TINJAUAN PUSTAKA Botani Tebu Tebu adalah sejenis tanaman rumput tropis tegak yang dapat tumbuh bertahun-tahun, atau lebih dari satu tahun (Chapman dan Carter 1976). Tebu disebut juga rumput raksasa yang termasuk dalam famili Gramineae, kelompok (rumpun) Andropogoneae, sub-rumpun Saccharinineae, dan genus Saccharum. Dalam genus Saccharum terdapat enam spesies tebu, yaitu : S. spontaneum L., S. robustum JESWIET et BRANDES, S. officinarum L., S. edule HASSK, S. barberi JESWIET, dan S. sinense ROXBURGH (Bakker 1999). Diantara keenam spesies tebu tersebut, Saccharum officinarum L. merupakan penghasil gula utama. Di dalam penelitian tebu, spesies-spesies selain S. officinarum L. dijadikan sebagai bahan pemuliaan yang baik dalam menghasilkan jenis -jenis tebu baru untuk menunjang perusahaan gula (Setyamidjaja dan Azharni 1992). Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang mempunyai mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian ditutup dengan tanah yang lembab. Siklus pertumbuhan tanaman tebu dimulai dari penunasan atau ‘perkecambahan’ (sprouting atau ‘germination ’), pembentukan batang (tillering), pertumbuhan tanaman (crop growth ), pembungaan (flowering), pemasakan (crop maturity) dan lewat masak, lalu pemanenan dan pertumbuhan kembali (regrowth ). Siklus kembali lagi dimulai dengan perkembangan anakan tunas, lalu diikuti dengan pertumbuhan batang tebu, pemasakan dan panen. Tanamam tebu yang tumbuh setelah dipanen tersebut disebut tanaman keprasan (ratoon). Suatu sistem perakaran baru terbentuk pada setiap tanaman ratoon. Tunas baru atau tunas primer (primary shoot) akan tumbuh yang berasal dari mata tunas ketika potongan batang atau stek tebu (sett) ditanam ke dalam tanah (Humbert 1968). Akar-akar dari stek asal (sett roots) di ruas batang tebu akan muncul, kemudian akan diikuti oleh munculnya akar-akar tunas (shoot roots) di ruas batang tersebut (Van Dillewijn 1952). Tunas-tunas sekunder (secondary shoots) akan muncul dan tumbuh mengikuti tunas primer. Tunas-tunas tersebut dapat tumbuh menjadi batang-batang tebu sepanjang 2-4 meter dan berdiameter
7
25-50 mm, tergantung oleh varietas tebu dan kondisi pertumbuhannya (Reid 1990). Dalam Gambar 1 dapat dilihat akar -akar dan tunas-tunas tebu yang berasal dari batang (stek) asal yang ditanam ke dalam tanah.
Gambar 1 Akar baru berkembang ketika batang tebu ditanam (Humbert 1968)
Akar-akar tunas tebu berkembang karena tersedianya lengas (moisture) dan nutrisi yang tersimpan di dalam stek asal, dan didukung oleh adanya akar-akar stek asal. Akar-akar tunas tersebut berukuran tebal, berwarna putih, dan berair banyak. Akar-akar tersebut mulai muncul ketika akar-akar stek asal mencapai separuh pertumbuhannya, atau sekitar 5-7 hari setelah tanam (Bakker 1999). Tanaman tebu dewasa memperlihatkan tiga tipe akar, yaitu: (1) superficial roots, (2) buttress roots, dan (3) rope systems. Superficial roots adalah akar-akar dangkal yang menyebar ke arah horisontal di bawah permuk aan tanah. Pada kondisi tanah lembab akar ini mensuplai air dan mineral-mineral ke batang dalam
8
jumlah besar. Buttress roots adalah akar-akar agak dalam di bawah permukaan tanah, berwarna putih, berair banyak, dan menyebar ke arah vertikal ke bawah dengan sudut 45-60 derajat. Rope systems adalah sistem perakaran dalam di bawah permukaan tanah yang menyebar ke arah vertikal ke bawah jauh ke dalam tanah dan berikatan satu sama lain seperti tali yang terdiri atas 15-20 akar. Akar ini menjadi sangat penting peranannya dalam menyerap air dan nutrisi terutama pada saat kekeringan (Van Dillewijn 1952).
Dalam Gambar 2 diperlihatkan
ketiga tipe akar tersebut dalam sistem perakaran tebu.
Gambar 2
Sistem perakaran tebu: s = superficial roots, b = buttress roots, dan r = rope systems (Van Dillewijn 1952)
9
Tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu pertama dinamakan ratoon pertama (R I), tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu kedua (ratoon pertama) dinamakan ratoon kedua (R II), dan seterusnya (Bakker 1999). Karena tanaman tebu baru berasal dari pangkal ruas batang tebu di atas tanaman tebu sebelumnya, maka tunas baru tanaman ratoon berkembang pada posisi yang lebih tinggi dibanding tanaman tebu sebelumnya (Van Dillewijn 1952), sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.
R II
RI P
C Gambar 3
Ilustrasi posisi tunas -tunas tebu ratoon pertama (R I) dan ratoon kedua (R II) yang lebih tinggi dibanding tunas tebu sebelumnya (P) yang berasal dari stek asal (C) (Van Dillewijn 1952)
Batang tebu merupakan bagian terpenting dalam produksi gula, karena bagian dalamnya terdapat jaringan parenkim berdinding tebal yang mengandung nira (Setyamidjaja dan Azharni 1992). Pada saat dipanen, kandungan sukrosa pada batang tebu sebesar 10-18% dan serat 10-15% (Fauconnier 1993). Ruas-ruas batang (internodes) dibatasi oleh buku-buku (nodes) yang merupakan tempat duduk daun tebu (leaf scar).
Ukuran ruas batang tebu
bervariasi, yakni pendek di bagian bawah (pangkal) dan makin ke atas (ujung) makin panjang, kemudian menuju ke puncak (pucuk) memendek lagi. Ruas -ruas batang tebu berukuran panjang di bagian tengah. Diameter buku tebu bervariasi di sepanjang panjang batang. Diameter buku tebu maksimum berada sedikit di bawah permukaan tanah (Bakker 1999). Di atas tempat duduk mata tunas terdapat suatu lingkaran bakal akar (root band ). Dari lingkaran bakal akar tersebut akan keluar akar jika lingkaran tersebut berada dalam keadaan tertentu, misalnya tertutup di bawah permukaan tanah sehingga tunas dari mata tunas tumbuh
10
(Setyamid jaja dan Azharni 1992). Potongan batang tebu (stalk), berikut nama bagian -bagian batang, ditunjukkan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Bagian -bagian batang tebu (Humbert 1968)
Pada kondisi normal maka dalam satu periode pertumbuhan tebu akan terdapat panjang batang tebu maksimum (Van Dillewijn 1952). Sebagai contoh adalah karakteristik pertumbuhan tebu varietas POJ 2878 di Jawa Barat, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5. Dalam Gambar 5 tersebut diperlihatkan panjang batang total maksimum karena panjang batang tebu direproduksi terus hingga mencapai maksimum, yang ditunjukkan dalam bentuk kurva sigmoid (kurva A), dan pertambahan panjang tebu bulanan, yang ditunjukkan dalam bentuk kurva simetrik (kurva B). Kurva A menunjukkan laju pertumbuhan tebu yang tid ak seragam. Perkecambahan tunas tebu berjalan sangat lambat dan pertambahannya berangsur-angsur naik hingga mencapai maksimum yang selanjutnya diikuti pengurangan secara berangsurangsur dalam satu periode pertumbuhannya (kurva B).
Periode pertumbuhan
tersebut sering disebut sebagai periode pertumbuhan total (grand period of growth) (Van Dillewijn 1952).
11
P a n j a n g b a t a n g
Bulan Gambar 5 Periode pertumbuhan total tebu varietas POJ 2878 (Van Dillewijn 1952) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Tebu Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tebu meliputi faktor tanah, iklim, tanaman, dan tindakan budidaya pertanian. Rozaq (1999) menyatakan bahwa dalam melakukan budidaya pertanian perlu memperhatikan keberadaan fungsional profil tanah -tanaman, yang merupakan hasil interaksi faktor tanah-iklim-tanaman dan kegiatan budidaya, sebagai faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Faktor tindakan budidaya berupa tindakan pengolahan tanah berfungsi untuk menghasilkan struktur tanah sesaat yang sesuai dengan persyaratan awal tumbuh tanaman dan sekaligus sesuai untuk menjalankan proses interaksi dengan lingkungan (iklim) menuju kondisi struktur tanah yang menguntungkan untuk proses pertumbuhan tanaman sampai dengan pro ses produksi. Banyak faktor yang terlibat dan interaksi kompleks yang mempengaruhi pertumbuhan tebu.
Faktor-faktor yang mengontrol pertumbuhan tebu harus
diintegrasikan ke dalam lingkungan optimum.
Potensi maksimum tebu dapat
tercapai apabila hubungan tanah – tanaman mencapai optimum. Perkecambahan
12
tebu tergantung oleh kondisi lingkungan tempat bibit tebu ditanam ke dalam tanah. Pertumbuhan tunas mencapai maksimum apabila faktor-faktor internal dan eksternalnya mencapai optimum. Faktor tanah turut mempengaruhi pemunculan tunas tebu.
Tanah harus disiapkan dengan sebaik mungkin agar terpenuhi
keseimbangan yang sesuai antara tanah – air – udara (Humbert 1968).
Faktor Tanah Tanah, sebagai sumber alam dasar bagi produksi tanaman, berfungsi sebagai media hidup bagi tanaman dengan dua cara, yaitu: (1) mensuplai lengas dan mineral-mineral esensial, dan (2) menyediakan tempat bagi perkembangan akar tanaman (Chapman dan Carter 1976). Tanah-tanah lahan kering di Indonesia umumnya terdiri atas tanah Ultisol dan mungkin Oksisol (Hardjowigeno 1995).
Ultisol di Indonesia merupakan
bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya (Papua), serta sebagian kecil (sekitar 1.7 juta hektar, atau 5%) di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jawa Barat (Munir 1996). Tanah Ultisol berasal dari kata ultimus (akhir) dan solum (tanah), artinya perkembangan tanah pada tingkat akhir. Secara umum, tanah ini merupakan tanah yang mengalami penimbunan liat di horison bawah (horison B), bersifat masam, dan kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Tanah ini dulu disebut Podsolik Merah Kuning (Hardjowigeno 1995). Menurut Mohr et al. (1972) beberapa sifat fisik dan kimia tanah Ultisol: 1 Kedalaman solum s edang atau moderat (1-2 meter) 2 Warna merah sampai kuning 3 Tekstur halus pada horison Bt, karena pada horison ini kandungan liatnya maksimum 4 Struktur berbentuk blocky pada horison Bt 5 Konsistensi teguh 6 Permeabilitas lambat sampai baik 7 Erodibilitas tinggi 8 Kemasaman (pH) kurang dari 5.5 9 Kandungan bahan organik rendah sampai sedang 10 Kandungan unsur hara rendah.
13
Tanah Ultisol identik dengan tanah tidak subur. Pengolahan tanah ini sebaiknya seminimal mungkin (minimum tillage) agar lapisan tanah subur sedalam tidak lebih dari 14 cm tidah hanyut, atau terbalik, atau hilang. Bila diolah lebih dari 14 cm maka subsoil yang tidak subur dan padat akan muncul ke permukaan (Munir 1996). Pengapuran hingga pH 5.5 dianggap sudah baik, sebab yang terpenting adalah untuk meniadakan pengaruh meracun dari Al, untuk penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman, dan untuk meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah Ultisol (Hakim et al. 1986, dan Munir 1996). Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar dan produksi tanaman dapat diklasifikasikan sebagai kimia tanah (terutama hara tanah), biologi tanah, seperti serangan patogen-patogen akar, dan fisik tanah, termasuk suhu, aerasi, dan ketahanan tanah terhadap penetrasi akar-akar tanaman (Forbes dan Watson 1992). Sifat-sifat kimia, biologi, dan fisik tanah tersebut dominan dalam mempengaruhi lingkungan akar tebu (Humbert 1968). Sifat-sifat kimia tanah harus dipertimbangkan dalam menentukan potensi tanah pertanian, sebagai contoh adalah kapasitas tukar kation (KTK) dan derajat keasaman tanah (pH). KTK merupakan kapasitas tanah untuk menukar kationkation seperti H+, Ca++, dan NH4 +.
KTK digunakan sebagai indikator kasar
potensi kesuburan tanah dan tingkat kemampuan pupuk dan kapur bereaksi dengan tanah. Sifat kimia tanah yang mencirikan derajat keasaman dan kebasaan tanah dinyatakan dengan istilah pH, yang merupakan kebalikan logaritmik konsentrasi ion hidrogen (Chapman dan Carter 1976). Batas pH untuk tanah adalah berkisar dari sangat asam (pH 3.5) hingga sangat basa (pH 10.5). Tanah tanah pertanian umumnya mempunyai nilai pH 5.0 hingga 8.0 (Plaster 1992). Biologi tanah dapat berubah karena munculnya hama dan penyakit pada tanaman.
Patogen-patogen pada tanaman tertentu dapat muncul sehingga
menimbulkan penyakit, terutama pada kondisi tanah tergenang (Chapman dan Carter 1976).
Hama tanaman berupa serangga dapat hidup di dalam tanah
maupun di atas tanah. Jenis-jenis serangga seperti semut, cacing dan lain-lainnya akan bertambah dengan cepat ketika tanah tidak diolah. Sisa-sisa tanaman yang tetap berada di permukaan tanah yang lembab akibat tanah diolah akan membuat kondisi yang baik bagi kehidupan dan perkembangbiakan sejenis siput, tikus, kumbang penggerek, dan hama-hama lainnya (Miller dan Donahue 1990).
14
Produksi tanaman merupakan hasil dari semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam satu musim tanam. Salah satu faktor tersebut adalah kondisi fisik tanah yang sering mempengaruhi tanaman karena kondisi fisik tanah mengontrol lingkungan tempat akar berkembang (Davies et al. 1993).
Tekstur dan Struktur Tanah Komposisi atau perbandingan relatif partikel-partikel pasir, debu, dan liat menentukan tekstur tanah (Chapman dan Carter 1976). Tekstur tanah merupakan sifat tanah yang paling mendasar oleh karena mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya (Plaster 1992). Tekstur tanah berperan dalam mengontrol drainase, ketersediaan air, sifat tanah, dan kesesuaian (kecocokan) tanaman untuk tumbuh. Selain itu, tekstur tanah turut pula berperanan penting dalam menentukan struktur tanah, terutama dalam membentuk agregat tanah (Davies et al. 1993). Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi kemudahan tanah untuk diolah, mempengaruhi banyaknya ruang pori dalam tanah, menentukan ketersediaan air dalam tanah akibat presipitasi atau irigasi, dan menentukan infiltrasi air ke dalam tanah (Chapman dan Carter 1976). Selain itu, struktur tanah juga berfungsi untuk mengontrol pergerakan air dan pertumbuhan akar sehingga menentukan kesuburan fisik tanah (Davies et al. 1993). Dengan demikian, tanaman akan memperoleh keuntungan dengan terbentuknya struktur tanah yang baik karena: (1) pergerakan air dan udara menjadi lebih mudah, (2) pertumbuhan akar menjadi lebih mudah, dan (3) kapasitas memegang airnya tinggi (Plaster 1992). Menurut Sopher dan Baird (1982) struktur tanah di lapisan tanah atas (topsoil) menjadi sangat penting karena dapat menambah permeabilitas sehingga dapat menahan limpasan (runoff) dan mengurangi erosi. Tanah berstruktur baik akan lebih permeabel dibanding tanah berstruktur buruk. Struktur tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dengan bertambahnya permeabilitas tanah akan dapat menambah kapasitas penahanan air efektif bagi pertumbuhan akar tanaman.
Densitas Tanah Densitas tanah (soil bulk density) adalah rasio massa kering padatan tanah dengan volume tanah yang dinyatakan dalam satuan g/cm3, atau g/cc, dan
15
merupakan ukuran berat volume suatu tanah kering oven (Baver et al. 1972, Blake dan Hartge 1986, dan Plaster 1992). Volume tanah tersebut termasuk volume padatan dan ruang pori tanah. Massa kering padatan tanah ditentukan setelah dikeringkan hingga bobotnya konstan pada suhu 105ºC, dan volume tanah tersebut berasal dari sampel yang diambil di lapang (Blake dan Hartge 1986). Densitas tanah menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah, dan merupakan petunjuk kepadatan tanah.
Makin padat tanah makin tinggi densitas tanahnya, berarti
makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno 1995). Densitas tanah diukur dengan menggunakan suatu ring sampel. Tanah dari dalam ring sampel yang telah diketahui volumenya secara hati-hati dipindahkan dari lapang. Tanah tersebut selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C hingga mencapai suatu bobot yang konstan, yang sering disebut sebagai tanah kering oven (Plaster 1992). Densitas tanah dihitung menggunakan persamaan (1). DST = BTK / VLT ………………………………………………. (1) dimana DST = densitas tanah (dry bulk density), g/cc BTK = bobot tanah kering oven, g VLT = volume tanah, cc (cm3) Densitas tanah pada kebanyakan tanah permukaan berkisar 1.0 -1.6 g/cc, tergantung kondisinya. Pengolahan tanah dapat mengub ah densitas tanah secara agak cepat. Suatu alat bajak dapat dengan seketika mengubah densitas tanah dari 1.5 g/cc menjadi 0.8 g/cc.
Empat hingga lima lintasan alat pengolah tanah
sekunder di atas permukaan tanah yang terbajak dapat menyebabkan terjadinya pemadatan kembali hingga 1.4 g/cc. Biasanya penanaman terbaik pada kisaran densitas tanah 1.1-1.4 g/cc. Pada densitas tanah sebesar 1.6 g/cc maka pergerakan air dan perkembangan akar menjadi sangat terbatas. Tanah subsoil yang sangat padat bisa mempunyai densitas tanah 2.0 g/cc atau bahkan lebih, dan menyebabkan tidak ada akar yang tumbuh (Donahue et al. 1976). Pemadatan tanah adalah bertambahnya densitas tanah akibat beban atau tekanan diaplikasikan terhadap tanah.
Penyebab pemadatan tanah yaitu: (1)
pengeringan, (2) pengerutan, dan (3) gaya mekanik (Baver et al. 1972). Beberapa sifat massa tanah berubah akibat pemadatan, yang ditandai dengan bertambahnya densitas tanah dan berkurangnya porositas tanah.
Perubahan tersebut akan
16
mempengaruhi konsistensi tanah dan kapasitas menahan air, udara, dan panas, dan membatasi penetrasi akar ke dalam tanah. Pertumbuhan akar tanaman terhambat pada densitas tanah lebih dari 1.4 g/cc pada tanah-tanah bertekstur halus, atau lebih dari 1.7 g/cc pada tanah-tanah bertekstur lebih kasar (Hill 1979). Densitas tanah yang bertambah besar merupakan fungsi dari usaha pemadatan dan kadar air. Gaya yang diperlukan untuk memadatkan tanah hingga densitas tanah tertentu akan berkurang dengan bertambahnya kadar air. Densitas tanah pada kadar air yang diinginkan akan bertambah secara eksponensial dengan bertambahnya gaya yang diaplikasikan. Densitas tanah pada gaya pemadatan yang konstan akan bertambah dengan bertambahnya kadar air hingga mencapai maksimum, dan dengan terus bertambahnya kadar air menyebabkan densitas tanah turun.
Kadar air tanah yang menyebabkan densitas tanah maksimum
disebut kadar air tanah optimum untuk pemadatan (Baver et al. 1972). Penggunaan mesin -mesin pertanian dan kendaraan angkut dalam penyiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan panen disertai dengan penekanan terhadap tanah. Distribusi tekanan-tekanan tersebut dalam hubungannya dengan pemadatan tanah adalah penting dalam analisis dampak mesin dan kendaraan kendaraan terhadap sifat-sifat tanah, baik terhadap pertumbuhan tanaman maupun desain mesin untuk meminimumkan efek tersebut (Baver et al. 1972). Söhne (1958) menyebutkan bahwa distribusi tekanan dalam tanah di bawah ban tergantung oleh: (1) besar gaya (beban), yang menentukan total tekanan yang digunakan, (2) ukuran luas kontak antara ban dan tanah, yang menentukan besar gaya tekan per satuan luas, (3) distribusi tekanan dengan luas kontak, dan (4) kadar air tanah dan densitas tanah. Reaves dan Cooper (1960) mempelajari distribusi tegangan di bawah track dengan ukuran lebar 12 in dan ban dengan ukuran lebar 13 in dan diameter 18 in, yang diberi beban 3600 lb dan dioperasikan pada gaya penarikan 1500 lb. Besr tekanan terhadap tanah (ground pressure ) untuk track dan ban adalah sebesar 12.3 psi dan 25.4 psi. Perbedaan besar tekanan tersebut akibat panjang kontak track yang lebih besar dibanding panjang kontak ban. Panjang kontak track adalah 5 ft, sedangkan panjang kontak ban hanya 2 ft. Tegangan maksimum terjadi di bawah pusat pembebanan kira-kira 3 in dan selanjutnya berkurang secara lateral (ke samping) dan vertikal (ke bawah) seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.
17
Gambar 6 Isogram tegangan normal rata-rata di bawah ban dan track (Reaves dan Cooper 1960) Humbert (1968) menyebutkan bahwa distribusi akar tebu akibat pemadatan tanah pada densitas tanah sebesar 0.66-1.80 g/cc telah diteliti oleh Trouse dan Humbert (1961). Pemadatan tanah dilakukan dengan cara membebani alat angkut tebu sebesar 25-40 ton sehingga terjadi pemadatan tanah hingga kedalaman 6 inchi (15.24 cm) pada tanah kering dan hingga kedalaman 20 inchi (50.8 cm) pada tanah basah. Densitas tanah maksimum diperoleh pada 10 kali lintasan. Densitas tanah bertambah dari 0.66 g/cc hingga mencapai densitas kritik (1.80 g/cc) untuk perakaran tebu, dan porositas tanah berkurang hingga kurang dari 50%. Persentase udara berkurang dengan cepat sebesar 10% ketika densitas tanah bertambah hingga mencapai titik kritik tersebut.
Hasil studi tersebut
menunjukkan bahwa distribusi akar tebu berkurang akibat bertambahnya densitas tanah, dan menyebabkan penurunan hasil tebu untuk tanaman ratoon berikutnya. Bakker (1999) menyebutkan bahwa densitas tanah mempengaruhi bentuk sistem perakaran tebu.
Laju pemanjangan akar tebu berkurang dengan
bertambahnya densitas tanah, sebagaimana dilaporkan oleh Trouse (1965). Hubungan penambahan densitas tanah dan pengurangan laju pemanjangan akar tebu tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil pengolahan tanah yang halus cenderung menghasilkan densitas tanah yang lebih besar dibanding hasil pengolahan tanah yang lebih kasar pada kondisi yang sama. Perkecambahan biji-biji gandum cenderung lebih cepat pada hasil pengolahan tanah yang lebih halus (Hill 1979).
18
Tabel 1 Hubungan densitas tanah dan laju pemanjangan akar tebu (Trouse 1965) Densitas tanah (g/cc)
Laju pemanjangan akar tebu rata-rata (cm/hari)
1.04
2.00
1.12
1.73
1.20
1.65
1.28
1.36
1.36
0.75
1.44
0.17
Densitas tanah turut menentukan kuantitas produksi tanaman. Produksi tanaman mencapai maksimum pada kisaran densitas tanah optimum. McKyes (1985) menyebutkan bahwa densitas tanah optimum telah diteliti oleh Vomocil (1955) dan dilaporkan oleh Rosenberg (1964).
Vomocil menyatakan bahwa
produksi jagung biasa, jagung manis dan kentang lebih rendah ketika densitas tanahnya lebih rendah atau lebih tinggi dari densitas tanah optimumnya. Vomocil menampilkan persamaan parabolik untuk menggambarkan fenomena tersebut. Kehilangan produksi bertambah sebesar kuadrat selisih densitas tanah aktual dengan densitas tanah optimumnya, sebagaimana ditulis ke dalam persamaan (2). Y* – Y = C (γdry – γ*dry ) 2 ……………………………………………... (2) dimana Y* = produksi tanaman maksimum yang dapat dicapai Y = produksi tanaman aktual C = konstanta sensitivitas (kepekaan) terhadap pemadatan tanah, tergantung oleh jenis dan varietas tanaman, serta iklim γdry = densitas kering tanah (rata-rata pada kedalaman 10 – 40 cm) γ*dry = densitas kering tanah optimum untuk produksi maksimum Penelitian serupa dilakukan oleh McKyes et al. (1979) dan Negi et al. (1981). Berdasarkan hasil penelitian di tanah liat dan tanah lempung berpasir pada tahun 1976, 1977 dan 1980 diperoleh produksi jagung tertinggi pada densitas tanah optimum. Hasil penelitian tersebut disajikan dalam bentuk kurva hubungan antara densitas tanah kering (soil dry density) dan hasil bahan kering (dry matter yield), seperti ditunjukkan dalam Gambar 7. Berbagai densitas tanah pada lapisan tanah atas diperoleh dengan cara mengaplikasikan frekuensi lintasan mesin yang berbeda-beda, dimana sebelumnya tanah tersebut diolah menggunakan bajak
19 rotari hingga kedalaman ± 25 cm. Kurva-kurva dalam Gambar 7(a) dan Gambar 7(b) menggambarkan dua aspek penting yaitu efek densitas tanah terhadap pertumbuhan tanaman yang disebut fenomena densitas optimum dan peran dari presipitasi setempat (McKyes et al. 1979, dan Negi et al. 1981).
(a)
(b) Gambar 7 Hubungan antara hasil bahan kering jagung dan densitas tanah pada kedalaman 0-20 cm pada: (a) tanah liat (McKyes et al. 1979), dan (b) tanah lempung berpasir (Negi et al. 1981)
20
Porositas Tanah Sistem akar tanaman dibatasi oleh pori-pori tanah. Kehidupan di dalam tanah tergantung oleh sistem pori tanah karena pori-pori tanah tersebut digunakan untuk pergerakan air dan udara (oksigen), serta masuknya akar-akar ke dalam tanah (Forbes dan Watson 1992). Kandungan pori-pori dalam tanah (porositas tanah) mengontrol kuantitas air tersedia bagi tanaman yang dapat dipegang oleh tanah, dan kemudahan penetrasi serta perkembangan akar (Davies et al. 1993). Porositas tanah dapat dihitung berdasarkan nilai densitas tanah (DST) dan densitas partikel tanah (DPT). Densitas partikel tanah adalah bobot tanah kering per satuan volume partikel padat tanah; tidak termasuk volume pori-pori tanah (Hardjowigeno 1995). Tanah yang tidak mempunyai ruang pori maka DST = DPT, atau DST/DPT = 1. Semakin banyak ruang pori tanahnya maka DST akan semakin kecil dan rasio DST/DPT juga semakin kecil (Plaster 1992). Tanah tanah mineral pada umumnya mempunyai densitas partikel tanah rata-rata sebesar 2.65 g/cc. Dengan mengetahui besarnya densitas tanah dan densitas partikel tanah maka dapat dihitung porositas tanah, sebagaimana ditulis ke dalam persamaan (3). PST = ( 1 – DST/DPT ) x 100% ………………………………… (3) Dimana PST = porositas tanah, % DST = densitas tanah, g/cc DPT = densitas partikel tanah, g/cc. Thompson (1957) menyebutkan bahwa porositas dan densitas tanah ditentukan oleh tekstur tanah.
Semakin halus tekstur tanah akan diperoleh
densitas tanah yang semakin rendah dan porositas tanah yang semakin tinggi. Hubungan ketiga sifat fisik tanah tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hubungan tekstur, densitas, dan porositas tanah (Thompson 1957) Densitas tanah (g/cc)
Porositas tanah (%) * )
Pasir (sand)
1.6
39.6
Lempung berpasir (sandy loam)
1.5
43.4
Lempung (loam)
1.4
47.2
Lempung debu (silt loam)
1.3
50.9
Lempung liat (clay loam)
1.2
54.7
Tekstur tanah
*) Dihitung menggunakan persamaan (3) dimana DPT = 2.65 g/cc.
21
Kondisi tanah yang ideal untuk pertumbuhan tanaman adalah ketika separuh ruang pori totalnya terisi air dan separuhnya lagi terisi udara. Ketika akar-akar tanaman masuk ke dalam tanah maka akar-akar tersebut masuk ke dalam ruang pori di antara partikel-partikel padat tanah (Plaster 1992), seperti diperlihatkan dalam Gambar 8. Tanah berstruktur baik biasanya mempunyai porositas tanah sebesar 60%, dimana 20 hingga 30% udara menempati ruang pori tanah pada kapasitas lapang, ketika air baru saja berhenti terdrainase. Pada lapisan tanah yang terkompaksi berlebihan mempunyai porositas 30-40%, dimana ≤ 5% ruang porinya terisi oleh udara pada kapasitas lapang. Kehilangan pori-pori berukuran besar tidak hanya akan menghambat pergerakan udara, tetapi juga mengurangi laju drainase air dalam tanah.
Tanah yang padat menyebabkan
tahanan penetrasi tanah menjadi besar sehingga kemampuan penetrasi akarnya menjadi berkurang (Davies et al. 1993).
Pengurangan porositas tanah dapat
menyebabkan penurunan produksi tanaman.
Hal ini disebabkan karena
penyerapan air dan mineral-mineral oleh akar berkurang sehingga pertumbuhan total tanaman berkurang (Chapman dan Carter 1976).
(sel-sel akar)
(ruang pori terisi air/udara) (rambut akar) (partikel-partikel tanah)
(akar)
Gambar 8 Akar dan rambut akar tumbuh di antara partikel tanah (Plaster 1992) Akar tanaman dapat berkembang dengan leluasa di dalam tanah apabila diameter pori-pori tanah sama atau lebih besar dari diameter ujung -ujung akar (± 200 µm) dan apabila tanah mudah berubah bentuk serta aerasinya tidak terhambat. Pertumbuhan akar berhubungan dengan tahanan penetrasi tanah yang merupakan hasil kombinasi pemadatan dan kadar lengas tanah (Payne 1988).
22
Tahanan Penetrasi Tanah Penetrabilitas tanah merupakan suatu ukuran kemudahan dimana suatu objek dapat ditekan atau digerakkan masuk ke dalam tanah.
Suatu alat atau
instrumen yang digunakan untuk mengukur tahanan penetrasi tanah disebut penetrometer (Bradford 1986).
Tahanan tanah terhadap penetrasi instrumen
merupakan integrasi indeks pemadatan tanah, kadar air, tekstur, dan tipe mineral liat, atau merupakan indeks kekuatan tanah pada kondisi pengukuran tersebut. Penentuan tahanan penetrasi tanah melibatkan konsistensi dan struktur tanah. Ketika penetrometer menembus tanah maka akan mengatasi tahanan tekan, gesekan antara tanah dan metal, dan kekuatan geser tanah, yang juga melibatkan gesekan dalam dan kohesi (Baver et al. 1972). Faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan penetrasi tanah adalah kadar air tanah, densitas tanah, kompresibilitas tanah, parameter kekuatan tanah, struktur tanah, dan lain-lain (Bradford 1986). Tahanan penetrasi tanah bertambah dengan berkurangnya kadar air tanah.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tanah
bertambah besar ketika partikel-partikel tanah semakin dekat untuk berikatan selama proses pengeringan (Baver et al. 1972).
Hasil penelitian pada tanah
lempung berliat (clayey loam) di Lyons, Perancis menunjukkan bahwa tahanan penetrasi tanah bertambah dari 5 MPa hingga 30 MPa dengan bertambahnya densitas tanah dari 1.55 g/cc hingga 1.85 g/cc (Rossignol dan Debayle 2002). Tahanan penetrasi tanah sering dinyatakan dalam istilah indeks kerucut (cone index).
Indeks kerucut adalah suatu indeks tahanan geser tanah, yaitu
berupa besarnya aplikasi gaya yang diperlukan untuk menekan kerucut penetrometer ke dalam tanah (Department of Army Staff
1960), atau gaya
tahanan tanah terhadap penetrasi kerucut dibagi dengan luas dasar kerucut (Kisu 1972), atau kemampuan tanah melawan (menahan) gaya penetrasi dari suatu kerucut dan menunjukkan tingkat kekerasan tanah (Oida 1992).
Nilai yang
ditunjukkan penetrometer merupakan besarnya gaya tahanan tanah terhadap penetrasi kerucut per satuan luas dasar kerucut dan dinyatakan dalam satuan kgf/cm2 (Kisu 1972). Arkin dan Taylor (1981) menyebutkan tahanan penetrasi tanah membatasi pertumbuhan akar.
Pada tahanan penetrasi rendah maka akar tanaman dapat
menembus dengan mudah, namun kemampuan tembus akar menjadi semakin
23
berkurang dengan bertambahnya tahanan penetrasi tanah.
Tahanan penetrasi
tanah yang semakin tinggi membatasi penembusan akar-akar kapas, membatasi daya kecambah biji sorghum, dan menurunkan produktivitas kapas, sebagaimana dilaporkan oleh Taylor et al. (1966), Parker dan Taylor (1965), dan Carter et al. (1965).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut terungkap bahwa ketika
tahanan penetrasi tanahnya bertambah maka akar-akar tanaman kapas semakin sukar menembus tanah (Gambar 9), daya kecambah biji sorghum menjadi semakin rendah (Gambar 10), dan produktivitas kapas turun (Gambar 11). Bertambahnya tahanan penetrasi tanah akibat bertambahnya densitas tanah dan berkurangnya kadar air tanah menjadi penyebab berkurangnya kemampuan akarakar kapas menembus tanah (Taylor et al. 1966). Daya kecambah biji sorghum semakin berkurang pada 10 hari setelah tanam akibat bertambahnya tahanan penetrasi tanah dari 1 MPa hingga 1.6 MPa. Tidak terjadi perkecambahan biji sorghum pada tahanan penetrasi tanah lebih dari 1.6 MPa (Parker dan Taylor 1965). Produktivitas kapas berkurang secara linier dari 3600 kg/ha hingga 1450 kg/ha ketika tahanan penetrasi tanahnya, yang terukur pada kapasitas lapang,
Penembusan akar (%)
bertambah dari 0.3 MPa hingga 4.0 MPa (Carter et al. 1965).
Tahanan penetrasi tanah (MPa) Gambar 9
Efek tahanan penetrasi tanah terhadap penembusan akar-akar kapas (Gossypium hirsutum L.) di Quinlan, Columbia, Naron, dan Miles (Taylor et al. 1966)
24
Tanah Amarillo 35ºC
hari
Daya kecambah (%)
Daya kecambah (%)
Tanah Amarillo 21ºC
hari
Tahanan penetrasi tanah (MPa) Gambar 10
Daya kecambah biji sorghum yang dipengaruhi tahanan penetrasi tanah, waktu setelah tanam, dan suhu tanah (Parker dan Taylor 1965) Tahanan penetrasi tanah (psi)
Produktivitas biji kapas (lbs/acre)
Produktivitas biji kapas (kg/ha)
Tahun
Tahanan penetrasi tanah (MPa) Gambar 11 Hubungan antara tahanan penetrasi tanah dan produktivitas biji kapas (Carter et al. 1965)
25
Konsistensi Tanah Konsistensi tanah mengacu kepada gaya-gaya kohesi dan adhesi tanah, yang memperlihatkan derajat plastisitas dan pelengketan tanah (Sopher dan Baird 1982). Kohesi adalah kekuatan tarik-menarik antar molekul tanah, sedangkan adhesi adalah tegangan permukaan di antara partikel-partikel tanah.
Kohesi
maksimum tercapai pada tanah kering dan turun secara tajam ketika air memasuki (mengisi) di antara partikel-partikel tanah. Kohesi paling efektif ketika partikelpartikel individu, khususnya liat, saling berikatan. Selama konsistensi ditentukan oleh kohesi dan adhesi maka konsistensi akan tinggi pada kisaran kering (kohesi tinggi), dan pada kisaran agak basah (adhesi tinggi). Konsistensi tanah menjadi rendah pada kisaran lembab dan pada keadaan jenuh (Kohnke 1968). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsistensi tanah yaitu: (1) kadar air tanah, (2) kandungan liat, kohesi semakin tinggi pada kandungan liat yang semakin tinggi, (3) tipe liat, liat montmorillonite lebih konsisten dibanding liat kaolinite, (4) tekstur, kohesi semakin tinggi apabila ukuran partikel semakin kecil, dan (5) struktur, tanah yang dilumpurkan akan lebih kohesif dibanding yang teragregasi baik, karena mempunyai luas kontak antar individ u partikel yang lebih besar (Kohnke 1968). Ketahanan tanah terhadap perubahan bentuk adalah penting dalam melakukan tindakan pengolahan tanah dan dalam hubungannya dengan pertumbuhan akar-akar tanaman, pemadatan dan aerasi tanah. Dalam keadaan kering maka bongkah tanah terbentuk sebagai padatan yang getas (brittle), tetapi ketika kadar airnya bertambah maka kekuatan tanah akan berkurang dan deformasi plastik bertambah.
Kadar air dimana tanah berubah dari getas ke
plastik (kenyal) disebut batas plastik bawah (lower plastic limit), dan pada keadaan hampir cair disebut batas plastik atas (upper plastic limit). Perbedaan kadar air antara batas plastik atas dan batas plastik bawah disebut indeks plastisitas atau angka plastik.
Batas-batas tersebut pertama kali dinyatakan
sebagai karakteristik tanah penting oleh Atterberg, dan dikenal sebagai batas -batas Atterberg (Payne 1988).
Menurut Hardjowigeno (1995) batas plastik (batas
menggolek), atau batas plastik bawah (Payne 1988), adalah kadar air dimana gulungan tanah mulai tidak dapat digolek-golekkan lagi. Pada kadar air lebih rendah dari batas plastik maka tanah akan sukar diolah.
Batas cair (batas
26
mengalir), atau batas plastik atas (Payne 1988), adalah jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah (dalam keadaan non-alami); apabila air bertambah maka tanah bersama air akan mengalir. Baver et al. (1972) menyebutkan bahwa batas plastik menggambarkan kadar air pada perubahan dari getas ke konsistensi plastik. Batas plastik terukur pada tegangan air pF 2.8-3.3. Kohesi tanah mencapai maksimum pada kadar air sedikit di atas batas plastik. Batas cair menggambarkan kadar air tanah dimana selaput lengas (air) menjadi begitu tebal sehingga kohesi turun dan massa tanah mengalir oleh aplikasi gaya. Batas cair terukur pada tegangan air pF 0.5. Tindakan pengolahan tanah berkaitan erat dengan konsistensi tanah awal sebelum tanah diolah.
Kohnke (1968) menghubung-hubungkan status lengas
tanah dalam keadaan kering, lembab, cukup basah, basah, amat basah, dan jenuh dengan konsistensi dan hasil pengolahan tanah (Tabel 3). Tanah dalam keadaan kering berkonsistensi keras, konsistensi tanahnya tergantung oleh besar permukaan kontak per satuan volume.
Dalam keadaan lembab, tanah
berkonsistensi remah, tanah saling lekat (lengket) dengan sangat lemah, dan lunak (remah). Dalam keadaan basah, tanah berkonsistensi plastik, dan tanah dapat digulung tanpa kehilangan koherensinya (perikatannya). Dalam keadaan sangat basah dan atau jenuh maka tanah berkonsistensi kental, tanah dapat mengalir akibat tekanan atau gravitasi, dan tanah melekat pada objek dan lengket. Selama konsistensi tanah ditentukan oleh kohesi dan adhesi maka konsistensi menjadi tinggi pada kondisi lengas tanah dalam kisaran kering akibat tingginya kohesi, dan berkonsistensi cukup tinggi pada kisaran basah akibat tingginya adhesi. Konsistensi menjadi rendah pada kisaran tanah lembab dan jenuh, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 12.
27
Tabel 3 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah berkadar liat sedang hingga tinggi (Kohnke 1968) STATUS LENGAS TANAH Kering
Lembab
Cukup basah
Basah
Amat basah
Jenuh
Kering
Koefisien
Batas
Oven
Higroskopis
Remah
Nol
pF 2.8
pF 0
pF 7.0
pF 4.5
Tegangan
Bentuk Konsistensi
Keras, kasar
Remah, lunak
Plastik, lengket
Encer, mengalir
Derajat Konsistensi Relatif
Amat tinggi
Rendah
Tinggi
Amat rendah
Gaya-gaya
Kohesi
Kekuatan Sangga Tanah
Tinggi
Cukup tinggi
Rendah
Amat rendah
Praktis tidak ada
Pengolahan Tanah
Gaya penarikan alat (draft ) berat
Gaya penarikan alat (draft) ringan
Draft berat, implemen cenderung masuk ke dalam tanah, dan slip
Draft lebih ringan, traksi rendah, implemen bisa ambles
Hampir tidak mungkin bisa dilakukan
Hasil Olahan Tanah
Bongkahan tanah, berdebu
Hancuran tanah (tanah halus)
Tanah lumpur
Adhesi
Tanah mengalir
Grafik Derajat Konsistensi Relatif
Gambar 12 Efek lengas tanah terhadap konsistensi tanah (Kohnke 1968)
28
Faktor Iklim Pertumbuhan dan produksi tebu dipengaruhi oleh iklim, terutama yang berkaitan dengan suhu, jumlah (lama) penyinaran matahari, dan besarnya curah hujan. Menurut Chapman dan Carter (1976) tebu dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik di areal-areal dengan suhu minimum bulanan rata-rata 21ºC atau lebih. Tebu tidak dapat hidup pada suhu terlampau tinggi. Pertumbuhan akar tebu terbaik pada suhu 21-27ºC. Pertumbuhan akar tebu menjadi lambat pada suhu kurang dari 21ºC, dan pada hakekatnya akan terhenti atau mati pada suhu ≤ 10ºC.
Suhu minimum rata-rata untuk perkecambahan tebu adalah 18-20º.
Pertumbuhan tebu juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Hasil studi di Hawaii menunjukkan bahwa produksi batang dan kadar gula tebu turun ketik a intensitas cahaya matahari berkurang. Tebu membutuhkan curah hujan 115-130 cm/tahun untuk memperoleh produksi tinggi.
Faktor Tanaman Salah satu faktor dari tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tebu adalah varietas tanaman tebu itu sendiri. Menurut Fauconnier (1993) varietas tebu adalah suatu klon (clone) yang dikembangkan dari benih (seed) dan dikembangbiakkan melalui stek batang tebu (setts). Setyamidjaja dan Azharni (1992) menyebutkan bahwa untuk memperoleh varietas tebu unggul dapat dilakukan berbagai persilangan antarvarietas sehingga memiliki sifat-sifat produksi tinggi, tahan terhadap penyakit, dan tumbuhnya cepat. Menurut Fauconnier (1993) tujuan utama program persilangan tebu yaitu: (1) memperbaiki kemampuan tebu untuk berproduksi tinggi, (2) memperoleh kualitas dan kuantitas sukrosa yang tinggi, (3) mempercepat umur kemasakan tebu, (4) mempertinggi ketahanan tebu terhadap serangan berbagai penyakit dan adaptasi dengan lingkungan iklim setempat, dan (5) meningkatkan daya tumbuh tebu mulai dari perkecambahan hingga saat panen, termasuk penutupan tanah yang cepat sehingga kompetisi dengan gulma dapat diminimalkan.
Gulma Pada saat tanaman tebu berinteraksi dengan lingkungan maka tidak menutup kemungkinan akan bersaing dengan gulma yang tumbuh di sekitar
29
tanaman tebu tersebut. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berin teraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi. Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman dibudidayakan manusia (Humbert 1968, dan Lockhart dan Wiseman 1988). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia, dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat di mana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktivitas manusia (Sastroutomo 1990). Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan biji dan rhizom. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit diko ntrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968). Keberadaan gulma di areal tanaman dapat menimbulkan efek merugikan, diantaranya yaitu: (1) gulma menutupi atau menaungi tanaman sehingga menurunkan produksi tanaman, (2) gulma dapat menurunkan produksi tanaman akibat kompetisi dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang hidup, (2) mutu hasil panen menjadi turun akibat terkontaminasi bagian -bagian gulma, (3) gulma mengeluarkan senyawa allelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, (4) gulma menjadi inang (host) bagi hama dan penyakit yang menyerang tanaman, (5) mengggangu tata-guna air, (6) menambah biaya pengeringan karena ada bagian-bagian gulma yang ikut serta pada saat panen, (7) jenis gulma tertentu dapat meracuni dan melukai manusia dan hewan ternak, dan (8) menambah biaya penyiapan lahan dan panen (Wolfe dan Kipps 1953, Lockhart dan Wiseman 1988, dan Sukman dan Yakup 2002).
30
Forbes dan Watson (1992) menyebutkan bahwa terdapat 7 faktor yang mempengaruhi penurunan produksi tanaman akibat kompetisi dengan gulma: 1
Spesies tanaman Beberapa tanaman lebih rentan terhadap penurunan produksi dibanding tanaman yang lain akibat berkompetisi dengan gulma. Tanaman biji-bijian lebih tahan terhadap kompetisi dengan gulma dibanding tanaman -tanaman berjarak tanam lebar, karena tanaman biji-bijian mampu bersaing keras dengan gulma dan mampu menekan pertumbuhan gulma.
2
Varietas tanaman Pemilihan varietas tanaman dapat mengurangi penurunan produksi akibat kompetisi dengan gulma. Tanaman varietas tinggi dapat menekan persaingan dengan gulma dalam memperoleh cahaya matahari sehingga kehilangan produksi dapat berkurang.
3
Kerapatan tanaman Penanaman dengan kerapatan tinggi dapat menutup tanah lebih cepat dan mengurangi kesempatan gulma untuk tumbuh.
4
Spesies gulma Beberapa spesies gulma dapat menyebabkan kehilangan produksi yang lebih banyak terhadap tanaman. Spesies gulma yang mempunyai kerabat (family) yang berdekatan dengan tanaman akan sulit dibasmi secara kimiawi.
5
Kerapatan gulma Kehilangan produksi tanaman akan semakin tinggi ketika kerapatan gulmanya semakin tinggi.
6
Waktu relatif perkecambahan tanaman dan gulma Kehilangan
produksi
tanaman
akan
semakin
tinggi
ketika
saat
berkecambahnya gulma mendahului saat berkecambahnya tanaman. 7
Lingkungan tumbuh Tanaman dan gulma mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tumbuh yang berbeda. Suhu dan pH optimum untuk pertumbuhan tanam an dan gulma berbeda, juga berbeda laju respon terhadap pupuk, drainase dan irigasi. Tanaman mempunyai kemampuan merespon pupuk nitrogen yang lebih baik dibanding gulma, sehingga aplikasi pupuk tersebut dalam jumlah besar dapat mengurangi kehilangan produksi akibat kompetisi dengan gulma.
31
Tebu ditanam dengan jarak tanam yang lebar dan tumbuh dengan lambat. Kondisi tersebut memberi kesempatan bagi gulma untuk tumbuh dan menjadi pesaing pada masa awal pertumbuhan tebu (Zimdahl 1980). Pada masa tersebut gulma akan tumbuh dengan subur ketika batang tebu masih kecil atau kurang kuat untuk tegak. Gulma berdaun lebar dan rerumputan adalah dua golongan spesies gulma yang sering berkompetisi dengan tebu (Humbert 1968). Percobaan pada berbagai varietas tanaman menunjukkan bahwa kompetisi dengan gulma sering terjadi pada periode pertumbuhan tertentu.
Periode
minimum dimana tanaman harus bebas bersaing dengan gulma untuk mencegah kehilangan produksi tanaman disebut periode kritis. Oleh sebab itu pembasmian gulma secara kimiawi menggunakan herbisida dilaksanakan pada saat sebelum periode kritis dan sesudah periode kritis. Herbisida yang diaplikasikan pada saat pre-emergence harus mempunyai kemampuan mengendalikan atau menghambat perkecambahan dan pertumbuhan gulma selama periode kritis tersebut (Forbes dan Watson 1992).
Tebu memerlukan masa bebas dari persaingan dengan
gulma antara 2-3 bulan setelah tanam, karena pada saat tersebut tanaman tebu sedang membentuk dan menumbuhkan tunas-tunas induk muda serta dimulainya fase peranakan. Selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tebu 8-12 minggu (Kuntohartono 1987). Murwandono et al. (1993) melaporkan berdasarkan hasil penelitiannya pada tanah Alluvial di Bakalan, Pasuruan menunjukkan bahwa dengan menggunakan 6 metode pengolahan tanah untuk tebu diperoleh penutupan gulma yang semakin meningkat (semakin lebat) hingga umur tebu 5 minggu setelah tanam, kemudian turun dan menunjukkan kecenderungan meningkat lagi setelah umur tebu 8 minggu. Penutupan gulma maksimum pada umur tebu 5 minggu tersebut hampir sama untuk semua plot, yakni sebesar 21.6 -33.3%. Setelah umur tebu 5 minggu menunjukkan bahwa dengan metode P2 (bajak-bajak-kair), metode P4 (subsoiler-bajak-kair), dan metode P6 (subsoiler-bajak-bajak-rotavator-kair) diperoleh penutupan gulma yang lebih besar dibanding 3 metode lainnya (P1: bajak-kair, P3: bajak-bajak-rotavator-kair, dan P5: subsoiler-bajak-bajak-kair). Dengan menggunakan metode P2 diperoleh penutupan gulma pada umur tebu 6, 7, dan 8 minggu setelah tanam sebesar 13.3, 13.3, dan 15.0%, sedang dengan
32
metode P4 sebesar 11.6, 11.6, dan 13.3%, dan dengan metode P6 sebesar 8.3, 8.3, dan 10.0%. Hasil ini mengungkapkan bahwa: (1) gulma tumbuh dengan lebat pada umur tebu 4-6 minggu setelah tanam, sebagaimana telah diungkapkan oleh Kuntohartono (1987), dan (2) metode pengolahan tanah intensitas tinggi mampu menekan pertumbuhan gulma yang lebih besar dibanding metode pengolahan tanah dengan intensitas lebih rendah. Tarmani et al. (1984) meneliti gulma-gulma yang tumbuh di sekitar tanaman tebu baru (plant cane) dan tanaman tebu keprasan (ratoon) di lahan konversi (monoculture cane field ) PTP IX Sumatera Utara, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Penutupan gulma di lahan konversi PTP IX (Tarmani et al. 1984) Tebu baru Spesies gulma
umur 1 bulan
umur 2 bulan
Tebu ratoon umur 1 bulan
umur 2 bulan
Penutupan gulma (%) Gulma rumput-rumputan (grasses) : 1 Eleusine indica
8
10
1
15
2 Digitaria adscendens
18
18
0
5
3 Panicum reptans L.
1
10
0
0
4 Sorghum halepense
0
0
0
0
1 Mimosa invisa
10
10
5
5
2 Synedrella nodiflora
15
25
4
8
3 Centrocema pubescens
2
4
0
0
4 Polanisia sp.
2
4
4
8
15
8
0
0
Gulma daun lebar (broad leaves) :
Gulma teki-tekian (sedges) : 1 Cyperus rotundus
Berdasarkan data penutupan gulma pada Tabel 4 di atas nampak bahwa banyak gulma berdaun lebar merambat yang tumbuh di sekitar tanaman tebu baru dan ratoon.
Gulma-gulma tersebut dapat tetap hidup dan berkembang lebih
banyak hingga pada saat menjelang panen, karena gulma-gulma tersebut melilit tanaman tebu sampai ke atas batang tebu. Gulma-gulma berdaun sempit dan
33
berdaun lebar yang tumbuh di sekitar tebu ratoon lebih sedikit dibanding di sekitar tanaman tebu baru. Tidak dijumpai adanya gulma teki-tekian di sekitar tebu ratoon (Tarmani et al. 1984).
Faktor Tindakan Budidaya Pertanian Pertumbuhan awal suatu tanaman hingga pro duksi dipengaruhi oleh hasil pengolahan tanahnya sehingga pengolahan tanah menjadi faktor penting dalam tindakan budidaya pertanian. Disamping itu, pengolahan tanah menjadi perhatian pertama karena merupakan kegiatan awal dalam budidaya pertanian sebelum kegiatan lain dilakukan. Pengolahan tanah adalah manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menyediakan lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki struktur tanah sehingga mempermudah perkecambahan, pemunculan tanaman, dan pertumbuhan akar (Kepner et al. 1972, Hartmann et al. 1981, dan Hunt 1995). Menurut Humbert (1968), Kepner et al. (1972), Donahue et al. (1976), Hartmann et al. (1981), Davies dan Payne (1988), dan Hunt (1995) tujuan pengolahan tanah untuk tanaman lahan kering, termasuk untuk tebu lahan kering, adalah: 1
menyediakan tempat tumbuhnya tanaman, dimana tanah dibuat gembur tapi kuat agar kedalaman penanaman dan pemunculan tanamannya seragam,
2
meratakan lahan,
3
membantu mengontrol gulma, penyakit tanaman, dan serangga
4
memperbaiki kondisi fisik tanah dengan cara menambah aerasi dan infiltrasi air ke dalam tanah,
5
menjaga kelembaban tanah, karena kerak permukaan yang hancur dan tanah yang gembur akan mempermudah masuknya air, pergerakan air, dan penyimpanan air dalam tanah,
6
menambah permeabilitas oleh air di permukaan tanah dan di lapisan tanah bawah (subsoil) agar drainase dan aerasi menjadi lebih baik sehingga dapat mempermudah penetrasi akar,
7
mempersatukan dan menutup sisa-sisa tanaman di permukaan dengan tanah secara lebih efisien,
8
membantu mengontrol erosi tanah, dan
34
9
menyediakan traksi yang mantap atau stabil bagi pengoperasian mesin-mesin pertanian. Davies dan Payne (1988) menyebutkan bahwa hasil olahan tanah, berupa
tempat tumbuhnya tanaman, dikatakan baik apabila: 1
benih atau bibit dapat ditempatkan pada kedalaman tanah tertentu yang seragam,
2
benih atau bibit dapat kontak dengan tanah agar pengambilan air oleh tanaman menjadi mudah sehingga tanah harus mempunyai aerasi yang baik,
3
tanah di atas benih atau bibit harus tetap remah atau gembur sehingga tunas dapat muncul dengan mudah,
4
ruang pori tanah sekeliling benih atau bibit harus berisikan pori-pori yang cukup besar untuk menjaga agar aerasi tetap baik sehingga memudahkan pertumbuhan akar-akar muda,
5
suplai zat-zat hara yang dekat dengan benih atau bibit harus mudah, dan
6
bebas dari gulma. Pengolahan tanah dapat dipandang sebagai salah satu cara pengendalian
gulma secara mekanis. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik gulma, karena dapat memotong akar gulma sehingga mati.
Pengolahan tanah pada prinsipnya adalah melepaskan ikatan
antara gulma dengan media tempat tumbuhnya. Efektivitas pengolahan tanah dalam pengendalian gulma tergantung oleh beberapa faktor, seperti: siklus hidup gulma dan tanamannya, kedalaman dan penyebaran perakaran, lama dan luasnya investasi gulma, macam tanaman yang dibudidayakan, jenis dan topografi tanah, serta iklim (Sukman dan Yakup 2002). Plaster
(1992)
menyebutkan
bahwa
pengolahan
tanah
untuk
mengendalikan gulma dapat dibagi menjadi dua periode waktu, yaitu sebelum tanam dan sesudah tanam. Sebelum tanam, pengolahan tanah dilakukan untuk menyediakan tempat penanaman yang bebas dari gulma, yakni mengendalikan gulma selama masa pertumbuhannya. Pengolahan tanah mengendalikan gulmagulma muda yang selanjutnya dengan mudah untuk dibakar atau dikeluarkan dari areal pertanaman. Penambahan intensitas pengolahan tanah akan memperlemah
35
pertumbuhan dan perkembangbiakan gulma-gulma muda tersebut.
Sesudah
tanam, dilakukan penyiangan untuk melanjutkan pembasmian gulma-gulma muda. Menurut Radosevich et al. (1977) pengolahan tanah dengan intensitas tinggi atau berulang-ulang dapat mengakibatkan: (1) gulma-gulma di lapang habis karena terjadi pengurangan benih atau pengurangan alat perkembangbiakan vegetatif gulma dalam tanah dan pengeluaran cadangan karbohidrat bagi gulma, (2) benih-benih gulma di dalam tanah berkurang karena sebagian benih gulma yang tersimpan dalam tanah, yang akan selalu berkecambah apabila lingkungan tumbuhnya tersedia (cahaya, kelembaban, dan suhu), dapat dihambat akibat pengolahan tanah, (3) cadangan benih -benih gulma yang tersimpan dalam tanah (seed bank) dapat diberantas dengan cara pengolahan tanah seperti itu karena tidak memberi kesempatan kepada benih -benih gulma yang berkecambah tersebut untuk berkembangbiak, (4) gulma-gulma yang hidup lebih dari satu tahun atau dua tahun dapat diberantas karena cadan gan karbohidrat bagi gulma habis, dan (5) mematikan tunas-tunas gulma baru yang muncul dari sistem perakaran atau rhizome gulma.
Sistem-sistem Pengolahan Tanah Sistem pengolahan tanah dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: (1) pengolahan tanah konvensional, (2) pengolahan tanah intensitas rendah, (3) pengolahan tanah minimum, dan (4) pengolahan tanah konservasi. Pengolahan tanah konvensional (conventional tillage) ditujukan untuk mencacah sisa-sisa tanaman dan mempersatukannya ke dalam tanah. Pengola han tanah seperti ini biasanya membutuhkan energi tinggi untuk pengolahan tanah pertama, dan selanjutnya diikuti dengan pengolahan tanah kedua untuk mengendalikan gulma dan menyiapkan lahan pertanaman.
Lahan pertanaman
yang ideal berupa suatu lapisan tanah gembur yang bebas dari sisa-sisa tanaman di permukaan. Sisa-sisa tanaman yang terkubur memudahkan pengoperasian mesin tanam dan pembasmian serangga-serangga.
Gulma-gulma dikontrol oleh
pembajakan tanah dalam dan penyiangan secara mekanis (Hunt 1995). Pengolahan tanah intensitas rendah (reduced tillage) mengacu kepada suatu sistem yang tidak banyak memanipulasi tanah. Tujuan pengolahan tanah intensitas rendah adalah menghemat bahan bakar dan waktu yang tidak perlu
36
dengan cara meniadakan pengoperasian pengolahan tanah yang tidak produktif. Penghematan energi dan biaya produksi ditempuh dengan cara menggabungkan beberapa kegiatan pengolahan tanah dalam satu operasi dimana kedalaman olah tanahnya produktif. Dalam sistem ini biasanya diaplikasikan bahan-bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Hunt 1995). Pengolahan tanah minimum (minimum tillage) yaitu suatu sistem pengolahan tanah yang menghasilkan suatu lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan tanaman dan meninggalkan sisa-sisa tanaman (residu) sebagai penutup atau pelindung tanah di dekat permukaan tanah terolah sepanjang tahun. Residu yang ditinggalkan bisa ditempatkan di atas permukaan tanah, atau dicampur dengan tanah pada kedalaman tertentu oleh alat pengolahan tanah. Di atas permukaan tanah, residu ditinggalkan dalam bentuk mulsa untuk menggurangi erosi tanah oleh angin dan air. Residu yang ditinggalkan di dalam tanah dimaksudkan untuk menjaga agar permukaan tanah tetap terbuka untuk mengurangi pengerakan (crusting) permukaan tanah dan memberi kesempatan kepada air untuk meresap ke dalam tanah (Hayes 1982). Kepner et al. (1972) menyebutkan bahwa sistem pengolahan tanah minimum merupakan suatu cara untuk mengurangi biaya produksi tanaman dan memperbaiki kondisi tanah. Tujuan utama pengolahan tanah minimum adalah: (1) mengurangi kebutuhan energi mekanik dan tenaga kerja, (2) menghemat kelembaban tanah dan mengurangi erosi tanah, (3) hanya melakukan operasi pengolahan tanah untuk mengoptimalkan kondisi tanah setiap tipe areal lahan, dan (4) meminimumkan jumlah lintasan mesin di lahan. Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) didefinisikan sebagai suatu sistem yang menempatkan suatu cara untuk mengurangi kehilangan tanah akibat pengolahan tanah. Pada tanah-tanah yang mempunyai nilai erodibilitas tinggi membutuhkan prosedur pengolahan tanah konservasi. termasuk akibat erosi oleh air dan angin.
Tujuan tersebut
Salah satu cara ialah dengan
menempatkan sisa-sisa tanaman sebagai penutup tanah atau menghasilkan gumpalan-gumpalan tanah padat di permukaan tanah. Gulma dikontrol dengan cara mengaplikasikan herbisida (Hunt 1995).
37
Operasi Pengolahan Tanah Operasi pengolahan tanah dapat diklasifikasikan menjadi pengolahan tanah pertama (primary tillage) dan pengolahan tanah kedua (secondary tillage). Operasi pengolahan tanah pertama merupakan kegiatan pengolahan tanah awal dan biasanya dirancang untuk mengurangi kekuatan tanah, menutup material tanaman, dan mengatur kembali agregat-agregat tanah. Operasi pengolahan tanah kedua cenderung dilakukan untuk memperhalus kondisi tanah hasil pengolahan tanah pertama (Kepner et al. 1972). Kedalaman pengolahan tanah pertama adalah 6-36 inchi (15-91 cm), sedangkan kedalaman pengolahan tanah kedua adalah kurang dari 6 inchi (15 cm). Segala jenis bajak (plow) dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah pertama, sedangkan segala jenis garu (harrow ) biasanya dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah kedua (Smith 1955). Pengolahan tanah untuk tebu lahan kering bisa dimulai dari membongkar tunggul-tunggul tebu lama dan memperbaiki sifat-sifat fisik tanah yang buruk yang terjadi selama pertumbuhan tebu sebelumnya, seperti pemadatan tanah atau kehilangan struktur tanah terutama akibat hujan dan lintasan mesin -mesin. Oleh sebab itu pengolahan tanah untuk tebu ditujukan untuk mengatasi kekurangan kekurangan, seperti penembusan akar yang kurang dalam, aerasi dan porositas tanah yang buruk, dan adanya lapisan tapak bajak (Fauconnier 1993). Metode baku pengolahan tanah untuk tebu lahan kering meliputi kegiatan kegiatan: (1) pengolahan tanah dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah 45-50 cm, (2) pembajakan tanah (plowing), (3) penggaruan tanah (harrowing) dengan kedalaman olah 20-30 cm, dan (4) pembuatan alur tanam (furrowing), baik dengan bentuk alur V, U, atau datar, untuk menempatkan potongan-potongan bibit batang tebu dengan spasi antar alur sebesar 1-1.65 meter, umumnya sebesar 1.5 meter. Urut-urutan kegiatan pengolahan tanah tersebut didasarkan atas banyaknya musim tiap tahunnya dan waktu tersedia yang ditentukan oleh pemilihan siklus penanaman dan banyaknya pekerjaan terhadap tanah, serta banyaknya alat dan mesin pengolah tanahnya (Fauconnier 1993). Pada saat dilakukan pengolahan tanah untuk tebu maka tanah harus diolah pada kedalaman yang diinginkan, dimana lapisan tanah keras (hardpan ) dan lapisan kedap dekat permukaan dihancurkan pada saat subsoiling. Alat bajak subsoiler dioperasikan pada kisaran kadar air tanah yang sesuai supaya struktur
38
tanahnya bagus dan kedalaman olahnya bisa lebih dalam sehingga pergerakan lengas dan udara optimum. Kondisi ini akan mempercepat berkembangnya sistem perakaran tebu. Selanjutnya, tanah di permukaan harus dibajak dan digaru hingga diperoleh hasil olahan tanah yang halus pada zona dimana bibit tebu ditanam. Tanah yang halus dan lembab di sekeliling bibit tebu akan mempercepat perkecambahan.
Hasil olahan tanah yang terlalu halus akibat intensitas
pengolahan tanah berlebihan tidak diinginkan oleh tebu karena seluruh agregat besarnya dipecah menjadi partikel-partikel lebih kecil sehingga kondisi tanah menjadi tidak berstruktur (Humbert 1968). Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa untuk menyiapkan lahan pertanaman tebu diperlukan alat-alat pengolahan tanah untuk pembajakan tanah dalam hingga untuk pengkairan atau pembuatan alur tanam bibit tebu. Adapun alat-alat pengolah tanah tersebut adalah: (1) bajak subsoiler (subsoiler plow), (2) bajak piring (disk plow), (3) bajak singkal (moldboard plow ), (4) garu piring (disk harrow), dan (5) kair (furrower).
Alat-alat Pengolahan Tanah untuk Te bu Bajak subsoiler biasanya dioperasikan untuk memecah lapisan tanah kedap yang berada di bawah kedalaman olah normal guna memperbaiki infiltrasi air, drainase, dan penetrasi akar tanaman. Bajak subsoiler bekerja dengan baik pada tanah teguh dimana lapisan kerasnya menghalangi penetrasi akar dan lengas yang mengisi ruang pori-pori tanah (Buckingham 1984). Menurut Plaster (1992) bajak subsoiler digunakan untuk memecah atau menghancurkan lapisan subsoil yang padat akibat kultivasi berulang-ulang pada kedalaman yang sama. Bajak singkal sudah lama digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama. Kerja bajak singkal yang memotong, mengangkat, dan membalik tanah bertujuan untuk: (1) mengubur seresah dan sisa-sisa tanaman, (2) memperbesar aerasi tanah, (3) mengontrol gulma, serangga dan penyakit tanaman, (4) mencampur pupuk ke dalam tanah, dan (5) menyediakan tempat pertanaman yang bagus untuk perkecambahan yang lebih baik (Buckingham 1984). Bajak piring dapat bekerja membajak tanah yang lebih baik dibanding bajak singkal pada tanah basah atau kering. Piring-piring yang terpasang pada bajak piring berfungsi untuk memotong tanah, memutar dan membalik potongan
39
tanah tersebut (Plaster 1992). Disamping itu, bajak piring merupakan salah satu tipe bajak yang umumnya digunakan untuk kondisi tanah sangat keras dan kasar, untuk tanah-tanah yang tidak bisa diolah oleh bajak singkal, dan untuk tanahtanah berbatu serta banyak akar-akar pohon (Shippen et al. 1980). Garu piring bisa dioperasikan untuk hampir setiap jenis dan kondisi tanah. Garu tugas -berat (heavy-duty harrow) bisa digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama karena mampu menghancurkan tanah yang belum diolah, memotong dan mencampur sisa-sisa tanaman, dan meratakan jerami atau tunggul. Penggaruan menggunakan garu piring sebelum pembajakan tanah akan meremahkan permukaan tanah, memotong seresah-seresah, dan mencampurkannya ke dalam tanah. Hal ini akan menghasilkan penutupan seresah yang lebih baik ketika tanah tersebut selanjutnya dibajak. Kondisi tersebut juga akan mengakibatkan kontak antara tanah dan seresah menjadi lebih baik dan mempercepat dekomposisi sisasisa tanaman. Garu piring yang digunakan sebagai alat pengolahan tanah kedua setelah pembajakan tanah, akan menghancurkan bongkah-bongkah tanah, menutup ruang udara dalam tanah, meratakan permukaan, dan meneguhkan tanah bagian bawah agar halus permukaannya sehingga terbentuk lahan pertanaman seragam (Buckingham 1984). Pekerjaan pengolahan tanah untuk tebu diakhiri dengan pembuatan alur untuk penanaman bibit-b ib it tebu.
Alat yang digunakan untuk membuat alur
tanam tersebut disebut alat kair (furrower). Koga (1988) menyebutkan bahwa suatu furrower mempunyai dua buah sayap menyerupai singkal yang berfungsi untuk membuka dan melempar tanah yang terpotong oleh ujung pisau furrower ke sisi sebelah kanan dan kiri. Hasil akhir pekerjaan ini berupa alur tanah dengan gundukan tanah di sisi kanan dan kiri sepanjang alur yang dibentuk oleh furrower.
Efek Operasi Pengolahan Tanah Trouse dan Baver (1965) menyebutkan bahwa hampir setiap implemen pertanian menghasilkan beberapa jenis tapak (sole) pada kondisi tanah lembab, yaitu: (1) tapak bajak, (2) tapak subsoiler, (3) tapak garu piring, dan (4) tapaktapak lalulintas.
Semua tapak tersebut akan mengurangi permeabilitas tanah
terhadap air dan menghambat pemanjangan akar dan perkembangbiakan tanaman.
40
Baver et al. (1972) menyebutkan bahwa lapisan padat di bawah zona pembajakan tanah telah ditemukan pada beberapa jenis tanah. Lapisan tersebut sering dinamakan lapisan tapak bajak (plow sole). Lapisan tersebut berasal dari kombinasi pengolahan tanah dan operasi mesin-mesin pertanian lainnya. Selama zona di atas lapisan tersebut dibajak dan diolah secara reguler, pemadatan terjadi hanya di bawah lapisan yang digemburkan (remah). Tapak bajak piring terbentuk ketika piring-piring memotong tanah, sedangkan tapak subsoiler terbentuk ketika pisau bajak subsoiler tersebut memecah lapisan tanah padat. Piring-piring pada garu piring berfungsi untuk menghaluskan tanah, namun juga merupakan implemen yang dapat memadatkan tanah. Gaya-gaya yang sama untuk penetrasi piring tersebut juga menghasilkan pemadatan. Penggaruan tanah biasanya menjadi salah satu kegiatan akhir dalam penyiapan lahan.
Efek pemadatan dalam pembentukan tapak garu piring
diperlihatkan dalam Gambar 13 (Trouse dan Baver 1965). Baver et al. (1972) menyebutkan bahwa tapak lalulintas terbentuk setelah operasi pengolahan tanah, seperti kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Meskipun tipe pemadatan ini terjadi di antara alur tanam, namun dapat menghambat penetrasi air dan perkembangan akar. Pemadatan tanah dapat terjadi pada tanah yang kering. Efek pemadatan tanah menjadi semakin besar ketika tanah diolah pada kadar air tanah mendekati kapasitas lapang (Parker dan Jenny 1945).
Puncak pemadatan (pemadatan
maksimum) terjadi pada kadar air tanah mendekati batas plastik yang merupakan kondisi optimum untuk pengolahan tanah.
Efek merugikan tersebut dapat
diminimumkan secara efektif dengan mendesain alat traksi yang menghasilkan ground pressure paling kecil (Baver et al. 1972).
41
a = tapak bajak piring (disk-plow sole) b = zona pemadatan kembali (recompacted zone) c = tapak garu piring (disk-harrow sole) d = lapisan gembur yang dangkal (shallow loose layer) setelah dibajak atau digaru Gambar 13 Diagram profil lapisan tanah hasil pengolahan tanah (Trouse dan Baver 1965)
42
Kapasitas Lapang Efektif dan Konsumsi Bahan Bakar Pada saat mengolah tanah menggunakan alat dan mesin pengolah tanah tertentu yang dioperasikan dengan kecepatan maju tertentu maka akan diperoleh tanah terolah dengan luas tertentu dan selesai ditempuh dalam waktu tertentu, sehingga kemampuan kerja lapang mengolah tanah tersebut (kapasitas lapang) dapat dinyatakan dalam satuan luas tanah terolah per satuan waktu. Semakin luas tanah terolah yang diselesaikan dalam waktu singkat maka dikatakan pekerjaan mengolah tanah tersebut mempunyai kapasitas lapang efektif yang semakin tinggi. Kepner et al. (1972) menyebutkan bahwa kapasitas lapang efektif adalah kelajuan kerja lapang oleh alat dan mesin didasarkan pada waktu lapang total, dan merupakan kemampuan rata-rata yang aktual. Konsumsi bahan bakar oleh mesin pengolah tanah berhubungan dengan energi yang digunakan untuk mengolah tanah. Penggunaan energi tersebut dapat dikonversikan ke dalam pemakaian bahan bakar oleh mesin.
Semakin tinggi
energi yang dikeluarkan untuk mengolah tanah maka bahan bakar yang dikonsumsi akan semakin besar (Hunt 1955). Pengukuran konsumsi bahan bakar didasarkan atas pengukuran massa atau volume bahan bakar terpakai.
Pengukuran massa bahan bakar terpakai tidak
dipengaruhi oleh suhu sehingga tidak cocok untuk pengukuran konsumsi bahan bakar di lapang dan biasanya dilakukan pada pengujian menggunakan dinamometer stasioner.
Pengukuran volume bahan bakar terpakai harus
mempertimbangkan perubahan viskositas bahan bakar akibat perubahan suhu. Untuk
memperoleh
akurasi
dalam
pengukuran
konsumsi
bahan
bakar
menggunakan metode volumetrik tersebut maka diperlukan koreksi suhu bahan bakar terhadap viskositas dan densitas bahan bakar (Alcock 1986). Viskositas adalah ukuran tahanan aliran suatu cairan (Goering dan Hansen 2004), atau sifat yang dimiliki oleh suatu cairan untuk menahan gaya yang menyebabkan mengalir (Toboldt 1977). Viskositas dipengaruhi oleh suhu. Pada saat suhu naik maka viskositas akan turun karena kekentalannya berkurang (Hunt 1995). Pengukuran konsumsi bahan bakar ditentukan dengan cara mengisi penuh tangki bahan bakar mesin sebelum dioperasikan, lalu diukur bahan bakar terkonsumsi selama operasi dengan cara mengukur banyaknya bahan bakar yang diisikan kembali ke dalam tangki bahan bakar mesin hingga penuh (Islam dan
43
Sattar 1997). Konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (4) hingga persamaan (7).
dimana KBB1 =
KBB1 =
VBB …………………………………………. (4) t
KBB2 =
VBB DBB ……………………………………. (5) t
KBL1 =
KBB1 KLE
………………………………………… (6)
KBL2 =
KBB2 KLE
………………………………………... (7)
konsumsi bahan bakar, liter/jam
KBB 2 =
konsumsi bahan bakar, kg/jam
VBB =
volume bahan bakar yang dikonsumsi selama operasi, liter
DBB =
densitas bahan bakar, kg/liter, ditentukan berdasarkan hasil pengukuran densitas bahan bakar aktual pada berbagai suhu
t =
lama operasi pengolahan tanah, jam
KBL 1 =
konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah, liter/ha
KBL 2 =
konsumsi bahan bakar per satuan luas tanah terolah, kg/ha
KLE
kapasitas lapang efektif, ha/jam.
=