20
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Intensif Teknologi budidaya udang dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan yaitu : non intensif, semi intensif (madya), dan intensif, bahkan akhirakhir ini telah berkembang sistem super-intensif. Perbedaan dari sistem tersebut terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola pemberian pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo 2000, diacu dalam Rahman 2005).
Sistem budidaya non intensif dilakukan secara
sederhana dengan input dan manajemen yang minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan sistem budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumberdaya dan manajemen yang lebih banyak (Wyban dan Sweeny 1991). Perkembangan budidaya udang vaname
sudah menyebar di
sentra
budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan. (Poernomo 2002; Sugama 2002), dengan berbagai tingkatan teknologi budidaya mulai dari teknologi non intensif, semi-intensif, intensif bahkan super intensif. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah penggunaan padat penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan pengelolaan mutu air. Semakin tinggi produksi yang hendak dicapai dari suatu ekosistem makin besar subsidi energi yang harus diberikan. Energi yang diserap pada tingkat yang lebih tinggi akan lebih rendah dari masukkannya, dimana sebagian akan merupakan limbah sisa. Jika limbah yang dieksresikan lebih besar dari kemampuan penguraian secara alami, maka akan terjadi penurunan mutu lingkungan (Azwar 2001). Produksi udang di tambak dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi intensif. Sistem ini dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan input biaya yang besar. Ciri-ciri sistem budidaya ini adalah memiliki petakan yang kecil berukuran 0,2 – 0,5 ha/petak dengan padat tebar yang cukup tinggi (500.000 – 600.000) ekor/ha, serta pemberian pakan buatan yang tinggi. Pemberian pakan akan menentukan keberhasilan budidaya udang karena pakan buatan merupakan input utama dalam peningkatan pertumbuhan (Suyanto dan Mujiman 2002).
21
Dilihat dari aspek produksi, daya dukung lahan tambak dapat diartikan sebagai jumlah produksi ikan (biomassa) optimum yang dapat dihasilkan per satuan luas lahan tambak dengan teknologi tertentu pada musim tanam tertentu (Gang et al. 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan input teknologi seperti peningkatan kadar oksigen dalam air dengan aerator, pengolahan air baku (water treatment), pemupukan untuk meningkatkan kadar nitrat dan fosfat, dan penggunaan pakan berkualitas, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas dan kuantitas limbah tambak yang dihasilkan. Pada budidaya tambak udang sistem intensif, input pakan yang tinggi akan meningkatkan kadar nutrien dan kelimpahan fitoplankton dalam air kolam, aerasi mekanis menyebabkan partikel sedimen menjadi tersuspensi, dan melalui pergantian massa air akan terbuang sejumlah nutrien dan padatan tersuspensi dari kolam-kolam budidaya yang pada akhirnya memasuki perairan pesisir di sekitarnya (Hopkins et al. 1993). Boyd (2003) menyatakan bahwa limbah tambak intesif sering memiliki pH, kadar amonia, fosfor, kebutuhan oksigen biologis (BOD) dan padatan tersuspensi (TSS) yang lebih tinggi dibanding perairan alamiah disekitarnya. Pada waktu panen, kadar TSS akan tinggi terutama pada volume 20-25 % limbah akhir tambak (final effluent) dan TSS tersebut sekitar 92 % berasal dari input pakan (Chen et al. 1989). Menurut Primavera dan Apud (1994) menyatakan, dalam proses budidaya intensif, 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi dan limbah tersebut akan memasuki perairan pesisir disekitarnya. Soewardi (2002), mengemukakan bahwa pada luasan tambak udang 5000 m2 dengan teknologi budidaya intensif (kepadatan udang 210.000 ekor/ha), total pakan 3,6 ton menghasilkan limbah TSS sebesar 1.230 kg selama pemeliharaan 120 hari. Menurut Boyd (1999), beban limbah budidaya udang dapat mencapai 12,6-21 kgN dan 1,8-3,6 kgP per ton produksi udang pada tingkat FCR 1,5 dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya produktivitas udang. TeichertCoddington et al. (1996) melaporkan bahwa buangan limbah nitrogen dari tambak udang komersial meningkat seiring meningkatnya FCR
22
2.2. Sedimen Menurut Neufeldt (1988) diacu dalam Haeruddin (2006), yang dimaksud dengan sedimen adalah bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan yang diendapkan oleh angin dan air. Sementara kamus Chamber (1972) diacu dalam Selley (1988) menyatakan bahwa sedimen sebagai sesuatu yang terdapat di dasar cairan, kerukan atau deposit. Sedimen adalah material yang terkontaminasi di dalam suatu massa air, baik berupa bahan organik maupun an organik (Taurusman, 1999).
Menurut Sutikno (1984), sedimen adalah material yang
diendapkan dan bersifat lunak serta tidak kompak. Menurut diameter butirannya, Selley (1988) mengklasifikasi sedimen atas batuan (boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Ada beberapa skala kelas (grade scale) yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan sedimen menurut ukuran butirannya. Skala yang umum digunakan adalah Skala Wenworth dan Skala Phi Krumbein. Hutabarat dan Evans (1985) telah membagi sedimen berdasarkan ukuran diameter butiran yaitu batuan (Boulders), kerikil (gravels), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir haIus (fine sand), pasir sangat haIus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (ciay), dan bahan terlarut (dissolved material). Klasifikasi sedimen dasar menurut ukuran diameter butiran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sedimen dasar berdasarkan ukuran diameter butiran (Hutabarat dan Evans 1985) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis sedimen Batuan (boulders), Kerikil (gravels), Pasir sangat kasar (very coarse sand), Pasir kasar (coarse sand), Pasir haIus (fine sand), Pasir sangat haIus (very fine sand), Pasir (medium sand), Lumpur (silt), Liat (ciay) Bahan terlarut (dissolved material).
Diameter (mm) > 256 2 – 256 1 – 2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 - 0,25 0,0625 – 0,125 0,0020 – 0,0625 0,0005 – 0,0020 < 0,0005
23
Wood (1987) mengemukkan bahwa terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus tidak dapat mengendap. Lebih lanjut dikatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber bahan makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju penambahanya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik sering didukung oleh melimpahnya fauna yang didominasi oleh deposist feeder. Sedimen dasar tambak merupakan bagian dari lingkungan tambak. Sedimen tambak terutama dibagian permukaannnya berinteraksi dengan air di atasanya dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sedimen yang terdiri atas partikel dan mikroorganisme dapat mengalami resuspensi ke dalam air apabila ada gerakan air dengan kecepatan 0,95 cm/detik (Boyd 1990). Proses degradasi bahan organik secara biokimiawi melepaskan nutrien dan mengkonsumsi oksigen diperairan. Kondisi sedimen mengalami proses-proses yang dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas air, terutama terjadi didasar perairan yaitu pada lapisan dekat permukaan sedimen yang dikenal dengan interface layer (Sutikno 2003). Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang (Ray dan Chien 1992).
Udang pama (Penaeus
semisulcatus) dan Penaeus monodon hidup dengan baik pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0,9 – 0,12 mm. Sedangkan L vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel daripada substrat tanah (Mendez et al. 2004). Bratvold dan Browdy (2001) melakukan pemeliharaan udang vaname dengan substrat yang berbeda yakni tanpa sedimen, pasir dan aqua mats selama 104 hari pemeliharaan dengan padat tebar 130 ekor/ m2 memperoleh sintasan dengan kisaran 65,4 – 80,8 %. Sedangkan Suwoyo dan Hendrajat (2006) mendapatkan pertumbuhan udang vaname lebih baik pada media tanah tambak dibanding dengan substrat tanah sawah dan pasir
24
2.3. Bahan Organik Limbah yang berasal dari budidaya tambak intensif mengandung bahan organik yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan tersuspensi dalam air, sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya (Sitorus 2005). Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara 1976, diacu dalam Bachtiar 1994). Bahan organik total menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid (Hariyadi et al. 1992) serta yang mengendap di dasar perairan. Bahan organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan bakteri yang bersifat patogen. Berdasarkan fungsinya bahan organik menurut Goldman dan Horne (1983) dapat dibagi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2) bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya asetat, glukosa dan glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil, antara lain asam humik dan sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya atau pesaingnya; 5) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue green algae). Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan organik menjadi tiga macam, yaitu 1) bahan organik yang berasal dari limbah
25
domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2) bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida. Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat diukur sebagai karbon organik total (TOC, total organic carbon), kebutuhan oksigen untuk proses kimia (COD, chemichal oxygen demand), kebutuhan oksigen untuk proses biokimia (BOD, biologychal oxygen demand). Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregat besar atau organisme mati yang bersumber baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous) perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 % karbohidrat dan 10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985).
Menurut Sladeck (1979),
diacu dalam Taurusman (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan bahan organik total (total organic matter, TOM) (Wetzel dan Likens 1991). Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya udang, beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya (Rosenbery 2006). Tanpa adanya penanganan khusus tentang hal ini akan berdampak pada penurunan hasil produksi akibat pertumbuhan yang lambat, peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan menurunnya efisiensi konversi pakan (Brune et al. 2003). Limbah organik yang masuk ke perairan di sekitar pertambakan berasal dari buangan rumah tangga daerah urban, industri berbahan baku organik, pertanian/ peternakan, dan buangan tambak itu sendiri. Limbah organik tambak berasal dari sisa pakan, eksresi organisme budidaya dalam bentuk feses dan urine, bangkai mikro alga dan zooplankton serta organisme tambak lainnya. Limbah ini
26
mengendap dan terakumulasi di dasar tambak. Limbah ini dikeluarkan pada saat pergantian air tambak dan pada saat panen. Agar pergantian air tambak dapat bermanfaat secara efektif , maka pembuangan sedimen organik dilakukan dengan mengembalikan dalam keadaan tersuspensi, sehingga dapat dialirkan melalui saluran pembuangan. Cara yang paling umum untuk mengembalikan dalam keadaan tersuspensi adalah mengeruknya dengan air mengalir yang berkecepatan 0,25 – 0,5 m/detik. Aliran tersebut dapat dihasilkan dengan menggunakan kincir atau sirkulator lainnya. Penggunaan alat tersebut bisa menyebabkan akumulasi bahan organik dibagian tertentu tambak (Effendie 1998). Peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik untuk memanfaatkannya akan timbul permasalahan serius. Permasalahan yang timbul antara lain: tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik lainnya, serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan kepentingan perikanan (Jorgensen 1980). Soeriatmaja (1981) menambahkan bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut, serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi. Selanjutnya keadaan tersebut akan berpengaruh pada kualitas lingkungan pesisir yang juga akan berakibat terjadinya penurunan potensi perikanan dan dapat mengancam usaha pertambakan udang sendiri dalam jangka panjang karena air buangan tambak akan mempengaruhi sumber air areal pertambakan. Hasil penelitian Bachtiar (1994) di TIR Karawang menunjukkan bahwa pada tambak intensif, setiap siklus per hektar dari 4.188 kg pakan akan terbagi menjadi produksi udang 2.327 kg dan 1.861 kg pakan yang tidak termanfaatkan dan sisa metabolisme. Selanjutnya pakan yang tidak dimanfaatkan dan sisa metabolisme tersebut akan mengendap di dasar tambak sebesar 18 % (1.327,61 kg) berbentuk padatan tersuspensi, serta sisanya sebesar 533,39 kg terbuang ke perairan sebagai beban limbah BOD dalam bentuk padatan terlarut. Sehingga
27
dengan model keseimbangan bahan terhadap beban limbah organik kegiatan budidaya udang secara intensif diperoleh konstribusi beban limbah BOD sebesar 533,39 kg/siklus/ha dan COD sebesar 656 kg/siklus/hektar. Menurut Huisman (1987) diacu dalam Harris (1993) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg sehingga akan menghasilkan limbah organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya. 2.4. Potensial Redoks Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi
di lingkungan dasar perairan/tambak.
Nilai yang lebih besar
menunjukkan kondisi yang lebih teroksidasi (John et al. 1989, diacu dalam Gunarto 2006). Menurut Rhoads (1974) bahwa potensial redoks (Eh) adalah besarnya aktivitas elektron dalam proses oksidasi reduksi yang dinyatakan dalam milivolt (mV). Berdasarkan besarnya nilai redoks potensial (Eh) dan pH sedimen serta warnanya, Odum (1971) mengelompokkan sedimen secara vertikal menjadi 3 mintakat yaitu mintakat oksidasi dengan nilai redoks potensialnya diatas + 200 mV, mintakat
diskontinyu (redox rotential discontinuity, RPD) dengan nilai
redoks potensialnya antara 0 sampai + 200 mV, dan mintakat reduksi dengan nilai redoks potensialnya dibawah nol atau negatif.
Mintakat redoks Diskontinyu
merupakan daerah pembalikan nilai redoks potensial (Eh) dari positif ke negatif, sehingga disebut juga sebagai mintakat peralihan Konsentrasi oksigen di sedimen berhubungan erat dengan nilai potensial redoks (Eh) sedimen tersebut. Rhoads (1974) mengemukakan bahwa pada nilai potensial redoks (Eh) lebih kurang dari 400, konsentrasi oksigennya berkisar 4 – 10 mg/L. Kemudian pada nilai potensial redoksnya (Eh) sekitar + 300 mv, nilai konsentrasi oksigennya sekitar 0,3 mg/L. Pada nilai redoks potensial (Eh) +200 mv, oksigennya sebesar 0,1 mg/L, dan nilai konsentrasi oksigen tidak terukur lagi pada nilai Eh dibawah nol (0) mV.
28
Nilai derajat keasaman sedimen bersama potensial redoks menunjukkan sifat fisika kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik. Kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai redoks potensial dan pH sedimen selain itu dapat pula dijadikan sebagai kontrol reaksi kimia ion-ion antar air dan sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi (Biggs 1967, diacu dalam Emiyarti 2004). Reaksi oksidasi-reduksi (redoks)
dalam reaksi biologi secara normal
dapat digambarkan sebagai proses kehilangan atau penambahan hidrogen atau elektron. yang masing-masing oksidasi akan diimbangi oleh reduksi (Gray 2004), secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut : AH2 A
B BH2
Dimana AH2 adalah donor hidrogen dan B adalah akseptor hidrogen. Masingmasing pasangan (AH2/ A atau B / BH2) yang mempunyai suatu kecenderungan untuk menyumbangkan ekuivalen, oksidasi (AH2 Æ A) atau menerima dan di kurangi/mereduksi (BÆ BH2). Bila kedua pasangan tersebut berada dalam reaksi reduksi-oksidasi
yang
kompleks,
aliran
reaksi
akan
ditentukan
oleh
kecenderungan yang relatif dari masing-masing pasangan untuk menyumbangkan atau menerima elektron ekuivalen, hal ini disebut dengan potensial redoks. Redoks dapat diukur dengan menggunakan sel galvanik yang terdiri dari 2 elektroda dengan penghubung cairan/media. negatif
(anoda)
dan
memproduksi
Oksidasi terjadi pada elektroda
elektron,
sedangkan
elektron
yang
dimanfaatkan dan reduksi ditempatkan pada elektroda positif (cathoda). Kebanyakan kondisi perairan, cenderung memiliki kondisi oksigen yang rendah, hal ini berkaitan dengan permasalahan difusi oksigen dalam kolom air ke sedimen. Hal ini tergantung pada konsentrasi oksigen dalam air, sifat fisika dan kimia sedimen, dan aktivitas organisme dasar. Bila kondisi sedimen menjadi anoksid, populasi fauna akan semakin berkembang. Pada kondisi ini, potensial redoks digunakan sebagai suatu indikator dimana elektron akseptor digunakan
29
oleh bakteri yang anaerob dalam sedimen. Sedimen terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik, dimana bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Reaksi geokimia yang terjadi di perairan estuari terutama dikontrol oleh kondisi fisika-kimia sedimen khususnya potensial redoks. Menurut Golterman (1990), salah satu metode untuk melihat proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen adalah dengan melihat zona reduksi atau oksidasi (potensial redoks). Potensial redoks adalah pengukuran kuantitatif reduksi-oksidasi dari suatu sistem yang dapat diukur dengan elektroda platina. Potensial redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan-bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi. Oksidasi adalah proses kehilangan elektron dari suatu persenyawaan kimia, dari substansi atau dari atom dan radikalnya, sedangkan reduksi adalah penambahan elektron pada persenyawaan kimia. Pada perairan yang belum tercemar dan cukup bahan organik, zona oksidasi relatif lebih tebal. Adapun pada perairan yang kurang oksigen, zona oksidasi ini hanya beberapa sentimeter saja dari permukaan sedimen, dan zona reduksi akan bergerak ke lapisan lebih dalam. Perbedaan stratifikasi di sedimen dicirikan oleh perbedaan akseptor elektron. Oksigen merupakan agen oksidasi yang paling penting dipermukaan sedimen. Pada kedalaman dibawah 0 – 4 cm, dimana kandungan oksigen telah menurun sehingga terjadi proses denitrifikasi, Nitrat (NO3) merupakan akseptor elektron selanjutnya diikuti oleh besi (Fe3+), mangan (Mn++), sulfat (SO42-) dan karbondioksida membantu sebagai elektron akseptor (Tabel 2), yang umumnya terjadi pada kedalaman antara 10 – 50 cm. Aliran energi biologi di sedimen pada umumnya hanya terjadi pada empat zona tersebut dan pemisahan zona tersebut berdasarkan hasil energi bebas dari reaksi redoks potensial yang terjadi pada masing-masing zona.
Respirasi secara aerob terjadi pada lapisan dimana
didominasi oleh banyaknya oksigen, sedangkan zona lainnya respirasi terjadi secara anaerob
30
Tabel 2 . Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak (Reddy et al. 1986, diacu dalam Avnimelech dan Rivto 2003). Sistem Oksidasi (Elektron aseptor) O2 → CO2 NO3- → N2 Senyawa Organik Fe3+ → Fe2+ Mn4+ → Mn2+ SO4 → S2CO2 → CH4
Respirasi aerob Denitrifikasi
Perkiraan nilai redoks potensial (mV) 500 – 600 300 – 400
Fermentasi Reduksi Sulfat Reduksi Methanogenesis
< 400 200 -100 -200
Proses
2.5. Bakteri Bakteri
merupakan
kelompok
organisme
yang
paling
melimpah
jumlahnya. Bakteri dapat ditemukan di tanah, air atau bahkan dalam bentuk simbion dengan organisme lain. Berdasarkan sumber karbonnya bakteri digolongkan atas bakteri heterotrof dan autotrof. Bakteri heterotrof merupakan jenis bakteri yang membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Organisme heterotrof tidak dapat mensistesis bahan organik ataupun senyawa berkarbon dari bahan anorganik. Oleh karena itu golongan ini harus mendapat sumber nutriennya dari bakteri heterotrof yang lain atau autotrof. Bakteri heterotrof biasa dikenal sebagai dekomposer dan konsumen pada rantai makanan. Sedangkan autotrof hanya menggunakan karbondioksida atau karbonat inorganik sebagai satu-satunya sumber karbon (Wikipedia 2007) Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di dalam kegiatan produksi akuakultur dan sedimen tambak (Hargreaves 1988). Di dalam kolam atau tambak, bakteri sering ditemukan di sedimen dasar, yang biasanya mengandung banyak bahan organik dan aerasi kurang bahkan anaerob (Moriaty 1999 ; Burford et al. 2003). Bakteri heterotrof yang ada dalam perairan biasanya akan memanfaatkan pakan yang tidak termakan (un aeaten feed), feses dan bahan organik lain sebagai sumber protein untuk dirubah menjadi amonia inorganik. Proses perubahan nitrogen dari protein menjadi amonia inorganik disebut mineralisasi. Hampir 85% nitrogen yang terdapat di pakan yang diberikan ke udang biasanya akan menjadi amonia (Wyk et al. 1999). Jika bahan organik yang terdekomposisi
31
mengandung terlalu banyak nitrogen, mikroorganisme perombak akan tumbuh dengan baik dan kelebihan nitrogen akan dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk nitrogen inorganik (mineralisasi ) (Boyd 1990). Peningkatan
bahan
organik
dalam
tambak
dapat
menyebabkan
meningkatnya populasi bakteri. Bahan organik yang ada akan digunakan bakteri sebagai sumber pakan untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Ginting 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa populasi bakteri Vibrio sp lebih banyak terdapat dalam tanah dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan tingginya penimbunan bahan organik pada tanah akibat sisa pakan dan kotoran udang. Muliani et al. (1998) mengemukakan bahwa bakteri yang patogen oportunistik terhadap udang adalah Aeromonas spp dan Vibrio sp sering menimbulkan kematian udang baik di panti pembenihan maupun di tambak. Jenis bakteri ini umumnya ditemukan di perairan laut dan pantai bahkan di dalam saluran pencernaan udang itu sendiri. Bakteri ini akan berkembang dan menjadi patogen jika terjadi penurunan mutu air akibat penumpukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan kotoran udang. Fukuda (2000) menyatakan, bahan organik limbah budidaya bersifat dapat terurai secara biologis (biodegradable matter) dalam air. Melalui aktivitas mikrobial, bahan organik dapat terhidrolisis melalui proses enzimatis dan mengubah bentuk senyawa organik tidak larut menjadi larut dalam air. Disamping itu, mikroba juga berperan dalam mineralisasi senyawa organik menjadi senyawa anorganik terlarut yang menghasilkan nutrien seperti fosfat dan nitrat (Nagata et al. 2003). Dalam proses penguraian bahan organik dalam perairan, umumnya kelompok bakteri yang dominan berperan adalah bakteri aerobik, baik dari jenis bakteri autotrofik maupun heterotrofik. Sedangkan jenis bakteri anaerobik obligat ataupun fakultatif lebih berperan dalam dekomposisi bahan organik di sedimen dasar perairan, atau pada keadaan dimana terjadi anoksid dalam air (Rheinheimer 1992 ; Leonard et al. 2000 ; Fukuda 2000). Beberapa jenis bakteri yang berperan dalam degradasi bahan organik di perairan pesisir (termasuk air payau) dan laut seperti Pseudomonas sp, Nitrosomonas sp, Marinobacter sp, Nitrobacter sp, Flavobacterium sp, Oceanospirillum sp, Paracoccu sp, Bacillus sp, Desulvovibrio sp, Alteromonas sp (Mitchell 1992 ; Leonard et al. 2000)
32
Dalam proses oksidasi secara biologis, bahan organik dari limbah tambak yang terdiri dari komponen karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain, akan mengalami pemecahan o!eh aktivitas mikroba (enzim) dan menghasilkan berbagai senyawa yang lebih sederhana. Proses ini berlangsung dalam beberapa tahap, karena tidak otomatis seluruh senyawa organik langsung dapat diubah menjadi bentuk yang sederhana. Fukuda (2000) menyatakan, reaksi oksidasi dari bakteri melalui respirasi endogenous akan berjalan dalam 3 tahapan reaksi, yakni : enzim 1) Oksidasi senyawa organik : 2) Sintesa materi sel : 3) Oksidasi materi sel :
(CH2O)m
CO2 + H2O enzim Sel + CO2 (CH2O)m + NH3 + O2 enzim Sel + O2 CO2 + H2O + NH3
Dalam respirasi tersebut, sintesa materi sel merupakan tahapan terpenting proses oksidasi senyawa organik karena mikroba melepaskan ion nitrat ke dalam air setelah mengoksidasi ion amonium. Persamaan (2) di atas merupakan kunci keberhasilan proses penguraian limbah organik secara biologis aerobik, karena ketersediaan bahan organik dan amonia akan menjadi faktor penentu perkembangan populasi mikroba pengurai (sintesa sel). Bila selama proses penguraian limbah organik tersebut terdapat nitrogen, maka akan dioksidasi menjadi nitrit dan akhimya membentuk produk nitrat yang mempunyai bentuk stabil dan tidak beracun (Nagata et al. 2003). Biodegradasi senyawa organik akan berlangsung berdasarkan sistem enzim, sehingga faktor-faktor lingkungan yang menyertainya berperan sangat penting di dalamnya. Faktor lingkungan penting yang mempengaruhi biodegradasi aerobik tersebut adalah ketersediaan nutrien (senyawa organik dan amonia), dan oksigen dalam media air (Brown 1990 ; Nagata et al. 2003). Selama sumber nutrisi cukup dan jumlah oksigen tidak berkurang, bakteri aerob akan berkembang populasinya dengan baik dan menghasilkan energi yang cukup untuk menguraikan senyawa organik. Aktivitas mikroba akan merata selama perbandingan jumlah nutrisi cukup. Kondisi ini terdapat dalam biodegradasi limbah tambak karena kaya bahan organik (Sitorus 2005).
33
Di samping faktor ketersediaan nutrien dan oksigen, faktor lingkungan lainnya yang cukup berpengaruh terhadap laju degradasi bahan organik limbah tambak adalah: suhu, pH, salinitas, dan alkalinitas air (Choo dan Tanaka 2000). Setiap jenis mikroba, baik itu bakteri, jamur, protozoa maupun mikro alga mempunyai kisaran optimum terhadap faktor lingkungan untuk pertumbuhannya. Misalnya, bakteri Nitrobacter berkembang dengan baik pada pH optimum 7,2 7,8 dan bila pH turun ( pH < 6) maka proses nitrifikasi akan terhambat (Mitchell 1992). Faktor lain yang mempengaruhi laju biodegradasi bahan organik adalah karakteristik mikroba pengurai dan jenis subsrat (limbah). Setiap jenis mikroba mempunyai laju yang berbeda dalam oksidasi senyawa organik, sintesa materi sel, dan laju oksidasi materi sel. Demikian juga jenis substrat, apakah didominasi bahan karbohidrat, protein atau lemak, akan sangat menentukan jenis bakteri yang berkembang dan kemampuannya untuk mengkonversi bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. 2.6. Kualitas Air Salah satu faktor yang berperan menentukan keberhasilah produksi udang budidaya adalah pengelolaan kualitas air, karena udang adalah hewan air yang segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya tergantung pada kualitas air sebagai media hidupnya (Tricahyo 1995). Kualitas air secara luas dapat diartikan sebagai setiap faktor fisik, kimiawi dan biologi yang mempengaruhi penggunaan air. Untuk keperluan budidaya udang kualitas air secara umum dapat diartikan sebagai setiap peubah (variabel) yang mempengaruhi pengelolaan dan kelangsungan hidup, kembang biak, pertumbuhan atau produksi. (Boyd1982) Pengukuran kualitas air selama pemeliharaan udang menurut Hendrajat dan Mangampa (2007) penting dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat perubahan salah satu parameter kualitas air. Dengan mengetahui gejala-gejala tersebut maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengatasi perubahan-perubahan yang kurang baik terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Beberapa peubah kualitas air penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang di tambak
34
meliputi oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa beracun seperti amoniak dan asam belerang yang berkaitan erat satu sama lain (Ahmad 1991). Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, morfologi, reproduksi, tingkah laku, pergantian kulit dan metabolisme udang. Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16 – 36 0C dan optimal pada suhu 28 – 31 0C (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa temperatur optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27 – 32 0C. Haliman dan Adijaya (2005) menambahkan bahwa suhu optimal pertumbuhan udang vaname antara 26-32 0C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen terlarut meningkat. Temperatur optimal untuk udang vaname menurut Zweig et al. 1999 berkisar antara 28 – 30 0C. Menurut Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29 – 30 0C, sedangkan suhu yang dapat menyebabkan pertumbuhan rendah < 26 – 28 0C dan batas tingkat lethal < 10 – 15 0C. Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 15 0C atau diatas 33 0C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub lethal stress terjadi pada 15 – 22 0C dan 30 – 33 0C. Temperatur optimum untuk udang vaname adalah antara 23 – 30 0C (Wyban dan Sweeny 1991; Soemardjati dan Suriawan 2007). Menurut Adiwijaya et al. (2003) bahwa kecerahan air yang baik pada petak pembesaran udang vannamei berkisar antara 40–60 cm, sedangkan Anonim (2003) mengemukakan bahwa kecerahan/ transparansi untuk budidaya udang vannamei berkisar 30 – 60 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian dalam melakukana pengukuran (Effendie 2000).
Poernomo (1989) mengemukkan
bahwa penyebab utama menurunnya daya cerah dan seringnya terjadi blooming karena makin suburnya dasar tambak akibat timbunan sisa-sisa makanan serta tinggi kepadatan plankton , batas kecerahan yang layak adalah antara 30 – 40 cm. batas kecerahan tersebut biasanya didominasi oleh kepadatan plankton jenis Chlorella (hijau) dan Diatomae (coklat) sehingga warna air berwarna coklat muda
35
(hijau kecoklatan). Menurut Suprapto (2005), kecerahan optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 30 – 40 cm. Bila kondisi tambak sudah siap, segera tambak diisi air sampai penuh (120 cm), jangan dilakukan secara bertahap untuk mencegah tumbuhnya klekap. Bray et al. (1994) menyatakan bahwa udang vanname dapat dipelihara di daerah perairan pantai (coastal) dengan kisaran salinitas 1-40 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15-25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. (Samocha dan Lawrence 1993 ; Zweig 1999 ; Clifford 1994 ; Soemardjati dan Suriawan, 2007). Menurut Mc Grow dan Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5 – 45 ppt. Sugama (2002) melaporkan bahwa kisaran salinitas selama pemeliharaan udang vannamei di tambak air tawar berkisar 1,2-5,0 ppt. Haliman dan Adijaya (2005) mengemukakan bahwa udang vanname memiliki sifat euryhalin. udang muda yang berumur 1–2 bulan memerlukan kadar garam 15–25 ppt agar pertumbuhannya dapat optimal, setelah umurnya lebih dari 2 bulan , pertumbuhan relatif baik pada kisaran salinitas 5 –30 ppt. Lebih lanjut dikatakan bahwa salinitas yang tinggi (diatas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Pada salinitas yang tinggi pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi. Kisaran salinitas optimal untuk udang vaname berkisar 15 – 30 ppt. Kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan/udang. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Menurut Anonim (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk budidaya udang vaname
harus > 4 mg/L dengan nilai
toleransi 0,8 mg/L. Sedangkan Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vaname > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5 – 7,5 mg/L. Sugama (2002) menambahkan bahwa kadar oksigen selama pemeliharaan udang vaname harus > 3,5 mg/L. Menurut Seidman
36
dan Lawrence (1985), diacu dalam CP.Prima (1993) bahwa oksigen terlarut yang rendah merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kelambatan pertumbuhan udang pada tambak intensif. Nilai DO (Dissolved oksigen) kritis untuk pertumbuhan Penaeus vannamei adalah 1,9 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005) menngemukakan bahwa tanda-tanda sederhana terjadinya kekurangan oksigen yaitu udang berenang dipermukaan air atau berkumpul disekitar inlet air tambak. Upaya untuk meningkatkan angka DO dilakukan dengan pemakaian kincir air. Nilai DO minimal pada malam hari dianjurkan tidak kurang dari 3 mg/L. Sedangkan untuk mengantisipasi oksigen yang terlalu tinggi akibat blooming plankton dilakukan dengan pergantian air (pengenceran) dan pengaturan jam operasional kincir air. Kebutuhan
oksigen
biokimia
(BOD)
menggambarkan
banyaknya
pemakaian oksigen oleh mikroba untuk merombak bahan organik didalam sampel air yang diinkubasi pada periode tertentu dengan temperatut tetap, misalnya BOD5 (dalam kondisi aerobik diinkubasi pada suhu 20 0C selama 5 hari) (Wardoyo 1994). Menurut Abel (1989), nilai BOD merupakan ukuran yang digunakan sebagai kandungan bahan organik diperairan dengan asumsi bahwa oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme selama masa penguraian bahan organik. Keberadaan BOD akan mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan karena proses oksidasi limbah organik, oksigen terlarut yang tersedia akan cepat dikonsumsi untuk proses metabolisme bakteri. Lee et al. (1978), diacu dalam Sudibyaningsih (1983) menggolongkan tingkat kualitas air berdasarkan nilai BOD5 yakni kisaran konsentrasi BOD5 < 2,9 mg/L tergolong kriteria kualitas air tidak tercemar, kisaran 3,0 – 4,9 mg/L tergolong tercemar ringan, kisaran 5,0 – 14,9 mg/L tergolong tercemar sedang dan konsentrasi > 15,0 mg/L tergolong tercemar berat. Standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5 – 8,5 (Anonim 2003). Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vaname berkisar 7,3 – 8,5 dengan torelansi 6,5 – 9. Wyban dan Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4 – 8,9 dengan nilai optimum 8,0. Nilai pH air tambak bagi pertumbuhan udang berkisar antara 7,5 – 8,7 dengan batas optimum antara
37
8,0 – 8,5 (Poernomo 1989). Perairan dengan pH ekstrim dapat membuat udang tertekan , pelunakan karapaks, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas tinggi pada udang terjadi pada pH perairan dibawah 6,0 sedangkan pada pH 3,0 dalam 20 jam terjadi kematian 100 % (Law 1988). Buwono (1993) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari pH rendah menyebabkan kulit udang keropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit baru. Selanjutnya dikatakan bahwa pH 6,4 dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 60 %. Sebaliknya pH tinggi 9,0-9,5 menyebabkan peningkatan kadar amoniak sehingga secara tidak langsung membahayakan udang. Kondisi pH tinggi kadang-kadang terjadi di tambak pada siang hari dan dapat menyebabkan blooming plankton. Standar kadar amoniak
untuk budidaya udang vaname < 0,1 mg/L
(Anonim 2003). Sedangkan menurut Samocha dan Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4 – 2,31 mg/L. Lin dan Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amoniak untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Boyd dan Fast (1992) mengatakan bahwa konsentrasi NH3 lebih dari 1,0 mg/L dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada konsentrasi lebih dari 0,1 mg/L dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan udang. Wyk et al. (1999) mengemukakan bahwa konsentrasi LC50 dari NH3 adalah sekitar 0,2 mg/L untuk post larva dan 0,95 mg/L untuk udang yang berukuran 4,87 gram. Kesehatan dan pertumbuhan udang tidak terpengaruh pada konsentrasi amonia kurang dari 0,03 mg/L. Walaupun begitu, pemaparan intensif dari konsentrasi sublethal ini akan berdampak buruk terhadap udang. Laju pertumbuhan akan turun dan FCR akan meningkat. Menurut Poernomo (1988) pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang. Lembaran insang akan membengkak (hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi diperairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi afinitas pigmen darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.
38
Nitrit diperoleh dari hasil perombakan amonia oleh bakteri aerob Nitrosomonas menjadi NO2- dan seterusnya menjadi NO3- oleh bakteri Nitrobacter didalam proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen dalam proses denitrifikasi.
Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat
diltoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01-0,05 mg/L. Haliman dan Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan udang vaname adalah ≤ 0,1 mg/L.
Clifford (1994) mengemukakan bahwa
kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1.0 mg/L. Menurut Clifford (1994) bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4-0,8 mg/L.
Anonim (1988), diacu dalam Musafir
(1999), kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae diperairan adalah 0,2-0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1-4,5 mg/L. Menurut Sumawidjaya (1997), kandungan nitrat dalam perairan berasal dari beberapa faktor seperti gerakan air, oksidasi, reduksi, asimilasi serta dekomposisi bahan organik. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar nitrat yang ideal untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 2 – 3,5 mg/L. Menurut Boyd (1990), kandungan bahan organik terlarut suatu perairan normal adalah maksimum 15 mg/L, apabila kandungan bahan organik terlarut tinggi maka dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang.
Sedangkan menurut Adiwijaya et al. (2003)
bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L Meagung (2000) menyatakan bahwa proses penguraian bahan organik yang terlarut dalam air dapat menghabiskan oksigen dalam air. Kondisi ini akan menghasilkan senyawa tereduksi seperti CH4, H2S, NH3 dan senyawa tereduksi lainnya. Proses penguraian ini akan berjalan lancar dengan ketersediaan oksigen terlarut yang cukup.