10
TINJAUAN PUSTAKA
Dampak Ekologis Pencemaran Logam Berat dalam Tanah Pertanian dan Strategi Remediasinya Sejak ratusan tahun yang lalu berbagai jenis logam berat telah diekstraksi dari alam dan dimanfaatkan manusia untuk memroduksi berbagai macam barang. Baru belakangan di era kehidupan moderen diketahui bahwa selain bermanfaat, proses penambangan, peleburan, pemanfaatan dan pembuangan limbah produk yang mengandung logam berat, khususnya As, Cd, Hg dan Pb, juga dapat menimbulkan dampak ekologis yang serius (Fergusson 1991). Dipicu faktor alamiah, antropogenik dan kombinasinya, kadar logam berat dalam tanah dapat mencapai tingkat yang mengakibatkan fito- dan zootoksisitas serta gangguan fungsional terhadap komponen lingkungan lainnya seperti mutu udara, air tanah dan rantai makanan yang dipengaruhinya. Dari berbagai studi yang diulas oleh Chang et al. (1992) ditunjukkan bahwa logam berat dapat memicu fitotoksisitas melalui: (1) gangguan terhadap hubungan tanaman-air yang menyebabkan kelayuan, (2) peningkatan permeabilitas membran plasma sel yang menyebabkan ‘kebocoran’ dan ketidak-selektifan akar dalam penyerapan hara, dan (3) penghambatan fotosintesis, respirasi, serta aktivitas enzim metabolisme. Meskipun pencemaran logam berat dianggap sebagai masalah lingkungan yang serius di seluruh dunia, bahkan dipersepsikan sebagai bom waktu kimia (Islam et al. 2007), tetapi kepedulian terhadap masalah ini, khususnya yang berkenaan dengan sektor pertanian, hingga saat ini masih belum memadai di Indonesia. Sejauh ini, isu utama kerusakan sumberdaya tanah dan lahan di Indonesia masih terfokus pada persoalan defisiensi dan kehilangan hara akibat laju dekomposisi bahan organik dan erosi yang tinggi, ataupun kehilangan massa tanah yang subur akibat longsor dan banjir. Di sisi lain, pengendalian pencemaran logam berat pada lahan pertanian memang tidak mudah dilakukan karena menyangkut pertimbangan biaya dan berkaitan dengan kinerja lingkungan banyak sektor lainnya, terutama sektor industri, domestik dan transportasi. Tanah pertanian di kawasan perkotaan dengan jumlah penduduk dan aktivitas industri maupun transportasi yang padat rentan terhadap kontaminasi
11
logam berat (Cairney 1995). Secara antropogenik, hal ini berkenaan dengan deposisi atmosferik kering maupun basah sisa emisi oksidasi BBM dan pengelolaan limbah di dan sekitar kawasan tersebut. Bila pengeloaan limbah tidak dilakukan dengan layak, maka pada musim hujan logam-logam berat dan kontaminan lain yang dikandungnya akan terlarut dan terbawa aliran permukaan. Sebagian dari logam-logam berat tersebut kemudian akan terakumulasi dalam tanah dan sebagian lainnya terbawa masuk ke aliran sungai. Lahan pertanian perkotaan umumnya berada di atau dekat dengan bantaran sungai. Oleh karena itu, dampak akumulasi logam berat akan lebih signifikan manakala daerah aliran sungainya terdegradasi. Pada areal demikian frekuensi terjadinya penggenangan lahan oleh luapan air sungai dan peluang kejadian kontaminasi yang ditimbulkannya akan meningkat. Lebih lanjut, petani lokal biasanya menggunakan air sungai untuk mengairi tanamannya sehingga meningkatkan peluang terjadinya pengalihan senyawa logam berat dari tanah ke bagian tanaman yang dapat dikonsumsi dan rantai makanan berikutnya. Untuk kondisi di Indonesia saat ini, bersamaan dengan implementasi upaya penegakan hukum dan peraturan-perundangan untuk mengurangi kontaminasi logam berat dari sisi sumbernya, terutama berkenaan dengan sektor industri, domestik dan transportasi, maka suatu tindakan praktis yang efektif dan efisien untuk menurunkan dampaknya pada lahan pertanian produktif yang sekaligus rentan terhadap fenomena kontaminasi logam berat perlu diupayakan. Dalam hal ini, tindakan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman melalui ameliorasi dan pemupukan pada dosis yang ekonomis, yang pada saat yang sama sekaligus dapat menurunkan pengalihan logam berat dari tanah ke bagian tanaman komersial yang dapat dikonsumsi, merupakan strategi yang rasional. Hal inilah yang menjadi tema dan pembahasan penelitian disertasi ini.
Karakteristik Logam Berat Kadmium dan Plumbum Logam berat (heavy metals) merujuk pada sekelompok unsur logam minor (trace metals) yang bersifat meracun (toxic metals) bagi ekosistem. Dari sudut pandang ilmu kimia, terminologi ini tidak sepenuhnya tepat karena dalam kadar berlebih semua unsur bersifat meracun dan sebagian darinya bukan unsur logam
12
(metals) melainkan metalloids.
Alloway (1995a) mengusulkan terminologi
“unsur berpotensi meracun” atau “potentially toxic element”, namun dalam kepustakaan mutakhir terminologi “logam berat” masih lebih sering digunakan. Lepp (1981) mendefinisikan logam berat sebagai unsur-unsur logam yang memiliki kerapatan jenis atomis >6 g.cm-3.
Fergusson (1991) menambahkan
kriteria bagi logam berat yang mempunyai manfaat ekonomis (industri dan pertanian) sekaligus berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem dan kesehatan sebagai berikut: (1) terdapat dalam kadar yang relatif tinggi dalam kerak bumi, (2) dieksploitasi dalam jumlah signifikan oleh manusia, dan (3) digunakan di lokasi yang dimungkinkan terjadi kontak dengan publik, namun (4) dalam kadar berlebih bersifat toksik bagi kesehatan, dan (5) menyebabkan gangguan signifikan terhadap siklus biogeokimia. Berdasarkan telaah pustaka, Fergusson (1991) menguraikan sumber, karakteristik dan kegunaan serta sifat fisiko-kimia Cd dan Pb seperti disarikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 Sumber, karakteristik dan kegunaan kadmium dan plumbum Sumber, karakteristik dan kegunaan
Kadmium (Cd)
Plumbum (Pb)
Zn-, Hg-, Pb- dan Cu-sulfida CdS, CdSe, CdO, CdCO3
Sulfida, Karbonat dan Sulfat PbS, PbCO3, PbSO4
Karakteristik
Kilau putih-keperakan, Lunak, Mudah disolder, Koefisien gesek rendah, Pelindung kontak antar logam
Kilau putih-kebiruan, Lunak, Koefisien gesek rendah, Tahan korosi, Penyerap suara, Penyerap radiasi radioaktif
Kegunaan
Batere Ni/Cd, Pelapis anti karat, Pewarna & cat, Penstabil polimer, Alloy, Control rod reaktor nuklir
BatereiPb, Pewarna & cat, Logam tempa, Pembungkus kabel, Alloy, Aditif BBM, Amunisi
Sumber Bijih Mineral
13
Tabel 2 Sifat fisiko-kimia kadmium dan plumbum Sifat Fisiko-Kimia
Kadmium (Cd)
Plumbum (Pb)
Grup dalam Tabel Berkala Nomor atom Radius atom (pm) Radius kovalen (pm) Radius ionik (pm) (n+) Bobot atom Kerapatan jenis (g/cm3) Titik leleh (oC) Elektronegativitas
IIB 48 154 144 97(Cd2+) koordinasi-6 112.41 8.65 320.8 1.69
IVB 82 175 154 120(Pb2+), 78(Pb4+) koordinasi-6 207.2 11.342 327 2.33
Waktu tinggal Atmosfer (hari) Litosfer – tanah (tahun) Biosfer – manusia (hari)
7 280 500
24-30 400-3000 2700
Batas deteksi (mg/kg tanah) NH4OAc-EDTA – AAS Aqua Regia – AAS
0.0500 1.0000
0.5000 10.0000
Kadar (mg/kg) dalam: Kerak bumi Batuan beku ultrabasa Batuanbeku basa Granit Shale/Batuliat Batukapur Batupasir Nodul Mn Fosforit Minyak mentah Batubara Gambut Tanah Tanaman tidak dikonsumsi Tanaman dikonsumsi
0.10 0.12 0.13 0.09 0.22 (<240) 0.028 0.05 8 0.01-2.5 0.01-16 <0.01-22 0.37-190 <0.1-4 (Brazil) 0.1-2.4 0.05-20
14 14 3 24 23(<400) 5.7 10 870 2.4 2-370 3-50 5-500 (Brazil) 1.13 0.2-20
CdO, CdCO3, Cd3(PO4)2 (pada kondisi oksidatif) CdS (pada kondisi reduktif) Oksianion-Cd (basa), Cd2+ (asam) Cd-dd (40%), Cd-CO3 (20%), CdFe/Mn-hidroksida (20%)
Pb(OH)2, PbCO3, PbS, PbSO4, PbO, PbO.PbSO4, Pb3(PO4)2, Pb4O(PO4)2, Pb5(PO4)3(OH) Tergantung pH (CH3)4Pb dan (CH3)4-nPbn+ Pb-Fe/Mn/Al-oksida, Pb-liat, Pb-organik > Pb-CO3, Pb-dd (<5%)
Al-, Fe-hidroksida, haloisit > imogolit, alofan > kaolinit, asam humat > monmorilonit > liat
Haloisit, Fe-oksida > imogolit > alofan > bahan humat, kaolinit > monmorilonit
Ca, P, K, Zn, Al, Se, Mn Pb, Mn, Fe, Ni, Cu, Zn, Mg
Ca, P, S, Zn Cd
Spesies padatan tanah Spesies larutan tanah Spesies terbiometilasi Fraksi dalam tanah
Jerapan relatif
Interaksi dalam tanaman Antagonis dengan Sinergis dengan
14
Berdasarkan telaah pustaka, Fergusson (1991) menguraikan dampak lingkungan dan dampak toksisitas Cd dan Pb terhadap kesehatan seperti disarikan pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3 Dampak pencemaran kadmium dan plumbum terhadap lingkungan Dampak lingkungan
Kadmium (Cd)
Plumbum (Pb)
Skala dampak
Global, regional, lokal
Global, regional, lokal
Komponen lingkungan
Udara, sedimen, tanah, air
Udara, sedimen, air, tanah
Jalur kritis
Pangan, debu
Pangan, udara, debu
Emisi global (106 kg/tahun) Alamiah Antropogenis
0.3 Udara 7.6; Air 9.4; Tanah 22
2.6 Udara 332; Air 138; Tanah 796
Debu yang berasal dari tanah, asap dan debu industri, limbah organik, pelapukan gedung, cat dan logam korosif serta karet (ban) dan plastik (bervariasi) Pupuk dan batuan fosfat: 0.1-190 Pupuk nitrogen: <0.1-9 Kapur pertanian: <0.05-0.1 Biosolid: 2-3000 Pupuk kandang: <0.1-0.8 Air irigasi: <0.05 Pestisida: -
Debu yang berasal dari tanah, asap kendaraan bermotor, asap dan debu industri, limbah organik, pelapukan gedung, cat dan logam korosif serta karet dan plastik (bervariasi) Pupuk dan batuan fosfat: 4-1000 Pupuk nitrogen: 2-120 Kapur pertanian: 20-1250 Biosolid: 2-7000 Pupuk kandang: 0.4-16 Air irigasi: <20 Pestisida: 11-26
Kadar dalam tanah terkontaminasi (mg/kg)
0.6-46 (Zambia)
500-1350 (Uganda)
Koefisien pengalihan tanah-tanaman (ct)
1-10
0.01-0.1
Kadar toksik bagi tanaman
0.2-9 mg/l (larutan hara) 5-30 mg/kg (daun)
3-20 mg/l (larutan hara) 30-300 mg/kg (daun)
Gejala visual toksisitas pada tanaman
Pinggir daun coklat, klorosis, daun keriting, akar kerdil coklat, jari daun dan petiol kemerahan, pertumbuhan terhambat
Daun hijau gelap, kerdil, pertumbuhan tajuk meningkat
Proses biokimia tanaman yang terpengaruh
Perubahan permeabilitas membran Terikat pada grup thiol dan SH Berafinitas tinggi terhadap fosfat Penghambatan beberapa enzim Gangguan respirasi, fotosintesis, pembukaan stomata & transpirasi
Idem Cd
Sumber kontaminan antropogenik (mg/kg)
15
Tabel 4 Dampak toksisitas kadmium dan plumbum terhadap kesehatan Dampak Kesehatan
Kadmium (Cd)
Plumbum (Pb)
Jalur asupan
Terhisap via pernafasan ke paru Tercerna via makanan, air & nonpangan ke sistem pencernaan Pengalihan via kontak kulit
Terhisap via pernafasan ke paru Tercerna via makanan, air dan nonpangan ke sistem pencernaan Pengalihan via kontak kulit
Kadar tipikal pada jaringan tubuh manusia
Darah (µg/dl): 0.05-0.5 Ginjal (µg/g bobot basah): 10-30 Hati (µg/g bobot basah): 2-3 Otot (µg/g bobot basah): Rambut (µg/g bobot kering) 0.5-2 Tulang (µg/g bobot kering): 0.5-2 Total (mg/70 kg): 50
Darah (µg/dl): 1-25 Ginjal (µg/g bobot basah): 0.2-1.5 Hati (µg/g bobot basah): 0.2-1.5 Otot (µg/g bobot basah): 0.01-0.5 Rambut (µg/g bobot kering): 1-20 Tulang (µg/g bobot kering): 0.2-10 Total (mg/70 kg): 40-120
Waktu paro biologis
Tubuh: 10-30 tahun Tulang: Jaringan lunak: 10-30 tahun
Tubuh: 5 tahun Tulang: 20 tahun Jaringan lunak: 21 hari
Baku mutu FAO-WHO untuk kadar dalam produk pertanian (mg/kg)
Sayuran (daun) :0.2 Buah : Sayuran (lainnya) : 0.05
Sayuran (daun) : 0.3 Buah berukuran kecil: 0.2 Sayuran (lainnya) : 0.1
Asupan relatif dapat ditoleransi (µg/hari)
Toksisitas tinggi : 60
Toksisitas sedang-tinggi : 430
Jumlah manusia global terkena dampak
0.25-0.5 juta orang (kelainan fungsi ginjal)
> 1 milyar orang (kadar Pb darah >20 µg/dl)
Gejala dan dampak toksisitas
Akut Terhisap: radang bronki & paru. Tercerna: produksi ludah berlebih, mual, muntah, nyeri perut, diare, vertigo & pingsan. Kronis Emfisema & kanker paru; kerusakan tubulus & glomerulus, proteinuria, aminoaciduria, phosphaturia, glucosuria & batu ginjal; toksemia hati; hipertensi & anemia; inaktivasi enzim & defisiensi nutrisi; kanker prostat; kelainan kromosom. Dampak lanjutan Penyakit Itai-itai (osteomalasia, nyeri sendi dan lumbago, kerapuhan & deformasi tulang)
Akut Mual, muntah, nyeri perut, kekurangan oksigen, konstipasi, susah tidur, anemia, iritasi, gangguan konsentrasi & koordinasi. Kronis Sistem Syaraf Pusat: penurunan fungsi neurofisiologis, encephalitis, gangguan perilaku & konsentrasi, penurunan IQ; Sistem Syaraf Tepi: penurunan konduksi syaraf tepi; Sistem darah: penghambatan biosintesis haem. Dampak lanjutan Tidak bisa tidur, hiperaktivitas, kelelahan, kebingungan, kehilangan daya ingat, koma & kematian.
Pengobatan
Belum tersedia
Penyuntikan reagen pengkhelat Pb ke dalam sistem peredaran darah untuk dikeluarkan via urin & feses: CaNA2 EDTA, 2,3-dimercaptopropanol [HSCH2-C(SH)-CH2OH) & d-penicillamine [HS-C(CH3)2CHNH2COOH]
16
Kontaminasi dan Pencemaran Tanah oleh Logam Berat Kontaminasi bahkan pencemaran tanah, sedimen dan air oleh logam berat dengan kadar yang cenderung semakin tinggi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi kehidupan moderen (Lepp 1981). Pada kondisi normal sekalipun, unsur-unsur logam berat dapat dijumpai di hampir seluruh jenis tanah dengan kisaran kadar dalam satuan persen (%, misalnya Pb) hingga sepersejuta (ppm, µg.g-1 atau mg.kg-1, misalnya Cd). Pada kondisi tercemar, kisaran kadar logam berat dalam tanah didefinisikan telah mengakibatkan dampak negatif atau toksisitas yang signifikan terhadap sebagian atau seluruh komponen lingkungan (Lacatusu 2000) dan dimungkinkan terjadi migrasi dari tanah yang tercemar ke lokasi yang lebih rendah elevasi atau ketinggian tapaknya akibat erosi dan pencucian serta perkolasi ke air tanah (Vangronsveld & Cunningham 1998). Di beberapa tempat di luar negeri, kadar logam berat dalam tanah dilaporkan telah melebihi kadar maksimum yang masih berpengaruh positif (untuk logam berat yang termasuk hara esensial mikro seperti Cu dan Zn) atau kadar maksimum tidak berpengaruh negatif (untuk logam berat yang bukan termasuk hara esensial seperti Cd dan Pb) terhadap vegetasi.
Kapasitas Retensi Tanah terhadap Logam Berat Logam berat diretensi tanah dengan berbagai cara. Skema pada Gambar 1 menunjukkan bahwa selain diretensi pada fase padatan dalam bentuk kompleks dan presipitat, sebagian logam berat dijumpai sebagai kation bebas (L+) dan anion bebas (A-) di larutan tanah, sebagai kompleks organo-mineral yang larut (LLo), dan teradsorpsi pada koloid tanah (Cottenie & Verloo 1984). Distribusi antar berbagai bentuk fisiko-kimia ini dikendalikan oleh konstanta keseimbangan dari reaksi-reaksi presipitasi-pelarutan, pengompleksanpenguraian dan adsorpsi-desorpsi. Terganggunya keseimbangan yang menyebabkan perubahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya dapat terjadi akibat perubahan kondisi fisiko-kimia tanah seperti pH, KTK, kadar bahan organik dan potensial redoks (Cottenie & Verloo 1984; Verloo & Willaert 1986).
17
K
Teradsorpsi Koloid
Koloid
'
+ Lo ' LLo Kompleks
L
Kw
H2O ' H Non
Kf +
Ka +
-
-
+ OH A + H Ks
(
+
terlarut
' HA
( Ks
LOH LA Terpresipitasi
Fase larutan Fase padatan
Gambar 1 Bentuk kimia logam berat dalam tanah (L+ kation; Lo ligan organik terlarut; A- anion; K konstanta keseimbangan; Kf konstanta pembentukan kompleks; Ka konstanta kemasaman; Kw konstanta disosiasi; Ks hasil kali kelarutan) (Cottenie & Verloo 1984). Tanah dan tanaman memiliki kapasitas yang terbatas dalam meretensi dan mengakumulasikan logam berat. Jika batas kapasitas tersebut terlampaui maka akan terjadi fitotoksisitas. Pada umumnya, aktivitas logam berat dalam larutan tanah merupakan resultan dari keseimbangan antar mineral-mineral liat, bahan organik dan khelat-khelat terlarut, dimana pH tanah berpengaruh sangat kuat terhadap keseimbangan tersebut (Lindsay 2001). Reaksi tanah merupakan faktor terpenting berkenaan dengan mobilitas logam berat dalam sistem tanah. Selain itu, pH tanah juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap keseimbangan adsorpsi, stabilitas kompleks organomineral serta potensial redoks karena ketiganya dapat memengaruhi kelarutan logam berat tanah (Cottenie & Verloo 1984). Secara umum, keterserapan kation logam berat meningkat dengan menurunnya pH tanah (Bohn et al. 1979). Semakin tinggi KTK, semakin tinggi kadar logam berat yang dapat diretensi tanah tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang berpotensi merugikan. Nilai KTK tanah bergantung pada jumlah dan jenis mineral liat, kadar bahan organik serta kadar Fe-, Mn-, dan Al-oksida. Secara umum, semakin tinggi kadar liat tanah semakin tinggi nilai KTKnya dan mineral liat tipe 2:1 memiliki KTK lebih tinggi daripada tipe 1:1 (Bohn et al. 1979; Lindsay 2001). Beberapa logam berat seperti Cu dan Zn dikompleks sangat kuat oleh bahan organik tanah. Kompleks terlarut dan tak-larut yang stabil dapat terbentuk dari terikatnya logam pada grup fungsional karboksil dan fenolat dalam bahan
18
organik (Stevenson 1982).
Kadar air memengaruhi kapasitas tanah dalam
meretensi logam berat melalui reaksi-reaksi oksidasi-reduksi biologis dan/atau kimiawi. Sebagai contoh, Cu dan Zn lebih larut daripada Fe, Mn dan Al pada tanah-tanah aerob (Bohn et al. 1979).
Perilaku Logam Berat dalam Sistem Tanah-Tanaman Mobilisasi ke biosfer akibat aktivitas manusia merupakan salah satu proses penting dari siklus geokimia logam berat. Hal ini terutama terjadi di kawasan perkotaan akibat pelepasan sejumlah logam berat ke atmosfer dan tanah dari berbagai sumber tak-teridentifikasi (non-point source) dan sumber teridentifikasi (point source) (Bilos et al. 2001). Sistem tanah-tanaman merupakan sistem yang terbuka terhadap asupan (input) dan keluaran (output). Dinamika logam berat dalam sistem tanah-tanaman disajikan pada Gambar 2. Berkenaan dengan logam berat, asupannya antara lain bersumber dari deposisi atmosferik, kontaminan/pencemar, pupuk dan pestisida, sedangkan keluarannya misalnya melalui pemanenan biomassa tanaman, pencucian, erosi dan volatilisasi (Alloway 1995b).
KONTAMINAN/PENCEMAR Pupuk, Pestisida, Biosolids, Deposisi Atmosferik, dll.
Tervolatilisasi
Dekomposisi serasah Dedaunan
Sorpsi pada koloid organomineral
Kopresipitasi (Fe, Mn, Al hidroksida, karbonat, fosfat dll.
Larutan Tanah Ion & Kompleks Kompleks humus
Rizosfer
Batang Umbi batang Serapan
Akar
Umbi akar
Pencucian Tanah
Gambar 2
Permukaan Akar
Pelapukan mineral
Biomassa mikrob
Biji, Buah
Tanaman
Sistem tanah-tanaman yang menunjukkan komponen utama penentu dinamika logam berat (Alloway 1995b).
19
Menurut Alloway (1995c), sumber antropogenik utama masuknya logam berat ke dalam sistem tanah dan lingkungan meliputi: (1) penambangan dan peleburan bijih logam, (2) penggunaan bahan kimia pertanian dan hortikultura seperti pupuk dan pestisida, (3) pemanfaatan biosolids, (4) emisi pembakaran BBM, (5) aktivitas industri metalurgi, elektronika dan kimia serta penggunaan komoditasnya, serta (6) aktivitas pembuangan limbah padat maupun cair. Menurut Adriano (2000), kontaminasi dan pencemaran logam berat Cd dan Pb dalam tanah umumnya berkenaan dengan tiga aktivitas utama, yaitu: (1) aktivitas industri, seperti proses penambangan dan peleburan bijih logam, (2) aktivitas pertanian, seperti aplikasi pupuk inorganik, pestisida dan biosolids, serta (3) aktivitas perkotaan, seperti penggunaan BBM yang mengandung bahan anti letupan tetraethyl- dan tetramethyl-Pb serta pembuangan yang tidak ramah lingkungan dari limbah yang mengandung Cd dan Pb seperti batere dan aki. Adsorpsi dari fase larutan ke padatan tanah merupakan proses kimia utama yang mengatur perilaku kation logam berat dalam tanah. Proses ini menentukan kadar kation dan kompleks logam berat dalam larutan tanah, sehingga merupakan faktor utama penentu mobilitas dan serapannya oleh tanaman (Alloway 1995b). Secara rinci, proses kimia yang memengaruhi distribusi kation logam berat pada fase larutan dan padatan tanah meliputi: (1) pengompleksan di larutan tanah, (2) adsorpsi non-spesifik atau pertukaran kation pada liat dimana kation logam berat (Ln+) bertukar posisi dengan counter-ion di lapisan baur, (3) adsorpsi spesifik atau chemisorption pada liat, bahan organik dan hidroksida logam, (4) pembentukan presipitat tak-larut, (5) disolusi atau kopresipitasi, dan (6) pengompleksan organik (Alloway 1995b; Mench et al. 1998; Gomes et al. 2001). Sorpsi logam berat pada permukaan fase padatan tanah melibatkan berbagai mekanisme berikut: (1) ketika suatu kation logam berat tersorpsi dengan gayagaya elektrostatik Coulomb yang lemah karena tetap mempertahankan air hidrasinya, maka kation tersebut akan tetap berada dalam lapisan baur membentuk kompleks outer-sphere dengan grup reaktif permukaan, (2) jika kehilangan beberapa molekul air hidrasinya dan karenanya menjadi terikat dengan gaya ikatan kimia yang kuat, maka kation tersebut akan membentuk kompleks innersphere, (3) ketika kompleks inner-sphere melibatkan polimer-polimer, maka akan
20
terbentuk inti permukaan dan selanjutnya terjadi presipitasi, dan (4) ketika berada dalam matriks mineral, maka kation logam berat akan terdifusi pada kisi-kisi mineral dan/atau terkopresipitasi (Alloway 1995b; Mench et al. 1998). Secara ringkas, adsorpsi kation logam berat pada koloid tanah melibatkan dua mekanisme molekuler, yaitu: (1) adsorpsi non-spesifik atau pertukaran kation yang bersifat dapat-balik, dan (2) adsorpsi spesifik atau chemisorption akibat reaksi pengompleksan permukaan yang hampir bersifat tak dapat-balik yang terdiri atas pembentukan ikatan kovalen, presipitasi, kopresipitasi dan pengompleksan organik (Gomes et al. 2001). Kapasitas adsorpsi non-spesifik ditentukan oleh KTK. Mekanisme ini bersifat stokiometris. Artinya, semakin tinggi valensi dan semakin rendah derajat hidrasi suatu logam berat maka semakin mudah logam berat tersebut teradsorpsi (Alloway 1995b). Dalam adsorpsi spesifik terjadi pertukaran antara Ln+ dengan permukaan ligan untuk membentuk ikatan kovalen, sehingga kapasitas adsorpsi lebih besar daripada KTK. Dalam mekanisme ini terjadi kompetisi antara Ln+ dengan H+ berdasarkan afinitas atau kecenderungan relatif untuk membentuk ikatan kovalen sehingga berkenaan dengan elektronegativitas (Hsu 1989). Berdasarkan afinitas, spesies terhidrolisis LOH+ lebih mudah teradsorpsi daripada yang tak-terhidrolisis L+ (Schwertmann & Taylor 1989). Berdasarkan kecenderungan membentuk ikatan kovalen, adsorpsi Pb>Cd>Cu>Zn (Sposito 1989). Berdasarkan elektronegativitas, adsorpsi Cu>Pb>Cd>Zn (McBride 1994). Derajat adsorpsi juga dipengaruhi nilai konstanta keseimbangan pK dari reaksi L2+ + H2O ' LOH+ + H+, dimana adsorpsi meningkat dengan menurunnya pK, sehingga adsorpsi Pb (pK=7.7) > Cu (pK= 7.7) > Zn (pK=9.0) > Cd (pK=10.1) (Alloway 1995b). Jika kondisi fisiko-kimia memungkinkan dan kadarnya cukup tinggi, kation logam berat dapat membentuk presipitat atau padatan tak-larut (Lindsay 2001). Pada kondisi sangat reduktif, Cu dapat membentuk cuprous ferrite (Cu2Fe2O4); Pada tanah dengan kadar Fe2+ sangat tinggi, Zn dapat membentuk franklinite (ZnFe2O4); Pada pH tinggi, Cd dapat membentuk octavite (CdCO3); Pada tanah dengan kadar P sangat tinggi, Pb dapat membentuk pyromorphite dengan derajat kelarutan Pb5(PO4)3OH > Pb3(PO4)2 > Pb5(PO4)3Cl.
21
Kopresipitasi adalah mekanisme terjadinya presipitasi simultan antara mineral sekunder dengan kation logam berat. Untuk Cd, Cu, Pb dan Zn, jenis campuran padatan yang terbentuk meliputi Cd, Cu, Pb dan Zn dengan mineral liat, Pb dan Zn dengan Mn-hidroksida, serta Cu dan Zn dengan Fe-hidroksida. Juga dapat terjadi penggantian Ca2+ oleh Cd2+ pada permukaan kalsit CaCO3 yang berkontak dengan larutan yang mengandung Cd. Selanjutnya, sisa Cd2+ dalam larutan akan terpresipitasi sebagai octavite CdCO3 (Alloway 1995b). Selain terlibat dalam reaksi pertukaran kation, padatan senyawa humik dengan gugus reaktif hidroksilat, fenolat dan karboksilat juga dapat mengadsorpsi kation logam berat dengan membentuk kompleks koordinasi khelat. Namun, ligan organik dengan bobot molekul rendah dapat membentuk kompleks yang bersifat larut dengan kation logam berat sehingga mencegah terjadinya adsorpsi maupun presipitasi (Stevenson 1980). Pada gutit dan hematit (Schwertmann & Taylor 1989) serta Al-hidroksida (Hsu 1989), adsorpsi Cu>Pb>Zn>Cd. Kapasitas adsorpsi Ln+ pada tanah-tanah muda lebih besar daripada tanah-tanah tua (Alfisol > Ultisol > Oxisol). Hal ini berkenaan dengan peningkatan kadar spesies terhidrolisis LOH+ dan KTK efektif akibat pH yang lebih tinggi pada Alfisol. Secara umum, elektronegativitas dan afinitas terhadap permukaan koloid lebih berperan dalam menentukan selektivitas adsorpsi kation divalen pada tanah-tanah tua atau bereaksi masam, sedangkan pH dan dominansi spesies terhidrolisis (LOH+) lebih berperan pada tanah-tanah muda atau bereaksi lebih alkalin (Gomes et al. 2001). Secara umum, kapasitas adsorpsi yang selanjutnya menentukan kadar fraksi aktif dari suatu kation logam berat dalam tanah dipengaruhi oleh KTK, tekstur, mineralogi liat, potensial redoks, pH dan kadar bahan organik tanah serta kadar unsur lain seperti P, S, N dan logam berat yang lain (Lindsay 2001; Stevenson 1980).
Pada tanah-tanah tropis dari Brazil, selektivitas adsorpsi
mengikuti urutan Pb>Cu>Cd>Zn dan terutama dipengaruhi oleh pH, KTK, kadar bahan organik, liat dan gibsit (Gomes et al. 2001). Distribusi pada fase padatan dan larutan tanah merupakan parameter utama dalam penilaian risiko lingkungan dari kation logam berat di ekosistem daratan. Pada kadar rendah hingga sedang, distribusi kation logam berat dalam tanah dapat
22
dicirikan oleh koefisien distribusi Kd (l.kg-1), yaitu nisbah antara kadar kation logam berat pada fase padatan tanah (µg.kg-1) dengan kadarnya dalam larutan tanah (µg.l-1) pada kondisi keseimbangan (Holm et al. 2003). Dalam banyak kasus pada tanah aerob, distribusi Cd pada fase padatan dan larutan tanah diatur oleh proses-proses sorpsi. Dalam hal ini, sorpsi digunakan sebagai terminologi kolektif untuk berbagai proses yang terjadi pada permukaan fase padatan tanah, termasuk pengompleksan dan pertukaran ion, serta prosesproses lain yang berkaitan dengan pengikatan oleh komponen kimia maupun fisika tanah (Holm et al. 2003). Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa berbagai mineral secara individu dan komponen-komponen lain yang dijumpai dalam tanah dapat mengikat Cd, tetapi hasil dari sebagian besar studi yang menggunakan contoh tanah secara keseluruhan, bukan hanya fraksi liat, organik ataupun mineral tanah, menunjukkan bahwa pH merupakan parameter utama yang mengatur Kd Cd dalam tanah. Melalui percobaan korelasi dan analisis regresi berganda yang melibatkan 22 parameter tanah, termasuk kadar mineral pada fraksi liat, yang dilakukan pada nilai pH konstan (5.3 dan 6.7), Holm et al. (2003) menunjukkan bahwa selain pH, kadar bahan organik tanah merupakan peubah yang berkorelasi nyata dengan Kd Cd pada kedua nilai pH, KTK dan kadar gibsit pada pH rendah (5.3), sedangkan oksida Fe pada pH tinggi (6.7). Di sisi lain, tidak ada mineral lain yang dijumpai dalam tanah percobaannya (ilit, smektit, kaolinit, klorit, kuarsa, mikroklin dan plagioklas) yang berpengaruh nyata terhadap Kd Cd. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda terhadap data dari 70 studi, Sauvé et al. (2000) menemukan bahwa sekitar 50% dari variasi nilai Kd Cd dapat dijelaskan oleh variasi dari nilai pH larutan tanah. Dengan melibatkan kadar bahan organik sebagai peubah kedua, nilai koefisien regresi meningkat secara nyata (R2 = 0.61). Studi-studi lain juga mengidentifikasikan nilai pH (Naidu et al. 1994; Chlopecka et al. 1996), dan dalam beberapa kasus kadar bahan organik, kadar liat, KTK dan keberadaan ion logam lainnya (McBride et al. 1997; Gray et al. 1998; Sanchez-Camazano et al. 1998), sebagai parameter yang menunjukkan korelasi terbesar dengan nilai Kd atau kelarutan Cd tanah.
23
Pada tanah tercemar logam berat, baik fase padatan maupun larutan tanah merupakan faktor penentu kadar fraksi aktif Cd tanah, tetapi peran fase padatan tidak sepenting fase larutan bagi Pb tanah (Nolan et al. 2005). Namun. sebagian dari sorpsi Pb pada Ultisol dan Oxisol Puerto Rico dilaporkan terjadi melalui mekanisme adsorpsi spesifik atau chemisorption, dimana sorpsi Pb pada Oxisol > Ultisol karena kadar Fe/Al-oksida dan bahan organik yang lebih tinggi pada Oxisol (Appel et al. 2003). Kadar fraksi aktif Pb menurun secara eksponensial dengan bertambahnya masa inkubasi pada tanah yang diperkaya Pb inorganik (Fendorf et al. 2004). Reaksi masam mendukung terjadinya pelarutan Pb dari fase padatan sehingga meningkatkan kadar fraksi aktifnya dalam tanah (Jin et al. 2005). Serapan dan akumulasi logam berat dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor tanah dan tanaman. Faktor-faktor tersebut meliputi: (1) kadar logam berat dalam larutan tanah, (2) pergerakan logam berat dari fase padatan tanah ke zona perakaran, (3) pergerakan logam berat dari permukaan ke bagian dalam akar, dan (4) translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang lain (Alloway 1995b).
Mekanisme serapan logam berat oleh akar tanaman dapat
terjadi secara pasif (difusi ion dalam larutan tanah ke endodermis akar) ataupun aktif (melawan gradien kadar tetapi memerlukan energi metabolit sehingga dapat terhambat oleh toksin). Pada umumnya Pb diserap secara pasif, sedangkan Cd, Cu dan Zn diserap secara aktif atau kombinasi keduanya (Kabata-Pendias & Pendias 2001). Jika kadar fraksi aktif dalam media tumbuh meningkat, maka laju serapan terhadap ion logam berat Cd, Cu, Pb dan Zn mengikuti pola yang sangat berbeda sebagai berikut: (1) terjadi peningkatan kadar dalam jaringan tanaman dalam jumlah besar atau mudah ditranslokasikan untuk Cd dan Zn, (2) variasi kadar atau kemudahan translokasinya terbatas untuk Cu, serta (3) translokasi dan kadarnya dalam jaringan tanaman sangat terbatas untuk Pb (Chaney & Giordano 1997). Hal ini dapat diprediksi dari nilai koefisien pengalihan (ct), yaitu nisbah antara konsentrasi suatu logam berat dalam tajuk tanaman dengan kadar totalnya dalam tanah. Nilai ct Cd=Zn (1-10) > Cu (0.1-10) > Pb (0.01-0.1), sehingga diantara
24
keempat logam berat ini Cd dan Zn lebih mudah diserap dan ditranslokasikan ke tajuk tanaman daripada Cu dan yang paling sulit adalah Pb (Verloo 1993). Perbedaan laju serapan tersebut juga ditentukan oleh perbedaan spesies dan kultivar antar tanaman yang secara genetis dapat berbeda dalam hal luas permukaan, KTK dan eksudat akar serta laju evapotranspirasi. Faktor terakhir menentukan aliran massa larutan tanah di rizosfer sehingga memengaruhi pergerakan ion logam berat ke permukaan serapan akar (Alloway 1995b). Selain melalui mekanisme penurunan pH, ekskresi ligan organik dari akar tanaman dapat meningkatkan kelarutan dan keterserapan kation logam berat melalui mekanisme lain seperti perubahan muatan permukaan koloid dan KTK tanah serta reaksi pengompleksan kation logam berat dengan anion ligan organik di rizosfer (Collins et al. 2003).
Kemampuan ligan organik dalam mendesorpsi
kation logam berat adalah sebagai berikut: maleat > fumarat; suksinat > tartrat > malonat > oksalat > salisilat (Naidu & Harter 1998). Di dalam larutan tanah pada permukaan akar, serapan juga ditentukan oleh sinergisme-antagonisme antar logam berat dan dengan hara lainnya, dimana Cd berantagonisme dan/atau bersinergisme dengan Cu dan bersinergisme dengan Zn, Cu berantagonisme dengan Al dan Mn, Zn berantagonisme dengan Mn dan Fe, dan nihil untuk Pb (KabataPendias & Pendias 2001). Kadar Cd, Cu, Pb dan Zn yang berlebihan akan mengakibatkan fitotoksisitas melalui mekanisme sebagai berikut: (1) perubahan permeabilitas membran sel (untuk Cd, Cu dan Pb), (2) reaksi kation dengan grup sulphydryl (-SH) (untuk Pb), dan (3) afinitas untuk bereaksi dengan grup fosfat dan grup aktif ADP atau ATP (untuk Cd, Cu, Pb dan Zn). Tanaman dapat menoleransi toksisitas logam berat melalui mekanisme sebagai berikut: (1) selektivitas serapan ion, (2) penurunan permeabilitas atau perubahan struktur dan fungsi membran sel, (3) imobilisasi ion logam berat pada akar, daun dan biji, (4) deposisi ion logam berat dalam bentuk tak-larut sehingga tidak terlibat dalam metabolisme, (5) peningkatan sistem enzim yang menghambat serapan ion logam berat atau meningkatkan produksi metabolit antagonis atau memotong jalur metabolisme dengan tidak melalui tapak yang terhambat ion logam berat, (6) adaptasi terhadap penggantian logam fisiologis oleh logam berat dalam enzim, serta (7) pelepasan ion logam berat
25
melalui pencucian pada tajuk, gutasi, pengguguran daun dan ekskresi akar (Kabata-Pendias & Pendias 2001). Salah satu respon penting tanaman terhadap kontaminasi logam berat As, Cd, Cu, Hg, Pb, Se dan Zn adalah dengan segera membentuk phytochelatin. Dengan bantuan enzim phytochelatin synthase, γ-glucys dari glutahione diubah dan dikatalisis menjadi molekul glutathione lain untuk membentuk phytochelatin atau rantai phytochelatin (Grill et al. 1985; Rauser 1995). Selanjutnya phytochelatin mendetoksifikasi logam berat dengan membentuk kompleks logam-thiol di dalam cytosol yang kemudian dialihkan menembus membran tonoplast untuk disekuestrasi di dalam vakuola sel (Maier et al. 2003).
Analisis Tanah terhadap Logam Berat Suatu prosedur ekstraksi ketersediaan dianggap baik apabila dapat memberikan nilai korelasi yang secara statistik nyata dan berulang antara jumlah logam terekstrak dengan keragaan tanaman. Terminologi ‘bentuk tersedia’ (available forms), digunakan dalam uji tanah hara mikro untuk menunjukkan status hara tanah dalam kaitannya dengan tanaman, berkenaan dengan beberapa fraksi logam berat. Kadarnya ditetapkan sebagai fungsi yang memenuhi korelasi antara jumlah yang terekstrak dengan kadar hara atau respon pertumbuhan tanaman (Cottenie et al. 1979). Yang terpenting dari fraksi tersedia ini adalah fraksi yang larut-air, dapat-dipertukarkan dan terikat bahan organik.
Logam yang teroklusi dalam
mineral primer juga dapat menjadi ‘tersedia’ melalui pelapukan (Soon & Bates 1982), sedangkan logam yang teroklusi oleh mineral sekunder yang tinggi stabilitasnya justru tidak akan menjadi ‘tersedia’, kecuali dalam periode waktu yang sangat lama. Bentuk larut-air diekstrak hanya menggunakan air dan kadar logam berat tanah dalam ekstrak air umumnya rendah. Bentuk dapat-dipertukarkan, yaitu kation yang mudah dipertukarkan antar larutan tanah dengan tapak bermuatan negatif pada permukaan koloid tanah, ditetapkan melalui metode perkolasi atau ekstraksi menggunakan larutan netral yang mengandung ion pengganti (displacing ions) seperti 1.0 M atau 0.5 M NH4OAc.
Selain yang menjadi bagian atau
komponen sel hidup, eksudatnya dan produk-produk degradasinya, logam yang
26
terikat bahan organik meliputi bentuk-bentuk terkompleks, terkhelat atau yang terjerap pada bahan organik. Bentuk ini hanya dapat dipertukarkan oleh kation lain de-ngan afinitas yang lebih tinggi terhadap tapak jerapan atau tapak pengompleksan dan umumnya ditetapkan menggunakan cara ekstraksi dengan bahan pengkhelat. Reagen asam dengan berbagai kadar dan bahan pengkhelat sintetik seperti EDTA dan DTPA telah digunakan untuk menetapkan fraksi-fraksi ‘tersedia’ logam berat dalam tanah. Reagen NH4OAc-EDTA, 0.5 M NH4OAc yang mengandung 0.02 M EDTA pada pH 4.65, diasumsikan dapat melepaskan fraksi terlarut, terjerap dan terkompleks dari logam-logam berat dalam tanah yang dianggap ‘tersedia’ bagi tanaman (Lakanen dan Erviö 1971 diacu dalam Kiekens 1995). Asumsi yang sama juga diberikan kepada reagen DTPA, yaitu 0.005 M DTPA yang mengandung 0.01 M CaCl2 dan disangga dengan 0.1 M TEA yang pHnya diatur pada nilai 7.3 menggunakan HCl (Lindsay & Norvell 1978). Mekanisme analisis total meliputi digesti, destruksi dan pelarutan contoh tanah dengan reagen berikut: (1) HNO3 pekat dan HCl pekat (aqua regia); (2) HNO3 pekat, H2SO4 pekat dan H2O2; (3) HNO3 pekat dan HCl, diikuti HF; (4) campuran HNO3, HClO4, dan H2SO4; serta (5) metode bom digesti asam dimana 1 g contoh tanah diberi 12 ml HNO3 pekat selama 3 jam pada suhu 150 oC (Cottenie & Verloo 1984). Tidak ada satu pun metode yang secara sistematis memberikan data hasil analisis yang baik untuk semua elemen, meskipun metode yang menggunakan HF dikombinasikan dengan aqua regia memberikan data analisis yang lebih tinggi. Logam berat dalam tanah dapat difraksionasikan menggunakan metode ekstraksi kimia berdasarkan prinsip pelarutan selektif menggunakan reagen yang berbeda-beda. Fraksionasi logam berat dalam tanah melalui ekstraksi kimia sekuensial multi-langkah memberikan hasil analisis yang lebih lengkap untuk menduga distribusi, mobilitas dan keterserapan logam berat dalam tanah. Dimulai dari penggunaan reagen yang paling tidak agresif untuk menetapkan fraksi logam yang mudah larut dan berlanjut hingga dekomposisi total matriks padatan tanah, prosedur ini dapat memisahkan logam ke dalam 2 sampai 9 fraksi (Elliott et al.
27
1990).
Reagen yang digunakan dipilih berdasarkan selektivitasnya terhadap
fraksi-fraksi fisiko-kimia logam berat yang spesifik. Fraksionasi Cd, Cu, Pb dan Zn menggunakan prosedur ekstraksi sekuensial dilakukan Silviera & Sommers (1977) pada tanah bertekstur lempung berdebu yang diameliorasi biosolids dan diinkubasikan di laboratorium ke dalam fraksi larut-air, dapat-dipertukarkan, tersedia, dan residu. Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut H2O, 25 ml 1.0 M KNO3 selama 10 jam, 10 ml reagen DTPA selama 2 jam dan 25 ml 1.0 M HNO3 selama 16 jam. Untuk pene-tapan kadar total logam, contoh tanah didigesti dengan HNO3-HClO4. Fraksionasi Cd, Cu, Ni dan Zn tanah ke dalam fraksi dapat dipertukarkan, terjerap, terikat bahan organik, karbonat dan residu dilakukan Emmerich et al. (1982) menggunakan prosedur ekstraksi sekuensial yang dimodifikasi dari prosedur yang dikembangkan Stover et al. (1976). Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut 25 g 0.5 M KNO3 selama 16 jam, 25 g 55.5 M penukar ion-H2O selama 2 jam, 25 g 0.5 M NaOH selama 16 jam, 25 g 0.05 M Na2-EDTA selama 6 jam dan 25 g 4.0 M HNO3 (70-80 oC) selama 16 jam. Fraksionasi Cd, Cu, Ni, Pb dan Zn pada lapisan permukaan tanah daerah kering ke dalam fraksi dapat-dipertukarkan, terjerap, organik, karbonat dan sulfat dilakukan oleh Sposito et al. (1982) menggunakan modifikasi lain dari prosedur Stover (1976). Reagen dan waktu ekstraksi yang digunakan berturut-turut 25 g 0.5 M KNO3 selama 16 jam, 25 g air bebas ion selama 2 jam (ekstraksi 3 kali dan datanya dijumlahkan), 25 g 0.5 M NaOH selama 16 jam, 25 g 0.05 M Na2-EDTA selama 6 jam dan 25 g 4 M HNO3 selama 16 jam pada suhu 80 oC. Analisis total dilakukan dengan mendigesti 2 g contoh tanah dengan 12.5 ml 4 M HNO3 pada suhu 80 oC selama semalam. Pada awal 1990an, European Community Committee mengusulkan prosedur ekstraksi sekuensial untuk Cd, Cr, Cu, Ni, Pb dan Zn dalam contoh tanah dan sedimen dengan hanya menerapkan 3 tahap fraksionasi (Ure 1995). Pada tahap pertama, 1 g contoh diekstraksi dengan 40 ml 0.11 M asam asetat selama 16 jam. Pada tahap kedua, residu dari tahap pertama diekstraksi dengan pereduksi 40 ml 0.1 M hydroxylamine hydrochloride (diatur ke pH 2 dengan asam nitrat) selama 16 jam. Pada tahap ketiga, residu dari tahap kedua didigesti dengan
28
pengoksidasi 10 ml 30% hidrogen peroksida selama 1 jam pada suhu kamar, 1 jam lagi pada suhu 85 oC, dan didigesti lebih lanjut dengan 10 ml reagen dan pada suhu yang sama selama 1 jam, didinginkan dan ditambahkan 50 ml 1 M amonium asetat (diatur ke pH 2 dengan asam nitrat), dan dikocok selama 16 jam pada suhu kamar. Analisis total dilakukan dengan ekstraksi HF. Tahap pertama, kedua dan ketiga berturut-turut mengekstraksi logam dari fraksi terekstrak asam, fraksi dapat direduksikan dan fraksi dapat dioksidasikan.
Remediasi Tanah Tercemar Logam Berat Tanpa intervensi manusia atau tindakan remediasi, proses reklamasi secara alami pada lokasi yang tercemar terjadi dengan laju yang sangat perlahan dan berlangsung selama ratusan tahun bahkan lebih. Sementara itu, lokasi yang tercemar tersebut tetap akan menjadi ancaman bagi kesehatan dan ekosistem (Vangronsveld & Cunningham 1998). Teknik remediasi tanah tercemar yang paling sesuai untuk suatu lokasi bersifat spesifik terhadap jenis bahan pencemar dan lokasinya. Banyak teknik remediasi tanah tercemar oleh pencemar organik yang dapat diterapkan (misalnya teknik volatilisasi, biodegradasi, dll.), namun tidak banyak pilihan untuk pencemar logam berat karena sifatnya yang tak-terdegradasikan dan relatif imobil. Remediasi tanah tercemar ringan oleh logam berat di kawasan perdesaan juga berbeda dengan yang diterapkan untuk lahan pertanian, kawasan perkotaan atau padat penduduk, kawasan industri ataupun kawasan penambangan dan peleburan bijih logam yang tercemar berat. Remediasi tanah tercemar berat oleh logam berat umumnya membutuhkan biaya mahal. Metode-metode yang diterapkan terutama berbasis teknik rekayasa sipil yang antara lain meliputi pekerjaan ekskavasi terhadap lapisan tanah yang tercemar (excavation) untuk ditimbun (landfilling) di fasilitas pembuangan limbah berbahaya, berbau dan beracun (B3), penimbunan kembali dengan tanah bebas kontaminasi (backfilling) dari lokasi lain dan dilanjutkan dengan revegetasi. Biaya penerapan teknik excavation-landfilling-backfilling seperti ini di Amerika Serikat untuk tanah sedalam 60 cm mencapai US$ 730 m-2 (Berti & Cunningham 1997). Untuk mereklamasi lokasi ke kondisi yang sehat, dengan demikian, masih
29
diperlukan lagi upaya, waktu dan biaya tambahan. Oleh karena itu, tersedianya metode remediasi yang praktis, murah dan tetap efektif dalam melindungi kesehatan dan lingkungan merupakan alternatif yang berharga. Salah satu metode alternatif remediasi tanah tercemar logam berat yang semakin mendapat perhatian komunitas ilmuwan dan praktisi remediasi terutama sejak tahun 1990an hingga sekarang adalah teknik in-situ inactivation (Vangronsveld & Cunningham 1998). Metode ini merujuk pada penggunaan amelioran untuk mengubah secara in situ bentuk fisiko-kimia logam berat pada fase larutan dan padatan tanah yang mudah larut menjadi fase padatan yang secara geokimia lebih stabil, sehingga menurunkan dampak negatifnya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Tindakan ameliorasi dapat meningkatkan proses-proses biogeokimia yang secara efektif dapat menginaktivasi fraksi aktif logam berat pada tanah tercemar. Selain itu, aplikasi beragam amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan vegetasi, mempertahankan populasi dan keragaman mikrob, serta menurunkan pengalihan logam berat ke air tanah (Adriano et al. 2004). Pengujian efektivitas teknik inaktivasi in situ dapat didasarkan pada metode kimia (misalnya ekstraksi kimia secara selektif atau sekuensial dan adsorpsi-desorpsi) dan metode biologi (misalnya pertumbuhan, produksi biomassa dan metabolisme tanaman, uji ekotoksikologi dan populasi mikrob) atau kombinasi keduanya (Boularbah et al. 1996). Analisis datanya dapat didasarkan pada perubahan sifat tanah (seperti kapasitas adsorpsi, kadar total atau kadar fraksi logam berat terekstrak) dan parameter tanaman (seperti bobot biomassa dan kadar logam berat dalam jaringan tanaman) vs jumlah amelioran yang diaplikasikan (Vangronsveld & Cunningham 1998). Amelioran yang telah diuji efektivitasnya untuk meremediasi pencemaran logam berat dalam tanah dengan teknik inaktivasi in situ antara lain bahan alkalin, bahan mineral fosfat, hidroksida Fe dan Mn, zeolit dan bahan organik. Termasuk dalam kelompok amelioran ini adalah biosolids yang banyak mengandung bahan organik, hidroksida logam seperti Fe dan Mn serta bahan alkalin. Bahan alkalin seperti kalsit [CaCO3] dan dolomit [Ca.MgCO3] mengikat H+ yang tersorpsi pada tapak ikatan di permukaan koloid tanah. Tapak yang
30
terbebaskan selanjutnya tersedia bagi sorpsi kation logam berat. Selain meningkatkan pH, aplikasi bahan alkalin juga mendorong terjadinya reaksi hidrolisis dan kopresipitasi logam dengan karbonat. Namun, penggunaan bahan alkalin hanya efektif dalam jangka pendek, sehingga diperlukan aplikasi berulang untuk mempertahankan logam dalam kondisi inaktif (Pierzynski & Schwab 1993). Aplikasi TSP dapat menginaktivasi Pb melalui mekanisme pelarutan P dari TSP diikuti pengendapan mineral seperti pyromorphite dalam tanah (Ma et al. 1995). Bahan mineral fosfat seperti hidroksiapatit dan batuan fosfat memiliki potensi dalam menginaktivasi kation logam berat terutama melalui reaksi kopresipitasi. Dalam hal Pb, yang utama adalah pembentukan hydroxy-pyromorphite [Pb5(PO4)3OH] dengan mekanisme utama adsorpsi dan pengompleksan permukaan serta kopresipitasi (Hettiarachchi et al. 2001; Ma 1996). Dalam hal sorpsi Cd pada permukaan hidroksiapatit, mekanisme pertukaran ion dan difusi padatan juga terlibat (Xu & Schwartz 1994). Hidroksida Mn berperan penting dalam proses adsorpsi dan redoks dalam tanah, sehingga berinteraksi dengan logam berat (Alloway 1995b; Kabata-Pendias & Pendias 2001). Grup birnessite (Na4Mn14O27.9H2O), dicirikan oleh valensi Mn yang beragam dan struktur yang tak teratur, merupakan mineral hidroksida Mn yang paling banyak dijumpai dalam tanah. Logam berat seperti Cd dan Pb membentuk kompleks permukaan inner-sphere dengan birnessite. Pada laju sorpsi yang masih rendah, sorpsi birnessite terhadap kation logam berat terutama terjadi pada batas lapisan melalui mekanisme ujung kristal mineral dengan permukaan oktahedra MnO6. Oksida Fe merupakan sorbent penting bagi logam berat karena dapat mengadsorpsi ion logam berat dalam larutan dan menjeratnya (Kabata-Pendias & Pendias 2001) melalui reaksi-reaksi yang berkenaan dengan proses dekomposisi, koagulasi dan penataan-kembali adsorbent serta penetrasi ion ke dalam kisi-kisi kristal melalui mekanisme pertukaran dengan komponen kisi-kisi kristal di dekat permukaan mineral (Mench et al. 1998). Misalnya, Cd dan Pb dapat diadsorpsi melalui mekanisme ikatan kimia oleh oktahedra Fe-hidroksida. Hasil percobaan Sappin-Didier (1997) menunjukkan bahwa kadar fraksi terlarut, dapat ditukar dengan Ca(NO3)2 dan terekstrak EDTA dari Cd, Ni dan Zn
31
dari dua tanah tercemar menurun dengan aplikasi tunggal 1% Fe-hidroksida, namun penurunannya lebih rendah daripada menggunakan Mn-hidroksida dan penggunaan Fe-hidroksida tidak secara umum menurunkan kadar ketiga logam berat tersebut dalam tajuk tanaman uji ryegrass dan tembakau. Ameliorasi menggunakan zeolit alam maupun sintetis dapat menurunkan serapan tanaman terhadap Cu, Cd, Pb dan Zn (Gworek 1992; Moirou et al. 2001; Oste et al. 2002). Struktur kristal tiga dimensinya yang tak terbatas memungkinkan zeolit memiliki kapasitas pertukaran kation yang besar. Kapasitas ini berasal dari substitusi Al3+ untuk Si4+ pada tetrahedra Si yang menghasilkan tapak tetap bermuatan negatif di seluruh struktur kristalnya.
Muatan negatif tersebut
diseimbangkan oleh sejumlah ekuivalen kation mobil yang terikat lemah pada struktur kristal dan bersifat bebas untuk dipertukarkan dengan berbagai kation lainnya di larutan.
Zeolit juga memiliki karakteristik sebagai penyaring ion.
Struktur dalam kristalnya tersusun oleh serangkaian channels dan cages dengan dimensi spesifik yang saling berhubungan sehingga secara selektif dapat menjebak atau menyaring ion bergantung pada ukurannya. Aplikasi 10% w/w zeolit alam clinoptilolite menurunkan kelarutan Cd (32%) dan Pb (38%) pada tanah tercemar bekas lahan tambang (Moirou et al. 2001). Penggunaan zeolit sintetis (mordenite, faujasite, zeolit X, zeolit P, zeolit A) dan zeolit alam clinoptilolite menurunkan kadar Cd dan Zn tanah dan jaringan tanaman (Oste et al. 2002). Aplikasi bahan organik akan mengubah spesiasi logam berat dalam larutan tanah dari ionik ke bentuk-bentuk terkompleks, sehingga serapan logam berat oleh akar dan perpindahannya ke bagian atas tanaman menurun. Dengan demikian, fitotoksisitas dan akumulasi logam berat ke rantai makanan yang lebih tinggi juga menurun (Mench et al. 1998).
Inaktivasi In Situ Pencemaran Logam Berat dalam Tanah Keberadaan logam berat seperti Cd, Cu, Pb dan Zn di atmosfer, tanah dan air dapat mengganggu kehidupan semua organisme. Dalam aktivitas produksi pertanian, kepedulian terhadap hal ini berkenaan dengan dampak negatifnya
32
terhadap pertumbuhan tanaman, keamanan, kualitas dan pemasaran produk pangan serta kelestarian fungsi lingkungan lainnya (Islam et al. 2007). Bioakumulasi logam berat dalam rantai makanan juga berbahaya bagi kesehatan. Proses pendedahannya terutama melalui jalur pencernaan (termakan) dan pernafasan (terhirup). Untuk Pb, Cd dan Hg, hampir separo dari rataan kadar yang terpapar ke tubuh manusia terjadi melalui jalur pencernaan dan berasal dari produk tanaman [buah, sayuran dan biji-bijian] (Islam et al. 2007). Oleh karena tidak memerlukan pekerjaan ekskavasi, metode inaktivasi in situ sesuai untuk diterapkan di tanah pertanian, antara lain karena: (1) proses inaktivasi yang efektif dalam jangka panjang akan menurunkan kadar fraksi aktif, laju pencucian dan perkolasi logam berat ke air tanah dan perpindahannya ke rantai makanan berikutnya, (2) selanjutnya, pertumbuhan tanaman yang lebih sehat juga akan menstabilkan sifat fisik tanah, dan (3) selain murah, biaya yang diperlukan di Amerika Serikat sekitar US$ 0.02-1.00 m-3 per tahun (Mench et al. 1994), metode ini juga tidak destruktif karena tidak merusak bahan organik, mikrob dan struktur tanah, sehingga dampak negatifnya minimal. Metode ini juga sesuai untuk lokasi dimana teknik excavation-landfilling-backfilling dan stabilisasi menggunakan bahan seperti semen, aspal, lapisan liat (geo-textile) dan kombinasinya tidak efisien untuk diterapkan. Namun, metode ini tidak efektif untuk lokasi yang tanahnya dicirikan oleh kondisi pH, struktur, salinitas, kadar logam berat dan bahan toksik lainnya yang sangat tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman (Vangronsveld & Cunningham 1998). Aplikasi tiga jenis biosolids yang berbeda dalam hal kadar fraksi Fe dan Mn serta bahan organiknya dengan dosis 112-448 Mg.ha-1 pada tanah tercemar Cd terbukti efektif dalam meningkatkan sorpsi Cd sehingga menurunkan kelarutan atau kadar fraksi aktifnya dalam larutan tanah (Hettiarachchi et al. 2003). Melalui percobaan pencucian, Calace et al. (2005) mendapatkan penurunan kadar fraksi aktif logam berat Cd, Cu, Mn, Ni, Pb dan Zn dari tanah yang tercemar dengan mengaplikasikan biosolids dari industri bubur kertas yang banyak mengandung bahan organik, karbonat dan silikat. Aplikasi beragam amelioran fosfat dapat menginaktivasi Pb dalam tanah tercemar secara in situ sebagai mineral Pb-P yang tidak larut, terutama
33
pyromorphite [Pb5(PO4)3Cl,OH,F] (Ma 1996). Dilaporkan oleh Scheckel & Ryan (2004) bahwa ameliorasi 1% asam fosfat dengan masa inkubasi 32 bulan meningkatkan pembentukan piromorfit dari 0% pada tanah kontrol menjadi 45% dari kadar total Pb. Aplikasi kombinasi amelioran Mn+P lebih efektif dalam menurunkan kadar Pb tanah dibandingkan hanya Mn atau P (Hettiarachchi et al. 2000). Kadar Pb pada beberapa tanah tercemar juga menurun dengan ameliorasi bahan yang banyak mengandung Fe (Berti & Cunningham 1997). Ameliorasi bahan organik terbukti dapat menginaktivasi Pb secara in situ melalui pembentukan kompleks tak-larut antara Pb tanah dengan asam-asam organik berbobot molekul tinggi yaitu asam humik dan fulvik (Strawn & Sparks 2000; Geebelen et al. 2002; Brown et al. 2004). Aplikasi biosolids atau kompos biosolids, yang banyak mengandung bahan organik, Fe, P dan Mn, dilaporkan efektif dalam menurunkan kadar fraksi aktif Pb tanah. Dengan dosis 100 g.kg-1 tanah atau 200 ton.ha-1, ameliorasi biosolids pada tanah perkotaan tercemar Pb dengan kadar total 2,000 mg.kg-1 menurunkan kadar fraksi aktif Pb tanah hingga 20-43% (Brown et al. 2004). Sebaliknya, pembentukan asam-asam organik dengan bobot molekul rendah hasil degradasi bahan organik dapat meningkatkan kelarutan Pb tanah (Jin et al. 2005). Hasil percobaan inaktivasi Pb secara in situ pada 10 tanah tercemar Pb dari berbagai sumber pencemar berbeda menggunakan kalsit, campuran abu siklon dan terak baja (AS+TB) serta batuan fosfat menunjukkan bahwa aplikasi kalsit dan AS+TB lebih efektif dalam menurunkan serapan Pb oleh tanaman uji daripada batuan fosfat (Geebelen et al. 2003). Dalam percobaan ini, serapan Pb berkorelasi positif dengan kadar fraksi Pb tanah yang terlarut dan dapat dipertukarkan terekstrak ekstraktan CaCl2.
Daftar Pustaka Adriano DC. 2000. Trace Elements in Terrestrial Environments: Biogeochemistry, Bioavailability, and Risks of Metals. New York: Springer-Verlag. Adriano DC, Wenzel WW, Vangronsveld J, Bolan NS. 2004. Role of assissted natural remediation in environmental cleanup. Geoderma 122(2-4):121142.
34
Alloway BJ. 1995a. Introduction. Di dalam: Alloway BJ, editor. Heavy Metals in Soils. Ed ke-2. London: Blackie Acad Prof, hlm 3-10. Alloway BJ. 1995b. Soil processes and the behaviour of metals. Di dalam: Alloway BJ, editor. Heavy Metals in Soils. Ed ke-2. London: Blackie Acad Prof, hlm 11-37. Alloway BJ. 1995c. The origin of heavy metals in soils. Di dalam: Alloway BJ, editor. Heavy Metals in Soils. Ed ke-2. London: Blackie Acad Prof, hlm 38-57. Appel C, Ma LQ, Rhue RD, Reve W. 2003. Selectivities of potassium-calcium and potassium-lead exchange in two tropical soils. Soil Sci Soc Am J 67: 1707-1714. Berti WR, Cunningham SD. 1997. In-place inactivation of Pb in Pb-contaminated soils. Environ Sci Technol 31:1359-1364. Bilos C, Colombo JC, Skorupka CN, Rodriguez-Presa MJ. 2001. Source, distribution and variability of airborne trace metals in La Plata City area, Argentine. Environ Pollut 111(1):149-158. Bohn H, McNeal B, O’Connor G. 1979. Soil Chemistry. New York: J Wiley-Intersci Publ. J Wiley & Sons. Boularbah A, Morel JL, Bitton G. 1996. A direct solid-phase assay spesific for heavy metal toxicity. II. Assessment of heavy-metal immobilization in soils and bioavailability to plants. J Soil Contam 5:395-404. Brown S, Chaney RL, Hallfrisch JG, Xue Q. 2004. Effect of biosolids processing on lead bioavailability in an urban soil. J Environ Qual 32:100-108. Calace N et al. 2005. Metal-contaminated soil remediation by means of paper mill sludges addition: Chemical and ecotoxicological evaluation. Environ Pollut 136:485-492. Chaney RL, Giordano PM. 1977. Microelements as related to plant deficiencies and toxicities. Di dalam: Elliot LF, Stevenson FJ, editor. Soil for Management of Organic Wastes and Waste Waters. Madison: Soil Sci Soc Am, hlm 234-279. Chang AC, Granato TC, Page AL. 1992. A methodology for establishing phytotoxicity criteria for chromium, copper, nickel, and zinc in agricultural land application of municipal sewage sludges. J Environ Qual 21:521-536. Chlopecka A, Bacon JA, Wilson MJ, Kay J. 1996. Forms of cadmium, lead, and zinc in contaminated soils from southwest Poland. J Environ. Qual 25:6979. Collins RN, Merrington G, McLaughkin MJ, Morel JL. 2003. Organic ligand and pH effects on isotopically exchangeable cadmium in polluted soils. Soil Sci Soc Am J 67:112-121. Cottenie A, Camerlynck R, Verloo M, Dhaese A. 1979. Fractionation and determination of trace elements in plants, soils and sediments. Pure Appl Chem 52:45-53.
35
Cottenie A, Verloo M. 1984. Analytical diagnosis of soil pollution with heavy metals. Fresenius Zeitschrift Anal Chem 317:389-393. Elliott HA, Dempsey BA, Maille PJ. 1990. Content and fractionation of heavy metals in water treatment sludges. J Environ Qual 19:330-334. Emmerich WE, Lund LJ, Page AL, Chang AC. 1982. Solid phase forms of heavy metals in sewage sludge-treated soils. J Environ Qual 11(2):178-181. Fendorf S, LaForce MJ, Li GC. 2004. Temporal changes in soil partitioning and bioaccessibility of arsenic, chromium, and lead. J Environ Qual 33:20492055. Fergusson JE. 1991. The Heavy Elements: Chemistry, Environmental Impact and Health Effects. Oxford: Pergamon. Geebelen W et al. 2003. Selected bioavailability assays to test the efficacy of amendment-induced immobilization of lead in soils. Plant Soil 29(1):217228. Geebelen W, Vangronsveld V, Adriano DC, Carleer R, Clijsters H. 2002. Amendment-induced immobilization of lead in a lead-spiked soil: Evidence from phytotoxicity studies. Water Air Soil Pollut 140:261-277. Gomes PC, Fontes MPF, da Silva AG, Mendonca EdeS, Netto AR. 2001. Selectivity sequence and competitive adsorption of heavy metals by Brazilian soils. Soil Sci Soc Am J 65:1115-1121. Gray CD, McLaren RG, Roberts AHC, Condron LM. 1998. Sorption and desorption of cadmium from some New Zealand soils: Effects of pH and contact time. Aust J Soil Res 36:199-216. Grill E, Winnacker EL, Zenk MH. 1985. Phytochelatins: The principal heavymetal complexing peptides of higher plants. Science 230:674-676. Gworek B. 1992. Lead inactivation in soils by zeolites. Plant Soil 143:71-74. Hettiarachchi GM, Ryan JA, Chaney RL, La Fleur CM. 2003. Sorption and desorption of cadmium by different fractions of biosolids-amended soils. J Environ Qual 32:1684-1693. Hettiarachchi GM, Pierzynski GM, Ransom MD. 2000. In situ stabilization of soil lead using phosphorus and manganese oxide. Environ Sci Technol 34: 4614-4619. Hettiarachchi GM, Pierzynski GM, Ransom MD. 2001. In situ stabilization of soil lead using phosphorus. J Environ Qual 30:1214-1221. Holm PE, Rootzen H, Borggaard OK, Moberg JP, Christensen TH. 2003. Correlation of cadmium distribution coefficients to soil characteristics. J Environ Qual 32:138-145. Hsu PH. 1989. Aluminum oxides and oxyhydroxides. Di dalam: Dixon JB, Weed SB (editor). Minerals in Soil Environments. Madison: ASA and SSSA, hlm 331-378.
36
Islam EU, Yang XE, He ZL, Mahmood Q. 2007. Assessing potential dietary of heavy metals in selected vegetables and food crops. J Zhejiang Univ Sci B 8(1):1-13. Jin CW, Zheng SJ, He YF, Zhou GD, Zhou ZX. 2005. Lead contamination in tea garden soils and factors affecting its bioavailability. Chemosphere 59:1151 -1159. Kabata-Pendias A, Pendias H. 2001. Trace Elements in Soils and Plants. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. Kiekens L. 1995. Zinc. Di dalam: Alloway BJ, editor. Heavy Metals in Soils. Ed. ke-2. London: Blackie Acad Prof, hlm 284-305. Lacatusu R. 2000. Appraising levels of soil contamination with heavy metals. Eur Soil Bureau Res Rep No. 4. Official Publ Eur Comm Luxembourg. Lepp NW. 1981. Effect of Heavy Metal Pollution on Plants. London: Appl Sci Publ. Lindsay WL. 2001. Chemical Equilibria in Soils. New Jersey: Blackburn Pr. Lindsay WL, Norvell WA. 1978. Development of a DTPA soil test for zinc, iron, manganese, and copper. Soil Sci Soc Am J 42:421-428. Ma QY, Logan TJ, Traina SJ. 1995. Lead immobilization from aqueous solution and contaminated soils using phosphate rocks. Environ Sci Technol 29: 1118-1126. Ma QY. 1996. Factors influencing the effectiveness and stability of aqueous lead immobilization by hydroxiapatite. J Environ Qual 25:1420-1429. Maier EA, Mathewws RD, McDowell JA, Walden RR, Ahner BA. 2003. Environmental cadmium levels increase phytochelatin and glutathione in lettuce grown in a chelator-buffered nutrient solution. J Environ Qual 32: 1356-1364. McBride MB. 1994. Environmental Chemistry of Soils. New York: Oxford Univ Pr. McBride MB, Sauvé S, Hendershot W. 1997. Solubility control of Cu, Zn, Cd, and Pb in contaminated soils. Eur J Soil Sci 48:337-346. Mench MJ, Didier VL, Loffler N. 1994. A mimicked in-situ remediation study of metal-contaminated soil with emphasis on cadmium and lead. J Environ Qual 23:58-63. Mench M, Vangronsveld J, Lepp NW, Edwards R. 1998. Physico-chemical aspects and efficiency of trace element immobilization by soil amendments. Di dalam: Vangronsveld J, Cunningham SD, editor. MetalContaminated Soils: In-Situ Inactivation and Phytorestoration. Berlin: Springer-Verlag, hlm 151-182. Moirou A, Xenidis A, Paspaliaris I. 2001. Stabilization Pb, Zn, and Cd-contaminated soil by means of natural zeolite. Soil Sed Contam 10(3):251-267.
37
Naidu R, Harter RD. 1998. Effect of different organic ligands on cadmium sorption by and extractability from soils. Soil Sci Soc Am J 62(3):782-789. Naidu R, Bolan NS, Kookana RS, Tiller KG. 1994. Ionic-strength and pH effects on the sorption of cadmium and the surface charge of soils. Eur J Soil Sci 45:419-429. Nolan AL, Zhang H, McLaughlin MJ. 2005. Prediction of zinc, cadmium, lead, and copper availability to wheat in contaminated soils using chemical speciation, diffusive gradient in thin films, extraction, and isotopic dillution techniques. J Environ Qual 34:496-507. Oste LA, Lexmond TM, Riemsdijk WV. 2002. Metal immobilization in soils using synthetic zeolites. J Environ Qual 31:813-821. Pierzynski GM, Schwab AP. 1993. Bioavailability of zinc, cadmium, and lead in a metal-contaminated alluvial soil. J Environ Qual 22:247-254. Rauser WE. 1995. Phytochelatins and related peptides. Plant Physiol 109:11411149. Sanchez-Camazano M, Sanchez-Martin MJ, Lorenzo MF. 1998. Significance of soil properties for content and distribution of cadmium and lead in natural calcareous soils. Soil Total Environ 218:217-226. Sappin-Didier V, Mench M, Gomes A, Lambrot C. 1997. Use of inorganic amendments for reducing metal bioavailability to ryegrass and tobacco in contamionated soils. Di dalam: Iskandar A, Adriano DC, editor. Remediation of Soils Contaminated with Metals. Northwood: Sci Rev, hlm 85-98. Sauvé S, Hendershot W, Allen HE. 2000. Solid-solution partitioning of metals in contaminated soils: Dependence on pH, total metal burden, and organic matter. Crit Rev Environ Sci Technol 34:1125-1131. Scheckel KG, Ryan JA. 2004. Spectroscopic speciation and quantification of lead in phosphate-amended soils. J Environ Qual 33:1288-1295. Schwertmann U, Taylor RM. 1989. Iron oxides. Di dalam: Dixon JB, Weed SB, editor. Minerals in Soil Environments. Madison: ASA and SSSA, hlm 379-438. Silviera DJ, Sommers LE. 1977. Extractability of copper, zinc, cadmium, and lead in soils incubated with sewage sludge. J Environ Qual 6(1):47-52. SoonYK, Bates TE. 1982. Chemical pools of cadmium, nickel, and zinc in polluted soils and some preliminary indications of their availability to plants. J Soil Sci 33: 477-488. Sposito G. 1989. The Chemistry of Soils. New York: Oxford Univ Pr. Sposito G, Lund LJ, Chang AC. 1982. Trace metal chemistry in arid-zone field soils amended with sewage sludge: I. Fractionation of Ni, Cu, Zn, Cd, and Pb in solid phases. Soil Sci Soc Am J 46:260-264. Stevenson FG. 1982. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. New York: Wiley Intersci Publ J Wiley & Sons.
38
Stover RC, Sommers LE, Silviera DJ. 1976. Evaluation of metals in wastewater sludge. J Water Pollut Control Fed 48:2165-2175. Strawn DG, Sparks DL. 2000. Effects of soil organic matter on the kinetics and mechanism of Pb(II) sorption and desorption in soil. Soil Sci Soc Am J 64:144-156. Ure AM. 1995. Methods of analysis for heavy metals in soils. Di dalam: Alloway BJ, editor. Heavy Metals in Soils. Ed. ke-2. London: Blackie Acad Prof, hlm 58-102. Vangronsveld J, Cunningham SD. 1998. Introduction to the Concept. Di dalam: Vangronsveld J, Cunningham SD, editor. Metal-Contaminated Soils: InSitu Inactivation and Phytorestoration. Berlin: Springer-Verlag. hlm 1-15. Verloo M. 1993. Chemical aspect of soil pollution. ITC Soil Sci, Univ Ghent Publ Series 4:17-46. Verloo M, Willaert G. 1986. Chemical characterization and biological effect of heavy metals in a sewage sludge-amended soil. Environmental Contamination. 2nd Int Conf. Amsterdam, Sep 1986. Xu Y, Schwartz FW. 1994. Sorption of Zn2+ and Cd2+ on hydroxyapatite surfaces. Environ Sci Technol 28:1472-1480.