II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman sawo Sawo atau yang biasa disebut sapodilla adalah salah satu tanaman buah di Asia Tenggara. Tanaman tersebut merupakan tanaman asli dari Mexico dan Amerika, tetapi saat ini telah menyebar di daerah tropis (Das dan De 2015). Dalam Sambamurty (2010), tanaman sawo mempunyai susunan taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ebenales
Famili
: Sapotaceae
Genus
: Achras
Spesies
: Achras zapota L.
Tanaman sawo mudah beradaptasi pada berbagai suhu, tetapi suhu yang terlalu panas akan menghambat pertumbuhannya. Curah hujan yang ideal berkisar antara 1250-2500 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun. Sawo dapat tumbuh baik sampai di ketinggian 900 m dpl. Tanah yang baik untuk tanaman sawo adalah alluvial dan berpasir serta tanah lempung yang berdrainase baik. Tanah yang ideal untuk pertumbuhan sawo mempunyai pH antara 6-7. Tanaman sawo resisten terhadap kekeringan dan memiliki toleransi terhadap salinitas tanah sampai 8 dS/m (Erfandi 2008, Purnomosidhi 2002). Pohon sawo besar dan rindang, dapat tumbuh hingga 40 m, bercabang rendah, permukaan batang kasar berwarna abu-abu kehitaman sampai coklat tua. Sawo mempunyai daun tunggal, terletak berseling, pagkal dan ujung daun berbentuk baji. Sawo berbunga tunggal dan terletak di ketiak daun dekat ujung ranting. Mempunyai tangkai dengan panjang 1-2 cm. Bunga sawo mempunyai diameter sampai 1,5 cm dengan sisi luar berbulu kecoklatan dan berbilang 6. Kelopak buga biasanya tersusun dalam dua lingkaran, mahkota berbentuk genta,
7
8
berwarna putih dan berbagi sampai setengah panjang tabung. Sawo merupakan buah buni bertangkai pendek, berebentuk bulat, bulat telur atau jorong dengan ukuran 3-6x3-8 cm. Buah sawo berwarna cokelat kemerahan sampai kekuningan dibagian luar dengan sisik-sisik kasar kasar cokelat yang mdah mengelupas. Buah sawo berkulit tipis, dengan daging buah lembut dan kadang memasir dengan warna cokelat kemerahan sampai kekuningan dan mengandung banyak sari buah. Biji sawo berbentuk lonjong, pipih dan berwarna hitam atau cokelat mengilap dengan keping biji berwarna putih lilin (Hidayat dan Napitipulu 2015). Menurut Srivastava et al. (2014), buah sawo matang kaya akan kalori dan mengandung gula, asam, protein, polifenol, karotenoid, asam askorbat serta mempunyai sifat antioksidan yang tinggi. Selain itu sawo juga mengandung serat, mineral (kalium, tembaga dan besi) dan vitamin (A, C, folat, Niacin, asam pantotenik). Oleh karena itu, sawo termasuk salah satu dari buah yang paling menyehatkan untuk mengurangi penderita malnutrisi karena mikronutrien. B. Kromosom dan kariotipe Kata kromosom berasal dari bahasa Yunani yaitu khroma yang berarti warna dan soma yang berarti badan, sehingga secara harfiah kromosom berarti badan/bagian yang dapat diwarnai. Kromosom tersusun dari DNA dan suatu matriks protein histon dan nonhiston yang berpilin dan memadat yang terdapat di dalam nukleus (inti sel). DNA adalah struktur yang mengandung pembawa sifat keturunan (gen). Histon membantu membentuk untai-untai panjang DNA menjadi sebuah struktur yang disebut nukleosom. DNA, histon dan protein-protein kromosonal bersama-sama membentuk nukleoprotein atau kromatin (Erlod dan Stansfield 2007, Syukur et al. 2015). Kromosom disusun oleh matriks yang bersifat non genik dan mengandung protein serta dua untai benang halus berkelok-kelok yang disebut kromonema. Pada kromonema terdapat penebalan-penebalan atau berbentuk seperti butiran yang disebut kromomer. Kromonena dan kromomer inilah yang membawa sifatsifat keturunan. Kromosom juga mempunyai daerah menyempit dan terdapat bagian berbentuk membulat yang disebut sentromer atau kinetokhor yang berfungsi sebagai tempat berpegangnya benang-benang spindel saat pembelahan
9
sel berlangsung. Bagian kromosom yang lainnya adalah telomer. Telomer merupakan ujung kromosom yang sekaligus ujung molekul DNA. Telomer berfungsi sebagai pelindung kromosom sehingga tidak menyambung dengan kromosom lainnya (Syukur et al. 2015). Kromosom dapat diamati saat pembelahan sel. Pembelahan sel dibedakan menjadi dua, yaitu pembelahan mitosis dan pembelahan meiosis. Pembelahan mitosis terjadi pada hampir semua sel somatis melalui beberapa tahapan yaitu interfase, profase, metafase, anafase dan telofase. Pada pembelahan mitosis, dari satu sel diploid dihasilkan dua anakan yang masing-masing juga diploid. Jumlah kromosom sel anakan pada pembelahan mitosis sama dengan jumlah kromosom sel induk. Pembelahan meiosis hanya terjadi pada sel generatif dan berlangsung dalam dua tingkat pada satu daur, yaitu meiosis I dan meiosis II. Satu sel induk diploid yang mengalami pembelahan meiosis akan menghasilkan empat sel anakan yang masing-masing haploid. Sel anakan mempunyai jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sel induk (Suryo 2007). Berdasarkan letak sentromer, bentuk kromosom dibedakan menjadi 4, yaitu metasentrik, submetasentrik, akrosentrik dan telosentrik. Menurut Suryo (2007), pada kromosom metasentrik sentromer berada di tengah, sehingga lengan kromosom sama panjang dan biasanya berbentuk V. Kromosom submetasentrik sentromer berada tidak ditengah seperti huruf J. Kromosom akrosentrik sentromer terletak hampir di ujung dan tidak membengkok sehingga kenampakannya mirip huruf I. Kromosom telosentrik adalah kromosom yang memiliki sentromer di salah satu ujungnya, sehingga kromosom tetap lurus dan tidak terbagi menjadi dua lengan. Pembagian ini berdasarkan rasio lengan kromosom (r=q/p) yang dipaparkan oleh Ciupercescu et al. (1990) cit. Yulianto dan Parjanto (2010) sebagai berikut. Tabel 1. Bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan Bentuk Kromosom Rasio Lengan (r=q/p) Metasentrik 1,0-1,7 Submetasentrik 1,7-3,0 Akrosentrik 3,0-7,0 Telosentrik >7,0
10
Berdasarkan bentuk, jumlah dan ukuran kromosom dapat dibuat pola kariotipe suatu spesies. Kariotipe berasal dari kata karyon yang berarti inti dan typos yang berarti bentuk. Bentuk dan jumlah kromosom setiap spesies berbeda sehingga mempunyai kariotipe yang berbeda pula. Kariotipe merupakan pengaturan kromosom secara berurutan mulai ukuran terpanjang sampai terpendek. Penyusunan kariotipe dilakukan dengan cara memasangkan kromosom homolog. Penentuan kromosom homolog didasarkan pada kemiripan bentuk dan ukuran kromosom (Setyowati 2008). Sedangkan menurut Tjong et al. (2013), kariotipe adalah fenotipe dari kromosom yang meliputi struktur kromosom antara lain jumlah, bentuk, posisi sentromer, penyebaran eukromatin dan heterokromatin serta ukuran satelit. Kromosom tersebut kemudian disusun berdasarkan pasangan kromosom homolog dan diurutkan berdasarkan ukuran kromosom dari yang terpanjang sampai terpendek. Menurut Venkatesh et al. (2015), jumlah kromosom dan data karyomorfologi penting untuk memilih spesies yang tepat untuk program pemuliaan
tanaman,
memecahkan
permasalahan
taksonomi,
mendeteksi
kecenderungan evolusi dan mengembangkan varietas dengan poliploidisasi. Kariotipe suatu spesies akan berubah sejalan dengan proses spesiasi karena perbedaan lokasi dan kondisi geografis. Ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi variasi genetik, diantaranya temperatur dan ketinggian tempat. Hal tersebut dapat mengakibatkan perbedaan jumlah, ukuran dan tipe kromosom dalam satu spesies. Perubahan jumlah kromosom dalam suatu spesies dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat penjang dan diduga sebagai hasil dari proses mikroevolusi di alam (Tjong et al. 2013). C. Analisis kariotipe Pengamatan kromosom dapat dilakukan pada saat sel membelah. Karakteristik kromosom sel somatis pada pembelahan mitosis lebih stabil secara morfologi dibanding sel gamet pada pembelahan meiosis. Selain itu struktur penanda seperti satelit, penyempitan posisi sentromer dan panjang lengan kromosom lebih akurat bila diamati dan ditentukan pada sel somatik. Oleh karena itu analisis kromosom lebih baik dilakukan pada sel somatis pada pembelahan mitosis (Setyawan dan Sutikno 2000).
11
Fase yang digunakan untuk melakukan pengamatan kromosom adalah pada saat kromosom memasuki tahap metafase pada pembelahan mitosis. Pada fase tersebut ukuran kromosom tampak lebih jelas dibanding tahap lainnya. Hal itu karena benang-benang kromatin mengalami kontraksi sehingga menjadi lebih pendek dan tebal (Suryo 2007). Salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis kromosom adalah metode pemencetan (squash). Metode pencet adalah suatu metode yang dilakukan dengan cara memencet suatu potongan jaringan sehingga didapat suatu preparat yang tipis dan dapat diamati di bawah mikroskop. Menurut Setyawan dan Sutikno (2000), pembuatan preparat untuk metode squash dilakukan melaui beberapa tahapan. Tahapan tersebut meliputi pengumpulan akar, praperlakuan, fiksasi, hidrolisis atau maserasi dan pewarnaan, pemencetan (squashing). Bagian tanaman yang biasa digunakan untuk membuat preparat dengan metode squash adalah ujung akar yang bersifat meristematik. Menurut Parjanto et al. (2003), penggunaan ujung akar dalam membuat preparat lebih mudah dibanding bagian lain seperti tunas. Hal tersebut dikarenakan pada bagian akar tidak terdapat kloroplas yang dapat mengganggu pengamatan kromosom. Winarto (2011) mengungkapkan bahwa penggunaan pucuk tunas untuk pembuatan preparat tidak menghasilkan pewarnaan yang maksimal. Kondisi ini menyebabkan penghitungan kromosom sulit dilakukan. Pemotongan akar dilakukan pada jaringan yang selnya aktif membelah di ujung akar atau pucuk tanaman yang berlangsung pada pagi hari. Pra perlakuan dapat dilakukan dengan aqudest (Parjanto et al. 2003) dan zat kimia berupa kolkhisin (Arnab dan Animesh 2012), 8-hidroksiquinolin (Damayanti dan Rootika 2010), paradiklorobenzen (PDB) (Ermayanti et al. 2014). Pra perlakuan bertujuan untuk memisahkan dan menguraikan kepadatan kromosom, penjernihan sitoplasma, melunakkan jaringan dan membantu penetrasi fiksatif serta menghilangkan komponen-komponen yang tidak diinginkan dalam jaringan (Gunarso 1988 cit. Ningsih 2011, Jong 1997 cit. Lestari 2012). Menurut Parjanto et al. (2003), pra perlakuan dengan air dingin menghasilkan preparat dengan kromosom yang menyebar.
12
Fiksasi dilakukan untuk mematikan dan mempertahankan struktur sel menggunakan larutan kimia yang berbahan dasar alkohol. Larutan yang digunakan antara lain larutan asam asetat 45% (Mursyidin et al. 2013), larutan Farmer (etanol : asam asetat glasial = 3:1) (Imaniar dan Pharmawati 2014) atau larutan carnoy (asam asetat glasial : etanol = 1:2) (Yulianty et al. 2006), larutan carnoy 2 (etanol : kloroform : asam asetat glasial = 6:3:1) (Yulianto dan Parjanto 2010). Hidrolisis berfungsi untuk melarutkan lamella tengah pada sel-sel meristematis yang belum kuat perlekatannya, sehingga sel dapat dipisah-pisahkan untuk mendapatkan ketebalan yang hanya selapis saja. Hidrolisis dapat menggunakan HCl yang diketahui mempunyai kemampuan melarutkan lamella tengah yang sangat tinggi. Konsentrasi HCl yang optimum yaitu 1 N. Pada konsentrasi lebih rendah daya kerjanya kurang, sehingga perlu perendaman lebih lama, sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi dapat menguraikan nukleus dan kromosom di dalamnya sehingga kromosom tidak dapat diamati dengan sempurna. Hidrolisis yang terlalu lama dapat mengurangi affinitas pewarna terhadap kromosom dan menyebabkan kromosom terurai karena denaturasi protein dan asam nukleat (Setyawan dan Sutikno 2000). Pewarnaan bertujuan agar kromosom mudah diamati, hasil akhir dari proses pewarnaan adalah kromosom berwarna merah ketika diamati di bawah mikroskop. Pewarnaan dapat dilakukan dengan aceto orcein, iron orcein, aceto carmin, safranin dan feulgen (Gunarso 1988 cit. Ningsih 2011, Jong 1997 cit. Lestari 2012). Pemencetan (squashing) dilakukan dengan mengambil bagian potongan ujung akar meristematik sepanjang ±0,5 mm dari ujung akar. Akar yang telah dipotong diletakkan diatas gelas preparat. Selanjutnya ditetesi dengan asam asetat 45% lalu ditutup dengan gelas penutup. Pemencetan dilakukan dengan ibu jari atau menggunakan pensil yang diketuk-ketuk (Hartati et al. 2014.) Tidak ada prosedur baku untuk setiap jenis tumbuhan dalam pembuatan preparat. Sel-sel yang berasal dari spesies atau jaringan yang berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda pula (Gunarso 1988 cit. Sarasmiyarti 2008,
13
Suntoro 1983 cit. Sarasmiyarti 2008). Yulianty et al. (2006) melakukan analisis kariotipe pisang mauli dengan melakukan pemotongan akar pada pukul 08.00 WIB, tahap pra perlakuan dilakukan dengan merendam akar pada larutan paradiklorobenzen (PDB) selama 2 jam pada temperatur 10°C, lalu proses fiksasi mengunakan larutan carnoy selama 3 jam pada suhu 30°C, selanjutnya tahapan maserasi dengan larutan HCl 1 N selama 1 menit dan pewarnaan menggunakan aceto orcein 2% selama 3 jam. Penelitian oleh Hartati et al. (2014) pada tanaman anggrek dilakukan dengan memotong akar pada pukul 06.00-08.00 WIB, pra perlakuan dilakukan dengan aquades selama 24 jam pada suhu 5°C, selanjutnya difiksasi menggunakan larutan asam asetat 45% selama 1 jam pada suhu 5°C, tahap maserasi dilakukan dengan HCl 1 N selama 5 menit dan disimpan pada suhu 60°C kemudian pewarnaan menggunakan aceto orcein 2% selama 24 jam pada suhu 5°C. Analisis kariotipe pada genus tanaman Vernonia yang dilakukan Kemka dan Okoli (2013), menggunakan larutan 8-hydroxyquinoline sebagai pra perlakuan selama 3 jam, selanjutnya difiksasi dengan larutan carnoy selama 24 jam, lalu tahap maserasi menggunakan alkohol 70%, dan pewarnaan menggnakan oaceto orcein.