II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanian Berbasis Ekologi (Ecofarming) Sebagian ahli menyebutkan ecofarming sebagai reasonable organic farming, karena pemanfaatan input produksi non organik masih diperbolehkan dalam jumlah terbatas dengan memperhatikan kapasitas daya dukung dan kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri dari pencemar. Berbeda dengan absolut organic farming yang sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan input produksi non organik. Menurut Gupta et al., (2005) konsep yang dikembangkan
dalam
pertanian
organik
murni
adalah
mengembalikan
keseimbangan energi di alam tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Disebutkan pula bahwa pertanian organik sangat mengandalkan metoda/teknik tradisional dalam mengolah alam dengan memperhatikan aspek-aspek ekologis. Sistem pertanian organik memanfaatkan pupuk hijau, pestisida biologi, biosida dan pengolahan lahan secara manual namun bukan berarti sistem budidaya pertanian kembali seperti jaman batu dahulu.
Beberapa konsep lain yang
berkembang dari sistem pertanian organik disebutkan: Natural Farming, Rishi Krishi, Biodynamic Agriculture, Ecofarming, dan Do Nothing Agriculture. Menurut PMID (1993), keberhasilan China meningkatkan kualitas lingkungannya diperoleh dengan cara menekan laju pertumbuhan penduduk dan mengembangkan ecofarming. Negara ini juga melindungi keanekaragaman hayati, mencari dan mengembangkan sumber energi baru, melaksanakan pola konsumsi yang aman dan berkelanjutan, melakukan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, menggunakan produksi dalam negeri untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan nasional, menerapkan manajemen bersih, mengatur arus migrasi, serta meningkatkan kerjasama internasional. Keanekaragaman yang menjadi salah satu ciri ecofarming diyakini dapat mengurangi tingkat ketergantungan pertanian terhadap pupuk kimia. Becker et al., (2001) menguatkan pendapat tersebut, bahwa peningkatan jumlah mikro – meso fauna disekitar perakaran gandum yang ditanam secara multikultur akan meningkatkan aktivitas enzym dan ketersediaan hara tanah. Tanah di sekitar perakaran menjadi lebih subur, sehingga jumlah pupuk kimia dapat dikurangi penggunaannya. Sebagian pakar menyebutkan aspek sosial dalam pengembangan ecofarming menjadi bagian yang sama pentingnya dengan aspek ekologi dan ekonomi dalam pengembangan sebuah sistem pertanian.
Integrasi antara
12
kearifan lokal dengan teknologi modern akan mampu menyelesaikan masalahmasalah yang ditemukan pada pertanian di negara berkembang terutama yang terkait dengan erosi, degradasi lingkungan dan kerusakan ekologi (Rajasekaraan et al. 1991). Menurut Saptana et al., (2004), terdapat tiga pilar utama kelembagaan
sosial
yang
harus
ada
untuk
mendukung
keberhasilan
pengembangan kawasan produksi sayuran di Sumatera yaitu: kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) dan kelembagaan politik atau pemerintah (public sector). Menurut Egger (1990), kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam (local ecological knowledge) seharusnya tetap dipertahankan meskipun teknologi pertanian berkembang pesat. Egger menambahkan, bahwa karakteristik sistem ecofarming meliputi: 1. Pemanfaatan
sumberdaya
lokal
secara
maksimal
namun
tetap
memperhatikan keberlanjutannya. 2. Penggunaan input dari luar secara minimal, hanya sebagai pengganti jika sumberdaya lokal tidak tersedia 3. Penekanan pada budidaya tanaman pangan yang dikombinasikan dengan tanaman lain yang dapat dipanen sebelum tanaman utama dihasilkan. 4. Memastikan bahwa fungsi biologi dasar dari tanah, air, unsur hara dan humus dapat terjaga. 5. Memelihara
keanekaragaman
jenis
tanaman
dan
binatang
untuk
keseimbangan ekologi dan stabilitas ekonomi dengan mengembangkan spesies dan varietas lokal. 6. Menciptakan suatu bentuk pengelolaan lahan yang menarik dan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Rajasekaran et al., (1991) memperkuat pernyataan tersebut, bahwa kearifan lokal, stabilitas ekosistem, introduksi teknologi yang tepat dan skala usahatani yang menguntungkan merupakan syarat untuk mengelola sumberdaya alam melalui sistem pertanian yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, metode
pendekatan RRA (rural rapid appraissal) digunakan untuk menemukan permasalahan lokal sekaligus menetapkan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Klein (2006) menambahkan bahwa ecofarming dan ecofallow, adalah sistem pertanian tanpa atau minimal olah tanah (no till or reduced tillage).
13
Ecofarming dijelaskan sebagai sistem pertanian dengan cara menekan laju pertumbuhan gulma melalui pengelolaan sisa/limbah pertanian dan menerapkan rotasi
tanaman,
serta
melakukan
pengolahan
tanah
secara
minimal.
Kemampuan mengendalikan erosi tanah dan pertumbuhan gulma, meningkatkan infiltrasi tanah dan menjaga kelembaban tanah akan menurunkan biaya produksi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan ecofarming di Rwanda dilaporkan oleh Egger (1990) karena menerapkan: 1. Penanaman tanaman semusim yang diintegrasikan dengan tanaman tahunan spesifik lokal dan memiliki nilai eksotika tinggi. Selain mencegah terjadinya erosi tanah, pohon-pohon dapat menghasilkan buah, kayu dan energi. Pohon juga akan mengembalikan ketersediaan hara ke permukaan tanah dan menciptakan iklim mikro yang lebih baik. Kombinasi kedua jenis tanaman tersebut juga mampu meningkatkan kunjungan wisatawan untuk tujuan ekowisata. 2. Mengembangkan peternakan disekitar lokasi pertanian. 3. Penggunaan sisa-sisa tumbuhan semak untuk pupuk hijau. Lahan diberakan selama 1 – 2 tahun yang diikuti dengan pertanaman selama dua tahun akan menghasilkan 10 – 25 ton/ha bahan organik kering untuk pupuk dan mampu mengasimilasi 150 – 300 kg nitrogen per tahun. Tanaman semak terbukti meningkatkan akumulasi humus, menekan pertumbuhan gulma, mencegah terjadinya longsor dan meningkatkan kapasitas tanah mengikat air serta meningkatkan efisiensi pemupukan mineral. Penggunaan pupuk hijau dan pupuk mineral bukan bersifat alternatif, namun saling melengkapi. 4. Membuat parit-parit dan tanaman pagar untuk mencegah terjadinya erosi. 5. Menggantikan monokultur menjadi pertanian multikultur yang mengandalkan kebutuhan dan kearifan lokal. 6. Menggunakan input luar (pupuk mineral dan pestisida) pada saat yang tepat, tergantung pada kondisi dan kebutuhannya. 7. Total ecodesign, dilaksanakan dengan komitmen tinggi dalam satu kawasan. 8. Didukung oleh penyuluhan dan pelatihan mengenai penerapan ecofarming bagi petani. 2.2. Pendekatan Sistem dalam Model Ecofarming Pendekatan sistem adalah pendekatan organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak.
Oleh karena itu, pendekatan sistem dapat
14
memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004). Pendekatan sistem semakin diperlukan karena permasalahan yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin et al., 2007). Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), dalam mengkaji kompleksitas dari suatu perihal di dunia nyata diperlukan suatu metodologi yang secara filosofis dapat memberikan pedoman guna bertindak (action oriented) untuk menyiapkan informasi yang relevan pada kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Metode yang bersifat reduksi, seperti linierisasi, permodelan yang statis dan pengurangan faktor, sangat tidak efektif dalam menelaah sistem yang kompleks. Menurut Sterk et al., (2007), untuk menyusun model pengembangan pertanian berkelanjutan di suatu wilayah diperlukan (1) eksplorasi tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut, (2) eksplorasi alternatif untuk perubahan atau perbaikan yang akan dilakukan, dan (3) komunikasi dan ekstrapolasi output yang akan dihasilkan kepada masyarakat/pakar. Selanjutnya, teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk menetapkan urutan prioritas alternatif berdasarkan kriteria jamak akan dijelaskan dalam sub bab berkut ini. 2.2.1. Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Sumber kerumitan masalah pengambilan keputusan tidak
hanya
disebabkan oleh ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi, penyebab lain adalah banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada, beragamnya kriteria pilihan dan pengambilan keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan tersebut adalah beragamnya kriteria maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik yang tepat untuk menyelesaikannya (Mulyono, 1996). Proses hirarki analitik ini memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode ini adalah memecahkan situasi yang kompleks, tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki,
15
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas yang paling tinggi dan bertindak mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1986). Proses Hierarki Analitik (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993) dan dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari masalah yang dihadapi sangat sedikit. Secara umum hirarki dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Hirarki struktural, yaitu masalah yang kompleks diuraikan menjadi bagianbagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tertentu. Hirarki ini erat kaitannya dengan menganalisa masalah yang kompleks melalui pembagian obyek yang diamati menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. b. Hirarki fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagianbagiannya sesuai hubungan esensialnya. Hirarki ini membantu mengatasi masalah atau mempengaruhi sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti penentuan prioritas tindakan, alokasi sumber daya. AHP mempunyai banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah dengan AHP.
Selain itu AHP juga menguji
konsistensi penilai, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang (Marimin, 2004). Terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan AHP yaitu: decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency (Mulyono, 1996). 1. Decomposition yaitu memecahkan persoalan menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat maka pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut. 2. Comparative judgement berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh
16
terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan lebih baik bila disajikan dalam bentuk matrik yang dinamakan matrik pairwise comparison. 3. Synthesis of priority, dari setiap matrik pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapat local priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. 4. Logical consistency, konsistensi mempunyai dua makna, yaitu pertama: obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan yang kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 2.2.2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Dalam menggunakan metode ini terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif (Marimin, 2004). Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metode MPE adalah: TKKj
m
Total nilai (TN ) = ∑ (RK ) i
ij
................................................. (1)
j =1
Keterangan: TNi
= total nilai alternatif ke-i
RKij
= derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan ke-i
TKKj
= derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bilangan bulat
m
= jumlah kriteria keputusan
2.2.3. Visual Basic 2005 Visual Basic (VB) adalah salah satu development tools untuk membangun aplikasi dalam lingkungan Windows.
Di dalam aplikasinya, Visual Basic
menggunakan pendekatan visual untuk merancang user interface dalam bentuk form, sedangkan untuk kodingnya menggunakan bahasa basic yang mudah
17
dipelajari. Pada tahun 2005, Microsoft merilis versi terbaru dari Visual Basic, yang kali ini disebut dengan Visual Basic 2005. Untuk rilis 2005 ini, Microsoft mengembalikan beberapa fitur yang sebelumnya dihilangkan seperti: Edit and Continue (Mandel, 2006) 2.2.4. Struktur Pasar dan Kelayakan Usahatani Struktur pasar merupakan gambaran imbangan kekuatan antara penjual dan pembeli dalam suatu wilayah pasar. Unsur-unsur struktur pasar meliputi jumlah dan ukuran penjual dan pembeli, deferensiasi produk, kebebasan keluar masuk dan derajat integrasi. Metode yang sering digunakan untuk mengetahui struktur pasar adalah konsentrasi pasar. Sedangkan alat derajat konsentrasi penjual yang ada pada suatu wilayah pasar adalah Indeks Hirschman-Herfindhal. Perhitungan Indeks Hirschman-Herfindhal dirumuskan (Ferguson, 1988; Martin, 1993; Carlton dan Perloff, 2000) sebagai berikut: n
HHI =
∑S
2 i
..........................................................................
(2)
i =1
Keterangan : HHI
= Indeks Hirschman-Herfindhal
Si
= pangsa pasar penjual ke-i
n
= jumlah penjual pada suatu wilayah pasar Nilai HHI pada persamaan (2) berada pada kisaran 0 – 1. Bila nilai HHI =
1 maka struktur pasar berada pada keadaan monopoli atau hanya terdapat satu penjual di dalam pasar.
Indeks Hirschman-Herfindhal hanya menunjukkan
kecenderungan struktur pasar apakah struktur pasar mengarah pada bentuk monopoli atau bersaing sempurna.
Dengan menggunakan rasio konsentrasi
lebih jelas memberikan batasan antara bentuk pasar bersaing sempurna dengan bentuk oligopoli (Martin, 1993). Apabila pangsa pasar empat penjual terbesar (CR4) dalam suatu wilayah pasar lebih besar atau sama dengan 40%, maka struktur pasar digolongkan ke dalam bentuk oligopoli. Perhitungan konsentrasi rasio dapat diformulasikan (Ferguson, 1988; Martin, 1993; Carlton dan Perloff, 2000) sebagai berikut: x
CRx =
∑S
i
...........................................................................
(3)
i =1
Keterangan : CRx
= konsentrasi rasio untuk x penjual terbesar
18
Si x
= pangsa pasar penjual ke-i = jumlah penjual pada suatu wilayah pasar Penelitian Moon dan Kim (2008) membuktikan bahwa kemampuan
sebuah perusahan perdagangan produk pertanian untuk menembus pasar global ditentukan oleh kualitas produk yang akan dipasarkan dan kekuatan modal yang dimilikinya.
Oleh karena itu peran manajer sangat penting, karena tugasnya
mengatur strategi dan memastikan setiap tahapan proses produksi berlangsung sebagaimana mestinya. Alat ukur atau kriteria diperlukan untuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Alat ukur atau kriteria yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan NPV (Net Present Value), Net B/C (Net Benefit Cost ratio) dan IRR (Internal Rate of Return) (Gittinger, 1986; Gray et al., 1986; Kadariyah et al., 1999; Sutoyo, 2000). Namun dalam usahatani yang dilakukan oleh petani biasanya tidak dilengkapi oleh pembukuan yang rapi, sehingga analisis laba-rugi menggunakan cara penghitungan selisih hasil penjualan dengan biaya yang telah dikeluarkan dalam satu musim tanam. Vossen (1992) juga menyimpulkan bahwa usahatani tanpa pembukuan seperti yang dilakukan oleh petani anggur di California, tidak pernah layak jika dihitung secara finansial.
Oleh karena itu ia menyarankan
kepada pemerintah untuk tetap memberikan insentif bagi petani, melindungi dari serbuan produk import yang murah dan menahan laju urbanisasi, agar keberlanjutan produksi pertanian dapat dipertahankan. 2.3. Usahatani di Lahan Dataran Tinggi Menurut Altieri dan Nicholls (2004), usahatani bukan sekedar kumpulan tanaman dan hewan, tempat orang dapat memberikan input apa saja dan kemudian mengharapkan hasil langsung. Namun, usahatani merupakan suatu jalinan yang komplek yang terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Dengan demikian usahatani merupakan sebuah sistem. Oleh karena itu merancang sistem pertanian yang selaras dengan alam, berarti memanfaatkan secara optimal sumberdaya yang tersedia sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan untuk menghasilkan produksi pertanian secara berkelanjutan. Sinukaban
(1994)
menyatakan
bahwa
pembangunan
pertanian
berkelanjutan dapat dilakukan dengan menerapkan Sistem Pertanian Konservasi
19
(Conservation Farming System).
Sistem Pertanian Konservasi (SPK) adalah
sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan/teknik konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang telah ada dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menekan kerusakan tanah dan erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara terus menerus tanpa batas waktu. Hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun biasanya disebut sebagai lahan kering. Sedangkan yang dimaksud dengan lahan kering dataran tinggi/lahan dataran tinggi adalah hamparan lahan yang terletak pada ketinggian lebih dari 700 m dpl (700 – 2500 m dpl).
Departemen Pertanian (2006) bahkan mendefinisikan
wilayah dengan elevasi minimal 350 m dpl dan/atau memiliki tingkat kemiringan lereng minimal 15 % sudah termasuk lahan pegunungan. Kegiatan pertanian yang dilakukan pada lahan dataran tinggi/lahan pegunungan memiliki ciri khas tidak didukung oleh irigasi teknis yang memadai.
Oleh karena itu disebut
sebagai lahan kering, karena kebutuhan air bergantung pada curah hujan atau mata air yang ada disekitar areal pertanian. Pada kenyataannya, pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk kegiatan budidaya pertanian tetap berlangsung. Aktivitas tersebut semakin meningkat seiring dengan menyempitnya lahan pertanian di dataran rendah. Berbagai jenis tanaman hortikultura baik sayuran maupun buah-buahan, perkebunan, dan pangan diusahakan di lahan tersebut. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan DAS dan penyangga daerah di bawahnya. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatannya berisiko terhadap erosi, longsor di bagian hulu hingga menimbulkan banjir di bagian hilir (Dariah, 2007). Selanjutnya, sub bab berikut ini akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan sistem usahatani di lahan dataran tinggi. 2.3.1
Kawasan Budidaya Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (UUTR, 2007). Meskipun dalam Undang-Undang dipisahkan antara kawasan lindung dengan kawasan
budidaya
dan
kawasan
perdesaan,
namun
di
daerah
yang
20
berpenduduk padat seperti di Jawa, ketiga kawasan tersebut sulit untuk dipisahkan.
Sehingga dalam pengelolaannya, aspek lindung, budidaya dan
masyarakat menjadi tiga hal yang saling terkait dalam kesatuan harmoni pembangunan. Pendekatan kawasan digunakan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi
dan
mengkoordinasikan
program
pembangunan
yang
akan
dilaksanakan demi terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini penting dilakukan karena
pengembangan kawasan untuk pertanian di dataran tinggi terus meluas di Jawa. Wikantika dan Agus (2006), telah membuktikan bahwa berdasarkan Landsat ETM (Enhanced Thematic Mapper) terjadi perluasan pemanfaatan lahan kering di kawasan Puncak bagian barat seluas 7.411 ha hanya selama periode Mei – Desember 2001. Kawasan budidaya yang dimanfaatkan untuk pertanian membentuk sebuah ekosistem buatan yang disebut sebagai agroekosistem. Agroekosistem merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan makanan, serat, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi dan pengolahan manusia (Reijntjes et al., 1992). Studi mengenai agroekosistem secara holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia disebut agroekologi.
Kamus bebas
Wikipedia menegaskan bahwa agroekologi adalah ilmu yang menerapkan konsep dan prinsip ekologi untuk perencanaan/model, pembangunan, dan pengelolaan pertanian berkelanjutan. Sedangkan Francis et al., (2001) mendefinisikan agroekologi sebagai integrative study yang mempelajari sistem produksi pangan yang meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu di dalam mengelola sebuah kawasan budidaya untuk usahatani seharusnya memperhatikan ketiga aspek tersebut dalam kesatuan yang terintegrasi. 2.3.2. Rawan Erosi Kegiatan budidaya tanaman semusim di dataran tinggi dengan kemiringan lereng yang cukup besar sangat rentan terhadap erosi dan longsor. Selain kemiringan lereng, erosi tanah juga dipengaruhi oleh hujan, angin, limpasan
permukaan, jenis tanah dan penutupan
tanah (land cover).
Permasalahan lain yang dihadapi lahan pertanian dataran tinggi di daerah tropis seperti halnya Indonesia adalah produktivitas lahan yang rendah, usahatani yang berisiko tinggi terhadap bencana alam dan rendahnya pendapatan rata-rata
21
petani.
Semua faktor tersebut bekerja secara simultan dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Kondisi yang marginal seperti demikian menyebabkan kesulitan untuk petani mengadopsi dan mengembangkan teknologi pertanian konservasi (Gatot et al., 1999). Kegiatan memperhatikan
usahatani
yang
teknik-teknik
menerapkan
konservasi
tanah
budidaya
intensif
secara
tepat
tanpa
semakin
mempercepat terjadinya erosi. Erosi menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerusakan dan kerugian tidak saja dialami oleh petani di daerah hulu, tetapi juga oleh masyarakat di daerah yang dilewati aliran air.
Erosi tanah di lokasi
usahatani (on-site) dapat menyebabkan hilangnya kapasitas produktivitas dan hilangnya kemampuan tanah untuk menyimpan air. Kerusakan di daerah hilir (off-site) ditandai dengan meningkatnya sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan sungai, situ, waduk dan merusak sistem tata air serta saluran irigasi (Papendick et al., 1986). Di Jawa hampir semua sungai, situ atau waduk mengalami sedimentasi yang tinggi. Tanah ataupun lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki dua fungsi utama bagi produksi pertanian yaitu (1) sebagai sumber unsur hara bagi tanaman, dan (2) tempat akar tumbuh, tempat air tersimpan dan tempat unsur hara di tambahkan. Menurun atau hilangnya kedua fungsi tanah tersebut disebut sebagai degradasi tanah (Arsyad, 2006).
Menurunnya fungsi tanah pertama
dapat diperbaiki dengan pemupukan, tetapi menurunnya fungsi tanah kedua tidak mudah diperbaiki, memerlukan waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk memperbaikinya. Salah satu penyebabnya adalah erosi. Erosi adalah peristiwa pengikisan tanah oleh angin, air atau es. Erosi dapat terjadi karena sebab alami atau disebabkan oleh aktivitas manusia Penyebab alami erosi antara lain adalah karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Erosi yang disebabkan oleh aktivitas manusia umumnya
disebabkan
oleh
adanya
penggundulan
hutan,
kegiatan
pertambangan, perkebunan dan perladangan (Wikipedia, 2007). Menurut Hogarth et al., (2004) air hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi di lahan miring. Besarnya erosi ditentukan oleh lamanya waktu hujan, jumlah air hujan per satuan waktu dan kemiringan lahan. Menurut Ananda dan Herath (2003), erosi di negara berkembang disebabkan oleh interaksi
22
kompleks antara beberapa aspek seperti tekanan penduduk, kemiskinan, dinamika lingkungan dan lemahnya fungsi kelembagaan lokal. Salah satu cara mengembalikan kesuburan tanah di bagian hulu adalah mengangkut kembali sedimen tanah yang terbawa melalui badan air ke tempat asalnya. Pengembalian kesuburan tanah dengan cara ini salah satunya dilakukan di Korea. Tingginya laju erosi di lahan pertanian “Alphine Belt” di bagian atas kota Seoul telah memaksa petani setempat untuk selalu menambahkan tanah subur bersumber dari sedimentasi erosi sedalam 10 – 15 cm setiap 3 – 5 tahun sekali sebagai pengganti lapisan top soil yang hilang (Choi et al., 2003). Erosi tidak hanya berdampak pada degradasi lahan, melainkan juga berpengaruh terhadap ketersediaan air permukaan. Dampak buruk dari erosi ada dua yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan olah yang kaya hara dan bahan organik, meningkatkan penggunaan energi untuk berproduksi, menurunnya produktivitas lahan dan pemiskinan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site meliputi berkurangnya alternatif penggunaan lahan, timbulnya dorongan untuk membuka hutan untuk pertanian dan meningkatnya kebutuhan dana untuk konservasi. Dampak langsung erosi off-site adalah pelumpuran atau sedimentasi dan pendangkalan badan air, tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan, menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air, kerusakan ekosistem perairan, kehilangan nyawa oleh banjir dan longsor serta meningkatnya areal, frekuensi serta lamanya banjir di musim hujan dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau. Dampak tidak langsung erosi off-site adalah kerugian sebagai akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi serta tidak berfungsinya badan air lainnya (Arsyad, 2006). Hasil penelitian Ripa et al., (2006) menyimpulkan telah terjadi pendangkalan dan pencemaran danau Vico di Italia oleh fosfat yang berasal dari areal pertanian Hazelnut di bagian hulu.
Untuk mengurangi laju erosi yang
sangat tinggi di areal pertanian tersebut, peneliti kemudian membuat model GLEAMS (groundwater loading effect of agricutural management system) agar danau Vico tidak terus mengalami pendangkalan dan eutrofikasi. Di Indonesia, dampak buruk dari proses erosi tanah tidak hanya dialami oleh lahan-lahan pertanian saja, melainkan dialami juga oleh kawasan hutan,
23
daerah
permukiman,
daerah
industri
yang
sedang
dibangun,
daerah
pertambangan, dan sebagainya. Di areal pertanian sendiri, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim namun mengabaikan tindakan-tindakan konservasi tanah (Abdurachman dan Sutono, 2002). Pendapat tersebut mendukung hasil penelitian Magrath dan Aren (1989) yang menyebutkan bahwa erosi yang berlangsung terus menerus dan terakumulasi, tidak hanya mengakibatkan longsor di areal pertanian, namun juga menimbulkan kerusakan di daerah hilir (di luar lokasi usahatani).
Kerusakan
yang terjadi di daerah hilir antara lain berupa peningkatan volume sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai, situ, waduk dan saluran irigasi. Hampir semua sungai, situ, danau dan waduk yang terdapat di pulau Jawa mengalami sedimentasi yang parah. Bahkan sejak tahun 1986, telah ditemukan bahwa jumlah kehilangan tanah di lahan kering Jawa Barat yang disebabkan oleh erosi adalah sebesar 144,3 ton/ha/th kondisi ini berakibat pada penurunan kapasitas produktivitasnya sekitar 0 – 12%/th.
Dilaporkan pula bahwa sejak
tahun 1990 – 2000 laju erosi yang terjadi di desa Langensari Lembang berkisar antara 141 - 221 ton/ha/th (Uchida et al., 2002). Erosi tanah yang berlangsung terus menerus juga menyebabkan hilangnya pendapatan petani dan meningkatkan risiko yang harus ditanggung oleh petani marginal. Dampak erosi tanah pada penurunan produktivitas akan lebih besar terjadi pada daerah beriklim tropis daripada beriklim sedang, karena daerah tropis mempunyai tanah yang relatif rentan dan curah hujan yang tinggi. Pada daerah berkembang, biaya degradasi lahan akan 15 % lebih tinggi dari produk nasional kotornya (Barbier dan Bishop, 1995). Menurut (Papendick et al., 1986) besarnya nilai T (tolerable for erosion) maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 11 ton/ha/tahun. Pendapat ini diperkuat oleh Arsyad (2006) yang menyarankan penggunaan nilai T tersebut untuk menghitung besarnya erosi yang masih diperbolehkan. Sutono et al., (2003) menyatakan bahwa lahan sawah sebagai pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan lahan kering yang terdapat di dataran tinggi. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi pada lahan sawah lebih rendah (0,3 – 1,5 ton/ha/th) dibandingkan dengan lahan dataran tinggi (5,7 – 16,5 ton/ha/th). Oleh karena itu, konversi lahan sawah akan meningkatkan laju erosi lahan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
24
pemeliharaan bendungan, pendalaman sungai dan saluran air serta situ penampungan air, karena erosi yang berasal dari dataran tinggi akan meningkat. Menurut Sitorus (2004), penurunan produktivitas usahatani lahan kering dataran tinggi tersebut karena adanya kendala dalam pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: (1) kendala fisik-relief dengan lereng curam (berbukit sampai bergunung) yang peka terhadap erosi dan longsor, (2) berkurangnya kesuburan tanah karena erosi sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan, (3) kendala sosial budaya keluarga petani yang mempunyai sifat individualisme yang tinggi. Konsekuensi logis dari keadaan tersebut adalah degradasi lahan terus berlanjut diakibatkan oleh erosi dan eksploitasi lahan secara berlebihan. Memperhatikan kendala tersebut, maka pengembangan pertanian di lahan pegunungan perlu memperhatikankan beberapa hal utama, yaitu: kondisi sosial ekonomi petani, karakteristik lahan berlereng, kesesuaian jenis/varietas yang akan dikembangkan dan teknik konservasi yang harus dilaksanakan. Penelitian Dasiharjo (2004) menunjukkan bahwa kegiatan usahatani di daerah hulu sungai Cikapundung Jawa Barat sampai tahun 2004 masih cukup menguntungkan dengan BC-ratio 3,33, tetapi untuk jangka panjang apabila tidak dilakukan tindakan konservasi akan menurunkan pendapatan usahatani seiring dengan
semakin
tipisnya
lapisan
tanah
permukaan.
Pujiharti
(2007),
merekomendasikan teknologi untuk pengelolaan lahan kering berkelanjutan adalah pola usaha tanaman-ternak (sapi) yang menerapkan pola pergiliran tanaman, penggunaan pupuk berimbang dan menggunakan pupuk kandang. Alternatif lain yang ditawarkan yaitu membangun tampungan-tampungan air (reservoirs) di lahan miring untuk menampung air hujan dan air limpasan dari permukaan yang lebih tinggi (Gatot et al., 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya tempat penampungan air tersebut, petani dapat menanam dua kali lebih sering dan jenis tanaman yang ditanam dapat diganti dengan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti cabe, bawang atau semangka. Selain itu, air dari tampungan juga dapat dimanfaatkan untuk ternak dan perikanan darat. 2.3.3. Low External Input for Sustainable Agriculture (LEISA) Sistem usaha budidaya pertanian secara umum adalah sebagai suatu penataan kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosio ekonomi serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki petani (Shaner et al., 1982). Setiap usahatani
25
memerlukan input produksi yang berasal dari bahan kimia sintetik dan dari bahan alami. Berdasarkan input produksi yang digunakan, sistem usahatani dapat dikategorikan dalam 4 kelompok yaitu : (1) pertanian tradisional, dimana hanya menggunakan input produksi yang tersedia dari tempat usaha saja, (2) pertanian modern dicirikan oleh penggunaan varietas unggul disertai input produksi dari luar tempat usaha, seperti pupuk dan pestisida sintetik, (3) pertanian dengan input eksternal rendah (Low External Input for Sustainable Agriculture = LEISA) dengan prinsip mengoptimalkan interaksi antara input produksi dengan unsurunsur agroekosistem, (4) pertanian organik, merupakan bentuk usahatani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik dan mengandalkan sepenuhnya penggunaan bahan organik alami, termasuk fosfat alam, tepung kapur dan lainnya (FAO, 2000). Pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk tanaman semusim secara intensif sepanjang tahun perlu diimbangi dengan pemberian pupuk organik yang memadai untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah yang banyak hilang akibat erosi dan dekomposisi.
Tanpa bahan organik kesuburan tanah
akan menurun meskipun pupuk anorganik diberikan dalam takaran yang melebihi dosis anjuran (Karama et al., 1990). Pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan produksi pertanian juga telah dilakukan oleh petani Lembang dan Dongko. Namun pupuk kandang yang
dibeli petani dari toko saprodi memiliki beberapa kelemahan seperti :
harganya mahal, kualitasnya tidak selalu bagus dan ketersediaannya tidak terjamin. Mengingat terbatasnya pupuk kandang dan pentingnya penambahan bahan organik bagi usahatani di wilayah penelitian maka pemanfaatan sumber bahan organik dari sumberdaya pertanian in situ harus dikembangkan (Sudiarto dan Gusmaini, 2004). Pada saat ini petani selalu menggunakan pupuk organik dikombinasikan dengan pupuk buatan. Untuk mendapatkannya petani mengandalkan pedagang saprodi atau sumber dari luar agroekosistemnya. Petani telah memahami bahwa produksi dan mutu tanaman secara umum dipengaruhi oleh : (1) jenis varietas yang ditanam, (2) penyediaan unsur hara (pemupukan), dan (3) perlindungan tanaman terhadap OPT (Pribadi dan Rahardjo, 2007).
Oleh karena itu
penerapan teknologi LEISA harus segera dilakukan agar ketergantungan petani terhadap input produksi terutama pupuk dan pestisida yang berasal dari luar dapat diturunkan.
26
Badan dunia FAO (1990) mengumumkan bahwa efisiensi pupuk buatan terbukti lebih rendah dari yang diprediksikan.
Di lahan miring daerah tropis,
tingkat kehilangannya pupuk nitrogen mencapai 40% – 50% dari jumlah yang diaplikasikan.
Bila kondisi kurang mendukung, misalnya curah hujan tinggi,
kemarau panjang, laju erosi tinggi, kandungan bahan organik rendah, maka efisiensinya dapat lebih rendah lagi.
Besarnya kehilangan pupuk N yang
diaplikasi dalam satu musim tanam, diperkirakan sekitar 20% - 40% di India, 37% di California, 68% di Lousiana, 25% di Filipina, dan 52% - 71% di Indonesia (Ismunadji dan Roechan, 1988). Penggunaan bahan-bahan kimia untuk budidaya pertanian dapat berubah menjadi bahan pencemar sebagai akibat penggunaan yang berlebihan atau tingkat kehilangan yang tinggi. Steenvoorden dalam Nursyamsi et al., (2001) menyatakan bahwa limbah dari lahan pertanian akibat aktivitas pemupukan, penggunaan pestisida, dan lain-lain, memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap polusi nitrat di dalam air permukaan dan air bawah tanah. Hasil penelitian yang dilakukan Nursyamsi et al., (2001) terhadap beberapa sumber air tanah (air sumur) yang berada pada areal pertanian lahan kering (tegalan) di Sub DAS Citarik dan Sub DAS Kaligarang menunjukkan bahwa rata-rata kadar nitrat dalam air berturut-turut mencapai 10,61 mg/l dan 26,48 mg/l.
Nilai tersebut
berada di atas nilai ambang batas kadar nitrat air minum yaitu 10 mg/l. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara berlebihan dalam periode waktu lama akan meningkatkan penyebaran zat radioaktif dan meninggalkan residu dalam sayuran. Telah diketahui bahwa pupuk TSP dan NPK merupakan sumber penyebaran zat radioaktif Uranium (U-238), Thorium (Th-232) dan Kalium (K-40) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Bowen, 1979). Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk nitrogen juga akan menyebabkan pengasaman tanah dan menurunkan ketersediaan fosfor bagi tanaman (Reijntjes et al., 1992). Menurut Dariah dan Rachman (2007) daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang berpotensi besar untuk mengalami pencemaran dari aktivitas di dataran tinggi. Komponen utama dari DAS yang berpotensi untuk tercemar adalah badan air dan tanah, yang selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap kualitas pertanian dan mahluk hidup yang berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam sistem daerah aliran sungai atau daerah yang dipengaruhinya. Sumber pencemar DAS dapat berupa (1) point source (PS) pollutans, yakni sumber-sumber polutan yang dapat ditentukan dengan jelas
27
dari mana (titik atau daerah) asalnya, misalnya polutan yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pertambangan; (2) non point source (NPS) pollutans yakni sumber-sumber polutan yang sulit untuk dikenali secara pasti dari mana polutan itu berasal. Bahan pencemar yang berasal dari NPS sebagian besar berasal dari agricultural runoff seperti pestisida, patogen dan pupuk (Ritter et al., 2002). Penanggulangan pencemaran NPS relatif lebih sulit dibandingkan dengan penanggulangan pencemaran PS polutan. Penanggulangan pencemaran PS polutan dapat dilakukan dengan perbaikan prosedur pengolahan limbah yang akan dialirkan ke sungai atau badan air lainnya. Sedangkan penanggulangan pencemaran NPS hanya dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sistem pengelolaan pertanian yang dilakukan di daerah hulu. Untuk mengatasi pencemaran yang terjadi di lahan pertanian, pemerintah Austria menetapkan kebijakan pertanian yang ramah lingkungan pada tahun 2003.
Mulai tahun 2005, pemerintah memberikan tambahan insentif dana
kepada petani yang dinilai berhasil menjaga kualitas lingkungan sesuai dengan standar yang ditetapkan, menjaga kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan serta menjaga kesehatan ternaknya. Dengan kebijakan tersebut, ternyata negara ini berhasil meningkatkan pendapatan petaninya sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan (Schmid dan Sinabell, 2007). Penggunaan pupuk buatan secara intensif dalam waktu lama juga dituduh memberi andil pada resiko pemanasan global dari pelepasan nitrogen oksida (N2O).
Pada lapisan stratosfer N2O akan menipiskan lapisan ozon dan
mengganggu kestabilan iklim. Oleh karena itu penerapan teknik LEISA pada agroekosistem lahan dataran tinggi tidak dapat dihindari lagi. Teknik LEISA akan menurunkan ketergantungan petani terhadap input produksi yang berasal dari luar sistem sekaligus mengendalikan tingkat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertanian di bagian hulu tersebut.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Conway dan Pretty (1988), yang menegaskan bahwa sudah saatnya dilakukan upaya untuk meningkatkan penggunaan sumber-sumber pengganti N dari bahan organik, misalnya dari sampah tanaman, pupuk hijau dan pupuk kandang serta melakukan penanaman leguminose secara bergantian atau menggunakannya sebagai pohon pelindung. 2.3.4. Kekuatan Modal Sosial (Social Capital) Menurut Pranadji (2006), tanpa penguatan modal sosial setempat, seberapa besar pun biaya yang dikeluarkan pemerintah atau lembaga lain dalam
28
perbaikan pengelolaan agroekosistem lahan dataran tinggi, diperkirakan hal itu tidak akan berdampak meyakinkan pada perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat secara berkelanjutan. Dalam keadaan demikian, kerusakan lingkungan hampir dapat dipastikan akan terus berlanjut, sejalan dengan terus berlanjutnya proses pelemahan modal sosial setempat. Modal sosial mencakup dua aspek yaitu individu (mikro) dan kolektif (makro), untuk mengetahui eksistensinya diperlukan informasi yang lengkap mengenai keduanya. Pada tingkat komunitas, modal sosial direpresentasikan oleh norma (norms), kepercayaan (trust) dan ikatan sosial (social cohesion) (Bourdieu, 1980; Erickson 1996; Flap 1999; Lin 2001). Kekuatan modal sosial pada level komunitas sangat membantu individu anggotanya untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Lin (2001) menegaskan bahwa modal sosial pada tingkat individu lebih kuat sehingga mudah terukur dibandingkan tingkat komunitas. Dudwick et al., (2006), menegaskan bahwa modal sosial mencakup multi dimensi yaitu komunitas, jaringan (network), norma (norms) dan kepercayaan (trust). Sebelumnya Kotschi (1998) berpendapat, kemiskinan di negara berkembang hanya mungkin berkurang jika pertanian berkembang secara intensif namun pada saat yang sama sumberdaya alam dikelola dengan tepat sehingga daya dukungnya berkelanjutan.
Konsep pertanian berkelanjutan
seperti pertanian organik dianggap yang paling tepat untuk mewujudkannya. Lembaga Bank Dunia telah membiayai sejumlah penelitian untuk mengukur kekuatan modal sosial yang mengintegrasikan model kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan kuesioner. Grootaert et al., (2004) menegaskan, metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui dampak pembangunan terhadap eksistensi lembaga sosial dalam suatu komunitas. Alat yang digunakan adalah kuesioner komprehensif yang di kombinasikan dengan instrumen Living Standards Measurement Survey (LSMS). Metode kualitatif digunakan untuk mengekplorasi kemungkinan terjadinya overlapping pada saat memahami tiap-tiap dimensi modal sosial yaitu: (1) komunitas dan jaringan kerjasama (2) kepercayaan dan solidaritas (3) kegiatan kolektif dan gotong royong (4) informasi dan komunikasi (5) kohesi sosial dan inclusion, serta (6) pemberdayaan dan kegiatan politis. Menurut Burkart (2007), untuk meningkatkan pemahaman petani dan masyarakat
terhadap
kompleksitas
masalah
pertanian
dan
upaya
penyelesaiannya diperlukan komunikasi yang intensif di setiap tingkatan
29
pemerintah dan masyarakat. Teknik pendekatan yang tepat sangat menentukan keberhasilan dalam penyampaian pesan yang diinginkan. Komunikasi yang efektif dengan bahasa yang mudah dipahami akan lebih efektif di dalam masyarakat.
Selain itu diperlukan pula motivator yang mampu memberikan
masukan dan saran kepada masyarakat mengenai masa depan program baru yang sedang dilaksanakan.
Penyuluhan dan pendidikan mengenai cara dan
ketentuan yang harus dilaksanakan sebaiknya dilengkapi dengan satu areal khusus untuk mempraktekannya. Hasil penelitian Pranadji (2006) membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat di daerah lahan kering seperti di desa Kedung Poh, Boyolali adalah karena kuatnya modal sosial yang terbentuk di wilayah tersebut.
Kekuatan
tersebut mampu mengurangi tekanan terhadap agroekosistem lahan kering yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilannya. Meskipun berbagai teknologi dan informasi masuk ke lingkungannya, namun tidak semuanya dapat diterima, diadopsi dan dipraktekkan oleh petani lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi lingkungan dimana ia tinggal dan bercocok tanam, petani memiliki kearifan (farmer wisdom) tertentu dalam mengelola sumberdaya alamnya.
Kearifan inilah yang menjadi dasar dalam
mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan pengetahuan lokal yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998). Pemahaman yang dibangun dan dikembangkan oleh petani akan sangat berguna
sebagai
masukan
yang
melengkapi
dan
memperkaya
model
pengetahuan ilmiah (scientific models). Pada saat yang bersamaan petani dapat menerima dan mengambil manfaat dari pengembangan model pengetahuan yang sudah ada tersebut sekaligus menularkannya kepada petani lain yang belum pernah mencoba menerapkannya (Joshi et al., 2004). 2.3.5. Agribisnis – Pemasaran Produk Pertanian Belum kuatnya sektor produksi di sisi hulu dari sistem agribisnis sayuran di lahan dataran tinggi, menyebabkan tersendatnya usaha yang ada di sektor sebelah hilir. Apalagi fragmentasi lahan terus terjadi disertai dengan pengelolaan lahan yang kurang tepat, sehingga menyebabkan terjadinya inefisiensi yang tinggi dalam usahatani sayuran dan kesulitan menjaga kontinuitas pasokan sayuran baik dalam kualitas maupun kuantitas (Gunawan, 1998). Menurut Herman (2002), dalam mata rantai perdagangan produk pertanian perhitungan menggunakan teknik ISM menunjukkan bahwa petani
30
ternyata berada pada sektor dependent dan mempunyai kekuatan penggerak paling kecil serta ketergantungan paling tinggi. Pemasaran dilakukan melalui pasar kolektif dengan peran pedagang pengumpul yang relatif tinggi.
Pasar
produk pertanian di Indonesia masih kurang terintegrasikan, khususnya untuk sayuran dataran tinggi yang lebih cepat rusak. Hal ini menyebabkan perubahan harga di satu pasar tidak langsung mengubah harga di pasar yang lain, dan kenaikan harga di pasar tidak serta merta menaikkan harga di tingkat petani. Integrasi pasar terjadi lebih baik pada sayuran dataran tinggi yang mempunyai ketahanan simpan lebih lama, khususnya untuk wilayah-wilayah yang memiliki sarana transportasi memadai (Munir et al., 1997). 2.3.6. Kebijakan Pemerintah Menurut Napitupulu (2007), revitalisasi pertanian perlu ditekankan pada peningkatan kapasitas produksi dan pemasaran pertanian (market driven) dengan meningkatkan (a) akses terhadap teknologi dan pengetahuan, (b) akses pengusaha dan petani terhadap kapital, (c) kapasitas jaringan komoditi untuk memfasilitasi perluasan perdagangan. Kebijakan yang mempajak pertanian dalam rangka memperoleh surplus yang lebih besar secara implisit dan eksplisit akan menimbulkan “counter productive” terhadap pertumbuhan dan penyediaan kesempatan kerja. Demikian halnya dengan kebijakan yang mengharuskan harga pangan harus murah, akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Untuk mengendalikan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan miring yang peka terhadap erosi dan menyediakan pedoman melaksanakan pertanian konservasi di lahan pegunungan, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No 47 tahun 2006. 2.3.7. Pentingnya Kemampuan Antisipasi Petani Terhadap Anomali Iklim Para
ahli
meteorologi
berpendapat
bahwa
pemanasan
global
menyebabkan perubahan-perubahan terhadap evolusi iklim dan cuaca di atmosfer bumi. Berawal dari sulitnya memprediksi kejadian iklim dan faktor penyebabnya hingga terjadi penyimpangan dan perubahan iklim global. Sebagai contoh adalah berkembangnya teori-teori penyebab terjadinya El-Nino sebagai salah satu fenomena alam utama yang sangat mempengaruhi orientasi budidaya pertanian di Indonesia. Peristiwa El-Nino tahun 1982-1983 telah memberikan pelajaran yang berharga kepada masyarakat, yaitu aktifitas massa air panas tidak selalu
31
didahului oleh suatu periode tiupan angin yang kuat dan peningkatan tinggi muka laut di bagian Barat Pasifik, serta tidak juga disebabkan oleh peningkatan temperatur permukaan laut di bagian Timur Pacific yang disebabkan oleh melemahnya angin Passat (Syahbuddin, 2005). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis peluang kejadian El-Nino dan La-Nina dari tahun 1900 sampai 2000 yang dilakukan oleh Las et al., (1991) menunjukkan, El-Nino dengan intensitas 2 dan 4 tahun sekali memiliki frekuensi kejadian tertinggi masing-masing 6 dan 7 kali dengan peluang sekitar 23,1% dan 26,9%. Sedangkan La-Nina dengan intensitas 4 tahun sekali dengan frekuensi tertinggi 7 kali berpeluang sebesar 35%. Kusmaryono et al., (1999) mencatat telah terjadi 16 kali peristiwa La-Nina (87%) yang berdampingan dengan El-Nino dan umumnya La-Nina mendahului El-Nino sekitar 62%. Berdasarkan perhitungan tersebut para ahli meteorologi di Indonesia seharusnya dapat memperkirakan kapan akan terjadi El-Nino sehingga mampu mempersiapkan antisipasi untuk menghadapinya. Selain menurunkan produktivitas, pergeseran musim dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan dan kebanjiran, juga menjadi penyebab meningkatnya serangan hama penyakit tanaman, penciutan dan fluktuasi luas tanam serta meluasnya areal pertanaman yang gagaI panen, terutama pada tanaman pangan dan tanaman semusim lainnya. Oleh sebab itu, perubahan iklim dan kejadian iklim ekstrim seperti EI-Nino dan La-Nina akan mengancam ketahanan pangan nasional dan keberlanjutan pertanian pada umumnya (Syahbuddin, 2005). Banjir dan longsor yang telah terjadi, juga menjadi peringatan yang harus segera disikapi. Sudah semestinya pemanfaatan lahan dataran tinggi untuk pertanian disertai dengan perlakuan konservasi yang tepat serta memperhatikan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Selain itu, petani perlu dibekali dengan informasi
yang
lengkap
untuk
meningkatkan
kemampuannya
dalam
mengantisipasi gejala anomali iklim terutama yang terkait erat dengan EI Nino dan La Nina atau El Nino-Southern Oscillation (ENSO) melalui budidaya mix cropping (Chen et al., 2002). 2.4.
Pembangunan Berkelanjutan Pembahasan issue lingkungan hidup dalam pembangunan yang menjadi
agenda penting saat konferensi internasional mengenai "Human Environment" di Stockholm tahun 1972, menjadi titik tolak berkembangnya konsep pembangunan berkelanjutan selanjutnya. Sejak saat itu masyarakat internasional menyadari
32
bahwa perlindungan lingkungan hidup harus menjadi tanggung jawab bersama dan tidak dapat dilepaskan dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. Pada tahun 1987, World Commission on Environment and Development (WCED) menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan dalam Bruntland Commission Report yang berjudul “Our Common Future”. Disebutkan bahwa: sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa terdapat dua kunci konsep utama yang harus ada dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) konsep tentang kebutuhan atau needs yang sangat esensial bagi penduduk miskin diprioritaskan, dan (2) konsep tentang keterbatasan atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam perkembangannya, pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam
berbagai
cara.
Munasinghe
(1993)
menjelaskan
pembangunan
berkelanjutan secara diagramatis dalam bentuk segitiga yang menggambarkan interaksi antara tiga komponen, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Sedangkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997 menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup masa kini dan generasi masa depan. Inti dari pernyataan tersebut adalah bahwa tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan. Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan juga mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa. keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam.
Dengan demikian, pembangunan tidak hanya dipahami
sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai
33
kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual.
Dalam pandangan ini,
keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan pada hakekatnya dapat diwujudkan jika terjadi harmonisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, pertumbuhan ekonomi serta stabilitas sosial dan budaya. Pencapaian status berkelanjutan bukanlah situasi yang bersifat statis, melainkan suatu proses perubahan yang dinamis dalam aktivitas eksploitasi terhadap sumberdaya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan pengembangan kelembagaan secara konsisten untuk pemenuhan kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan di masa depan. 2.4.1. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Setidaknya terdapat lebih dari 70 definisi dalam literatur mengenai pertanian berkelanjutan.
Perbedaannya terletak pada prioritas, besaran nilai
yang digunakan dan tujuan yang ingin dicapai. Pada intinya, pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan salah satu implementasi konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan, organisasi pangan dunia (FAO, 1989) menyebutkan
bahwa
pembangunan
pertanian
berkelanjutan
melakukan
konservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomi dan dapat diterima secara sosial. Keberlanjutan dalam bidang pertanian secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu kondisi kecukupan pangan sepanjang waktu. Gen et al., (1990) menyatakan pembangunan pertanian berkelanjutan adalah kesatuan dari tujuantujuan yang mencakup: 1.
Memproduksi jumlah bahan makanan dan energi yang berkualitas tinggi dalam jumlah cukup.
2.
Memberikan keuntungan bagi petani.
3.
Menjaga kelestarian sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.
4.
Menjaga keselarasan hubungan yang harmonis antara lingkungan fisik, sosial dan biologis. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pembangunan
pertanian berkelanjutan sebagai suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat pertanian untuk (1) menghasilkan bahan pangan, serat dan bahan baku industri,
34
(2) memberikan keuntungan bagi petani produsen serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan, dan (3) mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas dan kapasitas daya dukung lingkungan. 2.4.2. Indikator Untuk Mengukur Keberlanjutan Indikator keberlanjutan adalah alat yang digunakan untuk memberikan informasi secara langsung atau tidak langsung mengenai viabilitas sebuah sistem di masa mendatang dari berbagai level tujuan (ekologi, ekonomi, sosial). Penggunaannya dianggap penting karena menjadi informasi bagi perencanaan dan pengembangan sistem selanjutnya. Walker dan Reuter (1996) menggolongkan indikator ini dalam dua tipe, yaitu: (1) indikator kondisi, yaitu indikator yang menjelaskan kondisi sistem pada saat ini relatif terhadap kondisi yang diharapkan, dan (2) indikator trend, yaitu indikator yang menjelaskan perubahan dalam sistem berdasarkan waktu sehingga dapat digunakan untuk memonitor kecenderungan yang akan terjadi di dalam sistem. Chen et al., (2002) merekomendasikan indikator untuk menilai keberlanjutan pertanian dalam konteks China berdasarkan tekanan populasi, degradasi lingkungan, penggunaan sumberdaya yang tidak efisien dan manajemen sumberdaya yang tidak tepat. Food Agricultural Organization (FAO, 2000) menggunakan indikator seperti rasio lahan pertanian terhadap populasi, proporsi lahan irigasi, produksi pertanian dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan domestik untuk menilai situasi umum dari produksi pertanian di negara-negara berkembang. Beragamnya indikator yang digunakan oleh peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa pemilihan indikator harus disesuaikan dengan tujuan dan karakteristik sistem yang sedang dihadapi. Pemilihan indikator yang tepat adalah kunci keberhasilan dari pelaksanaan analisis keberlanjutan sistem yang akan dilakukan.
35