II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Iklim Cuaca adalah kondisi atmosfer yang kita alami berdasarkan hari per harinya atau musim per musimnya. Iklim adalah rata-rata jangka panjang cuaca yang terjadi, yaitu sekitar 30-50 tahun atau lebih. Anomali adalah suatu kondisi cuaca yang berbeda dari rata-rata iklim yang ada. Tahun atau periode yang lebih hangat, dingin, basah, atau pun lebih kering dari iklim yang ada dikategorikan sebagai anomali (Soon and Baliunas 2003). Permukaan bumi, yaitu laut, daratan, dan lapisan es, berperan penting dalam penentuan jumlah panas yang diserap dan dipantulkan. Iklim merupakan hasil interaksi antara atmosfer, hidrosfer, kriosfer, lithosfer, dan biosfer (Lucarini 2002).
Laut dengan luasan 70% dari permukaan bumi tentunya banyak
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh iklim. Hal ini membuat suhu permukaan laut merupakan indikator penting dalam mempelajari cuaca dan iklim yang terjadi. Lautan memegang peran penting dalam pengaturan iklim karena karakter uniknya yang menyimpan panas lebih lama dan mentransfernya ke belahan bumi lainnya (Byatt et al. 2001) 2.2. Pencemaran Logam Pencemaran secara umum dapat didefinisikan sebagai masuknya suatu bahan atau energi ke dalam suatu lingkungan yang menyebabkan dampak negatif (Lasut and Kumurur 2001). Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat disertai dengan pertumbuhan pertanian dan industri akan menghasilkan peningkatan limbah dan perkembangan tipe bahan pencemar (Gomez et al. 1990 dalam Lasut and Kumurur 2001). Pencemaran ini dapat berupa gas, padatan, dan limbah cair. Pencemaran dapat menyebabkan berbagai macam masalah di perairan, disimpulkan dalam Tabel 1 (Manahan 1992).
Sementara dampak polutan
terhadap ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 2 (Gomez et al. 1990 dalam Lasut and Kumurur 2001).
Tabel 1. Jenis polutan dan dampaknya di perairan Jenis Polutan
Dampak
Trace elements Logam berat Logam terikat secara organik
Kesehatan manusia, biota akuatik Kesehatan manusia, biota akuatik Pemindahan logam
Radionuklida
Toksisitas
Polutan anorganik Asbestos Nutrien alga Keasaman, alkalinitas, dan salinitas
Toksisitas, biota akuatik Kesehatan manusia Eutrofikasi Kualitas perairan, kehidupan perairan
Polutan trace organic Polychlorinated biphenyls Pestisida Limbah minyak
Toksisitas Kemungkinan efek biologis Toksisitas, biota akuatik, kehidupan liar Dampak kepada kehidupan liar, estetika
Limbah manusia dan hewan Biochemical oxygen demand Patogen Detergen
Kualitas perairan, kandungan oksigen Kualitas perairan, kandungan oksigen Dampak kesehatan Eutrofikasi, kehidupan liar, estetika
Karsinogen kimia
Kemungkinan kanker
Sedimen
Kualitas perairan, biota aquatik, kehidupan liar
Rasa, bau, dan warna
Estetika
Logam didefinisikan sebagai elemen yang di dalam larutan air dapat melepaskan satu atau lebih elektron dan menjadi kation, sedangkan yang dikategorikan sebagai logam berat adalah logam yang memiliki berat jenis lebih besar dari 5 gr/cm3 (Soemirat 2003). Limbah-limbah yang ada dapat mengandung logam berat, dengan kadar dan jenisnya tergantung pada jumlah dan aktivitas industri. Secara alamiah unsur logam berat memang terdapat dalam air laut, namun dalam jumlah yang sangat rendah berkisar antara 10-5-10-2 ppm (Waldichuk 1974 dalam Hutagalung 1991). Kadar ini dapat meningkat bila limbah yang banyak mengandung unsur logam berat masuk ke dalam lingkungan laut.
Tabel 2. Jenis polutan dan dampaknya terhadap ekosistem terumbu karang Polutan
Dampak
Sedimen
-
mengendap di sekitar terumbu karang dapat membunuh karang mengurangi intensitas cahaya untuk fotosintesis mengurangi tingkat pertumbuhan karang mengurangi luasan substrat yang cocok bagi penempelan larva karang
Limbah kronis
-
eutrofikasi lokal tingkat keberadaan bakteri dan virus yang tinggi infeksi pada mucus karang tingkat pertumbuhan alga yang sangat tinggi
Limbah (pada saat awal masuk)
- penurunan penutupan karang Acropora spp. - Perubahan karang dominan
Nitrogen dan fosfor - peningkatan makroalga terlarut - peningkatan alga hijau - peningkatan kepadatan bintang seribu Limbah pertambangan
- limbah logam berat menyebar sejauh hingga 5 km dan bereaksi dengan skeleton karang
Unsur-unsur logam berat ini umumnya dibutuhkan organisme perairan untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, tetapi akan bersifat racun bila berlebihan (Phillips 1980 dalam Hutagalung 1991). Logam kemungkinan adalah racun yang paling tua dikenal oleh umat manusia. Penggunaan timbal telah dimulai pada tahun 2000 SM ketika manusia mulai mengekstrasi perak dari ore. Terdapat 80 elemen dari 105 elemen dalam tabel periodik yang dikategorikan sebagai logam, namun kurang dari 30 elemen saja yang dilaporkan memberikan dampak racun kepada manusia (Casarett and Doull 1986). Enam logam yang dipelajari dalam penilitian ini, yaitu: a. Antimoni (Sb) Antimoni (Sb) biasa digunakan dalam campuran logam dan juga untuk memproduksi kimia anti api, keramik, perangkat gelas, dan zat warna. Unsur Sb juga digunakan di dunia medis sebagai zat antiparasit.
Keracunan dapat
menyebabkan sakit pencernaan yang parah seperti muntah-muntah dan diare (Casarett and Doull 1986). Dampak dari Sb dapat bersifat akut
terhadap manusia, menyebabkan
rhinitis dan pulmonary edema. Pemaparan secara kronis pada manusa juga dapat menyebabkan rhinitis, pharynghitis, tracheitis, bronchitis, dan akhirnya pneumoconiosis yang menyebabkan penyakit paru-paru dan emphysema (Elinder and Friberg 1977 dalam Casarett and Doull 1986). b. Arsenik (As) Arsenik (As) sulit untuk dikategorikan sebagai elemen tunggal karena sifat kimianya yang sangat kompleks dan terdapat banyak bentuk senyawa arsenik. Unsur As biasanya masuk ke dalam lingkungan melalui air, namun ada juga yang melalui udara berasal dari industri (Casarett and Doull 1986).
Unsur As
kebanyakan berasal dari hasil lain (by-product) kegiatan pertambangan dan juga dari limbah kimia (Manahan 1992). Arsenik dapat mematikan dalam dosis tinggi (Valee et al. 1960 dalam Casarett and Doull 1986), dengan tanda-tanda seperti demam, anorexia, hepatomegalia, melanosis, dan kekacauan ritme jantung hingga menyebabkan gagal jantung. Organ lain yang diserang adalah jaringan saraf tepi, hati, dan pembuluh darah. Unsur As juga dapat meningkatkan risiko karsinogenesis. c. Timbal (Pb) Timbal (Pb) adalah logam beracun yang terdapat dimana-mana dan dapat dideteksi dalam berbagai macam fase, baik dalam lingkungan maupun dalam sistem biologis. Unsur Pb bersifat racun kepada hampir semua mahluk hidup pada tingkat pemaparan yang tinggi, dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan biologis terhadap logam ini (Casarett and Doull 1986). Timbal (Pb) anorganik berasal dari beberapa jenis industri dan pertambangan, yang kemudian masuk ke dalam perairan.
Industri yang
menggunakan Pb adalah industri cat. Unsur Pb juga terdapat pada gas buangan industri dan kendaraan bermotor. Batuan yang mengandung Pb juga berkontribusi atas keberadaan Pb dalam perairan (Manahan 1992). Keracunan Pb akut pada manusia menyebabkan disfungsi parah pada ginjal, sistem reproduksi, hati, dan otak serta sistem saraf pusat.
Keracunan Pb
menyebabkan penyakit dan kematian. Keracunan Pb diduga sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan mental dari banyak anak-anak.
Keracunan Pb
yang ringan menyebabkan anemia dengan gejala pusing, pegal, kelelahan dan gampang marah (Manahan 1992). d. Cadmium (Cd) Cadmium (Cd) adalah logam racun modern, baru ditemukan sebagai elemen pada tahun 1817 dan penggunaan industri baru pada 60 tahun belakangan. Akan tetapi sekarang Cd telah dimanfaatkan oleh berbagai macam industri. Penggunaan utamanya adalah electroplating atau galvanizing karena sifatnya yang antikorosif. Unsur Cd digunakan pula sebagai zat warna pada cat, plastik, dan juga sebagai katoda pada batere nickel-cadmium. Unsur Cd merupakan by-product penambangan dan pengolahan logam seng dan timbal (Casarett and Doull 1986). Efek akut keracunan Cd sangatlah serius, diantaranya tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, dan kerusakan pada jaringan testikular dan sel darah merah. Dampak fisiologis pada mahluk hidup dipercaya disebabkan oleh kemiripan sifat kimia Cd terhadap seng (Zn), sehingga Cd dapat menggantikan Zn dalam beberapa jenis enzim. e. Cobalt (Co) Cobalt (Co) merupakan elemen esensial dalam pembentukan vitamin B12 untuk produksi sel darah merah, serta pencegahan anemia. Unsur Co merupakan logam yang jarang, diproduksi sebagai by-product logam lain terutama tembaga. Unsur Co digunakan dalam campuran metal bertemperatur tinggi dan dalam magnet permanen. Masuknya Co dalam jumlah sangat besar ke dalam tubuh mamalia, termasuk manusia, menyebabkan polycythemia (meningkatnya konsentrasi hemoglobin dalam darah). Keracunan Co dapat menyebabkan muntah-muntah, diare, meningkatkan tekanan darah, memperlambat respirasi, pusing, kuping berdengung (tinnitus), dan ketulian akibat kerusakan saraf (Browning 1969 dalam Casarett and Doull 1986). Unsur Co juga dapat menyebabkan penyakit gondok, dimana para epidemiologis mendapatkan bahwa penyakit gondok lebih banyak terjadi di daerah yang kandungan Co dalam tanah dan airnya lebih tinggi (Wills
1966 dalam Casarett and Doull 1986). Cardiomyopathy (kelainan otot jantung) juga disebabkan oleh masuknya Co ke dalam tubuh dalam jumlah yang besar. f. Krom (Cr) Krom (Cr) adalah elemen yang terdapat pada kerak bumi dalam jumlah yang melimpah. Sumber utama Cr adalah ore krom, diproduksi dengan proses pemurnian logam. Kegunaan Cr adalah sebagai pewarna krom, pewarna kulit, pengawet kayu, dan sebagai zat anti-korosif pada alat masak, boiler, saluran pipa pengeboran minyak. Dampak akut utama dari keracunan Cr adalah renal tubular necrosis (matinya sebagian besar jaringan pada ginjal) (Casarett and Doull 1986). Pemaparan terhadap Cr pada industri produksi krom dan industri pewarna krom dapat menyebabkan kanker paru-paru. 2.3. Terumbu Karang 2.3.1. Pengertian Karang dan Simbiotik Alga Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan batu kapur yang keras. Ordo Scleractinia dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok karang pembentuk terumbu (reef building) dan kelompok karang bukan pembentuk terumbu (non reef building). Karang pembentuk terumbu merupakan karang hermatipik yang memerlukan cahaya matahari untuk hidup, sedangkan kelompok bukan pembentuk terumbu adalah karang ahermatipik yang hidup tanpa cahaya matahari di dasar laut (Veron 1993; Nybakken 1993; Tomascik et al. 1997). Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar luas di seluruh dunia.
Perbedaan utama antara karang
hermatipik dan karang ahermatipik adalah terdapatnya simbiose mutualisma dengan zooxanthellae, tumbuhan alga bersel tunggal (dinoflagellata uniselular) Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut sedangkan hampir semua karang ahermatipik tidak bersimbiose (Ditlev 1980; Nybakken 1993). Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae.
Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang sedemikian erat sehingga sangat menentukan proses metabolisme, kemampuan untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya hewan tersebut. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di daerah terumbu karang sehingga memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993; Nontji 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari adalah untuk kepentingan zooxanthellae (Nybakken 1993). Goreau (1961) dalam Nybakken (1993) menyatakan bahwa zooxanthellae meningkatkan laju proses kalsifikasi (pembentukan kapur) yang dilakukan oleh karang dan laju pertumbuhan koloni karang. Namun hingga kini mekanisme zooxanthellae meningkatkan laju pertumbuhan kerangka karang belum diketahui secara jelas. Barnes (1980) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesis oleh alga
menyebabkan
bertambahnya
produksi
kalsium
karbonat
dengan
menghilangkan karbondioksida dan merangsang reaksi kimia, seperti diterangkan oleh persamaan reaksi sebagai berikut: Ca(HCO3 )2 ↔ CaCO3 + H2CO3 ↔ H2O + CO2 Fotosintesa oleh alga yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat kirakira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae (Ditlev 1980). 2.3.2. Faktor Pembatas Kehidupan Karang Penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkungannya, dimana kondisi ini tidak selalu tetap dan sering kali berubah karena adanya berbagai gangguan baik yang disebabkan oleh alam atau manusia (antropogenis). Faktor – faktor alam yang membatasi penyebaran terumbu karang dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologi. Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah suhu, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus (pergerakan) air dan substrat (Gambar 2) (Barnes 1980; Nybakken 1993; Berwick
1983; Castro and Huber 2000). Beberapa faktor pembatas kehidupan karang adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993). a. Suhu Suhu merupakan faktor pembatas utama bagi kehidupan terumbu karang. Oleh karena itu, penyebaran geografis terumbu karang dipengaruhi oleh suhu dan hampir semuanya hanya ditemukan pada perairan dengan suhu permukaan isotermal 20 °C (Barnes 1980; Nybakken 1993). Terumbu karang dapat berkembang secara optimal pada perairan yang suhu rata-rata tahunannya 23 – 29 °C (Nybakken 1993).
Suhu maksimum yang masih dapat ditoleransi untuk
kehidupan terumbu karang adalah 35 – 40 °C (Berwick 1983; Nybakken 1993), walaupun hal ini juga tergantung pada jenis karangnya. Perubahan suhu secara drastis
dapat
menghambat
pertumbuhan
hewan
karang,
bahkan
dapat
menyebabkan kematian. Menurut Sukarno (1996) menyebutkan bahwa hewan karang pada daerah tropis selalu dihadapkan pada suhu yang relatif konstan sepanjang tahun dan semua proses metabolisme berlangsung pada suhu yang realtif tetap, sehingga
perubahan suhu sebesar 1-3 °C saja akan mengganggu proses metabolisme hewan karang b. Cahaya matahari Cahaya matahari mempunyai peranan penting dalam pembentukan terumbu karang, karena cahaya matahari dibutuhkan oleh alga yang bersimbiosa di dalam jaringan karang untuk melakukan fotosintesis (Berwick 1983; Nybakken 1993). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar yang masuk. Barnes (1980) menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup sampai kedalaman 60 m, namun pada perairan yang jernih - di sekitar samudera terumbu karang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 m (Ditlev 1980). Pada kedalaman lebih dalam lagi cahaya terlalu lemah untuk kehidupan zooxanthellae. Kebanyakan terumbu karang hidup pada kedalaman 25 m atau kurang. Tanpa cahaya yang cukup, maka laju fotosintesis akan berkurang sehingga secara langsung akan mempengaruhi kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat (Nybakken 1993). c. Salinitas Salinitas di laut secara fisiologi mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya proses tekanan osmosis pada jaringan tubuhnya, dan hewan ini peka terhadap perubahan salinitas (Pariwono et al. 1996). Karang hermatipik adalah organisma laut sejati dan kebanyakan spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal air laut (30 – 35 ppt) (Nybakken 1993). Terumbu karang juga masih dapat berkembang di daerah dengan salinitas tinggi, seperti di Teluk Persia yang salinitasnya 42 (Nybakken 1993). d. Kejernihan air dan sedimen Kehidupan karang juga memerlukan air laut yang bersih dari sedimen, karena sedimen tersebut akan menghalangi masuknya cahaya matahari yang diperlukan oleh zooxanthellae. Jadi tingkat kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga menentukan laju pertumbuhan dan produksi karang (Berwick 1983). Bahan-bahan tersuspensi dengan berbagai ukuran dapat mengganggu kehidupan hewan karang terutama yang mempunyai polip kecil dapat menutupi dan mematikan hewan karang. Partikel yang menempel pada
tubuh hewan karang akan mengakibatkan kontraksi polip, menipisnya jaringan, meningkatnya sekresi mucus, menghilangnya zooxanthellae, serta berkurangnya gerakan silium pada polip dan akhirnya mengakibatkan kematian (Pariwono et al. 1996). Menurut Siswandono (1994) menyatakan bahwa kondisi perairan karang Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh sedimentasi dan turbiditas. e. Arus Arus diperlukan oleh karang untuk tersedianya aliran suplai makanan (plankton) dan oksigen serta terhindarnya karang dari timbunan sedimen (Nybakken 1993). Menurut Pariwono et al. (1996) menyebutkan bahwa aliran massa air merupakan faktor utama yang mengatur dinamika komunitas plankton. Massa air dari Laut bagian timur ketika mencapai daerah Kepulauan Seribu memiliki kecepatan arus rerata tahunan sekitar 12-25 cm/detik. 2.3.3. Struktur Karang Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Individu karang terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang keras). Polip karang (Gambar 3), mulutnya terletak di bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentary dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai silia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken 1993), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose juga berada di dalam jaringan gastroderm. Ukuran diameter polip Karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1- 3 mm, sedangkan jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm (Barnes 1980). Rangka Karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polip.
Proses sekresi ini
meghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polip Karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat
dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa). Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polip menjadi kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes 1980).
Gambar 3. Anatomi polip karang dan kerangka kapur (Veron 1993) 2.3.4. Pertumbuhan Karang Batu Terumbu karang merupakan endapan masif dari kalsium karbonat yang utamanya dihasilkan dari hewan karang skleraktinia, dan beberapa tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lainnya yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1993). Fungsi ekologis dari terumbu karang adalah sebagai tempat tinggal, berlindung, tempat mencari makan, dan berkembang biak bagi biota-biota yang hidup di lingkungan terumbu karang maupun dari lingkungan sekitarnya (Sukarno et al. 1983; Castro & Huber 2000; Sale 1991; Lowe-McConnell 1987). Setiap jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan (growth form) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan (Gambar 4). Kondisi fisik yang sama dapat mempunyai pertumbuhan yang mirip
walaupun secara taksonomis berbeda. Berikut beberapa bentuk pertumbuhan karang batu (English et al. 1997): a.
Bercabang (Branching) Karang ini memiliki cabang lebih panjang daripada ketebalan atau diameter yang dimiliki. Banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng terutama yang terlindung atau setengah terbuka.
b. Padat (Massive) Berbentuk seperti bola dengan ukuran yang bervariasi, permukaan karang halus dan padat, biasanya ditemukan disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang dewasa yang belum terganggu atau rusak. Dapat mencapai ukuran sampai beberapa meter. Bersifat memberikan perlindungan yang sangat baik dan berperan sebagai daerah pencarian makan bagi ikan dan hewan lain. c.
Mengerak (Encrusting) Karang ini tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Banyak terdapat pada daerah-daerah yang terbuka atau berbatu-batu, terutama yang mendominasi sepanjang lereng terumbu.
d. Meja (Tabulate atau plate-like) Menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat dan bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. e.
Daun (Foliaceous) Karang ini tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan dan melingkar. Terutama ditemukan pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
f.
Jamur (Mushroom atau free-living) Berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.
Gambar 4. Beberapa jenis bentuk pertumbuhan karang batu (Castro and Huber 2000)
Gambar 5. Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro and Huber 2000) 2.3.5. Organisme yang Berasosiasi Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan
berkembangan biak bagi ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat tropik (Gambar 5). Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken 1993). 2.3.6. Sclerochronology Pertumbuhan terumbu karang adalah bertambahnya lapisan kapur pembentuk terumbu, menutupi lapisan sebelumnya, yang merupakan hasil sekresi metabolisme hewan karang (Nybakken 1993; Druffel 1997). Hewan karang ini mensekresikan kalsium karbonat, komponen utama skeleton terumbu karang, sebagai mineral aragonite (Druffel 1997). Pembentukan lapisan kapur yang dikenal juga sebagai proses kalsifikasi akan memerangkap mineral-mineral yang berada di perairan tempat hidup terumbu karang tersebut (St. John 1974). Proses kalsifikasi ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, yakni: suhu, salinitas, dan intensitas sinar matahari (Barnes 1980; Nybakken 1993; Berwick 1983). Faktor-faktor ini tentunya berubah mengikuti musim, dimana skeleton terumbu karang ini membentuk semacam lingkar tahun (Goreau et al. 1979). Lingkar tahun ini dapat diidentifikasi oleh terbentuknya lapisan dengan kepadatan tinggi dan rendah. Knutson et al. (1972) dalam Al-Ouran (2005) menyatakan bahwa lingkar tahun karang masif dapat merekontruksi kronologi yang akurat. Tanda-tanda keberadaan elemen isotopik, trace element, dan elemen minor di terumbu karang dapat bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas, penutupan awan, dan up-welling.
Hal ini membuat skeleton
terumbu karang dapat digunakan sebagai bahan untuk merekontruksi paleoklimat daerah tropis (Grottoli 2001). Druffel (1997) juga menyatakan bahwa skeleton karang menyediakan perekaman kondisi kimia dan fisik perairan sekitarnya ketika pengakresian kalsium karbonat skeletonnya. Alasan-alasan
lain
penggunaan
terumbu
karang
sebagai
indikator
lingkungan adalah (Hanna and Muir 1990; Allison 1996;Lough and Barnes 1997): 1. Karang mengakumulasi polutan dalam tingkatan relatif tinggi yang terjadi di laut.
2. Karang adalah hewan yang menetap sehingga mewakili area tempat tinggalnya. 3. Karang adalah kelompok organisme pembentuk karbonat yang jamak dan tersebar luas, sehingga memberikan kontribusi penting bagi kajian palaeoenvironmetal. 4. Karang adalah hewan berumur cukup panjang. 5. Karang dalam ukuran tertentu memberikan jaringan dan skeleton yang cukup untuk analisis. 6. Karang memiliki lapisan-lapisan kronologis yang menyimpan rekaman sejarah lingkungannya. Jenis terumbu karang yang paling sesuai untuk sclerochronology adalah karang masif (Al-Ouran 2005; Grottoli 2001; Druffel 1997).
Karakter dari
terumbu karang dari jenis ini sehingga sesuai untuk sclerochronology adalah: a. Bentuknya yang bulat dan tahan terhadap gelombang sehingga dapat hidup ratusan tahun. b. Hidup di lapisan campuran permukaan laut, sehingga laju akresi kalsium karbonatnya jauh lebih cepat daripada karang di laut dalam. Karang masif dalam kondisi optimalnya dapat tumbuh 10-15 mm/tahun. Kation divalen, seperti Mg; Sr; dan Ba, terdapat banyak di air laut dan muncul sebagai elemen minor pada terumbu karang. Kation divalen lainnya yang keberadaannya sedikit sekali muncul sebagai trace element. Rasionya terhadap Ca dapat menggambarkan konsentrasi elemen tersebut di perairan, dengan asumsi kadar Ca tak berubah di air laut (Druffel 1997). Schneider and Smith (1982) dalam Druffel (1997) menemukan rasio Sr/Ca pada karang di perairan Hawai bervariasi menjadi fungsi dari SST. Flor and Moore (1977) dalam Druffel (1997) menyimpulkan bahwa ada korelasi antara U/Ca dan δ18O dalam skeleton karang, sehingga juga bisa merekontruksi SST. Sementara Stephan et al. (2004) menyimpulkan bahwa kemampuan reproduksi data skeleton terumbu yang cukup tinggi membuat satu inti skeleton karang saja dapat menjadi bahan untuk rekontruksi kondisi perairan masa lalu.