6
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Budidaya Laut Pengelolaan budidaya yang hendak diwujudkan di kawasan pulau-pulau kecil adalah sistem usaha perikanan yang mampu menghasilkan 6produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan. Sasaran untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan seyogianya didasarkan pada beberapa hal, yaitu : (i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, (ii) kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, (iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu dan (iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan yang menjadi leading sector (Dahuri 2000). Kondisi biofisik wilayah pesisir pulau-pulau kecil di Indonesia berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga berimplikasi pada kesesuaian (sustability) untuk jenis budidaya perikanan yang dikembangkan (Dahuri 2000). Pedoman umum bagi pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat (DKP 2001), dijelaskan bahwa pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan terbatas, dan salah satunya adalah usaha budidaya perikana laut (marine based aquacultur). Keperluan budidaya di laut (marikultur) yang biasanya digunakan berupa perairan laut yang terlindung, yakni berupa teluk, selat dan shallow sea. Pada daerah terlindung tersebut selanjutnya dikaji aspek aksesibilitas, legalitas, hidrooseanografi, kualitas air, ekosistem dan sosekbud untuk menduga daya dukung dan kesesuaian lingkungan untuk marikultur (Effendi 2004). Perairan laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teluk. Teluk merupakan perairan laut yang menjorok masuk ke daratan. Kondisi yang menjorok masuk ke daratan, mengakibatkan perairan teluk relatif terlindung dari ombak besar, badai dan angin kencang. Berbeda dengan paluh, mulut teluk relatif lebar dan terbuka. Perairan ini juga relatif lebar sehingga pengaruh angin dalam bentuk ombak relatif besar. Sifat keterlindungan menjadi hilang bila teluk tersebut memiliki area yang sangat luas. Sirkulasi air banyak dipengaruhi oleh arus akibat pasut air laut. Teluk yang memiliki pasut laut dengan kisaran yang kecil umumnya memiliki arus laut yang
7
7
relatif lambat (0,01 – 0,10 m/detik) sehingga sirkulasi air di perairan ini relatif kecil. Teluk demikian sering kali sangat subur bahkan terlampau subur (eutrofikasi) bila banyak menerima nutrien dari daratan (Effendi 2004). 2.2. Ikan Kerapu Ikan kerapu biasanya disebut goropa atau kasai, diperkirakan terdiri atas sekitar 46 spesies, yang hidup di berbagai tipe habitat (tempat hidup). Semua spesies tersebut, ternyata berasal dari tujuh genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Plectropoma, Epinephelus, dan Varicla.
Dari tujuh genus tersebut, genus Cromileptes, Plectropoma, dan
Epinephelus merupakan golongan kerapu komersial bernilai ekonomi tinggi, yang diusahakan melalui penangkapan di alam mau pun pembudidayaan (Ghufran 2001). Ikan kerapu merupakan ikan demersal yang hidup diperairan karang , yaitu diantara celah-celah karang atau di dalam goa di dasar perairan (DKP 2004). Secara umum ikan kerapu memiliki kepala yang besar, mulut lebar dan tubuhnya ditutupu sisik-sisik kecil. Bagian tepi operculum, bergerigi dan terdapat duri-duri pada operculum. Letak dua sirip punggungnya (yang pertama berbentuk duriduri), terpisah. Semua jenis kerapu memiliki tiga duri pada sirip dubur dan tiga duri pada bagian tepi operculum (Ghufran 2001). Ikan kerapu dikenal sebagai jenis ikan pemangsa (predator) yang memangsa jenis-jenis ikan kecil, zooplankton, udang-udang kecil lainnya. Ikan kerapu bersifat hermaphrodit protogynous yang berarti setelah mencapai ukuran tertentu akan berganti kelamin (changce sex) dari betina menjadi jantan. Selain itu ikan kerapu tergolong jenis ikan yang bersifat hermaphrodit synchroni yaitu dalam satu gonat satu individu ikan, terdapat sel betina dan sel jantan yang dapat matang dalam waktu yang sama, sehingga ikan dapat melakukan pembuahan sendiri dan dapat pula tidak . Ikan kerapu merupakan ikan yang berukuran besar, yang bobotnya dapat mencapai 450 kg atau lebih. Jenis ikan kerapu ini terdapat diberbagai peraian antara lain di Afrika, Taiwan, Filipina, Malaysia, Australia, Indonesia dan Papua Nugini. Sementara di Indonesia, kerapu ditemukan di seluruh perairan nusantara (Ghufran 2001). Dari 46 jenis kerapu atau grouper yang tergolong dalam tujuh genus dan hidup tersebar di laut dengan tipe habitat beragam, hanya ada lima jenis yang saat
8
8
ini dipandang memiliki nilai ekonomis penting. Kelima jenis kerapu tersebut, selain dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik di rumah-rumah, restoran mewah, mau pun di hotel-hotel berbintang, juga diekspor ke beberapa negara. Kelima jenis kerapu tersebut adalah sebagai berikut (Ghufran 2001). 1) Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Kerapu bebek sering disebut sebagai kerapu tikus, di pasaran Internasional dikenal dengan nama polka-dot grouper, namun ada pula yang menyebutnya hump-backed rocked. Ikan kerapu bebek ini berbentuk pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam di seluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Kepala yang kecil mirip bebek menyebabkan jenis ikan ini populer disebut kerapu bebek, namun ada pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus, karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus (Gambar 1).
Gambar 1. Ikan Kerapu Bebek Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Ikan kerapu bebek dikategorikan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0,5 kg–2 kg per ekor. Selain dijual sebagai ikan konsumsi, ikan kerapu bebek juga dapat dijual sebagai ikan hias dengan nama grace kelly. Ikan kerapu bebek memiliki bentuk sirip yang membulat. Sirip punggung tersusun dari 10 jari-jari keras dan 19 jari-jari lunak. Pada sirip dubur, terdapat 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak. Ikan ini bisa mencapai panjang tubuh 70 cm atau lebih, namun yang dikonsumsi, umumnya berukuran 30 cm–50 cm.
Kerapu bebek
tergolong ikan buas yang memangsa ikan-ikan dan hewan-hewan kecil lainnya.
9
9
Ikan kerapu bebek merupakan salah satu ikan laut komersial yang mulai dibudidayakan baik dengan tujuan pembenihan mau pun pembesaran. 2) Kerapu Sunu (Pliectropomus maculatus) Ikan kerapu sunu biasanya disebut sebagai ikan sunuk atau ikan lodi. Ada dua jenis kerapu sunu yang dikenal sebagai ikan laut komersial, yaitu jenis Plectropoma maculatus atau populer dengan sebutan spotted coral trout dan jenis Plectropoma leopardus atau populer dengan sebutan leopard coral trout. Ikan kerapu sunu memiliki tubuh agak bulat memanjang, dengan jari-jari keras pada sirip punggungnya. Warna tubuh sering mengalami perubahan tergantung pada kondisi lingkungan. Perubahan warna tubuh terjadi terutama jika ikan dalam keadaan stres. Tubuh sering berwarna merah atau kecokelatan, sehingga kadang juga disebut kerapu merah atau kasai makot (Gambar 2).
Gambar 2. Ikan Kerapu Sunu Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Pada tubuhnya terdapat bintik-bintik berwarna biru, dengan tepi gelap dan ada enam pita berwarna gelap, kadang-kadang tidak nampak. Kerapu sunu jenis P.maculatus,
mempunyai
bintik
yang
tidak
seragam,
sedangkan
jenis
P.Leopardus, mempunyai bintik-bintik yang seragam. 3) Kerapu Lumpur (Epinephelus suillus) Disebut sebagai kerapu lumpur, karena ikan ini betah hidup di dasar perairan. Nama lain dari jenis kerapu ini adalah kerapu balong, estuary grouper, atau sering pula disebut kerapu hitam, walaupun sebenarnya memiliki warna dasar abu-abu dan berbintik-bintik. Kerapu lumpur ini terdiri atas beberapa macam, namun yang bernilai ekonomis tinggi dan telah umum dibudidayakan adalah
10
10
Epinephelus suillus dan Epinephelus malabaricus. Jenis E. suillus memiliki tubuh berwarna abu-abu gelap dengan kombinasi bintik cokelat dan lima garis menyerupai pita gelap samar yang memanjang pada tubuhnya (Gambar 3).
Gambar 3. Ikan Kerapu Lumpur Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Kerapu lumpur banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat dan benihnya paling mudah diperoleh di laut, terutama pada musim-musim tertentu sedangkan jenis E. malabaricus, memiliki tubuh dengan warna dasar abu-abu agak muda dengan bintik hitam kecil. Habitat ikan kerapu lumpur ada di kawasan terumbu karang, perairan berpasir, dan bahkan hutan mangrove, serta muaramuara sungai. Kerapu lumpur ukuran konsumsi biasanya memiliki bobot tubuh berkisar antara 400 g–1.200 g per ekor. 4) Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Bentuk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) mirip dengan kerapu lumpur, tetapi dengan badan yang agak lebar.
Masyarakat Internasional
mengenalnya dengan sebutan flower atau carpet cod (Ghufran
2001).
Ikan
kerapu macan memiliki mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas dan sirip ekor yang umumnya membulat (rounded). Warna dasar sawo matang, perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik berwarna merah kecokelatan, serta tampak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga ekornya.
Badan ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan
memiliki ciri-ciri loreng (Antoro et al. 2004). Gambar ikan kerapu macan dapat dilihat pada Gambar 4.
11
11
Gambar 4. Ikan Kerapu Macan Sumber: (http://www.fishyforum.com/t1081/)
Usaha budidaya kerapu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pembenihan dan pembesaran.
Kegiatan pembenihan adalah kegiatan
produksi yang menghasilkan benih ikan ukuran 5-7 cm yang biasa disebut dengan fingerling. Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling berkisar antara 3-4 bulan (tergantung dari jenis ikan kerapu). Kegiatan pembenihan sampai dengan fingerling ini merupakan kegiatan yang cukup menarik, terutama untuk menghasilkan benih dari berukuran 2 - 3 cm menjadi berukuran 5 - 7 cm. Jangka waktu yang tidak begitu lama sekitar 20 - 30 hari, perbandingan harga benih yang berukuran 2 - 3 cm dengan yang berukuran 5 - 7 cm meningkat sampai sekitar 100 % yang memberikan keuntungan sekitar 70 %. Kegiatan pembenihan ini dapat dilakukan di dalam tangki budidaya berkapasitas 1 - 2 m3 atau dalam keramba jaring apung (dimensi 1,5 m x 1,5 m x 1,5 m dan mesh size 3 - 4 mm) dengan kepadatan 300-500 ekor per m3. Pakan yang diberikan sebaiknya pelet kering dengan kadar protein sekitar 40 % (Nainggolan et al. 2003). Pembesaran jenis kerapu sampai dengan berukuran konsumsi berkisar antara 7-10 bulan, tergantung dari jenis ikan kerapu yang dibesarkan (untuk ikan kerapu macan dibutuhkan waktu sekitar 7 bulan dan untuk ikan kerapu tikus sekitar 10 bulan). Pembesaran kerapu untuk menjadi kerapu muda ukuran 100 g per ekor dari ukuran fingerling diperlukan waktu 3 - 4 bulan pada ikan kerapu macan dan 7-10 bulan pada ikan kerapu tikus. Pembesaran ikan kerapu biasanya dilaksanakan dengan menggunakan Keramba Jaring Apung (KJA) atau di dalam tangki pembesaran dengan sistem air mengalir (Nainggolan et al. 2003).
12
12
Pakan yang diberikan dapat berupa ikan rucah atau pelet.
Usaha
pembesaran ikan kerapu di lapangan (yang dilakukan masyarakat) cukup bervariasi. Ada yang membesarkan dari fingerling sampai dengan menjadi ukuran konsumsi, ada pula yang membesarkan dari fingerling sampai dengan ukuran 100 g per ekor (ikan kerapu muda) dan dari ikan kerapu muda sampai ukuran konsumsi (sekitar 500-1.200 g per ekor).
Pemeliharaan dari ukuran 100 g per
ekor sampai dengan lebih besar dari 500 g per ekor memerlukan waktu 3 - 5 bulan untuk ikan kerapu macan dan 8-10 bulan untuk ikan kerapu tikus (Nainggolan et al. 2003). 2. 3. Rumput Laut Rumput laut (seaweed) merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Dari segi morfologisnya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yaitu berbebtuk thallus. Budidaya rumput laut di Indonesia banyak dilakukan karena memiliki manfaat antara lain; sebagai pupuk organik, bahan baku industri makanan dan kosmetik, sampai obat-obatan. (Nontji 1993). Ada beberapa jenis rumput laut yang dianggap potensial. Rumput laut potensial yang dimaksud disini adalah jenis-jenis rumput laut yang sudah diketahui dapat digunakan diberbagai industri sebagai sumber karagin, agar-agar dan alginat. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karagin, agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida agar-agar keduanya merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit adalah rumput laut coklat (Phaeophyceae) yang mengandung bahan utama polisakarida alginat. Selain itu ada juga jenis alga hijau (Chlorophyceae) kebanyakan bermanfaat sebagai makanan manusia, pakan hewan dan obat (Atmadja 1989). Rumput laut di Indonesia sekarang sudah merupakan komoditi ekspor, terlihat dari semakin meningkatnya nilai ekspor terutama jenis Rhodophyceae dan Chlorophyceae. Potensi ini ditunjang oleh keadaan wilayah perairan dan sediaan alami yang cukup banyak serta lahan budidaya yang luas. Di Indonesia rumput laut yang bernilai ekonomis penting adalah Rhodophyceae, namun Chlorophyceae
13
13
dan Phaeophyceae juga mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan. Banyak jenis rumput laut di Indonesia, yang masih belum dikenal. Cara yang perlu dilakukan yaitu; pengenalan jenis dan pengetahuan tentang nama-nama setempat di perairan laut Indonesia, paling tidak untuk mengetahui keberadaan dan sebaran jenisnya. Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota karaginan dikenal dengan tipe spinosum, kappa karaginan dikenal dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Ketiga macam karaginan ini dibedakan karena sifat jeli yang terbentuk. Iota karaginan berupa jeli lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan keras. Sedangkan lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi berbentuk cair yang viscous. Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum merupakan rumput laut yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sedangkan E. edule hanya sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Sebaliknya Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dibudidayakan oleh masyarakat pantai. Dari kedua jenis tersebut Eucheuma cottonii yang paling banyak dibudidaya, karena permintaan pasar sangat besar. Gambar 5 merupakan jenisjenis rumput laut Eucheuma.
(a) Eucheuma cottonii
(c) Eucheuma serra
(b) Eucheuma spinosum
(d) Eucheuma edule
Gambar 5. Rumput Laut Jenis Eucheuma Sumber : www.scribd.com/doc/4889138.
14
14
Hypnea adalah jenis ganggang talus parasit yang kurang lebih terdiri dari 52 spesies. Hypnea merupakan sejenis talus dengan ciri garis-garis pada sekujur ranting dan jari-jari yang lebih halus. Beberapa spesies pada Hypnea ini (contoh: musciformis) memiliki lekukan yang dapat tersisip menjadi lapisan terbawah dalam setiap carang/sulur dalam setiap rambatannya. Seluruh lapisan warna Hypnea berkisar antar coklat muda hingga merah gelap. Memiliki panjang tubuh antara 10-30cm, dan dapar berkontraksi hingga 50cm. Hypnea sp sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya dimanfaatkan oleh industri agar. Gambar 6 merupakan jenis ganggang talus parasit jenis Hypnea.
Gambar 6. Ganggang Talus Parasit Jenis Hypnea Sumber : indonetwork.web.id/alloffers.
Rumput laut untuk bahan membuat agar Gracilaria sp adalah rumput laut yang termasuk pada kelas alga merah (Rhodophyta) dengan nama daerah yang bermacam-macam, seperti: sango-sango, rambu kasang, janggut dayung, dongidongi, bulung embulung, agar-agar karang, agar-agar jahe, bulung sangu dan lainlain. Rumput laut marga Gracilaria banyak jenisnya, masing-masing memiliki sifat-sifat morfologi dan anatomi yang berbeda serta dengan nama ilmiah yang berbeda pula, seperti: Gracilaria confervoides, Gracilaria gigas, Gracilaria verucosa, Gracilaria lichenoides, Gracilaria crasa, Gracilaria blodgettii, Gracilaria arcuata, Gracilaria taenioides, Gracilaria eucheumoides, dan banyak lagi. Beberapa ahli menduga bahwa rumput laut marga Gracilaria memiliki jenis yang paling banyak dibandingkan dengan marga lainnya. Rumput laut Gracilaria umumnya mengandung ager atau disebut juga agaragar sebagai hasil metabolisme primernya. Agar-agar diperoleh dengan melakukan ekstraksi rumput laut pada suasana asam setelah diberi perlakuan basa.
15
15
Agar-agar diproduksi dan dipasarkan dalam berbagai bentuk, yaitu: agar-agar tepung, agar-agar kertas dan agar-agar batangan dan diolah menjadi berbagai bentuk penganan (kue), seperti pudding dan jeli atau dijadikan bahan tambahan dalam industri farmasi. Kandungan serat agar-agar relatif tinggi, karena itu dikonsumsi pula sebagai makanan diet. Melalui proses tertentu agar-agar diproduksi pula untuk kegunaan di laboratorium sebagai media kultur bakteri atau kultur jaringan. Gambar 7 menampilkan jenis-jenis rumput laut Glacilaria.
(a) Glacilaria sp
(b) Gracilaria verucosa
(c) Gracilaria blodgettii
(d) Gracilaria corticata
(e) Gracilaria eucheumoides
Gambar 7. Jenis Rumput Laut Glacilaria Sumber : www.scribd.com/doc/4889138. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya usaha budidaya bila kegiatan budidaya rumput laut dilakukan. Jika ingin
16
16
memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha rumput laut, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya rumput laut (Aslan 1998). Selain pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, metode penanaman perlu juga diperhatikan. Menurut Aslan (1998), terdapat tiga metode penanaman rumput laut berdasarkan posisis tanam terhadap dasar perairan, yaitu: (1) metode dasar (bottom method) ; (ii) metode lepas dasar (off bottom method) dan (iii) metode apung (floating metod). Syamsudin (2004), menyatakan bahwa pemilihan metode budidaya rumput laut memiliki korelasi terhadap produktivitas dan pertumbuhan thallus rumput laut yang dibudidayakan. Ini didasarkan dengan hasil penelitian yang dilakukan dengan membandingkan produktivitas 3 (tiga) metode budidaya rumput laut, yaitu metode tali rawai/ long line, metode lepas dasar dan metode dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa metode tali rawai/ long line merupakan metode budidaya rumput laut yang paling produktif dengan laju pertumbuhan harian thallus rata-rata 7,67% per hari, metode lepas dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata 7,54% per hari dan metode dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata sebesar 2,12 % per hari. Dengan menggunakan metode tali rawai/long line dan lepas dasar pada kedalaman yang sesuai, thallus rumput laut yang dibudidayakan dapat mencapai berat 4 -5 kali lipat dari berat awal thallus. Dapat dikatakan bahwa untuk mencapai produktivitas yang tinggi, budidaya rumput laut disarankan, dilakukan dengan metode tali rawai/ long line dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai. 2.4 Syarat-Syarat Pemilihan Lokasi Ketepatan lokasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usaha budidaya ikan kerapu. Beberapa kegagalan usaha budidaya terjadi karena lokasi yang dipilih kurang cocok. Pencapaian produksi jenis komoditas budidaya laut secara optimal memerlukan kecermatan dalam penentuan lokasi budidaya yang akan dikembangkan serta kecocokan metoda yang digunakan. Pemilihan lokasi untuk budidaya ikan kerapu di laut harus mempertimbangkan aspek teknis dan non teknis. Dari segi aspek teknis hal-hal yang harus diperhatikan meliputi:
17
17
a). Perairan/lokasi yang dipilih harus terlindung dari pengaruh angin/musim dan gelombang, hal ini untuk mengamankan/melindungi salinitas budidaya. b). Pergerakan air harus cukup baik dengan kecepatan arus antara 20 - 40 cm/detik, apabila kecepatan arus kurang mengakibatkan penyediaan air kurang dan O2 yang dipasok juga akan berkurang dan sebaliknya apabila kecepatan arus cukup besar pertumbuhan ikan akan terganggu sebab energi yang didapatkan dari makanan banyak keluar untuk melawan arus. c). Lokasi harus bebas dari pengaruh pencemaran atau polusi baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. d). Lokasi juga harus bebas dari hama, yang meliputi antara lain ikan-ikan besar dan buas, binatang yang selain berpotensi dapat mengganggu (predator). e). Hal yang sangat penting lokasi harus memenuhi persyaratan kualitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan seperti : - Salinitas berkisar antara 25 - 31 ppt. - Suhu air berkisar antara 280 – 320C. - O2 (oksigen) >5 ppm. - Nitrat 0.9 – 3.2 mg/l dan phospat 0.2 – 0.5 mg/l f). Mempermudah kelancaran kegiatan yang berhubungan dengan usaha budidaya yang meliputi sarana jalan, telpon, listrik, sumberdaya manusia, pakan, pasar, ketersediaan bimbingan harus dalam jumlah yang cukup memadai serta bahan-bahan untuk komoditi budidaya mudah diperoleh. (Kordi 2005). Menurut Achmad (2008) persyaratan non teknis yang perlu mendapat perhatian dalam pemilihan lokasi budidaya adalah sebagai berikut: a). Keterlindungan, untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya dan biota laut, diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di peraian teluk dan perairan yang terlindung atau terhalang oleh pulau di depannya. b). Keamanan lokasi. Masalah pencurian dan sabotase mungkin saja dapat terjadi pada lokasi tertentu sehingga upaya pengamanan, baik secara perorangan maupun kelompok harus dilakukan. Sebaiknya dilakukan upaya pendekatan dan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lokasi budidaya.
18
18
c). Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan, pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata, perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap aktifitas budidaya laut. d). Aspek peraturan dan perundang-undangan, untuk menguatkan keberlanjutan usaha budidaya laut, pemilihan lokasi tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah serta mengikuti tata ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah (BAPEDA serta dinas kelautan dan perikanan setempat). Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling) yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan energi banyak yang terbuang (Achmad 2008) Kecerahan air merupakan ukuran trasparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Peraiaran dengan tingkat keceraha sangat tinggi (jernih) sangat baik bagi lokasi budidaya laut. Kecerahana yang dipersyaratkan adalah > 3 meter (Akbar dan Sudaryanto 2002). Kekeruhan atau turbiditas disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air, seperti jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta benda terapung lainnya yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan dapat mempengaruhi pernapasan ikan , proses fotosintesa dan produktivitas primer. Pada budidaya ikan, nilai kekeruhan (turbidity) berkisar antara 2-30 NTU (Nephleloletric Turbudity Unit ). Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang. Padatan tersuspensi perairan untuk usaha budidaya laut adalah berkisar antara 5-25 ppm (Akbar dan Sudaryanto 2002).
19
19
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu udara disekitar perairan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Effendi 2003). Suhu perairan sangat penting didalam memepengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu sekitar antara 27-290C (Akbar dan Sudaryanto 2002). Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter utama bagi kehidupan hewan perairan. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari proses fotosintesis fitoplanton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya pada malam hari) dan masuknya limbah pencemar baik anorganik maupun organic yang mudah urai ke lingkungan laut. Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya yang baik adalah berkisar antara 5-8 ppm (Akbar dan Sudaryanto 2002). Nitrogen di dalam air terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang bersifat tosik terhadap ikan dan organism lainnya hanya 3 (tiga) senyawa yaitu ammonia ( NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Senyawa ini selain berasar dari atmosfir juga banyak berasal dari sisa makanan, organisme yang mati dan hasil ekskresi metabolisme hewan akuatik. Ammonia dan nitrit merupakan senyawa nitrogen yang paling toksik, sedangkan nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi. Nitrit yang berlebihan dapat mengakibatkan ion ferro dalam hemoglobin menjadi ion ferri yang merubah heimoglobin menjadi meteoglobin yang merupakan parameter penting dalam budidaya ikan karena nitrit merupakan bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Konsentrasi ammonia dan nitrat untuk keperluan budidaya adalah
1 ppm. (Akbar dan
Sudaryanto 2002). Lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi untuk budidaya ikan kerapu ini adalah faktor resiko seperti keadaan angin dan
20
20
gelombang, kedalaman perairan, bebas dari bahan pencemar, tidak mengganggu alur pelayaran; faktor kenyamanan seperti dekat dengan prasarana perhubungan darat, pelelangan ikan (sumber pakan), dan pemasok sarana dan prasarana yang diperlukan (listrik, telpon), dan faktor hidrografi seperti selain harus jernih, bebas dari bahan pencemaran dan bebas dari arus balik, dan perairannya harus memiliki sifat fisik dan kimia tertentu (kadar garam, oksigen terlarut). (Tonnek et al. 1994). Tidak semua wilayah pantai cocok untuk budi daya kerapu, oleh karena itu penentuan lokasi harus memperhitungkan beberapa faktor penting antara lain : a). Terlindung dari gelombang besar dan badai, sebab ikan mudah menjadi stres dan menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang. b). Terlindung dari ancaman predator yaitu hewan buas laut (ikan butal dan ikan besar lainnya) dan burung laut. c). Terlindung dari ancaman pencemaran buangan limbah industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga, d). Terlindung dari hilir mudik lalu lintas kapal karena selain akan menimbulkan riak-riak gelombang juga buangan kapal (minyak solar dll) akan mencemari area pemeliharaan. (Sunyoto 1993). 2.5. Kesesuaian Perairan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan Widiatmaka 2001). Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.
21
21
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya No 1
Parameter Kecerahan
2 3 4 5 6 7 8 9
Suhu Salinitas pH DO Nitrat Fosfat BOD5 TSS
Satuan M 0
C /00 mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 0
Budidaya Laut Coral:>5a) mangrove; lamun: >3 a) alami1b) alami1c) 7 – 8,5 >5 0,008 0,015 20 Coral:>20 e) mangrove; 80e) lamun: >20e)
Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang, malam dan musim). a) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH b) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman c) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <20C dari suhu alami d) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis) e) = diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10 % konsentrasi rata-rata musiman. Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada di dalamnya tidak mampu lagi untuk menanggung bebab kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh
22
22
karena setiap sistem miliki ambang batas atau kemampuan mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu. 2.6. Daya Dukung Perairan Konsep
daya
dukung
perairan
telah
cukup
lama
dikenal
dan
dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukan sebagai faktor penting untuk dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama (Poernomo 1997). Pengertian daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (parameter) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo 1997). Daya dukung lingkungan hidup merupakan kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya (Undang-Undang nomor 32. Tahun 2009). Menurut Clark (1996) daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan
sumberdaya
secara
terbatas.
Untuk
menentukan
batas
pembangunan sumberdaya dan kontrol pengembangan yang sangat objektif, digunakan metode analisis daya dukung. Daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA dan merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa jumlah ikan pada lokasi budidaya yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya, Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989) atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukan berapa unit keramba jaring apung yang boleh dipelihara dalam luasan area yang telah ditentukan. Ha tersebut berlaku juga pada terapan budidaya rumput laut. Daya dukung lingkungan dibagi menjadi 2, yakni (1) daya dukung ekologis (ecological carring capacity) dan (2) daya dukung ekonomis (economic carring capacity) Scones (1993) diacu dalam Soselisa (2006). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme pada suatu lahan yang dapat
23
23
didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (Skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-perameter kelayakan usaha secara ekonomi. Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan Piper et al (1982) diacu dalam Meade (1989). Ketika wilayah (perairan) dimanfaatkan sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Komar 1983). 2.7. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Optimasi pemanfaatan sumberdaya merupakan usaha untuk memperoleh nilai hasil yang menguntungkan dengan adanya keterbatasan luas perairan. Pada dasarnya optimasi adalah suatu persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan pembatas-pembatas yang ada. Pada umumnya pembatas tersebut meliputi Tenaga Kerja (TK), uang (modal), input (teknis), serta waktu dan ruang (Supranto 1993). Menurut Gallagher and Watson (1980) diacu dalam Budiharsono (2001), untuk menghitung kombinasi yang optimal dari sumber-sumber yang terbatas, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik linier gold programming (LGP). Penentuan kombinasi optimum dengan program linier merupakan kelompok analisis kuantitatif yang digunakan untuk menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah. Kombinasi yang terbaik dipilih dalam rangka menyusun strategi alokasi sumberdaya yang terbatas untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara optimal. Alokasi optimal adalah memaksimumkan atau meminimumkan tujuan dengan adanya kendala.
24
24
Pendekatan program ini telah digunakan oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Teknik pemograman secara matematik untuk menyelesaikan suatu masalah, penarikan keputusan dengan beberapa tujuan atau sasaran. Ciri utama dari program ini adalah: (1) sasaran yang ingin dicapai diberi urutan prioritas, (2) pemenuhan sasaran berdasarkan urutan prioritas, dari yang tinggi ke yang rendah, (3) sasaran tidak harus terpenuhi secara tepat, tetapi mengurangi penyimpangan dari sasaran. Target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kendalakendala atau syarat ikatan yang ada yaitu kendala tujuan. Secara umum model LGP adalah sebagai berikut: 1). Ada Fungsi Tujuan Tujuan yang diinginkan bersifat memaksimumkan seperti keuntungan, penerimaan, produksi atau meminimumkan seperti biaya yang harus dinyatrakan dengan jelas dan tegas sebagai fungsi tujuan.
2). Kendala Tujuan Setiap sumberdaya bersifat terbatas, dan keterbatasan tersebut merupakan kendala (constraint) atau syarat ikatan dalam mencari kombinasi terbaik dari alternatif pemecahan permasalahan yang ada.
3). Kendala riil/fungsional
Dengan ketentuan : : peubah keputusan ( jenis penggunaan ruang) ke j : koefisien Xj pada kendala tujuan (goal) ke-i
25
25
: koefisien Xj pada kendala riil ke-k : sasaran/tujuan target ke-i : jumloah sumberdaya k yang tersedia : jumlah unit deviasi yang kekurangan (-) terhadap tujuan ke-i (gi) : jumlah unit deviasi yang kekurangan (+) terhadap tujuan ke-i (gi) : faktor prioritas ordinal ke- k : bobot relatif dari i j k
dan
dalam urutan prioritas ke-k
: 1,2,3….., m, nomor fungsi kendala : 1,2,3….., n, nomor peubah keputusan : 1,2,3….., p, urutan prioritas dari fungsi kendala Jadi penggunaan model LGP tersebut bermanfaat dan dapat diterapkan
untuk berbagai bidang kajian yang berbeda-beda. Pada penelitian ini aplikasi LGP tersebut digunakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan dengan pertimbangan faktor ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Namun karena sistem perikanan di daerah tropis sangatlah kompleks, maka teknik optimasi yang dapat digunakan untuk sumberdaya yang didukung oleh banyak tujuan adalah linier goal programming (Wiyono 2001). Hal tersebut merupakan suatu pendekatan optimasi lahan secara komprehensif dan aplikasi LGP yang diujicobakan dalam suatu penelitian. 2.8. Analisis Kelayakan Usaha Peluang daerah untuk memaksimalkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut kian terbuka dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang telah di revisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Dalam pasal 10 Undang-Undang tersebut secara jelas diatur kewenangan daerah untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konversi dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut (desentralisasi pembangunan perikanan) sebatas 12 mil laut untuk tingkat propinsi dan 4 mil laut dari 12 mil laut untuk tingkat Kabupaten/Kota yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Hal ini tentu saja memberikan peluang yang besar kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan sumberdaya pesisir dan laut demi mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah (Sambut 2004).
26
26
Berdasarkan penjabaran diatas, dalam kaitannya dengan kegiatan usaha budidaya perikanan, maka keberhasilan usaha budidaya perikanan pada akhirnya akan dinilai dari besarnya pendapatan usaha yang diperoleh atau lebih dikenal dengan istilah keuntungan. Pendapatan usaha budidaya adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Penerimaan merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan harga jual produksi, sedangkan biaya merupakan semua pengeluaran yang dipergunakan dalam kegiatan usaha. Berdasarkan sifatnya, biaya digolongkan dalam dua jenis yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dengan banyak sedikitnya jumlah barang yang diproduksi. Dalam hal ini, pembudidaya harus tetap membayar berapapun jumlah komoditi yang dihasilkan dari kegiatan usahanya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah apabila ukuran usahanya berubah, seperti biaya input produksi (Soekartawi 1986). Jika ingin mengetahui apakah usaha budidaya yang dilakukan menguntungkan atau tidak, dapat diukur dengan menggunakan indikator perimbangan antara penerimaan dan biaya. Berdasarkan pengukuran tersebut, jenis usaha dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu : 1) jenis usaha yang bersifat tahunan, dan 2) jenis usaha yang bersifat musiman. Jenis usaha musiman biasanya memiliki karakteristik antara lain : (1) memiliki periode produksi lebih dari satu kali dalam setahun, (2) umumnya memerlukan modal yang relatif kecil, dan (3) biasanya diusahakan dalam skala kecil dengan teknologi yang sederhana. Menurut Effendi dan Oktariza (2006), untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang digunakan dalam kegiatan tersebut digunakan analisis Revenue Cost Ratio (R/C). Suatu usaha dikatakan layak bila R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi pula. Selain analisis R/C yang digunakan dalam analisis usaha, dapat dihitung pula analisis Break Event Point (BEP). Effendi dan Oktariza (2006), mengemukakan bahwa analisis BEP merupakan alat analisis untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas (tidak untung dan tidak rugi). Usaha dinyatakan layak bila nilai BEP produksi lebih besar dari
27
27
jumlah unit yang sedang diproduksi saat ini. Sementara BEP harga harus lebih rendah daripada harga yang berlaku saat ini. Menurut Kadariah (2001) dalam mengevaluasi proyek biasanya digunakan dua macam analisis, yaitu analisis finansial dan analisis ekonomi. Dalam analisis finansial proyek dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya di dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek, sedangkan analisis ekonomi, proyek dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Kini yang diperhitungkan adalah analisis total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber yang dipakai dan siapa yang dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut. Hasil dari hal ini disebut social returns atau the economic returns dari proyek. Setelah disadari bahwa banyak kegiatan yang menimbulkan adanya manfaat maupun biaya yang timbul karena adanya aspek lingkungan yang harus diperhitungkan, maka analisis biaya dan manfaat diperluas menjadi analisis kelayakan dengan memasukan dimensi biaya dan manfaat. Bagi pemegang kebijakan (policy makers), yang penting adalah mengarahkan pembangunan sumber-sumber yang langka kepada proyek-proyek yang dapat memberikan hasil yang paling baik bagi perekonomian sebagai keseluruhan, yang menghasilkan social return dan economic return yang tinggi. Kadariah (2001), mengemukakan kriteria yang digunakan dalam evaluasi usaha yang bersifat tahunan adalah sebagai berikut: (1) memiliki periode produksi yang lebih lama, kurang lebih 1 tahun atau lebih, (2) umumnya memerlukan modal dan investasi cukup besar dan (3) diusahakan dalam skala besar/proyek. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam rangka mencari satu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu usaha tahunan, dikembangkan melalui pendekatan analisis beberapa indeks (invesment criteria). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan proyek sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada, tiga diantaranya yang biasa digunakan adalah; (1) NPV, (2) Net B/C dan (3) IRR.
28
28
2.9. Kebijakan Investasi Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi dalam rangka proyek tertentu, baik proyek yang bersifat baru maupun perluasan proyek. Tujuan utamanya yaitu memperoleh manfaat keuangan dan atau non keuangan yang layak dikemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahan swasta maupun badan-badan pemerintah. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa investasi merupakan faktor yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Anderson (1990) diacu dalam Kusumastanto (1994) menyatakan bahwa peranan investasi dalam pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh kualitas kebijakan perekonomian ynag mengatur tingkat investasi, tingkat pengembalian sosial dari investasi (social rate of return on investment) dan penyerapan tenaga kerja dari sebuah investasi, apabila investasi dilaksanakan secara efesien dalam meningkatkan output maka investasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya apabila dilaksanakan secara tidak efesien maka berakibat pada stagnasi ekonomi. Selanjutnya Otani dan Villanueva (1990) diacu dalam Kusumastanto (1994) mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sebesar 10% dari agregat tabungan domesti dapat meningkatkan output per kapita per tahun sebesar 1-4 %, peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) memberikan kontribusi sebesar 1% peningkatan output per kapita per tahun dan peningkatan volume ekspor sebesar 10% per tahun dapat meningkatkan output per kapita per tahun sebesar 4-5%. Stiglitz (1988) diacu dalam Parenrengi (2009) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada tiga faktor; (1) pertumbuhan investasi, (2) kemajuan tehknik penelitian dan pengembangan, (3) pengembangan dan penggunaan sumberdaya alam (natural resources). Kebijakan yang diperlukan dalam investasi seperti kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter menyangkut antara lain; (1) tingkat suku bunga yang wajar, (2) alokasi kredit untuk industri yang proporsional. Kebijakan fiskal berupa pajak yang rendah, seperti pemberian kredit pajak investasi (investment tax credit) untuk mendorong investasi, misalnya 10% kredit pajak investasi yang diberikan, harga mesin ($10) di bayar oleh pemerintah. Selain itu adanya kepastian hukum, keamanan yang terjamin diharapkan akan
29
29
menarik investor baik dari luar negeri maupun domestik untuk menanamkan dananya di Indonesia. Penanaman investasi memerlukan perencanaan yang mantap mengingat jumlah dana yang diperlukan cukup besar dan risiko yang dihadapi juga cukup tinggi. Menurut Kadariah (2001) ada lima pertimbangan yang harus diperhatikan sebelum investasi dilakukan yaitu : (1). Investasi harus dapat mengikut sertakan dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat setempat; (2). Investasi harus dapat mendatangkan pendapatan baik sebagai devisa negara atau sebagai sumber pendapatan daerah; (3). Dilakukan secara optimal, efisien dan berkelanjutan; (4). Harus berbasis pada masyarakat lokal; (5). Investasi harus merupakan langkah pemerataan pembangunan. Teori ekonomi mengartikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan
untuk
mengganti
atau
menambah
barang-barang
modal
dalam
perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan. Dengan kata lain investasi berarti kegiatan pembelanjaan untuk meningkatkan kapasitas memproduksi sesuatu perekonomian (Johanes diacu dalam Kirkley et. al. 2003). Dengan beberapa uraian tentang investasi, maka dapat dijelaskan bahwa investasi sangat penting dan dibutuhkan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Mengingat investasi ini sendiri akan dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan, dengan demikian akan menciptakan daya beli pada masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Johanes diacu dalam Kirkley et al. 2003). Investasi tergantung dari tingkat bunga, apabila tingkat bunga rendah, maka biaya perusahan akan semakin rendah, dan perusahan akan bersedia meminjamkan uang. Rendahnya tingkat bunga akan memacu perusahan menaikan investasinya, meningkatnya investasi maka pendapatan nasional akan mengalami kenaikan, hal ini akan berlaku sebaliknya. Semakin naik tingkat suku bunga maka
30
30
perusahan akan mengurangi investasi dan menurunnya investasi perusahan maka pendapatan nasional akan mengalami penurunan (Stiglitz 1988).
2.10. Model Keputusan dengan AHP Analytical Hierarchy Process pertama kali dikembangkan oleh Thomas L Saaty, seorang ahli matematik dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Analytical Hierarchy Process pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala prefensi diantara berbagai set alternatif. Analytical Hierarchy Process adalah pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahn yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk pemecahan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalahmasalah yang memerlukan pendapat. Analytical Hierarchy Process ini juga banyak digunakkan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber daya dan penentuan prioritas dari strategi- strategi yang dimiliki situasi konflik (Saaty 1983). Menurut Saaty (1983) dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah : (a) Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur. Jika ingin mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. (b) Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitanya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian ini akan lebih baik jika disajikan dalam matriks yang dinamakan matriks pairwise compari. (c) Synthesis of Priority.
31
31
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigen vector-nya untuk mendapatkan local priority. Matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Prosedur melakukan sintesis berbeda dengan bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting . (c) Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada criteria tertentu. Beberapa keuntungan menggunakan Analytical Hierarchy Process sebagai alat analisis, diantaranya : Analytical Hierarchy Process member modal tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur; Analytical Hierarchy Process memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks; Analytical Hierarchy Process dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier; Analytical Hierarchy Process melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan dalam menetapkan berbagai prioritas dan lain-lain (Saaty 1983). AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hierarki harus distruktur ulang( Marimin 2004). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam AHP adalah sebagai berikut: pertama, harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan, yakni 1, 2, 3, …,n yang adalah tindakan positif, (n) adalah bilangan yang terbatas. Responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk
32
32
memberi
tingkat
urutan
(skala)
pentingnya
atribut-atribut.
Skala
yang
dipergunakan apa saja, tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan, walaupun demikian mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala angka Saaty mulai dari 1 yang menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, samapai dengan 9 (sembilan) yang menggambarkan suatu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya. Pada Tabel 2. disajikan skala angka Saaty beserta defenisi dan penjelasannya. Tabel 2. Skala Banding Berpasangan Intensitas/ Pentingnya
Defenisi
Keterangan
1
sama penting
3
Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain
5
Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukan sifat sangat penting
9
Ekstrim penting
2,4,6,8
Nilai tengah diantara dua pilihan
Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan satu lebih disukai dari pada yang lain Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa yang antara yang satu lebih disukai dari pada yang lain menunjukan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai Diperlukan kesepakatan (kompromi)
Sumber : Skala Perbandingan Saaty (1983)
2.11. Pembangunan Budidaya Perikanan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang
untuk
pembangunan
memenuhi
berkelanjutan
kebutuhan pada
hidupnya.
dasarnya
Dengan
merupakan
suatu
demikian, strategi
pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju
33
33
pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak. (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaata bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi : (1) ekologis, (2) sosial ekonomi budaya, (3) sosial politik, (4) hukum dan kelembagaan (Dahuri 1998). Sektor perikanan terus dikembangkan kegiatannya oleh pemerintah, karena pasar komoditas perikanan masih terbuka luas baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga menjanjikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya. Salah satu kegiatan dalam sektor perikanan yang terus digalakan pengembangannya yaitu budidaya ikan. Kegiatan tersebut sampai saat ini masih merupakan salah satu kegiatan agribisnis di wilayah pesisir yang memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan devisa bagi Negara. Selain karena pasar komoditas yang masih terbuka luas baik di dalam negeri maupun diluar (ekspor) juga, karena usaha budidaya ini terbukti memiliki margin yang sangat menjanjikan (Hempel dan Winther 1997). Kegiatan budidaya ini selain menjanjikan pendapatan yang cukup besar juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya pesisir. Pengembangan perikanan budidaya pada kawasan pesisisr akan banyak mempengaruhi kondisi sumberdaya pesisir, sehingga kemampuan kawasan pesisir (daya dukung lingkungan pesisir), untuk meneriman limbah harus selalu menjadi perhatian. Kesalahan dalam pengolahan akan mengakibatkan terjadi penurunan mutu lingkungan (degradasi lingkungan) yang bisa mengancam kelestarian sumber daya pesisir dan bisa membahayakan kesinambungan terhadap usaha budidaya itu sendiri. Hempel dan Winther (1997) menyatakan untuk dapat melakukan pengembangan perikanan budidaya secara berkelanjutan aspek sosial, aspek lingkungan dan aspek teknologi harus selalu menjadi perhatian, karena aspek tersebut saling terkait.
34
34
Perikanan budidaya laut disamping tergantung pada input sarana produksi seperti benih atau bibit juga tergantung pada kondisi ekologis perairan, yang juga merupakan fungsi dari eksternalitas berbagai kegiatan lain. Pengendalian input dari alam ini sangat sulit sehingga konsep kapasitas perikanan budidaya dapat diterapkan seperti juga yang telah diterapkan pada perikanan tangkap (Fauzi 2001). Analisis kapasitas perikanan budidaya laut dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan perikanan budidaya laut ini telah efisien atau belum. Kapasitas perikanan dipandang dari sudut ekonomi dan teknologi didefinisikan sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, sementara berbagai variable produksi tidak dibatasi (Kirkley dan Squiler 1999). Sementara itu secara
umum Kirkley dan Squiler (2003)
mendefinisikan kapasitas perikana sebagai sebagai stok capital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu. Stok kapital terdiri dari kapital dan sumberdaya manusia. Kapital dapat berupa teknologi yang digunakan misalnya, sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah tenaga kerja dan kemampuan teknisnya. Di dalam perikana tangkap, kapital dan sumberdaya manusia merupakan manifestasi dari upaya (effort). Hal yang sama juga dapat diterapkan pada perikana budidaya laut dengan menggunakan unit pengukuran upaya yang sesuai. Pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Menurut Charles (1994) diacu dalam Fauzi dan Anna (2002) ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pandangan pembangunan perikanan yang berkelanutan haruslah mengakomudasikan ketiga paradigma tersebut. Selanjutnya Charles (2001) diacu dalam Randika (2008) menyebutkan bahwa pembangunan perikanan mengandung 4 (empat) komponen dasar yang harus dipenuhi. Komponen dasar tersebut antara lain: 1). Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya
35
35
dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistim menjadi konsern utama. 2). Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan ini. 3). Community
sustainability,
mengandung
makna
bahwa
keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komonitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4). Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi
yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan
berkelanjutan di atas. Dengan demikian jika setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseluruhan proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan perikanan yang berkesinambungan harus mampu memelihara tingkat yang reasonable dari setiap komponen sustainable tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistem akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan Charles (2001) diacu dalam Randika (2008).