5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya tambak Budidaya tambak merupakan kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan serta meningkatkan mutu biota akuatik di dalam suatu kolam, dan agar dapat diperoleh suatu hasil yang optimal maka perlu disiapkan suatu kondisi tertentu yang sesuai bagi komoditas yang akan dipelihara (Effendi 2009). Dahuri et al. (1997) menyatakan bahwa agar budidaya perairan dapat berkelanjutan dan optimal, maka pemilihan lokasi harus dilakukan secara benar dan menurut pada kaidah- kaidah ekologis dan ekonomi. 2.2 Sistem budidaya tambak udang intensif Sistem budidaya udang yang diterapkan di Indonesia ada beberapa tingkatan yaitu tradisional, semi intensif dan sistem intensif. Perbedaan yang menonjol dari ketiga tingkatan tersebut adalah pada segi pengaturan lingkungan hidup, jenis pakan, padat tebar, modal dan luas lahan, serta pengendalian hasil. Budidaya sistem intensif umumnya dikembangkan pada daerah non-pasang surut, tambak dapat diairi, dikeringkan dan dipersiapkan secara lengkap sebelum masa penebaran benih, dan sistem tambak ini banyak dikembangkan pada lokasi yang jauh dari laut, dimana daerahnya bersalinitas rendah. Sistem ini umum dikembangkan pada daerah Asia dan di Eropa yang sedang mencoba untuk meningkatkan produktivitas. Sistem intensif mempunyai petakan yang lebih kecil antara 0,2 - 0,5 ha, menggunakan kincir, penggantian air dilakukan 3 - 4 hari sekali, dan untuk memudahkan, pengelolaan air dan pengawasan ditangani tenaga ahli dan didukung teknik yang canggih mulai awal penanaman, pemeliharaan sampai pasca panen. Padat tebar benur udang vannamei secara intensif dapat lebih tinggi dari padat tebar udang windu, yakni >70 ekor/ m2 (Midlen dan Redding 2000; Jory dan Cabrera 2003; Amri dan Kanna 2008)
6
Usaha peningkatan produksi udang vannamei dapat dilakukan melalui pemberian pakan yang tepat baik secara kualitas maupun secara kuantitas, yang merupakan syarat untuk mendukung pertumbuhan udang (Tahe 2008). Pakan buatan berkualitas tinggi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisional dari spesies yang dibudidayakan, dimana pemberian pakan secara menyeluruh ada dibawah pengawasan manusia. Budidaya udang intensif dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan input biaya yang besar, sebagai imbangan dari input tinggi, maka dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula (Chamberlain 1991; Effendi 1998; Midlen dan Redding 2000; Jory dan Cabrera 2003; Amri dan Kanna 2008). 2.3 Udang vannamei Udang vannamei termasuk pada famili Penaidae yaitu udang laut. Udang vannamei berasal dari Perairan Amerika Tengah. Negara di Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil, dan Meksiko sudah lama membudidayakan jenis udang yang juga dikenal dengan nama pacific white shrimp. Vannamei banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan antara lain, relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa pemeliharaan 100 - 110 hari), padat tebar tinggi, sintasan pemeliharaan tinggi dan Feed Convertion Ratio rendah (Hendrajat et al. 2007). Tingkat kelulushidupan vannamei dapat mencapai 80 - 100% (Duraippah et al. 2000), dan menurut Boyd dan Clay (2002), tingkat kelulushidupannya mencapai 91%. Berat udang ini dapat bertambah lebih 2
dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m ). Ukuran tubuh maksimum mencapai 23 cm. Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, L.vannamei tumbuh dengan lambat yaitu
7
sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al. 1995). Udang vannamei termasuk hewan omnivora yang mampu memanfaatkan pakan alami yang terdapat dalam tambak seperti plankton dan detritus yang ada pada kolom air sehingga dapat mengurangi input pakan berupa pelet. Kandungan protein pada pakan untuk udang vannamei relatif lebih rendah dibandingkan udang windu. Menurut Briggs et al. (2004), udang vannamei membutuhkan pakan dengan kadar protein 20-35%. Budidaya udang vannamei sangat dipengaruhi oleh faktor internal atau eksternal lingkungan tambak. Kualitas benih, persiapan tambak, manajemen kualitas air, manajemen pakan, maupun cuaca sangat menentukan keberhasilan budidaya udang. Manipulasi manajemen budidaya sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi udang putih, salah satunya adalah dengan manipulasi kepadatan tebar (Wardiyanto 2008).
2.3.1 Klasifikasi Udang Vannamei Klasifikasi udang vannamei (Gambar 2) menurut Boone (1931) adalah : Kingdom: Animalia Phylum: Arthropoda Subphylum: Crustacea Class: Malacostraca Order: Decapoda Suborder: Dendrobranchiata Family: Penaeidae Genus: Litopenaeus Species: L. vannamei
8
Gambar 2. Udang vannamei (L.vannamei)
2.4 Pengembangan lokasi budidaya tambak di pesisir Upaya pembukaan lahan budidaya tambak beserta pengembangannya seharusnya memperhatikan peraturan seperti tertuang dalam UU no. 5/1990 Bab I Pasal 5 yaitu : a. perlindungan sistem penyangga kehidupan b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya c. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pertimbangan bagi lahan pesisir untuk usaha pertambakan ditentukan oleh kualitas dan karakteristik tanah kolam, kualitas dan kuantitas sumber air (asin dan tawar), kemudahan pengisian dan pembuangan air khususnya dengan memanfaatkan pasang surut, topografi, kondisi klimatologi daerah pesisir dan hulu (Pillay dan Kutty 2005). Wilayah Pantai Utara Jawa adalah contoh pesisir yang telah mengalami tingkat pemanfaatan lahan untuk budidaya air payau sebesar lebih dari 90%, namun kerusakan ekosistem mangrove yang parah telah menyebabkan kegagalan dalam pengembangannya. Kegagalan budidaya udang cukup tinggi karena kegiatan tersebut tidak mempertimbangkan daya dukung tambak dan hanya berorientasi pada peningkatan produksi. Pola budidaya tambak udang
9
yang berorientasi pada optimalisasi produksi menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kegagalan akibat terjangkit virus dan penyakit atau kualitas udangnya terus menurun (Nurdjana 2005).
2.5 Kesesuaian lokasi usaha tambak Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno 2001). Kapetsky dan Travaglia (1995) menekankan bahwa investor yang tertarik dalam bidang pengembangan budidaya juga membutuhkan informasi spasial khususnya pada saat pemilihan lokasi dari beberapa alternatif pilihan lokasi yang memiliki perbedaan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya ke dalam kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha tertentu (Bakosurtanal 1996). Menurut Rossiter (1996), evaluasi kesesuaian lahan sangat penting dilakukan karena lahan memiliki sifat fisik, sosial, ekonomi dan geografi yang bervariasi atau dengan kata lain lahan diciptakan tidak sama. Adanya variasi sifat tersebut dapat mempengaruhi penggunaan lahan yang sesuai, diantaranya untuk budidaya tambak. Lokasi budidaya tambak di pesisir harus memperhatikan keberadaan dan kelestarian mangrove, karena kawasan mangrove memiliki peranan yang sangat penting, maka diperlukan pengelolaan yang pada dasarnya memberikan legitimasi agar dapat tetap lestari. Penetapan jalur hijau mangrove sebagai pelindung daerah pesisir dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri
10
Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984, yang menyebutkan bahwa lebar sabuk hijau mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan tersebut kemudian dijabarkan melalui Surat Edaran Nomor 507/IV-BPHH/1990 tentang penentuan lebar sabuk hijau hutan mangrove, yaitu sebesar 200 meter di sepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai. Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, yakni lebar jalur hijau (m) adalah 130 x rata- rata tunggang air pasang purnama (tidal range). Beberapa komponen penting yang harus diperhatikan guna mewujudkan keberhasilan usaha tambak yaitu pasokan air, topografi, tipe tanah, vegetasi, elevasi, serta pengaruh aliran sungai dan banjir (Rabanal et al. 1976, diacu dalam Abdurrahman 2004). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan kesesuaian lokasi tambak, antara lain: 2.5.1 Sumber air dan kualitasnya Salah satu faktor yang menunjang kelangsungan usaha tambak udang adalah sumber air laut.
Laut adalah sumber utama pemasok air bagi
pertambakan air payau. Pasokan air tawar untuk tambak dapat diperoleh dari aliran sungai, saluran irigasi untuk sawah, dan sumur air tanah (Poernomo 1992). Tambak dibangun dipinggir pantai untuk kemudahan pengairan, yakni pengisian dengan air laut atau air payau (Kordi dan Tancung 2007). Tambak udang biasanya dikembangkan di kawasan intertidal, pada area terlindung dekat sungai, muara sungai, dan area mangrove. Selain sebagai sumber pasokan air, kedekatan tambak dengan pantai bertujuan untuk mencapai kesempurnaan pengeluaran air limbah. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap proses pengeringan dasar tambak yang lebih baik, dengan catatan bahwa lokasi disepanjang pantai tidak berlumpur karena proses siltasi (Pillay dan Kutty 2005).
11
Diluar kuantitas pasokan air yang cukup, kualitas air perlu diperhatikan dalam usaha tambak. Persyaratan mutu air tambak untuk budidaya udang ditampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas air tambak udang Nilai No
Parameter
Satuan
Ditoleransi
Optimum
A. Fisika 1
Temperatur (****)
°C
23 – 33
26 – 30
2
Salinitas (**)
‰
10,0 – 35,0
15,0 – 20,0
mg/l
3
4,0 – 8,0
B. Kimia 3
Oksigen terlarut (DO) (*)
4
pH (****)
6,0 – 9,0
7,5 – 8,5
5
BOD (**)
mg/l
< 45
< 10
6
NH3 (amonia) (***)
Ppm
0,1
0
7
Nitrit (NO2) (**)
Ppm
< 0,5
0
8
Alkalinitas (***)
mg/l
20
80 – 120
9
Organofosfat (***)
Ppm
< 0,10
0
Sumber: (*)Boyd (1991); (**)Wyban dan Sweeny (1991); (***)Effendi (2003); (****)Amri dan Kanna (2008)
2.5.2 Karakteristik tanah Tanah yang baik untuk pertambakan adalah liat berpasir atau liat berlumpur. Tanah tambak umumnya terbentuk dari hasil endapan (alluvial), sehingga kesuburannya sangat ditentukan oleh jenis dan kualitas material yang diendapkannya (Afrianto dan Liviawaty 1991). Kualitas tanah tambak berperan penting dalam usaha budidaya tambak, bukan hanya karena pengaruhnya terhadap produktivitas maupun kualitas air yang berada diatasnya, namun juga karena faktor kesesuaiannya untuk konstruksi pematang dan selokan disekitar tambak (Pillay dan Kutty 2005). Kemampuan tambak dalam menahan volume air didalamnya dipengaruhi oleh karakteristik tanah. Tekstur dan porositas adalah dua properti fisik yang paling penting, dimana tekstur bergantung pada proporsi konstituen tanah partikel pasir, lempung dan liat. Tanah dengan tekstur liat (clay), lempung
12
berlumpur (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat berlumpur (silty clay loam) dan liat berpasir (sandy clay) lebih sesuai untuk konstruksi tambak. Hal ini dikarenakan tekstur tersebut memiliki luas permukaan yang lebih besar dan dengan demikian dapat menyerap lebih banyak nutrien dan menahan kemudian melepaskan kembali untuk pembentukan bahan organik dalam tambak (Pillay dan Kutty, 2005). Karakteristik tekstur tanah ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada tambak udang intensif diperlukan dasar tambak yang kompak dan keras agar kualitas dasar tambak dapat dipertahankan selama periode pemeliharaan.
Tabel 2. Hubungan antara tekstur tanah dengan kelayakannya sebagai lahan tambak Tekstur tanah Permeabilitas Kepadatan Kelayakan Liat (Clay) Kedap air Cukup Sangat baik Liat berpasir (Sandy Kedap air Baik Baik clay) Lempung (Loam) Semi kedap air Sedang Sedang Silty Semi kedap air Jelek - baik Jelek Peaty Kedap air Jelek Buruk Sumber: Afrianto dan Liviawaty (1991)
2.5.3 Topografi Usaha budidaya tambak sebaiknya memilih lokasi yang datar dan tidak lebih tinggi dari pasang tertinggi atau lebih rendah dari surut terendah. Hal tersebut berkaitan dengan kemudahan dalam penggalian dan perataan tanah, pergantian air tambak dan pengeringan serta menghindari kesulitan dalam pengelolaan air (Poernomo
1992).
Pada
tanah
bergelombang
dimungkinkan
terjadinya
penggalian tanah yang banyak dan menyebabkan lapisan tanah yang subur terbuang. Tanah yang datar umumnya memiliki tingkat kelerengan sekitar 0 – 3% (Jamulya dan Sunarto 1996).
13
2.5.4 Curah hujan Daerah yang ideal untuk dijadikan lahan tambak adalah daerah dengan curah hujan 2000 mm/ tahun dengan bulan kering 2 -3 bulan. Apabila curah hujan melebihi 2000 mm/ tahun dan tidak terdapat bulan kering atau hujan sepanjang tahun, maka akan menimbulkan masalah besar. Kondisi seperti ini sangat penting untuk diperhatikan, agar tambak dapat berproduksi lebih baik dan stabil, untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan organik, dan menghilangkan bahan toksik seperti H2S, serta untuk menumbuhkan pakan alami dalam tambak, maka perlu dilakukan pengeringan dasar tambak secara rutin menjelang penebaran benur, yang mana semua hal tersebut memerlukan bulan kering (Soeseno 1988) 2.5.5 Pasang surut Dua hal yang berkenaan dengan pasang surut adalah proses pemasukkan dan pembuangan air dalam proses produksi tambak. Pola pasang surut air akan mempengaruhi tipe dan manajemen tambak serta biaya operasinya. Agar kelancaran pengelolaan terjamin baik perlu diperhatikan agar tambak terletak pada lokasi dimana pasang- surutnya menguntungkan (Poernomo 1992). Kisaran fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi persyaratan untuk tambak adalah 1,7 – 2 meter. Jika suatu daerah memiliki fluktuasi pasang surut lebih dari dua meter, maka daerah tersebut membutuhkan pematang ekstra kuat untuk menahan air pasang. Daerah dengan tunggang pasut lebih rendah dari 1,7 meter menyebabkan kurangnya suplai air untuk memenuhi kebutuhan tambak, namun masih dapat dijadikan sebagai tambak, dengan memanfaatkan pompa untuk membantu mengalirkan air dari dan ke dalam tambak (Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1992). Gedrey et al. (1984), diacu dalam Pillay dan Kutty (2005) mengestimasi bahwa konstruksi dan pengoperasian
14
usaha tambak dengan sistem pompa akan lebih ekonomis daripada tambak yang bergantung pada pasang surut. 2.6 Data Data merupakan sekumpulan fakta mentah yang mewakili kejadian yang berlangsung dalam organisasi atau lingkungan fisik sebelum ditata dan diatur ke dalam bentuk yang dapat dipahami dan digunakan orang (Laudon dan Laudon 1998). Data dapat diolah lebih lanjut untuk menjadi sesuatu yang lebih bermakna, dan selanjutnya disimpan dalam database. 2.7 Informasi Informasi memiliki pengertian berbeda dengan data. Informasi merupakan hasil olahan data sehingga lebih bermakna. Hoffer et al. (2005) menyatakan bahwa informasi adalah data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakannya. Informasi dapat sangat berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau di masa mendatang (Davis 1999).
Pemrosesan data menjadi
sebuah informasi (Gambar 3) dapat melalui beberapa tahap seperti peringkasan, pererataan, penyajian dalam bentuk grafik, atau pemrosesan lainnya, dengan tujuan memudahkan interpretasi bagi pengguna (Kadir 2009).
PROSES
Data
-
Peringkasan Penyajian grafik Pengolahan Transformasi
Informasi
Gambar 3. Data, proses, dan informasi
15
2.8 Database Database adalah kumpulan terorganisir dari data yang secara nalar saling berkaitan (Hoffer et al. 2005). Menurut Prahasta (2009) database atau basis data adalah kumpulan data non-redundant yang saling terkait satu sama lainnya, dalam usaha membentuk bangunan informasi yang penting (enterprise) dan dapat digunakan bersama oleh sistem aplikasi yang berbeda. Penerapan database dalam suatu sistem informasi dinamakan database sistem, yaitu sebuah sistem informasi yang mengintegrasikan kumpulan data yang saling berhubungan, dan membuatnya tersedia untuk beberapa aplikasi (Kadir 2008). Komponen- komponen utama dalam sebuah sistem database adalah perangkat keras (hardware), sistem operasi, database, sistem pengelola database (DBMS), pemakai (user), dan aplikasi (perangkat lunak) lainnya (optional) (Fathansyah 2002). Database dikelola dengan perangkat lunak yang memungkinkan pengguna memakai, memelihara dan mengakses sumberdaya data secara efisien yakni DBMS atau Database Management System. Kelebihan penggunaan DBMS adalah mengurangi duplikasi data dan untuk keamanan data (Mulyanto 2009). Kecenderungan peningkatan penggunaan DBMS adalah dalam pengelolaan data SIG dan data non-spasial. Hampir semua Sistem Informasi Geografis yang bersifat komersil turut menyertakan beberapa bentuk dari DBMS (Aronoff 1991). 2.8.1 Database Relasional Database relasional adalah jenis database yang menggunakan model data relasional, dan merupakan jenis database yang sering digunakan saat ini. Model database relasional terdiri dari data yang direpresentasikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari sejumlah baris dan kolom, yang ternormalisasi dengan field kunci sebagai penguhubung relasional antar tabelnya. Model data relasional memiliki
16
beberapa kelebihan, antara lain cenderung mudah diakses, fleksibel, mudah dikembangkan strukturnya, serta operasi penambahan atau pengurangan yang diberlakukan tidak menyebabkan anomali atau perubahan hubungan antar tabel (Prahasta 2009). Kadir (2009) mengungkapkan bahwa setiap tabel dalam database model relasional dapat berhubungan yang dibentuk melalui mekanisme kunci primer (primary key) dan kunci asing (foreign key).
Kunci primer berperan sebagai
identitas yang unik dari setiap record, sedangkan kunci asing adalah kolom yang berperan sebagai penghubung dengan kunci primer di tabel lain (Mulyanto 2009). Ilustrasi hubungan antar tabel dalam model database relasional ditunjukkan dalam Gambar 4.
Kunci primer
Nomer_Mahasiswa Nama 55 Ridwan 56 Sari 57 Ida 58 Slamet
Tanggal_Lahir 20/03/1991 3/1/1992 22/7/1991 19/9/1991
Kunci primer
Kunci tamu
Kunci primer
Kelamin Pria Wanita Wanita Pria
Kunci tamu Nomer_Mahasiswa Kode_MK 53 DB001 54 P1001 55 DB001 55 DB001 Kode_MK DB001 DB002 P1001 P1002
Nilai A B B A
Nama_MK SKS Pengenalan Database Pemrograman Database Dasar Multimedia Pemrograman Multimedia
3 3 2 3
Gambar 4. Kunci primer dan kunci asing dalam hubungan antar relasi 2.9 Sistem Informasi Sistem
informasi
didefinisikan
sebagai
sistem
yang
mengumpulkan,
memproses, menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi untuk tujuan yang spesifik (Turban et al. 1999). Komponen dalam sistem informasi adalah
17
manusia, perangkat keras, perangkat lunak, data, dan jaringan. Sistem Informasi memiliki beberapa aktivitas yaitu input, proses, output, penyimpanan, dan pengendalian. Input merupakan proses memasukkan data. Pemrosesan dalam sistem
informasi
adalah
melakukan
pengolahan
data
dengan
operasi
matematika. Aktivitas output memberikan hasil dalam bentuk laporan, gambar, grafik, berkas, audio maupun video.
Mekanisme penyimpanan dalam sistem
informasi adalah aktivitas menyimpan data dan informasi secara teratur untuk digunakan kemudian (O‟Brien 2005). Komponen sistem informasi dalam aktivitas sistem informasi dituangkan dalam Gambar 5.
Sumber: O‟Brien (2005) Gambar 5. Komponen sistem informasi dalam aktivitas sistem informasi
Tujuan sistem informasi menurut Budihar (1995) adalah menyediakan dan mensistematisasikan informasi yang merefleksikan seluruh kegiatan yang diperlukan untuk mengendalikan operasi organisasi. Kegiatan dalam sistem informasi
adalah
mengambil,
mengolah,
menyimpan,dan
menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk mengoperasikan seluruh aktifitas di dalam organisasi. Dalam perancangan sistem informasi, dunia nyata ditransformasikan
18
dengan menggunakan sejumlah perangkat konseptual yakni model ER (Entity Relationship) sehingga menjadi suatu diagram relasi antar entitas (Prahasta 2009).
2.10 Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografi adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi bereferensi geografis (Aronoff 1991).
Definisi SIG menurut Burrough (1986), serta Kapetsky dan Travaglia
(1995) adalah integrasi dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang didesain untuk mencapai efisiensi guna memperoleh, menyimpan, memanipulasi, mengambil kembali, menganalisis, menampilkan dan melaporkan semua bentuk informasi bereferensi geografis untuk memenuhi suatu tujuan tertentu. SIG merupakan sistem yang mampu mendukung (proses) pengambilan keputusan (terkait aspek) spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi lokasi dengan karakteristik- karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut (Gistut 1994, diacu dalam Prahasta 2009). Perencanaan dengan SIG berkaitan dengan kondisi dunia nyata di awal dan akhir proses, hal ini diilustrasikan pada Gambar 6.
Real World
Data Sources
Data Management
Users
Analysis
Sumber: Modifikasi Aronoff (1991) Gambar 6. Skema proses perencanaan dengan SIG
19
2.10.1 Komponen SIG SIG memiliki empat rangkaian kemampuan dasar untuk menangani data bereferensi geografis yaitu input data, manajemen data, manipulasi dan analisis data, dan output (Prahasta 2009). Definisi input data adalah mengkonversi data dari format awal menjadi format yang dapat diterima dan digunakan dalam SIG. Manajemen data mencakup fungsi - fungsi yang diperlukan untuk menyimpan dan mengambil kembali data dari basis data. Manipulasi dan analisis data menentukan informasi yang dapat diperoleh melalui SIG. Output merupakan keluaran yang dihasilkan atau fungsi pelaporan dari SIG yang lebih baik dalam mutu, ketelitian dan kemudahan penggunaan. Output yang dihasilkan dapat berbentuk peta, tabel, nilai atau teks dalam format hardcopy atau softcopy (Aronoff 1991). Menurut Gistut (1994), diacu dalam Prahasta (2001), Sistem Informasi Geografis memiliki beberapa komponen seperti perangkat keras, perangkat lunak,data dan informasi geografi, pengguna serta manajemen (Gambar 7).
DATA MANIPULATION & ANALYSIS
DATA OUTPUT
DATA INPUT
DATA MANAGEMENT Sumber: Gistut (1994), diacu dalam Prahasta (2001) Gambar 7. Komponen Sistem Informasi Geografis
20
2.10.2 Format data SIG Pada dasarnya terdapat dua jenis sistem SIG yakni sistem vektor dan raster. Kedua sistem ini membedakan bagaimana data spasial direpresentasikan dan disimpan yaitu data raster atau data vector (Nath et al. 2000). Dalam sistem vektor dan raster, digunakan „sistem koordinat geografis‟ untuk menampilkan ulang suatu bentuk ruang (Aronoff 1991). Pembedaan jenis data SIG dituangkan dalam Gambar 8.
Data Vektor
GIS Data Spasial
Data SIG
Data Raster Data Non Spasial/ Data Atribut
Gambar 8. Tipe data Sistem Informasi Geografis
Nath et al. (2000) memaparkan bahwa data spasial dengan format vektor didefinisikan dan direpresentasikan sebagai “titik”, “garis”, dan “poligon”. Lokasi pompa di tambak direpresentasikan sebagai titik, sungai atau jalan sebagai garis, sedangkan poligon umum digunakan untuk menggambarkan area seperti ladang. Pada data raster, ruang direpresentasikan oleh grid yang seragam, dimana setiap sel memiliki deskriptor unik berdasarkan sistem koordinat (Gambar 8).
2.11 SIG dalam akuakultur Meaden dan Kapetsky (1991) menjelaskan tentang penggunaan SIG dibidang perikanan antara lain: 1) Perencanaan zonasi sumberdaya air; 2)
21
Pemetaan zonasi spesies biota air; 3) Pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif; 4) Identifikasi daerah dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan menyebar. SIG dapat digunakan untuk memprediksi atribut dari suatu lokasi khusus dan/ atau untuk menempatkan semua lokasi dengan atribut tertentu. Penggunaan SIG sebagai teknik untuk analisis sumberdaya dan pemilihan lokasi berperan penting dalam pengembangan budidaya (AguilarManjarrez dan Ross 1993). SIG telah banyak diterapkan untuk sektor budidaya skala regional atau nasional (Kapetsky et al. 1988; Meaden dan Kapetsky 1991; Nath et al. 2000). Sejumlah penelitian telah mengeksploitasi kapasitas pemodelan dari SIG, yaitu pembangunan model lokasi budidaya ikan di Red River Delta, Vietnam (Tran dan Demaine 1996), pembangunan model lokasi budidaya udang di Meksiko (Aguilar-Manjarrez 1996), manajemen akuakultur di pesisir Thailand (Jarayabhand 1997), dan lokasi potensi budidaya udang dan ikan di Bangladesh (Salam dan Ross 2000). Manajemen sumberdaya perairan suatu area yang belum terintegrasi dengan ekonomi pedesaan, dapat dibangun untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap protein ikan di suatu area. Dalam hal tersebut, pembentukan berdasarkan suatu pengambilan keputusan terstruktur dan skema perencanaan dapat dilayani dengan baik oleh SIG (Salam et al. 2003).