II. TINJAUAN PUSTAKA A. Padi Beras Merah Tanaman padi memiliki keragaman genetik yang tinggi. Padi dikonsumsi sebagai bahan pangan utama penduduk dunia termasuk Indonesia adalah padi beras putih. Variasi genetik tanaman padi di Indonesia cukup beragam mulai dari bentuk bulir gabah sampai dengan warna beras merah. Selama ini, padi dengan beras berwarna putih lebih banyak dikembangkan daripada padi dengan beras berwarna merah. Pencermatan dari sisi produksi, maka padi varietas unggul mampu menghasilkan kira-kira 5-6 ton per hektar yang lebih tinggi dibanding padi jenis beras merah (Widhiono 2006). Jenis beras dibedakan menurut warna dan teksturnya yaitu beras putih, beras merah, dan beras ketan. Salah satu jenis beras yang juga menjadi komoditi di Indonesia adalah beras merah yang diketahui bermanfaat bagi kesehatan (Suardi 2005). Beras merah mengandung vitamin B kompleks yang cukup tinggi, asam lemak esensial, serat, maupun senyawa anthosianin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Lomboan 2002). Beras merah umumnya dikonsumsi tanpa melalui proses penyosohan melainkan hanya digiling menjadi beras pecah kulit sehingga kulit ari masih melekat pada endosperma. Kulit air yang masih melekat ini mengandung serat, minyak alami, dan lemak esensial. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beras merah dapat menjadi sumber antioksidan yang baik bagi kesehatan yang berasal dari pigmen antosianin. Komposisi gizi per 100 g beras merah terdiri atas protein 7,5 g, lemak 0,9 g, karbohidrat 77,6 g, kalsium 16 mg, fosfor 163 mg, zat besi 0,3 g, dan vitamin B1 0,21 mg (Santika dan Rozakurniati 2010). Padi beras merah varietas cempo merah merupakan plasma nutfah padi merah lokal asal Sleman, provinsi DIY sehingga ketika ditanam pada daerah Sleman maka potensi genetik dapat muncul secara optimal. Berdasarkan penelitian padi beras merah cempo mencapai produksi tertinggi yaitu 5,04 ton/ha dibandingkan dengan varietas lain seperti mendel, segreng, saodah merah dan andel merah (BPTP 2008). 3
4
Umur padi cempo merah seperti pada umumnya padi yaitu 109 HST dengan potensi produksi lebih tinggi dibanding jenis padi merah lokal lainnya (Kristamtini et al 2006). Berdasarkan penelitian, cempo merah paling tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan padi merah lainnya. Nasi cempo merah juga tergolong pulen dengan kadar amilosa 21,42% (Kristamtini dan Purwaningsih 2009). Keragaman pada padi beras merah seperti padi lainnya merupakan bahan dasar untuk kegiatan pemuliaan dalam program perbaikan varietas. Plasma nutfah padi beras merah memiliki kedekatan nenek moyang dengan spesies padi liar. Beberapa karakter spesies padi liar yang dimiliki beras merah antara lain habitat tanaman yang bersifat serak, daun dan biji terdapat bulu, tanaman tinggi, biji mudah rontok dan memiliki dormansi, batang kecil dan mudah rebah (Nolding et al. 1999 cit Utami et al. 2010). Karakter-karakter tersebutlah yang seringkali merupakan kendala dalam usaha budidaya padi beras merah. Untuk lebih dapat memahami karakter spesifik dari padi beras merah diperlukan
penelitian
yang
berkesinambungan
sehingga
dapat
membudidayakan segala potensi yang ada pada padi beras merah dengan mengeliminasi karakter-karakter yang tidak diinginkan (Utami et al. 2010) Penelitian yang lebih intensif terhadap mutu padi beras merah diharapkan dapat memberikan sumbangan nyata terhadap ketahanan pangan dan perbaikan kualitas sumber daya. Untuk memperbanyak pilihan bagi petani maka Balitpa terus melakukan pengujian galur-galur padi beras merah, baik terhadap daya hasil maupun ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik, diantaranya ketahanan terhadap penyakit tungro. Dari pengujian ini diharapkan diperoleh galur-galur padi beras merah tahan terhadap penyakit (Muliadi 2005). B. Pemuliaan Tanaman Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan yang dinamis dan berkelanjutan. Kedinamisannya dicerminkan dari adanya tantangan dan kondisi lingkungan yang cenderung berubah, sebagai contoh strain patogen yang selalu berkembang dan selera ataupun preferensi konsumen terhadap pangan yang juga berkembang, oleh karena itu kegiatan pemuliaan akan berpacu sejalan
5
dengan perubahan tersebut. Keberlanjutan kegiatan Pemuliaan Tanaman dapat dilihat pada kegiatan yang bersinambungan, berlanjut dari satu tahapan menuju pada tahapan berikutnya. Lebih lanjut, pemuliaan merupakan ilmu terapan yang multidisiplin, dengan menggunakan beragam ilmu lainnya, seperti genetika, sitogenetik, agronomi, botani, fisiologi, patologi, entomologi, genetika molekuler, biokimia, statistika (Schlegel 2003 cit Gepts and Hancock 2006). Ilmu pemuliaan tanaman sebelumnya dikenal dengan nama ilmu seleksi karena dalam pelaksanaannya dilakukan pemilihan terhadap tanaman yang diinginkan baik secara individu atau kelompok. Dalam pelaksanaannya, pemuliaan tanaman pada awalnya dilakukan dengan metode yang sangat sederhana, kemudian berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pemuliaan dapat dilakukan dengan: (1) melakukan pemilihan terhadap suatu populasi tanaman yang sudah ada, (2) melakukan kombinasi sifat-sifat yang diinginkan (secara generatif dan vegetatif), (3) melakukan penggandaan kromosom dan/atau mutasi sebelum melakukan pemilihan, dan (4) melalui rekayasa genetika (Mangoendidjodjo 2003). Salah satu strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan produktivitas, kualitas serta daya saing komoditas tanaman adalah melalui pendekatan pemuliaan tanaman. Melalui kegiatan pemuliaan, diharapkan dapat dihasilkan beragam kultivar unggul baru, selain memiliki produktivitas yang tinggi juga memiliki beberapa karakter lain yang mendukung upaya peningkatan kualitas dan daya saing. Pada umumnya proses kegiatan pemuliaan diawali dengan (1) usaha koleksi plasma nutfah sebagai sumber keragaman, (2) identifikasi dan karakterisasi, (3) induksi keragaman, misalnya melalui persilangan ataupun dengan transfer gen, yang diikuti dengan (4) proses seleksi, (5) pengujian dan evaluasi, (6) pelepasan, distribusi dan komersialisasi varietas. Teknik persilangan yang diikuti dengan proses seleksi merupakan teknik yang paling banyak dipakai dalam inovasi perakitan kultivar unggul baru, selanjutnya, diikuti oleh kultivar introduksi, teknik induksi mutasi
6
dan mutasi spontan yang juga menghasilkan beberapa kultivar baru (Carsono 2008). Strategi pemuliaan telah berubah dari pendekatan genetika klasik menjadi pendekatan genetika baru. Pendekatan klasik merupakan usaha pemindahan gen-gen pengatur sifat tertentu dari beberapa plasma nutfah ke galur atau varietas yang ingin diperbaiki. Pendekatan baru dimaksudkan sebagai pemuliaan populasi yaitu seluruh populasi tanaman dipandang sebagai satuan pemuliaan dan bukan dipandang sebagai individu-individu tanaman. Varietas unggul baru dihasilkan dari komponen populasi asal yang beragam. Dengan pendekatan populasi pemuliaan tanaman didefinisikan sebagai pengurangan frekuensi gen jelek (Sudarka et al. 2009). Beras adalah tanaman pangan yang paling penting di dunia. Kemajuan besar telah terjadi dalam produksi beras sebagai akibat dari penerapan skala luas varietas padi unggul. Namun, permintaan beras di negara-negara berpenghasilan rendah terus meningkat karena kenaikan populasi konsumen beras dan perbaikan standar hidup. Diperkirakan bahwa dunia harus memproduksi 50% lebih beras pada tahun 2050. Untuk memenuhi tantangan ini, perlu varietas padi dengan potensi hasil yang lebih tinggi. Beberapa pendekatan yang sedang digunakan untuk mengembangkan varietas padi dengan potensi hasil tinggi seperti peningkatan populasi, peternakan ideotype, pemuliaan heterosis, hibridisasi luas, rekayasa genetika, dan pemuliaan molekuler (Khush 2000). Pemulia
padi
tertarik
untuk
mengembangkan
kultivar
dengan
meningkatkan hasil dan karakter agronomi yang diinginkan lainnya. Variabilitas genetik untuk sifat agronomi merupakan komponen kunci dari program pemuliaan untuk memperluas kelompok gen padi. Pemulia tanaman umumnya memilih komponen hasil yang secara tidak langsung meningkatkan hasil (Akinwale 2011).
7
C. Pemuliaan Mutasi Mutasi induksi di Indonesia mulai diperkenalkan sejak berdirinya Instalasi Sinar Co-60 di Pusat Aplikasi Isotop dan Iradiasi Pasar Jum’at tahun 1967. Program pemuliaan dengan mutasi induksi secara intensif dimulai tahun 1972 dengan bantuan teknik dari International Atomic Energy Agency untuk perbaikan varietas padi. Kegiatan dilanjutkan pada kultivar tanaman pangan lainnya, serta tanaman perkebunan dan hortikultura, terutama untuk kultivar yang tidak dapat disilangkan atau diperbaiki melalui teknik pemuliaan konvensional. Pada tahun 1934, Indonesia telah mengembangkan varietas mutan tembakau yang disebut Nicotianatabaccum var. (Soejono 2003). Teknik mutasi telah digunakan sejak lama pada berbagai tanaman seperti tembakau, tomat, barley, jagung, padi, dan lain-lain. Pada awalnya, penelitian diutamakan untuk perbaikan genetik pada tanaman padi dan buah contohnya pada apel, dan sifat unggul yang diperoleh antara lain tanaman menjadi lebih pendek atau agak pendek. Aplikasi mutasi untuk perbaikan genetik tanaman terus berkembang untuk perbaikan karakter agronomi penting. Pada tahun 2000, dari database FAO/ IAEA tentang tanaman hasil mutasi disebutkan bahwa sebanyak 434 varietas padi telah dilepas di 31 negara seperti Cina, Jepang, India, Brazil, Guyana, USA, Vietnam, Indonesia, Pakistan, Bangledes, dan lain-lain. Cina menduduki wilayah terluas dalam mengembangkan tanaman hasil mutasi (Lestari 2012). Mutasi adalah perubahan susunan atau konstruksi dari gen maupun kromosom suatu individu tanaman, sehingga memperlihatkan penyimpangan (perubahan) dari individu asalnya dan bersifat baka (turun-temurun). Mutasi dapat terjadi secara alamiah, tetapi frekuensinya sangat rendah, yaitu
pada
setiap generasi. Untuk mempercepat terjadinya mutasi dapat dilakukan secara buatan dengan memberikan perlakuan-perlakuan sehingga terjadi mutasi (induced mutation). Mutasi pada tanaman dapat menyebabkan perubahanperubahan pada bagian-bagian tanaman baik bentuk maupun warnanya juga perubahan pada sifat-sifat lainnya (Herawati dan Setiamihardja 2000).
8
Dengan menggunakan teknik mutasi, tujuan suatu program pemuliaan dapat lebih cepat tercapai dibanding dengan teknik konvensional. Teknik mutasi dapat memberbaiki salah satu sifat dari suatu varietas tanpa merubah sifat yang lain. Mutasi juga dapat menimbulkan sifat baru yang tidak dimiliki oleh tanaman induknya. Apabila suatu sifat yang akan diperbaiki dikendalian oleh gen yang lingkage dengan gen lain atau terikat erat dengan gen lain masalah tersebut hanya dapat dipecahkan dengan teknik mutasi. Teknik mutasi bersifat komplementer dengan teknik yang lain sehingga teknik tersebut dapat digunakan bersamaan dengan teknik lain seperti hibridisasi dan bioteknologi (Suliansyah 2011). Mutasi pada materi genetik sering diekspresikan secara langsung dan teramati pada fenotipe tanaman homozygote, dan diturunkan ke generasi berikutnya. Pada kasus lain, mutasi mungkin tidak secara langsung terekspresikan pada fenotipe, yaitu bila mutasi terjadi ke arah resesif dan berada pada struktur genotipe heterozygote (silent mutation). Ekspresi mutasi pada fenotipe dapat mengarah ke positif atau negatif hal ini relatif tergantung pada tujuan pemuliaan, dan mungkin juga mutasi dapat kembali menjadi normal (recovery). Mutasi ke arah negatif mungkin dapat menyebabkan kematian (lethality), ketidaknormalan (abnormality), sterilitas (sterility) atau kerusakan fisiologis lainnya (physiological disorders). Namun demikian, efek sterilitas dari mutasi sering diperlukan dalam pembentukan tanaman hibrida seperti pada padi dan jagung (Soeranto 2011). Semula para pakar atau pemulia tanaman menganggap bahwa pemuliaan tanaman menggunakan mutas iinduksi merupakan suatu teknik pemuliaan yang kurang
meyakinkan.
Seiring
dengan
berkembangnya
bioteknologi,
keberhasilan regenerasi sel berdasarkan teori totipotensi, mutasi induksi merupakan terobosan dalam pemuliaan tanaman yang menjanjikan, khususnya bagi tanaman yang berbiak secara vegetatif. Teknik tersebut dapat menunjang perolehan varietas mutan baru yang bermanfaat bagi perkembangan dunia usaha (Soejono 2003).
9
Pemuliaan Tanaman dengan perlakuan iradiasi pada varietas padi Ase lapang dan Mandoti dapat menyebabkan beberapa perubahan karakter morfologi dan agronomi dibandingkan dengan tidak di radiasi. Karakter morfologi seperti tinggi tanaman lebih pendek dari yang tidak di radiasi, panen lebih cepat dari pada perlakuan radiasi. Namun, perbaikan yang penting seperti persentase gabah berisi belum diperoleh bahkan biji dengan perlakuan iradiasi menghasilkan persentase terkecil dari gabah isi (Haris et al 2013). Mutasi tidak dapat diamati pada generasi M1, kecuali yang termutasi adalah gamet haploid. Adanya mutasi dapat ditentukan pada generasi M2 dan seterusnya. Semakin tinggi dosis, maka semakin banyak terjadi mutasi (Mugiono 2001). Secara umum, banyak mutan yang telah diidentifikasi biasanya terbukti lebih baik dari orang tua mereka dalam hal hasil, namun kebanyakan dari mutan tersebut jarang melebihi varietas kontrol komersial. Hal ini karena sifat sasaran digunakan dalam program pemuliaan mutasi yang tidak terkait langsung dengan hasil dan produktivitas. Hasil dan uji coba kemampuan beradaptasi di lapangan merupakan bagian integral dari evaluasi varietas sebelum galur baru dirilis sebagai varietas untuk petani, termasuk galur mutan yang dikembangkan dari program pemuliaan mutasi (Mohamad et al 2006). D. Karakter Populasi M2 Hasil Mutasi Benih Pelita I / 1 diiradiasi kedua kalinya dengan sinar gamma dosis 0,2 kGy. Bibit padi M2 pertama kali di seleksi untuk ketahanan BPH sebelum pemilihan mutan. Bibit resisten dipindahtanamkan di sawah, diikuti dengan pemilihan mutan berdasarkan morfologi serta sifat agronomi generasi lanjutan. Sejak itu, protokol ini menjadi prosedur standar program mutasi benih padi di BATAN. Berdasarkan pengalaman, teknik mutasi mempunyai keuntungan dalam peningkatan produktivitas padi, yaitu (1) Hampir semua karakter dapat di tingkatkan selama masih berada dalam variasi alami (2) Baik alel dan bukan alel hasil mutasi yang telah diketahui atau dikenal dalam koleksi plasma nutfah dapat diinduksi (3) Teknik mutasi sangat berguna terutama dalam peningkatan
10
varietas lokal karena mempunyai sifat tertentu yang tidak dapat ditingkatkan dengan menggunakan perkawinan silang (Sobrizal dan Ismachin 2006). Penelitian yang serupa tentang mutan M2 hasil iradiasi sinar gamma juga dilakukan pada padi yang telah di iradiasi ditanam dengan berbagai perlakuan. Padi tersebut kemudian diseleksi individu M2 yang sensitif terhadap bahan kimia.Teridentifikasi individu pada beberapa perlakuan sensitif terhadap bahan kimia (Pujiwati et al 2012). Berdasarkan penelitian, pada dosis yang lebih tinggi, tingkat ketahanan hidup tanaman menurun sebanding dengan peningkatan dosis iradiasi. Dosis mematikan 50% menggunakan pancaran ion karbon berada pada dosis 35 Gy dan 300 Gy untuk sinar gamma. Pada iradiasi dengan kisaran 10-40 Gy pancaran karbon-ion dan 100-300 Gy untuk sinar gamma, frekuensi klorofil bahan mutasi dan metode diselidiki pada generasi M2 dengan menggunakan metode keturunan M1-tanaman. Efek dari mutasi induksi adalah sama untuk kedua perlakuan iradiasi (Yamaguchi et al 2006). Radiasi gamma dapat mempengaruhi karakter morfologi dan agronomi dari varietas lokal padi Ase Lapang. pemberian dosis radiasi gamma dari 300 Gray yang dapat mempengaruhi karakter morfologi
yaitu menekan
pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan, sedangkan pada karakter agronomi, dalam pengobatan 300 radiasi Gray dapat mempercepat umur berbunga dan waktu panen. Semua parameter yang diamati dalam pemberian radiasi gamma pada 200 dan 300 Gray untuk generasi M2 secara signifikan berbeda dari tanaman tanpa iradiasi (0 Gray) (Haris et al 2015).