II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Irigasi Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem irigasi antara lain ketersediaan air, tipe tanah, topografi lahan dan jenis tanaman. Pemilihan sistem irigasi berdasarkan factor-faktor di atas bertujuan untuk menghasilkan pemakaian air oleh tanaman yang paling efisien (Kalsim, 2002). Secara umum sistem irigasi dapat dibedakan atas : 1.
Sistem Irigasi Bertekanan Sistem irigasi bertekanan dibedakan menjadi dua yaitu irigasi curah dan
irigasi tetes. Pada metoda irigasi curah, air irigasi diberikan dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. Penyemprotan dibuat dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil atau nozzle. Tekanan biasanya didapatkan dengan pemompaan. Untuk mendapatkan penyebaran air yang seragam diperlukan pemilihan ukuran nozzle, tekanan operasional, jarak sprinkler dan laju infiltrasi tanah yang sesuai (Kalsim, 2002). Beberapa keuntungan irigasi curah antara lain: a)
Efisiensi pemakaian air cukup tinggi
b) Dapat digunakan untuk lahan dengan topografi bergelombang dan kedalaman tanah (solum) yang dangkal, tanpa diperlukan perataan lahan (land grading). c)
Cocok untuk tanah berpasir di mana laju infiltrasi biasanya cukup tinggi.
d) Aliran permukaan dapat dihindari sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya erosi. e)
Pemupukan terlarut, herbisida dan fungisida dapat dilakukan bersama-sama dengan air irigasi.
f)
Biaya tenaga kerja untuk operasi biasanya lebih kecil daripada irigasi permukaan
g) Dengan tidak diperlukannya saluran terbuka, maka tidak banyak lahan yang tidak dapat ditanami h) Tidak mengganggu operasi alat dan mesin pertanian.
3
Menurut Prastowo (2002), pemberian air pada irigasi tetes dilakukan dengan menggunakan alat aplikasi (applicator, emission device) yang dapat memberikan air dengan debit yang rendah dan frekuensi yang tinggi (hampir terus-menerus) di sekitar perakaran tanaman. Tekanan air yang masuk ke alat aplikasi sekitar 1.0 bar dan dikeluarkan dengan tekanan mendekati nol untuk mendapatkan tetesan yang terus menerus dan debit yang rendah. Sehingga irigasi tetes diklasifikasikan sebagai irigasi bertekanan rendah. Pada irigasi tetes, tingkat kelembaban tanah pada tingkat yang optimum dapat dipertahankan.
Sistem irigasi tetes sering
didesain untuk dioperasikan secara harian (minimal 12 jam per hari.) Irigasi tetes mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metoda irigasi lainnya, yaitu: a)
Meningkatkan nilai guna air
b) Meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil c)
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemberian air
d) Menekan resiko penumpukan garam e)
Menekan pertumbuhan gulma
f)
Menghemat tenaga kerja
2.
Sistem Irigasi Tidak Bertekanan Sistem irigasi tidak bertekanan merupakan sistem irigasi berdasarkan gaya
gravitasi sehingga air dapat mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pada irigasi gravitasi, air diberikan secara langsung melalui permukaan tanah dari suatu saluran atau pipa dimana elevasi muka airnya lebih tinggi dari elevasi lahan yang akan diairi (sekitar 10-15 cm). Air irigasi mengalir pada permukaan tanah dari pangkal ke ujung lahan dan meresap ke dalam tanah membasahi daerah perakaran tanaman (Kalsim, 2002). Sistem irigasi gravitasi dibagi menjadi tiga yaitu irigasi border, irigasi check basin dan irigasi alur. Pada irigasi border, dalam petakan lahan dibuat pematang sejajar sebagai pengendali lapisan aliran air irigasi yang bergerak ke arah kemiringan lahan. Lahan dibagi menjadi beberapa petakan yang sejajar yang dipisahkan masing-masing oleh pematang yang rendah. Masing-masing petakan (border) diberikan air irigasi secara terpisah. Air irigasi menyebar merata sepanjang kemiringan lahan yang dikendalikan oleh pematang tersebut. 4
Pada irigasi check basin, lahan dibagi menjadi petakan-petakan kecil yang hampir datar. Pematang sekeliling petakan dibentuk untuk menahan air irigasi agar tergenang di petakan dan berinfiltrasi. Ukuran basin beragam mulai dari 1 m2 sampai 1 atau 2 ha. Jika lahan dapat didatarkan secara ekonomis, maka bentuk basin biasanya segi empat. Tetapi jika topografinya bergelombang maka pematang dibuat mengikuti kontur. Biasanya beda elevasi antar pematang bervariasi dari 6 - 12 cm untuk tanaman palawija dan 15 - 30 cm untuk tanaman padi. Ukuran basin tergantung pada debit yang tersedia, ukuran pemilikan lahan dan karaktersitik infiltrasi. Untuk irigasi buah-buahan biasanya dibuat basin berbentuk lingkaran atau segi empat pada setiap pohon. Irigasi alur merupakan sistem pemberian air irigasi dalam bentuk aliran kecil melalui alur (saluran kecil) yang dibuat di antara baris tanaman. Jarak antar alur tergantung pada jenis tanaman yang akan ditanam, tekstur tanah, dan tipe alat atau mesin pertanian yang akan digunakan. Pola pembasahan pada tekstur pasir cenderung ke arah vertikal, sedangkan pada tekstur liat cenderung ke arah horizontal. Kedalaman alur (guludan) umumnya antara 0.15 m – 0.4 m, tergantung pada alat/mesin pembuat alur (Kalsim, 2002). Jaringan Irigasi Jaringan irigasi dibagi dalam jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier. Jaringan irigasi utama yaitu bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama (tubuh bendung, bangunan pembilas, pintu pengambilan, bangunan pengelak dan peredam energi, kantong lumpur, tanggul banjir, bangunan pengatur muka air, rumah jaga dan bangunan pelengkap lainnya), saluran primer, saluran sekunder, bangunan bagi, bangunan sadap, saluran pembuangan dan bangunan pelengkap (tanggul, talang, sipon, jembatan, gorong – gorong, jembatan, dan tangga cuci). Jaringan irigasi tersier merupakan jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan bagi tersier, saluran tersier dan kuarter, saluran pembuang, boks tersier dan kuarter, serta bangunan pelengkap lain yang terdapat di petak tersier (Kartasapoetra, 1994). a.
Bendung yaitu bangunan yang melintang di palung sungai yang berfungsi untuk menaikkan muka air sungai untuk dialirkan ke lokasi yang memerlukan. 5
b.
Saluran primer yaitu saluran yang berfungsi membawa air dari bangunan bagi pada saluran primer sampai bangunan bagi terakhir.
c.
Saluran sekunder yaitu saluran yang berfungsi untuk membawa air dari bangunan bagi pada saluran sekunder sampai bangunan bagi tersier
d.
Saluran tersier yaitu saluran yang berfungsi untuk mengairi satu petak tersier yang mengambil air dari saluran sekunder atau saluran primer.
Efisiensi Irigasi Secara kuantitatif efisiensi irigasi suatu jaringan irigasi sangat kurang diketahui dan merupakan parameter yang sukar diukur. Kehilangan air irigasi pada tanaman padi berhubungan dengan : (a) kehilangan air di saluran primer, sekunder dan tersier melalui rembesan, evaporasi, pengambilan air tanpa izin, (b) kehilangan akibat pengoperasian termasuk pemberian air yang berlebihan (Kalsim, 2002). 1.
Efisiensi pemakaian air (EPA) Efisiensi pemakaian air (application efficiency) di sawah adalah
perbandingan jumlah air irigasi yang diperlukan tanaman (Vn) dengan jumlah air yang sampai ke suatu inlet jalur atau petakan sawah (Vsw). Jumlah air irigasi yang diperlukan tanaman disebut dengan V netto adalah jumlah air yang diperlukan tanaman (W) dikurangi dengan hujan efektif (He). Untuk padi sawah nilai W adalah perjumlahan dari nilai ET, perkolasi, dan genangan. Vn = ET + g + p − h 𝑉𝑛
EPA = 𝑉𝑠𝑤 × 100%
(1) (2)
di mana : Vn = jumlah air irigasi yang diperlukan tanaman (m3) Vsw = jumlah air yang sampai petakan sawah (m3) ET
= evapotranspirasi (mm/hari)
EPA = efisiensi pemakaian air (%) 2.
Efisiensi penyaluran Kehilangan air di saluran dapat diukur dengan beberapa metoda. Salah satu
metoda adalah inflow-outflow atau teknik keseimbangan air pada suatu ruas saluran. Hal ini dapat dilakukan dengan mengukur debit inflow pada pangkal 6
saluran dan debit outflow pada ujung saluran. Efisiensi penyaluran air dinyatakan dengan persamaan: Ec =
Debit di pangkal −debit di ujun g debit di pangkal
x 100%
(3)
dengan : Ec = efisiensi penyaluran (%) Untuk mendapatkan efisiensi distribusi yang wajar, jaringan tersier harus dirancang dengan baik, dan mudah dioperasikan oleh petani (Kalsim, 2002). B. Kebutuhan Air Irigasi 1.
Evapotranspirasi Evapotranspirasi tanaman dapat diketahui dengan cara pengukuran dan
pendugaan. Metoda pendugaan evapotranspirasi acuan (ETo) dapat digunakan apabila data iklim di daerah tersebut tersedia. Berbagai metoda pendugaan ETo menurut FAO adalah: evaporasi dan
Thornthwaite, Blaney dan Criddle, Radiasi, Panci
Penman-Monteith. FAO merekomendasikan metoda Penman-
Monteith untuk digunakan jika data iklim tersedia (suhu rerata udara harian, jam penyinaran rerata harian, kelembaban relatif rerata harian, dan kecepatan angin rerata harian). Selain itu diperlukan juga data letak geografi dan elevasi lahan di atas permukaan laut. Evapotranspirasi tanaman acuan
(reference crop
evapotranspiration, ETo) didefinisikan sebagai evapotranspirasi dari tanaman rumput berdaun hijau, tinggi sekitar 15 cm, tumbuh sehat, cukup air, dan menutupi tanah dengan sempurna (Kalsim, 2002). Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), evapotrasnpirasi tanaman untuk tanaman tertentu dihitung dengan persamaan: ETc = kc x ETo
(4)
Dimana : ETc : evapotranspirasi tanaman tertentu (mm/hari) ETo : evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari) kc : koefisien tanaman yang tergantung pada jenis dan periode pertumbuhan tanaman. Nilai koefisien tanaman untuk tanaman padi disarankan menggunakan data dari FAO karena nilai kc padi dari beberapa literatur di Indonesia umumnya 7
menggunakan pendugaan evapotranspirasi tanaman acuan dengan metoda yang berlainan. Koefisien tanaman padi yang disarankan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan FAO tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Koefisien tanaman padi (Kc) Waktu (hst)
Varietas Unggul Baru
Varietas Lokal
Selama penyiapan Lahan
1.20
1.20
15 30 45 60 75 90 105 120
1.20 1.27 1.33 1.30 1.30 0
1.20 1.20 1.32 1.40 1.35 1.24 1.12 0
Sumber : FAO, 1998 hst : hari setelah tanam
2.
Kebutuhan Air Tanaman Kebutuhan air untuk tanaman padi dihitung mulai dari pengolahan tanah
sampai panen. a.
Periode Pengolahan Tanah Keperluan air selama pengolahan tanah mencakup keperluan untuk
menjenuhkan tanah dan untuk lapisan genangan yang diperlukan segera setelah tanam (Kalsim, 2002). Persamaan yang dapat digunakan untuk menduga keperluan air pada waktu pengolahan tanah adalah : S = [S(a) - S(b)] x N x d x 10-4 + Fl + Fd
(5)
di mana : S
: keperluan air pengolahan lahan (mm)
S(a)
: lengas tanah sesudah pelumpuran (%)
S(b)
: lengas tanah sebelum pelumpuran (%)
N
: porositas tanah (%)
d
: kedalaman lapisan tanah yang dilumpurkan (mm)
Fl
: kehilangan air selama pelumpuran (mm)
Fd
: tinggi genangan di petakan sawah setelah tanam (mm). 8
b.
Periode persemaian Areal persemaian umumnya antara 2-10% dari areal tanam. Lama
pertumbuhan antara 20-25 hari. Jumlah keperluan air di persemaian kurang lebih sama dengan penyiapan lahan, sehingga keperluan air untuk persemaian biasanya disatukan dengan keperluan air untuk pengolahan tanah (Kalsim, 2002). c.
Pertumbuhan vegetatif Periode ini merupakan periode berikutnya setelah tanam (transplanting)
yang mencakup (a) tahap pemulihan dan pertumbuhan akar yaitu 0-10 hari setelah tanam (hst), (b) tahap pertumbuhan anakan maksimum yaitu 10-50 hst dan (c) pertunasan efektif dan pertunasan tidak efektif yaitu 35-45 hst. Selama periode ini akan terjadi pertumbuhan jumlah anakan. Segera setelah tanam, kelembaban yang cukup diperlukan untuk perkembangan akar-akar baru. Kekeringan yang terjadi pada periode ini akan menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan menghambat pertumbuhan anakan sehingga mengakibatkan penurunan hasil. Pada tahap berikutnya setelah tahap pertumbuhan akar, diperlukan genangan yang dangkal selama periode vegetatif ini. Beberapa kali pengeringan (drainase) membantu pertumbuhan anakan dan juga merangsang perkembangan akar untuk berpenetrasi ke lapisan tanah bagian bawah. Selain itu drainase juga membantu menghambat pertumbuhan anakan tak-efektif (non-effective tillers) (Kalsim, 2002). d.
Periode reproduktif (generatif) Periode ini mengikuti periode anakan maksimum dan mencakup tahap
perkembangan awal malai (panicle primordia) yaitu 40-50 hst, masa bunting pada umur 50-60 hst dan pembentukan bunga pada umur 60-80 hst. Situasi ini dicirikan dengan pembentukan dan pertumbuhan malai. Pada sebagian besar dari periode ini tanaman membutuhkan banyak air. Kekeringan yang terjadi pada periode ini akan menyebabkan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan malai maupun pembungaan yang berakibat pada pengurangan hasil panen (Kalsim, 2002).
9
e.
Periode pamatangan (ripening atau fruiting) Selama periode pematangan diperlukan sedikit air dan secara berangsur-
angsur sampai sama sekali tidak diperlukan air sesudah periode matang kuning (yellow ripe). Selama periode ini drainase perlu dilakukan, akan tetapi pengeringan yang telalu awal akan mengakibatkan bertambahnya gabah hampa dan beras pecah (broken kernel), sedangkan pengeringan yang terlambat mengakibatkan tanaman rebah. Kekurangan air selama periode pematangan menyebabkan pengurangan hasil panen. Dengan demikian perencanaan program irigasi di areal yang jumlah air irigasinya terbatas untuk menggenangi sawah pada seluruh periode, prioritas harus diberikan untuk memberikan air irigasi selama periode pertumbuhan akar dan seluruh periode pertumbuhan reproduktif (Kalsim, 2002). 3.
CROPWAT Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998), program ini dapat digunakan untuk menghitung : a.
Evapotranspirasi Tanaman Acuan (Reference Crop Evapotranspiration)
b.
Kebutuhan Air Tanaman (Crop Water Requirement)
c.
Kebutuhan Air Irigasi (Irrigation Water Requirement)
d.
Penjadwalan Air Irigasi (Irrigation Scheduling) Data – data yang diperlukan untuk perhitungan kebutuhan air tanaman
dengan menggunakan CROPWAT adalah data iklim berupa suhu udara, kelembaban relatif (RH), kecepatan angin, lama penyinaran matahari dan evapotranspirasi serta data hujan bulanan. Menu utama program software CROPWAT diantaranya : a.
Perhitungan ETo dengan Metode Penman-Monteith Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998), data yang diperlukan untuk menghitung ETo dengan metode PenmanMonteith yaitu : nama stasiun, altitude (elevasi m dpl), koordinat lintang, bujur, data iklim rata-rata harian setiap bulan (Januari-Desember), suhu udara (0C), kelembaban relatif (RH) (%), kecepatan angin (m/det atau km/hari), lama penyinaran matahari (% atau jam/hari).
10
b. Crop Water Requirements (CWR) 1) Perhitungan hujan efektif a)
Nilai persentase tertentu dari hujan bulanan (Fixed Percentage): Peff = a. Ptot, biasanya nilai a = 0.7 – 0.9
b) Dependable rain (hujan andalan) didefinisikan sebagai hujan dengan peluang terlewati tertentu: Peluang terlewati 80% menggambarkan kondisi tahun kering, 50% kondisi tahun normal dan 20% kondisi tahun basah. Secara empirik menurut AGLW/FAO:
Pef = 0.6 * P mean - 10; untuk P mean < 60 mm/bulan
Pef = 0.8 * P mean - 25; untuk P mean > 60 mm/bulan
c)
Berdasarkan rumus empirik (locally developed): Biasanya dikembangkan dengan rumus umum sebagai berikut: Peff = a Pmean+ b untuk Pmean< Z mm Peff = c Pmean+ d untuk Pmean> Z mm Konstanta a, b, c dan d dikembangkan berdasarkan penelitian secara lokal. Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998), hujan bulanan dengan peluang terlewati tertentu (misalnya 75%). Untuk beberapa daerah sudah mempunyai persamaan linier antara hujan bulanan ratarata dengan hujan bulanan dengan peluang terlewati tertentu. d) USBR:
Pef = P mean x (125 - 0.2 P mean )/125; untuk P mean < 250 mm
Pef = 125 + 0.1 x P mean ; untuk P mean > 250 mm
e) Hujan tidak diperhitungkan 2) Input Crop Data Data tanaman terdiri dari: nama tanaman; tahap pertumbuhan tanaman (4); pada setiap tahap pertumbuhan: umur tanaman (hari), koefisien tanaman (kc), dalam perakaran (m), depletion level (p), response hasil (Ky) 3) Tanggal tanam (planting date) 4) Perhitungan CWR dilakukan setiap 10 harian Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), perhitungan evapotranspirasi dilihat pada : 11
(Persamaan 4) IRReq = ETc - Peff
(6)
CWR = IRReq – ETc + Peff
(7)
Keterangan : ETc
: evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
IRReq : keperluan air irigasi (mm/air) Peff
: hujan efektif (mm/hari)
CWR : crop water requirement (mm/hari) c.
Perhitungan kebutuhan air irigasi untuk padi sawah Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998),
perhitungan
keperluan
air
irigasi
untuk
padi
termasuk
untuk
evapotranspirasi, perkolasi, penyiapan lahan dan persemaian. Evapotranspirasi dan perkolasi akan terjadi selama petakan sawah tergenang. Selama persemaian ETc dan perkolasi terjadi hanya pada sebagian luasan persemaian. Pada umumnya tinggi genangan air adalah sekitar 50 - 75 mm untuk padi sawah varietas unggul, sedangkan untuk varietas lokal antara 100 - 120 mm. Maksimum genangan air pada varietas unggul adalah sekitar 15 cm. Persamaan yang dapat digunakan untuk menduga keperluan air pada waktu pengolahan tanah adalah : S = [S(a) - S(b)] x N x d x 10-4 + Fl
(8)
di mana : S
: keperluan air pengolahan lahan (mm)
S(a)
: lengas tanah sesudah pelumpuran (%)
S(b)
: lengas tanah sebelum pelumpuran (%)
N
: porositas tanah (%)
d
: kedalaman lapisan tanah yang dilumpurkan (mm)
Fl
: kehilangan air selama pelumpuran (mm) Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998), jumlah keperluan air di persemaian kurang lebih sama dengan penyiapan lahan. Sehingga keperluan air untuk persemaian biasanya disatukan dengan
12
keperluan air untuk pengolahan tanah. Maka kebutuhan air irigasi dapat dihitung dengan persamaan : Keperluan air irigasi = ETc + P + persemaian + pengolahan tanah
(9)
di mana : ETc
: evapotranspirasi (mm/hari)
P
: perkolasi (mm/hari)
d.
Penjadwalan irigasi (Irrigation Scheduling) Berdasarkan User Guide CROPWAT for Windows (ver. 4.2.0013) (FAO,
1998), program penjadwalan irigasi memberikan kemungkinan untuk:
Mengembangkan dan merancang penjadwalan irigasi yang sesuai dengan kondisi operasional di lapangan
Evaluasi lapangan dari program irigasi dalam hal efisiensi penggunaan air irigasi dan hasil produksi
Mensimulasikan program irigasi di lapangan pada kondisi kekurangan air, tadah hujan, irigasi suplemen dan lain-lain.
C. Ketersediaan Air Irigasi Kartasapoetra (1994) mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air irigasi bagi lahan pertanian, debit air dari sumber harus cukup untuk disalurkan ke areal pertanian. Agar penyaluran air irigasi ke areal pertanian dapat diatur dengan sebaik–baiknya (dalam arti tidak berlebihan atau dapat dimanfaatkan seefisien mungkin), maka dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pengukuran debit air. Dengan distribusi yang terkendali dan dengan pengukuran tersebut, maka masalah kebutuhan air irigasi selalu dapat diatasi tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat petani pemakai air irigasi. Pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pengukuran debit secara langsung, dapat digunakan beberapa alat ukur seperti pintu Romijn, sekat ukur tipe Cipoletti, sekat ukur tipe Thompson, parshall flume dan cut throat flume. Cut throat flume adalah alat ukur debit yang mempunyai bagian yang menyempit (tenggorokan) dengan lebar tertentu. Debit air diukur berdasarkan mengalirnya air melalui bagian yang menyempit tersebut dengan bagian dasar yanag direndahkan. Lebar bagian penyempitan mempunyai 13
ukuran yang berbeda–beda, oleh karena itu penggunaan rumus juga disesuaikan dengan ukuran lebar bagian yang menyempit tersebut. Dalam pelaksanaan pengukuran debit air irigasi secara langsung dengan alat–alat ukur tersebut biasanya lebih mudah karena dapat melihat tabel debit air yang tersedia (Kartasapoetra, 1994). Kartasapoetra (1994) mengatakan bahwa pengukuran debit secara tidak langsung dapat menggunakan alat pengukur kecepatan aliran (current meter). Current meter merupakan alat pengukur kecepatan aliran yang dilengkapi baling– baling yang digerakkan dengan tenaga baterai dan setiap putaran sumbu akan menghasilkan bunyi. Kecepatan aliran diperhitungkan dengan jumlah bunyi atau jumlah putaran setiap waktu. Persamaan yang digunakan untuk current meter adalah : V = aN + b di mana :
(10)
V
= kecepatan aliran (m/s)
N
= jumlah putaran per detik
a dan b = koefisien yang diperoleh dari pemeriksaan Debit aliran dihitung dengan persamaan : Q=VxA
(11)
Q = debit aliran (m3/detik)
di mana :
V = kecepatan aliran (m/detik) A = luas penampang saluran (m2) Pada lebar penyempitan cut throat flume 30 cm dan panjangnya 90 cm, maka menggunakan persamaan : C = KW1.025 Q = CHa di mana :
(12)
n
(13) C
= koefisien aliran bebas
Q
= debit (m3/dt)
W
= lebar penyempitan (m)
Ha
= tinggi muka air (m)
K dan n
= koefisien (dari nomogram) 14