5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Logam Ferro Logam ferro adalah logam besi (Fe). Besi merupakan logam yang penting dalam bidang teknik, tetapi besi murni terlalu lunak dan rapuh sebagai bahan kerja, bahan konstruksi dll. Oleh karena itu besi selalu bercampur dengan unsur lain, terutama zat arang/karbon (C). Sebutan besi dapat berarti : 1. 1.Besi murni dengan simbol kimia Fe yang hanya dapat diperoleh dengan jalan reaksi kimia. 2. 2.Besi teknik adalah yang sudah atau selalu bercampur dengan unsur lain. Besi teknik terbagi atas tiga macam yaitu : 1. 1.Besi mentah atau besi kasar yang kadar karbonnya lebih besar dari 3,7%. 2. 2.Besi tuang yang kadar karbonnya antara 2,3 sampai 3,6 % dan tidak dapat ditempa. Disebut besi tuang kelabu karena karbon tidak bersenyawa secara kimia dengan besi melainkan sebagai karbon yang lepas yang memberikan warna abu-abu kehitaman, dan disebut besi tuang putih karena karbon mampu bersenyawa dengan besi. 3. 3.Baja atau besi tempa yaitu kadar karbonnya kurang dari 1,7 % dan dapat ditempa. Logam ferro juga disebut besi karbon atau baja karbon. Bahan dasarnya adalah unsur besi (Fe) dan karbon (C) , tetapi sebenarnya juga mengandung unsur lain seperti : silisium, mangan, fosfor, belerang dan sebagainya yang kadarnya relatif rendah. Unsur-unsur dalam campuran
itulah yang
mempengaruhi sifat- sifat besi atau baja pada umumnya, tetapi unsur zat arang
6
(karbon) yang paling besar pengaruhnya terhadap besi atau baja terutama kekerasannya. Pembuatan besi atau baja dilakukan dengan mengolah bijih besi di dalam dapur tinggi yang akan menghasilkan besi kasar atau besi mentah. Besi kasar belum dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat benda jadi maupun setengah jadi, oleh karena itu, besi kasar itu masih harus diolah kembali di dalam dapur-dapur baja. Logam yang dihasilkan oleh dapur baja itulah yang dikatakan sebagai besi atau baja karbon, yaitu bahan untuk membuat benda jadi maupun setengah jadi. Tabel 1. Logam Ferro dan Pemakaiannya
Sumber : (Davis, Troxell, dan Wiskocil, 1955)
B. Baja Karbon Baja adalah logam paduan, dimana logam besi adalah unsur dasarnya yang diikuti dengan beberapa elemen lainnya termasuk karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja berkisar antara 0.2% hingga 2.1% sesuai jenis baja itu sendiri. Karbon, mangan, fosfor, sulfur, silikon, adalah elemen-elemen yang ada pada baja karbon. Selain itu, ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa jenis baja diantaranya: mangan, nikel, krom, molybdenum, boron, titanium, vanadium dan niobium Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya kita dapat mendapatkan kualitas baja yang kita inginkan. Fungsi karbon dalam baja
7
adalah sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi. Penambahan kandungan karbon pada baja dapat meningkatkan kekerasan (hardness) dan kekuatan tariknya (tensile strength), namun di sisi lain membuatnya menjadi getas (brittle) serta menurunkan keuletannya (ductility). Sedangkan Mangan dipadukan dalam baja karbon dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan luluh dengan kandungan tidak lebih dari 0,5 % untuk dapat mencegah terjadinya kegetasan pada suhu tinggi (hot shortness) dan untuk mempermudah proses rolling saat pembentukan raw material. Untuk Poshphor (P) dan Sulfur (S) kedua unsur ini sedapat mungkin diminimalisir dalam paduan baja karbon, karena pada dasarnya sulit untuk mendapatkan paduan baja karbon tanpa phosphor dan sulfur. Phosphor menimbulkan sifat getas dan menurunkan kekuatan baja dalam menahan beban benturan pada suhu rendah. Sedangkan Sulfur menyebabkan baja menjadi getas pada suhu tinggi. Karena hal itu, batas maksimal kandungan keduanya tidak boleh melebihi 0,05 %.
C. Pengelompokkan Jenis Baja Karbon Baja karbon dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu : 1. Baja karbon rendah dengan kadar karbon kurang dari 0,25 %, Baja karbon rendah merupakan baja dengan kandungan karbon kurang dari 0,25 %, Baja ini memiliki keuletan yang baik namun tidak memiliki kekerasan baik dan tidak dapat dilakukan perlakuan panas karena jumlah karbonnya yang sedikit yang mengakibatkan tidak terbentuknya proses martensit pada proses perlakuan panas. Baja ini biasanya digunakan untuk bahan manufaktur karena baja karbon rendah memiliki sifat mampu tempa yang baik, mampu mesin tinggi, dan mampu bentuk yang tinggi karena keuletannya.
8
2. Baja karbon sedang dengan kadar karbon 0,25 – 0,6 % Baja karbon jenis ini mengandung unsur karbon antara 0,25 sampai dengan 0,6 %. Baja ini dapat dinaikkan sifat mekaniknya dengan melalui perlakuan panas austenitizing, quenching, dan tempering, biasanya baja ini banyak dipakai dalam kondisi hasil tempering sehingga struktur mikronya martensit.
Baja ini memiliki kekuatan yang baik serta nilai keuletan
maupun kekerasannya juga baik, baja karbon sedang umumnya digunakan sebagai bahan baku alat-alat perkakas, komponen mesin seperti poros putaran tinggi, roda gigi, cranksaft batang penghubung piston, pegas dan lainnya. 3. Baja karbon tinggi mengandung 0,6 – 1,4 % karbon. Baja karbon tinggi adalah baja karbon yang mengandung karbon antara 0,60 sampai dengan 1,4 %. Baja karbon ini mempunyai kekerasan yang tinggi namun keuletannya yang rendah, biasanya digunakan untuk keperluan yang memerlukan ketahanan terhadap defleksi, beban gesek dan temperatur tinggi seperti bearing, mata bor, palu, mata pahat, gergaji, blok silinder, cincin torak dan sebagainya. [Van,2005]
D. Baja AISI 1045 Baja AISI 1045 termasuk dalam baja karbon sedang . Hal ini dapat diketahui dari kandungan unsur karbon yang ditunjukkan pada kode penamaannya berdasarkan AISI yang merupakan badan standarisasi baja American Iron and Steel Institude dengan kode 1045 dimana angka 10xx menyatakan karbon steel dan angka 45 menyatakan kadar karbon dengan persentase 0,45 %. Baja AISI 1045 memiliki karakter dengan kemampuan las,
mesin, serta
menyerap beban impak yang cukup baik. baja AISI 1045 memiliki cakupan aplikasi yang cukup luas diantaranya digunakan sebagai roda gigi, pin ram, batang ulir kemudi, baut pengikat komponen dalam mesin, poros engkol, batang penghubung, bearing, dan lainnya.
9
Berikut ini adalah sifat-sifat mekanis dari baja karbon AISI 1045 Tabel 2. Sifat-sifat mekanis baja karbon AISI 1045 Sifat Mekanis
Baja Karbon AISI 1045
Berat Spesifik (yield)
7.7-8.03 (x1000kg/m3)
Modulus Elastisitas
190-210 Gpa
Kekuatan Geser
505 Mpa
Kekuatan Tarik
585Mpa
Kekerasan
179.8
Elongation
12%
Sumber : www.ezlok.com (diakses pada 20 mei 2014)
Dan berikut adalah tabel komposisi kimia dari baja AISI 1045 Tabel 3. komposisi kimia AISI 1045 Unsur
C
Mn
P
S
Fe
%
0.43-0.50
0.6-0.90
0.04 Max
0.050 Max
Sisanya
Sumber : www.ezlok.com (diakses pada 20 mei 2014)
E. Proses Perlakuan Panas (Heat Ttreatment) Perlakuan panas atau heat treatment adalah kombinasi operasi pemanasan pada logam di bawah temperatur lebur logam tersebut dan pendinginan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu
10
[Avner, 1974]. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh sifat yang diinginkan dengan merubah struktur mikronya. Struktur yang terjadi pada akhir suatu proses laku panas, selain ditentukan oleh komposisi kimia dari material dan proses laku panas yang dialami juga ditentukan oleh struktur awal material. Paduan dengan komposisi kimia yang sama, dan mengalami proses laku panas yang sama, mungkin akan menghasilkan struktur mikro dan sifat yang berbeda bila struktur awal materialnya berbeda. Struktur awal ini banyak ditentukan oleh pengerjaan dan laku panas yang dialami sebelumnya. Disamping itu dasar-dasar semua proses laku panas melibatkan transformasi
dan
dekomposisi austenit. Langkah pertama dalam proses laku panas baja adalah memanaskan material sampai temperatur tertentu atau di atas temperatur daerah kritis untuk membentuk fasa austenit. Kemudian diberi waktu penahanan agar austenit dapat lebih homogen baru setelah itu dilakukan proses pendinginan. Proses pendinginan dilakukan dengan cermat agar benda kerja tidak mengalami cacat retak setelah mangalami proses ini. Variasi tipe proses perlakuan panas di atas adalah sama karena seluruh proses perlakuan panas hanya melibatkan proses pemanasan yang membedakannya adalah temperatur pemanasan dan laju pendinginannya. Proses pemanasan dan kecepatan laju pendinginan ini sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses perlakuan panas. Di dalam proses perlakuan panas ada tiga tahapan yang paling utama di antaranya tahap pemanasan, tahap penahanan, dan tahap pendinginan. [http//:www.uddeholm.com, 2007].
1. Hardening Hardening adalah perlakuan panas terhadap logam dengan sasaran meningkatkan kekerasan alami logam. Perlakuan panas menuntut pemanasan benda kerja menuju suhu pengerasan, jangka waktu penghentian yang memadai pada suhu pengerasan dan pendinginan (pengejutan) berikutnya secara cepat dengan kecepatan pendinginan kritis. Akibat pengejutan dingin dari daerah suhu pengerasan ini, dicapailah suatu
11
keadaan paksaan bagi struktur baja yang merangsang kekerasan, oleh karena itu maka proses pengerasan ini disebut pengerasan kejut. Karena logam menjadi keras melalui peralihan wujud struktur, maka perlakuan panas ini disebut juga pengerasan alih wujud. Kekerasan yang dicapai pada kecepatan pendinginan kritis (martensit) ini diringi kerapuhan yang besar dan tegangan pengejutan, karena itu pada umumnya dilakukan pemanasan kembali menuju suhu tertentu dengan pendinginan lambat. Kekerasan tertinggi (66-68 HRC) yang dapat dicapai dengan pengerasan kejut suatu baja, pertama bergantung pada kandungan zat arang, kedua tebal benda kerja mempunya pengaruh terhadap kekerasan karena dampak kejutan membutuhkan beberapa waktu untuk menembus ke sebelah dalam, dengan demikian maka kekerasan menurun kearah inti. 2. Tempering Perlakuan untuk menghilangkan tegangan dalam dan menguatkan baja dari kerapuhan
disebut
dengan
memudakan
(tempering).
Tempering
didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan. Baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, melalui proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan. Kekerasan turun, kekuatan tarik akan turun pula sedang keuletan dan ketangguhan baja akan meningkat. Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lunak, proses ini berbeda dengan proses anil (annealing) karena sifat-sifat fisis dapat dikendalikan dengan cermat. Pada suhu 200°C sampai 300°C laju difusi lambat hanya sebagian kecil. karbon dibebaskan, hasilnya
sebagian
struktur
tetap
keras
tetapi
mulai
kehilangan
kerapuhannya. Di antara suhu 500°C dan 600°C difusi berlangsung lebih cepat, dan atom karbon yang berdifusi di antara atom besi dapat membentuk cementit. Menurut tujuannya proses tempering dibedakan sebagai berikut :
12
a. Tempering pada suhu rendah ( 150° – 300°C ) Tempering ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat potong, mata bor dan sebagainya. b. Tempering pada suhu menengah ( 300° - 550°C ) Tempering pada suhu sedang bertujuan untuk menambah keuletan dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 500C pada proses tempering. c. Tempering pada suhu tinggi ( 550° - 650°C ) Tempering suhu tinggi bertujuan memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah misalnya pada roda gigi, poros batang pengggerak dan sebagainya. 3. Anealing Anealing adalah perlakuan panas logam dengan pendinginan yang lambat berfungsi untuk memindahkan tekanan internal atau untuk mengurangi dan menyuling struktur
kristal (melibatkan pemanasan di atas temperatur
kritis bagian atas). Logam dipanaskan sekitar 25˚C di atas temperatur kritis bagian atas, ditahan dalam beberapa waktu, kemudian didinginkan pelan-pelan di tungku perapian. Proses ini digunakan untuk memindahkan tekanan internal penuh sebagai hasil proses pendinginan. Berikutnya pendinginan logam diatur kembali di dalam sama benar untuk menurunkan energi bentuk wujud, tegangan yang baru dibebaskan
dibentuk dan
pertumbuhan butir dukung. Tujuannya untuk menghilangkan internal stress pada logam dan untuk menghaluskan grain (batas butir) dari atom logam, serta mengurangi kekerasan, sehingga menjadi lebih ulet. Annealing terdiri dari 3 proses yaitu :
13
a. Fase recovery Fase recovery adalah hasil dari pelunakan logam melalui pelepasan cacat kristal (tipe utama dimana cacat linear disebut dislokasi) dan tegangan dalam. b. Fase rekristalisasi Fase rekristalisasi adalah fase dimana butir nucleate baru dan tumbuh untuk menggantikan cacat- cacat oleh tegangan dalam c. Fase grain growth (tumbuhnya butir) Fase grain growth (tumbuhnya butir) adalah fase dimana mikro struktur mulai menjadi kasar dan menyebabkan logam tidak terlalu memuaskan untuk proses pemesinan. 4. Normalizing Normalizing adalah perlakuan panas logam di sekitar 40˚C di atas batas kritis logam, kemudian di tahan pada temperatur tersebut untuk masa waktu yang cukup dan dilanjutkan dengan pendinginan pada udara terbuka. Pada proses pendinginan ini temperatur logam terjaga untuk sementara waktu sekitar 2 menit per mm dari ketebalan-nya hingga temperatur spesimen sama dengan temperatur ruangan, dan struktur yang diperoleh dalam proses ini diantaranya perlit (eutectoid), perlit brown ferrite (hypoeutectoid) atau perlit brown cementite (hypereutectoid). Normalizing digunakan untuk menyuling struktur butir dan menciptakan suatu austenite yang lebih homogen ketika baja (www.steelindonesia.com)
dipanaskan kembali.
14
Gambar 1. Diagram fasa Fe-Fe3C (Sumber : www.steelindonesia.com)
Dari gambar diatas dapat diterangkan atau dibaca diantaranya 1. Pada kandungan karbon mencapai 6.67% terbentuk struktur mikro dinamakan Cementit Fe3C (dapat dilihat pada garis vertikal paling kanan). Sifat – sifat cementitte diantaranya sangat keras dan sangat getas 2. Pada sisi kiri diagram dimana pada kandungan karbon yang sangat rendah, pada suhu kamar terbentuk struktur mikro ferit. 3. Pada baja dengan kadar karbon 0.83%, struktur mikro yang terbentuk adalah Perlit, kondisi suhu dan kadar karbon ini dinamakan titik Eutectoid. 4. Pada baja dengan kandungan karbon rendah sampai dengan titik eutectoid, struktur mikro yang terbentuk adalah campuran antara ferit dan perlit.
15
5. Pada baja dengan kandungan titik eutectoid sampai dengan 6.67%, struktur mikro yang terbentuk adalah campuran antara perlit dan cementit. 6. Pada saat pendinginan dari suhu leleh baja dengan kadar karbon rendah, akan terbentuk struktur mikro Ferit Delta lalu menjadi struktur mikro Austenit. 7. Pada baja dengan kadar karbon yang lebih tinggi, suhu leleh turun dengan naiknya kadar karbon, peralihan bentuk langsung dari leleh menjadi Austenit.
F. Holding Time Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenite-nya homogen atau terjadi kelarutan karbida ke dalam austenite dan difusi karbon dan unsur paduannya. Waktu penahanan sangat berpengaruh pada saat transformasi karena apabila waktu penahanan yang diberikan kurang tepat atau terlalu cepat, maka transformasi yang terjadi tidak sempurna dan tidak homogen selain itu waktu tahan terlalu pendek akan menghasilkan kekerasan yang rendah hal ini dikarenakan tidak cukupnya jumlah karbida yang larut dalam larutan. Sedangkan apabila waktu penahanan yang diberikan terlalu lama, transformasi terjadi namun diikuti dengan pertumbuhan butir yang dapat menurunkan ketangguhan [Thelning, 1984]. Pedoman untuk menentukkan waktu penahanan dari berbagai jenis baja dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
16
Tabel 4. Jenis baja dan waktu tahan yang dibutuhkan pada proses perlakuanpanas [Prayitno.et.al, 1999].
Ketebalan benda uji sangat mempengaruhi pemberian waktu penahanan pada saat proses austenisasi. Secara matematis pemberian waktu penahanan terhadap ketebalan benda uji dapat ditulis pada persamaan 1 berikut [Krauss, 1986]. T = 1,4 × H ………………………………………………………………….(1) dengan: T = waktu penahanan (menit) H = tebal benda kerja (mm)
G. Quenching Proses quenching adalah proses heat transfer (perpindahan panas) dengan laju yang sangat cepat. Pada perlakuan quenching terjadi percepatan pendinginan dari temperatur akhir perlakuan dan mengalami perubahan dari austenite menjadi bainite dan martensite untuk menghasilkan kekuatan dan kekerasan yang tinggi. Pengerasan maksimum yang dapat dicapai baja yang di-quench hampir sepenuhnya ditentukan oleh konsentrasi karbon dan kecepatan pendinginan yang sama atau lebih tinggi dengan kecepatan pendinginan kritis untuk paduan tersebut. Media quenching meliputi: air, air garam, oli, airpolymer, dan beberapa kasus digunakan inert gas. Gambar 2. di bawah memperlihatkan laju pendinginan panas dari logam sebagai fungsi dari temperatur permukaan logam. Awal pencelupan (Tahap A), logam akan diselimuti oleh selubung uap, yang akan pecah saat logam mendingin. Perpindahan panas saat terbentuknya selubung uap ini buruk, dan logam akan mendingin dengan lambat pada tahap ini. Stabilitas dan lamanya proses
17
pendinginan tahap A sangat dipengaruhi oleh agitasi, umumnya waktu pendinginan tahap ini berkurang dengan peningkatan agitasi [Totten, 1993].
Gambar 2. Mekanisme pendinginan pada spesimen yang di-quench [Totten, 1993]. Tahap B dari kurva pendinginan dinamakan tahap didih nukleat dan pada tahap ini terjadi perpindahan panas yang cepat karena logam langsung bersentuhan dengan air. Pada tahap ini, logam masih sangat panas dan air akan mendidih dengan hebatnya. Kecepatan pembentukan uap air menunjukkan sangat tingginya laju perpindahan panas. Selanjutnya perpindahan panas pada pendinginan tahap ini dapat ditingkatkan dengan peningkatan agitasi [Totten, 1993]. Pada tahap C, merupakan tahap pendinginan konveksi dan konduksi, dimana permukaan logam telah bertemperatur dibawah titik didih air. Tahap ini hanya mengalami perpindahan panas melalui konveksi dan konduksi [Totten, 1993]. Perpindahan panas konveksi terdiri dari konveksi alamiah dan konveksi paksa. Konveksi paksa yang terjadi karena gaya luar seperti agitasi secara umum perpindahan panasnya lebih cepat dari pada konveksi alamiah, laju pendinginan meningkat dengan peningkatan agitasi [Totten, 1993].
Gambar 3. Tampilan skematik dari aliran turbulen disekeliling spesimen panas pada proses quenching [Totten, 1993].
18
Keseragaman kondisi quenchant penting untuk meminimalisir adanya cracking, distorsi, dan ketidakseragaman kekerasan, hal ini berarti bahwa selama proses quenching sebisa mungkin perpindahan panasnya seragam atau dengan kata lain temperatur larutan pendingin pada bak harus tetap dijaga seragam, sehingga setiap bagian dari spesimen yang di-quench tetap didinginkan pada temperatur yang sama. Akibat adanya perpindahan panas dari spesimen baja kelarutan pendingin maka terjadi pembentukan gelembunggelembung udara yang kemudian berlanjut dengan terbentuknya selubung udara pada permukaan spesimen tersebut, selubung udara tersebut perlu segera disingkirkan agar perpindahan panasnya tetap baik. Permasalahan selubung udara diatas dapat diatasi dengan dua cara, pertama adalah dengan membuat larutan pada bak pendingin teragitasi, atau dengan cara membuat spesimen bergerak berputar-putar di dalam bak larutan pendingin. Membuat spesimen bergerak dalam larutan pendingin cukup sulit apalagi jika spesimennya besar dan tidak beraturan, sehingga membuat larutan pada bak quench tersirkulasi merupakan cara yang paling baik. Pengaruh agitasi pada hasil quench dengan memvariasikan kecepatan aliran menunjukkan adanya peningkatan kekerasan dengan meningkatnya kecepatan aliran. Agitasi, atau sirkulasi paksa pada medium quenching, dibutuhkan untuk mempersingkat waktu pendinginan. Tanpa agitasi, konveksi alamiah dari quenchant dan penguapan quenchant akan menghambat perpindahan panas terhadap lapisan batas fluida pada permukaan. Membuat konveksi paksa pada fluida akan mengurangi hambatan aliran panas pada lapisan batas fluida. Efek dari agitasi pada mekanisme pendinginan dari sebuah perak yang di-quench dengan medium quench air bertemperatur 60˚C ditunjukkan pada aliran air dengan kecepatan vi diinjeksikan dari bagian bawah bak medium quench dan diarahkan ke logam. Semakin besar laju aliran (agitasi), semakin besar temperatur yang dapat dilepas dengan mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan selubung uap namun langsung terjadi didih nukleat karena efektifitas perpindahan panasnya paling baik. Agitasi yang besar juga akan mempercepat pendinginan pada tahap didih nukleat dan pendinginan konveksi dan konduksi [Totten, 1993].
19
H. Pengujian Logam Proses pengujian logam adalah proses pemeriksaan bahan-bahan untuk diketahui sifat dan karakteristiknya yang meliputi sifat mekanik, sifat fisik, bentuk struktur, dan komposisi unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Adapun proses pengujiannya dikelompokkan ke dalam tiga kelompok metode pengujian, yaitu : 1. Destructive Test (DT), yaitu proses pengujian logam yang dapat menimbulkan kerusakan logam yang diuji. 2. Non Destructive Test (NDT), yaitu proses pengujian logam yang tidak dapat menimbulkan kerusakan logam atau benda yang diuji. 3. Metallography, yaitu proses pemeriksaan logam tentang komposisi kimianya, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, dan bentuk strukturnya.
I. Uji Kekerasan (Hardness Test) Proses pengujian kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Dengan kata lain, ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji yang mendapat pengaruh pembebanan, benda uji akan mengalami deformasi. Kita dapat menganalisis seberapa besar tingkat kekerasan dari bahan tersebut melalui besarnya beban yang diberikan terhadap luas bidang yang menerima pembebanan tersebut. Kita harus mempertimbangkan kekuatan dari benda kerja ketika memilih bahan benda tersebut. Dengan pertimbangan itu, kita cenderung memilih bahan benda kerja yang memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi. Alasannya, logam keras dianggap lebih kuat apabila dibandingkan dengan logam lunak. Meskipun demikian, logam yang keras biasanya cenderung lebih rapuh dan sebaliknya, logam lunak cenderung lebih ulet dan elastis.
20
J. Dasar-Dasar Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan bahan logam bertujuan mengetahui angka kekerasan logam tersebut. Dengan kata lain, pengujian kekerasan ini bukan untuk melihat apakah bahan itu keras atau tidak, melainkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kekerasan logam tersebut. tingkat kekerasan logam berdasarkan pada standar satuan yang baku. Karena itu, prosedur pengujian kekerasan pun diatur dan diakui oleh standar industri di dunia sebagai satuan yang baku. Satuan yang baku itu disepakati melalui tiga metode pengujian kekerasan, yaitu penekanan, goresan, dan dinamik . Pengujian kekerasan dengan cara penekanan banyak digunakan oleh industri permesinan. Hal ini dikarenakan prosesnya sangat mudah dan cepat dalam memperoleh angka kekerasan logam tersebut apabila dibandingkan dengan metode pengujian lainnya. Pengujian kekerasan yang menggunakan cara ini terdiri dari tiga jenis, yaitu pengujian kekerasan dengan metode Rockwell, Brinell, dan Vickers. Ketiga metode pengujian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, serta perbedaan dalam menentukan angka kekerasannya. Metode Brinell dan Vickers misalnya, memiliki prinsip dasar yang sama dalam menentukan angka kekerasannya, yaitu menitik beratkan pada perhitungan kekuatan bahan terhadap setiap daya luas penampang bidang yang menerima pembebanan tersebut. Sedangkan metode Rockwell menitik beratkan pada pengukuran kedalaman hasil penekanan atau penekan (indentor) yang membentuk berkasnya (indentasi) pada benda uji. Perbedaan cara pengujian ini menghasilkan nilai satuannya juga berbeda. Karena itu, tiap-tiap pengujian memiliki
satuannya masing-masing sesuai
dengan proses
penekannya, yang mendapat pengakuan standar internasional. Perbedaan satuan itu ditunjukkan dalam bentuk tulisan angka hasil pengujiannya. Berikut ini merupakan uraian terperinci mengenai masing-masing metode pengujian.
21
K. Metode Pengujian Rockwell Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell ini diatur berdasarkan standar DIN 50103. Adapun standar kekerasan metode pengujian Rockwell ditunjukkan pada tabel sebagai berikut : Tabel 5. Skala Kekerasan Metode Pengujian Rockwell
Sumber: (Davis, Troxell, dan Wiskocil, 1955)
Tingkatan skala kekerasan menurut metode Rockwell dapat dikelompokkan menurut jenis indentor yang digunakan pada masing-masing skala. Dalam metode Rockwell ini terdapat dua macam indentor yang ukurannya bervariasi, yaitu : 1. Kerucut intan dengan besar sudut 120º dan disebut sebagai Rockwell Cone. 2. Bola baja dengan berbagai ukuran dan disebut sebagai Rockwell Ball. Untuk cara pemakaian skala ini, kita terlebih dahulu menentukan dan memilih ketentuan angka kekerasan maksimum yang boleh digunakan oleh skala tertentu. Jika pada skala tertentu tidak tercapai angka kekerasan yang akuran, maka kita dapat menentukan skala lain yang dapat menunjukkan angka
22
kekerasan yang jelas. Berdasarkan rumus tertentu, skala ini memiliki standar atau acuan, dimana acuan dalam menentukan dan memilih skala kekerasan dapat diketahui melalui tabel sebagai berikut : Pembebanan dalam proses pengujian kekerasan metode Rockwell diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut beban minor dan tahap kedua (beban utama) disebut beban mayor. Beban minor besarnya maksimal 10 kg sedangkan beban mayor bergantung pada skala kekerasan yang digunakan. Berikut ini merupakan cara pengujian dan penggunaan dengan menggunakan metode pengujian Rockwell, yaitu : Tabel 6. Skala Kekerasan Dan Pemakaiannya
Sumber: (Davis, Troxell, dan Wiskocil, 1955) 1. Cara pengujian kekerasan Rockwell Cara Rockwell ini berdasarkan pada penekanan sebuah indentor dengan suatu gaya tekan tertentu ke permukaan yang rata dan bersih dari suatu logam yang diuji kekerasannya. Setelah gaya tekan dikembalikan ke gaya minor, maka yang akan dijadikan dasar perhitungan untuk nilai kekerasan Rockwell bukanlah hasil pengukuran diameter atau diagonal bekas lekukan, tetapi justru dalamnya bekas lekukan yang terjadi itu. Inilah perbedaan metode Rockwell dibandingkan dengan metode pengujian
23
kekerasan lainnya. Pengujian Rockwell yang umumnya dipakai ada tiga jenis, yaitu HRA, HRB, dan HRC. HR itu sendiri merupakan suatu singkatan kekerasan Rockwell atau Rockwell Hardness Number dan kadang-kadang disingkat dengan huruf R saja . 2. Cara penggunaan mesin uji kekerasan Rockwell Sebelum pengujian dimulai, penguji harus memasang indentor terlebih dahulu sesuai dengan jenis pengujian yang diperlukan, yaitu indentor bola baja atau kerucut intan. Setelah indentor terpasang, penguji meletakkan specimenyang akan diuji kekerasannya di tempat yang tersedia dan menyetel beban yang akan digunakan untuk proses penekanan. Untuk mengetahui nilai kekerasannya, penguji dapat melihat pada jarum yang terpasang pada alat ukur berupa dial indicator pointer. Kesalahan pada pengujian Rockwell dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : a. Benda uji. b. Operator. c. Mesin uji Rockwell. Kelebihan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu : a. Dapat digunakan untuk bahan yang sangat keras. b. Dapat dipakai untuk batu gerinda sampai plastik. c. Cocok untuk semua material yang keras dan lunak. Kekurangan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu : a. Tingkat ketelitian rendah. b. Tidak stabil apabila terkena goncangan. c. Penekanan bebannya tidak praktis.