7
TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Perairan Tambak Udang Tingginya permintaan konsumen terhadap produk perikanan terutama udang dari tahun ketahun memacu perkembangan industri budi daya udang yang sangat pesat. Selain itu, tingginya nilai produk udang budi daya dan siklus hidup yang relatif singkat menyebabkan sektor ini menarik minat banyak pengusaha (New 1999). Pada pengembang budi daya udang skala besar dilakukan sistem budi daya intensif. Pada sistim ini dilakukan pengaturan yang ketat terhadap kondisi kolam seperti sistem pengairan, pakan dan perbenihan. Target utama sistim ini ialah jumlah produksi yang tinggi pada area tambak yang kecil, oleh sebab itu dilakukan padat tebar benih yang tinggi dan pemberian pakan dalam jumlah serta kualitas yang tinggi ( Fast 1992). Berkembangnya budi daya udang sistim intensif, diikuti pula oleh berbagai permasalahan. Masalah yang umum pada sistem budi daya udang ini ialah sedikitnya proporsi pakan yang digunakan oleh hewan, akibatnya sebagian besar pakan tersisa sebagai limbah di air (Antony & Philip 2006) yang diikuti oleh eutrofikasi dan pengayaan material organik yang tinggi pada dasar kolam. Penurunan kualitas lingkungan seperti ini menurunkan produktivitas tambak, dan meningkatkan tekanan pada udang yang menyebabkan udang rentan terhadap penyakit, sehingga menurunkan produksi di berbagai daerah (Boyd & Musig 1992, Browdy & Hopskin 1995). Umumnya pengusaha tambak bergantung kepada pergantian air yang relatif tinggi untuk menjaga kualitas air pada sistim produksi, akibatnya terjadi pengeluaran material limbah pakan dan berbagai metabolit langsung ke lingkungan terdekat (Browdy & Hopskin 1995). Selain berdampak negatif terhadap lingkungan, intensifikasi budi daya udang juga menyebabkan peningkatan resiko penyakit yang potensial terhadap hewan. Penyakit yang berkembang di tambak udang di Indonesia ialah penyakit yang disebabkan oleh virus White Spot Syndrome (WSS) dan Yellow Head Virus (YHV) dan penyakit bakteri berpendar Vibrio harveyi. Selain itu pemakaian antibiotik menjadi cara yang dianggap efektif untuk menanggulangi bakteri patogen di perairan tambak pada sistem budi daya ini, tetapi dengan
8
ditemukannya residu antibiotik yang tinggi pada udang asal
Indonesia,
mengakibatkan dikeluarkannya larangan ekspor udang Indonesia ke beberapa negara tujuan (Rangkuti 2007). Analisis komunitas mikrob dari tambak udang memainkan peranan yang penting pada produksi udang, menyediakan sumber makanan, mendaur ulang nutrien dan mengurai tumpukan bahan organik melalui berbagai proses metabolisme. Komunitas mikrob sebaliknya juga dapat mempengaruhi kualitas air dengan meningkatkan kebutuhan oksigen akibat konsumsi karbon organik labil yang dihasilkan dari sisa pakan, alga, dan pelepasan dari bakteri sedimen akibat penguraian bahan organik (Hansen & Blackburn 1991). Berbagai cara dicoba dilakukan untuk mengatasi pencemaran air dan degradasi kualitas tambak udang di antaranya yang paling populer ialah dengan pemanfaatan mikrob (Devaraja et al. 2002). Bioremediasi adalah salah satu cara yang menggunakan mikrob atau enzim di kolam yang digunakan untuk meningkatkan kualitas air dan menjaga kesehatan dan stabilitas sistem budi daya air. Bioremediasi melibatkan mineralisasi bahan organik menjadi CO 2 , merangsang produksi udang, nitrifikasi dan denitrifikasi untuk: 1) menghilangkan sisa nitrogen dari kolam, dan 2) menjaga keragaman dan menstabilkan komunitas kolam dengan memusnahkan patogen dari sistim dan mempertahankan spesies yang diinginkan. Pada bioremediasi digunakan bakteri heterotrofik pendegradasi bahan organik, bakteri nitrifikasi, denitrifikasi dan bakteri fotosintetik (Antony dan Philip 2006). Penggunaan bakteri untuk kesejahteraan manusia seperti kesehatan dan pertanian sangat menarik perhatian lebih dari satu dekade terakhir. Probiotik sudah digunakan di berbagai produk seperti susu dan makanan tambahan. Di bidang peternakan probiotik sudah diaplikasikan pada pakan, dan di bidang pertanian digunakan sebagai pupuk. Probiotik merupakan mikrob hidup baik dalam bentuk kultur tunggal maupun campuran yang ditambahkan ke dalam makanan hewan atau manusia yang dapat menguntungkan inang dengan menjaga keseimbangan mikrob ususnya (Fuller 1992; Salminen & Wright 1998). Defenisi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Verschuere et al. (2000) untuk aplikasi probiotik pada budi daya perairan.
Deskripsi yang diberikan
sesuai dengan
modus aksi probiotik tersebut, yaitu mikrob hidup yang menguntungkan bagi
9
inang dengan memodifikasi hubungan komunitas mikrob yang berasosiasi dengan inang atau lingkungannya, meningkatkan penggunaan makanan atau nilai nutrisi, memacu respon inang terhadap penyakit, atau dengan meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan definisi di atas probiotik dapat mencakup mikrob yang mencegah perkembangbiakan patogen pada rongga pencernaan, pada struktur permukaan, dan pada lingkungan peternakan, menjamin penggunaan pakan secara optimal dengan membantu sistem pencernaan inang, meningkatkan kualitas air, dan merangsang sistem ketahanan inang (Verschuere et al. 2000). Berbagai produk probiotik untuk akuakultur dipromosikan memiliki berbagai keunggulan yang bervariasi;
mereduksi nitrat, nitrit, amonia, H 2 S,
menghilangkan logam berat, bahan organik, menurunkan BOD, mengatasi penumpukan lumpur, penghambatan pertumbuhan Vibrio sp. dan bakteri patogen lainnya. Tetapi banyak dari keuntungan yang diiklankan tidak memiliki konfirmasi, dan merupakan riset yang tidak dikendalikan secara terpadu (Antony & Philip 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Fernandes et al. (2010) untuk menguji suatu sistim aerasi untuk mengatasi pencemaran air
di tambak udang, didapatkan
bakteri heterotrofik melampaui jumlah bakteri nitrifikasi, denitrifikasi dan pereduksi sulfat. Jumlah bakteri heterotrofik berkisar 10-3 sampai 10-4 CFU mL-1 dan selalu tinggi di air yang diaerasi maupun tidak di aerasi. Tingginya kelimpahan bakteri ini dapat disebabkan tingkat ketersediaan karbon organik di tambak. Drakare (2002) menjelaskan bahwa di samping memecah senyawa organik, bakteri heterotrofik juga merupakan kompetitor yang unggul dalam pemanfaatan fosfat dan dapat menjaga tingkat nutrien yang optimal. Rao dan Karusanagar (2000) menyatakan udang memiliki kemampuan konversi makanan yang rendah dimana lebih dari 50% pakan terbuang ke air. Di Indonesia kriteria kualitas air untuk tambak memiliki kisaran pH 7.8-9.0, suhu 26-32 0C, kadar nitrat kurang dari 0.3-0.5 ppm, nitrit kurang dari 0.1 ppm dan suspensi terlarut berkisar dari 20-40 ppm (Tabel 1). Daerah yang paling cocok untuk pertambakan udang adalah daerah pasang surut dengan fluktuasi antara lain 2-3 meter (DKP 2007).
10
Tabel 1 Kriteria dan katagori kualitas air tambak secara fisik dan kimiawi Saat Penebaran
Parameter kualitas air Suhu (°C)
26 – 29
DO minimum (ppm)
4
Air di petakan/reservoir 27 – 32 > 3.5
BOD (ppm O 2 )
Pertengahan dan akhir pemeliharaan 27 – 32
27 – 32
4.5
3
< 0.2
< 10
Air pembuangan
pH
7.8 – 8.5
7.8 – 8.5
7.8 – 8.4
7–9
Alkalinitas (ppm)
90 – 150
90 – 150
90 – 150
100 – 150
Transparansi (cm)
40 – 50
30 - 50
30 – 40
30 – 40
< 30
< 20
< 40
< 30
Salinitas (ppt)
10 – 35
10 – 35
10 – 35
10 - 35
Amonia (ppm)
< 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrat (ppm)
< 0.5
< 0.3
< 0.4
< 0.5
Nitrit (ppm)
< 0.1
< 0.1
< 0.1
< 0.1
Fosfat (P 2 O 3 ) (ppm)
< 0.25
0.30
Suspensi
terlarut
(ppm)
Total Vibrio (CFU/ml)
2
3
0.35 4
3
0.25 4
10
10 - 10
10 - 10
< 104
Logam berat 1.
Hg (ppm)
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
< 0.17 ppm
2.
Pb (ppm)
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
< 1.16 ppm
Sumber: DKP Jepara (2007)
Pakan Udang Pakan dalam budi daya udang, memegang peranan yang sangat vital. Pakan buatan merupakan sumber nutrien utama untuk pertumbuhan udang yang dibudi dayakan. Secara umum nutrisi di dalam pakan diperlukan oleh tubuh untuk proses pemeliharaan, aktivitas, pertumbuhan dan reproduksi. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan bernilai gizi baik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan usaha budi daya. Penyediaan pakan yang tidak sesuai dengan jumlah udang yang dipelihara menyebabkan laju pertumbuhan udang menjadi lambat, akibatnya produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada dasarnya, sumber pakan berasal dari pakan alami dan pakan buatan. Oleh karena jumlah pakan alami di kolam pemeliharaan tidak memadai untuk budi daya intensif dan semi intensif, maka untuk mencapai laju pertumbuhan udang yang baik perlu diberikan pakan buatan.
11
Pakan buatan adalah pakan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi udang, dibuat dalam skala industri yang diberikan saat ketersediaan pakan alami yang kurang atau tidak memadai. Berdasarkan komposisi kandungan nutrisinya pakan buatan mempunyai formulasi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Pakan udang yang dibuat secara komersial merupakan bahan campuran hasil penggilingan yang mengapung, melayang atau pelet yang tenggelam di air. Udang termasuk hewan yang menyukai makanan yang tenggelam, tetapi kebanyakan udang dapat dilatih untuk menerima makanan yang mengapung (Craig 2002). Pada budi daya udang nutrisi merupakan masalah yang kritis dan membutuhkan 40-50% dari biaya produksi. Industri pakan udang berkembang secara dramatis pada beberapa tahun terakhir ini dengan pengembangan formulasi makanan baru yang seimbang untuk memacu pertumbuhan dan kesehatan yang optimal (Craig 2002). Pakan udang buatan dapat dalam bentuk lengkap atau tambahan. Pakan lengkap menyediakan semua bahan (protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral) yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal dan kesehatan ikan, biasanya terdiri atas protein (18-50%), lemak (10-25%), karbohidrat (15-20%), abu (<8.5%), fosfat (<1.5%), air (10%) dan sejumlah kecil vitamin dan mineral. Kebutuhan protein yang tinggi dalam makanan udang disebabkan oleh lintasan produksi energinya sebagian besar tergantung kepada oksidasi dan katabolisme protein (Craig 2002). Khusus untuk udang umumnya pakan mengandung protein sekitar 28-32%. Komposisi pakan ini dapat bervariasi berdasarkan umur udang peliharaan. Pakan mengandung unsur nitrogen yang sebagian besar
dikeluarkan
melalui insang dalam bentuk amonia (NH 3 ) dan hanya 10% hilang dalam bentuk padat (Craig 2002). Percepatan eutrofikasi akibat pengayaan nutrien pada permukaan air akibat kelebihan nitrogen pada air buangan budi daya udang merupakan suatu kekhawatiran
petani
terhadap penurunan kualitas air.
Pemberian pakan yang efektif dan praktek manajemen limbah penting untuk melindungi kualitas air daerah hilir. Karbohidrat (pati dan gula) adalah sumber energi yang ekonomis dan tidak mahal dari pakan udang. Karbohidrat termasuk ke dalam makanan budi daya perairan yang dapat menurunkan biaya pakan dan untuk unsur pengikat pada
12
proses pembuatan pakan. Karbohidrat disimpan sebagai glikogen oleh ikan yang dapat diaktifkan untuk memenuhi permintaan energi. Sebanyak 20% karbohidrat dari pakan dapat digunakan oleh udang (Craig 2002).
Total Padatan Tersuspensi (TSS) pada Perairan Budi daya Udang Total padatan tersuspensi (total suspended solid [TSS]) terdiri atas sejumlah partikel organik dan anorganik, yang terbawa ke dalam badan air. Pada kebanyakan sungai, TSS terutama disusun oleh partikel-partikel mineral yang kecil. Pakan merupakan sumber utama nutrisi dan partikel pada budi daya perairan. Limbah partikel organik berupa feses, ammonia dan sisa pakan pada umumnya akan terakumulasi di dasar kolam, sedangkan limbah terlarut akan terbuang ke lingkungan. Polusi nitrogen dan fosfor dari pakan merupakan ancaman utama terhadap lingkungan pembuangan air. (Tzachi & Lawrence 1995). Peranan dari bakterioplankton pada aliran energi dan karbon melalui sitim akuatik merupakan salah satu bidang penelitian yang dilakukan dengan sangat serius sejak lebih dari dua dekade terakhir. Penelitian ini memperlihatkan bahwa bakteri heterotrofik mendominasi sistim metabolism di laut maupun air tawar, mengubah material organik tersuspensi dan terlarut menjadi biomasa dan karbon anorganik (Billen et al. 1990). Suatu bioremediator yang baik harus mengandung mikrob yang mampu secara efektif menghilangkan limbah yang mengandung karbon di air. Hal ini akan didukung jika mikrob ini berkembang dengan cepat dan memiliki aktivitas enzim yang tinggi (Antony & Philip 2006). Pengayaan bahan organik pada ekosistim bentik dapat meningkatkan konsumsi oksigen pada komunitas sedimen dan pembentukan kondisi anoksik. Efek nyata dari hal ini ialah turunnya konsentrasi oksigen terlarut pada dasar dan permukaan air. Penurunan ini disebabkan oleh kebutuhan oksigen biokimia yang tinggi oleh limbah organik dan respirasi dari hewan air. Aliran air dari tambak udang intensif memiliki ciri-ciri BOD yang tinggi dengan level partikel organik dan anorganik serta nitrogen yang tinggi (Tzachi & Lawrence 1995). Air buangan tambak udang dapat mengandung konsentrasi nutrisi terlarut dan partikel tersuspensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan air yang masuk, akibatnya selain berbahaya bagi udang, ada kekuatiran tentang dampak
13
lingkungan yang negatif terhadap perairan pantai yang disebabkan oleh eutrofikasi dan peningkatan kekeruhan (turbiditas) (Jones & Preston 2008).
Bacillus Bacillus ditemukan oleh Ferdinan Cohn pada tahun 1872 yang kemudian dinamakannya B. subtilis. Bakteri ini termasuk ke dalam family Bacillaceae, yang ditandai dengan produksi endospora, suatu struktur yang terbentuk di dalam sel bakteri pada bagian subterminal atau terminal. Anggota dari genus Bacillus termasuk bakteri Gram positif
berbentuk batang lurus atau sedikit bengkok,
berukuran 0.3-2.2 µm x 1.2-7.0 µm, aerobik atau fakultatif anaerobik, kebanyakan spesies motil (Corbin 2005). Bakteri ini tersebar luas di alam, dikenal dengan daya tahan sporanya yang luar biasa terhadap senyawa kimia dan agen fisik, perkembangan siklus pembentukan spora, produksi antibiotik, toksisitas spora dan pembentukan kristal protein terhadap berbagai insekta patogen (Todar 2009). Bacillus merupakan bakteri Gram positif yang dikenal dengan produksi endosporanya yang membuat dia dapat bertahan pada berbagai kondisi lingkungan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan sampai ratusan tahun (Slepecky & Hampell 1992). Bacillus memiliki keragaman fisiologi di dalam anggota genus. Gambaran kolektifnya mencakup kemampuan degradasi semua substrat yang diperoleh dari tumbuhan dan hewan, seperti selulosa, pati, pektin, protein, dan agar-agar hidrokarbon. Selain itu kelompok genus bakteri ini juga merupakan produser antibiotik, dan berpotensi melakukan proses nitrifikasi, denitrifikasi, dan fiksasi nitrogen di alam. Karakteristik lainnya mencakup heterotrof, litotrofi fakultatif, asidofil, alkalofil, psikrofil, termofil dan ada yang bersifat
parasit. Pembentukan spora ditemukan secara universal pada genus,
diperkirakan sebagai suatu strategi untuk bertahan pada lingkungan. spora dorman melalui udara menyebabkan spesies Bacillus ditemukan hampir di semua habitat yang diteliti (Todar 2009) . Daniel dan Morgan (1988) menemukan suatu isolat Bacillus yang diperoleh dari tanah geotermal di daerah Antartika. Isolat ini mampu tumbuh secara heterotrof maupun autotrof dengan adanya hidrogen dan karbondioksida. Isolat ini mirip dengan B. schlegellii yang juga mampu tumbuh secara autotrof menggunakan tiosulfat.
14
Spesies Bacillus umumnya terdapat di tanah, air, debu dan udara. Bakteri ini juga terlibat dalam pembusukan makanan, masuk ke saluran pencernaan melalui makanan. Spora Bacillus dapat ditemukan dengan mudah di tanah, oleh sebab itu bentuk hidup (sel vegetatif) dari bakteri ini diasumsikan juga mendiami tanah, tetapi asumsi ini belum dapat dibuktikan. Oleh sebab itu lokasi dimana bakteri ini ditemukan belum tentu merupakan habitat aslinya. Studi literatur lebih jauh memperlihatkan bahwa Bacillus secara umum ditemukan dalam lambung hewanhewan dan serangga. Hal ini dapat terjadi akibat tertelan bakteri yang tercampur dengan tanah. Teori yang baru muncul menyatakan spesies Bacillus muncul dalam suatu hubungan endosimbiotik dengan inang, bertahan dan berkembang biak dalam rongga pencernaan. Kelompok bakteri ini banyak ditemukan pada sedimen kolam, danau, sungai atau laut oleh sebab itu secara alami tertelan oleh hewan seperti udang, ikan, dan kerang yang makan di atau dari sedimen. Spesies Bacillus telah dengan mudah ditemukan pada ikan, krustasea, kerang, udang dan dapat ditemukan pada insang, kulit dan rongga pencernaan udang (Cutting 2006). Beberapa Bacillus seperti B. subtilis, B. licheniformis, B. coagulans, dan termasuk B. cereus adalah contoh bioremediator yang baik karena menghasilkan enzim-enzim yang potensial dalam degradasi senyawa-senyawa organik. Tetapi biasanya kelompok bakteri ini tidak memiliki jumlah yang cukup banyak di badan air, karena habitat alaminya di sedimen (Philip & Antony (2006).
Dengan
menjaga bakteri ini dalam level yang tinggi pada kolam produksi, para petani dapat menurunkan penumpukan karbon organik selama siklus pertumbuhan ternak, sementara itu hal ini juga akan memacu kestabilan perkembangan fitoplankton melalui peningkatan produksi CO 2 (Secura 1995). Suatu keuntungan penggunaan Bacillus di tambak udang adalah karena bakteri ini tidak mungkin munggunakan gen resistensi antibiotik atau virulensi dari kelompok vibrio atau bakteri Gram negatif lainnya. Ada penghambat pada tingkat transkripsi dan translasi untuk mengekspresikan gen dari plasmid, fage dan DNA kromosom dari Escherichia coli pada B. subtilis (Moriarty 1999). Kelompok Bacillus yang merupakan bakteri heterotrofik dapat merupakan alternatif bakteri nitrifikasi di perairan tambak udang. Bakteri ini lebih toleran terhadap kondisi lingkungan pada rentangan yang lebih luas (Straub & Dixon 1997). Banyak dari kelompok bakteri ini digunakan dalam bentuk produk paket
15
kering karena memiliki spora (Intan et al. 2005). B. subtilis banyak terdapat di lingkungan seperti air, tanah udara yang mengurai sisa tumbuhan yang menyumbangkan siklus nutrien karena menghasilkan berbagai enzim (Valbuzzi et al. 1999). Banyak spesies Bacillus menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan digunakan secara luas untuk menghasilkan enzim bagi industri seperti protease dan amilase (Fleming et al. 1995).
Enzim Protease Keragaman spesies biota laut dan estuari berkontribusi terhadap berbagai jenis enzim dengan karakteristik yang unik. Beberapa tahun terakhir, protease dari usus ikan menarik banyak perhatian (Chi et al. 2007). Hal ini membantu pengembangan pengayaan aplikasi produk-produk dengan bantuan enzim sebagai katalis pada protein dari berbagai sumber. Protease memiliki berbagai aplikasi di bidang industri seperti detergen, pengolahan kulit, penemuan logam, kesehatan, pemerosesan makanan, pakan ternak, industri kimia, dan pengolahan limbah (Kumar & Tagaki 1999). Protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada molekul protein yang menghasilkan peptida atau asam amino. Protein terdiri atas molekul asam amino yang bervariasi jumlahnya, berkisar antara 10 sampai ribuan yang berfungsi sebagai unit penyusun polimer protein yang terangkai melalui ikatan peptida. Protein yang memiliki lebih dari 10 asam amino disebut polipeptida, sedangkan istilah protein ditujukan bagi polimer asam amino dengan jumlah di atas 100 (Suhartono 1992). Persatuan internasional biokimia dan molekuler biologi (The International Union of Biochemistry and Molecular Biology) tahun 1984 merekomendasikan kata peptidase (E.C. 3.4) untuk enzim yang menghidrolisis rantai peptida. Protease sinonim dengan peptidase. Protease secara umum dibagi atas eksopeptidase (E.C. 3.4.21-99-) atau endopeptidase (E.C. 3.4.19-) tergantung kepada lokasi tempat aksi enzim terjadi. Jika enzim memecah ikatan peptida di arah amino atau ujung karboksi dari substrat, maka diklasifikasikan sebagai eksopeptidase. Jika enzim memecah ikatan peptida jauh dari ujung amino atau karboksi diklasifikasikan sebagai endopeptidase (Whitaker 1994).
16
Efektivitas kerja protease terhadap suatu protein ditentukan oleh struktur protein itu sendiri. Hal ini mempengaruhi kerentanan suatu protein terhadap hidrolisis oleh suatu protease. Struktur tersebut terdiri atas: 1) struktur primer, yaitu deret asam amino pada protein, 2) struktur sekunder (derajat pembentukan struktur sulur alfa dan beta, serta struktur acak, 3) struktur kuartener merupakan asosiasi antar subunit molekul protein. Protease memecah ikatan peptida dengan bantuan molekul air (Suhartono 1992). Ward (1983) menjelaskan bahwa berdasarkan cara kerjanya terhadap ujung N atau C, eksopeptidase dibedakan menjadi aminopeptidase (E.C 3.4.11) dan karboksipeptidase (EC 3.4.16 dan E.C 3.4.17). Endopeptidase dapat dibedakan menjadi empat kelompok berdasarkan gugus asam amino fungsional pada sisi aktifnya yaitu protease serin, protease sulfuhidril, protease asam dan protease logam. Protease serin (E.C 3.4.2) merupakan enzim yang memiliki asam amino serin pada sisi aktifnya. Enzim ini dihambat oleh fenil metil sulfonil flourida (PMSF) dan diisoprofil flouro fosfat (DFP), tetapi tidak oleh etilen diamina tetra asam asetat (EDTA). Jenis-jenis protease ini ialah tripsin, kimotripsin, elastase dan subtilisin. Protease sulfidril atau protease thiol (E.C 3.4.22) merupakan protease yang memiliki asam amino sistein pada sisi aktifnya. Enzim ini sensitif terhadap beberapa oksidator basa dan beberapa logam yang dapat mengikat gugus thiol pada sisi aktifnya. Golongan enzim ini ialah papain, fisin dan bromelin. Protease asam (E.C 3.4.23) merupakan enzim yang aktif pada pH asam, tidak sensitif terhadap EDTA maupun inhibitor protease serin. Contoh enzim ini ialah pepsin, renin, dan beberapa enzim kapang yang aktif pada pH rendah yaitu 2-4. Protease netral atau protease logam (E.C 3.4.24) adalah enzim yang menunjukkan aktivitas maksimum pada pH netral, sensitif terhadap EDTA. Contoh enzim ini ialah karboksipeptidase A, beberapa aminopeptidase, dan beberapa protease bakteri (Ward 1983). Selain pengelompokan berdasarkan mekanisme di atas, bagian nomenklatur enzim menempatkan protease yang tidak diketahui mekanisme katalitiknya dalam suatu grup. Ini menunjukkan masih ada protease baru yang belum diketahui mekanisme kerjanya (Suhartono 1992). Enzim proteolitik mikroorganisme dapat ditemukan dalam sel (intraseluler) pada dinding sel (periplasma), atau disekresikan ke medium (ekstraseluler) (Priest 1977). Enzim ekstraseluller adalah enzim yang disekresikan ke luar sel melalui
17
membran sel. Enzim ini disintesis dalam bentuk prekursor kemudian dibebaskan dalam bentuk aktif melalui proses proteolisis. Bagian peptida yang dilepaskan biasanya bersifat hidrofobik (Suhartono 1989). Protease dihasilkan oleh beberapa kelompok mikrob perairan terutama Bacillus (Intan et al. 2005). Daftar beberapa protease yang dihasilkan oleh bakteri perairan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Protease ekstraseluler yang dihasilkan beberapa mikrob perairan Isolat Aeromonas salmonicida
pH optimum 9.6
Suhu optimum (0C) 50 0C 50-60
Sumber Pustaka Sakai (1986)
Vibrio sp
8
V. anguillarum
9
Yersinia ruckeri
8
37
Secades & Guijarro (1999)
Bacillus alcalophilus
7
40
Rosdiana et al. (2000)
B. megaterium
7
50
Haritjinti (1997)
V. harveyi
8
50
Fawzya (2002)
-
Tandoko (1995) Farel & Crossa (1991)
Genus Bacillus menghasilkan beberapa enzim yang penting di antaranya protease. Jenis protease yang disekresikan oleh Bacillus yang penting dalam industri antara lain protease logam (netral) dan protease serin atau subtilisin (alkalin) (Rao et al. 1998). B. licheniformis menghasilkan subtilisin (protease serin) yang berperan penting dalam bidang industri terutama yang berhubungan dengan produk-produk yang digunakan dalam pH alkali dan suhu tinggi seperti detergen, hidrolisat protein untuk makanan maupun pakan (Ward 1983). Enzim ini mempunyai berat molekul 27.277 kDa dan stabil pada kisaran pH yang luas. Jenis substilisin yang lain ialah subtilisin BPN (Bacteria Protease Nagatase) yang ditemukan oleh Harihara pada tahun 1954. Bacillus yang memproduksi enzim ini ialah B. amyloliquifaciens, B. subtilis dan B. steraotermophilus. B. pumilus menghasilkan protease logam yang mempunyai pH optimum 7, spesifik terhadap asam amino hidrofobik dan alifatik. Logam yang dikandung enzim ini berupa Zn. Mubarik dan Wirahadikusuma (1996) mendapatkan protein ekstraseluler dari Bacillus subtilis ATTC 6633 yang termasuk protease logam dan protease campuran (protease logam dan protease serin). Aktivitas optimum protease terjadi
18
pada suhu 40 0C, pH 8 dan untuk protease campuran didapatkan pada suhu 40-45 0
C, pH 8-8.5. Beberapa jenis Bacillus menghasilkan enzim ekstraseluler (Tabel 3).
Tabel 3 Bacillus penghasil protease ekstraseluler Spesies
Jenis protease
B. cereus B. licheniformis B. megaterium B. polymixa B. stearothermophilus B. amyloliquefaciens B. subtilis var amyloliquefaciens
pH optimum
netral netral netral netral netral alkali netral
7.0 6.5 -7.5 7.0 6.0 -7.2 6.9 -7.2 10.2-10.7 7.0
Suhartono (1992)
Enzim Amilase Amilase adalah kelompok enzim yang mampu mengkatalisis proses hidrolisis pati, suatu polimer glukosa yang banyak terdapat pada polisakarida tumbuh-tumbuhan seperti beras, jagung, kentang, tapioka dan terigu. Amilase yang
terlibat
dalam
hidrolisis
pati
ialah
α-amilase
(1,4-α-D-glukan
glukanohidrolase, EC 3.2.1.1), β-amilase (1,4-α-D-glukan glukanohidrolase; EC 3.2.1.2),
glukoamilase
(1,4-D-glukan
glukanohidrolase;
EC
3.2.1.3),
α-
glukosidase (1,4-glukan glukanohidrolase; EC 3.2.1.20) dan enzim pemutus cabang pullulanase (pullulan 6-glikanohidrolase; EC 3.2.1.41) dan isoamilase (glikogen 6-glukanohidrolase; EC 3.2.1.68) (Aehle 1997). Ada beberapa cara kerja amilase dalam memecah substrat: a) menghidrolisis dari bagian dalam molekul substrat (endo-splitting) atau dari luar (exo-splitting), b) retensi atau konfigurasi inversi, c) menghidrolisis ikatan glikosidik α-1,4 versus α,1-6 dan d) tipe reaksi hidrolisis atau transfer. α-amilase merupakan enzim yang memecah dari dalam molekul yang menghidrolisis ikatan glikosidik
α-1,4 secara random dari substrat, menghasilkan sebagian besar maltosa dan sedikit glukosa. Ikatan α-1,6 glikosidik tidak dipotong oleh α-amilase tetapi ikatan tersebut tidak menghambat kerja amilase.
Hampir semua α-amilase
termasuk metaloenzim kalsium memiliki ion Ca2+ dalam strukturnya yang berguna untuk stabilitas enzim (Whitaker 1994, Linden et al . 2003). α-amilase memainkan peranan penting selama degradasi pati karena menyumbangkan 40-
19
60% sintesis protein de novo dan satu-satunya enzim yang dapat secara langsung menyerang dan menghidrolisis granul pati (Godbole et al. 2003).
β-amilase merupakan enzim yang memecah dari luar dan melepas unit maltosa secara berurutan dari ujung non reduksi dari ikatan polisakarida. Jika substrat memiliki ikatan α-1,6 seperti amilopektin, pemecahan pada rantai tersebut akan berhenti. Glukoamilase merupakan enzim yang memotong molekul substrat dari dalam dan memecah unit glukosa secara berurutan dari ujung non reduksi dari rantai substrat. Kerja enzim pada substrat akan menurun bila bertemu dengan ikatan α-1,6 seperti pada amilopektin dan glikogen, tetapi ikatan tersebut dihidrolisis. Pululanase adalah enzim yang memecah dari dalam, menghidrolisis pululan pada ikatan glikosidik α-1,6 (Whitaker 1994). Pati merupakan substrat bagi amilase. Molekul pati merupakan polimer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik. Perbedaan ikatan penghubung ini membedakan struktur molekul pati yang terdiri atas amilosa bagian yang tidak bercabang; merupakan polimer rantai tunggal terdiri atas 500 sampai 2000 unit glukosa yang memiliki ikatan α-1,4 glikosidik dengan penghubung α-1,6 glikosidik yang menghasilkan cabang polimer glukosa disebut amilopektin. Hidrolisis pati oleh amilase pertama-tama menghasilkan polimer rantai pendek yang disebut dekstrin, kemudian disakarida maltosa dan terakhir adalah glukosa (Crueger & Crueger 1984). α dan β-amilase menghidrolisis pati secara menyeluruh menjadi maltosa karena amilosa hanya memiliki ikatan α-1,4 glikosidik
tetapi biasanya menyisakan beberapa maltotriosa. Glukoamilase
menghidrolisis amilosa secara menyeluruh menjadi glukosa, beberapa maltosa tetapi karena hidrolisis yang lambat dari enzim ini maltotriosa dapat tersisa pada ujung (Whitaker 1994).
α-amilase dihasilkan oleh bakteri di antaranya B. subtilis, B. cereus, B. amyloliquefaciens, B. coagulan, B. polymixa, B. stearothermophilus, Esherichia coli, Pseudomonas, dan Proteus. Dari kelompok cendawan penghasil α-amilase di antaranya ialah genus Aspergillus, Penicillium, Cephalosporium, Mucor dan Rhizopus. β-amilase dihasilkan oleh sebagian kecil mikrob yaitu B. polymixa, B. cereus, B. megaterium dan Rhizopus japonicus. Bacillus, B. amyloliquifaciens dan B. licheniformis adalah dua isolat yang banyak digunakan untuk menghasilkan
20
amilase
(Fogarty
&
Kelly
1980).
Sumber
karbon
merupakan
sangat
mempengaruhi produksi amilase, dari karbohidrat yang digunakan, pati merupakan sumber karbon yang baik untuk sintesis amilase oleh Bacillus (Lin et al. 1998, Hagihara et al. 2001). Degradasi pati menjadi maltodextrin kemudian oleh berbagai bakteri dikatalisis oleh α-amilase dan diikuti oleh hidrolisis menjadi glukosa oleh α- glikosidase ekstraseluler (Vihinem & Mansala 1989). Di antra sumber karbon yang di uji, pati terlarut, tepung jagung, tepung kentang, maltosa, dan amilosa ditemukan sebagai yang terbaik untuk sintesis amilase, sedangkan glukosa dan fruktosa memperlihatkan efek penekanan terhadap produksi enzim. Penekanan katabolit telah dilaporkan pada enzim pemecah karbohidrat yang dihasilkan oleh genus Bacillus (Lin et al. 1998).
Identifikasi Mikrob Berdasarkan Gen Penyandi 16S rRNA Untuk menentukan kekerabatan evolusi antar spesies dalam keseluruhan sistem biologi diperlukan parameter yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) terdapat pada semua makhluk hidup, 2) fungsinya identik, 3) dapat dibandingkan secara objektif, 4) parameter tersebut berubah sesuai dengan jarak evolusinya sehingga dapat dijadikan sebagai kronometer evolusi yang handal (Madigan et al. 2000). Identifikasi bakteri berdasarkan gen penyandi 16S rRNA sudah dilakukan secara luas untuk menentukan pohon filogenetik dari keragaman bakteri di bumi. Gen penyandi 16S rRNA adalah gen yang menyandikan subunit 16S dari ribosom. yang terdapat pada semua bakteri terdiri atas gen yang sangat konservatif dan sekuen gen yang sangat cepat berubah (variabel).
Sekuen
variabel berevolusi pada laju yang berbeda sehingga memberikan cukup informasi untuk menentukan kekerabatan hubungan filogenetik suatu organisme (Woese 1987). Ada tiga cabang utama pohon filogenetik pada makhluk hidup di muka bumi ini yaitu Bacteria, Archaea dan Eukarya yang disebut domain. Domain merupakan tingkat taksonomi tertinggi yang berada setingkat di atas Kingdom (Madigan et al. 2000). Berdasarkan pengelompokan ini mikrob diketahui mendiami sebagian besar isi bumi. Klasifikasi ini merupakan dasar klasifikasi terbaru berdasarkan teknik molekuler biologi yang ditemukan oleh Profesor Carl Woese pada tahun 1970-an (Suwanto 1994). Pada prokariot terdapat tiga macam
21
molekul rRNA, yaitu 5S, 16S dan 23S. Untuk identifikasi sering digunakan 16S rRNA karena memiliki panjang nukleotida yang ideal (± 1500 kb), 5S memiliki jumlah nukleotida yang sangat pendek (±120 kb) sehingga tidak cukup informasi untuk perbandingan sekuen gen. Kebalikan dari hal ini dimiliki oleh 23S rRNA, gen ini memiliki jumlah rantai nukleotida yang terlalu panjang sehingga tidak praktis digunakan untuk identifikasi (Suwanto 1994).