34
TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu Tanaman tebu (Saccharum spp.) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputan (Graminae) seperti halnya padi, glagah, jagung, bambu, dan lain-lain.
Tanaman tebu dibedakan menjadi dua
rumpun, yaitu rumpun benua (continental family / Group A) dan rumpun pulau (island family / Group B). Tanaman tebu yang termasuk Group A diantaranya adalah Saccharum spontaneum, Saccharum sinense (Cina), dan Saccharum barberi (India).
Tanaman tebu yang termasuk Group B diantaranya adalah
Saccharum robustum dan Saccharum officinarum (tebu unggul/noble canes). Nama Saccharum berasal dari bahasa Sanskrit (Sansekerta) “SARKARA” yang berarti gula pasir, sedangkan dalam bahasa Arab “SAKAR”, bahasa Belanda “SUIKER”, bahasa Inggris “SUGAR”, bahasa Jerman “ZUCKER”, bahasa Spanyol “AZUKAR”, dan bahasa Perancis “SUCRE” (PTPN VII, 1998). Anatomi tanaman tebu terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu batang (stem/stalks), akar (roots), dan daun (leaves). Tebu merupakan tanaman berbiji tunggal yang diameter batangnya selama pertumbuhan hampir tidak bertambah besar. Tinggi tanaman tebu bila tumbuh dengan baik dapat mencapai 3 – 5 meter. Namun bila pertumbuhannya jelek tingginya kurang dari 2 meter. Batang tebu padat seperti batang jagung, di mana bagian luar berkulit keras dan bagian dalam lunak dan mengandung air gula. Tanaman tebu yang masih muda belum terlihat jelas batangnya karena masih tertutup daun.
Namun bila daun tebu sudah
mengering dan luruh maka batang tebu mulai dapat dilihat. Pada batang tebu terdapat ruas dan buku. Pada batas antar 2 ruas (internodia) terdapat kuncup/mata (bud). Irisan batang tebu biasanya bulat panjang dan pada buku (nodia) terdapat bekas duduknya daun.
Bentuk dari ruas ada tiga, yaitu tong, silinder, dan
kumparan (klos). Duduknya ruas satu dengan yang lain ada dua, yaitu tegak dan zigzag. Pada batang yang tumbuh normal dan panjang, maka ruas dari bawah ke atas makin panjang hingga ke tengah, sedangkan ke arah atas makin pendek. Bila
35
batang tebu akan berbunga, maka pada ujungnya terbentuk ruas-ruas kecil dan panjang
sekali.
Tebal
ruas
bagian
batang
yang
ada
dalam
tanah
(dongkelan/tunggul/stubble) makin ke atas makin besar sampai dekat permukaan tanah, kemudian berangsur kecil.
Panjang dan bobot batang tergantung
pertumbuhan. Tanaman yang melalui musim kering panjang/kurang air, dan pada musim hujan mendapatkan cukup air, maka seringkali terdapat ruas-ruas pendek dan di atasnya ruas-ruas panjang. Kekuatan dan kekerasan batang tergantung dari susunan batang dari dalam, dan setiap jenis tebu berlainan.
Warna batang
dipengaruhi cahaya matahari, jenis tebu, dan umur tebu. Warna dipengaruhi oleh kombinasi sel kulit warna merah dan lapisan khlorofil berwarna hijau di bawahnya. Batang tebu banyak dilapisi lilin yang berfungsi antara lain sebagai penghalang serangan hama/penyakit, dan lingkaran lilin terdapat di bawah buku. Kuncup/mata (bud) terletak berselang-seling pada batang, bentuk kuncup bermacam-macam (bulat dan panjang). Di atas lingkaran tumbuh terdapat suatu pita yang sempit sekali mengelilingi ruas dan acapkali berwarna lain. Di sini batang mudah putus karena terdiri dari sel-sel yang masih memanjang dan lembek. Jika tebu roboh, maka batang dapat berdiri lagi karena bagian bawah lebih cepat tumbuhnya daripada bagian atas pada lingkaran tumbuh tersebut. Sebagai tanaman yang berbiji tunggal, maka tanaman tebu berakar serabut banyak, yang keluar dari lingkungan akar di bagian pangkal batang. Akar-akar tersebut tidak banyak cabangnya dan hampir lurus. Pada tanah yang subur dan gembur, akar tebu menjalar sampai 1 – 2 meter, tapi sebaliknya pada tanah yang miskin hara atau keras dan padat strukturnya maka akar-akarnya hanya pendek, demikian juga akar serabutnya bercabang pendek.
Beberapa minggu setelah
kuncup dari stek tebu tumbuh jadi tanaman muda, maka tanaman muda tersebut segera membentuk akarnya sendiri.
Pada bagian bawah dari tunas itu yang
berdekatan dengan stek akan keluar beberapa akar panjang yang tebal berwarna putih dan tida k bercabang. Ujung dari akar ditutup dengan tudung akar (calytra), pada jarak beberapa millimeter dari tudung akar itu terdapat bulu-bulu halus yang disebut bulu akar (hairwortels). Adanya bulu-bulu akar ini suatu tanda bahwa akar masih tumbuh dengan baik. Bagian ujung yang tidak tertutup oleh bulu akar itu adalah bagian yang tumbuh dan disebut titik tumbuh. Bila bagian tersebut
36
putus, maka akar tidak dapat tumbuh lagi, akan tetapi terbentuk cabang-cabang baru pada bagian akar yang lebih tua. Makin besar tanaman tebu, maka makin banyak akar yang dibentuk, antara lain ada yang tumbuh pada bagian batang akibat dibumbun/digulud. Akar baru ini umumnya juga berwarna putih dan yang lebih tua berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan dan kebanyakan bercabang banyak. Pada tanah dengan lapisan padas, mengakibatkan susunan akar banyak menyebar ke samping, sedangkan pada air tanah yang dangkal, akar banyak yang tumbuh menuju ke atas karena akar membutuhkan zat asam (oksigen) untuk pernapasan. Tujuh puluh persen akar rambut tanaman tebu berada dalam bagian atas (kedalaman 30 cm) dan 30 persen tersebar di sekitar lebih dari 30 cm dari pusat akar. Daun pada tanaman tebu berpangkal pada buku daun dan duduk pada batang secara berseling. Daun terdiri dari helai daun (lamina), pelepah daun (sheath), lidah daun (ligule), telinga daun (auricula), dan kuncup/mata (bud). Helai daun berbentuk garis yang panjangnya 1 – 2 meter dan lebar 4 – 7 cm, dengan tepi dan permukaannya kasap tidak licin. Pelepahnya di bagian bawah membalut batang seluruhnya. Daun yang keluar dari kuncup mempunyai helai yang kecil dengan pelepah yang membungkus batangnya dan setelah umur 5 – 6 bulan batang tebu itu masih dibalut seluruhnya oleh pelepah sehingga bukunya tidak kelihatan. Daun-daun ya ng sudah tua menjadi kering dan mati. Daun yang kering tersebut ada yang lepas dengan sendirinya dari batang sehingga batang tebu kelihatan, ada pula jenis tebu yang daunnya tidak mudah lepas dari batangnya setelah kering dan mati. Pada tanaman tebu yang menderita kekurangan air, maka daun-daun tebu menggulung untuk mengurangi penguapan.
Jika keadaan air
sudah baik lagi, maka daun akan terbuka lagi. Pada waktu tanaman tebu akan berbunga, helai daun yang kecil di atas pelepah daun akan keluar. Helai daun yang kecil ini berdiri tegak seperti bendera dan disebut daun bendera, dalam pelepah yang panjang tersebut terdapat kuncup bunga yang akan keluar dari pelepah sebagai malai. Tanaman tebu cocok ditanam pada daerah yang memiliki curah hujan di atas 200 mm per bulan selama 5 – 6 bulan, curah hujan 125 mm per bulan selama 2 bulan, dan curah hujan di bawah 75 mm per bulan selama 4 – 5 bulan.
37
Kecepatan angin yang cocok adalah di bawah 10 km/jam, beda suhu minimum tidak boleh lebih dari 6°C, pH tanah yang baik berada pada selang 5.5 – 7.0 (Mubyarto dan Daryanti, 1991). Mangelsdorf (1950) menyatakan bahwa kondisi iklim yang ideal bagi tanaman tebu adalah cuaca panas yang panjang pada masa pertumbuhan dengan curah hujan yang cukup, hampir kering dan sejuk tetapi bebas embun pada masa pemasakan dan panen, serta bebas dari badai tropis. Tanaman dalam hidupnya membutuhkan 13 unsur, yaitu C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg, Fe, Bo, Cu, dan Zn. Unsur -unsur C, H, dan O terdapat di udara, sedangkan yang lainnya berasal dari ta nah. Di antara unsur-unsur yang berasal dari tanah, maka zat- zat yang harus ada adalah N, P, K, S, Ca, Fe, dan Mg (Notojoewono, 1968). Penanaman tebu dapat menyebabkan hilangnya unsur hara esensial melalui panen, apalagi diusahakan secara terus menerus.
Dengan demikian
kesuburan suatu tanah akan menurun secara terus-menerus, sehingga mencapai suatu keadaan dimana penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil tebu yang menguntungkan. Oleh karena itu kesuburan suatu tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan suatu tanah mutlak diperlukan. Ada beberapa cara dalam mempelajari status hara tanah untuk menilai kesuburan tanah, yaitu: (1) melihat citra tanaman di lapangan (gejala -gejala kekurangan unsur hara), (2) uji tanaman, (3) uji biologi, dan (4) uji tanah. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman terdiri dari dua fase, yang berbeda walaupun juga tumpang tindih (overlapping), yaitu: fase vegetatif dan fase reproduktif (Setyati, 1979).
Fase vegetatif terutama terjadi pada
perkembangan akar, daun, dan batang baru. Fase ini berhubungan dengan 3 proses penting, yaitu pembelahan sel, perpanjangan sel, dan tahap pertama dari diferensiasi sel.
Dalam fase vegetatif suatu perkembangan, karbohidrat
dipergunakan dan tanaman menggunakan sebagian besar karbohidrat yang dibentuknya.
Sedangkan fase reproduktif terjadi pada pembentukan dan
perkembangan kuncup-kuncup bunga, bunga, buah dan biji, atau pada pembesaran dan pendewasaan struktur penyimpanan makanan, akar-akar dan batang yang berdaging. Fase reproduktif berhubungan dengan beberapa proses penting, yaitu
38
pembuatan sel-sel yang secara relatif sedikit, pendewasaan jaringan-jaringan, penebalan serabut-serabut, pembentukan hormon-hormon yang perlu untuk perkembangan kuncup bunga (primordial), serta perkembangan kuncup bunga, bunga, buah dan biji.
Pada fase reproduktif dari perkembangan tanaman,
karbohidrat disimpan (ditimbun) dan tanaman tersebut menyimpan sebagian besar karbohidrat yang dibentuknya berupa pati dan gula. Daur kehidupan tanaman tebu dimulai dari fase perkecambahan, fase pertumbuhana anakan, fase pemanjangan batang, fase kemasakan, dan diakhiri dengan fase kematian. Fase perkecambahan dimulai dengan pembentukan taji pendek dan akar ste k pada umur 1 minggu, kemudian pada minggu kedua tinggi taji mencapai 12 cm dan akan makin banyak. Pada minggu ketiga, daun terbuka dan tinggi tunas 20 – 25 cm. Pada minggu keempat, jumlah daun 4 helai dan tinggi sekitar 50 cm. Pada minggu kelima, akar tunas dan anakan keluar. Fase pertumbuhan anakan tebu (pertunasan) dimulai dari umur 5 minggu sampai umur 3.5 bulan tergantung varietas dan lingkungan tebu. Jumlah anakan tertinggi terjadi pada umur 3.5 bulan dan setelah itu turun atau mati 40 – 50% akibat terjadinya persaingan sinar matahari, air, dan sebagainya.
Hal yang
menunjang pertunasan tebu antara lain air, oksigen, sinar matahari, unsur hara utama yaitu N dan P, serta suhu tanah. Fase pemanjangan batang terjadi pada umur 3 – 9 bulan.
Kecepatan
pembentukan ruas adalah 3 – 4 ruas/bulan. Makin tua tanaman tebu, makin lambat pemanjangannya. Hal yang mempengaruhi pemanjangan batang antara lain adalah kadar air tanah, sinar matahari, dan kadar N dalam daun. Fase kemasakan merupakan fase yang terjadi setelah pertumbuhan vegetatif menurun dan sebelum batang tebu mati. Pada fase ini gula di dalam batang tebu mulai terbentuk hingga titik optimal dan setelah itu rendemennya berangsur -angsur menurun. Tahap pemasakan inilah yang disebut dengan tahap penimbunan rendemen gula. Fase pemasakan pada tanaman keprasan (ratoo n) terjadi lebih awal disbanding tanaman baru (plant cane/PC). Fase ini dipengaruhi oleh varietas, cara budidaya (terutama pupuk N dan P), serta kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya matahari, dan air.
39
Komposisi vegetatif tanaman tebu menunjukkan bagian dari organ secara terpisah/individu (batang, daun, akar) dalam berat kering total dari tanaman tebu. Bagian tanaman tebu di atas permukaan tanah (above ground portion) terdiri atas batang tebu (stem/stalks) yang dapat digiling (millable cane), bagian pucuk (leafy top) termasuk bagian batang yang tidak dapat digiling (non-millable) dan daundaun yang menempel pada pucuk, serta daun-daun yang lain (trash) yang secara terpisah dikategorikan sebagai bagian yang berada pada permukaan tanah (on groun portion). Bagian tanaman tebu di bawah permukaan tanah (below ground portion) terdiri atas dongkelan/tunggul (stubble) dan akar (roots). Di negaranegara dimana bagian batang di bawah permukaan tanah dipanen, maka tunggul termasuk bagian tebu yang dapat digiling (millable cane). Contoh komposisi vegetatif tanaman tebu umur 12 bulan untuk varietas 37-1933 disajikan pada Gambar 1. Bagian tebu yang dapat digiling hanya merupakan sebagian dari bahan kering total tanaman (50 sampai 60 %). Akar dan pada sebagian besar kasus termasuk juga tunggul (stubble), ditinggalkan di lahan. Pucuk tebu juga tetap di lahan atau digunakan sebagai makanan ternak. Daun-daun tebu sebagai seresah (trash) juga tetap di lahan atau digunakan sebagai bahan bangunan di pabrik. Bahan kering organ tanaman tebu berisi lebih dari 90% bahan organik, dan ketika usaha penyuburan tanah dengan bahan organik menjadi masalah yang serius, maka pengetahuan penggunaan kembali bahan organik dalam tanaman tebu tersebut menjadi penting. Kobus dan Van Houwelingen (dalam Dillewijn, 1952) melakukan percobaan untuk mengetahui kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu yang dibudidayakan di pulau Jawa. Hasil percobaan tersebut membuktikan bahwa komposisi vegetatif tanaman tebu tidak seragam, tetapi dipengaruhi oleh umur, pemupukan, varietas, dan sebagainya. (Gambar 2).
Pengaruh umur adalah yang dominan
Dengan data yang sama dari percobaan tersebut digambarkan
komposisi vegetatif dalam basis persentase dari bahan kering total (Gambar 3). Sedangkan pengaruh pemupukan terhadap komposisi vegetatif tanaman tebu disajikan pada Tabel 1.
40
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada waktu penanaman, tanaman hanya berupa potongan bibit (cutting).
Pertumbuhan awal tanaman sebagian besar
terbatas untuk perkembangan daun dan akar yang merupakan peralatan produksi tanaman.
Pembentukan batang belum terjadi sepanjang organ asimilasi dan
absorbsi belum berkembang sampai tingkat tertentu. Tetapi ketika organ asimilasi dan absorbsi telah berkembang, maka pembentukan batang dimulai dengan laju yang lebih cepat dibanding organ lain. persentase dari bobot kering total tanaman
di atas permukaan tanah (above ground)
pada permukaan tanah (on ground)
TOPS
9.0%
STALKS
49.2%
TRASH
24.6%
STUBBLE
4.5%
di bawah permukaan tanah (below ground)
12.7%
ROOTS
Gambar 1 Komposisi vege tatif tanaman tebu umur 12 bulan varietas 37-1933 (Dillewijn, 1952).
41
St GT R
: stem (batang tebu) : green top (pucuk tebu) : roots (akar)
Gambar 2 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu di Jawa (Dillewijn, 1952).
C
: cutting (bibit tebu)
Gambar 3 Kecenderungan komposisi vegetatif tanaman tebu (Dillewijn, 1952).
42
Tabel 1 Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap komposisi vegetatif tanaman tebu Kadar Nitrogen (% bahan kering total) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi 57 55 54 53 32 35 35 35 11 10 11 12 100 100 100 100
Bagian tanaman Batang Pucuk dan seresah Akar dan tunggul Total (Sumber: Dillewijn, 1952)
Proses terbentuknya rendemen gula di dalam batang tebu berjalan dari ruas ke ruas. Ruas di bawah (lebih tua) lebih banyak tingkat kandungan gulanya dibandingkan dengan ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterunya sampai ruas bagian pucuk.
Oleh karena itu, tebu dikatakan sudah mencapai masak
optimal apabila kadar gula di sepanjang batang telah seragam, kecuali beberapa ruas
di
bagian
pucuk.
Menurut
Supriyadi
(1992),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses kemasakan tanaman tebu adalah: 1) Varietas Varietas tebu pada garis besarnya dibedakan menjadi tiga, yaitu: a) varietas genjah (masak awal), mencapai masak optimal kurang dari 12 bulan;
b) varietas sedang (masak tengahan) mencapai masak optimal pada umur 12–14 bulan; dan c) varietas dalam (masak akhir) mencapai masak optimal pada umur lebih dari 14 bulan. 2) Pemberian pupuk nitrogen yang berlebihan Pemupukan tebu dengan pupuk nitrogen secara berlebihan sangat merugikan karena proses pembentukan rendemen optimal akan terlambat. Pemupukan nitrogen yang berlebihan juga akan merangsang pertumbuhan tunas baru. Proses pertumbuhan tunas baru ini menggunakan gula yang sudah terbentuk di dalam batang, sehingga gula di dalam batang akan terurai kembali.
43
3) Curah hujan Curah hujan yang tinggi pada waktu tanaman tebu mencapai umur masak akan menyebabkan pembentukan gula rendah, karena sinar matahari terhalang oleh awan, sehingga proses fotosintesis terhambat sekaligus proses pembentukan gula terhambat, terbentuknya rendemen rendah, dan tebu mencapai masak optimal juga terlambat. 4) Keadaan got Keadaan got yang dangkal dapat menyebabkan penyebaran akar tebu juga dangkal atau pendek-pendek. Dengan demikian akar tebu tidak dirangsang proses pemanjangannya karena mudah mencapai air tanah. Karena akar yang pendek, maka pengambilan unsur hara dari dalam tanah tidak bisa optimal sehingga proses pembentukan gulapun juga sedikit. Selain itu, pada waktu musim kemarau kadang-kadang tanaman mati kekeringan sebelum rendemen optimal tercapai.
5) Serangan hama dan penyakit 6) Daerah penanaman Tebu yang ditanam di dataran tinggi, masa hidupnya akan lebih lama dibandingkan dengan tebu yang ditanam di dataran rendah. Tebu yang ditanam di dataran tinggi akan mendapat sinar matahari lebih lama daripada di dataran rendah sehingga kemasakan optimal dicapai pada masa yang lebih lama. 7) Masa tanam Tebu yang ditanam pada bulan Mei – Juli akan mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada bulan-bulan sebelum atau sesudahnya. Karena daya tahan yang baik, maka tanaman tebu akan bisa sampai mencapai masak optimal pada waktunya. 8) Gulud akhir Gulud akhir harus dilaksanakan pada tanaman yang sudah berumur 4.5 – 5 bulan. Gulud akhir ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar tebu dekat permukaan tanah agar tanaman bisa banyak mengambil unsur hara dan sekaligus untuk mencegah kerobohan tanaman. Kegiatan gulud akhir biasa dilakukan pada sistem reynoso.
44
9) Kerobohan tanaman Tebu yang roboh terkena angin ataupun karena terlampau banyak diberi pupuk nitrogen, akan berakibat terhambat proses kemasakannya. Kandungan gula di dalam batang akan diuraikan kembali untuk pertumbuhan tunas baru, dan untuk energi dalam upaya ingin berdiri kembali. Untuk meningkatkan rendemen tebu, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah: (1) pemakaian bibit yang bermutu, (2) masa tanam yang optimal, (3) pengolahan tanah dan pemeliharaan yang optimal, (4) pemupukan berimbang, (5) perlindungan tanaman terhadap hama penyakit dan gulma, (6) pengairan yang sesuai, dan (7) penggunaan zat pengatur tumbuh.
Menurut
Mangelsdorf (1953), hasil gula tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genotip tebu, kondisi lahan, dan musim. Pemupukan Pupuk adalah bahan untuk diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung, guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produksi atau memperbaiki kualitasnya, sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman (Leiwakabessy dan Sutandi, 1998). Definisi lain menyatakan pupuk adalah unsur hara tanaman yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan berkembang biak (Purnama, 2002). Unsur hara tanaman terdiri dari unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relatif banyak, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah relatif lebih sedikit. Unsur hara makro terdiri dari makro primer dan makro sekunder.
Unsur hara makro primer adalah
Nitrogen (N), Fosfat (P), dan Kalium (K) yang dikenal sebagai unsur-unsur hara utama. Walaupun pupuk merupakan salah satu sarana penting dalam kegiatan produksi namun penggunaannya tidak mudah karena menyangkut aspek efisiensi dan penghematan (Leiwakabessy dan Sutandi, 1998), yaitu bahwa (1) jenis pupuk yang digunakan harus tepat sesuai kebutuhan sehingga metode diagnosis harus baik dan unsur yang ditambahkan hanya yang kurang di dalam tanah saja; (2) perimbangan hara perlu diperhatikan agar lebih bermanfaat; (3) dosis, cara, dan
45
waktu pemupukan harus benar agar tidak rugi dan tidak merusak lingkungan karena dosis yang berlebihan atau salah caranya; (4) harga pupuk makin mahal karena biaya energi dan bahan baku makin tinggi sementara ketersediaan bahan baku di dunia makin menipis. Pemupukan adalah pemberian pupuk kepada tanaman ataupun kepada tanah dan substrat lainnya (Finck, 1982 dalam Leiwakabessy dan Sutandi, 1998). Pemupukan merupakan suatu tindakan yang dilaksanakan sebagai usaha untuk menambah ketersediaan hara dalam tanah dan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kesuburan tanah ialah kemampuan tanah untuk dapat menyediakan unsur hara dalam jumlah berimbang untuk pertumbuhan dan produks i tanaman (DIKTI, 1991). Munir (1996) menyatakan bahwa pemupukan lebih ditujukan untuk menambah jumlah dan tingkat ketersediaan unsur hara di dalam tanah (baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro).
Sedangkan Syamsulbahri (1996)
menyatakan bahwa pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk menjaga dan memulihkan kesuburan tanah yang hilang akibat aktivitas penyerapan oleh akar tanaman dan hanyut karena erosi atau pencucian. Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (1998), pemupukan di negara berkembang seperti Indonesia mempunyai kelemahan-kelemahan umum yang menyebabkan produksi rendah, yaitu (1) pemupukan bersifat tradisional, tanpa identifikasi masalah hara secara baik; (2) sebagian besar tidak memupuk lengkap dengan N, P, K; (3) kalaupun memupuk dengan N, P, K, tetapi kecukupan unsur lain tidak diperhatikan, pemupukan sering berat sebelah; (4) tidak memupuk dengan unsur-unsur hara yang lain seperti Ca, Mg, dan unsur mikro, karena tidak melakukan diagnosis sebelumnya; (5) salah menduga kebutuhan pupuk dan kurang memperhatikan cara dan waktu pemupukan; (6) kesulitan dalam memperoleh pupuk; (7) tidak mampu menyediakan jumlah dan jenis pupuk yang dianjurkan karena harga yang mahal; (8) mengabaikan sifat tanah lainnya seperti reaksi tanah, struktur tanah, dan lain-lain; ( 9) kurang memperhatikan faktor iklim; (10) tidak mampu melakukan proteksi tanaman dengan baik. Secara umum sasaran pemupukan mencakup tanah dan tanaman tebu (Usman, 1997). Sasaran pemupukan pada tanah antara lain macam unsur hara dan kondisi lingkunga n tumbuh yang mempengaruhi daya guna pemupukan.
46
Sedang sasaran pemupukan pada tanaman adalah mutu bahan tanaman dan hasil produksi yang diprogramkan. Perolehan berat tebu sangat berkaitan dengan potensi lahan. Potensi lahan seringkali beragam, baik dari tahun ke tahun maupun antara lokasi/kebun, karena dipengaruhi oleh hasil interaksi antara faktor agroklimat lingkungan dengan jenis tanahnya. Pengaruh potensi lahan terhadap perbedaan tanggap hasil tebu melalui cara pemupukan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Pengaruh potensi lahan terhadap hasil tebu dengan cara pemupukan (Usman, 1997). Dalam Gambar 4, pada kurva A ditampilkan keadaan yang berlawanan yaitu potens i hasil lahan sudah mencapai batas, meskipun sudah dilakukan penambahan pupuk hingga 2 satuan, namun mengakibatkan hasil tebu menjadi menurun.
Keadaan semacam ini pada era kemajuan teknologi dapat diatasi
melalui sistem manajemen perkebunan dan pengembangan varietas tebu baru yang lebih berpotensi. Sementara itu, pada kurva B, C, dan D ditampilkan hasil interaksi antara sifat tanah dan agroklimat yang sudah mengalami perbaikan sehingga memperbesar keuntungan.
Dengan menambah satuan pupuk secara
optimal maka keuntungan maksimal dapat tercapai. Tanaman tebu banyak mengabsorbsi hara makro dan kehilangan unsur hara cukup besar akibat pemanenan tebu. Menurut Saryadi (1970 dalam Sudiatso, 1983), sekali pemanenan tebu rata -rata mengambil dari dalam tiap hektar tanah 100 kg N, 100 kg PO 4, dan 350 kg K.
47
Biasanya cara yang paling sederhana dan paling nyata untuk meningkatkan hasil tanaman dalam suatu wilayah pada suatu penelitian pertanian adalah dengan mengidentifikasi kekurangan hara tanah dan kemudian menentukan aplikasi pupuk yang sesuai (Colwell, 1994). Penanaman tanaman pertanian dapat menyebabkan hilangnya unsur hara esensial melalui panen, apalagi diusahakan terus-menerus (DIKTI, 1991). Dengan demikian kesuburan tanah akan menurun secara terus -menerus, sehingga mencapai suatu keadaan yang mana penambahan unsur hara melalui pemupukan mutlak diperlukan untuk memperoleh hasil pertanian yang menguntungkan. Oleh karena itu kesuburan tanah berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman, maka penilaian kesuburan tanah mutlak diperlukan. Pemberian berbagai pupuk ke dalam tanah didasarkan pada kesuburan tanah. Beberapa cara yang telah dikenal dalam mempelajari status hara tanah untuk menilai kesuburan tanah, yaitu: (1) melihat gejala-gejala kekurangan unsur hara; (2) analisa tanaman; (3) uji biologi yang mana pertumbuhan dari tanaman atau mikroorganisme lain yang lebih tinggi digunakan sebagai ukuran kesuburan tanah; dan (4) uji kimia tanah (Tisdale et al. , 1990). Citra tanaman yang abnormal yang ditunjukkan oleh tanaman di lapangan, kemungkinan disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa faktor yang menunjang pertumbuhan tanaman. Kelainan pertumbuhan ini juga dapat disebabkan oleh kekurangan satu atau beberapa unsur hara yang terdapat dalam tanah. Tetapi dapat juga oleh akibat terdapatnya satu atau beberapa unsur lain yang berlebihan (keracunan) ataupun disebabkan hal-hal lain. Gejala-gejala kahat atau defisiensi unsur hara yang dapat dilihat adalah berupa: (1) terhambatnya pertumbuhan tanaman, namun hal ini tidak spesifik karena terhambatnya pertumbuhan tanaman juga dapat disebabkan oleh hal-hal lain; (2) kelainan pada warna yang biasanya tampak pada daun; (3) nekrosis atau matinya jaringan, misalnya keringnya pinggiran daun pada tanaman kedele akibat kekurangan kalium; dan (4) bentuk yang abnormal dari bagian-bagian tanaman (DIKTI, 1991). Identifikasi status hara tanah mengalami banyak kesulitan jika hanya ditinjau dari kekurangan hara.
Setiap gejala yang timbul ada hubungannya
48
dengan fungsi dari setiap unsur tersebut dalam tanaman. Kadang-kadang gejala yang sama dapat ditimbulkan oleh kekurangan unsur yang berbeda, karena unsur tersebut mempunyai fungsi yang sama dalam tanaman. Ataupun gejala yang tampak merupakan resultante yang timbul kemudian.
Misalnya ke kurangan
nitrogen hampir sama dengan gejala kekurangan magnesium, karena kedua unsur tersebut mempunyai fungsi dalam pembentukan khlorofil pada daun tanaman. Kesulitan lain dalam identifikasi status hara tanah juga sering timbul, antara gejala kekurangan hara dengan akibat lain, misalnya akibat serangan hama atau penyakit. Sebagai contoh yaitu gejala defisiensi boron hampir sama dengan gejala serangan hama penghisap daun yang terdapat pada tanaman alfafa. Selanjutnya sering terjadi bahwa produksi tanaman rendah sekali, sedangkan gejala kahat (kekurangan) suatu unsur hara tidak terjadi atau muncul. Ini berarti bahwa kadar unsur hara yang dibutuhkan tanaman berada di atas tingkat defisiensi tetapi masih di bawah kebutuhan tanaman untuk berproduksi tinggi. Peristiwa ini dikenal sebagai kelaparan yang tersembunyi atau hidden hunger (Tisdale et al., 1990). Analisa atau uji tanaman didasarkan pada asumsi bahwa jumlah unsur hara yang terdapat di dalam tanaman mempunyai hubungan dengan keadaan hara yang terdapat dalam tanah (Tisdale et al., 1990). Dari hasil uji tanaman akan didapat kadar dari unsur hara tertentu di dalam tanaman, yang mana ini dipakai sebagai dasar untuk menilai kesuburan suatu tanah. Kadar tersebut kemungkinan berada pada suatu titik yang kritis sehingga diperlukan tambahan unsur tersebut melalui pemupukan. Tetapi terjadi juga kesulitan lain yaitu adanya suatu unsur dalam tanaman yang dapat menyebabkan unsur lain menjadi kritis, misalnya unsur boron menjadi kritis dalam tanaman bila terdapat ba nyak unsur kalium.
Dengan
demikian uji tanaman akan berkurang nilainya atau kurang meyakinkan untuk menilai kesuburan tanah.
Walaupun demikian uji tanaman terutama uji daun
banyak membantu dalam merekomendasikan pemupukan untuk tanaman pepohonan yang berakar dalam. Akar dari tanaman ini akan menyebar ke seluruh bagian tanah sampai ke bagian yang lebih dalam dari lapisan olah. Selanjutnya akar tanaman mengabsorpsi hara -hara yang terdapat pada bagian yang lebih dalam
49
dari tanah dan hara tersebut akan didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, termasuk daun. Analisa jaringan tanaman dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya unsur hara yang diperlukan dan dapat diambil oleh tanaman. Whitney, Cope, dan Welch dalam Engelstad (1997) menyatakan bahwa interpretasi analisa tanaman ditempuh dengan membandingkan konsentrasi hara dalam sampel tanaman dengan konsentrasi hara standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Konsentrasi hara daun standar menurut Barnes (1964) disajikan pada Tabel 2.
Jika hara
berada dalam kondisi berlebih, maka penambahan unsur hara dalam bentuk pemupukan dapat kurang atau mungkin tidak perlu ditambah.
Tabel 2 Kandungan hara daun standar Kandungan hara daun (%)
Kategori
N > 1.85 1.66 – 1.85 1.45 – 1.66
Berlebih Optimum Kurang
P 2O5 > 0.55 0.45 – 0.55 0.35 – 0.45
K2O > 1.75 1.26 – 1.75 0.75 – 1.26
(Sumber: Barnes, 1964) Menurut Jones et al. (1991), waktu yang baik untuk pengambilan sampel daun adalah pada umur tanaman 3 – 5 bulan. Daun yang dianalisa adalah daun ke tiga dari pucuk se banyak 15 lembar. Kandungan hara daun standar menurut Jones et al. (1991) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan hara daun standar Kategori Rendah Cukup Tinggi
Kandungan hara daun (%) N P K 1.60 – 1.90 0.15 – 0.17 0.90 – 1.00 2.00 – 2.60 0.18 – 0.30 1.10 – 1.80 > 2.60 > 0.30 > 1.80
(Sumber: Jones et al. , 1991) Sementara itu menurut Samuels (1955, dalam Muhali 1979) dikemukakan bahwa umur tebu yang baik untuk mendapatkan korelasi terbaik antara kadar hara di daun dan produksi tebu per hektar adalah umur tiga bulan, bila keadaan kebun tidak mengalami kekurangan air.
Nilai hara daun standar menurut Samuels
(1955, dalam Muhali 1979), disajikan pada Tabel 4.
50
Tabel 4 Kandungan hara daun standar Kategori Sangat rendah Rendah Cukup rendah Cukup Tinggi Sangat tinggi
N < 1.00 1.00 – 1.40 1.40 – 1.50 1.50 – 2.00 2.00 – 2.50 > 2.50
Kandungan hara daun (%) P K < 1.00 < 1.00 0.10 – 0.15 1.00 – 1.50 0.15 – 0.18 1.50 – 1.65 0.18 – 0.25 1.65 – 2.00 0.25 – 0.30 2.00 – 3.00 > 0.30 > 3.00
(Sumber: Samuels, 1955, dalam Muhali 1979) Contoh daun yang diambil adalah daun-daun nomor 4, 5, dan 6 dihitung dari daun yang belum membuka pertama sebagai daun nomor 1. Umumnya dalam analisa daun dipakai daun yang membuka sepenuhnya yang ke tiga yang dihitung dari daun yang tidak menggulung tertinggi sebagai daun nomor 1. Kalau sampel daun tebu diambil pada umur lebih dari pada tiga bulan, maka harus dipakai faktor koreksi (dalam persen) yang ditambahkan pada hasil analisa daunnya agar didapatkan nilai untuk umur tiga bulan. Makin jauh waktu pengambilan sampel daun dari umur tiga bulan maka makin besar nilai faktor koreksinya (Tabel 5). Tabel 5 Faktor koreksi hasil analisa daun dari dasar analisa daun pada umur 3 bulan
Unsur hara
N
P
K
Jenis tanaman
Plant cane Ratoon Plant cane Ratoon Plant cane Ratoon
Faktor koreksi yang ditambahkan untuk hasil analisa daun pada umur sampel daun tebu (%) Tanpa irigasi Irigasi 4 bulan
5 bulan
6 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
0.15
0.30
0.45
0.08
0.15
0.23
0.28
0.56
0.74
0.11
0.22
0.33
0.015
0.015
0.015
0
0.008
0.016
0.24
0.24
0.24
0.12
0.24
0.36
(Sumber: Samuels. 1959, dalam De Geus, 1973)
51
Uji biologi meliputi: (1) percobaan lapangan, (2) percobaan green house atau rumah kaca, dan (3) percobaan mikrobiologi (DIKTI, 1991). Percobaan lapangan mempunyai kelemahan yaitu percobaan selalu dipengaruhi oleh iklim, sehingga ada kemungkinan terdapatnya hasil yang selalu berbeda -beda pada setiap kali diulang.
Selain itu percobaan la pangan meminta pembiayaan yang lebih
besar, waktu yang lebih lama, dan tenaga yang lebih banyak.
Sementara itu
percobaan rumah kaca mempunyai kelebihan lebih cepat mengetahui status hara yang terdapat di dalam tanah, mudah pengulangan, dan relatif murah. Namun demikian percobaan rumah kaca mempunyai kelemahan yaitu bahwa keadaan lingkungan yang terkendali dalam rumah kaca dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman indikator lebih baik.
Sedangkan percobaan mikrobiologi jauh lebih
sederhana, relatif lebih cepat, hanya memerlukan sedikit tempat, dan biayanya relatif murah. Penilaian kesuburan tanah melalui uji tanah merupakan satu cara yang relatif lebih akurat dan cepat. Uji tanah mempunyai banyak kelebihan antara lain adalah: (1) lebih mudah diulang, (2) biayanya relatif lebih murah, (3) ruangan yang dipakai dapat sempit, dan (4) jangkauannya lebih jauh dari pada metode yang lain. Sedangkan kelemahan uji tanah adalah: (1) metode -metode yang tidak dapat dipakai untuk semua jenis tanah, (2) pengambilan contoh tanah untuk analisa harus benar -benar tepat dan akurat mewakili daerah yang sebenarnya. Dengan demikian diperlukan fasilitas laboratorium yang memungkinkan pelaksanaan analisa tanah (DIKTI, 1991). Uji tanah berdasarkan konsep bahwa tanaman akan respon terhadap pemupukan bila kadar hara kurang atau jumlah yang tersedia tidak cukup untuk pertumbuhan tanaman yang normal. Uji tanah mempunyai tujuan: (1) memelihara (menjaga) status kesuburan dari suatu lahan tertentu; (2) meramalkan kemungkinan-kemungkinan ada nya respon yang menguntungkan dari pemupukan dan pengapuran; (3) mendapatkan rekomendasi pemupukan dan pengapuran; dan (4) mengevaluasi status serta tingkat kesuburan sesuatu daerah untuk tujuan riset, pendidikan, dan pengembangan wilayah (Tisdale et al., 1990). Setyamidjaja (1986) menyatakan bahwa analisa tanah bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah bagi tanaman.
Secara singkat
52
hasil dari uji tanah adalah dapat menentukan keadaan atau status hara tanaman yang terdapat dalam tanah, sehingga secara sederhana dapat disimpulkan kebutuhan hara tanaman yang dapat ditambahkan melalui pemupukan. Namun demikian harus pula diperhatikan mengenai kebutuhan hara yang tidak sama untuk setiap jenis tanaman, umur tanaman, dan keadaan iklim yang berbeda. Hambatan yang cukup serius dalam uji tanah adalah diperlukannya orang yang benar-benar ahli dan berpengalaman serta terlatih secara teknis yang menguasai prinsip-prinsip ilmiah dalam mengidentifikasikan hasil analisa. Untuk menentukan dosis pupuk berdasarkan hasil analisa tanah maka dapat digunakan nomograf tanah (Gambar 5).
Gambar 5 Nomograf tanah untuk penentuan dosis pupuk (Pawirosemadi, 1980).
Nitrogen merupakan hara esensial sekaligus hara pembatas utama pada sebagian besar tanah pertanian yang ditanami tanaman bukan legum. Tanaman adalah konsumen utama N, mengasimilasi 30-70% dari pupuk N yang diberikan (Boswell, Meisinger, dan Ned dalam Engelstad, 1997). Tujuan utama pemberian
53
pupuk N adalah untuk meningkatkan hasil bahan kering. Fungsi pupuk N adalah meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman yang menghasilkan daun, da n meningkatkan berkembangbiaknya mikro organisme. Pasokan N yang cukup adalah penting untuk hasil optimum dan berkaitan dengan pertumbuhan vegetatif yang lebat dan warna hijau yang gelap. Menurut Indarto (1996), peran N dalam menentukan produksi gula sangat unik, karena di satu sisi dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga akan meningkatkan produksi tebu, tetapi di sisi lain bila tanaman banyak mengandung N pada fase pemasakan akan menurunkan rendemen.
Humbert (1968)
menyatakan bahwa tanaman tebu yang kekurangan N akan mempunyai gejala daun berwarna kuning, daun cepat mati atau mengering, pertumbuhan anakan sedikit, batang kecil dan ruasnya pendek, pertumbuhan akarnya jelek, dan tanaman tebu cepat menua. Pupuk nitrogen diaplikasikan pada awal penanaman dan pada saat tanaman berumur 1.5 – 2 bulan, tetapi tidak melebihi 6 bulan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin pasokan N tersedia selama masa pertumbuhan, tetapi tidak menghambat fase pemasakan.
Kuntohartono (1980 dalam Indarto, 1996)
menyatakan bahwa pertumbuhan tebu dibagi menjadi empat fase yaitu fase perkecambahan, fase pembentukan anakan, fase pertambahan tinggi batang, dan fase pemasakan. Dari keempat fase tersebut, hanya fase pemasakan yang tidak memerlukan N. Menurut Indarto (1996), pemberian N harus tepat, diantaranya adalah ketepatan dalam hal bentuk pupuk dan waktu pemupukan. Untuk tanaman tebu, pemberian pupuk N harus disesuaikan dengan tahap pertumbuhan agar N dapat diserap oleh tanaman, dan atau tidak tersedia karena tidak diperlukan lagi. Meisinger dan Ned dalam Engelstad (1997) menyatakan bahwa kebanyakan tanaman membutuhkan pasokan N yang berkesinambungan pada seluruh musim pertumbuhan dan keperluan ini akan bervariasi dengan tahap kematangan tanaman. Pemupukan Urea tahap pertama dit ujukan untuk memacu pertumbuhan tunas muda dan pertumbuhan anakan.
Jumlah anakan yang terbentuk akan
54
mempengaruhi jumlah batang yang selanjutnya berpengaruh terhadap produksi tebu (Indarto, 1996). Pemberian pupuk dasar harus diperhatikan karena stek tebu yang baru ditanam belum mampu menyerap unsur hara dari pupuk yang diberikan. Oozer (1993) menyatakan bahwa terbentuknya akar stek yang dapat menyerap unsur hara baru terjadi pada umur 15 hari setelah tanam. Selain dengan analisa laboratorium, kandungan hara Nitrogen pada daun dapat diketahui dari pengukuran jumlah khlorofil dengan instrumen SPAD Chlorophyll Meter (Anonim, 2002). Hasil penelitian sudah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara hasil pengukuran instrumen tersebut dengan kandungan N daun. Cara kerja instrumen tersebut adalah dengan menjepitkan pada daun. Contoh model instrumen tersebut disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 SPAD Chlorophyill Meter (Anonim, 2002).
Fosfat menyusun 0.1–0.4% bobot kering tanaman. Tanaman menyerap P selama keseluruhan siklus pertumbuhannya. Fungsi pupuk P adalah mempercepat pertumbuhan akar, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa pada umumnya, memperkuat tubuh, dan tanaman agar tidak roboh. Penyerapan P oleh tanaman tergantung pada ketersediaan P yang dipengaruhi oleh faktor tanah. Di dalam larutan tanah, P tersedia bagi tanaman dalam jumlah kurang dari satu ppm, sedangkan ketersediaan yang diharapkan lebih dari 40 ppm. Fosfat diserap oleh tanaman hanya sekitar 10% karena pada tanah asam, sebagian besar pupuk P difiksasi oleh Fe dan Al.
55
Efisiensi pemupukan P dari pupuk buatan sangat rendah. P yang terlarut akan segera dijerap menjadi Fe-P dan Al-P. Cara yang dapat digunakan untuk menekan kejenuhan Al yang tinggi adalah dengan menggunakan pupuk P dosis tinggi. Penerapan pemupukan dengan dosis tinggi bertujuan untuk penjenuhan penyematan P dalam tanah dan pemenuhan kebutuhan hara P pada tanaman tebu (Djojonegoro et al., 1992). Pupuk P diaplikasikan pada saat penanaman bersamaan dengan pupuk N. Menurut Soeminto (1996), pemberian pupuk P pada saat tanam sangat diperlukan, terutama pada tanah yang kahat P. Pemberian pupuk P yang terlambat akan berakibat tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, masa pembungaan terlambat, dan kondisi perakaran yang buruk. Fungsi fisiologis akar untuk menyerap nutrisi menjadi berkurang. Cara penempatan pupuk P sangat berpengaruh terhadap efisiensi penyerapan oleh tanaman.
Soeminto (1996) menyatakan bahwa penempatan
pupuk N dan P bersama-sama pada kedalaman beberapa centimeter di bawah permukaan tanah akan lebih efektif untuk meningkatkan penyerapan P oleh tanaman daripada cara penempatan terpisah atau diaduk dengan lapisan olah. Kalium menyusun 0.5–4.0% bobot kering tanaman, sedangkan tanah mengandung 0.5–2.5% K dalam lapisan 15 cm teratas. Fungsi pupuk K adalah mempercepat sintesis (pembentukan) zat karbohidrat dalam tanaman dan mempertinggi daya tahan terhadap hama penyakit. Jumlah K yang harus ditambahkan untuk mempertahankan tanah pada tingkat tertentu akan tergantung pada tingkat awal dan derajat penyematan K oleh tanah. Jumlah pupuk K yang diperlukan oleh tanaman tertentu tergantung pada kebutuhan tanaman, jumlah K yang terdapat dalam tanah, dan efisiensi penggunaan K oleh tanah dan tanaman. Tanaman-tanaman yang mengangkut K dalam jumlah besar menurunkan tingkat K tersedia dalam tanah dan meningkatkan kebutuhan akan K. Pupuk K diaplikasikan pada saat pemupukan kedua (tanaman berumur 1.5 – 2 bulan), sehingga K yang dapat diserap oleh tanaman cukup banyak. Menurut Barber, Robert, dan Dancy dalam Engelstad (1997), jika K diberikan dalam baris pada saat penanaman, maka K yang ditambahkan bersentuhan dengan perakaran yang terlalu sedikit sehingga serapan K tidak tinggi.
56
Peningkatan pemberian sesuatu unsur hara kepada tanaman tidak selalu diikuti dengan peningkatan kandungan unsur hara tersebut di dalam daun dan peningkatan hasilnya. Pemberian hara N yang tinggi perlu diikuti pemberian P2O5 yang tinggi pula dan sebaliknya. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hasil akan menurun dalam hal ini tampak adanya kemungkinan antagonisme. Walaupun tidak nyata, ada kecenderungan interaksi antara unsur hara P2O5 dan K2 O dapat memperbaiki rendemen.
Di sini ada suatu kemungkinan
sinergisme antara hara P2 O5 dan K2 O. Kandungan hara N daun yang rendah selalu diikuti dengan hara K2 O daun yang tinggi.
Tetapi dalam keadaan kandungan hara N daun yang tinggi
melampaui jenjang normalnya, maka peningkatan kandungan hara N daun diikuti dengan meningkatnya kandungan K2O.
Di sini tampak adanya kemungkinan
reaksi katalisis. Hubungan dan interaksi antara hara N, P 2O 5 ,dan K2O dalam daun disajikan pada Gambar 7. N
P
K
Gambar 7 Hubungan dan interaksi antara hara N, P 2 O5 ,dan K2O dalam daun (Pawirosemadi, 1980).
Keterangan Gambar 7 : suatu kemungkinan reaksi katalisis suatu kemungkinan antagonisme suatu kemungkinan sinergisme Efisiensi pemupukan merupakan persentase jumlah pupuk ditambahkan yang secara nyata digunakan oleh tanaman (Miller et al., 1990). Definisi lain menyatakan bahwa efisiensi penggunaan pupuk merupakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap dan jumlah hara yang ditambahkan (Leiwakabessy dan
57
Sutandi, 1998). Definisi ini hanya memperhitungkan efisiensi hara yang berasal dari pupuk masuk ke tanaman yang mana lainnya tercuci, menguap, atau terfiksasi oleh tanah tanpa melihat respon tanaman terhadap pemupukan. Definisi lain dari efisiensi penggunaan pupuk adalah sejauh mana tanaman dapat memanfaatkan unsur hara yang telah diserap untuk berproduksi lebih tinggi tanpa menambah hara yang diperlukan. Definisi ini lebih mementingkan respon tanaman terhadap pemupukan. Pada umumnya penggunaan pupuk, efisiensi yang diharapkan adalah mendekati 30-70% dari N yang ditambahkan, 5-30% dari P yang ditambahkan, dan 50-80% dari K yang ditambahkan.
Menurut Leiwakabessy dan Sutandi
(1998), usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk adalah 1 Uji tanah Dosis optimum yang menghasilkan keuntungan maksimum adalah dosis yang terbaik sebagai hasil dari uji tanah yang baik. Akan tetapi hasil uji tanah seringkali
sulit untuk menetapkan dosis N yang optimum.
Ketersediaan N dalam tanah (dalam bentuk NH4 atau NH 3) seringkali berubah setiap waktu karena keseimbangan N dalam tanah ditentukan oleh N-organik.
Perubahan N-organik dalam tanah sejalan dengan
pengelolaan bahan organik. 2
Pengapuran Pengapuran dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat-sifat tersebut akan memperbaiki pertumbuhan tanaman, sehingga pupuk yang diberikan (untuk mengoreksi suplai hara yang berasal dari tanah setelah pengapuran) akan digunakan secara efisien. Sifat kimia yang diperbaiki adalah meningkatnya pH tanah, meningkatnya kebanyakan ketersediaan hara esensial, menurunnya aktivitas Al, Fe, dan Mn yang bersifat racun bila berlebihan. Oleh karena itu perkembangan akar tanaman menjadi optimum.
Selain itu pengapuran mendorong
pertumbuhan bakteri penambat N. Kalsium dari kapur akan memperbaiki struktur tanah yang sifat fisiknya buruk, melalui flokulasi dan granulasi koloid tanah.
Dengan perbaikan tersebut, maka penetrasi akar tidak
58
terhambat dan aerasi ta nah lebih baik, sehingga perkembangan akar tidak terbatas. 3
Penempatan pupuk Kondisi tanah menentukan cara penempatan pupuk yang lebih efisien. Cara sebar mengarah ke penggunaan dosis yang lebih tinggi dan lebih sesuai untuk tanaman berbiji kecil. Alasan penting yang berkaitan dengan penempatan pupuk, yaitu: a
Efisiensi penggunaan hara oleh tanaman dari saat sampai dewasa.
berkecambah
Awal tumbuh yang cepat dan kontinyuitas
ketersediaan hara merupakan hal yang esensial untuk mendapatkan keuntungan maksimum.
Penempatan pupuk tidak saja agar pupuk
dapat diambil tanaman, tapi juga agar intersepsi akar mengarah ke lapisan yang lebih dalam di mana kelembaban lebih baik sepanjang musim. b
Mencegah kerusakan (salt injury) pada saat perkecambahan. Hara N, P, dan K yang mudah larut akan membahayakan kecambah. Untuk itu penempatan pupuk perlu ada jarak dengan biji, terutama bagi tanaman berbiji kecil yang peka terhadap kadar garam tinggi. Pupuk dapat berdekatan dengan biji asalkan dosis yang digunakan rendah.
c
Kemuda han pemberian.
Metode penempatan pupuk hendaknya
disesuaikan dengan ketersediaan tenaga kerja, biaya, dan waktu. 4
Waktu pemupukan Dalam pemupukan N, waktu pemberian pupuk merupakan hal yang penting.
Walaupun pupuk N dapat diberikan sebelum tanam, setelah
tanam dengan side dressed atau top dressed untuk tanaman berbiji kecil, namun pemberian ini tidak selalu efektif karena N dalam tanah mudah berubah yang mana dalam bentuk N-NO 3 bersifat mobil. Pemberian N yang paling efektif adalah pada saat tanaman tumbuh paling cepat dan pada saat tanaman memerlukan N paling banyak. 5
Penggunaan legum Tanaman legum dapat bersimbiose dengan bakteri penambat N bebas dari udara. Dengan demikian penanaman legum atau rotasi antara legum dan
59
non legum akan mengurangi penggunaan pupuk N. Pembenaman limbah tanaman legum setelah panen, selain penambahan bahan organik ke dalam tanah juga akan menambah sejumlah nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman yang ditanam berikutnya. 6
Penggunaan pupuk kandang Pupuk kandang berfungsi sebagai bahan ameliorasi yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan N dapat dihemat dengan penggunaan pupuk kandang dan limbah tanaman legum.
7
Seleksi varietas Seleksi varietas diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang dapat beradaptasi paling baik pada tanah-tanah tertentu, sehingga tanaman tersebut mempunyai potensi produksi maksimum dalam lingkungannya. Dengan demikian respon tanaman terhadap pemupukan akan tinggi yang mana pemakaian setiap satuan pupuk dapat digunakan untuk berproduksi secara maksimum.
8
Pengendalian hama, penyakit, dan gulma Hama ataupun penyakit tanaman akan merusak bagian tanaman atau menghambat pertumbuhan tanaman sehingga produksi menurun.
Oleh
karena itu pemilihan insektisida, fungsida, atau pestisida lainnya secara tepat sangat penting dalam peningkatan efisiensi berproduksi. Sedangkan gulma akan menyaingi tanaman pokok dalam penggunaan air, cahaya, ataupun hara, sehingga tanaman tidak dapat memanfaatkan faktor produksi secara optimal. 9
Penentuan dan pengaturan w aktu dan pola tanam (pergiliran tanaman) Pola tanam yang tepat memungkinkan pemanfaatan unsur iklim dan kelembaban tanah yang paling baik untuk pertumbuhan tanaman.
10
Pengaruh carry over Residu pupuk atau kapur perlu diperhatikan karena pupuk, kapur, ataupun bahan organik yang dibenamkan ke dalam tanah tidak habis terangkut atau terurai pada tahun pertama pemberian.
Kalau hal ini diperhitungkan
berarti jumlah pupuk yang diperlukan dari tahun ke tahun atau musim ke musim menjadi berkurang.
60
11
Rotasi tanaman Rotasi tanaman dapat menghemat penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk N akan berkurang setelah penanaman legume, atau dosis pupuk dapat dikurangi setelah penanaman tanaman yang bernilai ekonomi baik dengan dosis yang tinggi.
12
Pengairan dan pengelolaan lainnya Pemberian air dan pengelolaan lainnya bermaksud membuat lingkungan tumbuh tanaman lebih baik atau untuk menghilangkan faktor pembatas tanaman agar tanaman dapat berproduksi lebih tinggi, sehingga efisiensi penggunaan pupuk dapat meningkat seperti disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Respon tanaman gandum beririgasi dan tanpa irigasi terhadap aplikasi nitrogen (Braun dan Roy, 1983).
Precision Farming Pada pertanian konvensional (conventional farming), seluruh bagian lahan mendapatkan perlakuan yang seragam.
Laju aplikasi yang konstan tersebut
seringkali didasarkan pada pengukuran sifat sampel tanah gabungan yang dikumpulkan untuk merepresentasikan karakteristik rata-rata dari keseluruhan lahan. Dengan perla kuan demikian, maka kemungkinan yang dapat terjadi adalah adanya aplikasi yang berlebihan (overapplication) dan aplikasi yang kurang
61
(underapplication).
Sedangkan dengan precision farming, dapat dilakukan
pengaturan masukan pertanian sesuai kebutuhan spesifik tempat tertentu pada setiap lokasi di dalam lahan. Jadi terdapat perbedaan mendasar antara precision farming dan conventional farming yaitu masalah keragaman (variability ). Variability merupakan gagasan kunci dari precision farming, khususnya penjabaran variability di dalam lahan. Variability harus dijabarkan paling tidak dalam tiga aspek yaitu spatial variability , temporal variability , dan predictive variability . Precision farming merupakan istilah yang digunakan untuk menjabarkan tujuan peningkata n efisiensi dalam pengelolaan pertanian (Blackmore, 1994). Definisi lain precision farming adalah pengelolaan setiap masukan produksi tanaman – pupuk, kapur, herbisida, insektisida, bibit, dan lain-lain – pada suatu tempat tertentu untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan keuntungan, dan menjaga kualitas lingkungan (Kuhar, 1997). Precision farming memungkinkan adanya peningkatan produktivitas, sementara biaya produksi menurun dan dampak lingkungan minimal (NRC 1997, dalam Shibusawa, 2001). Menurut Blackmore (1994), tiga aspek dalam precision farming adalah: (1) menemukan apa yang terjadi dalam lahan, (2) memutuskan apa yang dilakukan untuk itu, dan (3) memberi perlakukan pada area tergantung pada keputusan yang dibuat. Tanaman dan sifat tanah tidak hanya bervariasi terhadap jarak dan kedalaman, tetapi juga terhadap waktu. Beberapa sifat tanah adalah sangat stabil, berubah kecil terhadap waktu, seperti tekstur dan kandungan bahan organik tanah. Sifat-sifat tanah yang lain, seperti kadar nitrat (NO3- ) dan kandungan lengas dapat berfluktuasi dengan cepat. Precision farming melakukan pengumpulan sampel tanah dan tanaman untuk mendapatkan informasi tentang bagaimana variasi kondisi di lahan. Teknologi precision farming dapat digunakan dalam semua aspek sik lus produksi tanaman dari operasi pratanam sampai pemanenan. Teknologi tersebut sekarang tersedia, atau akan segera ada, untuk memperbaiki pengujian tanah (soil testing),
pengolahan
tanah
(tillage),
penanaman
(planting),
pemupukan
62
(fertilizing), pemberantasan gulma (spraying), pemanduan tanaman (crop scouting ), dan pemanenan (harvesting ). Pemakaian precision farming dalam praktek memerlukan pendekatan sistem terintegrasi yang baik yang mengkombinasikan teknologi keras (hard technology ) dan sistem lunak (soft systems) seperti disajikan pada Gambar 9. Pelaksanaan
precision
farming
merupakan
suatu
siklus
yang
berkesinambungan dari tahap perencanaan (planning season), tahap pertumbuhan (growing season), dan tahap pemanenan (harvesting season ) seperti disajikan pada Gambar 10. Pada saat ini banyak produsen tanaman menerapkan site-specific crop management (SSCM ).
Pemantauan hasil secara elektronis (electronic yield
monitoring) seringkali menjadi tahap pertama dalam mengembangkan SSCM atau program precision farming. Data hasil tanaman yang presisi dapat digabungkan dengan data tanah dan lingkungan untuk memulai pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan tanaman secara presisi (precision crop management system). Menurut Wolf dan Wood (1997), komponen teknologi dari precision farming adalah : (1) global positioning system (GPS), (2) yield monitoring, (3) digital soil fertility mapping , (4) crop scouting , dan (5) variable rate application (VRA). Precision farming diprediksi pada geo-referencing, yaitu penandaan koordinat geografi untuk titik-titik pada permukaan bumi.
Dengan global
postioning system (GPS) dimungkinkan menandai koordinat geografi untuk beberapa objek atau titik dalam 5 cm, walaupun keakuratan dari aplikasi pertanian kisaran umumnya adalah 1 sampai 3 meter.
GPS adalah sistem navigasi
berdasarkan satelit yang dibuat dan dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS telah terbukti menjadi pilihan dalam postioning system untuk precision farming. Metode untuk meningkatkan keakuratan pengukuran posisi disebut koreksi diferensial atau DGPS (differential global postiong system). Perangkat keras yang diperlukan adalah GPS receiver, differential correction signal
receiver,
GPS
computer/monitor interface.
antenna ,
differential
correction
antenna ,
dan
63
Economic Push
Environmental Pull
Reduced Inputs
Vehicle Positioning System
Geographical Information System
Legislation
Improved Control
Implement Control & Monitoring
PRECISION FARMING
Geographical Information System
Management Information System
Crop Models & Field History
Increased Efficiency
Less Waste
Improved Gross Margin
Decision Support System
Less Environmental Impact
Gambar 9 Interaksi dalam Precision Farming (Blackmore,1994) .
Gambar 10 Siklus proses dalam precision farming (Kuhar, 1997).
Harvest dan Yield Monitoring Pemantauan hasil (yield monitoring) pada pemanenan dilakukan melalui pengukuran produksi tanaman untuk koordinat geografi tertentu, yang selanjutnya dapat dibuat peta hasil (yield map) seperti disajikan pada Gambar 11. Sedangkan untuk dapat menghasilkan peta yang sesuai dengan lokasi diperlukan GPS receiver (Gambar 12).
Gambar 11 Transfer data dalam pemantauan hasil dan sistem pemetaan (Kuhar, 1997).
94
Gambar 12
Mesin pemanen pengumpul data hasil untuk pemetaan (Kuhar, 1997)
Soil Testing dan Data Analysis Dalam praktek tradisional, pengujian tanah dan aplikasi pemupukan diarahkan pada ukuran yang relatif besar. Dengan precision farming, lahan dibagi dalam sel-sel jaringan (grid cells), yang mana lokasinya ditentukan dengan GPS. Pada saat ini, ukuran sel-sel jaringan yang paling umum adalah 2,5 dan 3,3 acre (1 acre = 0,4646 ha). Bahan sampel tanah dari setiap sel jaringan dikirim ke laboratorium pengujian tanah, selanjutnya diubah menjadi peta digital (digital map) yang digunakan untuk mengelola aplikasi pupuk (Kuhar, 1997). Pengambilan sampel tanah dalam precision farming harus mendapat perhatian yang serius agar diperoleh analisa keragaman yang memadai dan pengambilan sampel yang efisien. Oleh karena itu diperlukan informasi spasial, diantaranya adalah stratifikasi geografis dan pengambilan sampel spasial yang sistematis. Metode pengambilan sampel tanah yang umum digunakan adalah pengambilan sampel berdasarkan grid (grid sampling) dan pengambilan sampel berdasarkan jenis tanah (soil type sampling).
Pada pengambilan sampel
berdasarkan grid, lahan dibagi menjadi sel-sel berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang berukuran beberapa acre atau lebih kecil (Gambar 13).
95
Gambar 13 Pengambilan sampel tanah berdasarkan grid (Kuhar, 1997).
Pada pengambilan sampel berdasarkan grid, metode yang dapat dipakai adalah grid center method dan grid cell method. Ilustrasi grid center method disajikan pada Gambar 14, sedangkan grid cell method disajikan pada Gambar 15.
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
radius 10 feet
Gambar 14 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid center (Kuhar, 1997).
Pada metode grid center, sampel tanah diambil dalam ruang lingkaran radius 10 sampai dengan 30 feet (1 feet = 0.3048 m) dan kemudian dicampur untuk dianalisa di laboratorium.
96
Gambar 15 Pengambilan sampel tanah dengan metode grid cell (Kuhar, 1997).
Pada metode grid cell, sampel tanah diambil secara acak pada beberapa tempat dalam setiap sel kemudian dicampur untuk dianalisa di laboratorium. Sampai saat ini, para peneliti masih mencari pola yang paling baik dalam pengambilan sampel tanah pada setiap sel. Beberapa pola yang dapat dilakukan dalam pengambilan sampel tanah pada setiap sel disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Alternatif pola pengambilan sampel tanah pada metode grid cell (Kuhar, 1997).
97
Pada pengambilan sampel tanah berdasarkan jenis tanah, sampel diambil pada tempat-tempat dengan jenis tanah yang sama (Gambar 17).
Gambar 17 Pengambilan sampel tanah pada soil type sampling (Kuhar, 1997)
Variable Rate Application Setelah sampel tanah diambil kemudian dianalisa di laboratorium, dan diperoleh digital soil fertility map, maka hasil analisa dapat diaplikasikan dalam variable rate application (VRA). VRA adalah satu-satunya pendekatan manajemen untuk pemusatan perhatian di dalam lahan, yang memerlukan: (1) posisi yang tepat di lahan, (2) informasi yang tepat pada lokasi, dan (3) operasi yang tepat pada waktunya pada tempat yang membutuhkan, yang mana keragaman spasial (spatial variability ) sebelumnya sudah dijabarkan, sehingga pengaturan masukan pertanian untuk kebutuhan tempat tertentu pada setiap lokasi di lahan dapat dilakukan. Peralatan (equipment) untuk melakukan variable-rate application (VRA) disebut Variable -Rate Technology/VRT (Kuhar, 1997). Metode dasar untuk implementasi VRA adalah: -
map-based VRA Metode ini mengatur laju aplikasi (application rate) bahan berdasarkan informasi dalam peta elektronis dari sifat lahan. Sistem dengan metode ini harus
mampu
menentukan
posisi
mesin
di
dalam
lahan
dan
98
menghubungkan posisi tersebut terhadap laju aplikasi yang diinginkan dengan membaca peta. Laju aplikasi didefinisikan sebagai volume dari bahan yang diaplikasikan per satuan luas atau berat dari bahan yang diaplikasikan per satuan luas. Pada kecepatan jalan kendaraan aplikator (15 mil/jam atau lebih), penglihatan ke depan (looking ahead) pada peta untuk perubahan laju berikutnya menjadi fungsi pengontrol.
Prosedur penglihatan ke depan
diperlukan untuk menghitung waktu yang diperlukan peralatan untuk mengatur laju aliran bahan sesudah keputusan dibuat untuk merubah laju aplikasi. -
sensor-based VRA Metode ini menggunakan data dari real-time sensors peta laju aplikasi untuk mengontrol secara elektronis operasi-operasi site -specific field. Real-time sensors beroperasi mengukur sifat tanah dan karakteristik tanaman, selanjutnya sistem kontrol VRA secara otomatis menggunakan data sensor untuk memadukan masukan seperti pupuk atau herbisida sesuai kebutuhan tanah dan tanaman. Sensor harus dapat memberikan aliran data yang berkesinambungan pada pengontrol sehingga masukan dapat diubah-ubah mencakup luasan-luasan kecil di seluruh lahan. Metode ini tidak memerlukan sistem pemposisian (postioning system).
Masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk itu pe ngguna perlu mengkombinasikan kedua metode tersebut untuk mendapatkan manfaat ekonomis dan lingkungan yang paling baik. Menurut Kuhar (1997), komponen utama sistem kontrol otomatis VRA adalah - pada map based VRA -
sensors – postioning, pressure/flow, ground speed
-
controllers
-
actuators
- pada sensor-based VRA -
sensors – soil/plant, pressure flow, ground speed
-
controllers
-
actuators
99
Sampai saat ini, aplikasi VRT telah banyak dikembangkan terutama untuk pupuk dan herbisida, namun demikian operasi-operasi lahan yang lain juga dapat menggunakan VRT, yaitu pengolahan tanah dan penyiapan lahan, penanaman, aplikasi pupuk kandang, pemberantasan hama dan penyakit, sistem air dan irigasi, diagnosa tanaman, dan pemanenan (Kuhar, 1997). -
Pengolahan tanah dan penyiapan lahan (tillage) Dalam sistem pengolahan tanah konservasi, sensor bahan organik tanah dapat digunakan untuk mengarahkan pembuatan alur atau mekanisme pembersihan selama penanaman tanaman beralur (Kuhar, 1997). Untuk tanah dengan kadar bahan organik tanah yang tinggi, pembersih alur akan menbersihkan residu dari permukaan tanah di dekat alur yang ditanami. Hal tersebut akan memungkinkan sinar matahari mempercepat pemanasan dan pembasahan dari tanah yang cenderung tetap dingin dan basah. Untuk tanah dengan kadar bahan organik tanah yang rendah, pembersih alur mungkin ditingkatkan untuk mencegah gangguan residu.
Residu dapat membantu
mengurangi kecenderungan kadar bahan organik tanah yang rendah menjadi keras pada permukaan tanah karena pengeringan sesudah hujan. Dalam sistem pengolahan tanah konvensional, sensor pemadatan tanah dapat digunakan untuk daerah sasaran (target zones), dengan posisi dan kedalaman, untuk perlakuan dengan mertode mekanis atau biologis. -
Pemupukan (fertilizer application) Aplikasi VRT pada pemupukan telah banyak dikembangkan, contoh yang tersedia secara komersial untuk sistem dengan kontrol sensor-based adalah Soil Doctor sebagai produksi dari Crop Technology, Inc., Houston, TX, sedangkan untuk sistem dengan kontrol map-based adalah SOILECTION sebagai produksi dari Ag -Chem Equipment Co., Inc., Minnetonka, MN (Kuhar, 1997). Soil Doctor dirancang untuk mengelola pupuk dan bahan kimia pertanian secara otomatis dengan baik. Alat ini menggunakan 2 atau 3 coulter yang berhubungan dengan tanah yang berfungsi sebagai sebuah susunan sensor tunggal (Gambar 18).
100
Gambar 18 Soil Doctor dengan coulter pengindera (Kuhar, 1997). Potensial antara coulter pada Soil Doctor menimbulkan medan listrik. Sifat tanah antara coulter tersebut mempengaruhi karakteristik medan listrik dan menimbulkan sinyal untuk controller sehingga menghasilkan bermacam jumlah pupuk/bahan kimia yang dapat diaplikasikan.
Untuk pupuk cair
seperti larutan N 28%, laju aplikasi diukur dengan katup solenoid. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi keluaran sensor adalah jenis tanah, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation, kandungan lengas tanah, dan kandungan nitrogen nitrat (NO3 -). Algoritma kontrol menggunakan masukan sensor, petunjuk agronomis, dan sasaran hasil untuk menentukan laju aplikasi pupuk nitrogen pada tempat tertentu secara real-time. SOILECTION digunakan untuk aplikasi bahan kering dan cair (Kuhar, 1997). Proses penyusunan peta digunakan untuk memilih dan mengontrol bermacam pupuk dan herbisida selama alat melintas di lahan. Satu peta dapat digunakan untuk mengontrol laju pupuk P, peta yang lain mengontrol pupuk K, sementara yang lain mengontrol aplikasi kapur, dan sebagainya.
Sistem
menggunakan Fertilizer Applicator Local Control Operating Network (FALCON) yang berfungsi untuk : -
memantau arah dan kecepatan aplikator
-
mengukur jarak penyebaran
-
mengatur laju aplikasi
-
mengatur pencampuran beragam bahan
-
memantau tingkat ketersediaan bahan
-
mengontrol penutupan boom kanan dan kiri
-
memantau dan memberitahu operator terhadap status sistem aplikasi
101
Selain kedua aplikator tersebut juga terdapat aplikasi VRT untuk pupuk butiran pada budidaya padi, yaitu aplikator pupuk butiran model GS-MPV 8 produksi Hatsuta Industrial Company yang domodifikasi oleh Radite, Umeda, Iida, dan Khilael dengan sistem VRA seperti pada Gambar 19.
Gambar 19 Sistem VRA pada aplikator pupuk butiran model GS-MPV 8 modifikasi (Radite et al., 2000). -
Penanaman (planting ) Lengas tanah diperlukan oleh bibit yang ditanam untuk menjamin perkecambahan. Alat tanam yang dapat mengindera lengas tanah dan dapat mengatur
kedalaman penanaman (Gambar 20) dapat digunakan untuk
menjamin bahwa bibit ditempatkan pada tanah yang basah (Kuhar, 1997).
Gambar 20 Sensor lengas tanah pada variable -depth planter (Kuhar, 1997).
102
Alat tanam juga dapat dilengkapi dengan tempat bibit yang banyak untuk memungkinkan penanaman varietas bibit yang berbeda pada lokasilokasi yang berbeda di dalam lahan. Proses tersebut dapat dengan salah satu dari map-based atau sensor-based, tergantung pada faktor-faktor yang menentukan seleksi varietas. -
Pemeliharaan tanaman (herbicide application) Sensor bahan organik tanah dapat digunakan untuk VRA pada aplikasi herbisida pratanam dengan sensor-based (Kuhar, 1997).
Jumlah bahan
organik di dalam tanah mempengaruhi efektivitas beberapa herbisida. Oleh karena itu direkomendasikan laju aplikasi herbisida yang lebih tinggi jika terdapat bahan organik yang lebih banyak. Sensor bahan organik dapat secara otomatis mengatur laju herbisida berdasarkan kandungan bahan organik tanah tanpa analisis data tambahan atau peta. Sensor ditarik atau ditekan melalui tanah dengan rig pada aplikator herbisida.
Jika keluaran sensor dipetakan, maka dapat digunakan untuk
merancang aplikasi herbisida dengan map-based VRA.
Selain itu, peta
kandungan bahan organik tanah tersebut juga dapat digunakan selama penanaman untuk bermacam laju penanaman. -
Aplikasi pupuk kandang (manure application) Pupuk kandang adalah sumber yang kaya hara yang dapat diperlakukan sebagai limbah atau dikelola sebagai pupuk dan sumber perubahan tanah. Sifat dan karakteristik pupuk kandang bervariasi terhadap jenis hewan, umur hewan, makanan, jenis kandang, metode penanganan, dan waktu. Bahan pupuk kandang tidak konsisten dan proporsi hara seperti N, P, dan K dalam pupuk kandang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman (Kuhar, 1997).
Untuk waktu yang lama, pupuk kandang
diperlakukan sebagai limbah dan hara yang semestinya bermanfaat bagi tanaman hanya menjadi polusi bagi air. Di masa yang akan datang, sensor hara tanah, sensor hara pupuk kandang, sensor aliran, dan VRT untuk itu dapat memberikan penge lolaan yang presisi terhadap pupuk kandang.
103
-
Pemberantasan hama (pesticide application) Sensor yang berhasil mengidentifikasi gulma (hama/pengganggu) tersedia secara komersial. Mengidentifikasi gulma yang sedang tumbuh di tengah-tengah tanaman adalah sesuatu yang sangat sulit. Sensor yang dapat menggunakan bentuk dan warna daun untuk mengenal gulma dari tanaman akan membantu membawa VRA pada penanganan gulma (Kuhar, 1997). Sistem atau sensor yang mengenal gulma dengan VRT yang membawa bermacam pestisida, akan memungkinkan penanganan gulma dengan baik. Jika gulma diketahui lokasinya dan teridentifikasi, maka bahan kimia yang sesuai dapat diaplikasikan untuk itu.
-
Sistem air dan irigasi (water and irrigation system) Perkembangan berkelanjutan dari sensor pengukur lengas tanah memungkinkan VRA untuk air melalui sistem irigasi center-pivot (Kuhar, 1997). Selain itu, bahan kimia juga dapat diaplikasikan pada tempat tertentu berkaitan dengan air irigasi.
-
Diagnosa tanaman (crop diagnosis) Penyakit atau kekurangan hara mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil, seringkali ditunjukkan melalui pewarnaan daun yang luar biasa atau tidak teratur, pola kehitaman pada daun-daun tanaman. Sistem mesin visi (machine vision systems) yang digabungkan
dengan sistem informasi
diagnostik tanaman dan DGPS, akan memungkinkan pemetaan otomatis penyakit tanaman atau kekurangan hara untuk keperluan perlakuan yang tepat (Kuhar, 1997). -
Pemanenan (harvesting) Aplikasi VRT untuk pemanenan lebih banyak dilakukan pada tanaman butiran (grain crops), sedangkan untuk tanaman non-butiran (non-grain crops) sedang atau telah dikembangkan (Kuhar, 1997). Pada pemanenan tanaman butiran, untuk mengetahui hasil saat panen dengan segera, maka komponen yang bekerja bersama untuk mengukur aliran yang ada dan laju yang sedang bekerja, serta untuk menghitung, menampilkan, dan
104
merekam hasil panen adalah grain flow sensor, grain moisture sensor, ground speed sensor, header position switch , dan display console (Gambar 21).
Gambar 21 Sistem pe mantauan hasil panen tanaman butiran (Kuhar, 1997).
Crop Scouting, Data Analysis, dan VRA Pada musim pertumbuhan tanaman dilakukan pemantauan kondisi tanaman, seperti analisa hara daun, gulma, dan penyakit tanaman, untuk kemudian dianalisa dan diaplikasikan dalam variable rate application (VRA). Terekamnya bagian lahan yang bermasalah dengan DGPS dan adanya software yang tepat maka perlakuan yang presisi dapat dimungkinkan.
Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personil, yang didisain
untuk
memperoleh,
menyimpan,
memperbaiki,
memanipulasi,
menganalisa, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). Definisi lain dari SIG adalah suatu sistem informasi yang dapat memadukan data grafis dengan data teks (atribut) objek yang diikat secara geografis di bumi /georeference (WK, 2001). SIG dapat menggabungkan data data,
memanajemen
kemudian
melakukan
analisis
sehingga
akhirnya
menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijaksanaan atau keputusan dari kasus yang dihadapi. Secara sederhana, SIG
105
dapat didefinisikan sebagai sistem komputer yang mempunya i kemampuan pencakupan dan penggunaan data yang mendeskripsikan tempat-tempat pada permukaan bumi (Gambar 22).
Gambar 22 Konsep Sistem Informasi Geografis (ESRI, 1990). Komponen SIG dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu perangkat keras (computer hardware), perangkat lunak (set of application modules), perangkat otak/manajemen ( a proper organizational context), dan data -informasi geografi. Komponen SIG disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Komponen Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001).
106
Komponen perangkat keras SIG yang umum terdiri dari CPU (Central Processing Unit), VDU (Visual Display Unit), digitizer , plotter, disk drive , dan tape drive (Gambar 24).
Disk drive
Digitizer
CPU
Plotter
VDU
Tape drive
Gambar 24 Komponen utama perangkat keras SIG (Burrough, 1986).
Perangkat lunak SIG terdiri dari lima modul teknik dasar, yaitu (1) masukan data dan verifikasi, (2) penyimpanan data dan manajemen basis data, (3) keluaran data dan presentasi, (4) transformasi data, dan (5) interaksi dengan pengguna. Perangkat otak/manajemen menangani perangkat lunak yang canggih dan perangkat keras yang khusus, berupa pakar yang terlatih sebagai penghubung antara problem tematik dan penggunaan SIG untuk menyelesaikan masalah. Hal ini berarti bahwa staf SIG harus mempunyai pengetahuan menangani masalah teknis SIG dan pendidikan khusus yang berhubungan dengan tugas tertentu, misalnya pemecahan masalah khusus pemodelan dengan menggunakan alat Bantu SIG, menerjemahkan metode keilmuan ke bahasa SIG, tata letak dan produksi peta, pengelolaan basis data, dan lain sebagainya. Proses yang bekerja dan terkait dengan SIG adalah masukan data (input), kegiatan pembuatan peta tematik (analysis), dan peta-peta tematik hasil analisis (output). Data-data yang digunakan dalam SIG umumnya dapat dibagi menjadi 3 bagian besar, yaitu:
107
1) Data grafis a) Data raster, yaitu semua data digital yang didapat dari scanning dan datadata lain yang belum dalam format vektor. b) Data digital, adalah data-data digital yang didapat dari hasil digitasi yang telah dilengkapi dengan data-data teks dan data -data atribut lain, misalnya jaringan jalan beserta namanya, Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan anak-anak sungainya. 2) Data tabular, adalah data-data selain data grafis yang berupa data pendukung, berupa teks, angka, dan data pendukung lain. 3) Data vektor, adalah data-data digital atau data-data yang telah diubah ke dalam bentuk digital dan telah dilengkapi dengan data -data objek atau informasi objek. Menurut Suharnoto (1995), persoalan-persoalan yang dapat diselesaikan dengan SIG menyangkut: 1) Lokasi Pertanyaan yang sering menyangkut lokasi adalah : “What is at …?” Pertanyaan ini ingin mengetahui apa yang ada pada lokasi tertentu. Lokasi dapat dijelaskan dengan menggunakan banyak cara. Sebagai contoh adalah: nama tempat, kode pos, atau referensi geografi seperti lintang dan bujur. 2) Kondisi Pertanyaan yang menyangkut kondisi adalah : “ Where is it ?”. Pertanyaan ini adalah kebalikan pertanyaan sebelumnya dan memerlukan analisa spasial untuk menjawabnya. Disamping ingin mengidentifikasi apakah yang terdapat pada lokasi tertentu, lokasi dengan kondisi yang diinginkan dapat dicari (misalnya bagian lahan berhutan yang luasnya lebih dari 2000 m2 , jalur selebar 100 m dari jalan, dan dengan tanah yang sesuai untuk mendukung bangunan). 3) Kecenderungan Pertanyaan yang menyangkut kecenderungan adalah : “What has changed since ….?”
Pertanyaan ini melibatkan dua pertanyaan sebelumnya dan
mencari perbedaan pada area menurut perbedaan waktu.
108
4) Pola Pertanyaan yang menyangkut pola adalah : “What spatial pattern exist ?” Pertanyaan ini lebih rumit dari sebelumnya. Ilustrasi penggunaan pertanyaan ini misalnya untuk menentukan apakah ada pola-pola yang teratur mengenai tingkat kematian penduduk akibat kanker di daerah-daerah yang dekat pembangkit tenaga nuklir.
Yang cukup penting adalah informasi berapa
banyak penyimpangan (anomali) yang ada, yang tidak tepat dengan pola dan keberadaannya. 5) Pemodelan Pertanyaan yang menyangkut pemodelan adalah : “What if …?” Pertanyaan ini untuk mendetermin asi apa yang terjadi. Sebagai contoh, dampak apa yang terjadi jika jalan baru ditambahkan pada suatu jaringan jalan. Contoh lain adalah sampai sejauh mana bahaya yang ditimbulkan jika bahan beracun berbahaya meresap ke air
tanah ? Untuk menjawab jenis -jenis pertanyaan
tersebut, diperlukan informasi geografi dan informasi lainnya sesuai bidang yang dihadapi.
Sistem Pendukung Keputusan Pendekatan sistem ditandai oleh dua hal, yaitu (i) semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (ii) suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Manetsch dan Park, 1977). Pendekatan sistem dapat bekerja sempurna apabila mempunyai delapan unsur yang meliputi (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, dan (8) aplikasi komputer (Eriyatno, 2003). Metode untuk penyelesaian permasalahan yang dilakukan dengan pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap proses (Gambar 25). Analisa kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam melakukan analisa kebutuhan ini dinyatakan kebutuhankebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap
109
KEBUTUHAN
ANALISA SISTEM
tidak
LENGKAP ? ya
GUGUS SOLUSI YANG LAYAK
PERMODELAN SISTEM tidak
CUKUP ? ya
MODEL ABSTRAK OPTIMAL
RANCANG BANGUN IMPLEMENTASI tidak
CUKUP ? ya
SPESIFIKASI SISTEM DETAIL
IMPLEMENTASI Informasi normatif dan positif
tidak
PUAS ? ya
SISTEM OPERASIONAL
OPERASI tidak r e-evaluasi dari penampilan
PUAS ? ya
Gambar 25 Tahap Pendekatan Sistem (Manetsch dan Park, 1977).
110
kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan.
Analisa kebutuhan sangat sulit
dilakukan terutama dalam menentukan kebutuhan yang dapat dipenuhi dari sejumlah kebutuhan-kebutuhan yang ada (Manetsch dan Park, 1977).
Analisa
kebutuhan harus dilakukan secara hati-hati dalam menentukan kebutuhankebutuhan dari semua orang dan institusi yang dapat dihubungkan dengan sistem yang telah ditentukan.
Hal tersebut meliputi manajer atau administrator dari
sistem, distributor hasil dari suatu sistem, pemakai barang atau jasa yang berasal dari suatu sistem dan yang terakhir adalah perancang dari sistem itu sendiri. Analisa kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem.
Analisa ini dapat
meliputi hasil suatu survei, pendapat seorang ahli,, diskusi, observa si lapang, dan sebagainya. Analisa Sistem didasarkan pada penentuan informasi yang terperinci yang dihasilkan selama tahap demi tahap proses (Eriyatno, 2003). Bila mungkin hal ini dikembangkan menjadi suatu pernyataan tentang bagaimana sistem harus bekerja agar memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan di mana jumlah keluaran yang spesifik dapat ditentukan, serta kriteria jalannya sistem yang spesifik agar mencapai suatu optimasi. Pernyataan analisa suatu sistem didefinisikan sebagai gugus kriteria perila ku sistem yang kemudian dievaluasikan. Dalam beberapa hal pernyataan tersebut didefinisikan secara terperinci, sebagai semua hal yang relevan terhadap peubah-peubah yang ditetapkan dan peubah rancangan yang dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi kelakuan sistem, keadaan/kondisi lingkungan di mana sistem berjalan, sehingga keluaran yang tidak diharapkan dapat dihindari. Analisa Sistem ditulis dalam bentuk diagram alir deskriptif (Eriyatno, 2003). Dalam tahap ini ada tiga prinsip dasar yang dapat membantu dalam menentukan batasan-batasan yang sesuai dengan sistem dan lingkungan. Pertama, antara sistem dan lingkungan dibatasi oleh suatu hubungan sebab-akibat yang lemah sehingga faktor kondisi lingkungan dapat diabaikan.. Kedua, untuk dapat membantu dalam penggunaan secara operasional, konstruksi sistem dilakukan sedemikian rupa sehingga antara faktor dengan faktor ada jarak dan
111
memungkinkan dilakukan kontrol.
Ketiga, luasnya dari batasan suatu sistem
diperjelas sehingga mempengaruhi ketepatan dalam analisa. Permodelan sistem diawali dengan penguraian seluruh komponen yang akan mempengaruhi efektivitas dari operasi system (Eriyatno, 2003). Setelah daftar komponen tersebut lengkap, langkah selanjutnya adalah penyaringan komponen mana yang akan dipakai dalam dalam pengkajian tersebut. Untuk ini diperlukan interaksi dengan para pengambil keputusan serta pihak lain yang amat terlibat pada sistem. Hal ini umumnya sulit karena karena adanya interaksi antar peubah yang seringkali mengaburkan proses isolasi satu peubah. Peubah yang dipandang tidak penting ternyata mempengaruhi hasil studi setelah pengkajian selesai. Untuk menghindari hal ini, diperlukan percobaan pengujian data guna memilih komponen kritis.
Setelah itu dibentuk gugus persamaan yang dapat
dievaluasi dengan mengubah-ubah komponen tertentu pada batas yang ada. Tahap permodelan lebih kompleks, namun relatif tidak banyak ragamnya ditinjau baik dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan model. Permodelan abstrak menerima masukan berupa alternatif sistem yang layak (Manetsch dan Park, 1977). Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan kinerja dari sistem yang dihasilkan. Untuk membentuk model abstrak terdapat dua cara pendekatan (Eriyatno, 2003). Pertama, pendekatan kotak gelap yaitu melakukan identifikasi model sistem dari informasi yang menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan. Melalui berbagai teknik statistik dan matematik, model diturunkan di mana dicari yang paling cocok pada data operasional. Sebagai contoh adalah model ekonometrik pada pengkajian ilmu-ilmu sosial. Metode ini tidak banyak berguna pada perancangan sistem yang kenyataannya belum ada, di mana tujuan sistem masih berupa konsep. Kedua, pendekatan terstruktur yaitu dengan mempelajari secara teliti struktur sistem dari teori-teori guna menentukan komponen basis sistem serta keterkaitannya. Melalui permodelan karakteristik dari komponen sistem serta kendala -kendala yang disebabkan adanya keterkaitan antar komponen, maka model secara keseluruhan secara berantai dibentuk. Pendekatan terstruktur banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian system fisik dan non-fisik.
112
Pada beberapa kasus tertentu, pendekatan kotak gelap dan terstruktur dipakai secara bersama -sama,
misalnya
pembuatan
model
penge ndalian
lingkungan industri di mana karakteristik setiap unit industri dianggal sebagai Kotak Gelap. Dengan demikian dapat diperoleh informasi yang lebih baik serta dihasilkan model yang lebih efektif.
Tahap permodelan mencakup juga
penelaahan yang teliti tentang asumsi model, konsistensi internal pada struktur model, data masukan untuk pendugaan parameter, hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual, serta perbandingan model dengan kondisi aktual sejauh mungkin. Hasil dari tahap permodelan adalah deskripsi dari model abstrak yang telah melalui uji permulaan atas validitasnya. Pemakaian komputer sebagai pengolah data dan penyimpan data tidak dapat dapat diabaikan dalam pendekatan system (Eriyatno, 2003). Pada tahap implementasi komputer, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir, dan diagram blok. Tahap ini seolah-olah membentuk model dari suatu model, yaitu tingkat abstraksi lain yang ditarik dari dunia nyata. Hal yang penting adalah memilih teknik dan bahasa komputer yang digunakan untuk implementasi model. Kebutuhan ini akan mempengaruhi ketelitian dari hasil komputasi, biaya dari operasi model, kesesuaian dengan komputer yang tersedia, dan efektivitas dari proses pengambilan keputusan yang akan menggunakan hasil model tersebut.
Setelah program komputer dibuat untuk
model abstrak di mana format masukan/keluaran telah dirancang serta memadai, maka sampailah pada tahap pembuktian (verifikasi), bahwa model komputer tersebut mampu melakukan simulasi dari model abstrak ya ng dikaji. Pengujian ini mungkin berbeda dengan uji validasi model itu sendiri. Validasi model adalah usaha menyimpulkan apakah model sistem yang dibuat merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji di mana dapat dihasilkan kesimpulan yang me yakinkan (Manetsch dan Park, 1977). Validasi adalah suatu proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model komputer.
Pada umnya validasi dimulai dengan uji
sederhana seperti pengamatan atas tanda aljabar, tingkat kepangkatan dari besaran, format respons, arah perubahan peubah apabila masukan atau parameter diganti-ganti, dan nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem.
113
Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai dengan jenis model. Apabila model mempertanyakan sistem yang sedang berjalan maka dipakai uji statistik untuk mengetahui kemampuan model di dalam mereproduksi perilaku terdahulu dari sistem.
Uji statistik ini dapat memakai perhitungan koefisien
determinasi, pembuktian hipotesa melalui analisa sidik ragam, dan sebagainya. Pada permasalahan kompleks dan mendesak, maka disarankan proses validasi parsial, yaitu tidak dilakukan pengujian keseluruhan model system (Eriyatno, 2003). Hal ini mengakibatkan rekomendasi untuk pemakaian model yang terbatas dan bila perlu menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya. Apabila model abstrak digunakan untuk merancang suatu sistem yang belum ada, maka teknik statistik tidak berlaku.
Validitas model hanya
bergantung pada bermacam teori dan asumsi yang menentukan struktur dari format persamaan pada model serta nilai-nilai yang ditetapkan pada parameter model.
Umumnya disarankan untuk melakukan uji sensitivitas dan koefisien
model melalui iterasi simulasi pada model komputer. Model
untuk
perancangan
keputusan
dan
menentukan
kebijakan
operasional akan mencakup sejumlah asumsi, misalnya asumsi tentang karakteristik operasional dan komponen serta sifat alamiah dari lingkungan (Eriyatno, 2003). dievaluasi
Asumsi-asumsi tersebut harus betul-betul dimengerti dan
bilamana model digunakan untuk perencanaan atau operasi.
Manipulasi dari model dapat menuju pada modifikasi model untuk mengurangi kesenjangan antara model dengan dunia nyata.
Proses validasi seyogyanya
dilkakukan kontinyu sampai kesimpulan bahwa model telah didukung dengan pembuktian yang memadai melalui pengukuran dan observasi.
Suatu model
mungkin telah mencapai status validasi (absah) meskipun masih menghasilkan kekurangbenaran keluaran. Di sini model absah karena konsistensinya, di mana hasilnya tidak bervariasi lagi. Para pengambil keputusan merupakan tokoh utama dalam tahap aplikasi model di mana model dioperasikan untuk mempelajari secara mendetail kebijakan yang dipermasalahkan (Manetsch dan Park, 1977). Hasil dari permodelan abstrak merupakan gugus mendetail dari spesifikasi manajemen. Informasi yang timbul setelah proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan
114
kembali proses Analisa Sistem dan Permodelan Sistem.
Pada kasus tertentu,
pengulangan itu bisa hanya mengubah asumsi model namun pada hal lain dapat juga berarti merancang suatu model abstrak yang baru sama sekali. Hal ini sesuai fakta bahwa pendekatan sistem dalam suatu lingkungan dinamik adalah proses yang berkesinambungan, mencakup penyesuaian dan adaptasi melalui lintasan waktu. Pemikiran kesisteman didasarkan pada falsafah 1) cara berpikir a) sibernetik
: satu pemikiran yang berorientasi pada tujuan (goal
oriented ) b) holistik
: pemikiran secara utuh/total
c) efektif
: secara operasional harus bisa dilakukan
2) perihal a) kompleks
: faktor dan parameternya banyak
b) dinamik
: fungsi-fungsinya berubah menurut waktu
c) probabilistik : mengandung ketidakpastian (uncertainty) 3) alur pikir (Gambar 26) desirable
I
O
P undesirable C
Gambar 26 Alur pikir kesisteman. yang mana I P O
: masukan (input) : pengolahan (process ) : keluaran (output)
C
: pengendalian (control)
Teknik dan metodologi dalam pemikiran kesisteman dibedakan menjadi tiga jenis seperti disajikan pada Tabel 6.
115
Tabel 6 Teknik dan metodologi kesisteman Teknik dan Metodologi
I
P
O
System Analysis
v
v
?
System Design
v
?
v
System Control
?
v
v
Keterangan : v = diketahui
? = tidak diketahui
Pendekatan secara sistem dalam pengambilan keputusan dikenal dengan istilah Sistem Pendukung Keputusan/SPK atau Decision Support System/DSS (Eriyatno, 2003). Konsep dari rancang bangun dan pengembangan SPK terdiri dari tiga elemen utama, yaitu (1) pengoptimalan kriteria dalam merancang bangun sistem, (2) proses rancang bangun sistem secara total, dan (3) proses rancang bangun sistem secara mendetail. Menurut Minch dan Burn (dalam Eriyatno, 2003), istilah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) merupakan konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Karakteristik pokok yang melandasi teknik SPK adalah: 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan; 2) dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap ganda; 3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen; 4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampua n berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Menurut Keen dan Morton (dalam Eriyatno, 2003), model SPK pada manajemen modern lebih menekankan pada pengambilan keputusan yang berkonsep efektivitas daripada efisiensi.
Efisiensi adalah melaksanakan suatu
tugas sebaik mungkin sehubungan dengan kriteria penampakan yang telah ditentukan lebih dahulu, misalnya biaya operasi, waktu pelaksanaan, dan tenaga kerja. Efektivitas mencakup identifikasi apa yang seyogyanya dikerjakan dan menjamin bahan kriteria yang terpilih adalah yang mempunyai relevansi dengan tujuan. SPK akan mempunyai efektivitas yang tinggi bila permasalahan yang
116
dihadapi adalah masalah yang strategis atau taktis sampai derajat tertentu (Kuntoro dalam Agustedi, 1994). Menurut Eriyatno (2003), pemanfataan SPK akan layak jika memenuhi semua karakteristik sebagai berikut: 1) eksistensi
dari
basis
data
yang
sangat
besar
sehingga
sulit
mendayagunakannya; 2) kepentingan transformasi dan komputasi pada proses mencapai keputusan; 3) adanya keterbatasan waktu, baik dalam penentuan hasil maupun dalam prosesnya; 4) kepentingan akan penilaian atas pertimbangan akal sehat untuk mengetahui pokok permasalahan, serta pengembangan alternatif dan pemilihan solusi. Model konsepsional dari SPK merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama pendukung keputusan, yaitu
para pengambil
keputusan/pihak pengguna (user), model, dan data (Eriyatno, 2003). Struktur dasar SPK disajikan pada Gambar 27. Sistem Manajemen Dialog merupakan satu-satunya subsistem yang berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utamanya adalah menerima masukan (input) dan memberikan keluaran keluaran (output) yang dikehendaki pengguna. Sistem ini mempunyai pilihan modus dari interaksi dengan pengguna, misalnya format tabel, bentuk penyajian grafis, dan lain sebagainya. Sistem Manajemen Basis Data merupakan basisi data yang mengandung data relevan untuk situasi yang dihadapi.
Pada komponen ini, data dapat
ditambah, dihapus, diganti, atau disunting agar tetap relevan bila dibutuhkan. Sistem Manajemen Basis Model merupakan basis model yang dapat terdiri dari model- model finansial, statistika, atau model kuantitatif lainnya yang disiapkan untuk sistem analitik.
117
DATA
MODEL
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA (DBMS)
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL (MBMS)
SISTEM PENGOLAHAN PROBLEMATIK
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
S P K
PENGGUNA
Gambar 27 Struktur Dasar Sistem Pendukung Keputusan (Eriyatno, 2003).
Sistem Pengolahan Problematik merupakan koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, dan menyerahkan keluaran ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula.
Fungsi utamanya adalah sebagai
penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antara subsistem. SPK mempunyai kemampuan umum , yaitu (1) mudah untuk digunakan, baik modifikasi maupun konstruksi, (2) akses ke berbagai sumber data, tipe, dan format berbagai masalah dan konteks, dan (3) akses ke berbagai kemampuan analisis dengan berbagai panduan dan petunjuk. Suatu SPK yang sukses harus mudah dikembangkan, mudah dimengerti, dan mudah digunakan. Melalui segala kemudahan tersebut, keputusan dapat diambil lebih bijaksana untuk kepentingan bersama menuju sasaran institusional.
Suatu keputusan aktual menjadi tidak
memakan waktu lama serta melalui prosedur birokratif dan administratif yang berbelit-belit.
118
Geostatistika Statistika konvensional secara umum tidak dapat menjelaskan data yang mempunyai hubungan ruang (Wallace dan Hawkins, 1994).
Teori peubah
regional (regionalized variable theory), yang lebih dikenal sebagai geostatistika, merupakan metodologi untuk menganalisa data yang mempunyai hubungan ruang. Geostatistika mempunyai tujuan memberikan deskripsi kuantitatif pada peubah-peubah alam yang terdistribusi dalam ruang atau dalam ruang dan waktu. Contoh dari peubah-peubah alam tersebut diantaranya adalah: (1) kedalaman dan ketebalan lapisan geologi, (2) porositas dan permeabilitas medium porus, (3) kerapatan pohon jenis tertentu di dalam hutan, (4) sifat tanah dalam suatu wilayah, (5) curah hujan dalam area tangkapan, (6) tekanan, temperatur, dan kecepatan angin dalam atmosfir, dan (7) konsentrasi polutan pada tempat yang terkontaminasi.
Konsep geostatistika meliputi semi -variogram, kriging, dan
change of support. 1
Semi-variogram Semi-variogram didefinisikan sebagai jenis dan kekuatan dari perkumpulan ruang (the strength of spatial association).
Pada satu kondisi ekstrem,
mungkin tidak ada perkumpulan ruang antara pengukuran pada dua titik, yang menyatakan data independen.
Pada kondisi ekstrem yang lain,
pengukuran mungkin menunjukkan tingkat kontinyuitas yang tinggi antara titik-titik, dengan pengukuran pada beberapa titik dapat diperkirakan pada lokasi yang dekat.
Kebanyakan fenomena praktis adalah seperti kondisi
ekstrem terakhir tersebut, yang menunjukkan beberapa keragaman acak semata -mata dan beberapa kontinyuitas ruang.
Kontinyuitas ruang
dinyatakan sebagai korelasi antara sampel-sampel yang berkurang jika jarak antara sampel-sampel bertambah dan hilang jika jaraknya cukup besar yang berarti sampel-sampel secara statistik in dependen. Jarak yang mana sampelsampel menjadi independen secara statistik dinyatakan sebagai kisaran pengaruh dari sampel (the range of influence of a sample) atau istilah lain yang digunakan adalah length.
119
Semi-variogram khusus umumnya meningkat dengan bertambahnya jarak antara sampel-sampel, kemudian berubah-ubah hingga nilai konstan yang disebut ambang (sill).
Nilai ambang (sill) ini menunjukkan tingkat
keragaman (variability ) yang ada. Nilai ambang rendah berarti data tidak berubah banyak dari titik ke titik. Nilai ambang yang sangat tinggi berarti data berubah banyak melintasi lahan.
Jarak yang mana semi -variogram
mencapai ambang disebut kisaran pengaruh dari sampel (range of influence of the sample/length ) atau secara singkat disebut kisaran (range/length ). Ambang dari semi -variogram seringkali dicirikan sama dengan keseluruhan perbedaan rata-rata dari semua data sampel dari keseluruhan lahan, tetapi ini hanya tepat untuk lahan berukuran sedang (Wallace and Hawkins, 1994). Semi-variogram mengukur hubungan biasa yang diamati di lahan untuk sampel-sampel yang diambil berdekatan yang cenderung mempunyai nilai yang sama dibanding sampel-sampel yang diambil pada bagian yang lebih jauh. Semi-variogram merupakan plot dari semi-varian (setengah kuadrat rata-rata perbedaan) dari pengukuran sampel berpasangan sebagai fungsi dari jarak (dan kadang-kadang arah) antara sampel-sampel.
Semua pasangan-
pasangan sampel yang mungkin biasanya dikelompokkan dalam kelas-kelas (lags) dari jarak dan arah yang kira-kira sama. Jumlah pasangan sampel yang diperoleh dari sejumlah sampel yang ada dirumuskan dengan Persamaan 1. P = N (N-1) / 2 ……………………………………………..
(1)
(GS, 2002) yang mana P adalah jumlah pasangan sampel dan N adalah jumlah sampel. Pada pembuatan semi-variogram, sampel-sampel ditempatkan pada grid yang berbentuk lingkaran/polar grids (Gambar 28).
120
Gambar 28 Semi-variogram grid (GS, 2002).
Gambar 28 menunjukkan 8 pembagia n arah melingkar (0°, 45°, 90°, 135°, 180°, 225°, 270°, 315°) dan 4 pembagian jarak radial (100, 200, 300, 400) sehingga terdapat 32 sel. Jarak pasangan sampel dirumuskan sebagai h = √ (X2 – X1)2 + (Y 2 – Y1)2 ………………………………… (2) (GS, 2002) Arah pasangan sampel dirumuskan sebagai
θ = arctan
Y2 – Y1 ……………………………………… (3) X2 – X1
(GS, 2002) Semi-variogram γ(h) didefinisikan sebagai : γ(h) = ½ rata-rata [Z(x + h) – Z(x)]2 …………………….…… (Wallace and Hawkins, 1994)
(4)
121
di mana Z(x) adalah nilai peubah yang diukur pada lokasi geografis x. Dalam terminologi geostatistika, Z(x) disebut peubah regional (regionalized variable ). Semi-variogram tergantung pada jarak h antara x dan x + h, tetapi juga mungkin tergantung pada arah dari x ke x + h; jika keadaannya demikian maka semi -variogram adalah anisotropik. Jika γ(h) hanya tergantung pada jarak, maka semi-variogram adalah isotropik. Hal ini adalah asumsi dari variografis bahwa semi-variogram tidak tergantung pada x. Dalam kata lain, sifat dasar dan kekuatan hubungan dari Z(x) pada beberapa titik dan pada beberapa titik lain tergantung pada jarak antara titik-titik tersebut, tetapi tidak pada di mana pasangan titik-titik dilokasikan dalam lahan. Z(x) yang tidak cocok dengan asumsi ini memerlukan metode geostatistika yang lebih canggih (Wallace dan Hawkins, 1994). Secara teoritis, semi -variogram akan mela lui nol karena sampel- sampel yang diambil secara tepat pada lokasi yang sama mempunyai nilai-nilai sama, tetapi seringkali semi-varian tidak bernilai nol karena jaraknya cenderung tidak sama dengan nol. Semi-varian yang tidak bernilai nol disebut nuggeteffect, yang merepresentasikan tingkat ketidaksamaan yang dapat dilihat antara dua pengukuran yang diambil sedekat mungkin dengan satu yang lain, misalnya antara dua sampel dari bagian yang berdekatan. Jika tidak ada perkumpulan ruang antara sampel-sampel, misalnya perkumpulan sama sekali acak, maka ini dinyatakan sebagai pure nugget effect. Ilustrasi untuk semi variogram disajikan pada Gambar 29. Ilustrasi untuk plot data dengan lag distance dan arah semi -variogram disajikan pada Gambar 30. Untuk banyak tujuan geostatistika, γ(h) dinyatakan sebagai fungsi matematis dari h.
Semi-variogram mempunyai beberapa bentuk, yaitu exponential,
Gaussian, quadratic, rational quadratic, power, linear, wafe, spherical, logarithmic, pentaspherical, dan cubic (GS, 2002) seperti disajikan pada Gambar 31. Bentuk semi -variogram yang paling umum adalah spherical, yang mempunyai aplikasi yang luas dalam situasi-situasi lahan (Clark I, 1979).
122
ã(h)
Range (A) Model Semi-variogram Curve
Scale (C)
Sill Pairs Experimental Semi-var iogram Curve
Nugget Effect (Co)
Gambar 29 Ilustrasi semi -variogram (GS, 2002).
Z(p,1)
Z(p,2)
Z(p,3)
Z(p,j+1)
Z(p,q)
Z(i+1,1)
Z(i+1,2)
Z(i+1,3)
Z(i+1,j+1)
Z(i+1, q)
Z(3,1)
Z(3,2)
Z(3,3)
Z(3,j+1)
Z(3,q)
Z(2,1)
Z(2,2)
Z(2,3)
Z(2,j+1)
Z(2,q)
Z(1,1)
Z(1,2)
Z(1,3)
Z(1,j+1)
Z(1,q)
Gambar 30 Ilustrasi plot data, lag distance, dan arah semi-variogram.
123
Keterangan Gambar 30 Z(i,j) h(a) h(b) h(c) x y d
: nilai regionalized variable pada baris i dan kolom j i = 1, 2, 3, …, p j = 1, 2, 3, …, q : kelas jarak (lag distance) 1 satuan antar pasangan regionalized variable : kelas jarak (lag distance) 2 satuan antar pasangan regionalized variable : kelas jarak (lag distance) 3 satuan antar pasangan regionalized variable : arah semi -variogram pada sumbu x : arah semi -variogram pada sumbu y : arah semi -variogram pada sumbu diagonal
Jika semi -variogram pada Gambar 29 bersifat anisotropic, maka semi -variogram berdasarkan jumlah nilai semi-variance pada lag distance yang sama pada masing-masing arah semi-variogram. Menurut Clark dan Harper (2000), perhitungan semi-variance pada arah sumbu x adalah : Semi-variance untuk lag distance a = 1 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,2)]2 + [Z(1,2) -Z(1,3)]2 + [Z(1,3)-Z(1,4)]2 + … + [Z(1,q-1)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3) -Z(2,4)] 2 + … + [Z(2,q-1)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3) -Z(3,4)] 2 + … + [Z(3,q-1)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,2)]2 + [Z(p,2)-Z(p,3)]2 + [Z(p,3) -Z(p,4)] 2 + … + [Z(p,q-1)-Z(p,q)]2 }/ n(a) ……………………………………………………………………….... (5) Semi-variance untuk lag distance b = 2 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,3)]2 + [Z(1,2) -Z(1,4)]2 + [Z(1,3)-Z(1,5)]2 + … + [Z(1,q-2)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,3)]2 + [Z(2,2)-Z(2,4)]2 + [Z(2,3) -Z(2,5)] 2 + … + [Z(2,q-2)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,3)]2 + [Z(3,2)-Z(3,4)]2 + [Z(3,3) -Z(3,5)] 2 + … + [Z(3,q-2)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,3)]2 + [Z(p,2)-Z(p,4)]2 + [Z(p,3) -Z(p,5)] 2 + … + [Z(p,q-2)-Z(p,q)]2 }/ n(b) ……………………………………………………………………….. (6) Semi-variance untuk lag distance a = 3 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,4)]2 + [Z(1,2) -Z(1,5)]2 + [Z(1,3)-Z(1,6)]2 + … + [Z(1,q-3)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,4)]2 + [Z(2,2)-Z(2,5)]2 + [Z(2,3) -Z(2,6)] 2 + … + [Z(2,q-3)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,4)]2 + [Z(3,2)-Z(3,5)]2 + [Z(3,3) -Z(3,6)] 2 + … + [Z(3,q-3)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,4)]2 + [Z(p,2)-Z(p,5)]2 + [Z(p,3) -Z(p,6)] 2 + … + [Z(p,q-3)-Z(p,q)]2 }/ n(c) ……………………………………………………………………….. (7) yang mana n(a) : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance a n(b) : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance b n(c) : jumlah pasangan nilai regionalized variable pada lag distance c
124
Jika semi -variogram pada Gambar 29 bersifat isotropic , maka semi -variogram berdasarkan jumlah nilai semi -variance pada lag distance yang sama pada semua arah semi-variogram. Semi-variance untuk lag distance a = 1 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,2)]2 + [Z(1,2) -Z(1,3)]2 + [Z(1,3)-Z(1,4)]2 + … + [Z(1,q-1)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3) -Z(2,4)] 2 + … + [Z(2,q-1)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3) -Z(3,4)] 2 + … + [Z(3,q-1)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,2)]2 + [Z(p,2)-Z(p,3)]2 + [Z(p,3) -Z(p,4)] 2 + … + [Z(p,q-1)-Z(p,q)]2 +[Z(1,1)-Z(2,1)]2 + [Z(2,1)-Z(3,1)]2 + [Z(3,1) -Z(4,1)] 2 + … + [Z(p-1,1)-Z(p,1)]2 +[Z(1,2)-Z(2,2)]2 + [Z(2,2)-Z(3,2)]2 + [Z(3,2) -Z(4,2)] 2 + … + [Z(p-1,2)-Z(p,2)]2 +[Z(1,3)-Z(2,3)]2 + [Z(2,3)-Z(3,3)]2 + [Z(3,3) -Z(4,3)] 2 + … + [Z(p-1,3)-Z(p,3)]2 +[Z(1,q)-Z(2,q)]2 + [Z(2,q)-Z(3,q)]2 + [Z(3,q) -Z(4,q)] 2 + … + [Z(p-1,q)-Z(p,q)]2 }/ n(a) ……………………………………………………………………….. (8) Semi-variance untuk lag distance b = 2 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,3)]2 + [Z(1,2) -Z(1,4)]2 + [Z(1,3)-Z(1,5)]2 + … + [Z(1,q-2)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,3)]2 + [Z(2,2)-Z(2,4)]2 + [Z(2,3) -Z(2,5)] 2 + … + [Z(2,q-2)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,3)]2 + [Z(3,2)-Z(3,4)]2 + [Z(3,3) -Z(3,5)] 2 + … + [Z(3,q-2)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,3)]2 + [Z(p,2)-Z(p,4)]2 + [Z(p,3) -Z(p,5)] 2 + … + [Z(p,q-2)-Z(p,q)]2 +[Z(1,1)-Z(3,1)]2 + [Z(2,1)-Z(4,1)]2 + [Z(3,1) -Z(5,1)] 2 + … + [Z(p-2,1)-Z(p,1)]2 +[Z(1,2)-Z(3,2)]2 + [Z(2,2)-Z(4,2)]2 + [Z(3,2) -Z(5,2)] 2 + … + [Z(p-2,2)-Z(p,2)]2 +[Z(1,3)-Z(3,3)]2 + [Z(2,3)-Z(4,3)]2 + [Z(3,3) -Z(5,3)] 2 + … + [Z(p-2,3)-Z(p,3)]2 +[Z(1,q)-Z(3,q)]2 + [Z(2,q)-Z(4,q)]2 + [Z(3,q) -Z(5,q)] 2 + … + [Z(p-2,q)-Z(p,q)]2 }/ n(b) ……………………………………………………………………….. (9) Semi-variance untuk lag distance c = 3 satuan ½{[Z(1,1) -Z(1,4)]2 + [Z(1,2) -Z(1,5)]2 + [Z(1,3)-Z(1,6)]2 + … + [Z(1,q-3)-Z(1,q)]2 +[Z(2,1)-Z(2,4)]2 + [Z(2,2)-Z(2,5)]2 + [Z(2,3) -Z(2,6)] 2 + … + [Z(2,q-3)-Z(2,q)]2 +[Z(3,1)-Z(3,4)]2 + [Z(3,2)-Z(3,5)]2 + [Z(3,3)-Z(3,6)] 2 + … + [Z(3,q-3)-Z(3,q)]2 +[Z(p,1)-Z(p,4)]2 + [Z(p,2)-Z(p,5)]2 + [Z(p,3) -Z(p,6)] 2 + … + [Z(p,q-3)-Z(p,q)]2 +[Z(1,1)-Z(4,1)]2 + [Z(2,1)-Z(5,1)]2 + [Z(3,1) -Z(6,1)] 2 + … + [Z(p-3,1)-Z(p,1)]2 +[Z(1,2)-Z(4,2)]2 + [Z(2,2)-Z(5,2)]2 + [Z(3,2) -Z(6,2)] 2 + … + [Z(p-3,2)-Z(p,2)]2 +[Z(1,3)-Z(4,3)]2 + [Z(2,3)-Z(5,3)]2 + [Z(3,3) -Z(6,3)] 2 + … + [Z(p-3,3)-Z(p,3)]2 +[Z(1,q)-Z(4,q)]2 + [Z(2,q)-Z(5,q)]2 + [Z(3,q) -Z(6,q)] 2 + … + [Z(p-3,q)-Z(p,q)]2 }/ n(c) ……………………………………………………………………….. (10)
125
Gambar 31 Bentuk-bentuk semi-variogram (GS, 2002).
Semi-variogram menunjukkan pure nugget effect (100% dari sill) jika γ(h) sama dengan sill pada semua nilai h. Pure nugget effect menunjukkan tida k adanya korelasi spasial ukuran contoh yang digunakan. Hal ini secara sederhana dapat dinyatakan sebagai indeks estimasi (Q) dari struktur spasial seperti pada Persamaan 11. S – NV Q = S
……............………….……………….…….. (11)
126
S dan NV masing-masing adalah sill dan nugget variance. Nilai Q bervariasi antara 0 dan 1. Jika Q bernilai 0 berarti tidak ada struktur spasial pada ukuran contoh yang digunakan. Jika nilai Q mendekati 1 berarti struktur spasial lebih berkembang dan variasi spasial dapat lebih dijelaskan oleh bentuk semivariogram. Ilustrasi untuk tingkat struktur spasial disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32 Ilustrasi tingkat struktur spasial (Lee, 2001).
127
2
Kriging Kriging adalah metode estimasi tidak bias optimal dari peubah-peubah pada lokasi-lokasi yang tidak diambil sampelnya berdasarkan pada parameterparameter dari semi-variogram dan nilai-nilai data awal.
Ilustrasi untuk
masalah tersebut disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Plot data nilai kalor (Clark dan Harper, 2000).
Gambar 32 menunjukkan plot dari pengamatan nilai kalor yang mempunyai sebaran normal dengan nilai rata-rata 24.624 MJ dan standar deviasi 2.458. Jarak grid pada plot tersebut adalah 150 m. Bentuk semi-variogram yang dihasilkan adalah linear tanpa nugget effect dengan bentuk persamaan ã(h)=0,0016h 1,25 . Pada plot tersebut terdapat satu lokasi yang tidak diambil sampelnya dengan notasi T. Nilai T diestimasi berdasarkan nilai-nilai di sekitarnya. Clark dan Harper (2000) menyimpulkan bahwa hasil estimasi semakin lebih dapat dipercaya jik a semakin dekat sampel yang digunakan untuk estimasi dan penggunaan dua sampel lebih dapat dipercaya dari pada hanya digunakan satu sampel. Untuk menyederhanakan pembahasan tersebut
128
maka diambil lokasi tanpa sampel (T) dengan lima sampel yang mengelilinginya sebagai sampel untuk estimasi (Gambar 34).
(a) nilai-nilai sampel
(b) notasi umum
Gambar 34. Ilustrasi kriging dengan 5 sampel untuk estimasi.
Nilai estimasi untuk T adalah T* = w1g 1 + w2g 2 + w 3g 3 + w4g 4 + w5g5 = 21,86w1 + 25,62w2 + 25,61w3 + 26,80w4 + 23,76w5 …… (12) di mana w1 + w2 + w3 + w4 + w5 = 1 ……………………………………. (13)
Clark dan Harper (2000) secara umum merumuskan nilai estimasi, bobot, dan estimator seperti pada Persamaan 14 – 17.
T*
m = Ó wig i = w1g 1 + w2g 2 + w3g3 + …….. + wmgm …………..……. (14) i=1
di mana m Ó wi = w1 + w2 + w3 + …… + wm = 1 ……………………………...... (15) i=1
129
ó º2 = 2w 1ã(g1 ,T) + 2w2ã(g 2,T) + 2w3ã(g3 ,T) + …. + 2wmã(g m,T) w1 w1ã(g 1, g1) + w1 w2ã(g1 , g 2) + w1w3ã(g 1 , g 3) + … + w1 wmã(g 1, gm ) +w2 w1ã(g 2, g1 ) + w2w2ã(g2 , g 2) + w2w3ã(g 2 , g 3) + … + w2wmã(g 2 , gm ) –
+w3 w1ã(g 3, g1 ) + w3w2ã(g3 , g 2) + w3w3ã(g 3 , g 3) + … + w3wmã(g 3 , gm ) …………. ……………… ………….. +wm w1 ã(g m, g1) + w mw 2ã(g m, g2) + wm w3ã(g m , g 3) + … + wm wmã(g m , g m)
– ã(T,T) ……………………………………………………………
(16)
atau secara ringkas m m m ó º2 = 2 Ó wiã(gi,T) – Ó Ó wiwjã(gi , gj) – ã(T,T) ……………..… (17) i=1 i=1 j=1 keterangan T* : T : gi : wi : ã(g i,T) : ã(g i, g j ) : ã(T,T) : ó º2 : m :
estimator (nilai estimasi) untuk T sampel yang tidak diketahui nilainya nilai sampel pada posisi i bobot sampel pada posisi i nilai semi -variance pasangan sampel g i dan T nilai semi -variance pasangan sampel g i dan gj nilai semi -variance pasangan sampel T dan T (= 0) varian estimasi jumlah sampel yang digunakan untuk estimasi
Estimasi memberi bobot rata-rata dari pengukuran-pengukuran aktual, dengan nilai bobot diturunkan dari solusi sekumpulan persamaan yang ditentukan oleh semi-variogram, lokasi, dan orientasi dari titik-titik sampel relatif terhadap yang lain dan terhadap titik atau area yang diprediksi. Bobot dipilih untuk memberikan estimasi yang tidak bias dan untuk meminimalkan varian estimasi.
Sebagai penjelasan terhadap bobot selanjutnya dicontohkan
estimasi lokasi tanpa sampel berdasarkan tiga sampel terdekat di sekitarnya sebagai sampel untuk estimasi (Gambar 35).
130
Gambar 35 Ilustrasi kriging dengan 3 sampel untuk estimasi. Substitusi nilai g 1, g 2 , dan g3 pada Persamaan 14 menghasilkan nilai estimator T* = w1g 1 + w2g 2 + w 3g 3 = 21.86w1 + 25.62w2 + 25.61w3 ………………………… (18) di mana w1 + w2 + w3 = 1 ………………………………………………
(19)
ó º2 = 2w 1ã(g1 ,T) + 2w2ã(g 2,T) + 2w3ã(g3 ,T) w1 w1ã(g 1, g1) + w1 w2ã(g1 , g 2) + w1w3ã(g 1 , g 3) –
+w2 w1ã(g 2, g1 ) + w2w2ã(g2 , g 2) + w2w3ã(g 2 , g 3) – ã(T,T) …….. (20) +w3 w1ã(g 3, g1 ) + w3w2ã(g3 , g 2) + w3w3ã(g 3 , g 3)
Selanjutnya substitusi jarak pasangan sampel (lag distance) pada Persamaan 20 menghasilkan ó º2 = 2w 1ã(212) + 2w2ã(212) + 2w3ã(150) w1 w1ã(0) + w 1w 2ã(300) + w1w3ã(335) –
+w2 w1ã(300) + w2w2ã(0) + w2w3ã(150) – ã(0) ……………….
(21)
+w3 w1ã(335) + w3w2ã(150) + w3w3ã(0)
Semi-variogram dari Gambar 33 mempunyai persamaan sebagai berikut ã(h)=0,0016h 1,25 ………………………………………………….……. (22) Substitusi pada Persamaan 21 dari nilai semi-variance yang dihitung dengan Persamaan 22 untuk setiap pasangan sampel menghasilkan
131
ó º2 = 2 x 1.2953w1 + 2 x 1.2953w 2 + 2 x 0.8399w3 w1 w1 x 0 + 1.9977w1 w2 – 2.2966w1w3 – + 1.9977w2 w1 + w2 w2 x 0 + 0.8399w2 w3 – 0 ………………...
(23)
+ 2.2966w3 w1 + 0.8399w3w2 + w3 w3 x 0 ó º2 = 2.5906w1 + 2.5906w 2 + 1.6798w3 – 3.9954 w1w2 – 4.5932 w1 w3 – 1.6798w2 w3 …………………
(24)
Jika Persamaan 24 diturunkan terhadap w 1, w2 , dan w3 maka diperoleh ∂ó º2 = 2.5906 – 3.9954w2 – 4.5932w3 = 0 ………………………... ∂ w1
(25)
∂ó º2 = 2.5906 – 3.9954w1 – 1.6798w3 = 0 ………………………... ∂w2
(26)
∂ó º2 = 1.6798 – 4.5932w1 – 1.6798w2 = 0 ………………………... ∂w3
(27)
Selanjutnya 3.9954w2 + 4.5932w3 = 2.5906 ……………………………………...
(28)
3.9954w1 + 1.6798w3 = 2.5906 ……………………………………...
(29)
4.5932w1 + 1.6798w2 = 1.6798 ……………………………………...
(30)
Jika Persamaan (29) dibagi dengan 3.9954 maka diperoleh w1 + 0.4204w3 = 0.6484 ……………………………………………..
(31)
Jika Persamaan (30) dibagi dengan 4.5932 maka diperoleh w1 + 0.3657w2 = 0.3657 ……………………………………………..
(32)
Eliminasi w1 antara Persamaan (32) dan (31) menghasilkan 0.3657w2 – 0.4204w3 = –0.2827 …………………………………….
(33)
132
Jika Persamaan (33) dibagi dengan 0.3657 maka diperoleh w2 – 1.1496w3 = –0.7730 ……………………………………………
(34)
Jika Persamaan (22) dibagi dengan 3.9954 maka diperoleh w2 + 1.1496w3 = +0.6484 …………………………………………...
(35)
Eliminasi w2 antara Persamaan (35) dan (34) menghasilkan +1.1496w3 – (–1.1496w3) = +0.6484 – (–0.7730) 2.2992w3 = 1.4214 w3 = 0.6182 Substitusi w3 pada Persamaan 35 menghasilkan w2 + 1.1496w3 = +0.6484 w2 = 0.6484 – 1.1496 w3 w2 = 0.6484 – 0.7107 w2 = –0.0623 Substitusi w3 pada Persamaan 31 menghasilkan w1 + 0.4204w3 = 0.6484 w1 = 0.6484 – 0.4204w3 w1 = 0.3885 Jika w 1, w2 , dan w3 dijumlahkan maka diperoleh w1 + w2 + w3 = 0.3885 + (–0.0623) + 0.6182 = 0.9444 Hasil penentuan bobot menunjukkan terdapat satu bobot bernilai negatif yaitu w2 (–0.0623) sehingga jika keseluruhan bobot dijumlahkan maka tidak sama dengan satu.
Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa g2 tidak dikehendaki
sebagai sampel estimator, dengan demikian nilai harapan untuk kesalahan estimasi menjadi E{0.9444µ – µ} = 0,0556µ …………………………………………... . (36)
133
Dengan kemungkinan adanya nilai negatif suatu bobot maka bentuk umum untuk nilai estimator yang optimal (tidak bias) menjadi
T*
m m = Ó wig i + ( 1 – Ó wi ) µ ………………………………………. (37) i=1 i=1
Selanjutnya estimator dikoreksi dengan + 0.0556µ untuk menjadikannya tidak bias sehingga diperoleh T* = 21.86w1 + 25.62w2 + 25.61w3 + 0.0556µ = 0.3885 x 21.86 – 0.0623 x 25.62 – 0.6182 x 25.61 + 0.0556µ = 22.73 + 0.0556µ ……………………………………………… (38) Nilai µ adalah rata-rata dari tiga sampel estimator (21.86; 25.62; 25.61) yaitu 24.36 sehingga diperoleh nilai estimasi untuk lokasi yang tidak diambil sampelnya adalah T* = 22.73 + 0.0556 x 24.36 = 22.73 + 1.36 = 24.09 MJ ó º2 = 2.5906w1 + 2.5906w 2 + 1.6798w3 – 3.9954 w1w2 – 4.5932 w1 w3 – 1.6798w2 w3 = 2.5906 x 0.3885 + 2.5906 x (–0.0623) + 1.6798 x 0.6182 –3.9954 x 0.3885 x (–0.0623) – 4.5932 x 0.3885 x 0.6182 –1.6798 x ( –0.0623) x 0.6182 = 0.9177 ó º = 0.96 MJ Setelah semi-variogram dibangun dan parameter-parameternya ditentukan, maka hasilnya dapat digunakan dalam kriging. Parameter semi -variogram seperti sill, bentuk semi -variogram, nugget effect, range, dan arah semi variogram berpengaruh pada bobot optimal dari estimator kriging (Issaks dan Srivastava, 1989). Ilustrasi untuk hal tersebut disajikan pada Gambar 36 – 45.
134
Gambar 36 Ilustrasi dua semi-variogram dengan sill berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Gambar 37 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) sill 20 dan (b) sill 10 (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Gambar 38 Ilustrasi dua semi-variogram dengan bentuk berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).
135
Gambar 39 Hasil kriging dari semi-variogram dengan bentuk (a) eksponensial dan (b) Gaussian (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Gambar 40 Ilustrasi dua semi-variogram dengan nugget effet berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Gambar 41 Hasil kriging dari semi-variogram (a) ta npa nugget effect dan (b) dengan nugget effect (Isaaks dan Srivastava, 1989).
136
Gambar 42 Ilustrasi dua semi-variogram dengan range berbeda (Isaaks dan Sriva stava, 1989).
Gambar 43 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) range 10 Dan (b) range 20 (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Gambar 44 Ilustrasi dua semi-variogram dengan arah berbeda (Isaaks dan Srivastava, 1989).
137
Gambar 45 Hasil kriging dari semi-variogram dengan (a) isotropic dan (b) anisotropic (Isaaks dan Srivastava, 1989).
Ada dua jenis kriging, yaitu kriging titik (point kriging) dan kriging blok (block kriging).
Kriging titik digunakan untuk memprediksi nilai dari
pengukuran tunggal pada lokasi (secara umum tidak diambil sampelnya). Kriging blok digunakan untuk memprediksi rata-rata regionalized variable dalam beberapa pendukung (support) yang lebih besar. Pendukung sampel adalah jumlah dari material secara fisik itu mencakup, misalnya lapisan atas tanah (topsoil) dalam 1 m2 bagian dari lahan berpusat pada beberapa lokasi. Untuk memprediksi pada lokasi yang berubah-ubah (arbitrary), kedua jenis masalah kriging memerlukan sebuah fungsi matematis eksplisit untuk semi variogram. Ilustrasi kriging titik dan kriging blok disajikan pada Gambar 46.
138
Gambar 46 Ilustrasi kriging blok dan kriging titik (Isaaks dan Srivastava, 1989). Keterangan Gambar 46 : (a) Estimasi pada daerah diarsir dilakukan dengan kriging blok yang mana blok diwakili oleh empat titik pada daerah diarsir. Sampel di sekitarnya adalah yang bertanda plus. Nilai di sebelah kanan tanda plus adalah nilai sampel. Nilai dalam tanda kurung adalah bobot hasil kriging. (b) – (e) menunjukkan hasil kriging titik dari setiap titik pada masing-masing daerah bujur sangkar di tengah.
139
Tabel 7 Tabulasi nilai estimator dan bobot kriging dari Gambar 45 Gambar
Estimator
45(b) 45(c) 45(d) 45(e) Rata-rata
336 361 313 339 337
Bobot kriging setiap sampel 1 2 3 4 5 0.17 0.11 0.09 0.60 0.03 0.22 0.03 0.05 0.56 0.14 0.07 0.12 0.17 0.61 0.03 0.11 0.03 0.12 0.62 0.12 0.14 0.07 0.11 0.60 0.08
45(a) 337 0.14 0.07 (Sumber: Isaaks dan Srivastava, 1989)
0.11
0.60
0.08
Tabel 7 menunjukkan bahwa kriging blok menghasilkan nilai estimator dan bobot yang berbeda jika dibandingkan dengan nilai estimator dan bobot masing-masing kriging titik, tetapi sama jika dibandingkan dengan nilai ratarata keempat kriging titik. Kedua jenis kriging tersebut dapat digunakan untuk memproduksi peta kontur, walaupun peta-peta berbeda dalam tujuan dan penampilan. Terutama sekali dimana ada substantial nugget effect, peta kontur yang dihasilkan kriging blok akan lebih halus dibanding yang dihasilkan kriging titik (Wallace dan Hawkins, 1994). 3 Change of support Bagian ketiga dari geostatistika ini umumnya kurang digunakan dibanding semi-variogram dan kriging namun demikian penting.
Neural Network Neural network merupakan bentuk baru perhitungan yang terinspirasi dari model biologis.
Definisi lain menyatakan bahwa neural network merupakan
model matematis yang terdiri dari elemen-elemen dalam jumlah yang besar yang diorganisir dalam lapisan-lapisan (Nelson dan Illingworth, 1991).
Menurut
Maureen Caudill dalam Nelson dan Illingworth (1991), neural network adalah sistem perhitungan dari sejumlah elemen yang terhubung dengan baik yang mana memproses informasi dengan tanggapan dinamis terhadap masukan dari luar. Neural network dikenal juga dengan nama -nama lain yaitu parallel distributed
140
processing models, connectivist/connectionism models, adaptive systems, selforganizing systems, neurocomputing, dan neuromorphic systems. Neural network mempunyai aplikasi yang luas dalam bidang-bidang biologi, bisnis, lingkungan, keuangan, perusahaan, kedokteran, dan militer. Komponen dasar dari neural network adalah processing element/PE, input dan output, weighting factors, neuron functions, activation functions , transfer functions, dan learning functions. Contoh diagram neural network disajikan pada Gambar
47.
Beberapa
paradigma
neural
network
adalah
perceptron,
ADALINE/MADALINE, brain -state-in -a-box (BSB), hopfield network , back propagation, dan self-organizing maps
Gambar 47 Diagram neural network (Nelson dan Illingworth, 1991).
141
Penelitian Terdahulu Teknologi precision farming telah berkembang dan banyak digunakan di luar negeri. Lembaga -lembaga studi dan pengkajian tentang precision farming juga banyak terdapat di luar negeri, diantaranya Centre for Precision Farming (Inggris), Precision Farming Institute (USA), Australian Centre for Precision Agriculture (Australia), dan Precision Agriculture Center (USA).
Amerika
Serikat merupakan negara yang telah banyak menerapkan teknologi precision farming , sedangkan Jepang dan Australia sedang dalam taraf penelitian dan pengkajian.
Perusahaan yang memproduksi alat dan mesin untuk precision
farming juga telah banyak berkembang di luar negeri, diantaranya KINZE Manufacturing, Inc., Agsco, Inc., dan Farmscan. Menurut Blackmore (1994), gambaran investasi awal dalam teknologi precision farming berkisar antara £10,000 - £15,000. Jika dengan teknologi precision farming semua masukan dapat dikurangi 10% maka titik impas untuk 200 ha lahan pertanian dapat dicapai dalam satu tahun. Tetapi jika yang menjadi target hanya pemupukan, maka titik impas menjadi lima tahun. Penelitian tentang precision farming telah banyak dilakukan di luar negeri, diantaranya adalah penelitian tentang keakuratan mesin pemupuk untuk precision agriculture (Goense, 1997). Pada tahun 1997, Lowenberg-DeBoar da n Swinton (dalam UMN, 2005) mempublikasikan kajian ekonomi precision farming sebagai usaha menjawab pertanyaan apakah precision farming lebih menguntungkan dibanding pertanian konvensional. Diungkapkan bahwa precision farming tidak menguntungkan pada 5 kajian, menguntungkan pada 6 kajian, dan gabungan atau tidak meyakinkan pada 6 kajian. Kajian tersebut tidak dapat dibandingkan karena bermacamnya perbedaan asumsi dan metode penghitungan biaya.
Pada kajian yang lain,
Lowenberg-DeBoar dan Aghib (dalam UMN 2005) menentukan bahwa aplikasi pupuk P dan K dengan konsep precision farming menggunakan grid ataupun berdasarkan jenis tanah tidak secara signifikan meningkatkan keuntungan bersih dibanding pertanian konvensional. Didapatkan bahwa average net return/acre pada pertanian konvensional adalah $146.93, sedangkan pada precision farming
142
berdasarkan grid diperoleh $136.99 dan $147.80 pada precision farming berdasarkan jenis tanah. Russo dan Dantinne (1997 dalam UMN, 2005) menyarankan beberapa langkah dalam membuat sistem pendukung keputusan untuk precision farming, yaitu (1) mengidentifikasi kondisi lingkungan dan biologis serta memprosesnya di lahan yang dapat dipantau dan dimanipulasi untuk perbaikan produksi tanaman, (2) memilih sensor dan peralatan pendukung untuk mencatat data dan memprosesnya, (3) memngumpulkan, menyimpan, dan mengkomunikasikan data lahan yang tercatat, (4) memproses dan memanipulasi data menjadi informasi dan pengetahuan yang bermanfaat, (5) menyajikan informasi dan pengetahuan dalam bentuk yang dapat diinterpretasikan untuk membuat keputusan. Radite et al. (2000) melakukan penelitian tentang aplikasi variable rate technology untuk pemupukan granular pada budidaya padi. Burks et al. (2000) melakukan percobaan penggunaan peralatan navigasi untuk ketepatan aplikasi pemupukan. Muchovej (2001) meneliti aplikasi teknik precision agriculture untuk tanah mineral di Florida. Murase et al. (2001) melakukan pengontrolan kandungan lengas tanah dengan teknologi precison farming. Lee (2001) melakukan penelitian pemetaan informasi lahan dan pengembangan yield sensor untuk precision farming di lahan sawah. Anom et al. (2001) melakukan penelitian tentang penentuan sampel tanah dengan real-time soil spectrophotometer untuk precision farming pada tanaman padi. Prammanee et al. (2003) membuat piranti lunak untuk menentukan rekomendasi pemupukan yang akurat terhadap aplikasi N, P, dan K pada produksi gula di Thailand yang diberi nama CaneFert 1.0. Richard et al. (2003) menyimpulkan bahwa diperlukan keterkaitan pengetahuan respon tanaman tebu terhadap tingkat hara, tekanan (stress), atau peubah yang lain dengan teknologi elektonik seperti precision farming untuk menggabungkannya dalam sistem pendukung keputusan yang dapat menghasilkan pengurangan masukan dan hasil gula yang berkelanjutan atau tinggi sehingga menjamin keuntungan global industri gula pada abad 21.
143
Cook et al. (2003) melakukan penelitian apakah precision farming tidak relevan untuk negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada negara berkembang precision farming diperlukan untuk mengelola variasi sumberdaya alam agar menjadi lebih efektif. Penekanan keperluan lebih pada kebutuhan informasi untuk mengurangi ketidakpastian keputusan.
Informasi
mempunyai nilai yang potensial untuk mengurangi kemungkinan penyimpangan keputusan. Pada tahun 2004, Prammanee et al. melakukan pembandingan hasil riil gula dengan hasil gula dari simulasi dengan piranti lunak Canegro 3.5. Analisa ekonomi untuk rekomendasi pemupukan dilakukan dengan CaneFert 1.0. Model simulasi menunjukkan bermacam respon hasil gula terhadap pemberian air dan nitrogen pada jenis-jenis tanah yang berbeda. Hasil riil berada pada kisaran batas bawah dan batas atas dari hasil simulasi yang berarti bahwa pertumbuhan tebu berakibat me ningkatnya hasil tebu karena masukan nitrogen dan irigasi. Penelitian-penelitian precision farming banyak dilakukan di perguruan tinggi sebagai penelitian disertasi, diantaranya di Cranfield University (CU, 2005). Beberapa permasalahan yang diteliti diantaranya penggunaan robot pada sistem irigasi sprinkler, pemantauan perkembangan kanopi tanaman untuk pengelolaan nitrogen, pengembangan filter untuk meningkatkan kualitas data pemetaan hasil, aplikasi praktis dari teknik precision farming , pengembangan metode untuk mengurangi biaya tinggi pada pengambilan sampel, penilaian topografi lahan untuk meningkatkan ketelitian di lahan, penentuan petunjuk pengelolaan
yang
dirancang
untuk
memaksimumkan
keuntungan
dan
meminimumkan dampak lingkungan pada produksi sereal dengan precision farming. Penggunaan neural network sebagai tool dalam precision farming telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Stone dan Kranzler (1995) mengkaji aplikasi artificial neural network dalam sistem permodelan mesin pertanian untuk mendapatkan mesin pertanian yang kuat, mempunyai toleransi kebisingan, dapat digunakan pada berbagai macam keperluan, dan dapat dikembangkan. Georing (2000) menggunakan back-propagation artificial neural network (ANN) untuk mengetahui hubungan hasil tanaman jagung dengan faktor-faktor
144
yang berpengaruh pada hasil.
Akurasi dari model tersebut adalah 80% dan
meningkat menjadi 83.5% jika data hasil tanaman yang rendah (abnormal) dibuang. Sheare et al. (2000) menerapkan penggolongan dengan artificial neural network untuk menduga keragaman spasial hasil tanaman jagung di dalam lahan. Data yang dihimpun dalam beberapa model meliputi kesuburan, elevasi, konduktivitas listrik, dan satellite imagery.
Empat dari sepuluh model yang
dibuat menunjukkan dapat digunakan sebagai alat penduga untuk optimasi hasil dengan menggunakan teknologi precision farming. Model 6 yang meliputi data kesuburan, konduktivitas listrik, dan satellite image menunjukkan model yang paling baik dalam menduga keragaman spasial hasil. Drummond
et
al.
(2002)
menggunakan neural
network
untuk
mengevaluasi hubungan antara hasil tanaman jagung dan kacang kedelai dengan konduktivitas listrik tanah dan topografi.
Hasil penelitiannya menunjukkan
keragaman hasil tanaman dari 9 sampai 67% dengan median 38%. Se lain itu juga dihasilkan peta yang dapat digunakan untuk mengarahkan pengambilan sampel dan analisa yang lebih baik untuk mengetahui keragaman di dalam lahan. Analisa dari peta tersebut juga menunjukkan bahwa peningkatan kualitas hasil analisa pada waktu berikutnya dapat dilakukan dengan memasukkan peubah tambahan. Shock et al. (2002) menggunakan neural network untuk klasifikasi perubahan penggunaan lahan.
Latar belakang penelitian tersebut adalah
pentingnya kemampuan mendeteksi dan memantau perubahan penggunaan lahan untuk menilai kesinambungan perkembangan. Shrestha dan Steward (2002) mengukur populasi tanaman jagung pada tahap pertumbuhan awal dengan pendekatan neural network.
Hal tersebut
dilatarbelakangi masalah bahwa penyebab utama keragaman hasil jagung di dalam lahan adalah keragaman populasi tanaman. Simoes et al. (2002) menggunakan neural network untuk klasifikasi dan pemisahan buah secara otomatis. Yuan dan Xiong (2002) menggunakan model neural network untuk evaluasi kualitas teh berdasarkan komposisi kimia. Penggunaan geostatistika dalam precision farming juga sudah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Beberapa diantaranya adalah
Burrough dan
145
Swindell (1997) yang mendemonstrasikan bagaimana geostatistika dan klasifikasi dengan fuzzy k-means dapat digunakan secara bersama untuk meningkatkan pemahaman praktis pada respon hasil tanaman terhadap suatu tempat. Mulla (1997) menggunakan metoda geostatistika untuk estimasi pola spasial dari bahan organik tanah, hasil uji tanah untuk unsur fosfor, da n hasil gandum sebagai kombinasi dari gambaran peta tematik dan sampel tanah. Menurut Mulla, komponen kunci dari precision farming adalah peta yang menunjukkan pola spasial karakteristik lahan. Thompson (1997) melakukan penelitian tentang spatial sampling sebagai upaya untuk estimasi atau prediksi jumlah populasi seperti jumlah peubah dalam suatu wilayah kajian sehingga dapat diprediksi suatu nilai pada tempat yang tidak diobservasi. Thompson et al. (1997) menggunakan geostatistika untuk menganalisa strukt ur spasial peubah-peubah seperti nilai-nilai hasil uji tanah. Hubungan antara hara tanah dan hasil tanaman menunjukkan bahwa aplikasi variable rate fertilizer dapat digunakan untuk mengelola ukuran keragaman di dalam lahan. Vendrusculo et al. (2002) menggunakan geostatistika untuk estimasi dan membuat peta dari atribut-atribut tanah pada tempat yang tidak diambil sampelnya. Vendrusculo et al. juga mengembangkan program komputer untuk mengelaborasi peta tanah dan melakukan analisa tanah multi lapisan melalui penggunaan geostatistika. Penelitian tentang penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam precision farming juga sudah dilakukan. Bregt (1997) mengkaji masalah yang dihadapi dan kemungkinan penggunaan SIG sebagai pendukung dalam penerapan precision agriculture. Menurut Bregt, SIG merupakan sistem untuk menyimpan, menganalisa, dan menyajikan data spasial. Kombinasi antara SIG dan modelmodel simulasi menjadi sangat relevan untuk precision farming.
Sistem
Pendukung Keputusan (SPK) yang berbasis SIG dapat dikembangkan untuk operasional dari aplikasi precision farming pada tingkat usahatani. Penelitian dikomunikasikan.
tentang
precision
farming
selalu
berkembang
dan
Pada bulan Juli tahun 2006 diselenggarakan Konferensi
Internasional ke-8 tentang precision farming di Minneapolis, USA. Sementara
146
pada bulan Agustus tahun 2006 di Sydney, Australia diselenggarakan Simposium ke-10 tentang penelitian dan aplikasi precision farming di Australia. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dapat diamati bahwa belum terdapat penelitian berkaitan dengan precision farming yang menggabungkan geostatistika, neural network , SIG, dan SPK sebagai satu kajian menyeluruh. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencapai hal tersebut khususnya untuk strategi pemupukan pada budiaya tebu.