6
BAB II T I N J A U A N PUSTAKA
2.1
Transportasi
2.1.1
Pengertian Transportasi Transportasi atau perangkutan merupakan suatu kegiatan perpindahan orang
dan atau barang dari satu tempat (asal) ke tempat lain (tujuan) dengan menggunakan sarana tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu (Munawar, 2005). Alat atau sarana perpindahan yang digunakan dapat berbeda pula seperti jalan kaki, angkutan darat, air, udara dan lain-lain. Kegiatan manusia yang berbagai macam menyebabkan mereka saling berhubungan. Untuk itu diperlukan sarana penghubung. Salah satu diantaranya adalah angkutan umum. Dengan kemajuan teknologi, muncul berbagai macam alat angkut yang bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk memenuhi berbagai keperluan. Semakin maju peradaban manusia maka akan semakin kompleks masalah yang akan dihadapi, sehingga diperlukan tuntutan perkembangan teknologi yang lebih cocok.
2.1.2
Moda Transportasi Definisi dari moda adalah
merupakan sarana yang digunakan untuk
memindahkan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain. Moda transportasi dapat berupa moda transportasi darat, moda transportasi laut, dan moda transportasi udara, dimana masing-masing moda tersebut memiliki ciri dan karakteristik sendiri (Munawar, 2005). Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah moda transportasi darat, khususnya angkutan umum dan angkutan pribadi. 6
7
2.1.3
Pengertian Kendaraan Menurut Undang Undang No.22 tahun 2009, yang disebut kendaraan
adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel sedangkan, Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. Kendaraan
merupakan
sarana
angkutan
yang
penting
dalam
kehidupan modern ini karena dapat membantu manusia melaksanakan kegiatan sehari-hari serta memudahkan manusia dalam mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat sekaligus menunjang nilai aman dan nyaman (Soesantiyo, 1985).
2.1.4
Angkutan Penumpang Umum Yang dimaksud dengan angkutan umum penumpang adalah angkutan yang
disediakan untuk umum
dengan sistem sewa bayar (Munawar, 2005)..
Termasuk dalam pengertian angkutan umum penumpang adalah angkutan kota, kereta api, angkutan air dan udara. Tujuan utama dari keberadaan angkutan umum penumpang ini adalah menyelenggarakan pelayanan angkutan umum yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik adalah pelayanan yang aman, cepat, murah dan nyaman. Keberadaan angkutan umum penumpang mengandung arti pengurangan volume lalu lintas kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan karena angkutan umum bersifat massal sehingga biaya angkut dapat dibebankan kepada lebih banyak orang atau penumpang yang
8
menyebabkan biaya penumpang dapat ditekan serendah mungkin. Berdasarkan operasi pelayanannya, angkutan umum dibedakan atas dua kategori utama yaitu pertama angkutan umum yang disewakan disebut paratransit. Kedua angkutan umum massal dan sering disebut transit/mass transit. 1. Angkutan umum paratransit adalah jasa pelayanan angkutan yang dapat dimanfaatkan setiap orang berdasarkan satu ketentuan tertentu (misalnya tarif, rute,dsb), namun dapat disesuaikan dengan keinginan pemakai contohnya : taxi, bajai, minibus pariwisata dll. 2. Angkutan umum massal atau mass transit adalah jasa pelayanan yang dapat dimanfaatkan dengan suatu tarif atau ongkos tertentu dan memiliki Trayek dan jadwal yang tetap contohnya bus atau mikrobus.
Kebanyakan
pengoperasian
angkutan
mass
transit
ditujukan untuk pelayanan penumpang antar kota dalam propinsi atau luar propinsi (AKAP, AKDP, Angkot).
2.2
Perencanaan Transportasi
2.2.1
Konsep Perencanaan Transportasi Merencanakan transportasi sebagai suatu kegiatan profesional yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat hanya jika semua masalah dan penyelesaiannya dipandang dengan cara yang setepat-tepatnya, meliputi analisis terinci dari semua faktor yang berkaitan (Black,1981) Tujuan Perencanaan transportasi pada dasarnya adalah memperkirakan jumlah serta lokasi kebutuhan transportasi pada masa mendatang yang dikaitkan dengan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan yang akan digunakan untuk
9
berbagai kebijakan investasi di sektor transportasi sehingga efektif, efisien dan ekonomis (Tamin, 2000)
2.2.2
Pemodelan Transportasi Dalam perencanaan transportasi dikenal ada 4 (empat) langkah
pembuatan model, antara lain: 1. Bangkitan Perjalanan (Trip Generation) Pembangkit perjalanan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna lahan. 2. Sebaran Perjalanan (Trip Distribution) Penyebaran pergerakan merupakan tahapan yang menggabungkan interaksi antara tata guna lahan, jaringan transportasi dan arus lalu lintas. 3. Pemilihan Moda (Modal Choice /Modal Split) Dalam interaksi antara dua tata guna lahan atau lebih di suatu wilayah, maka seseorang akan memutuskan bagaimana interaksi tersebut harus dilakukan, dimana sering interaksi tersebut mengharuskan terjadinya perjalanan, baik antar tata guna lahan ataupun inter tata guna lahan. Keputusan dalam pemilihan moda berkaitan dengan jenis transportasi yang digunakan. Jika terdapat lebih dari satu moda, maka moda yang dipilih biasanya yang mempunyai rute terpendek, tercepat, atau termurah, atau teraman, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi adalah ketidaknyamanan dan keselamatan dan hal seperti ini harus dipertimbangkan dalam pemilihan
10
moda, walaupun sulit karena sangat sulit untuk dikuantifikasikan. 4. Pemilihan Rute (Traffic Assignment) Model ini bertujuan memprediksi pemilihan rute perjalanan yang akan digunakan. Diasumsikan pemakai jalan mempunyai informasi yang cukup (misalnya tentang kemacetan jalan), sehingga dapat menentukan rute yang terbaik.
2.2.3
Pemodelan Pemilihan Moda Pengertian Pemodelan Pemilihan Moda adalah model yang memberi
Gambaran bagaimana persepsi masyarakat mengenai dasar pemilihan jenis moda yang digunakan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor pelayanan angkutan umum seperti rute, tarif, kenyamanan, keamanan dan lain-lain. Model pemilihan moda bertujuan untuk mengetahui proporsi orang yang menggunakan setiap moda transportasi. Proses ini dilakukan dengan maksud untuk mengkalibrasi model pemilihan moda pada tahun dasar dengan mengetahui peubah bebas yang mempengaruhi pemilihan moda tersebut dan setelah dilakukan proses kalibrasi model dapat digunakan untuk meramalkan pemilihan moda dengan nilai peubah bebas untuk masa mendatang. Pemilihan moda ini sangat sulit dimodelkan, walaupun hanya dua buah moda yang digunakan (umum atau pribadi). Ini disebabkan oleh banyak faktor yang sulit dikuantifikasikan,
misalnya
kenyamanan,
keamanan,
kehandalan
atau
ketersediaan mobil pada saat diperlukan (Tamin, 2000). Pemilihan
moda
juga
mempertimbangkan
pergerakan
yang
menggunakan lebih dari satu moda dalam perjalanan (multimoda). Maka
11
dapat dikatakan bahwa pemodelan pemilihan moda merupakan bagian yang terlemah dan tersulit dimodelkan dari keempat tahapan model perencanaan transportasi. Dalam cakupan identifikasi permasalahan yang dikaji, dapat dikenali dari faktor penentu pemilihan jenis angkutan atau moda dan faktor yang mempengaruhi
pemilihan,
dimana
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
pemilihan moda dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain: 1. Ciri pengguna jalan: Beberapa faktor berikut ini diyakini akan sangat mempengaruhi pemilihan moda yaitu: ketersediaan atau pemilikan kendaraan pribadi, pemilikan Surat Ijin Mengemudi (SIM), struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak, pensiun, bujangan dan lainlain), pendapatan, faktor lain misal keharusan menggunakan mobil ke tempat bekerja dan keperluan mengantar anak. 2. Ciri pergerakan: Pemilihan moda juga akan sangat dipengaruhi oleh: tujuan pergerakan, waktu terjadinya pergerakan, jarak perjalanan. 3. Ciri fasilitas moda transportasi: Hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: a. Faktor kuantitatif seperti: waktu perjalanan, biaya transportasi (tarif, biaya bahan bakar, dan lainnya), ketersediaan ruang dan tarif parkir. b. Faktor kualitatif yang cukup sulit dihitung, meliputi: kenyamanan dan keamanan, Kehandalan dan keteraturan dan lain-lain.
12
4. Ciri kota atau zona: Beberapa ciri yang dapat mempengaruhi pemilihan moda adalah jarak dari pusat kota dan kepadatan penduduk. Model pemilihan moda yang baik harus mempertimbangkan semua faktor tersebut. Dari semua model pemilihan moda, pemilihan peubah bebas yang digunakan sangat tergantung pada: Orang yang memilih model tersebut, Tujuan pergerakan, Jenis model yang digunakan.
Dari semua faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi dan bagaimana satu faktor berpengaruh terhadap faktor lainnya, maka secara ilustrasi dapat diGambarkan dalam Kajian Masalah seperti Gambar 2.1 di bawah ini:
Faktor Penentu Pemilihan Moda
Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda
Maksud Perjalanan
Ciri Pengguna
Jarak Tempuh
Ciri Pergerakan
Jenis Moda Biaya
Tingkat Kenyamanan dan Keamanan
Ciri Fasilitas Moda Transportasi - faktor kuantitatif - faktor kualitatif
Ciri Kota / Zona
Gambar 2.1 Kajian Masalah
13
Dilihat dari posisi pemilihan moda terhadap analisis pembangkit perjalanan dalam proses perencanaan transportasi diasumsikan pemakai jalan memilih antara bergerak dan tidak bergerak. Jika dipilih melakukan pergerakan maka akan dilakukan pemilihan moda angkutan dan berjalan kaki, kemudian apabila memilih memakai moda maka diharuskan memilih dua pilihan yaitu penggunaan angkutan umum atau angkutan pribadi. Pemilihan moda merupakan bagian yang tersulit, merupakan suatu proses yang dinamis, melibatkan berbagai pihak dan multi-disiplin termasuk politik. Oleh karena itu dengan terlibatnya banyak pihak antara lain : pengguna (user), pemerintah (regulator), dan pemilik atau suatu badan usaha pengelola angkutan (operator), maka perlu kajian secara komprehensif, dimana pemikiran ini dapat diGambarkan seperti pada Gambar 2.2 di bawah ini: Total Pergerakan
Bergerak
Tidak Bergerak
Berjalan Kaki
Berkendaraan
Angkutan Umum
Angkutan Pribadi
Bermotor
Tidak Bermotor (Misal: Becak)
Jalan Raya
Jalan Rel
Bus
Tidak Bermotor (Misal: Sepeda)
Mobil
Bermotor
Sepeda Motor
Paratransit
Gambar 2.2. Proses Pemilihan Moda di Indonesia (Sumber : Tamin, 2000)
14
2.3
Analisis Regresi Dalam kegiatan pemodelan untuk rekayasa sipil, seringkali dijumpai
tinjauan hubungan antara suatu variabel dengan satu atau lebih variabel lain. Secara umum ada dua macam hubungan antara dua atau lebih variabel, yaitu bentuk hubungan dan keeratan hubungan. Jika ingin diketahui bentuk hubungan dua variabel atau lebih, digunakan analisis regresi sedangkan untuk analisis keeratan hubungan, digunakan analisis korelasi. Metode regresi yang paling umum digunakan adalah analisis regresi baik itu yang bersifat linier maupun non linier. Jika variabel tidak bebas bersifat diskrit analisis regresi linier tidak layak untuk digunakan karena dua alasan (Al-Ghamdi, 2002) yaitu: 1. Variabel tidak bebas di dalam metode regresi linier harus bersifat kontinyu 2. Variabel tidak bebas di dalam metode regresi linier dapat mengakomodasi nilai negatif. Kedua asumsi di atas tidak sesuai untuk kondisi variabel tidak bebas yang bersifat kategori (diskrit). Variabel diskrit sering dinyatakan dalam kategori. Variabel diskrit sering juga disebut variabel nominal atau variabel kategorik. Apabila terdapat dua kategori disebut dikotom, misalnya variabel jenis kelamin yang terdiri dari lakilaki dan perempuan. Apabila lebih dari dua kategori disebut politom. Misalnya variabel latar belakang pendidikan yang dapat terdiri dari SD, SMP, SMU, Perguruan tinggi dan sebagainya. Sementara itu variabel kontinyu adalah variabel
15
yang nilainya dalam jarak tertentu dan dengan pecahan yang tidak terbatas. misalnya variabel berat badan ada yang 40 kg, 45,5 kg, 60 kg dan sebagainya.
2.3.1
Regresi Logistik Didalam statistik, regresi logistik (seringkali disebut model logistik atau
model logit), digunakan untuk memprediksi kemungkinan (probabilitas) dari suatu kejadian dengan data fungsi logit dari kurva logistik. Seperti banyak bentuk analisis regresi, yang menggunakan beberapa variabel dapat berupa numerik atau kategoris. Sebagai contoh, probabilitas bahwa seseorang memiliki serangan jantung dalam jangka waktu tertentu, diprediksi dari pengetahuan tentang usia, jenis kelamin orang tersebut dan indeks massa tubuh. Regresi logistik adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan ketika variabel dependen (respon) merupakan variabel dikotomi. Variabel dikotomi biasanya hanya terdiri atas dua nilai, yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1. Regresi logistik akan membentuk variabel prediktor/respon yang merupakan kombinasi linier dari variabel independen. Nilai variabel prediktor ini kemudian ditransformasikan menjadi probabilitas dengan fungsi logit. Tidak seperti regresi linier biasa, regresi logistik tidak mengasumsikan hubungan antara variabel independen dan dependen secara linier. Regresi logistik merupakan regresi non linier dimana model yang ditentukan akan mengikuti pola kurva linier seperti Gambar 2.1. Untuk regresi logistik berapapun besarnya atau kecilnya harga x maka nilai y akan tetap diantara 0 dan 1 artinya variabel dikotomi yang digunakan dimana biasanya hanya terdiri atas dua nilai, yang
16
mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1.
Y=1
LOGISTIC REGRESSION MODEL
LINIER REGRESSION MODEL
Y=0 X
Gambar 2.3 Grafik Regresi Logistik Sumber: www.ats.ucla.edu/stat/stata/webbooks/logistic Selain itu regresi logistik juga menghasilkan rasio peluang (odds ratios) terkait dengan nilai setiap prediktor. Peluang (odds) dari suatu kejadian diartikan sebagai probabilitas hasil yang muncul yang dibagi dengan probabilitas suatu kejadian tidak terjadi. Secara umum, rasio peluang (odds ratios) merupakan sekumpulan peluang yang dibagi oleh peluang lainnya. Rasio peluang bagi prediktor diartikan sebagai jumlah relatif dimana peluang hasil meningkat (rasio peluang > 1) atau turun (rasio peluang < 1) ketika nilai variabel prediktor meningkat sebesar 1 unit. Regresi logistik sebenarnya sama dengan analisis regresi berganda, hanya variabel terikatnya merupakan dummy variable (0 dan 1). Sebagai contoh, pengaruh berapa rasio keuangan terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan. Maka variabel terikatnya adalah 0 jika terlambat dan 1 jika tidak terlambat (tepat).
17
Dalam cakupan identifikasi permasalahan yang dikaji, dengan mengenali faktor penentu pemilihan jenis angkutan atau moda yang mempengaruhi dalam pemilihan, dikaji bahwa variabel tidak bebas di dalam penelitian ini bersifat biner, yaitu angkutan pribadi dan angkutan umum, dan variabel bebas diambil dari kelompok faktor pengaruh pemilihan, sehingga digunakannya regresi logistik untuk menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas. Data yang bersifat biner (binary) adalah data dengan 2 (dua) respon, misalnya angkutan pribadi (1) – angkutan umum (0), gagal-berhasil, ya-tidak, on-off, 0-1 dan sebagainya. Seperti pada analisis regresi berganda, untuk regresi logistik, variabel bebas (X) bisa juga terdiri lebih dari satu variabel dan dapat berupa variabel yang bersifat kontinyu maupun diskrit.
2.3.2
Desain dan Analisis Variabel Dummy Karena regresi logistik diakomodasikan untuk variabel tidak bebas biner
maka di dalam pemodelan variabel bebas maupun variabel tidak bebasnya harus direpresentasikan dalam bentuk kode. Variabel yang dinyatakan dalam bentuk kode tersebut didefinisikan sebagai variabel dummy. Regresi logistik tidak hanya mengasumsikan variabel tidak bebas bersifat dikotomi tetapi juga sebagai variabel biner (binary), yaitu diberi kode sebagai 0 dan 1. Kode ini harus berupa bilangan numerik dan bukan tekstual (string) dan merupakan suatu keharusan bahwa kode dengan bilangan 0 berarti kejadian tidak ada (gagal) dan kode dengan bilangan 1 berarti kejadian ada atau berhasil (Washington et.al, 2003). Pada dasarnya semua perangkat lunak statistik akan melakukan perhitungan regresi logistik jika dan hanya jika variabel tidak bebas diberi kode 0
18
dan 1. Secara spesifik perangkat lunak statistik mengasumsikan variabel tidak bebas yang mempunyai nilai selain 0 adalah 1, sehingga jika variabel tidak bebas diberikan kode 3 dan 4 maka perangkat lunak akan mendefinisikannya sebagai bilangan 1. Akan tetapi ketentuan untuk variabel tidak bebas ini tidak berlaku untuk variabel bebas. Bentuk variabel bebas di dalam regresi logistik dapat berupa variabel yang bersifat kontinyu maupun diskrit dan tidak memiliki asumsi normalitas untuk variabel bebas. Untuk variabel bebas yang bersifat diskrit dengan beberapa klasifikasi dapat diberi kode 0, 1, 2, 3, …dst. Sebagai ilustrasi variabel tipe kendaraan mempunyai beberapa klasifikasi yaitu kendaraan berat, kendaraan ringan dan sepeda motor maka di dalam pengkodeannya klasifikasi variabel tipe kendaraan tersebut dapat diberikan kode mulai dari 0, 1 dan 2 maupun mulai dari 1, 2 dan 3. Sudah ditetapkan (by default) bahwa hampir semua perangkat lunak statistik mempunyai prioritas untuk memprediksi probabilitas dari suatu kejadian yang ada (berhasil). Probabilitas di dalam statistik didefinisikan sebagai suatu ekspresi kuantitatif dari suatu kemungkinan suatu kejadian akan terjadi. Secara formal probabilitas adalah jumlah kejadian yang terjadi (berhasil) dibagi dengan jumlah kejadian yang dapat terjadi. Sebagai contoh, didalam pelemparan koin yang mempunyai dua sisi, probabilitas satu sisinya adalah 0,5. Setelah variabel bebas dinyatakan dalam variabel dummy langkah selanjutnya adalah melakukan uji statistik (uji hipotesis) untuk mengetahui apakah semua variabel bebas akan diikutsertakan di dalam model. Sebagai contoh jika
19
variabel kendaraan berat secara statistik mempunyai jumlah/frekuensi yang kecil atau tidak signifikan (p-value < 0.05) dalam kelompok tipe kendaraan maka variabel kendaraan berat dapat direduksi dari variabel bebas tersebut. Untuk melakukan reduksi variabel bebas dapat dilakukan dengan melakukan uji hipotesis yaitu: H0 : pi = 0 Ha : pi 0 dimana pi adalah proporsi klasifikasi i di dalam variabel dummy. Selanjutnya masing-masing variabel desain diuji keberartiannya dengan menggunakan rumusan selang kepercayaan untuk proporsi populasi yaitu:
ˆ Z p
/ 2
ˆ q ˆ p ..................................................... (2.13) n
dimana: pˆ = proporsi sampel berdasarkan jumlah ‘berhasil’ (kode = 1) qˆ = 1- pˆ
n = jumlah sampel
z
/2
= nilai variabel standar normal (Z) dengan area ‘tails’ adalah (α/2).
Rumusan tersebut digunakan untuk menghitung selang kepercayaan (95%) dari proporsi sampel. Jika nilai dari selang kepercayaan mengandung nilai 0 dan nilai-p lebih besar dari 0.05 maka variabel desain tersebut tidak signifikan. Hal demikian dapat mempengaruhi jumlah variabel desain yang terdapat pada variabel dummy.
20
2.3.3
Bentuk Umum Regresi Logistik Berdasarkan data bivariat (X,Y), dimana X adalah variabel numerik atau
variabel satu-nol dan Y adalah variabel respon satu-nol, dapat diperlihatkan model regresi logistik dengan bentuk umum sebagai berikut (Washington, et.al, 2003): p P( Y 1)
exp( 0 1 X ) .................................. (2.14) 1 exp( 0 1 X )
dimana p = P(Y=1) menyatakan proporsi skor/nilai Y=1 di dalam populasi di antara semua skor/nilai satu-nol yang mungkin. Besaran p = P(Y=1) kerap kali juga dinyatakan sebagai peluang atau probabilitas peristiwa/kasus yang ditentukan oleh skor Y=1, jika sebuah/seorang individu dipilih secara random dari populasi tertentu. Dengan memperhatikan model regresi logistik tersebut, maka kita akan berbicara tentang peluang p = P(Y=1) yang tergantung pada skor/nilai variabel bebas X. Oleh karena itu, sebenarnya P(Y=1) menyatakan proporsi atau peluang bersyarat, yang secara lengkap seharusnya ditulis seperti di bawah ini:
p x P(Y 1 X) .................................................................. (2.15) Sehingga, jelaslah bahwa dengan menerapkan model logistik berdasarkan data tertentu, termasuk dengan data bivariant (X,Y) tersebut di atas, bertujuan untuk memperkirakan atau mengestimasi besarnya proporsi Y=1 di dalam populasi yang bersangkutan. Berkaitan dengan model regresi univariat pada umumnya, model regresi logistik (2.14) juga dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
p /(1 p) exp(0 1X) ..................................................... (2.16)
21
Atau
ln p /(1 p) 0 1X ........................................................ (2.17) Jika kita perhatikan ruas kanan persamaan (2.5) maka akan terlihat persis sama dengan bentuk regresi linier sederhana dengan sebuah variabel bebas X, dimana X adalah variabel satu-nol atau numerik. Berkaitan dengan model ini perlu diperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1. Pemakaian persamaan (2.17) disertai dengan asumsi atau prasyarat bahwa ln p /(1 p) dan X mempunyai hubungan linier. Untuk mempelajari
kebenaran asumsi ini, maka diperlukan cukup banyak observasi untuk setiap nilai/skor dari variabel X, sehingga dapat diperoleh suatu nilai p yang rasional untuk setiap nilai/skor variabel X. Hal ini dipandang sebagai salah satu kelemahan pemakaian model logistik, khususnya untuk X numerik, karena pada umumnya kita tidak mempunyai observasi yang cukup banyak untuk setiap nilai X. 2. Jika untuk setiap nilai/skor X terdapat cukup banyak observasi, maka nilai ln p /(1 p)
dapat dihitung untuk setiap nilai/skor variabel X.
Selanjutnya, dapat dibuat diagram pencar antara variabel tidak bebas ln p /(1 p) dengan variabel bebas X, yang dapat menunjukkan
kebenaran asumsi yang dipakai secara empiris. 3. Di lain pihak, jika prasyarat hubungan linier tersebut tidak dapat diterima, maka dengan sendirinya persamaan (2.5) tidak berlaku atau tidak sepatutnya digunakan untuk data yang bersangkutan. Dalam kasus seperti ini, maka harus dicoba dengan bentuk lain, diantaranya dengan memakai
22
model non-linier, model dengan variabel bebas ln(X) sebagai ganti dari X dan model kurva berbentuk S. 4. Jika X merupakan indikator satu-nol, maka asumsi hubungan linier untuk persamaan (2.17) mutlak berlaku, karena hanya terdapat dua titik observasi yang sesuai dengan X=0 dan X=1, dengan koordinat sebagai berikut: Untuk X=0 : ln p0 /(1 p0 ) 0 ........................................ (2.18) Untuk X=1 : ln p1 /(1 p1 ) 0 1 .................................. (2.19), dengan 0,1 = parameter model, X = nilai variabel bebas, ln p1 /(1 p1 ) = transformasi logit atau logit p (natural log) dari rasio odds, dimana odds fungsi dari p, probabilitas dari 1 (simbol untuk peluang suatu peristiwa sukses atau berhasil atau terjadi).
2.3.4
Maksimum Likelihood untuk Penentuan Parameter Model Logistik Di dalam regresi linier dikenal istilah kuadrat terkecil (least squares) yang
digunakan untuk estimasi parameter model, sedangkan untuk regresi logistik yang digunakan adalah prinsip estimasi maximum likelihood (ML). Prinsip dari ML ini adalah parameter populasi diestimasi dengan cara memaksimumkan kemungkinan (likelihood) dari data observasi. Estimator yang diperoleh dari metode ini disebut dengan Maximum Likelihood Estimator (MLE). Sebagai ilustrasi, misalkan pada suatu kabupaten A, 80% anak-anak mempunyai asuransi kesehatan. Kemudian 10 orang anak di kabupaten A dipilih secara acak, dengan probabilitas 7 dari 10 anak-anak mempunyai asuransi kesehatan adalah 0,2013. Sementara itu di kabupaten B, 40% anak-anak
23
mempunyai asuransi kesehatan. Kemudian 10 orang anak di kabupaten B dipilih secara acak, dengan probabilitas 7 dari 10 orang anak mempunyai asuransi kesehatan adalah 0,0425. Misalkan diketahui bahwa diantara 10 orang anak yang dipilih secara acak dari salah satu kabupaten tersebut 7 orang mempunyai asuransi kesehatan, berapakah persentase anak-anak di kedua kabupaten tersebut yang mempunyai asuransi kesehatan? Apakah kemungkinannya lebih besar dari kabupaten A dengan 80% asuransi kesehatan atau dari kabupaten B dengan 40% asuransi kesehatan? Karena data observasi menunjukkan bahwa 7 dari 10 orang anak yang mempunyai asuransi kesehatan lebih besar kemungkinannya di kabupaten A maka kemungkinannya adalah sampel yang berasal dari kabupaten A dengan estimasi rasio sebesar 80%. Likelihood merupakan suatu fungsi dari data dan parameter model. Jika terdapat data biner maka bentuk dari likelihood adalah sebagai berikut: a. Yi = 1 dengan probabilitas pi b. Yi = 0 dengan probabilitas 1 – pi Misalkan jika data observasi bersifat bebas maka likelihood dari data Y1, Y2,…,Yn adalah pi dan 1 - pi. Jika untuk setiap Yi = 1,dengan probabilitas pi dan untuk setiap Yi = 0 dengan probabilitas 1 – pi maka bentuk umum dari likelihood (L): n
L=
p
Yi i
(1 pi )1Yi ............................................................. (2.20)
i 1
Sepintas model di atas menyatakan bahwa likelihood hanya berkaitan dengan probabilitas dan belum menjelaskan mengenai probabilitas dari variabel bebas yang akan diperoleh.
24
Fungsi logistik linier dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara probabilitas pi dan variabel bebas Xi sebagai berikut:
pi
e ( 0 1 X i ) 1 e
( 0 1 X i )
................................................................. (2.21)
dan
1 pi
1 1 e
( 0 1 X i )
.......................................................... (2.22)
Dengan menggunakan kedua persamaan (2.9) dan (2.10) pada persamaan (2.8) diperoleh: e 0 1 X i L 0 1 X i i 1 1 e n
n
i 1
e
Yi
1 0 1 X i 1 e
1Yi
0 1 X i Yi
1 e
0 1 X i
............................................................... (2.23)
Menghitung nilai 0 dan 1 pada persamaan (2.11) merupakan suatu hal yang berat untuk dilakukan. Seringkali ditemukan bahwa lebih mudah untuk menggunakan logaritmik natural dari likelihood itu sendiri yaitu dengan memilih 0 dan 1 untuk memaksimumkan log likelihood. Log-likelihood dari data biner didalam suatu model regresi logistik adalah: n
n
i 1
i 1
log( L) Yi ( 0 1 X i ) log 1 e 0 1 X i .................. (2.24)
Serupa dengan prinsip kuadrat terkecil pada regresi linier, akan terdapat dua persamaan yang harus dipecahkan untuk dua parameter (solusinya adalah estimasi dari 0 dan 1). Akan tetapi, tidak seperti pada kuadrat terkecil, dua
25
persamaan pada regresi logistik bersifat tidak linier sehingga harus dipecahkan dengan proses iterasi. Ini dimungkinkan dengan penentuan nilai awal untuk 0 dan 1, evaluasi log-likelihood, penentuan nilai baru untuk 0 atau 1 yang menaikkan nilai log-likelihood, dan mengulangi proses tersebut sampai nilai log-likelihood tidak berubah atau konstan pada suatu nilai tertentu. Jika hal tersebut terjadi maka dikatakan bahwa proses iterasi nilai log-likelihood sudah bersifat konvergen.
2.3.5
Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit) Uji kelayakan model dilakukan dengan menggunakan uji statistik dari
Hosmer and Lemeshow. Uji ini bertujuan untuk mempelajari sejauh mana kesesuaian model regresi logistik yang dipakai di dalam memodelkan hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas. Hipotesis nol dari uji statistik ini adalah model yang diuji layak, sedangkan hipotesis alternatifnya adalah model yang diuji tidak layak (model tidak mampu merepresentasikan hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas). Uji statistik ini dilakukan dengan membagi data kedalam grup (g). Grup ini dibentuk dengan mengurutkan data eksisting berdasarkan tingkat probabilitasnya. Jadi data diurutkan dari data yang paling kecil kemungkinannya (p~0) ke data yang paling besar kemungkinannya (p~1). Grup umumnya dipecah menjadi 10 grup. Setiap grup yang dihitung memiliki data hasil observasi dan hasil prediksi. Prinsip dasar dari uji statistik ini adalah frekuensi hasil prediksi dan frekuensi observasi dari variabel tidak bebas harus mempunyai perbedaan yang relatif kecil. Semakin kecil perbedaannya semakin layak model tersebut. Model
26
yang layak menurut uji statistik ini akan mempunyai nilai probabilitas (p-value) yang besar yaitu lebih besar dari tingkat keyakinan 5% atau α=0.05 (Washington, et.al, 2003). Formula dari uji Hosmer and Lemeshow ini adalah: ^
(Ok E k ) 2 ............................................................... (2.25) vk k 1 9
C
dengan: Cˆ
= Uji Hosmer-Lemeshow (H-L test)
Ok
= Nilai Observasi pada grup yang ke-k
Ek
= Nilai Ekspektasi pada grup yang ke-k
vk
= Faktor koreksi variansi untuk grup yang ke-k Sebagai ilustrasi diberikan Tabel perbandingan frekuensi prediksi dan
observasi dan hasil uji statistik pada Tabel 2.5. Tabel 2.1 Ilustrasi Uji Statistik Hosmer and Lemeshow Group Prob Obs_1 Exp_1 Obs_0 Exp_0
Total
1
0.0016
0
0.1
71
70.9
71
2
0.0033
1
0.2
73
73.8
74
3
0.0054
0
0.3
74
73.7
74
4
0.0096
1
0.5
64
64.5
65
5
0.0206
1
1.0
69
69.0
70
6
0.0623
4
2.5
69
70.5
73
7
0.1421
2
6.6
66
61.4
68
8
0.4738
24
22.0
50
52.0
74
9
0.7711
44
43.3
25
25.7
69
8
7.4
69
10 0.9692 61 61.6 number of observations = 707 number of groups = 10 Hosmer-Lemeshow chi2(8) = 9.15 Prob > chi2 = 0.3296
27
Dengan nilai p-value 0.3296 (0.33) dapat dikatakan bahwa uji statistik mengindikasikan
bahwa
model
yang
dikembangkan
layak
di
dalam
mengGambarkan hubungan antara variabel bebas dan tidak bebasnya.
2.3.6
Pengertian Kalibrasi dan Validasi Kalibrasi adalah proses perhitungan untuk menentukan nilai parameter
(konstanta dan koefisien) dari suatu model. Misal suatu model regresi sederhana: y=a+bx diperoleh hasil kalibrasinya adalah: y = 89,9 + 2,48x. Ini memberi makna persamaan bahwa: y mempunyai hubungan linier dengan x, perubahan satu satuan dari nilai x akan merubah nilai y sebesar 2,48 satuan, dan dengan nilai konstanta yang cukup tinggi, merupakan indikasi kemungkinan galat adalah hubungan y dan x sebenarnya tidak linier, tidak diperhitungkannya variabel bebas lainnya yang lebih signifikan (galat spesifikasi), atau terdapat kesalahan pengumpulan data (galat pengukuran). Validasi berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Dengan demikian pada kajian ini model yang validasi adalah model yang dianggap baik yang telah diperoleh dari proses kalibrasi yaitu untuk signifikansi tujuan, ketepatan prosedur, manfaat hasil penelitian dan juga untuk memahami data, penelusuran data sesuai teori yang yang digunakan dan di analisis secara statistik.
2.3.7
Rasio Odds dan Probabilitas Setelah model dinyatakan layak di dalam mengGambarkan hubungan
antara variabel bebas dan tidak bebas maka langkah selanjutnya adalah
28
menginterpretasikan model tersebut yang berguna di dalam penarikan kesimpulan. Di dalam kegiatan penginterpretasian model tersebut terdapat kegiatan analisis rasio odds. Secara harfiah odds mempunyai arti yang sama dengan peluang atau probabilitas atau kemungkinan. Akan tetapi di dalam statistik, peluang atau kemungkinan dan odds mempunyai konsep yang berbeda. Odds dari suatu kejadian diGambarkan sebagai peluang dari peristiwa yang terjadi dibagi oleh peluang dari peristiwa yang tidak terjadi. Sebagai ilustrasi di dalam pelemparan koin, kemungkinan memperoleh kepala adalah 0.5 dan kemungkinan tidak mendapat kepala juga 0.5. Karenanya, odds adalah 0.5/0.5= 1. Bahwa kemungkinan dari suatu peristiwa yang terjadi dan kemungkinan dari peristiwa tidak terjadi, jumlahnya harus 1. Jika diasumsikan bahwa dengan mengubah koin sedemikian rupa sehingga kemungkinan mendapat kepala adalah 0.6 maka kemungkinan tidak mendapat kepala menjadi 0.4. Odds mendapat kepala adalah 0.6/0.4= 1,5. Jika kemungkinan mendapat kepala adalah 0.8 maka odds mendapatkan kepala akan menjadi 0.8/0.2= 4. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa, ketika odds sama, kemungkinan dari peristiwa terjadi sama dengan kemungkinan peristiwa tidak terjadi. Ketika odds salah satunya lebih besar, kemungkinan dari kejadian peristiwa adalah lebih tinggi dibanding kemungkinan dari peristiwa tidak terjadi, dan ketika odds lebih kecil dari yang lainnya, kemungkinan dari
kejadian peristiwa kurang dari
kemungkinan dari peristiwa tidak terjadi. Odds dapat dikonversi kembali ke suatu peluang (probabilitas) yaitu dengan rumusan peluang = odds / (1+odds). Konsep
29
berikutnya adalah mengenai rasio odds, seperti telah diketahui bahwa rasio odds (odds ratio) adalah perbandingan dua odds. Sebagai ilustrasi, diasumsikan bahwa terdapat wanita dan pria di dalam satu regu dengan proporsi 75% wanita dan 60% pria. Odds untuk wanita adalah 0.75/0.25= 3, dan odds untuk pria adalah 0.6/0.4= 1.5. Rasio odds akan menjadi 3/1.5= 2, artinya bahwa odds dari wanita dibanding pria untuk ikut bergabung ke dalam regu adalah 2 berbanding 1. Sebagai ilustrasi di dalam pengertian mengenai odds dan probabilitas (kemungkinan) dapat dilihat pada contoh berikut. Misal untuk analisa keropos tulang (osteoporosis) diperoleh suatu model logit sebagai berikut: p = a + b.Umur ..................................... (2.26) Logit (p) = ln 1 p
dimana variabel bebas Umur merupakan umur responden. Dari hasil pemodelan diperoleh bahwa koefisien a dan b bernilai masing-masing -21.18 dan 1.629. Menggunakan kedua nilai ini maka diperoleh model sebagai berikut: p = -21.18 + 1.629.Umur...................... (2.27) Logit (p) = ln 1 p
Untuk menginterpretasikan model ini misalnya diinginkan untuk mengetahui probabilitas seorang anak berumur 10 tahun menderita keropos tulang dapat dilakukan dengan cara: p = -21.18 + 1.629 (10) = -4.89 ............ (2.28) Logit (p) = ln 1 p
Nilai -4,89 di atas bukan nilai probabilitas. Untuk memperoleh nilai yang diinginkan maka dihitung exp (-4.89) = 0.0075 . Nilai ini merupakan nilai odds yang mengindikasikan bahwa berubahnya
30
seorang anak sebanyak satu unit umur akan menyebabkan nilai odds dari anak tersebut menderita keropos tulang adalah 0.0075. Jika ingin diketahui probabilitas (kemungkinan) seorang anak berumur 10 tahun maka dilakukan dengan menghitung: exp log it ( p ) exp 4.89 0.0075 p 0.007 .......... (2.29) log it ( p ) 4.89 1 0.0075 1 exp 1 exp
Hasil di atas menyatakan bahwa probabilitas (kemungkinan) seorang anak 10 tahun ke bawah menderita keropos tulang adalah sangat kecil (0.7%).
2.4
Teknik Sampling Sampel adalah sekumpulan unit yang merupakan bagian dari populasi dan
dipilih untuk mempresentasikan seluruh populasi. Pengambilan sampel membantu mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Desain tersebut bertujuan untuk memperoleh data yang representatif/mewakili populasi. Tujuan tahap desain sampel adalah menentukan spesifikasi kualitatif dan kuantitatif dari tata cara pengambilan sampel pada saat survai dilakukan. Sasaran akhir tahap desain sampel adalah teknik pengambilan sampel dan besar sampel. Tahap pengambilan sampel antara lain: 1. Target populasi Target populasi adalah kumpulan objek yang dilengkapi tempat informasi atau data yang akan dikumpulkan. Target populasi ditentukan berdasarkan tujuan Survai. 2. Unit Sampel (sampling unit) Unit sampel adalah suatu unit yang akan digunakan sebagai dasar bagi
31
penentuan besar sampel. Suatu populasi pada dasarnya terbentuk dari sekumpulan elemen-elemen individual yang membentuknya. Unit sampel pada urnumnya merupakan agresi (pengelompokan) dari elemen populasi (unit analisis dari populasi). Dalam banyak hal unit sampel dapat menjadi tidak sama dengan elemen populasi. 3. Daftar acuan pengambilan sample (sampling frame) Sampling frame merupakan daftar acuan (base list) yang digunakan untuk mengidentifikasi elemen (unit analisis) dari populasi. Sampling frame berisi semua atau sebagian besar unit sampel yang ada dalam populasi. Sampling frame tergantung dari populasi dan unit sampel yang akan digunakan. 4. Metode penarikan sampel Tujuan penarikan sampel adalah mendapatkan sampel dengan jumlah dari populasi agar sampel tersebut representatif atau mewakili populasi. Atas pertimbangan
bahwa
sampel
yang
diambil
digunakan
untuk
mempresentasikan seluruh populasi, maka penentuan cara yang tepat dalam menarik sampel menjadi penting. Teknik sampling random terdiri atas empat macam yaitu : a. Sampling Random Sederhana Ciri utama sampling ini ialah setiap unsur dari keseluruhan populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. b. Sampling Bertingkat Teknik ini digunakan apabila populasinya heterogen atau terdiri atas
32
kelompok-kelompok
yang
bertingkat,
misalnya
menurut
usia,
pendidikan. c. Teknik Sampling Muster Teknik ini digunakan apabila populasi tersebar dibeberapa daerah, propinsi, kabupaten, kecamatan dan seterusnya. d. Tenik Sampling Sistematis Teknik ini sama dengan sampling random hanya sampel dipilih berdasarkan urutan tertentu. Misalnya setiap kelipatan 5 atau 10 dari daftar pegawai. 5. Penentuan besar sampel Besar sampel yang digunakan mempresentasikan seluruh populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a. Tingkat variabilitas parameter yang akan ditinjau dari seluruh populasi yang ada, b. tingkat ketelitian yang dibutuhkan untuk mengukur parameter yang dimaksud, c. besar populasi tempat parameter akan disurvai.
Besar sampel dapat ditentukan secara statistik. Statistik yang digunakan untuk menentukan besar sampel dari populasi dijabarkan dalam rumusrumus sebagai berikut, antara lain : Standar Deviasi:
(S )
( x x ) 2 ................................................................. (2.10) n
33
Se
= 0,05 x mean parameter yang dikaji
Se(x) = Se/1,96
s2 n' ....................................................................... (2.11) ( s.e.( x ) ) 2 dimana: x
= Parameter yang digunakan dalam penentuan besar sampel
n'
= jumlah sampel representatif
S
= standar deviasi.
Se
= Acceptable Sampling Error
(S.e.(x))2 = Acceptable Standard Error.
Standar deviasi mengGambarkan tingkat variabilitas, sedangkan standar kesalahan (error) yang dapat diterima mengGambarkan tingkat ketelitian ukuran parameter yang diisyaratkan. Standar deviasi parameter biasanya didapatkan dari hasil Survai pendahuluan (pilot survey) atau survai sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, sedangkan besaran standar kesalahan
(error) ditentukan dengan
spesifikasi ketelitian yang diinginkan. Spesifikasi tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 95% yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan sampling yang dapat ditolirir tidak melebihi 5% dengan kondisi seperti ini maka besarnya standar error yang dapat diterima (acceptable stundard error) yang ditunjukan dalam
34
Tabel distribusi normal adalah 1,96 dari acceptable sampling error. Menurut Mendenhall (1971), bahwa n ≥ 30 merupakan ukuran/jumlah sampel besar, sebaliknya n < 30 merupakan ukuran sampel kecil. Juga dinyatakan bahwa pengambilan sampel secara acak akan memberikan peluang untuk menghasilkan suatu sampel yang mendekati representatif. Selain itu menurut Black (1981), besar sampel minimum dan yang dianjurkan dapat diperkirakan seperti Tabel 2.3 di bawah ini. Tabel 2.2 Besar sampel minimum dan yang dianjurkan dalam Home Interview Survey (HIS) Jumlah Penduduk
Besar Sampel Minimum
Dianjurkan
< 50.000
1 : 10
1:5
50.000 - 150.000
1 : 20
1:8
150.000 - 300.000
1 : 35
1 : 10
300.000 - 500.000
1 : 50
1 : 15
500.000 – 1.000.000
1 : 70
1 : 20
> 1.000.000
1 : 100
1 : 25
Sumber: Black, 1981 Metode
pengumpulan
sampel/data
dengan
teknik
wawancara
(interview), yaitu teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal mengenai responden secara lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan pada laporan tentang diri sendiri atau self-report, atau setidaktidaknya pada pengetahuan dan/atau keyakinan pribadi. Beberapa anggapan yang perlu dipegang peneliti dalam menggunakan metode interview dan juga kuisioner adalah
35
sebagai berikut: 1. Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu dirinya sendiri. 2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. 3. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti. Dalam survei ini sampel yang diambil dari populasi yang betul-betul representatif (mewakili) sebagai responden adalah kepala keluarga atau penduduk yang telah berumur diatas 20 tahun serta berbasis pada Kelurahan atau Desa. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon. Untuk Home Interview Survey, kuisioner sesuai mendapatkan
Formulir pada
Informasi
Umum
Lampiran B digunakan untuk Rumah
Tangga
dan
Informasi
Keinginan Beralih Moda, dengan cara mendatangi responden di lokasi.
2.5
Permintaan (demand) Jasa Angkutan Permintaan atau kebutuhan akan jasa jasa transportasi ditentukan oleh
barang-barang dan penumpang yang akan diangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Permintaan akan angkutan adalah permintaan tak langsung berawal dari kebutuhan manusia akan berbagai jenis barang dan jasa (Salim, 1993). Untuk mengetahui
36
berapa jumlah permintaan akan jasa angkutan yang sebenarnya perlu diperhatikan beberapa hal berikut: 1. Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan penduduk suatu daerah akan membawa pengaruh terhadap jumlah yang dibutuhkan. 2. Pembangunan wilayah dan daerah Dalam rangka pemerataan pembangunan dan penyebaran penduduk di seluruh daerah, transportasi sebagai sarana dan prasarana penunjang untuk memenuhi kebutuhan akan jasa angkutan harus dibarengi sejalan dengan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan tersebut. 3. Industrialisasi Proses industrialisasi di segala sektor ekonomi dewasa ini yang merupakan program pemerintah untuk pemerataan pembangunan akan membawa dampak terhadap jasa transportasi yang diperlukan. Permasalahannya adalah sampai seberapa jauh penyediaan jasa angkutan tersebut dapat dipengaruhi, sebab banyak faktor yang mempengaruhi seperti: peralatan yang dioperasikan, masalah teknis alat angkut yang digunakan, jumlah alat angkut yang tersedia, masalah pengelolaan perangkutan (segi menajemen operasional), jasa-jasa angkutan merupakan jasa slow yielding (hasilnya lambat), sedangkan biaya investasi dan biaya pemeliharaan besar. 4. Penyebaran penduduk Penyebaran penduduk ke seluruh daerah merupakan salah satu faktor
37
demand yang menentukan banyaknya jasa jasa angkutan disediakan, harus
diperhatikan
pula
keamanan,
ketepatan,
keteraturan,
kenyamanan dan kecepatan yang dibutuhkan oleh pengguna jasa transportasi. 5. Analisis dan proyeksi akan permintaan jasa transportasi Sehubungan dengan faktor-faktor tersebut diatas, untuk memenuhi permintaan akan jasa transportasi, perlu dilakukan perencanaan transportasi yang mantap dan terarah, agar dapat menutupi kebutuhan akan jasa angkutan yang diperlukan oleh masyarakat pengguna jasa. Analisis dan proyeksi sangat diperlukan untuk mengetahui berapa permintaan (demand analysis) yang dibutuhkan.
2.5.1
Analisis Permintaan Analisis permintaan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Menelaah rencana pengembangan kota, inventarisasi tata guna lahan dan aktivitas ekonomi wilayah perkotaan. 2. Menelaah data penduduk, jumlah penduduk dan penyebarannya. 3. Inventarisasi data perjalanan yang berisi asal dan tujuan perjalanan, maksud perjalanan dan pemilihan moda angkutan. 4. Menelaah pertumbuhan penumpang masa lalu dan pertumbuhan beberapa
parameter
pendapatan.
lain,
misalnya
kepemilikan
kendaraan
dan
38
2.5.2
Parameter dalam Analisis Potensi Permintaan Angkutan Umum Parameter yang digunakan dalam analisis potensi permintaan angkutan
umum antara lain: l. Data keluarga, antara lain: alamat, jumlah anggota keluarga, jumlah pekerja, jumlah pelajar, jumlah anggota keluarga yang berumur 5-65 tahun, kepemilikan kendaraan, status dalam keluarga (bapak, ibu, anak, kakek/nenek, dan lainnya), pendidikan, status pekerjaan dan pendapatan. 2. Informasi perjalanan, antara lain: tempat asal perjalanan, tempat tujuan perjalanan, maksud perjalanan, jenis moda yang digunakan, minat terhadap penggunaan angkutan umum dan tarif.
Perhitungan jumlah permintaan pelayanan angkutan umum penumpang meliputi tahap-tahap sebagai berikut (Departemen Perhubungan. 1996): 1. Penentuan angka kepemilikan kendaraan pribadi Angka kepemilikan kendaraan pribadi dihitung dengan membandingkan jumlah kendaraan pribadi dengan jumlah penduduk total per kelurahan/desa. Persamaan angka kepemilikan kendaraan pribadi, sebagai berikut :
K
v p
........................................................................ (2.1)
dimana: K
= Angka kepemilikan kendaraan pribadi (kendaraan/penduduk)
V
= Jumlah kendaraan pribadi (kendaraan)
P
= Jumlah penduduk per kelurahan/desa (penduduk)
39
2. Penentuan kemampuan pelayanan kendaraan pribadi Kemampuan pelayanan kendaraan pribadi sama dengan kemampuan kendaraan pribadi untuk melayani jumlah penduduk potensial yang melakukan pergerakan. Persamaan kemampuan pelayanan kendaraan pribadi, sebagai berikut : L = K x Pm x C
(2.2)
dimana : L
= Kemampuan pelayanan kendaraan pribadi
K
= Angka kepemilikan kendaraan pribadi
Pm
= Jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan
C
= Jumlah penumpang yang diangkut oleh kendaraan pribadi
3. Penentuan jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan Jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan dan membutuhkan pelayanan angkutan penumpang umum adalah selisih antara jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan dengan besar kemampuan pelayanan kedatangan pribadi penduduk. Persamaan jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan dan membutuhkan pelayanan angkutan umum penumpang (M), sebagai berikut : M = Pm - (L1 – L2)
(2.3)
M = Pm - ((V1/P.Pm.C1 ) - (V2/P.Pm.C2))
(2.4)
M = Pm (1 - ((V1/P.Pm.C1) - (V2/P.Pm.C2))
(2.5)
40
dimana: M
= Jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan dan membutuhkan pelayanan angkutan umum penumpang per kelurahan/desa.
Pm
= Jumlah penduduk yang berpotensi melakukan pergerakan /jumlah penduduk usia 5-65 tahun per kelurahan/desa (jiwa).
P
= Jumlah penduduk per kelurahan/desa (jiwa).
L1 ,L2 = Kemampuan pelayanan kendaraan pribadi penduduk, baik mobil roda empat maupun sepeda motor/roda dua per kelurahan/desa (L1 , untuk mobil dan L2 untuk sepeda motor). V1,V2 = Jumlah kendaraan pribadi, baik mobil/roda empat maupun sepeda motor/roda dua per kelurahan/desa (V 1 , untuk mobil dan V2 untuk sepeda motor). C 1 ,C 2 = Kapasitas kendaraan pribadi, baik mobil roda empat maupun sepeda motor/roda dua per kelurahan/desa (C 1 , untuk mobil dan C2 untuk sepeda motor).
4. Penentuan jumlah permintaan angkutan penumpang umum Jumlah permintaan angkutan penumpang umum adalah hasil perkalian antara
jumlah
penduduk
potensial
melakukan
pergerakan
dan
membutuhkan pelayanan angkutan umum penumpang dengan faktor pergerakan. Faktor pergerakan tergantung pada kondisi/tipe kota. Anggapan diasumsikan bahwa setiap penduduk potensial
yang
melakukan pergerakan dan membutuhkan pelayanan angkutan umum
41
penumpang mengadakan perjalanan pergi dan pulang setiap hari. Persamaan jumlah permintaan angkutan penumpang umum sebagai berikut : D = ftr x M
(2.6)
dimana: D
= Jumlah
permintaan
angkutan
penumpang
umum
(pergerakan). Ftr
= Faktor yang menyatakan pergerakan yang dilakukan oleh setiap penduduk potensial.
M
= Jumlah penduduk potensial melakukan pergerakan dan membutuhkan pelayanan angkutan umum penumpang (jiwa).
5. Penentuan titik terjauh permintaan pelayanan angkutan penumpang umum Penentuan titik terjauh permintaan pelayanan angkutan penumpang umum berdasarkan luas daerah yang dapat dilayani angkutan penumpang umum. Titik terjauh pelayanan ditentukan oleh syarat jumlah armada yang memenuhi pertidaksamaan 2.6. Pertidaksamaan jumlah permintaan angkutan penumpang umum adalah sebagai berikut: D > R x Pmin ................................................................................. (2.7) Keterangan : D
= Jumlah permintaan angkutan penumpang umum.
R
= Jumlah kendaraan minimal untuk pengusaha angkutan
42
penumpang umum, Pmin
= Jumlah penumpang minimal per kendaraan per hari.
Kesimpulan bahwa suatu daerah dapat dilayani angkutan penumpang umum bila pertidaksamaan tersebut dipenuhi. Jumlah armada minimum ( R ) ditentukan berdasarkan Tabel 2.4. Nilai R digunakan untuk berbagai jenis kendaraan angkutan penumpang umum seperti pada Table 2.1. di bawah ini: Tabel 2.3. Jumlah Armada Minimum (R) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah Armada Umum 50 unit 50 unit 50 unit 20 unit 20 unit 20 unit
Jenis Angkutan Bus lantai tunggal Bus lantai tunggal patas Bus lantai ganda Bus Sedang Bus kecil Mobil penumpang umum (MPU)
Sumber : Departemen Perhubungan, 1996
Penentuan jumlah penumpang minimal bertujuan untuk mencapai titik impas pengusahaan angkutan penumpang umum. Jumlah penumpang minimum (Pmin) ditentukan berdasarkan Table 2.2. Tabel 2.4. Jumlah Penumpang Minimum (Pmin) No
Jenis kendaraan
1. Bus lantai tunggal 2. Bus lantai tunggal patas 3. Bus lantai ganda 4. Bus Sedang 5. Bus kecil 6. Mobil penumpang umum (MPU) Sumber : Departemen perhubungan, 1996.
Jumlah penumpang minimum/hari (Pmin) 1.500 orang 1.000 orang 625 orang 500 orang 400 orang 250 orang
43
e.
Penentuan jumlah kendaran yang dibutuhkan
Jumlah kebutuhan kendaraan diperoleh dengan membandingkan jumlah permintaan per hari dengan jumlah armada minimum. Persamaan jumlah kebutuhan kendaraan per kelurahan/desa sebagai berikut :
N
D .................................................................................. (2.8) Pmin
Keterangan : N
= jumlah kebutuhan kendaraan (unit) ; Nilai N bukan jumlah kebutuhan armada rencana dan digunakan sebagai parameter penentuan titik terjauh pelayanan.
D
= jumlah permintaan per hari,
Pmin
= jumlah penumpang minimal (orang per kendaraan per hari).
Pada penentuan titik terjauh pelayanan, nilai N (jumlah kebutuhan kendaraan) dan nilai R (jumlah armada minimum) dibandingkan. Dimana hal tersebut untuk menentukan bahwa suatu kelurahan/desa termasuk dalam daerah pelayanan bilamana N ≥ R. Jika persamaan 2.7 disubstitusikan kepertidaksamaan 2.6, maka diperoleh pertidaksamaan 2.8. Pertidaksamaan penentuan titik terjauh pelayanan, sebagai berikut : N>R
....................................................................................... (2.9)
Keterangan : Jika N < R , suatu daerah tidak dapat dimasukan ke dalam wilayah pelayanan angkutan umum, Jika N ≥ R, suatu daerah dapat menjadi bagian wilayah
44
pelayanan angkutan umum, Proses membandingkan N dan R tersebut dilakukan terhadap kelurahankelurahan atau desa-desa yang berada di dalam batas wilayah terbangun kota secara berurutan dengan menjauhi pusat kota, sampai pada kelurahan yang mempunyai nilai N < R, Kelurahan/desa terluar sebelum kelurahan/desa mempunyai nilai N lebih besar / sama dengan R merupakan kelurahan/desa terluar dalam wilayah pelayanan angkutan umum penumpang kota, Titik terjauh ditentukan pada perpotongan antara batas wilayah terbangun dan jaringan jalan nama kota untuk kelurahan/desa yang termasuk dalam wilayah pelayanan.
2.6
Penggunaan Perangkat Lunak SPSS version 15 Adapun perintah (command) untuk menjalankan model regresi logistik
pada perangkat lunak SPSS ver. 15 secara umum adalah sebagai berikut : a. Buka file dummy dalam format CSV (comma separated variable) melalui menu File, Open, Data, pilih direktori tempat file dummy diletakkan dan pilih tipe file all files (*.*). Untuk memudahkan analisis, definisikan label variabel bebas dan variabel tidak bebas dengan pilihan menu Data kemudian pilih Define Variable Properties. b. Pilih menu Analyze, Regression, Binary Logistic. Kemudian masukkan variabel tidak bebas pada Dependent dan variabel bebas pada Covariates. c. Pada menu Method pilih Backward:LR untuk metode stepwise backward likelihood ratio test.
45
d. Pilih menu Categorical jika terdapat variabel bebas dengan tipe data diskrit dan masukkan variabel bebas diskrit tersebut, klik Continue. e. Pada menu Save contreng Probabilities, Studentized dan Cook’s. Kemudian klik Continue. f. Pada menu Options contreng Hosmer-Lemeshow goodness of fit, kemudian klik Continue. Untuk melihat keluaran model klik OK.