II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Paprika (Capsicum annuum var athena) Tanaman paprika berasal dari Mexico dan daerah sekitar Amerika Tengah. Menurut Prihmantoro dan Indriani (2003), klasifikasi paprika adalah sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annum
Varietas
: Grossum
Faktor lingkungan yang menjadi syarat tumbuh paprika antara lain ketinggian sekitar 500-1500 m dpl, tingkat keasaman tanah 5,5-6,5 dan tumbuh baik dengan suhu 16-25oC. Gonzales-Aguilar (2001) di dalam Gross et al. (2002) menyatakan bahwa paprika adalah sayuran non klimaterik dan menghasilkan etilen dalam jumlah yang sedikit. Paprika dapat digolongkan sebagai sayur buah yang termasuk jenis sayur yang tidak awet (perishable commodity), yang potensi daya simpannya antara 1-2 minggu (Kader, 1992). Paprika mengandung sedikit protein, lemak, dan gula, tetapi banyak mengandung karoten dan sebagai sumber vitamin C (340 mg/ 100 g buah segar), maka kandungan vitamin C pada paprika jauh lebih tinggi daripada buah jeruk (Morgan dan Lennard 2000; Gunadi, 2006). Umumnya paprika digunakan sebagai bumbu penyedap atau bahan masakan. Selain itu, paprika dapat digunakan sebagai zat pewarna makanan. Antosianin yang terkandung dalam paprika merupakan zat pewarna makanan yang memiliki keunggulan, yaitu lebih tahan suhu tinggi dan stabil pada kisaran pH lebar, yaitu 1-9 (Gunadi, 2006).
4
Tabel 1. Kandungan Gizi Paprika (Capsicum annum) Tiap 100 gram Buah Segar Kandungan gizi Paprika Paprika Paprika per 100 gram bahan merah hijau kuning Protein (g) 0,99 0,86 27 Energi (kkal) 26 20 1 Lemak total (g) 0,3 0,17 0,21 Lemak jenuh (g) 0,06 0,06 0,03 Lemak tak jenuh tunggal (g) 0,01 0,01 Lemak tak jenuh ganda (g) 0,16 0,06 Karbohidrat (g) 6,03 4,64 6,32 Serat (g) 2 1,7 0,9 Gula (g) 4,2 2,4 Kalsium (mg) 7 10 11 Besi (mg) 0,43 0,34 0,46 Magnesium (mg) 12 10 12 Fosfor (mg) 26 20 24 Kalium (mg) 211 175 212 Natrium (mg) 2 3 2 Seng (mg) 0,25 0,13 0,17 Tembaga (mg) 0,02 0,07 0,11 Mangan (mg) 0,11 0.12 0,12 Selenium (mg) 0,1 80,4 0,3 Vitamin C (mg) 190 0,06 183,5 Thiamin (mg) 0,05 0,03 0,03 Riboflavin (mg) 0,09 0,48 0,03 Niacin (mg) 0,98 0,22 0,89 Vitamin B6 (mg) 0,29 11 0,17 Folat (mkg) 18 0 26 Vitamin B12 (mkg) 0 370 0 Vitamin A (IU) 3.131 0,37 200 Vitamin E (mg) 1,58 7,4 Vitamin K (mkg) 4,9 7,4 Sumber: Anonimc (2005)
5
Tabel 2. Komponen Pigmen Paprika (Berdasarkan Persen Total Karotenoid) Paprika Pigmen Merah Hijau Capsanthin 52-60 34-37 Capsorubin 10-18 6-7 Beta-carotene 8-13 11-12 Zeaxanthin 8-10 Cryptoxanthin 3-5 6-7 Lutein 8-10 Sumber : Curl (1962) dalam Purseglove et al. (1981)
Permintaan paprika dari tahun ke tahun terus meningkat baik untuk memenuhi pasar lokal maupun pasar ekspor. Untuk pasar lokal, data produksi dan permintaan paprika hingga sekarang belum tersedia karena masih sedikitnya pengusahaan paprika. Untuk pasar ekspor, ekspor paprika Indonesia telah mencapai beberapa negara seperti Taiwan dan Singapura. Pada tahun 2003 hingga pertengahan Agustus ekspor paprika ke Taiwan mencapai Rp 1,5 miliar dengan volume ekspor sebanyak 155.995 kilogram. Tabel 3 menunjukkan adanya peningkatan ekspor paprika Indonesia ke Taiwan.
Tabel 3. Jumlah Ekspor Paprika Indonesia ke Taiwan Tahun Jumlah Ekspor (kg) Nilai (milyar Rp) 2001 105.124 0,97 2002 190.055 1,78 2003* 155.995 1,50 *) sampai bulan Agustus Sumber : Anonimd, 2008. B. Sifat Fisiologis Paprika Selama Penyimpanan Etilen yang dihasilkan paprika jumlahnya relatif rendah, sehingga pengaruhnya cukup cukup kecil terhadap pembusukan selama kemasannya berventilasi baik (Ryall dan Lipton, 1972). Kaitannya dengan jumlah produksi gas
hasil
respirasi,
paprika
termasuk
komoditi
yang sedikit/rendah o
menghasilkan gas CO2 , yaitu 8 mg/kg/jam pada suhu 0 C. Produksi CO2 akan meningkat dengan naiknya suhu selama penyimpanan paprika (Robinson et al., 1975 di dalam Kays, 1991).
6
Pola respirasi paprika digolongkan ke dalam respirasi non-klimaterik. Paprika akan terus mengalami respirasi pada suhu dan udara normal, yang akhirnya akan mengalami senescence, paprika berwarna merah atau kuning dan cenderung membusuk. Proses respirasi pada paprika dipacu oleh adanya etilen yang disintesis dalam mitokondria, yang selanjutnya dapat menstimulir aktivitas enzim-enzim seperti katalase, peroksidase, invertase, transaminase, dan klorofilase. Laju produksi etilen pada suhu 10-20oC, yaitu antara 0,1-1,0 L/kg jam (Kader, 1992). Penyimpanan paprika tidak dapat disatukan dengan produk lain yang mengeluarkan cukup banyak etilen, karena akan mempercepat pematangan dan pembusukan.
C. Pati Sagu Pati sagu merupakan hasil ekstraksi empulur pohon sagu (Metroxylon sp) yang sudah tua, berumur 8-16 tahun. Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting, yaitu amilosa yang merupakan fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi cabang. Kandungan amilosa pati sagu sebesar 27% ± 3, sedangkan amilopektinnya sebesar 73% ± 3 (Hikmat, 1997). Pati sagu memiliki bentuk granula elips dengan hillum pati tidak terpusat, berada pada ujung yang bulat dan terdapat cincin yang tidak seragam pada granula pati tersebut. Menurut Knight (1989), suhu gelatinisasi pati sagu berkisar antara 60-72oC. Komponen terbesar yang terkandung dalam sagu adalah pati. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Kimia Pati Sagu Tiap 100 gram Komponen Jumlah Kalori 353 kal Protein 0,7 g Lemak 0,2 g Karbohidrat 84,7 g Air 15,0 g Fosfor 13 mg Kalsium 11 mg Besi 15 mg Sumber : Direktorat Gizi, Dep. Kes. RI (1979)
7
D. Edible Coating Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang rata, dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film). Edible coating dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas dan umur simpan makanan (Krochta et al 1994). Menurut Nisperos-Carriedo (1994), Edible coating dapat menjadi pelindung buah olah minimal dari kerusakan mekanis, membantu mempertahankan integritas struktur sel dan mencegah kehilangan senyawa-senyawa volatile. Bahan dasar pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein, polisakarida), lipid (asam lemak), dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Edible coating yang dibuat dari hidrokoloid mempunyai ketahanan yang baik terhadap gas O2 dan CO 2, meningkatkan kekuatan fisik, namun ketahanan uap air sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya (Wong et al., 1994 di dalam Krotcha dan Nisperos-Carriedo, 1994). Edible coating yang dibuat dari lipid memiliki beberapa kelebihan diantaranya baik digunakan untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksionari. Kekurangannya adalah kegunaannya dalam bentuk murni sebagai coating terbatas, karena cukup banyak kekurangan integritas dan ketahanannya. Edible film dari komposit dapat meningkatkan kelebihan dari film hidrokoloid dan lipid serta mengurangi kekurangannya (Donhowe dan Fennema, 1994 di dalam Krotcha et al., 1994). Metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari metode dipping (pencelupan), pembusaan, spraying (penyemprotan), casting (penuangan), dan aplikasi penetesan terkontrol (Donhowe and Fennema, 1994 di dalam Krotcha et al., 1994). Metode pencelupan merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan. Pada metode pencelupan, produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating (Kismaryanti, 2007).
Lama waktu
pencelupan bukan hal yang penting, tetapi yang terpenting adalah
8
kesempurnaan pelapisan permukaan komoditas dengan ketebalan yang rata (Long, 1964 di dalam Krotcha et al., 1994). Menurut Guilbert (1993), beberapa keuntungan penggunaan edible coating adalah : a. Dapat dimakan b. Biaya umumnya rendah c. Kegunaannya dapat mengurangi limbah d. Mampu mempertahankan nilai nutrisi makanan e. Dapat berfungsi sebagai carrier atau zat pembawa untuk senyawa antimikroba dan antioksidan f. Dapat digunakan sebagai pembungkus primer makanan, bersama-sama dengan film yang tidak dapat dimakan.
E. Edible Coating Berbahan Dasar Polisakarida Perkembangan edible coating berbahan dasar polisakarida larut air dapat memperpanjang umur simpan dari buah dan sayuran. Polisakarida larut air adalah polimer berantai panjang yang dilarutkan ke dalam air untuk mendapatkan kekentalan larutan yang cukup kental. Komponen-komponen inilah yang akan berperan memberikan kekerasan, kerenyahan, kepadatan, kualitas ketebalan, kekentalan, adhesivitas, kemampuan pembentukan gel, serta mouthfeel yang baik (Whistler and Daniel, 1990 di dalam Krotcha dan Nisperos-Carriedo, 1994). Komponen ini berperan penting dalam industri pangan karena mudah didapat, murah dan nontoxic. Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating antara lain selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi propil metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan, chitosan, dan lain-lain (Gennadios et al., 1990). Aplikasi polisakarida biasanya dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizers, surfaktan, minyak, lilin (waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus, dan mencegah kehilangan uap air (Krochta et al., 1994).
9
Edible coating berbahan dasar polisakarida ini berperan sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas O2 dan CO2 sehingga dapat menurunkan tingkat respirasi dari buah dan sayuran tersebut (Nisperos-Carriedo dan Balwin, 1990 di dalam Krotcha et al.,1994). Aplikasi coating polisakarida dapat mencegah dehidrasi, oksidasi lemak, terjadinya browning pada permukaan, serta mengurangi laju respirasi dengan mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosfer internal (Krochta et al., 1994). Keuntungan dari coating berbahan dasar polisakarida adalah meningkatkan flavor, tekstur, dan warna ; meningkatkan stabilitas selama penjualan dan penyimpanan ; memperbaiki penampilan ; dan mengurangi tingkat kebusukan. Pati
sagu
merupakan
golongan
polisakarida
sehingga
dapat
diaplikasikan sebagai bahan dasar edible coating. Selain keuntungan dari coating berbahan dasar polisakarida yang disebutkan diatas, pati sagu cukup murah dan mudah didapatkan.
F. Bahan Edible Coating 1. Plasticizer Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non-volatil, memiliki titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan ke dalam suatu materi dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer dapat mengurangi
gaya
intermolekul
sepanjang
rantai
polimer,
sehingga
meningkatkan fleksibilitas edible film tetapi mengakibatkan turunnya permeabilitas film tersebut. Plasticizer larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas, suhu kristalisasi atau suhu pelelehan dari polimer (Sperling, 1992). Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible coating untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah (Ketser dan Fennema, 1989). Jenis plasticizer yang biasanya ditambahkan antara lain gliserin, trietilen glikol, gliserol, asam lemak, dan monogliserin yang diasetilisasi.
10
Gliserol merupakan senyawa alkohol polihidrat dengan tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Berat molekulnya 92,10, massa jenisnya 1,23 g/cm3, dan titik didihnya 204 oC. Gliserol memiliki sifat mudah larut air , meningkatkan viskositas larutan, mengikat air, bersifat hidrofilik dengan titik didihnya yang tinggi, polar, dan non volatil (Winarno, 1992). Gliserol banyak terdapat di alam sebagai ester asam lemak dan minyak. Gliserol (C3H8O3) efektif sebagai plasticizer karena kemampuannya mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekular sehingga dapat melunakkan struktur film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik film. Gliserol bersifat humektan dan bagian dari aksi plasticizing berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada edible coating tersebut (Lieberman dan Gilbert, 1973 di dalam Kristanoko, 2000). Menurut Winarno dan Kumalasari (2001), penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas film terhadap gas, uap air, serta gas terlarut. Selain itu, gliserol berfungsi sebagai penyerap air dan pembentuk kristal.
2. Carboxymethyl Cellulose (CMC) Nisperos-Carriedo (1994) menyatakan bahwa CMC dapat bereaksi dengan gula, pati, dan hidrokolid lainnya. Selain itu, CMC membantu melarutkan protein dalam bahan pangan seperti gelatin, kasein, dan protein kedelai. CMC jarang digunakan sebagai bahan dasar tunggal dalam pembuatan edible film. Tetapi kemampuannya untuk membentuk film yang kuat dan tahan minyak sangat baik untuk diaplikasikan sehingga sering digunakan dalam formulasi coating. CMC banyak digunakan dalam formulasi coating untuk melapisi produk segar maupun olahan. Beberapa fungsinya adalah menjaga tekstur alami, kerenyahan, dan kekerasan produk, menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, serta mengurangi penyerapan O 2 tanpa menyebabkan peningkatan kadar CO2 pada jaringan buah-buahan (Nisperos-Carriedo, 1994).
11
3. Minyak Biji Bunga Matahari Bunga matahari (Helianthus annuus L.) memiliki uraian tumbuhan, yakni habitus herba anual (umurnya pendek, kurang dari setahun), tegak, berbatang basah (herbaceus) dengan kulit batang luar kasap dan berbulu, tinggi 1-3 m. Daunnya tunggal berbentuk jantung, bunga berwarna kuning, ukuran bunga besar berbentuk cawan dengan mahkota berbentuk pita di sepanjang tepi cawan dan di tengahnya terdapat bunga-bunga yang kecil benbentuk tabung berwarna cokelat. Bunga mengandung quercimeritin, helianthoside A, B, C, asam oleanolat, dan asam echinocystat. Biji mengandung B sitosterol, prostaglandin E, asam chlorogenic, asam quinat, phytin, 3,4 benzoyrene (Anonim b, 2004). Minyak biji bunga matahari dihasilkan dari biji Helianthus annuus L. Crude sunflower oil berwarna kuning terang, sedangkan minyak biji bunga matahari yang sudah direfining berwarna kuning pucat. Crude sunflower oil mengandung sedikit phosphatida dan getah. Dalam setiap 100 gram minyak biji bunga matahari terdapat lemak dengan total 100, yang terbagi dalam lemak jenuh 9,8%, lemak tak jenuh (oleat 11,7% dan linoleat 72,9%), sisanya tidak mengandung kolesterol (Anonim, 2004). Karakteristik fisik dan komposisi kimia minyak biji bunga matahari dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5. Karakteristik Fisik Minyak Biji Bunga Matahari Karakteristik Typical Range o Specific gravity, 25/25 C 0.915 - 0.919 o Indeks refraktif, 25 C 1.472 - 1.475 Bilangan iod 133.0 125.0 - 136.0 Bilangan saponifikasi 188 - 194 Bilangan unsaponifikasi 0.3 - 1.3 o Titer ( C) 16.0 - 20.0 o Titik cair ( C) -18 - (-20) o Titik beku ( C) -17.0 o Titik asap ( C) -9.5 Wax (%) 0.02 – 0.35 AOM stability (jam) 11 10 - 12 Sumber : O’Brien (2004)
12
Tabel 6. Komposisi Kimia Minyak Biji Bunga Matahari Karakteristik Typical Range Tokoferol (ppm) 690 690 - 778 α-tokoferol 26 21 – 33 β-tokoferol 5 5–9 -tokoferol Asam Lemak (%) 0.1 < 0.2 Miristat (C-14:0) 7.0 5.6 – 7.6 Palmitat (C-16:0) 0.1 < 0.3 Palmitoleat (C-16:1) 4.5 2.7 – 6.5 Stearat (C-18:0) 18.7 14.0 – 39.4 Oleat (C-18:1) 67.5 48.3 – 74.0 Linoleat (C-18:2) 0.8 < 0.2 Linolenat (C-18:3) 0.4 0.2 – 0.4 Arakhidonat (C-20:0) 0.1 0 – 0.2 Gadoleat (C-20:1) 0.7 0.5 – 1.3 Behenat (C-22:0) 0 – 0.2 Erukat (C-22:1) 0.2 – 0.3 Lignokerat (C-24:0) Trigliserida (%) 0.3 Trisaturated 3.1 Disaturated 26.6 Monosaturated 70.2 Triunsaturated Hydrogenated crystal habit
β
-
Sumber : O’Brien (2004)
4. Minyak Sereh sebagai Antimikroba Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), germisidal, dan sebagainya. Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan, (3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat
13
mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, dan (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan, termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya. Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa, dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, dan sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba. Mekanisme penghambatan antimikroba dapat melalui beberapa faktor, antara lain : (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (4) menginaktifkan enzim essensial yang menyebabkan terhambatnya sintestis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Brenan dan Davidson, 1993). Salah satu jenis bahan pangan yang banayk mengandung senyawa antimikroba adalah rempah-rempah. Aktivitas antimikroba rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa komponen minyak atsiri dan komponen non volatilnya. Senyawa tersebut mungkin terdapat pada berbagai jenis rempah atau hanya khas pada rempah-rempah tertentu. Adakalanya minyak atsiri dapat menambah aktivitas zat lain yang bersifat antimikroba, atau dalam keadaan tertentu minyak atsiri berfungsi sebagai pengawet utama. Minyak atsiri atau minyak eteris adalah campuran senyawa organik yang mudah menguap pada suhu ruang, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut organik, dan diperoleh dari bagian tanaman (Goldsmith, 1960). Sampai dengan saat ini, minyak esensial telah banyak digunakan sebagai pemberi aroma (flavour) pada makanan dan atau sebagai fragrance (pengharum), namun kini minyak esensial dan komponen murninya telah mendapat perhatian khusus berkaitan dengan sifatnya yang aman dan diterima masyarakat secara luas serta potensi aplikasinya yang masih dapat terus dieksploitasi (Cowan, 1999 di dalam Serrano et al., 2008).
14
Minyak sereh adalah minyak yang diperoleh dengan cara penyulingan daun tanaman sereh (Cymbopogon citratus). Menurut Katzer (2007), komponen utama dalam minyak sereh adalah citral. Citral merupakan gabungan dari dua stereoisomerik monterpene aldehid, yaitu trans isomer geranial (40-62%) dan cis isomer neral (25-38%). Komponen lainnya adalah terpenoid, seperti nerol, limonene, linalool and β-caryophyllene.
Gambar 1. Tanaman Sereh (Cymbopogon citratus)
Minyak sereh dapat berperan sebagai antifungal. Menurut Banjole dan Ioda (2004), minyak sereh dapat menghambat Aspergillus flavus pada buah melon. Minyak sereh juga terbukti dapat menghambat pertumbuhan fungi C. graminicola, P. sorghina, dan F. moniliforme pada biji sorgum (Somda et al., 2007). Menurut Onawunmi et al. (1984) di dalam Maizura et al. (2007), minyak sereh menunjukkan aktivitas anti-mikroba terhadap Escherichia coli O157:H7, Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus.
Dalam studinya,
tetesan minyak sereh ditempatkan dalam kertas filter sebelum diujikan pada mikroba/bakteri
spesifik.
Aktivitas
anti-mikroba
dari
minyak
sereh
berhubungan dengan sejumlah besar 1,8-cincole (30%), geranial (30%), dan neral (20%). Isomer sitral (neral 32,3% dan geranial 41,28%) merupakan senyawa yang paling banyak terdapat di dalam minyak sereh seperti dilaporkan Choi et al. (2000). Komponen-komponen ini dapat menghambat bakteri gram positif dan negatif (Onawunmi et al., 1984 di dalam Maizura et al., 2007). Kehadiran komponen minor dalam minyak sereh seperti nerol, 15
borneol, linalool, sinamaldehide, carvacrol, geraniol, myrtenal, dan eugenol juga diketahui bersifat anti-mikroba (Hinou et al., 1989 di dalam Maizura et al., 2007).
Tabel 7. Spesifikasi Persyaratan Mutu Minyak Sereh Jenis Uji Satuan Persyaratan kuning pucat sampai kuning Warna kecoklat-coklatan o o Bobot jenis, 20 C/20 C 0,880 - 0,922 Indeks bias 1,466 - 1,475 Total geraniol % b/b min 85 Sitronellal % b/b min 35 Kelarutan dalam etanol 1 : 2 jernih, seterusnya jernih 80% Zat asing : Lemak negatif Alkohol tambahan negatif Minyak pelikan negatif Minyak terpentin negatif Sumber : SNI 06-3953-1995
16