TINJAUAN PUSTAKA
Gulma pada Budidaya Tomat Budidaya tomat, pada umumnya harus bebas gulma selama siklus hidupnya, terutama pada periode awal pertumbuhan tanaman agar peluang untuk menguasai ruang tumbuh sedini mungkin sebelum gulma mulai ada pada pertanaman budidaya (Laude et al., 1996). Menurut Shanmugavelu et al. (1985) periode awal pertumbuhan tanaman tomat merupakan periode kritis untuk kompetisi gulma dan diperlukan lingkungan bebas gulma untuk menjamin pertumbuhan dan hasil yang baik. Beberapa jenis gulma dominan ditemukan pada pertanaman tomat (Sutater dan Bangun, 1988), antara lain (a) golongan rumput diantaranya D. adscendens, Eleusine indica, (b) golongan teki diantaranya C. rotundus, dan (c) golongan daun lebar diantaranya Cleome rutidosperma, A. conyzoides, Amaranthus spinosus, Alternanthera philoxeroides. Seperti tanaman tomat, gulma juga membutuhkan air, nutrisi, dan ruang untuk tumbuh, memproduksi buah serta biji-bijian (Lange et al., 1986). Menurut Moenandir (2010) gulma yang tumbuh berdekatan dengan tanaman budidaya dapat menyebabkan adanya persaingan atau kompetisi sebagai interaksi dari keduanya. Sembodo (2010) menjelaskan bahwa persaingan atau kompetisi terjadi dikaitkan dengan ketersediaan sarana tumbuh seperti air, hara, cahaya matahari, CO2 dan ruang tumbuh yang terbatas. Beberapa kerugian yang disebabkan oleh kehadiran gulma pada pertanaman budidaya antara lain: menurunkan kuantitas dan kualitas hasil panen, gulma menjadi inang hama dan penyakit tumbuhan serta gulma dapat meracuni tanaman (alelopati). Gulma dalam tomat menimbulkan masalah serius dan mempengaruhi tanaman sehingga mengakibatkan penurunan yang signifikan pada hasil (Shanmugavelu et al., 1985). Hasil penelitian Laude et al. (1996) menunjukkan bahwa kehadiran gulma selama pertumbuhan tanaman tomat dapat meningkatkan kehilangan hasil tomat hingga 54.22%. Hal ini disebabkan adanya kompetisi gulma dengan tanaman yang semakin lama, sehingga kehilangan hasil semakin besar. Penurunan hasil akibat kehadiran gulma juga dapat melalui proses alelopati.
4 Menurut Rice (1984) C. rotundus bersifat alelopati dan mampu menurunkan hasil pada tomat sebesar 53%. Gulma tidak hanya bersaing dengan tanaman tomat, tetapi juga dapat sebagai inang inang hama, penyakit dan nematoda yang pada akhirnya dapat menduduki tanaman tomat. Sebagai contoh gulma parasit seperti Cuscuta, spp. dan Orobanche spp. dapat menyerang tanaman tomat secara langsung (Lange et al., 1986). Terdapat beberapa contoh jenis gulma yang berperan sebagai inang hama dan penyakit pada tanaman budidaya lainnya diantaranya: A. conyzoides sebagai inang virus Ruga tabaci yang menyerang tembakau (Soejono, 2006), Physalis angulata sebagai inang virus pada kentang, C. rotundus, Echinochloa colona sebagai inang virus kerdil rumput pada padi melalui perantara wereng coklat (Nilaparvata lugens), D. adscendens, Leesia exandra dan Cynodon dactylon sebagai inang Cochliobolus miyabeanus pada padi (Sembodo, 2010). Pengendalian gulma pada pertanaman tomat sebaiknya dilakukan sedini mungkin untuk meminimalkan kehilangan hasil dan menekan kompetisi atau persaingan (Laude et al., 1996). Beberapa cara pengendalian gulma yang dapat dilakukan pada pertanaman tomat antara lain, secara manual (penyiangan) dan menggunakan herbisida. Hasil penelitian Abidin et al. (1994) menunjukkan bahwa pengendalian gulma secara manual yang terbaik yaitu pada penyiangan dua kali yang dilakukan pada 1/3 umur tanaman tomat (30 hari setelah tanam) dan 2/3 umur tanaman (60 hari setelah tanam). Pengendalian secara manual yang dilakukan terus menerus dapat menurunkan hasil tomat sebagai akibat dari perlakuan mekanis yang mengganggu terhadap perkembangan tanaman. Pengendalian gulma
dengan
herbisida
juga
dapat
dilakukan.
Menurut
Shanmugavelu et al. (1985) beberapa jenis herbisida yang umum digunakan untuk pengendalian gulma di pertanaman tomat seperti: metribuzin, chloramben, diphenamid, EPTC (ethyl dipropylthiocarbamate), nitrofen dan trifularin.
Ageratum conyzoides L. A. conyzoides L. merupakan gulma semusim, dengan nama lokal babadotan (Jawa Barat) dan wedusan (Jawa Tengah dan Timur) . A. conyzoides L. termasuk ke dalam famili Asteraceae (Soerjani et al., 1987). A. conyzoides L.
5 mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh di mana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Sukamto, 2007). Menurut Ming (1999) penyebaran A. conyzoides L. cukup luas, mencapai daerah tropis dan subtropis. A. conyzoides L. menyebar dari tenggara Amerika Utara ke Amerika Tengah, tetapi pusat asalnya di Amerika Tengah dan Karibia. Kebanyakan ditemukan di Meksiko, Amerika Tengah, Karibia dan Florida.
Gambar 1. Gulma A. conyzoides L. (EBD, 2010) A. conyzoides L. dapat digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida, bahkan untuk pupuk dapat meningkatkan hasil produksi tanaman. Di sisi yang lain A. conyzoides L. yang menunjukkan gejala lurik kekuningan dapat menjadi sumber penyakit bagi tanaman lain yang diusahakan di sekitarnya. A. conyzoides L. telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Di India, A. conyzoides L. digunakan sebagai bakterisida, antidisentri dan antilithik. Di Brazil, perasan atau ekstrak tanaman ini sering dipakai untuk menangani kolik, flu dan demam, diare, rheumatik dan efektif mengobati luka bakar (Sukamto, 2007). A. conyzoides L. diduga kuat mempunyai zat alelopati yang dapat menekan pertumbuhan tanaman lainnya (Sukamto, 2007). Menurut Xuan et al. (2004) penggunaan daun A. conyzoides L. dengan dosis 2 ton/ha dapat menekan sampai 75% pertumbuhan beberapa gulma pada pertanaman padi seperti
6 Aeschynomene indica, Monochoria vaginalis dan Echinochloa crus-galli var. formo-sensis Ohwi. Ming (1999) menambahkan bahwa metabolit sekunder dari A. conyzoides L. meliputi flavonoid, alkaloid, coumarin, minyak esensial dan tanin. Organ-organ penting pada A. conyzoides L. antara lain : (1) batang, tanaman herba ini memiliki batang tegak berbentuk bulat, bercabang tingginya mencapai 120 cm saat berbunga. Pada bagian tanaman muda memiliki bulu halus. (2) daun, bentuk daun agak bulat telur atau berbentuk hati, pinggiran daun bergerigi dengan permukaan bergelombang dan berbulu. (3) bunga, bunga terletak di ujung atas, memiliki ganggang bunga dengan panjang 5-17 mm. (4) buah, jumlah bunga dapat mencapai 60-70 bunga dengan warna hijau pucat (Soerjani et al., 1987).
Cyperus rotundus L. C. rotundus L. merupakan salah satu gulma merugikan di dunia, tersebar secara luas di seluruh daerah tropis dan subtropis di 52 pertanaman yang berbeda dan di 92 negara (Rao, 2000). C. rotundus L. dikenal dengan nama umum teki, dengan nama asing nut grass, nut sedge dan coco sedge. C. rotundus L. termasuk ke dalam famili Cyperaceae (teki-tekian).
Gambar 2. Gulma C. rotundus L. (JIRCAS, 2009)
7
C. rotundus L. mengandung minyak esensial yang dapat digunakan dalam pengobatan tradisional. Minyak yang dihasilkan berbeda-beda tergantung daerah asal tumbuhnya. Hasil penelitian Lawal dan Oyedeji (2009) menunjukkan bahwa akar C. rotundus L. di Afrika Selatan mengandung minyak esensial seperti α-cyperone, caryophyllene oksida, β-selinene, myrtenol, β-pinene dan transpinocarveol. Zoghbi et al. (2008) menyatakan bahwa pada akar C. rotundus L. di Brazil mengandung α-cyperone dan cyperotundone, sedangkan di India mengandung α-copaene, cyperene, valerenal, caryophyllene oksida dan transpinocarveol (Jirovetz et al., 2004). Organ-organ penting pada C. rotundus L. antara lain : (1) akar, C. rotundus L. memiliki perakaran serabut yang tertutup dengan bulu-bulu halus. C. rotundus L. memiliki warna rhizoma atau rimpang pada awalnya berwarna putih dengan daging tipis, ujung rhizoma liat berwarna hitam, berakhir di umbi. Ukuran umbi pada C. rotundus L. kecil dengan panjang kurang lebih 2,5 cm dengan bentuk yang tidak teratur atau agak bulat. Pada awalnya umbi berwarna putih dan sekulen yang berkembang terus serta membentuk umbi dalam tanah, kemudian tunas/kuncup berkecambah membentuk tumbuhan baru. (2) batang, C. rotundus L. memiliki batang tegak, soliter, tingginya mencapai 15-30 (1-75) cm x 1-2 mm dengan bentuk segitiga atau triangular di dasar umbi. (3) daun, C. rotundus L. memiliki daun dengan bentuk pipih, agak kaku dengan pinggiran daun rata, bentuknya makin ke ujung lancip. Warna daun C. rotundus L. ada bagian atas hijau tua, pada bagian bawah pucat, jumlah daunnya sebanyak 4-10 dengan panjang 10-60 cm x 1-2 mm. Pelepah daun berwarna coklat kemerahan, sebagian pelepah berada di bawah tanah. (4) bunga, C. rotundus L. memiliki bunga majemuk pada bagian ujung (Soerjani et al., 1987). (5) buah, buah C. rotundus L memiliki ciri khas yaitu berbentuk kerucut besar pada pangkalnya, kadang melekuk berwarna coklat, dengan panjang 1.5-4.5 cm dengan diameter 5-10 mm (Almatholib, 2005).
8 Digitaria adscendens Henr. Digitaria adscendens Henr. memiliki nama lain yaitu D. ciliaris (Retz.) Koel, D. sanguinalis
Scop. var. ciliaris Parl. (Soerjani et al., 1987).
D. adscendens Henr. termasuk ke dalam famili Poaceae (Gramineae).
Gambar 3. Gulma D. adscendens Henr. (JIRCAS, 2009) Menurut Rice dan Parenti dalam Qasem dan Foy (2001) senyawa alelopati yang
terkandung
pada
D.
adscendens
diantaranya
chlorogenic,
dan
isochlorogenic. Organ-organ penting pada D. adscendens Henr antara lain : (1) akar, D. adscendens Henr memiliki perakaran serabut (Halvorson dan Guertin, 2003). (2) batang, gulma semusim ini memiliki tinggi 10-60 cm, bergerombol, tidak berbuluh, bercabang, berlekuk-lekuk seperti lutut. (3) daun, helaian daun lembut, berbulu jarang, berbentuk garis-garis, menyempit ke bagian dasarnya, pinggiran dan tulang daun kasar (Pancho et al., 1977). (4) bunga, bunga majemuk terdiri dari 2-11 cabang, menjari ke atas dengan panjang 5-15 cm (Halvorson dan Guertin, 2003). Bunga berbentuk bulir, bercabang-cabang di dasarnya. Berkembang biak dengan biji dan anakan (Pancho et al., 1977). (5) biji, biji berbentuk oval cariopsis dengan panjang 2-3 mm dan memiliki warna kuning kecoklatan.
9 Alelopati Tumbuh-tumbuhan menghasilkan berbagai jenis metabolit yang tidak diketahui kegunaannya dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Diduga bahwa tumbuh-tumbuhan dapat menghasilkan senyawa kimia yang beracun baik untuk dirinya sendiri maupun jenis-jenis tumbuhan yang lainnya (Sastroutomo, 1990). Istilah alelopati pertama digunakan oleh Molisch pada tahun 1937 yang diartikan sebagai interaksi biokimiawi secara timbal balik yang bersifat penghambatan maupun perangsangan antara semua jenis tumbuhan (termasuk mikroorganisme) (Rice, 1984). Rice (1984) mendefinisikan alelopati sebagai pengaruh yang merugikan dari suatu tanaman (termasuk mikroorganisme) terhadap tanaman lain baik langsung maupun tidak langsung melalui senyawa kimia racun yang dikeluarkan ke lingkungan tumbuhnya. Singh et al. (2001) menambahkan bahwa alelopati menunjukkan efek langsung atau tidak langsung tanaman ke tanaman lain melalui pelepasan zat kimia ke lingkungannya dan memegang peran penting dalam agroekosistem. Senyawa alelopati merupakan metabolit sekunder pada tumbuh-tumbuhan. Senyawa tersebut dapat ditemukan di semua jaringan tumbuhan, antara lain pada daun, batang, akar, rizome, bunga, buah dan biji serta dapat dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang masih hidup atau telah mati (Sastroutomo, 1990). Senyawa tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori menurut struktur dan sifat yang berbeda dari senyawa tersebut diantaranya: (1) asam organik yang larut dalam air, alkohol rantai lurus, aldehid alifatik, dan keton, (2) lakton sederhana yang tak jenuh, (3) rantai panjang asam lemak (fatty acid) dan polyacetylenes, (4) Naphthouinones, anthroquinones dan quinines kompleks, (5) fenol sederhana, asam benzoat dan turunannya, (6) asam sinamat dan turunannya, (7) kumarin, (8) flavonoid, (9) tanin, (10) steroid dan terpenoid (lakton sesquiterpene, diterpenes, dan triterpenoid), (11) asam amino dan polipetida, (alkaloid dan dyanohydrins), (12) sulfida dan glukosida, (15) purin dan nukleotida (Rice, 1984; Wang et al., 2006). Senyawa alelopati dapat mempengaruhi penyerapan hara, pembelahan sel, penghambat pertumbuhan,
10 fotosintesis, respirasi, sintesis protein dan aktivitas enzim (Sastroutomo, 1990; Ferguson dan Rathinasabapathi, 2009). Senyawa alelopati pada tumbuhan dapat dilepaskan dalam berbagai cara, antara lain melalui penguapan, eksudat akar, pencucian dan dekomposisi residu dan proses lainnya baik di alam maupun sistem pertanian (Ferguson dan Rathinasabapathi, 2009). Putnam (1984) melaporkan mengenai adanya senyawa alelopati yang dilepaskan melalui penguapan dan diindentifikasi sebagai senyawa yang termasuk ke dalam golongan terpenoid. yaitu Artemisia, Eucalyptus dan Salvia. Pada percobaan penampungan eksudat akar tanaman Hemarthia altissima diperoleh senyawa berasal dari asam-asam benzoat, sinamat dan fenolat. Hasil pencucian daun alang-alang dapat mempengaruhi pertumbuhan jagung dan mentimun, pembusukan sisa tumbuhan menghasilkan senyawa beracun, asam sianida (HCN) dan benzaldehida. Beberapa jenis gulma telah banyak diteliti dan diketahui memiliki pengaruh alelopati diantaranya, A. conyzoides L., Imperata cylindrica dan C. rotundus L. memiliki pengaruh alelopati dan dapat menurunkan hasil padi gogo (Pane et al., 1988). Penelitian oleh Nugroho et al. (1988) menunjukkan bahwa alelopati yang dihasilkan oleh C. rotundus dapat mereduksi berat kering bagian atas dan bagian bawah tanaman, panjang tanaman, dan jumlah daun tanaman pada kacang tanah. Menurut Lasmini (1997) D. adscendens dan C. kyllingia terbukti memiliki potensi alelopati yang dapat menurunkan hasil pada tanaman bawang merah. Hasil penelitian Marisa et al. (2004) menunjukkan bahwa Porphyllum ruderale mengandung zat alelopati dan dapat menghambat perkecambahan benih jagung. Menurut Batish et al. (2009) A. conyzoides dapat mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman padi dengan melepaskan senyawa kimia berupa asam penolik ke lingkungan tanah. Tumbuh-tumbuhan bervariasi dalam menghasilkan senyawa alelopati (alelokimia) bergantung pada keadaan lingkungan tempat tumbuhan tersebut tumbuh dan gangguan serta tekanan lingkungan yang dialami. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan senyawa alelopati, antara lain kualitas, kuantitas cahaya, lamanya penyinaran, kekurangan unsur hara dan gangguan ketersediaan air. Jenis dan umur jaringan tumbuhan juga mempunyai pengaruh
11 yang sangat penting karena alelokimia yang tersebar tidak merata dalam tumbuhtumbuhan. Diantara jenis tumbuhan yang satu dengan yang lainnya juga terdapat perbedaan kemampuan dalam menghasilkan alelokimia diantara sesama jenis, perbedaan dapat terjadi dalam konsentrasi alelokimia yang dihasilkan sebagai akibat adanya perbedaan genotipe. Sebagai contoh, beberapa varietas gandum liar dapat menghasilkan skopoletin dan turunannya dalam konsentrasi yang berbedabeda. Beberapa jenis mentimun dapat menghambat perkecambahan biji-biji gulma tetapi tidak dengan jenis yang lain bahkan ada yang memberikan stimulasi (Putnam, 1984).