II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bumbu Pasta Bumbu sebagai campuran dari dua atau lebih bahan rempah-rempah atau ekstrak bahan rempah yang digunakan pada makanan sebelum diolah sehingga memperkuat timbulnya flavor (Farrel, 1990). Bumbu adalah sesuatu yang ditambahkan pada bahan pangan sebelum disajikan, yaitu pada saat persiapan maupun pembuatan. Bumbu dapat berupa komponen tunggal seperti rempah-rempah secara individual ataupun campuran kompleks dari beberapa komponen, misalnya campuran dari komponen-komponen yang menghasilkan flavor (Hanas, 1994). Ide umum pemberian bumbu adalah untuk memodifikasi suatu bahan pangan dengan cara menambahkan ramuan yang dapat memperkaya dan memberikan karakteristik rasa dan bau terhadap bahan pangan tersebut (Underriner dan Hume, 1994). Fungsi bumbu menurut Farrel (1990), adalah untuk meningkatkan flavor alami dari bahan pangan. Menurut Hanas (1994) secara tradisional, bumbu yang dipergunakan pada pangan tradisional dapat dibuat dengan cara mengiris tipis, menumbuk kasar atau menghaluskan komponen-komponen penyusunnya kemudian menumisnya dengan minyak goreng. Komponen-komponen yang digunakan dalam pembuatan bumbu siap pakai olahan industri antara lain senyawa yang menghasilkan flavor misalnya rempah-rempah, senyawa yang dapat memperkaya flavor misalnya garam dan monosodium glutamat, serta senyawa yang dapat memberikan warna. Konsistensi spesifikasi bumbu dapat diuji dengan menggunakan uji sensori terhadap bumbu atau aplikasi pada produk (Ivory, 1994). Menurut Kramlich dalam Price (1971), produk pasta yang baik berhubungan dengan sistem emulsi yang baik. Emulsi merupakan dua fasa atau lebih yang berdispersi dalam bentuk koloid. Emulsi mengandung dua fasa, yang satu terdispersi sebagai globular-globular dalam medium pendispersi dalam bentuk droplet (butiran). Dalam adonan (o/w), protein dan air membentuk matriks yang menyelubungi butir lemak.
3
Faktor yang mempengaruhi sistem emulsi antara lain: jenis protein, jenis serta jumlah lemak yang ditambahkan, suhu, kecepatan pengadukan, proses penggilingan, dan lain-lain. Stabilitas emulsi ditentukan oleh suhu karena suhu panas atau dingin dapat mempengaruhi suatu emulsi. Suhu ini sangat penting di dalam pembuatan pasta, terutama dalam tahap persiapan, yaitu mencampur bahan-bahan agar dihasilkan pasta yang baik (Rimbawan, 1976). Kestabilan emulsi juga dipengaruhi oleh jumlah penambahan air. Jumlah air yang berlebihan menyebabkan sebagian air tidak akan diikat dalam sistem emulsi dan akan menghasilkan pasta dengan tekstur yang sangat lunak, sehingga perlu ditambahkan bahan pengisi untuk mengikat air. Sebaliknya jumlah air yang terlalu sedikit menyebabkan tekstur pasta menjadi keras dan sukar dioleskan (Rimbawan, 1976). B. Rempah-Rempah Rempah-rempah merupakan bahan baku utama bumbu masakan dan dipakai dalam berbagai komposisi, tergantung dari jenis masakan yang diinginkan. Sebagian besar rempah-rempah mempunyai kegunaan/manfaat ganda yaitu dapat meningkatkan aroma dan citarasa makanan dan dapat juga sebagai bahan dasar obat-obat tradisional (Rahayu, 2000). Penggunaan rempah-rempah dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang disebabkan oleh minyak atsiri, alkaloid, senyawa tannin, antioksidan, dan bahan lain yang dikandungnya (Somaadtmaja, 1985). Menurut Purseglove et al. (1981), komponen rempah-rempah terutama mempunyai daya antimikroba adalah minyak atsirinya. Rempah-rempah
yang
digunakan
sebagai
bumbu
diutamakan
mengandung cukup oleoresin dan minyak atsiri, karena kedua komponen ini menimbulkan citarasa dan aroma khas yang diinginkan. Oleh karena itu, rempah yang akan dimanfaatkan untuk bumbu harus cukup tua, sehingga kandungan oleoresin dan minyak atsirinya mencapai optimal (Rachmawati, 1998). Berikut ini uraian secara umum rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu pasta:
4
1. Bawang Putih Bawang putih termasuk dalam famili Amaryllidaceae. Minyak volatil pada bawang putih kurang dari 0.2 % berat segar. Unsur pokok dari minyak bawang putih adalah dialil sulfit (60 %), dialil trisulfida (20 %), alil profil disulfit (6 %), sejumlah kecil dietil sulfit, dialil polisulfida, alinin, dan alisin. Bau bawang putih yang khas diperkirakan merupakan turunan dari dialil sulfit (Farrel, 1990). Di bawah ini disajikan tabel yang berisi komposisi kimia umbi bawang putih. Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Bawang Putih* Komposisi Air Protein Lemak Karbohidrat Vitamin dan Mineral *Farrel (1990)
Jumlah (%) 67.80 7.00 0.30 24.00 0.90
2. Bawang Merah Bawang
merah
tergolong
tanaman
division
Spermatophyta,
subdivition Amarydiliceae, spesies Allum ascalonicum L. (Farrel, 1990). Berikut tabel komposisi kimia bawang merah. Tabel 2. Komposisi Kimia Bawang Merah* Komposisi Jumlah (%) Air 88.00 Protein 1.50 Lemak 0.30 Karbohidrat 9.20 Vitamin dan Mineral 1.00 *Farrel (1990) Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam bawang merah ialah hidrogen sulfit, thiol, disulfit, trisulfida, dan thiosulfinat. Flavor bawang merah (Allium cepa L.) terbentuk dari aktivitas enzim allinase terhadap senyawa prekursor tidak berbau di dalam bawang. Saat jaringan bawang merah rusak, maka prekursor flavor utama yang disebut S-Ipropanil-L-sistein sulfoksida akan terhidrolisis dengan cepat oleh enzim
5
allinase membentuk asam sulfonat, asam piruvat dan ammonia. Selanjutnya asam sulfonat berubah menjadi tiopropanol S-oksida yaitu suatu senyawa volatil yang jika mengenai mata mengakibatkan perih dan keluarnya air mata pada saat bawang diiris (Farrel, 1990). 3. Ketumbar Ketumbar merupakan bagian buah yang dikeringkan dari tanaman Coriandrum sativum dan termasuk famili Umbelliferae. Minyak esensial dalam ketumbar hanya terdapat dalam jumlah 1 % dari berat buah kering dan terdiri dari 60-70 % D-linalool, D-α-pinen, β dan α-terpinen, geraniol, borneol, dan asam asetat (Farrel, 1990). 4. Jahe Tanaman jahe termasuk ke dalam famili Zingiberaceae (Farrel, 1990). Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri atau ginger oil sebanyak 0.25 - 3.30 %. Minyak atsiri jahe terdiri dari komponen bioaktif zingiberen, kurkumin, dan felandren. Oleoresin jahe mengandung gingerol, shogaol, resin, dan zingerol yang dapat menghasilkan rasa pedas pada jahe. 5. Kemiri Tanaman kemiri termasuk ke dalam famili Europhorbiaceae (Purseglove, 1981). Daging biji kemiri digunakan untuk berbagai masakan. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai obat-obatan. Bubuk kemiri dengan konsentrasi 25 – 50 % mempunyai efek bakterisidal yang kuat terhadap V. cholera selama 24 jam waktu kontak (Hamid, 1992). 6. Kunyit Kunyit merupakan rhizome atau rimpang yang termasuk dalam famili Zingiberaceae (Farrel, 1990). Kunyit mengandung 5 % minyak essensial yang mengandung turmeron, asam bebas, borneol, aneol, felandren, kurkumin, dan zingeron. Kurkumin sendiri merupakan komponen utama pada pigmen kunyit dan juga berfungsi sebagai senyawa antimikroba. Menurut Purseglove et al., (1981), kurkumin dari rimpang kunyit bervariasi antara 1.80-5.40%. Bubuk rimpang kunyit dapat menghambat
6
pertumbuhan S. aureus pada konsentrasi 2 g/l (b.k.) dengan waktu kontak 24 jam. 7. Lengkuas Lengkuas termasuk ke dalam famili Zingiberaceae (Farrel, 1990). Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metal-sinamat 48 %, sineol 20 % - 30 %, eugeol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lainlain. Selain itu, rimpang juga mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum (Sinaga, 2000). Tanaman lengkuas memiliki senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan seperti senyawa fenol, flavonoid, dan terpenoid yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat modern (Yuharmen, 2002). 8. Lada Tanaman lada tergolong dalam family Piperraceae, ordo pipereles dan genus piper. Lada dibedakan menjadi lada hitam dan lada putih. Biji lada memiliki dua sifat yang khas yaitu berasa pedas dan aroma yang khas. Rasa pedas lada diakibatkan oleh adanya zat piperin, piperanin, chavicin yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan semacam alkaloid (Rismundar dan Riski, 2003). C. Bahan Pengental 1. CMC Sodium Carboxy Methyl Cellulose (CMC), yang disebut juga Sodium Cellulose adalah suatu polimer yang mudah terdispersi dalam air dingin maupun panas. CMC digunakan dalam berbagai industri pangan untuk memberikan bentuk, konsistensi, dan tekstur. Zat ini berupa serbuk berwarna putih kekuningan atau granula, atau substansi serat tidak berbau, tidak beracun dan tidak mempunyai rasa. CMC mempunyai daya memegang air yang sangat kuat dan tahan terhadap panas, sehingga memberikan kekentalan dan relatif stabil sebagai zat pengemulsi. Fungsi
7
ini didapatkan dengan interaksi gugus-gugus polarnya dengan air dan protein, serta gugus-gugus non polarnya dengan lemak. CMC telah lama digunakan secara komersial sebagai pengental makanan. Rumus bangun CMC menurut sebagai berikut: [C6H7O2(OH)2OCH2COOH]n Seperti hidrokoid lain, viskositas larutan umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi. Peningkatan penggunaan konsentrasi CMC ini tidak secara langsung berbanding lurus dengan peningkatan viskositas larutan tetapi eksponensial, sehingga ketika dilakukan penambahan konsentrasi dua kali lipatnya, viskositasnya akan meningkat sekitar sepuluh kali lipatnya (Glicksman, 1982). Konsentrasi CMC yang biasa diaplikasikan ke dalam makanan sebagai penstabil atau pengental adalah 0.05% sampai 1.1% (Winarno,1997). CMC digunakan sebagai penstabil selain itu juga sebagai tambahan kadar
serat
pangannya.
Carboxymethylcellulose
(CMC)
adalah
polisakarida linear, dengan rantai panjang dan larut dalam air serta merupakan gum alami yang dimodifikasi secara kimia. Warnanya putih sampai krem, tidak berasa, dan tidak berbau. Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga dapat menstabilkan komponen lain dan mencegah sineresis (Klose dan Glicksman, 1972). 2. Karagenan Proses pembuatan bumbu pasta menggunakan bahan pengental. Bahan pengental yang dipilih adalah karagenan karena terbuat dari bahan alami, yaitu rumput laut. Selain itu, karagenan merupakan bahan yang mudah larut dalam air. Karagenan adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidro galaktosa dengan ikatan glikosidik alfa-1,3 dan beta-1,4 secara bergantian. Karagenan juga merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium,
8
dan kalium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalakto copolymer (Winarno, 1996). Karagenan jenis ini banyak terdapat dalam rumput laut jenis Eucheuma cottonii (Suryaningrum et al., 1988 dan Susanto 2002). Menurut Winarno (1996) karagenan terdiri dari beberapa jenis, yaitu kappa, lambda, iota, nu, dan theta. Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah dari spesies Eucheuma cottonii yang menghasilkan kappa karagenan, Eucheuma spinosum yang menghasilkan iota karagenan. Menurut Aslan (1998), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karagenan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karagenan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional. Kedua jenis Eucheuma tersebut banyak terdapat di sepanjang pantai Filipina dan Indonesia. Karagenan yang digunakan dalam penelitian ini adalah karagenan kappa. Karagenan tersebut menghasilkan tekstur bumbu pasta yang lebih keras dibandingkan karagenan iota (Winarno, 1990). Struktur karagenan kappa dan iota memungkinkan bagian dari dua molekul masing-masing membentuk double heliks yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel, sedangkan karagenan lambda tidak mampu membentuk double heliks tersebut. Karagenan larut dalam air. Karagenan kappa dan karagenan iota larut dalam air dingin dan larutan garam natrium. Karagenan bersifat kental dan viskositasnya bergantung pada konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan. Viskositas ini akan menurun dengan naiknya suhu. Larutan karagenan kappa dan iota bersifat reversibel, artinya bila larutan dipanaskan kembali, gel akan kembali mencair (Angka dan Suhartono, 2000). Karagenan akan stabil pada pH 6-7 atau lebih tinggi, sedangkan pada pH yang lebih rendah dari 7, stabilitas karagenan menurun, khususnya dengan peningkatan suhu. Pada pH yang lebih rendah dari 7, polimer karagenan
terhidrolisa sehingga kemampuan membentuk gel menjadi
hilang. Namun demikian dalam praktek penerapannya, suatu gel terbentuk
9
pada pH kurang dari 7 dan hidrolisa terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman, 1983). D. Kerusakan Bumbu Pasta Selama penyimpanan dan distribusi, bahan pangan terbuka terhadap kondisi lingkungan disekelilingnya. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya dapat memicu reaksi yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pangan. Akibat reaksi tersebut, bahan pangan akan mencapai suatu titik, dimana konsumen akan menolak bahan pangan tersebut atau bahan pangan tersebut akan membahayakan orang yang mengkonsumsinya (Singh, 1994). Begitu pula pada bumbu masak siap pakai, faktor yang berpengaruh pada kualitas bumbu adalah komposisi kimia, kelembaban, suhu penyimpanan, pengaruh cahaya dan oksigen (Underriner, 1994). Kerusakan pada bahan pangan termasuk bumbu siap pakai, dapat disebabkan oleh terjadinya perubahan kimia, fisik, dan mikrobiologi. Perubahan fisik dapat disebabkan olah adanya kesalahan penanganan dari bahan pangan selama pemanenan, produksi, dan distribusi. Perubahan kimia dapat disebabkan oleh aksi enzim, reaksi oksidasi, terutama oksidasi lipid yang menyebabkan berubahnya flavor bahan pangan berlemak, dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan pada penampakan. Perubahan ini melibatkan faktor internal berupa komponen dalam bahan makanan itu sendiri dan faktor eksternal yaitu lingkungan. Pada umumnya perubahan kimia terjadi selama proses produksi dan penyimpanan (Singh, 1994). Reaksi oksidasi merupakan masalah utama pada lemak atau bahan pangan berlemak. Oksidasi dapat menyebabkan perubahan pada flavor, aroma, warna, dan kadang-kadang tekstur atau kekentalan suatu produk. Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan pangan meliputi suhu, cahaya, oksigen, logam berat, pigmen, dan derajat ketidakjenuhan komponen lemak (Hanas, 1994).
10
Adanya pertumbuhan mikroba pada bahan pangan akan menyebabkan pembusukan yang mengakibatkan timbulnya karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Faktor –faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida serta pH (Singh, 1994). E. Pengemasan Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang tepat bagi pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987). Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dapat dikontrol dengan pengemasan. Kerusakan tersebut disebabkan oleh lingkungan dan gas, interaksi dengan oksigen serta kehilangan atau penambahan cita rasa yang tidak diinginkan. Sedangkan yang bersifat alami dari produk yang tidak dapat dicegah dengan pengemasan antara lain kerusakan secara kimiawi. Kerusakan kimiawi antara lain disebabkan karena perubahan yang berkaitan dengan reaksi enzim, reaksi hidrolisis dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan penampakan. Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah gelas, kertas, plastik, dan kaleng. Bahan kemasan tersebut harus bersifat tahan lemak yang bertujuan mencegah penetrasi lemak dari bahan pangan keluar dinding kemasan (Ketaren, 1986). Jenis kemasan yang paling umum digunakan untuk mengemas bumbu masak siap pakai adalah nilon, LLDPE dan PET. Nilon termasuk polimer yang tidak berasa, tidak berbau, dan tidak beracun, larut dalam asam formal dan fenol, cukup kedap terhadap gas tetapi tidak kedap uap air, tahan terhadap suhu tinggi sehingga sesuai untuk mengemas produk yang dimasak dalam kemasan, serta dapat digunakan untuk pengemasan vakum/hampa (Syarief et al., 1989). PET (polietilen treptalat) banyak digunakan dalam laminasi (pelapisan), terutama untuk bagian luar suatu kemasan sehingga kemasan memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap kikisan dan sobekan. PET banyak digunakan
11
sebagai kantong makanan yang memerlukan perlindungan, seperti buah kering, makanan beku, dan permen. PET memiliki sifat transparan (tembus pandang), bersih dan jernih, memiliki sifat beradaptasi terhadap suhu tinggi (300°C) yang sangat baik, permeabilitas uap air dan gas sangat rendah, tahan terhadap pelarut organik, seperti asam-asam dari buah-buahan, sehingga dapat digunakan untuk mengemas produk sari buah, tidak tahan terhadap asam kuat, fenol dan benzil alkohol, kuat, tidak mudah sobek (Syarief et al., 1989). LLDPE (linear low–density poly–ethylene) merupakan suatu polimer yang lemas, buram, ulet, tidak mudah sobek, aman bersentuhan langsung dengan makanan, biasa digunakan sebagai kombinasi dengan kemasan lain seperti nilon dan PET (Syarief et al., 1989). Adanya kesadaran mengenai daya tahan berbagai komoditas pertanian menuntut kesadaran akan perlunya penyimpanan. Penyimpanan bahan pangan berfungsi lebih luas lagi yaitu sebagai pengendali persediaan makanan (Syarief dan Halid, 1991). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief dan Halid, 1991). Adapun karakterisrik kemasan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Kemasan Kemasan Nilon + LLDPE PET + LLDPE Anonim (2010)
Tebal (cm) 0.155 0.165
Luas O2TR Permukaan (cm3/hari) (cm2) 61.75 1.2 – 2.5 61.75 2.0 – 6.0
WVTR (cm3/hari) 10.0 - 13.0 1.0 – 1.3
F. Pendugaan Umur Simpan Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi hingga produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat khususnya.
12
Umur simpan dapat didefinisikan juga sebagai waktu yang dibutuhkan oleh suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik, setelah disimpan dalam kondisi yang direkomendasikan (Anonim, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas antara lain keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen; kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume; kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air; gas dan bau termasuk perekatan; penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu produk tidak dapat diterima konsumen (Anonim, 2009). Umur simpan bumbu masak tergantung dari beberapa faktor, yaitu komposisi produk, lingkungan dimana produk berada selama distribusi, karakteristik bahan kemasan yang digunakan dan waktu penyimpanan (Ivory, 1992). Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi jenis dan kualitas bahan baku, metode, dan keefektifan pengolahan, jenis serta keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang dilakukan terhadap produk yang dikemas selama distribusi dan penyimpanan serta pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan (Desrosier, 1988). Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka biasanya semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi untuk penggunaan model Arrhenius ini misalnya adalah : a. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari prosesproses yang terjadi sebelumnya d. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap
13
Dalam
kinetika
perubahan
mutu
pangan,
umumnya
dilakukan
penyederhanaan reaksi-reaksi yang kompleks menjadi reaksi sederhana dengan orde reaksi nol atau satu. Model perubahan mutu pangan dan orde reaksi perubahannya dapat dianalisis dengan berbagai metode, diantaranya dengan integrasi yang dilanjutkan dengan analisis model atau fungsi dugaannya. Pengujian atas ketepatan model atau fungsi dugaan dapat dilihat dari koefisien determinasi (r2) (Syarief dan Halid, 1991). Persamaan Arrhenius : k = k0 e –Ea/RT
k
= konstanta kecepatan reaksi
k0
= konstanta pre-eksponensial
Ea
= energi aktivasi (kal/mol)
R
= konstanta gas = 1.986 (kal/mol)
T
= suhu mutlak (K)
Persamaan di atas diubah menjadi : ln k = ln k0 - Ea/R . 1/T Berdasarkan laju perubahan mutu di atas dapat dilakukan pendugaan umur simpan (Syarief dan Halid, 1991).
14