TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Gulma Masalah gulma timbul pada suatu jenis tumbuhan atau sekelompok tumbuhan mulai mengganggu aktifitas manusia baik kesehatannya maupun kesenangannya. Istilah gulma bukanlah istilah yang ilmiah, melainkan istilah yang sederhana yang sudah merupakan milik masyarakat (Sastroutomo, 1990). Secara umum, masyarakat mempunyai konsepsi yang sangat luas tentang apa yang dinamakan dengan gulma atau tanaman pengganggu. Gulma bukan hanya termasuk ke dalam golongan tumbuhan yang merugikan manusia dalam beberapa hal, tetapi juga merupakan jenis tumbuhan yang tidak bermanfaat atau belum diketahui manfaatnya. Pakar-pakar ekologi cenderung melihat gulma sebagai tumbuhan yang mempunyai kemampuan khusus untuk menguasai lahan-lahan yang telah mengalami gangguan manusia. Atau dalam bahasa ilmiahnya gulma adalah tumbuhan pioner dari suksesi sekunder terutama pada lahan-lahan pertanian (Sastroutomo, 1990). Gulma yang tumbuh pada areal tanaman budidaya akan sangat merugikan tanaman pokoknya. Kerugian ini dapat berupa penurunan hasil, mempersulit pekerjaan pemeliharaan, mempersulit panen, memperbesar biaya produksi dan dapat sebagai sarang hama dan penyakit (Yakup, 2002). Cara yang paling sederhana dan biasa digunakan untuk mengelompokan gulma adalah berdasarkan habitatnya. Ada beberapa kelompok gulma yang penting yaitu gulma agrestal atau segetal, ruderal, gulma padang rumput, gulma air, gulma hutan, dan gulma lingkungan (Sastroutomo, 1990). Penelitian ini lebih mengarah pada kelompok gulma agrestal atau segetal. Agrestal merupakan kelompok gulma yang berada pada lahan pertanian atau di tanah-tanah yang mengalami pengolahan, termasuk di dalamnya adalah gulma-gulma tanaman pangan, kebun sayur, buah-buahan, dan perkebunan. Guna kepentingan praktis agrestal biasanya secara sederhana dibagi menjadi gulma semusim dan gulma menahun. Gulma menahun biasanya memiliki daya reproduksi vegetatatif
yang tinggi, sedangkan gulma semusim daya
reproduksinya hanya bergantung pada biji (Sastroutomo, 1990). Pembagian lain
5
dari agrestal adalah menjadi gulma berdaun lebar (dikot) dan gulma berdaun sempit (monokot) yang dibagi lagi menjadi rerumputan (Gramineae) dan tekitekian (Cyperaceae). Dalam penelitian ini akan lebih difokuskan kapada efikasi herbisida diuron 500 g/l SC terhadap ketiga golongan gulma tersebut.
Persaingan Gulma dan Tanaman Tebu Masalah gulma yang timbul diakibatkan karena adanya persaingan antara gulma dan tanaman budidaya. Persaingan akan terjadi bila timbul interaksi antar lebih dari satu tumbuhan. Interaksi adalah peristiwa saling tindak antar tumbuhan tersebut. Kompetisi berasal dari kata competere yang berarti mencari atau mengejar sesuatu yang secara bersamaan dibutuhkan oleh lebih dari satu pencari. Persaingan timbul dari 3 reaksi tanaman pada faktor fisik dan pengaruh faktor yang dimodifikasikan pada pesaing-pesaingnya (Moenandir, 1993). Soedarsan dkk. dalam Agustanti (2006) mencatat adanya tujuh jenis gulma penting pada pertanaman tebu yang hampir semuanya terdiri dari jenis rerumputan (5), satu teki, dan satu jenis gulma berdaun lebar. Jenis-jenis gulma yang tumbuh di pertanaman tebu sangat ditentukan oleh cara pengolahan tanah dan macam tanaman budidayanya. Pada tanaman tebu, gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air, zat hara (pupuk), sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu. Kadang-kadang ada jenis gulma yang mengeluarkan racun yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pertunasan tebu. Supaya tumbuh lebih baik, tebu memerlukan masa bebas gulma antara dua sampai dengan tiga bulan setelah tanam, karena pada masa tersebut dianggap kritikal dalam pembentukan tunas (Sembodo, 1992). Kerugian pada tebu akibat persaingan tersebut terutama pada bobot tebunya, besarnya kerugian akibat gulma ini sangat bervariasi tergantung dari macam spesies gulma dan kerapatannya (Murwandono, 1984). Gulma yang tumbuh pada tanaman tebu menjadi kendala untuk mencapai produksi yang tinggi. Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15.0-53.7% (Kuntohartono, 1998). Keragaman macam gulma dikelompokan berdasarkan umur dan cara berkembangbiaknya. Mengingat masalah gulma ini merupakan suatu masalah yang sangat penting dalam usaha pertanian khususnya dalam budidaya tanaman
6
tebu, maka selalu dicari alternatif pemecahan masalah pengendalian gulma yang tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan tenaga manusia dengan penyiangan secara manual. Pengendalian gulma menggunakan senyawa kimia akhir-akhir ini sangat diminati, terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Senyawa kimia yang dipergunakan untuk pengendalian gulma sering disebut herbisida (Yakup, 2002).
Penggunaan Herbisida Pada dasarnya ada enam macam metode pengendalian gulma, yaitu mekanis, kultur teknis, fisik, biologis, kimia, dan terpadu. Pengendalian dengan herbisida yang termasuk pengendalian secara kimia adalah upaya dan cara yang sering digunakan petani dalam mengendalikan gulma. Pada saat sekarang penggunaan herbisida tidak hanya terdiri dari satu jenis saja melainkan dapat berupa gabungan dari dua atau tiga jenis herbisida. Herbisida merupakan alat yang canggih dalam proses pegendalian gulma di tanaman perkebunan. Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984), pengendalian dengan menggunakan herbisida memiliki beberapa keuntungan yaitu penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit dan lebih mudah serta cepat dalam pelaksanaan pengendalian. Herbisida dapat dikelompokan berdasarkan sifat kimia, sifat selektifitas, dan berdasarkan cara pengendaliannya (Yakup, 2002). Salah satu pertimbangan penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu mematikan gulma tetapi tidak mengakibatkan kerusakan terhadap tanaman budidaya. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang dosis dan konsentrasi yang optimum pada tanaman, supaya kelebihan pemakaian herbisida dapat dihindari (Yakup, 2002). Berdasarkan waktu aplikasi, biasanya herbisida diaplikasikan berdasarkan oleh stadia pertumbuhan dari tanaman maupun gulma. Manusia akan berusaha mengendalikan gulma dengan cara yang efektif dan efisien, maka dari itu manusia akan berusaha mengembangkan herbisidaherbisida baru. Perlakuan yang berulangkali dapat mengakibatkan resistensi tumbuhan terhadap herbisida. Bila herbisida tersisa dalam tubuh tumbuhan sampai saat panen maka ada residu dalam tubuh tumbuhan dan yang tersisa dalam tanah
7
menjadi residu dalam tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya. Absorpi herbisida, yang berarti herbisida diserap oleh tumbuhan dan masuk dalam tubuhnya secara difusi, osmosis, imbibisi dan lain-lain. Absorpi herbisida akan serupa dengan absorpsi nutrisi, sehingga perlu diingat adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya (Moenandir, 1990). Fisiologi herbisida dengan sendirinya akan mengungkapkan hubungan herbisida mulai dari masuknya ke dalam tubuh tumbuhan sehubungan dengan proses-proses yang mendukung metabolisme itu dan dampak yang diakibatkan.
Herbisida Pra Tumbuh Peersaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat dicegah sedini mungkin dan untuk melindungi tanaman pokok dari gangguan gulma maka tindakan pengendalian gulma yang tepat adalah dengan menggunakan herbisida pra tumbuh (Sujarwadi, 1994). Lintasan utama masuknya herbisida ke dalam tubuh tumbuhan ialah akar atau batang yang sedang muncul, untuk aplikasi lewat tanah dan batang atau daun untuk aplikasi lewat atas tanah. Dengan demikian herbisida harus masuk terlebih dahulu ke dalam jaringan tumbuhan sebelum terjadi respon biologis. Laju masuknya herbisida ke dalam tubuh tumbuhan tergantung dari stadia perkembangan tumbuhan pada saat aplikasi. Herbisida dapat diaplikasikan ke dalam beberapa kategori. Klasifikasi ini dapat didasarkan pada tipe gulma yang akan
dikendalikan,
waktu
aplikasi,
dan
bagaimana
cara
aplikasinya
(Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Berdasarkan waktu aplikasinya, herbisida dibedakan menjadi herbisida pra kultivasi yang diaplikasikan sebelum tanah diolah dan sebelum ada tanaman, herbisida pra tanam yang diaplikasikan sebelum tanam, sesudah tanah diolah, herbisida pra tumbuh yang diaplikasikan sebelum tanaman tumbuh (muncul), dan herbisida pasca tumbuh yang diaplikasikan setelah tanaman tumbuh dan muncul, demikian pula gulmanya (Moenandir, 1990). Dalam percobaan yang dilakukan lebih difokuskan kepada jenis herbisida pra tumbuh yaitu herbisida diuron 500 g/l SC. Herbisida pra tumbuh bekerja dengan cara mematikan biji-biji gulma yang akan berkecambah di dalam maupun diatas permukaan tanah. Sebagian besar biji
8
gulma yang mampu tumbuh terletak di lapisan olah, yaitu lapisan antara 2.5 - 5 cm (Sujarwadi, 1994). Agar dapat merata ke seluruh gulma sasaran, herbisida pra tumbuh memerlukan teknik pengolahan tanah yang baik pada areal yang akan diaplikasikan dan tekstur tanah yang gembur serta tidak berbongkah-bongkah. Untuk mengaplikasikan jenis herbisida pra tumbuh perlu diperhatikan jenis pelarutnya. Aplikasi herbisida pra tumbuh memerlukan cukup banyak pelarut (Barus, 2003). Karena jika kadar air rendah dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas pengendalian gulma. Herbisida pra tumbuh akan efektif kerjanya di dalam tanah apabila herbisida tersebut dapat mencapai kedalaman sampai beberapa cm di dalam tanah. Apabila hanya mencapai kurang lebih 1-2 cm, maka pada umumnya hanya akan membunuh biji-biji tumbuhan pengganggu yang setahun (annual) saja. Herbisida pra tumbuh mampu mengendalikan gulma sejak awal, karena kompetisi sejak awal inilah yang banyak menyebabkan kerugian pada tanaman yang akan dibudidayakan. Menurut Kearney dalam Sujarwadi (1994) persistensi herbisida pra tumbuh dalam tanah ditentukan oleh jenis herbisida, kadar air tanah, jumlah liat, suhu tanah, pencucian dan penguapan, kandungan bahan organik, serta kegiatan mikroorganisme.
Diuron Masing-masing jenis herbisida memiliki beberapa bahan aktif yang terkandung, diantaranya adalah diuron. Diuron merupakan bahan aktif herbisida yang merupakan jenis herbisida yang diaplikasikan melalui tanah. Herbisida golongan ini merupakan herbisida yang sistemik yang disemprotkan ke tanah, kemudian diserap oleh akar dan ditranslokasikan bersama aliran transpirasi sampai ke side of action pada jaringan daun yang menghambat proses pada photosystem II pada fotosintesis (Yakup, 2002). Diuron merupakan herbisida dari turunan urea. Herbisida ini merupakan herbisida yang selektif dan proses pengendaliannya melalui tanah, walaupun ada beberapa yang lewat daun. Herbisida ini merupakan jenis herbisida yang sistemik, yang menyerang bagian tubuh gulma dan nantinya akan ditranslokasikan ke seluruh tubuh gulma tersebut. Herbisida ini biasanya diabsorbsi melalui akar dan
9
ditranslokasikan ke daun melalui batang. Nama kimia dari herbisida diuron adalah 3-(3,4-dichlorophenyl)-1,1-dimethylurea (Gambar 1). O CH3 Cl
NH
C
N CH3
Cl 3-(3,4-dichlorophenyl)-1,1-dimethylurea Gambar 1. Rumus Bangun Herbisida Diuron Didalam tubuh tumbuhan diuron mengalami degradasi, terutama melalui pelepasan gugus metil. Herbisida diuron menghambat reaksi Hill pada fotosintesis, yaitu dalam fotosistem II. Dengan demikian pembentukan ATP dan NADPH terganggu (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Kebanyakan herbisida yang berasal dari golongan urea seperti halnya diuron ini lebih cepat diserap melalui akar tumbuhan dan dengan segera ditranslokasikan ke bagian atas tumbuhan (daun dan batang) melalui system apoplastik. Ada dua hal yang menyebabkan diuron tetap berada di permukaan tanah dalam waktu yang relatif agak lama yaitu: (1) tidak mudah larut dalam air sehingga diuron mempunyai kemampuan untuk bertahan dari pencucian dan (2) tingkat absorbsi yang tinggi oleh koloid tanah (Agustanti, 2006). Biasanya jenis herbisida yang memiliki bahan aktif diuron banyak digunakan untuk pengendalian gulma pada tanaman tebu, kapas, karet, teh, dan sebagainya. Tingkat toksisitas diuron sangat tinggi untuk kecambah tumbuhan pengganggu. Dalam keadaan murni diuron akan berupa kristal putih, tidak menguap, tidak mudah terbakar, dan tidak berbau, akan meleleh pada suhu 1580 1590 C, larut dalam air pada suhu 250 C sebanyak 42 ppm dan tahan terhadap dekomposisi (Agustanti, 2006). Gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh herbisida diuron biasanya tergantung pada jenis tumbuhan itu sendiri. Gejala yang timbul biasanya terjadi kematian yang diawali dari ujung daun kemudian apabila ujung daun telah mati,
10
maka tidak akan terjadi turgor lagi. Setelah gejala tersebut timbul akan disusul dengan timbulnya khlorosis yang biasanya akan diikuti oleh pertumbuhan yang lambat dan kematian yang mendadak. Biasanya herbisida yang diaplikasikan melalui tanah disemprotkan mengelilingi tanaman pokok atau disemprotkan diantara barisan untuk meningkatkan selektivitas herbisida dan mengurangi biaya pengendalian gulma.
Aplikasi Herbisida Cara aplikasi penting dalam penentuan derajat keberhasilan pengendalian gulma, seperti aplikasi yang mengurangi kontak dengan tanaman budidaya dan memperbanyak kontak dengan gulma, ialah dalam alur, setempat, langsung dan lain-lain. Cara terbaik adalah semprotan terarah dengan menggunakan gugusan non selektif dan kontak ke dalam herbisida yang selektif (Moenandir, 1990). Menurut Barus (2003), aplikasi herbisida dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada gulma itu sendiri yaitu faktor pertumbuhan gulma. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keefektifan dan efisiensi aplikasi herbisida, misalnya curah hujan, angin, sinar matahari (cahaya), temperatur, dan kelemababan udara. Curah hujan dapat menyebabkan bahan aktif herbisida tercuci, angin yang kencang dapat menerbangkan butiran-butiran larutan herbisida dan sinar matahari yang terik dapat menyebabkan terjadinya penguapan larutan herbisida yang diaplikasikan. Waktu aplikasi mempunyai pengaruh juga dalam aktifitas herbisida. Berdasarkan faktor internalnya, waktu aplikasi herbisida yang paling tepat adalah pada saat gulma masih muda dan belum memasuki pertumbuhan generatif. Pada fase ini, penyerapan bahan aktif herbisida yang diaplikasikan dapat berlangsung lebih efektif. Herbisida pra tumbuh dirancang untuk gugusan yang dapat diabsorbsi dalam tanah, yang akan tetap tinggal pada lapisan tanah di permukaan. Peralatan yang benar, nozel yang tepat, kecepatan jalan semprot, penetapan lebar semprotan dan sebagainya, perlu mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengadakan aplikasi. Alat yang digunakan untuk melaksanakan penyemprotan disebut dengan
11
sprayer yang berfungsi untuk memecah cairan atau larutan menjadi butiranbutiran dengan ukuran yang efektif dan mendistribusikannya secara merata pada permukaan yang dilindungi (Harefa, 1997). Ukuran butiran semprot yang merata pada target dan jumlah butiran tidak kurang dari 20 butir/cm2 adalah indikasi suatu semprotan yang berhasil (Harefa, 1997). Ukuran tetesan ditentukan oleh volume semprotan, dan ukuran serta bentuk nozel. Menurut Harefa (1997) pada keadaan berangin, tetesan semprotan dengan ukuran besar akan menjadi berguna, dengan ketentuan perlu volume yang lebih tinggi (herbisida kontak). Sedangkan jumlah volume yang lebih rendah dibutuhkan untuk herbisida translokasi atau sistemik. Diusahakan dapat meningkatkan efisiensi kerja dan mendapatkan efikasi pemberantasan setinggi mungkin. Menurut Sutiyoso (1988) aplikasi herbisida harus dengan pengalaman disertai dengan latihan, maka diharapkan bisa dikuasai teknik aplikasi yang jauh lebih baik.