TINJAUAN PUSTAKA
Pola Budidaya Agroforestry merupakan suatu sistem pola budidaya atau pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Masalah yang sering timbul adalah alih fungsi lahan menyebabkan lahan hutan semakin berkurang. Agroforestry diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut dan masalah ketersediaan pangan. Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Penggabungan tiga komponen yang termasuk dalam agroforestri adalah: 1. Agrisilvikultur. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian. 2. Silvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan. 3. Agrosilvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan. Disamping ketiga kombinasi tersebut, terdapat sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai agroforestry. Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik yaitu: 1. Silvofishery. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
Universitas Sumatra Utara
2. Apiculture. Budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan (Hairiah et al, 2003). Tujuan akhir program agroforestry adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestry diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat (Anton, 1992). Menurut
De
Foresta
dan
Michon
(1997),
agroforestry
dapat
dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama dari sistem agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan
Universitas Sumatra Utara
sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestry (De Foresta, 1997). Pemilihan dan penanaman jenis pohon dalam agroforestry dikenal istilah ”Domestikasi Pohon”. Domestikasi pohon agroforestry adalah usaha percepatan dan evolusi yang dipengaruhi oleh manusia yang membawa jenis-jenis tertentu ditanam secara luas melalui kebutuhan petani atau proses arahan pasar. Domestikasi pohon meliputi serangkaian kegiatan-kegiatan eksplorasi dan pengumpulan populasi genetik alam atau antropogenik, evaluasi dan seleksi jenis dan provenan yang sesuai, pengembangan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan pemasaran hasi pohon dan pembangunan dan penyebaran informasi teknis (Suryanto et al, 2005). Pola kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestry harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman dalam jenis leguminose. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan
bakteri
penambat
nitrogen
untuk
menyuburkan
tanah
kembali
(De Foresta, 1997). Sistem
penamaman
agroforestry
pada
daerah
berlereng
dapat
menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu bentuk Alley Cropping (tanaman lorong). Sistem SALT diselenggarakan dalam suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam proyek ini, dapat ditunjukkan bahwa cara bercocok tanam dan pengaturan letak
Universitas Sumatra Utara
tanaman, terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam konservasi tanah dan air, serta produksi hasil pertaniannya (De Foresta, 1997). Analisis Finansial Menurut Widianto et al (2003) bahwa keberadaan pohon dalam agroforestry
mempunyai
dua
peranan
utama.
Pertama,
pohon
dapat
mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan: (1) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan bangunan; (2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (3) produk atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada anggota rumah tangga. Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan dengan ciri sebagai berikut, yaitu : 1. Menghasilkan lebih dari suatu produk 2. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon 3. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan tak terukur (itangible) 4. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan pemanenan
tanaman
tahunan/pohon
yang
cukup
lama
(Suharjito et al. 2003).
Universitas Sumatra Utara
Menurut Lahjie (2004), bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran yang digunakan umumnya adalah : a. Net Present Value (NPV) Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. Net Present Value adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present Value dari arus Cost (Soekartawi, 1996). Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan nilai positif atau NVP lebih besar dari nol, artinya manfaat yang diterima proyek lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol, berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang dikeluarkan (keadaan BEP atau TC=TB). Apabila NPV lebih kecil dari nol, berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh. b. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Suatu proyek layak dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai Net B/C > 1, yang berarti manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya (Soekartawi, 1996).
Universitas Sumatra Utara
c. Internal Rate of Returns (IRR) Internal Rate of Returns dinyatakan dengan persen (%) yang merupakan
tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi, 1996). Penggunaan investasi akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada dalam keadaan yang menguntungkan. Demikian juga sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan tidak layak untuk dilaksanakan. Model Hutan Rakyat Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu : 1. Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur. 2. Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanan secara campuran. 3. Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain yang dikembangkan secara terpadu. Pola-pola model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan potensi daerah masing-masing. Karakteristik hutan rakyat menurut Winarno (2008) yaitu: 1. Luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit.
Universitas Sumatra Utara
2. Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan tanaman lainnya dengan pola tumpang sari, campuran agroforestri, sedangkan
petani
berlahan
luas
yang
komersil
memungkinkan
pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur. 3. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga. 4. Skala usaha kecil. 5. Kontinuitas dan mutu kayu kurang terjamin. 6. Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu. 7. Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga petani, tetapi dilihat sebagai “tabungan” yang segera dapat dijual pada saat dibutuhkan. 8. Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun, kontinuitas hasil dalam horizon waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan petani. 9. Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan. 10. Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehinga pendapatandari kayu rakyat merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga petani. 11. Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak pernah mati. 12. Instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat cukup banyak tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hutan rakyat.
Universitas Sumatra Utara
13. Perundangan, kebijakan, tata nilai, tata prilaku dan sebagainya belum optimal mendukung pengembangan hutan rakyat. Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri di mana petani masih memiliki posisi tawar yang rendah 2. .Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih di posisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total. Hasil dari hutan rakyat biasanya dijual ke tengkulak ataupun dikonsumsi sendiri. Bagi beberapa orang, hutan rakyat dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan utama rumah tangga bagi petani karena seiring dengan majunya sistem pengelolaan hutan rakyat, kontribusi yang diberikan oleh hutan rakyat lebih dari 10% dari pendapatan total. Tanaman Karet (Hevea braziliensis Muell. Arg) Sistematika botani tanaman karet adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Universitas Sumatra Utara
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea braziliensis Muell. Arg
Tanaman karet merupakan tanaman tahunan daerah tropika dan mempunyai daya adaptasi yang baik dari segi tanah maupun iklim. Tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah didaerah tropika dan mempunyai adaptasi yang tinggi pada lingkungan yang bervariasi (Lasminingsih dan Effendi, 1985). Daerah pertanaman utama tanaman karet di Indonesia adalah Sumatera, Jawa dan Kalimantan yang terletak pada zona 6 0 LU dan 90 LS. Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis muda atau vulkanis tua, aluvial dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993). Ketinggian tempat yang cocok bagi tanaman karet adalah 0 – 600 meter diatas permukaan laut, dan yang paling baik berkisar antara 0 – 200 mdpl (Syarif, 1986). Mulai ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama 6 bulan setiap kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap temperatur (Departemen Pertanian, 1997). Tanaman karet tumbuh baik bila syarat-syarat hidupnya mendukung terhadap pertumbuhan, baik faktor luar maupun faktor dalam. Dalam literatur Syarief (1983) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup tinggi antara 2.000 - 2.500 mm setahun disukai tanaman karet. Tanaman karet sangat toleran terhadap kemasaman tanah, tanaman ini akan tumbuh baik pada kisaran pH 4,0 – 7,0. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata-rata 25 – 30o C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari 20o C, maka tanaman karet tidak cocok ditanam didaerah tersebut.
Universitas Sumatra Utara
Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap tanah pada tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tanah-tanah yang kurang subur seperti Podsolik Merah Kuning dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet. Selain jenis tanah Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Aluvial juga bisa dikembangkan untuk penanaman karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Menurut Setyamidjaja (1993), tanah-tanah aluvial umumnya cukup subur, tetapi sifat fisiknya terutama drainasenya kurang baik. Pembuatan saluran-saluran drainase akan menolong memperbaiki keadaan tanah ini. Tanaman karet mempunyai sistem perakaran yang luas dengan kedalaman akar dapat mencapai 0 – 0,3 meter. Tanah yang ideal untuk tanaman karet adalah dengan kedalaman lebih dari 1 meter, aerasi dan srtuktur yang baik dan tekstur tanah harus terdiri 50 persen liat (Sys et al., 1993). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan produksi yang optimal, maka harus dipertimbangkan syarat-syarat lingkungan yang diinginkan tanaman ini. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang cocok akan menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Ketika sudah tidak layak sadap (biasanya saat itu pohon karet telah berumur 20-25 tahun), yang berarti jumlah getahnya semakin lama semakin sedikit atau pohonnya semakin lama semakin tinggi sehingga sulit dijangkau, maka setelah ditebang ia masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas atau berfungsi laiknya kayu.
Universitas Sumatra Utara
Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor:33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009). Gambaran Umum Wilayah Penelitian Secara geografis Kabupaten Mandailing Natal merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10 ′ – 1°50′ Lintang Utaradan 98°10′ – 100°10′ Bujur Timur ketinggian 0 – 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 % dari wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara
: Kabupaten Tapanuli Selatan
2. Sebelah Selatan
: Provinsi Sumatera Barat
3. Sebelah Barat
: Samudera Indonesia
4. Sebelah Timur
: Provinsi Sumatera Barat
(BPS Mandailing Natal, 2009). Kabupaten Mandailing Natal memiliki kondisi iklim hujan tropis dengan suhu udara berkisar antara 230C – 320C dan kelembaban udara antara 80-85%.
Universitas Sumatra Utara
Tinggi rendahnya suhu di suatu tempat dipengaruhi oleh ketinggian daerah di atas permukaan laut. Kondisi iklim ditandai dengan adanya musim penghujan, kemarau dan pancaroba. Curah hujan bulanan maksimum pada tahun 2009 terjadi di Bulan November yaitu 2.417 mm dan curah hujan harian minimum terjadi pada Bulan Juli yaitu 437 mm. Jumlah curah hujan rata-rata di Kabupaten Mandailing Natal ± 1.337 mm/tahun (BPS Mandailing Natal, 2009). Daerah Mandailing Natal terbagi dalam 3 bagian topografi yakni : 1. Dataran Rendah, merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0 º - 2 º dengan luas sekitar 160.500 hektar atau 18,68 %. 2. Dataran Landai, dengan kemiringan 2º - 15 º, dengan luas 36.385 hektar atau 4,24 %. 3. Dataran Tinggi, dengan kemiringan 7º - 40º, dengan luas 662.139 hektar atau 77,08% dibedakan atas 2 jenis yakni : Daerah perbukitan dengan luas 308.954 hektar atau 46,66% dan Daerah pegunungan dengan luas 353.185 hektar atau 53,34% (BPS Mandailing Natal, 2009). Desa Lumban Dolok memiliki luas 672.000 Ha dengan yang ditempati oleh 348 kepala keluarga. Penduduk Desa Lumban Dolok sebagian besar petani karet yang telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya (BPS Mandailing Natal, 2009).
Universitas Sumatra Utara