta didukung oleh masyarakat di lingkungannya. Contoh teater di luar istana adalah : a. Ludruk : teater rakyat yang sangat populer di daerah Surabaya dan sekitar Jawa Timur lainnya. Prinsip utama pertunjukkan adalah untuk menghibur masyarakat yang menderita dan juga sering dijadikan alat untuk propaganda atau alat penerangan. Semua pemain ludruk adalah pria, termasuk memerankan peran-peran wanita. Ludruk membawakan cerita dengan gerak laku yang realistik dan lebih mementingkan dialog serta banyolan. b. Ketoprak : teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Ketoprak adalah bentuk teater yang berlakon dengan unsur-unsur utama dialog, tembangan, dan dagelan. Mulanya hanya merupakan permainan orang-orang desa yang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu
bulan
purnama,
yang
disebut
gejogan,
dalam
perkembangannya kemudian menjadi suatu bentuk teater yang lengkap. c. Lenong : merupakan teater rakyat Betawi, dimainkan oleh sejumlah penari pria dan wanita dengan dialog dalam bahasa Indonesia dialek Jakarta (Betawi). Gerak laku para pemain realistis dengan lawak dan silat sebagai bagian utama. Lenong banyak mendapat pengaruh dari Cina, musik pengiring lenong yang dinamakan Gambang Kromong (terdengar sebagai nama bahasa Cina) : tehiyang, kong ah yan, sukong, dan sebagainya. d. Dul Muluk : atau dikenal juga dengan Abdul Muluk, adalah teater rakyat yang terdapat di Sumatera Selatan. Nama Dulmuluk berasal dari tokoh cerita yang terdapat dalam Hikayat Abdul Muluk. Meskipun lakon yang dibawakan tidak selalu Hikayat Abdul Muluk, tapi tetap dinamakan Dulmuluk. Di beberapa tempat teater sejenis Dulmuluk disebut Teater Indra Bangsawan. Dul Muluk
didominasi oleh latar belakang budaya Melayu, baik dari sumber cerita maupun iringan musiknya.
h. Kompetitor
Gambar 1. Buku Kompetitor 1 Sumber : Noviana
1. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia Pengarang
: A. Kasim Achmad
Penerbit
: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit : 2006 Dimensi Buku
: 14,5 x 20,5 cm
Tebal Halaman : 182 halaman Buku ini membahas tentang jenis-jenis teater tradisional di Indonesia, fungsi dan ciri-cirinya, serta membahas kesenian wayang secara khusus. Buku ini dikemas dengan rangkaian teks dan sedikit visual yang menggambarkan isi teks.
Gambar 2. Buku Kompetitor 2 Sumber : Noviana
2. Teater Daerah Indonesia Pengarang
: Prof. Dr. I Made Bandem & Dr. Sal Murgiyanto
Penerbit
: Kanisius
Tahun Terbit : 1996 Dimensi Buku : 14,75 x 20,5 cm Tebal Halaman : 196 halaman Buku ini membahas tentang asal mula teater di Indonesia secara singkat, peranan teater daerah, jenis-jenis teater daerah, dan juga menyertakan sumber-sumber lakon dalam teater. Buku ini dikemas dengan sebagian besar isinya adalah teks dan beberap halaman disertai dengan foto tentang teater.
2.2 Tinjauan Khusus 2.2.1 Landasan Teori 2.2.1.1 Teori Desain Komunikasi Visual Menurut buku “Viscomm : A Guide to Visual Communication Design” oleh Jacinta Patterson dan Joanne Saville (Patterson & Saville, 2012), Desain Komunikasi Visual merupakan proses menciptakan sekumpulan pesan dan makna di dalam sebuah desain dari objek-objek yang berinteraksi dengan kita. Desain Komunikasi Visual sebagai perangkat bagi para desainer profesional untuk mengontrol dan memanipulasi efektivitas stimuli atau dorongan
visual. Dengan begitu, melalui ilmu Desain Komunikasi Visual, diharapkan desainer dapat menyampaikan pesan, makna, dan ideide secara visual kepada penerima pesan dengan baik.
2.2.1.2 Teori Publikasi Menurut buku “New Book Design” oleh Roger Fawcett-Tang (Fawcett-Tang, 2004), buku merupakan salah satu aplikasi atau contoh paling awal dari apa yang kita kenal sekarang dengan ‘desain grafis’. Ketika dihadapkan pada dua pilihan buku yang isinya relatif sama dan harga yang ditawarkan juga relatif sama, masyarakat yang paham dan sadar akan desain tentu akan memilih buku yang lebih menarik untuk dilihat, isinya mudah dimengerti, yang menampilkan informasi di dalamnya dengan metode dan komposisi yang paling jelas dan mudah dimengerti. Penampilan eksternal dari sebuah buku adalah faktor paling krusial yang dapat membuat sebuah buku bisa menonjol dibandingkan banyak buku lainnya yang terpajang di rak-rak toko buku. Buku mengajak pembaca untuk berimajinasi dan juga mengenalkan mereka cara baru untuk berpikir dan memberikan ide-ide baru. Dalam buku “Layout : Dasar & Penerapannya” oleh Surianto Rustan (Rustan, 2008), dikatakan bahwa buku adalah kumpulan lembaran halaman yang cukup banyak, yang dapat menampung banyak informasi, baik itu cerita, pengetahuan, laporan, dan lainlain. Pada umumnya buku dibagi menjadi tiga bagian, antara lain : a. Bagian Depan a. Cover depan berisi judul buku, nama pengarang, nama atau logo penerbit, testimonial, elemen visual atau teks lainnya. b. Judul bagian dalam c. Informasi penerbitan dan perijinan d. Dedication, pesan atau ucapan terima kasih yang ditujukan oleh pengarang untuk orang/pihak lain e. Kata pengantar dari pengarang
f. Kata sambutan dari pihak lain, misalnya editor atau pihak ahli g. Daftar isi b. Bagian Isi Isi buku yang terdiri dari bab-bab dan sub-bab, dan tiap bab membicarakan topik yang berbeda. c. Bagian Belakang a. Daftar pustaka b. Daftar istilah c. Daftar gambar d. Cover belakang biasa berisi gambaran singkat mengenai isi buku tersebut, testimonial, harga, nama atau logo penerbit, elemen visual atau teks lainnya.
2.2.1.3 Teori Layout Menurut buku “Layout : Dasar & Penerapannya” oleh Surianto Rustan, Layout adalah tata letak elemen-elemen desain terhadap suatu bidang dalam media tertentu untuk mendukung konsep/pesan yang dibawanya. (Rustan, 2008)
Dalam suatu layout, terdapat beberapa elemen yang membangun keseluruhan layout tersebut dan memiliki perannya masing-masing, antara lain : a. Judul / Head / Headline Satu atau beberapa kata singkat yang mengawali suatu artikel. Biasanya judul dibedakan dengan elemen layout lainnya dengan pembedaan ukuran, warna, jenis huruf, dan sebagainya, untuk lebih menarik perhatian pembaca. b. Deck Gambaran singkat tentang topik yang dibicarakan di bodytext. Letaknya bervariasi, tetapi biasanya di antara judul dan bodytext. Deck berfungsi sebagai pengantar sebelum orang membaca bodytext. Biasa dicirikan dengan ukuran huruf yang
lebih kecil dari judul, tetapi lebih besar dari bodytext. Selain ukuran, juga bisa dibedakan dengan jenis huruf dan warna. c. Bodytext Isi bacaan atau naskah yang merupakan elemen dari layout yang paling banyak mengandung informasi dari suatu artikel. Keberhasilan suatu bodytext selain dari gaya penulisannya yang menarik, juga didukung oleh judul dan deck yang dapat memancing pembaca untuk melanjutkan membaca ke bagian isi artikel. d. Subjudul / Subhead Dalam suatu artikel yang panjang, terkadang penulis membaginya menjadi beberapa bagian/segmen yang berisi topik atau pokok pikiran yang sama. Satu segmen bisa saja terdiri dari beberapa paragraf. Judul dari segmen tersebut dikenal dengan subjudul/subhead. e. Pull Quotes Awalnya
merupakan
cuplikan
perkataan
atau
tulisan
seseorang, tetapi kemudian mengalami perluasan arti, seperti satu atau lebih kalimat singkat yang mengandung informasi penting yang ingin ditekankan. Terkadang pull quotes bisa diambil dari isi bodytext yang merupakan bagian yang ingin ditekankan. Umumnya dicirikan dengan dibuka dan ditutup dengan tanda petik (“), atau diberi box dan sebagainya agar dapat dibedakan dari elemen layout lainnya. f. Caption Keterangan singkat yang menyertai suatu elemen visual dalam artikel. Biasanya dicirikan dengan ukuran yang kecil dan jenis hurufnya bisa sama atau berbeda dengan bodytext. Letak caption biasanya berada di dekat elemen visual yang dijelaskan. Jika banyak elemen visual dan caption diletakkan menjadi satu, dapat disertakan petunjuk seperti arah, tanda panah, atau angka yang menandakan caption tertentu yang merujuk pada elemen visual tertentu.
g. Initial Caps Huruf awal yang berukuran besar dari kata pertama pada paragraf.
Initial
caps
dapat
juga
berfungsi
sebagai
penyeimbang komposisi dari suatu layout. Initial caps bentuknya bervariasi, antara lain : drop caps (mempunyai ciriciri ‘masuk/tenggelam’ ke dalam paragraf, umumnya sekitar dua atau tiga baris ; raised caps (tidak tenggelam seperti drop caps, melainkan muncul ke permukaan, baseline-nya sejajar dengan baseline teks di baris pertama paragraf) ; adjecent caps (berada di luar paragraf sebelah kiri, sisi kiri baris-baris teks pada paragraf tetap rata dari atas ke bawah) ; dan beberapa decorative initial lainnya yang tidak terbatas sesuai kreativitas penulis dan tidak berlawanan dengan fungsinya sendiri. h. Indent Baris pertama paragraf yang menjorok masuk ke dalam. Sedangkan hanging indent adalah kebalikannya, baris pertama tetap pada posisi, sedangkan baris-baris di bawahnya menjorok masuk ke dalam. i. Header dan Footer Header adalah area di antara sisi atas kertas dan margin atas. Footer adalah area di antara sisi bawah kertas dan margin bawah. Header dan footer biasa berisi running head, catatan kaki, nomor halaman, dan informasi lainnya. j. Running Head Judul buku, bab/topik yang sedang dibaca, nama pengarang, dan informasi lainnya yang berulang-ulang ada pada tiap halaman dan posisinya tidak berubah. Walaupun terletak di area footer, tetap disebut dengan running head. k. Nomor Halaman Untuk materi publikasi yang berisi lebih dari 8 halaman dan memuat banyak topik yang berbeda, digunakan nomor pada setiap halaman untuk memudahkan pembaca mencari artikel topik yang diinginkan, yang disertai dengan daftar isi pada halaman atau bagian depan publikasi.
Prinsip dasar layout yang adalah juga prinsip desain grafis, antara lain adalah : a.
Sequence/urutan : dikenal juga dengan hierarki/flow/aliran. Merupakan urutan prioritas dari satuan informasi yang ingin disampaikan kepada audiens, dari yang harus dibaca pertama sampai yang boleh dibaca setelahnya. Dengan adanya sequence, semua informasi tidak akan sama kuat dan audiens tidak akan kesulitan menangkap pesan, dan secara otomatis sequence akan mengarahkan pandangan audiens sesuai urutan prioritas informasi.
b.
Emphasis / penekanan : sequence dapat dicapai dengan adanya emphasis. Dalam beberapa satuan informasi, satuan informasi yang mendapat penekanan paling kuat seperti ukuran font yang lebih besar dari font lainnya, satuan tersebut akan menjadi pusat perhatian dari keseluruhan informasi, maka audiens akan mengetahui bahwa misalnya satuan dengan ukuran yang lebih besar itu adalah judul.
c.
Balance / keseimbangan : adalah pembagian berat yang merata pada suatu bidang layout. Tidak berarti suatu bidang layout dipenuhi dengan materi, tapi semuanya diletakkan pada tempat yang tepat dan juga porsi yang tepat, sehingga keseluruhan layout menghasilkan kesan yang seimbang.
d.
Unity / kesatuan : merupakan kesatuan antara elemen-elemen desain. Antara teks, gambar, warna, ukuran, dan elemen lainnya, semua elemen harus saling berkaitan, selaras, dan disusun dengan tepat.
Menurut buku “Publication Design Workbook” oleh Timothy Samara (Samara, 2005), sebuah desain mengandung sebuah solusi dari aspek visual dan pengorganisasian, gambar, teks, judul, dan elemen lainnya harus dapat dijadikan satu kesatuan yang dapat mengkomunikasikan makna atau pesan di dalamnya. Sistem grid adalah salah satu pendekatan untuk mencapai hal ini. Sebuah sistem grid akan memperkenalkan urutan sistematis dari suatu
layout, membedakan informasi yang satu dengan yang lainnya, dan memudahkan navigasi pembaca terhadap layout tersebut. Dalam “Making and Breaking the Grid” oleh Timothy Samara (Samara, 2005), sistem grid terdiri dari manuscript grid, column grid, hierarchical grid, modular grid, dan berbagai variasi lainnya. Salah satu jenis grid adalah column grid, di mana grid ini fleksibel untuk digunakan dalam suatu layout. Sekumpulan informasi dapat lebih terorganisir dengan membaginya dalam serangkaian kolom vertikal, karena kolom-kolom itu dapat digunakan untuk jenis teks yang beragam, seperti dua kolom yang saling bergantung untuk teks yang bersambung, sebuah kolom yang berdiri sendiri untuk jumlah teks yang lebih sedikit, ataupun kolom yang digabung untuk membentuk kolom yang lebih lebar daripada yang lainnya.
2.2.1.4 Teori Ilustrasi Menurut buku “What is Illustration ?” oleh Lawrence Zeegen (Zeegen, 2009), ilustrasi adalah salah satu aplikasi langsung dari komunikasi visual. Para ilustrator akan mengkombinasikan ekspresi personal mereka dengan representasi visual untuk menyampaikan sekumpulan ide dan pesan. Ilustrator tidak hanya mengkomunikasikan,
mempersuasi,
memberikan
informasi,
mengedukasi, menghibur begitu saja, tapi juga mencapai semua itu dengan mempertahankan nilai clarity/kejelasan, memiliki visi, dan style tersendiri. Menurut buku “The Fundamentals of Illustration” oleh Lawrence Zeegen dan Crush (Zeegen & Crush, 2005), ilustrasi yng baik adalah ilustrasi yang dapat mendorong para pembaca atau pengamatnya untuk berpikir, menggambarkan lebih dari sekedar teks, dan dapat memahami lebih dalam tentang subjek atau topik yang bersangkutan. Ilustrasi yang baik adalah seperti cerita atau kisah yang baik, yang mana membutuhkan pembaca atau pengamat untuk terlibat secara aktif agar dapat memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Konsep yang terselubung di dalamnya
pada akhirnya akan terlihat dan dipahami oleh pengamat ketika mereka melihat image tersebut. Dalam buku “Illustration : A Theoretical & Contextual Perspective” oleh Alan Male (Male, 2007), dikatakan bahwa setiap ilustrator pasti memiliki style tertentu dalam karyanya. Style itu merupakan bahasa visual tersendiri yang menggambarkan tanda atau karya-karya personal dari seseorang, yang dapat menentukan di aliran manakah seorang ilustrator itu berada. Jika melihat perkembangan ilustrasi, tentu banyak sekali jenis style yang berkembang dalam ilustrasi. Namun, secara luas sebenarnya dapat dikatakan ada dua bentuk ilustrasi atau imagery, yaitu : 1. Ilustrasi Literal : cenderung merepresentasikan kebenaran dengan
visual
atau
piktorial.
Ilustrasi
literal
akan
mendeskripsikan dengan akurat apa yang ada dalam realita, walaupun ilustrasi itu tentang fiksi, fantasi, atau alam yang dramatis, ilustrasi jenis ini akan tetap menggambarkan suasana yang masuk akal dan dapat dipercaya. 2. Ilustrasi Konseptual : cenderung merepresentasikan suatu ide atau teori secara metafor, imajinatif, ilusi, ataupun simbolis. Ilustrasi jenis ini mungkin saja mengandung elemen-elemen dalam realita, tapi secara utuh akan menampilkan hal yang berbeda dari realita sebenarnya.
2.2.1.5 Teori Tipografi Dalam buku “Layout : Dasar & Penerapannya” oleh Surianto Rustan (Rustan, 2008), “Selain perannya sebagai penyampai pesan komunikasi, huruf mempunyai dampak pada ruang dalam suatu layout dua dimensi.” Menurut buku “Tipografi dalam Desain Grafis” oleh Danton Sihombing (Sihombing, 2001), huruf tidak hanya berperan sebagai pelengkap komunikasi visual, tapi juga memegang peranan penting dalam keberhasilan suatu seni komunikasi grafis.Bahasa tulis merupakan perangkat komunikasi yang efektif, representasi fisik dari pemikiran penulis, dan huruf merupakan elemen terkecil dari
bahasa tulis tersebut.Huruf tidak hanya mengacu kepada suatu ide atau gagasan, tapi juga berperan menampilkan suatu citra atau kesan visual. Dalam buku “The Fundamentals of Typography : Second Edition” oleh Gavin Ambrose dan Paul Harris (Ambrose & Harris, 2011), dikatakan type dapat digunakan sebagai elemen grafis untuk menghasilkan hasil yang kreatif dan dramatis dalam suatu desain. Hirarki (hierarchy) adalah cara atau metode secara logis dan visual untuk menunjukkan tingkat kepentingan dari elemen-elemen teks yang berbeda, dengan menyajikan panduan secara visual dalam pengorganisasiannya. Hirarki dalam teks membuat layout menjadi lebih jelas, tidak ambigu, dan mudah dicerna/diserap pembaca. Menurut buku “Type Rules! The Designer’s Guide to Professional Typography” oleh Ilene Strizver (Strizver, 2006), terdapat beberapa kategori typeface, antara lain : a. Serif : semua typeface dalam kategori ini memiliki serif (ujung tambahan/extension/petikan di ujung hurufnya). Serif ini digunakan untuk meningkatkan keterbacaan dengan cara memberikan panduan kepada mata pembaca dari satu huruf atau karakter ke karakter berikutnya. b. Sans Serif : semua typeface dalam kategori ini tidak memiliki serif. Sans serif digunakan karena simplisitasnya, dan memiliki penampilan yang industrial. c. Script : typeface dalam kategori ini merupakan turunan atau bentuk yang serupa dengan tulisan tangan atau kaligrafi. Terdiri dari berbagai macam variasi style dan karakteristik, dan lebih fleksibel dibandingkan kategori lainnya.
2.2.1.6 Teori Warna Menurut buku “Design Elements, Color Fundamentals” oleh Aaris Sherin (Sherin, 2012), warna berperan sebagai kekuatan dari desainer untuk mendapatkan perhatian dari audiens. Kombinasi warna yang tepat dan harmonis dapat menentukan apakah suatu produk diterima audiens atau dibeli oleh klien. Warna dapat
menampilkan emphasis dan menyampaikan suasana hati, dapat juga memberikan ruang, pergerakan dan ritme, warna akan selalu memberikan suatu cerita di dalam suatu desain. Menurut buku “Understanding Color : An Introduction for Designers” oleh Linda Holtzschue (Holtzschue, 2011), warna dikenal secara universal sebagai komponen dari keindahan. Selain indah, warna juga sangat berguna, warna dapat digunakan untuk mengkomunikasikan ide dan emosi, memanipulasi persepsi, menciptakan fokus, dan juga memotivasi atau mempengaruhi suatu aksi. Warna dapat berperan sebagai ekspresi visual dari suatu emosi atau suasana hati. Kumpulan warna yang intens dengan kontras yang kuat mengkomunikasikan aksi dan drama, sedangkan warna dan kontras yang lembut mengkomunikasikan ketenangan. Menurut buku “Color Design Workbook : A Real World Guide to Using Color in Graphic Design” (Stone & AdamsMorioka, 2006), pilihan warna yang tepat dapat menyampaikan pesan yang tepat. Warna memiliki kemampuan untuk memunculkan respon, menciptakan
mood,
menyimbolkan
sebuah
ide,
dan
mengekspresikan emosi. Setiap warna memiliki seperangkat koneksi yang dapat menyampaikan informasi tertentu, dengan karakter warna-warna itu sendiri yang berperan mewakili ide atau makna tertentu. Para designer tentunya memahami bahwa kekontrasan suatu komposisi desain dapat memperkuat warna, seperti warna-warna saturated akan menciptakan kesan yang hidup. Karena warna berperan sebagai bahasa visual, maka warna dapat digunakan untuk menciptakan daya tarik pada mata dan memfokuskan perhatian pada pesan atau makna yang dimaksudkan dalam suatu karya.
2.2.2 Analisa SWOT Strength 1. Memberikan informasi mengenai teater tradisional yang berkembang di Indonesia dan jenis-jenisnya.
2. Berfungsi sebagai media publikasi, edukasi, sekaligus pelestarian warisan leluhur Indonesia.
Weakness Tidak membahas semua jenis teater tradisional yang berkembang di Indonesia di dalam buku.
Opportunity 1. Masih minimnya buku pengetahuan atau bentuk dokumentasi lain yang secara khusus membahas mengenai perkembangan teater tradisional di Indonesia secara jelas. 2. Masih belum ada buku pengetahuan tentang teater tradisional yang disertai dengan visual yang menarik minat pembaca.
Threat 1. Kurangnya kesadaran dan inisiatif dari masyarakat untuk mengenal seni teater ataupun berpartisipasi di dalamnya. 2. Adanya anggapan bahwa teater tradisional merupakan topik yang konvensional, tidak sesuai dengan masyarakat modern.