II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Potensi Ternak Sapi Potong di Indonesia Populasi penduduk yang terus berkembang, mengakibatkan permintaan terhadap kebutuhan pangan terus meningkat. Ternak memberikan kontribusi yang sangat penting untuk memproduksi zat-zat makanan yang esensial bagi manusia (Batubara, 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2009) laju peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak. Menurut data dari Direktorat Jendral Peternakan (Ditjennak) (2009) populasi penduduk sebagai faktor utama dalam pemenuhan kebutuhan daging cenderung meningkat dengan laju 1,2%/tahun, sementara laju peningkatan populasi sapi potong mencapai 5,3%. Pertumbuhan populasi sapi potong selama rentang waktu 5 tahun (2010-2014) mengalami kenaikan yaitu sebesar 18,68%. Produksi daging sapi secara nasional tahun 2014 tercapai 2,98 juta ton, jika dibandingkan produksi tahun 2013 sebesar 2,88 juta ton, maka produksinya tumbuh sebesar 3,49% (Ditjennak, 2014). Usaha ternak sapi potong menjadi usaha yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia, apabila kebutuhan daging masyarakat Indonesia dapat dipenuhi dari dalam negeri sub sektor peternakan akan ikut menyumbangakan devisa bagi negara. B. Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Menurut pendapat Nurwantoro (2012) daging merupakan bahan makanan yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk menganekaragamkan makanan, karena daging banyak mengandung zat gizi dan dapat diolah menjadi berbagai macam masakan. Menurut pendapat Buckle (1987) daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral dan sedikit karbohidrat (glikogen dan glukosa). Komposisi kimia daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1.
4
5
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Sapi Kandungan Zat Air Protein Karbohidrat Zat terlarut bukan protein Vitamin Sumber: Lawrie (1995)
Nilai (%) 75 19 1,2 2,3 2,5
Konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2009 sebesar 2,09 kg/ kapita/tahun. (BPS, 2009). Konsumsi daging sapi per tiap rumah tangga penduduk Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 2,22 kg/kapita/tahun (BPS, 2014). Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi oleh peningkatan produksi dalam negeri, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga terjadi jurang yang semakin besar antara permintaan dan penawaran. Indonesia membutuhkan sebanyak 700.000 hingga 800.000 ekor sapi yang di datangkan dari Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging (Ditjennak, 2009). C. Kasus Pemalsuan Daging Sapi dengan Daging Babi Babi merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki potensi sebagai campuran daging segar. Hal ini, dikarenakan ternak babi memiliki sifat dan kemampuan antara lain, pertumbuhan yang cepat, efisiensi ransum yang baik (75-80%), persentase karkas yang tinggi (65-80%) dan jumlah anak per kelahiran (litter size) yang tinggi (Satriavi, 2013). Jumlah anak lahir per induk cukup banyak sekitar 6-22 ekor. Di Indonesia variasi litter size pada babi ras adalah 5-16 ekor (Aritonang, 2001). Harga daging babi yang relatif lebih murah sering digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan sosis yang dijual dengan label Halal. Hal ini semata-mata dilakukan demi alasan keuntungan tanpa memperhatikan hak konsumen khususnya umat Islam yang memiliki syarat tertentu terhadap kehalalan suatu makanan (Susanto dan Wardoyo, 2014). Kasus pangan tercemar bahan tambahan yang haram seperti bakso oplosan hingga saat ini masih banyak beredar di Indonesia. Hal ini, terbukti dengan ditetapkanya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lima dendeng
6
dan abon yang beredar di pasaran positif mengandung babi pada awal tahun 2009. Kasus pencampuran daging babi dengan daging sapi juga ditemukan di pasar tradisional Ibuh, kota Payakumbuh, Sumatera Barat (Irawati, 2009; Sholeh, 2009). Pencampuran dengan daging babi bertujuan untuk menurunkan biaya produksi namun harga jual tetap tinggi, serta untuk meningkatkan cita rasa. Pencampuran ini tidak disertai informasi yang jelas kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak mengetahui produk olahan tersebut mengandung babi. Kasus tersebut sangat bertentangan dengan kepercayaan umat Islam yang diharamkan mengkonsumsi daging babi (Ong et al., 2007). D. DNA Miokondria Asam nukleat dan protein merupakan senyawa polimer utama yang terdapat pada sel. Asam nukleat berfungsi menyimpan dan mentransmisikan informasi genetik dalam sel (Koolman dan Klaus, 2005). Sel mempunyai dua jenis molekul asam nukleat yaitu DNA dan RNA. DNA menyimpan informasi genetik yang spesifik untuk setiap individu dan spesies tertentu, yang akan diwariskan ke generasi berikutnya. DNA berbentuk double helix dengan kedua untai DNA saling berkomplementasi melalui basa penyusunnya dengan arah anti paralel (berlawanan 5’ → 3’ vs 3’ → 5’), ujung yang mengandung gugus fosfat bebas disebut ujung 5’ sedangkan pada ujung lainnya yang mengandung gugus hidroksil bebas disebut ujung 3’ (Gaffar, 2007). DNA ditemukan di dalam nukleus pada sel eukariotik dan ditemukan di sitoplasma atau nukleoid pada sel prokarotik dan berperan dalam pembentukan protein didalam sitoplasma (Stansfield et al., 2003). Penggunaan DNA yang berasal dari mitokondria memiliki beberapa alasan seperti jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada inti sel, berperan dalam pengkodean protein yang dibutuhkan dalam pembentukan organel sel (Welsh, 1990). Jumlah kopi per sel yaitu sekitar 1000-10000 sehingga dapat dijadikan alat yang efektif untuk keperluan analisis dan dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah DNA yang sangat terbatas atau DNA yang mudah terdegradasi. Bentuk DNA mitokondria dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Struktur DNA Mitokondria Bos Indicus (Anderson et al., 1982) Ukuran DNA mitokondria relatif kecil (14000-39000 kb) sehingga dapat dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh (Hartati et al., 2004). Selain itu, genome sirkuler ini menunjukkan pewarisan gen haploid pada tiap jenis dan tidak mengalami rekombinasi. Revolusi DNA mitokondria berjalan lebih cepat dibandingkan DNA nukleus sehingga memungkinkan jenis yang hubungan kekerabatannya dekat dapat dibedakan dan diidentifikasi. Terdapat kurang lebih 37 coding gene pada DNA mitokondria untuk 22 tRNA dan 13 mRNA, yang mengkode protein untuk transport elektron dan fosforilasi oksidasi pada mitokondria (Teletchea et al., 2005). Daerah DNA mitokondria yang mengkode protein terdiri dari: URF1, URF2, URF3, URF4, URF5, URF6, URFA6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome b dan ATPase (Sharma, 2005). E. Gen Cytochrome b Salah satu gen pada DNA mitokondria adalah gen cytochrome b yang merupakan komponen penyusun reaksi pernafasan kompleks. Cytochrome b adalah salah satu bagian dari sitokrom yang terlibat dalam transportasi elektron
8
dalam mitokondria. Gen ini adalah gen yang paling banyak digunakan dalam penelitian philogenetik dan gen mitokondria yang produk proteinnya paling diketahui struktur dan fungsinya (Meyer, 1994). Cytochrome b berisi delapan transmembran heliks yang dihubungkan oleh intramembran atau domain ekstramembran. Lokus cytochrome b telah digunakan untuk mengkarakterisasi berbagai vertebrata (Ong et al., 2007). Menurut Minarovic et al. (2010) dan Teletchea et al. (2005) panjang gen cytochrome b adalah 1.140 bp serta memiliki bagian dengan variasi antar jenis yang tinggi sehingga studi evolusi antar jenis mudah dilakukan. Selain itu, karena setiap sel mengandung hingga 1.000 kopi dari lokus cytochrome b sehingga berguna untuk analisis PCR yang harus meningkatkan sensifitas untuk membandingkan satu atau kopi DNA target yang rendah (Ong et al., 2007). Keunikan sekuen gen cytochrome b yaitu terdapat bagian yang bersifat kekal di dalam tingkat spesies, sehingga dapat digunakan untuk pengelompokan berdasarkan jenis hewan atau untuk penetuan hubungan kekerabatan antar jenis hewan (Widayanti, 2006). Penggunaan gen cytochrome b untuk identifikasi spesies vertebrata karena mengandung informasi spesies yang spesifik (Parson et al., 2000). Deteksi gen cytochrome b dengan PCR-RFLP adalah metode alternatif yang dapat diaplikasikan untuk mendeteksi kontaminasi daging babi pada produk daging komersial yang telah mengalami pemrosesan antara lain seperti pada sosis dan bakso (Erwanto et al., 2014). F. Teknologi PCR dalam Mendeteksi Pemalsuan Daging Teknik autentikasi label dengan identifikasi berbasis DNA merupakan teknik alternatif dari teknik identifikasi spesies berbasis protein. Hal tersebut disebabkan karena teknik berbasis DNA merupakan teknik yang spesifik, sensitif, dengan hasil yang akurat baik pada sampel segar, beku maupun pada pengolahan suhu tinggi (Civera, 2003). Analisis berbasis molekuler dengan DNA saat ini semakin dikembangkan karena dapat mendeteksi adanya campuran daging lain bahkan pada level sebesar 0,1% (Ong et al., 2007).
9
Teknik PCR merupakan teknik amplifikasi potongan DNA yang diinginkan secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida dengan bantuan enzim polymerase. Tahapan yang terjadi dalam proses amplifikasi DNA pada PCR yaitu pemisahan rantai DNA templat (denaturasi), penempelan pasangan primer pada DNA target (annealing) dan pemanjangan primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase (extension). Teknik PCR dipilih sebagai alat identifikasi karena mempunyai akurasi tinggi dalam mendeteksi ada tidaknya campuran daging babi dalam daging segar maupun produk daging olahan (Sari et al., 2015). Teknik PCR adalah teknik yang cepat dengan sensitivitas tinggi, yang dapat mendeteksi kontaminasi sebanyak 0,05% daging babi pada daging sapi yang belum diolah. Identifikasi menggunakan metode PCR menunjukkan satu dari 13 sampel bakso yang dibeli secara acak di warung bakso besar, menengah dan kecil di pusat kota Salatiga positif mengandung daging babi. Selanjutnya, metode PCRRFLP menunjukkan bahwa sembilan sampel bakso yang yang dijual di sekitar Yogyakarta positif terkontaminasi oleh daging babi. Sementara itu, tidak terdapat kontaminasi daging babi pada sampel bakso yang di jual pada warung-warung bakso di wilayah Surabaya. Selain itu, metode PCR membuktikan dari enam sampel kornet sapi yang dibeli di toko-toko di wilayah Ciputat hanya 1 sampel kornet yang teridentifikasi terdapat kontaminasi dengan daging babi (Erwanto et al., 2014; Margawati et al., 2011; Mulyana, 2010; Fibriana et al., 2010). G. Elektroforesis Agarose Gel Elektroforesis adalah teknik yang sederhana, cepat dan dapat dilakukan untuk memisahkan fragmen DNA yang tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan prosedur lain. Selain itu, lokasi DNA di dalam gel dapat ditentukan secara langsung melalui bercak warna flourosense yang berinteraksi pada konsentrasi yang rendah (Sambrook and Russel, 2001). Salah satu gel yang dapat digunakan pada elektroforesis adalah agarose gel yang dapat digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi dan memurnikan fragmen DNA dengan ukuran molekul lebih besar dari 100 bp (Muladno, 2010).
10
Molekul DNA termasuk senyawa bermuatan negatif, sifat ini menjadikan molekul DNA yang ditempatkan pada medan listrik akan bermigrasi menuju kutub positif (Sambrook and Russel 2001). Visualisasi fragmen DNA dilakukan dengan penambahan larutan ethidium bromide yang akan masuk (interkalasi) di antara ikatan-ikatan hidrogen pada DNA, sehingga pita fragmen DNA akan terlihat di bawah lampu sinar ultra violet. Pita yang berpendar pada agarose gel menunjukkan
hasil
(Muladno, 2010).
positif
bahwa
terdapat
DNA
pada
setiap
lajur