9
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Perairan oleh Logam Berat Pencemaran laut adalah suatu keadaan, dimana suatu zat atau energy dan
unsur lain diintrodusir ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sendiri. Dalam kadar tertentu menyebabkan terjadinya perubahan yang mengakibatkan lingkungan laut itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan,
kesejahteran
dan
keselamatan
hayati
(Romimohtarto,1991).
Pencemaran yang disebabkan logam berat akan merusak lingkungan perairan terutama stabilitas, keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis pencemaran logam berat di pengaruhi faktor kadar dan kesinambungan logam yang masuk dalam perairan, terutama sifat toksisitas, bioakumulasi dan persistensi baik terhadap faktor fisik, kimia maupun biologi. Logam berat yang masuk perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dapat disperse, Kemudian diserap oleh organism yang hidup diperairan laut tersebut. Proses masuknya logam berat ke lingkungan laut dapat dilihat pada Gambar 2. Setelah insiden penyakit minimata di Jepang terungkap pada tahun 1956 dan kasus keracunan di Irak terjadi di antara tahun 1971 dan 1972, merkuri diketahui secara luas sebagai bahan kimia golongan logam berat yang bersifat racun. Merkuri terdapat di lingkungan melalui aktivitas gunung berapi, pelapukan bantuan, dan penggerakan kembali oleh manusia terhadap merkuri yang terdeposit di dalam tanah, sendimen, air dan buangan limbah dan tailing (UNEP, 2002). Ada 3 proses yang terjadi dalam hubungan suatu bahan kimia dengan organisme di peraian, yaitu: (1) Proses biokosentrasi, yaitu proses suatu bahan kimia dari air masuk ke dalam organisme melalui insang atau jaringan epitheliat dan terakumulasi, (2) Proses biokumulasi, yaitu istilah yang lebih luas dan meliputi bukan hanya biokosentrasi tetapi juga akumulasi bahan kimia melalui makanan yang dikosumsi, dan (3) Proses biomaknifikasi, yaitu mengarah ke total proses yang terjadi, meliputi biokonsentrasi dan bioakumulasi dimana konsentrasi bahan kimia yang terakumulasi meningkat dalam jaringan sesuai dengan tingkatan tropik yang dilewati (Connell & Miller 1984 ; Rand & Petrocelli 1985). Proses
10
biomaknifikasi suatu bahan kimia di dalam suatu struktur tropik atau rantai makanan organisme laut dapat terjadi oleh karena adanya suatu proses biotransfer. Proses biotransfer adalah perpindahan secara biologis suatu bahan kimia dari suatu tingkatan tropik yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi di dalam suatu struktur rantai makanan.
Logam berat
Lingkunga n Laut
Turbulensi
Arus Laut
Arus Laut
Proses Fisik dan Kimiawi
Proses Biologi
Diserap oleh Organisme
Biota yang beruwaya
Pengendapan
Penyerapan
Pertukaran Ion
Pengendapan didasar laut
Sumber : EPA diacu dalam Hutagalung (1984)
Gambar 2
2.2
Proses yang terjadi bila logam berat masuk ke lingkungan laut
Merkuri (Hg) Merkuri (Hg)
berasal dari bahasa Latin hydrargyyrum yang berarti
menguap , sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai raksa. Namun demikian, di kalangan masyarakat dikenal dengan nama merkuri (Hutagalung,1984). Sejak dahulu Hg telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia, terutama dalam bentuk Hgs (Sinabar). Pada waktu itu
11
senyawa raksa hanya digunakan untuk keperluan sederhana, misalnya untuk pembuatan obat dan cat merah (Goldwater & Clarkson, 1972 diacu dalam Hutagalung, 1984). Pengunaan Hg dalam bidang industri cukup banyak, seperti industri petanian, alat-alat elektronik, industri cat dan sebagainya. Selain itu dalam industri pertambangan emas, Hg ini biasanya digunakan untuk memisah emas dari batuan, umumnya digunakan oleh penambang liar di sekitar daerah pertambangan yang limbahnya dibuang ke sungai yang kemudian bermuara ke laut (Walhi, 2003). Merkuri di perairan jarang sekali terdapat dalam bentuk bebas, umumnya terkait dengan unsur – unsur lain, terutama dengan klorida (Cl), yang senyawanya diperkirakan berbentuk (HgCl4)-2, (HgCl3)-, (HgCl3Br)- (Rompas, 1991). Kadar logam merkuri dalam air laut sangat rendah berkisar antara 0,1-1,2 ppb. Dalam tubuh ikan laut, Hg berbentuk metil merkuri yang memiliki toksitas yang tinggi dan daya ikat yang kuat melalui proses enzimatik. Melalui proses rantai makanan akan masuk ke dalam tubuh manusia sehingga menimbulkan efek lethal dengan keracunan kronis pada manusia (Palar, 1994). Rompas (1991) menyatakan bahwa secara alamiah merkuri yang terdapat di dalam perairan adalah kecil. Dengan peningkatan kosentrasi merkuri setelah masuk ke dalam wilayah perairan, maka merkuri akan mengalami berbagai proses yang disebut dengan ekotoksikologi. Proses-proses yang terjadi disajikan pada Gambar 3. FAO (1990) mengemukakan bahwa Hg yang dapat diakumulasi adalah Hg yang berbentuk methyl merkuri (CH3-Hg) yaitu bentuk senyawa organik dengan daya racun tinggi yang dapat diakumulasi oleh ikan dan shellfish. Hg yang diakumulasi dalam tubuh hewan akan merusak /menstimulus sistem enzimatik yang mengakibatkan penurunan kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yan tercemar. Pada ikan, organ yang paling banyak mengakumulasi merkuri adalah ginjal, hati dan lensa mata (Leland, et al., 1975 diacu dalam Sanusi, 1980). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Polii, et al. (1999), pada tubuh organisme di perairan Teluk Buyat, Sulawesi Utara mendeteksi adanya kandungan merkuri pada ikan sebanyak 0,002-4,020 ppb, pada
12
bagian hati/perut ikan sebanyak 0,002-0,103 ppb dan pada moluska sebanyak 103-173 ppb (Supriharyono, 2007).
Pencemaran merkuri (Hg) ( Sifat kimia-fisika ) Lintasan dan Flux Biogeokimia
Udara
Air
Sedimen
Substansi Lingkungan
ORGANISME
Sifat Fisika dan Kimia Bahan Pencemar
Sifat Pencemar Biogeokimia
Toksisitas atau Kondisi Lethal dan Kondisi Sublethal
Biotransformasi Bioakumulasi Transfer Rantai Makanan
Perubahan Sifat dan Dinamika Populasi (Reproduksi, Imigrasi, Mortalitas) Perubahan Struktur dan Fungsi Ekosistem Keanekaan Spesies, Hubungan Mangsa dan Pemangsa
PERUBAHAN FUNGSI EKOSISTEM (Perbandingan, Respirasi, Terhadap Fotosintetis, Laju Siklus Nutrisi, Pola Arus Nutrisi) Sumber : Rompas (1991)
Gambar 3 Ekotoksikologi merkuri
13
Masuknya merkuri ke laut oleh kegiatan manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi merkuri secara luas, seperti yang terjadi pada kasus Minamata (Yasuda, 2000). Tambang emas rakyat yang menggunakan sistem amalgamasi menggunakan merkuri yang disebabkan oleh manusia, ditambah dengan pembakaran fosil dan industri alkali (de Lacerda, 2003 ; Pacyna et al., 2006), dan pabrik asetaldehida (Yasuda et al., 2004). Saat ini, pertambangan emas skala kecil tersebar di Negara-negara yang sedang berkembang, seperti di Guyana, Brazil, Tanzania, Kenya (Veiga, 1998 ; Malm, 1998 ; Harada et al., 1999; Ogola et al., 2002), termasuk Indonesia (Kambey et al., 2001 ; de Lacerda, 2003 ; Limbong et al., 2003). Pertambangan rakyat di Sulawesi Utara berada bersama-sama dengan industri pertambangan besar (Limbong et al., 2003). Masalah lingkungan berkembang karena kurang lebih 200 ton Hg setiap tahun digunakan di Indonesia dalam pertambangan rakyat (Kambey et al., 2001) dimana, pada umumnya, 40–50% Hg terbuang ke sungai selama amalgamasi (tanpa menggunakan retrot) sebagai merkuri metil (metillic mercury) dan 5–10 % Hg terbuang ke sungai selama proses pergantian (recuperation) Hg yang digunakan, Selanjutnya, perkiraan Hg yang terlepas adalah berkisar 1,32 kg untuk 1 kg emas (Au) yang diperoleh (de Lacerda dan Salomons, 1998). Industri pertambangan besar dan pertambangan biji cinnabar, yang mengekstrak cinnabar yang mengandung Hg (HgS) juga adalah sumber Hg dari manusia (anthropogenic) karena hasil kegiatan tersebut membuang tailingnya yang mengandung Hg ke lingkungan (Blackwood and Edinger, 2006 ; Edinger et al., 2006 ). Sedimen berperan penting dalam mengontrol konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam jaringan tubuh biota perairan (Blanchette et al., 2001). Setelah merkuri masuk le lingkungan, maka merkuri yang berbentuk inorganic akan termetilasi oleh mikroorganisme, terbioakumulasi dalam jaringan tubuh organisme dan terbiomaknifikasi dalam jaringan makanan di perairan (Ikingura dan Akagi, 1999 ; Bustamante et al., 2006 ; Yamaguchi et al., 2007). Mikroorganisme dipercaya berperan penting dalam penentu keberadaan merkuri di lingkungan (Yamaguchi et al., 2007). Hasil dari proses metilasi yang terjadi adalah merkuri metil (MeHg), yang merupakan merkuri yang paling stabil dan paling beracun terhadap organisme termasuk manusia (JPHA, 2001). Sebaliknya,
14
beberapa mikroorganisme dapat melakukan proses demetilasi dari MeHg menjadi merkuri inorganik (WHO, 2000). Merkuri yang termetilasi pada umumnya memiliki daya racun (toxicity) yang meningkat karena kemampuannya meningkat untuk menembus dinding membran lipida sel (Bustamante et al., 2006) dari organisme perairan dan manusia. Melalui jaringan makanan dimana proses bioakumulais terjadi, konsentrasi dari merkuri yang termetilasi meningkat dan termaknifikasi. Pada akhirnya dimana manusia yang menempati jaringan makanan tertinggi akan mengakumulasi merkuri dan dampak (intoxication) terjadi. Hal seperti itu terjadi seperti pada kasus Penyakit Minamata di Jepang (JPHA, 2001). Banyak faktor yang menyebabkan proses metilasi terjadi, di antaranya adalah faktor biogeokimia sedimen (Celo et al., 2004 ; Lasut & Rares, 2006). Kemudian, MeHg diakumulasi oleh organisme perairan, misalnya ikan (Ikingura & Akagi, 1999), kerangkerangan ( Bergeron et al., 2004), dan oraginsme lainnya (lasut et al., 2005). Akumulasi merkuri dalam organisme perairan sangat berhubungan dengan posisinya dalam rantai makanan (Desta et al., 2007) dan cara hidupnya (Bustamante et al., 2006) dimana pemangsa memperlihatkan tingkat konsentrasi yang tinggi dalam jaringan tubuhnya dari pada yang dimangsa (Bustamante et al., 2006). Sistem perairan sangat sensitif terhadap input Hg karena laju bioakumalsi logam berat ini lebih tinggi dari logam berat lainnya. Bioakumulasi Hg dapat terjadi dalam rantai makanan perairan sehingga konsentrasi Hg, dapat meningkat seiring dengan tingkatan rantai makanan (Baker et al., 2004). Hal ini disebut sebagai proses “biomaknifikasi”. Menurut Lasut et al. (2005), konsentrasi Hg meningkat dari fitoplankton yang berperan sebagai kelompok produser di perairan ke ikan karnivore melalui ikan herbivore, atau dengan kata lain bahwa konsentrasi Hg di fitoplankton lebih kecil dibandingkan ikan karnivora. Selain itu, apabila input terjadi, maka Hg mengalami proses transformasi menjadi bentuk yang lebih beracun, misalnya melalui proses metilasi yang terjadi di sedimen perairan dimana Hg inorganik dirubah menjadi bentuk Hg organik (Ikingura & Akagi, 1999 ; Acha et al., 2004 ; Bishop et al., 2004 ; Lasut & Reres, 2006), Hg organik umumnya dikenal sebagai Hg metil (MeHg). Pengaruh Hg pada organisme perairan bermacam-macam, di antaranya adalah menghambat kerja acethylcholine esterase
15
(Gill et al., 1990), menghambat ekspresi gen dan perubahan morfologi permukaan filament insang pada kerang laut (Gonzales et al., 2004). Merkuri inorganik (HgCl2 ) dapat terdistribusi ke dalam jaringan/organ vital tubuh organisme ikan (Lasut, 1997). Merkuri organik (MeHg) dapat terakumulasi ke dalam mitokondria dan dapat merusak rantai mitokondria yang menyebabkan pembentukan radikal bebas dan peroxidasi lipida (Gonzales et al., 2004). Selanjutnya, kontaminasi akut terhadap MeHg dapat menyebabkan mortalitas (Yole et al., 2007) dan pada tingkatan yang rendah dan kronis dapat menyebabkan kerusakan organ dalam tubuh ikan, khususnya pada sistem saraf pusat dan sistem kekebalan tubuh. Pengaruh MeHg dengan konsentrasi rendah pada manusia adalah dapat menyebabkan gangguan neurofisiologis pada manusia dewasa dimana pada umumnya disebabkan oleh karena konsumsi ikan yang terkontaminasi (Baker et al., 2004).
Walaupun telah banyak penelitian yang
mengkaji tentang peningkatan Hg di perairan, namun masih sedikit yang dipahami tentang dampak potensial dari logam berat tersebut terhadap biota di perairan, apalagi terhadap komunitas hewan invertebrata parairan laut. Jalur yang penting masuknya Hg ke dalam rantai makanan dapat melalui cacing, selain alga (Gorski et al., 2004; Lasut et al., 2005). Merkuri dapat masuk ke tubuh manusia dengan 3 (tiga) cara, yaitu melalui : (1) Pencemaran, yaitu dengan mengkonsumsi bahan makanan (ikan, kerang, cumi dan biota laut lainnya) yang mengandung metil merkuri (H3Hg), (2) Pernapasan, yaitu dengan menghirup merkuri (Hg) yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti uap merkuri dari hasil pembakaran amalgam, amalgam gigi dan udara ambient, dan (3) Penyerapan melalui kulit dan ini belum banyak diketahui. Tubuh kita lebih beradaptasi untuk mengurangi pengaruh
keracunan
potensial dari uap merkuri, sehingga pengaruh terhadap kesehatan dari sumber ini relatif kurang atau langka. Sebaliknya senyawa yang berbentuk metil-merkuri ini sangat beracun dan berbahaya. Senyawa ini bukan hanya karsinogenik (menyebabkan kanker ) melainkan juga menyebabkan cacat bawaan (mutagenic). Dengan kadar 0,05 mg merkuri, dapat meracuni manusia (WHO diacu dalam Darmono, 2008). Keracunan metil-merkuri dapat menyebabkan : (1) gangguan pada sistem pusat saraf, (2) gangguan pada pendengaran, pengucapan, pandangan
16
(dapat menyebabkan kebutaan) dan cara berjalan, (3) gerakan-gerakan otot tak disengaja, (4) rusaknya selaput lender dan kulit, dan (5) kematian. Dalam setiap kasus, ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya terpengaruh dengan kerusakan permanen. Pada kasus keracunan merkuri yang lebih ringan, orang dewasa mengeluh menurunnya kemampuan bergerak, menurunkan sensifitas indra raba, rasa dan pandangan. Efek-efek yang lebih ringan ini, secara umum dapat kembali pada keadaan semula jika pemakaian merkuri dihentikan. Bayi gagal lahir adalah resiko terbesar dari pemaparan metilmerkuri tingkat rendah (Karouw, 2001).
2.3
Sianida (CN) Sianida (CN) merupakan senyawa kimia carbon-nitrogen yang terdiri dari
sianida sederhana dan sianida kompleks. Beberapa sianida sederhana yang larut dalam air seperti natrium sianida (NaCl), potasium sianida (KAg(CN)2) dan kalsium sianida (KCN), sedangkan yang memiliki tingkat kelarutan rendah dalam air yaitu kopper sianida (CuCN). Menurut EPA (1978a), ada beberapa sianida yang berbentuk gas yang larut dalam air dan sangat beracun antara lain hidrogen sianida (HCN), sianogen (CN)2 dan klorida sianogen (CNCl). Sianida kompleks membentuk banyak ikatan dengan logam yang sangat beracun bagi lingkungan. Sianida banyak digunakan dalam industri baja, industri kimia dan dalam pertambangan (Curry, 1992). Dalam pertambangan, CN digunakan untuk ekstrasi biji emas
dan perak dari batuan yang dikenal dengan nama cyanida heap
leaching. Pada kalangan nelayan, CN dikenal sebagai potas dalam pemboman ikan. Pelaku-pelaku pertambangan kerap mepromosikan CN sebagai bahan kimia yang aman, sehingga warga sekitar tambang tidak perlu kuatir terhadap bahan kimia ini. Padahal CN seukuran biji beras saja bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air dapat berakibat fatal bagi ikan. Banyak pengalaman menunjukan bahwa tak ada perusahan yang berhasil menghindari kebocorann air dan limbah yang mengandung CN ke ekosistem (Wahli, 2007). Pada bulan Januari 2000, ditambang emas Baia Mare Romania, bendungan tailingnya runtuh dan melepaskan lebih dari 100 ribu ton limbah mengandung CN
17
dan logam berat menuju sungai Tisza. Bahan bercun tersebut mengalir menuju Danube, dan membunuh 1.240 ton ikan serta mencemari air minum 2,5 juta orang. Bahkan kabarnya, pencemaran ini meluas ke negara tetanga Hungaria. Penduduk dan pemerintah Romania harus menanggung bencana. Pada 9 Agustus 2000, Senat Cekoslovakia secara resmi melarang penambangan yang menggunakan sianida (cyanide heap leaching technology) melalui penetapan undang-undang. Bahkan, banyak pakar negara itu menilai implementasi UU tersebut merupakan akhir dari pertambangan emas di negara tersebut (Czechs Ban, Cyanide Mining 2000 diacu dalam Walhi, 2007). Sianida yang terdapat di perairan terutama yang berasal dari limbah industri, misalnya industri pelapisan logam, industri besi baja dan pertambangan emas. Kadar sianida yang digunakan dalam pertambangan emas dan perak dapat mencapai 250 mg/liter (EPA, 1987). Dari studi AMDAL, ternyata P.T. NHM, menggunakan beberapa jenis sianida dalam mengekstrasi emas dan perak dari batuan antara lain: natrium sianida (NaCN) serta beberapa sianida kompleks yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan makluk hidup lainnya. Pelindingan biji emas dilakukan dengan penggunaan sianida berkosentrasi relatif tinggi yaitu mencapai 1200 ppm NaCN untuk memisahkan emas dan perak dari batuan dengan berbagai proses dan kemudian sebelum limahnya dibuang ke Sungai Kobok dilakukan proses detoksifikasi (Amdal PT.NHM, 2006). Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang peningkatan CN di perairan, dan masih sedikit yang dipahami tentang dampak potensial dari CN tersebut terhadap biota di perairan (ACGIH, 2001), sehingga informasi jalur masuknya CN ke dalam rantai makanan di perairan laut belum tersedia dengan baik. Menurut EPA (1978b), beberapa sianida dalam air akan berubah menjadi senyawa yang sangat beracun jika sianida tersebut terakumulasi dalam tubuh tumbuhan maupun zooplanton. Waktu paruh sianida dalam perairan belum diketahui dengan pasti. Sianida akan lebih cepat masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan makanan jika dibandingkan dengan melalui kulit dan dapat dideteksi dengan sangat cepat di dalam paru-paru dan darah. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika telah menentukan batas minimal kosentrasi sianida yang diperbolehkan
19
sianida yang masuk ke dalam tubuh. Natrium sianida jika terkena pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan luka.
2.4
Kondisi Umum Perikanan Tangkap di Kabupaten Halmahera Utara
2.4.1
Potensi sumberdaya ikan Kabupaten Halmahera Utara Luas perairan Halmahera Utara adalah 19.536,02 Km2 atau 76% dari
luas wilayah keseluruhan mengandung berbagai sumber daya perikanan yang bernilai ekonomis penting. Berdasarkan data standing stock perikanan Halmahera Utara sebesar 89.865,69 ton/tahun, maka potensi lestari (Maksimum Sustainable Yield, MSY) yang dapat dimanfaatkan setiap tahun diperkirakan sebesar 26.946,41 ton/tahun dengan perincian sebagai berikut : (1) perikanan pelagis sebesar 17.986,44
ton/tahun, dan (2) perikanan demersel sebesar 71.879,25
ton/tahun. Perikanan laut di Halmahera Utara merupakan daerah sebaran jenis ikan pelagis dan demersel yang mempunyai nilai ekonomis penting. Beberapa Kecamatan seperti Kecamatan Galela, Loloda Utara, Tobelo dan Tobelo Selatan. merupakan daerah penangkapan jenis ikan komersial, seperti cakalang, tuna, kerapu, kakap merah, baronang. Potensi perikanan di wilayah Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan sebesar 89.865,69 ton/tahun. Pada tahun 2008 produksi perikanan laut dapat mencapai sebesar 14.686,581 ton. Secara keseluruhan jenis ikan ekonomis penting yang terdapat dalam sumber daya alam laut di Kabupaten Halmahera Utara yang ekonomis penting yaitu : cakalang (Katsuwonus pelamis), tatihu/madidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus abesus), albacore (Thunnus alalunga), layang (Decapterus spp), kembung (Rastreliger sp), lemuru (Clupea spp), Puri (Stolephorus spp), komo (Auxis spp), bubara (Caranx spp), julung (Hanirhampus sp),ikan terbang (Cypsilerus sp) peperek (Leiognathus sp), beleso (Sameda sp), biji nangka (Upeneus spp), gerot-gerot (Prada tyas spp), ikan merah (Lutjanus spp), kerapu (Ephynephelus sp), suwangi (Priocathus sp), kakap (Lotes spp), cucut (Hemigalerus sp), pari (Trygen sp), bawal hitam (Pormia niger), bawal putih (Panpus argentus), alu-alu (Siganus sp), jenis – jenis bukan ikan (won fish), krustasea, moluska, echinodermata dan rumput laut, serta terumbu karang.
20
Sumber daya alam pantai yang terdapat di Kabupaten Halmahera Utara adalah ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, hutan mangrove. Disamping itu jenis udang (Penaied sp), kepiting (Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada maxima), tapis-tapis (Pintada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang (Holothuridae sp). Produksi perikanan laut terbesar di Kabupaten Halmahera Utara terdapat di Kecamatan Tobelo dengan hasil produksi sebesar 4.583 ton/tahun, sedangkan hasil produksi terendah terdapat di Kecamatan Tobelo Tengah dengan jumlah produksi sebesar 112 ton/tahun. Total produksi
dari seluruh kecamatan di
Kabupaten Halmahera Utara sebesar 11.720 ton/tahun. Pada tahun 2008, hasil perikanan
yang dipasarkan dalam negeri sebesar 5.435,2 ton, mengalami
kenaikan sebesar 13,4% bila dibandingkan pada tahun 2007.
2.4.2
Perairan Teluk Kao Teluk Kao terletak di Pulau Halmahera bagian utara terdapat pada posisi
1"25'-0"50'LU dan 127"40'-128"10'BT, serta berhadapan langsung dengan samudera Pasifik. Teluk ini merupakan sebuah cekungan dari dua lengan bagian utara Pulau Halmahera, melalui sebuah ambang dengan kedalaman lebih kurang 40 m yang berbatasan dengan Laut Filipina bagian selatan (BARMAWIDJAYA et al., 1989). Bagian barat dan utara Teluk Kao merupakan hamparan luas berbentuk dataran rendah yang banyak ditumbuhi pohon mangrove dan terdiri dari pantai berpasir.
Makin ke selatan dan timur, kondisi teluk makin menyempit dan
merupakan batas berbatu karang dengan pantai berpasir antara batu-batu dan hutan mangrove. Teluk Kao memiliki karkateristik tersendiri karena keunikan bentuk teluk seperti kantung dengan diameter teluk 15 km2. Teluk ini merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan setempat dan terkenal sebagai penghasil udang dan ikan teri yang relaitif besar. Teluk kao berada di lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Malifut, Kao, Kao Utara, Kao Barat, dan Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Timur dan Kabupaten Halmahera Barat (Gambar 5).
21
U
Sumber : Bapeda Halmahera Utara (2008)
Gambar 5 Peta Pulau Halmahera dan Teluk Kao
2.4.3 Unit penangkapan ikan Jumlah armada perikanan di Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2008 tercatat sebanyak 5.541 buah, dan alat penangkapan ikan tercatat 4.176 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 2007 maka terjadi peningkatan untuk armada perikanan sebanyak 3.287 buah atau 4,4 %, sedangkan alat penangkapan ikan meningkat sebesar 561 unit atau 6,8 %. Armada perikanan yang terdapat di lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Teluk Kao dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat secara keseluruhan armada perikanan di kecamatan sekitar Teluk Kao, yang terdata dari tahun 2007 – 2008. Kapal motor pada tahun 2007 sebanyak 11 unit, namun pada tahun 2008 jumlahnya menurun menjadi 3 unit. Akan tetapi motor tempel jumlahnya meningkat dari 134 unit menjadi 235 unit, begitu juga dengan
22
perahu tanpa motor, jumlahnya meningkat secara signifikan yaitu dari 110 unit pada tahun 2007, meningkat menjadi 135 pada tahun 2008. Tabel 1 Perkembangan armada perikanan di Teluk Kao, tahun 2007 – 2008 Jenis Armada (unit) Kapal Motor Motor Tempel Perahu Tanpa Motor Total
2007 11 134 110 255
2008 3 235 135 300
Sumber : DKP Halmahera Utara (2008)
Beberapa kecamatan di kawasan Teluk Kao ternyata belum memiliki data tentang jumlah unit penangkapan dan nelayan, dan hanya dua kecamatan yaitu Kecamatan Malifut dan Kao yang memiliki data (Tabel 2).
Dari data yang
tersedia ternyata kecamatan Kao memiliki 149 unit penagkapan dengan jumlah nelayan 1350 lebih besar jika dibandingakn dengan Kecamatan Malifut yang hanya memiliki 93 unit pengkapan dengan jumlah nelayan 73 jiwa. Tabel 2 Jumlah unit penangkapan ikan dan jumlah nelayan setiap kecamatan di Teluk Kao Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2007 – 2008 No 1 2 3 4 5
Kecamatan
Jumlah Unit Penangkapan (Unit)
Jumlah Nelayan (Jiwa)
Jumlah Kelompok
93 149
73 1350
7 10
Malifut Kao Kao Utara Kao Barat Kao Teluk
Jumlah Anggota
140
Sumber : DKP Halmahera Utara (2008)
2.4.4 Produksi perikanan tangkap Kawasan Teluk Kao pada awalnya memiliki potensi ikan dan sumberdaya kelautan lainnya yang cukup tinggi dan merupakan andalan kegiatan perekonomian di sektor perikanan karena 90% masyarakat adalah nelayan perikanan tangkap. Hasil produksi perikanan tangkap di Teluk Kao yang tecatat di Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2005 sebesar 158,5 ton atau 2,58%. Produksi tahun 2005 ini lebih rendah dibandingkan dengan data produksi tahun
23
1985 sebesar 2345 ton atau sebesar 27 % dari hasil perikanan tangkap. Selama kurang lebih 10 tahun terjadi penurunan sebesar 20% dari produksi perikanan tangkap di Teluk Kao. Jumlah produksi dan rumah tangga nelayan di Teluk Kao pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 3. Terjadinya penurunan produksi atau tangkapan ikan di Teluk Kao diduga sebagai akibat atau dampak negatif dari kegiatan penambangan emas yang dilakukan PT. NHM dan Peti (Gambar 6).
Tabel 3 Produksi perikanan laut, jumlah penduduk dan kelompok menurut kecamatan di Teluk Kao tahun 2007 Nama Kecamatan
No 1 2 3 4 5
Malifut Kao Kao Utara Kao Barat Kao Teluk
Jumlah (Penduduk (jiwa) 8.678 6.047 8.132 7.238 795
Produksi (ton) 135,0 475,0 129,0 0,0 145,0
nelayan
Jumlah RTP 38 58 1.341 1.792 806
Sumber : DKP Halmahera Utara (2008)
Ikan bernilai ekonomis, seperti ikan teri,
teripang, dan cumi-cumi di
wilayah Teluk Kao sangat melimpah pada massa sebelum PT. NHM beroperasi (sebelum tahun 1998), Namun setelah beroperasi PT. NHM, populasi organisme tersebut menurun drastis dan menghilang hinga saat ini. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis lainnya juga semakin sulit ditemukan, baik ikan pelagis besar, pelagis kecil maupun ikan demersal. Ikan yang tertangkap dalam jumlah besar pada tahun 80-an tetapi semakin jarang ditemukan dewasa ini adalah cakalang (Kasuwonus pelamis), tuna (Thunus spp), tongkol (Euthynnus spp), kembung (Rasralliger), layang (Decapterus), tembang (Sardinella spp), selar (Selaroides spp), kakap (Lates spp), kerapu (Ephinephelus spp), dan udang (DKP Halmahera Utara , 2006).
24
.
Teluk Kao
Penambanga n Emas
Potensi Perikana
Menurunya sumberdaya Ikan
Limbah
Barang dan Jasa
Gambar 6 Potensi dan dampak aktivitas penambangan di Teluk Kao